Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqh muamalah kerap menjadi pembahasan seiring cepatnya akselerasi diskursus ekonomi syariah atau
ekonomi islam di tengah masyarakat. Isu yang selalu mengemuka yakni apakah fiqh muamalah, persoalan
hukum, ataukah isu ekonomi. Dalam muamalah dibahas tentang berbagai macam teknis transaksi dalam
hubunganya dengan aktifitas melakukan produksi, distribusi, dan konsumsi, maka muamalah sarat dengan
masalah-masalah ekonomi. Namun dari sisi lain dalam muamalah digariskan juga tentang berbagai
ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam sebuah aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi
tersebut dapat dianggap sah, sehingga muamalah sarat dengan masalah hukum (Yazid Afandi: 2009)

Bank syariah di Indonesia mulai digagas di periode awal tahun 1980-an, berawal dengan pengujian di
skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman di Bandung. Dan di Jakarta
dalam bentuk koperasi, yaitu Koperasi Ridho Gusti (Antonio:1999). Bertitik tolak dari sini, MUI
berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syariah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan dibahas lebih lanjut dengan membentuk tim kelompok kerja
pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25
Agustus 1990. Menurut mereka, produk yang ditawarkan bank syariah hanyalah produk-produk bank
konvensional yang dipoles penerapan akad-akad yang berkaitan dengan syariah. Alasannya karena sistem
bagi hasil dalam prakteknya masih menyerupai sistem bunga bagi bank konvensional. Begitu pula
penyaluran dana bank syariah yang lebih besar bertumpu pada pembiayaan murabahah, yang mengambil
keuntungan berdasarkan margin, dianggap oleh masyarakat hanyalah sekadar polesan cara pengambilan
bunga pada bank konvensional. Mereka juga masih sangat sulit untuk membedakan antara bagi hasil,
margin dan bunga bank konvensional. Kalaupun bisa hanyalah pada tataran teorinya saja, sedang
prakteknya masih terlihat rancu untuk membedakan bagi hasil, margin dan bunga. Walaupun secara
teoritis sistem bagi hasil dengan akad mudharabah dan musyarakah sangat baik, namun yang terjadi
pembiayaan perbankan syariah dengan pola tersebut belum menjadi tolok ukur bank syariah, sehingga
perbandingannya cukup kecil dibanding pembiayaan dengan pendapatan tetap. Hal tersebut tentunya
lebih cenderung disebabkan oleh tuntutan yang harus dipenuhi bank syariah yang mengikuti struktur bank
komersial. Sehingga pembiayaan dengan basis pendapatan tetap lebih menjadi pilihan bagi bank syariah.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, makalah ini merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem bagi hasil dalam perspektif hukum islam


2. Bagaimana sistem bagi hasil dan pendapat para ulama
3. Bagaimana menganalisa perbedaan bunga dan bagi hasil

BAB II

PEMBAHASAN

A. SISTEM BAGI HASIL DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

1. Pengertian Bagi hasil (profit Sharing)

Profit dalam kamus ekonomi berarti pembagian laba. Secara definisi, profit sharing dapat diartikan
sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu perusahaan (Muhammad: 2001).
Syafi’i Antonio menguraikan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam
perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan
pengelola (Mudharib). Prinsip bagi hasil secara umum dalam perbankan syariah terlaksana dalam
empat akad utama, yakni: al Musyarokah, al Mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqolah. Walaupun
demikian, prinsip yang kerap dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al
muzara’ah dan al musaqolah digunakan khusus untuk atau pembiayaan pertanian (plantation
financing) pada sejumlah Bank Islam (Antonio: 2011).

Bagi hasil adalah keuntungan atau hasil yang diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun
transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan sejumlah persyaratan:

Perhitungan Bagi Hasil disepakati menggunakan pendekatan/pola : 1) Revenue Sharing, 2) Profit dan
Loss Sharing.

Pada saat akad terjadi, wajib disepakati sistem bagi hasil yang dipakai, apakah Revenue Sharing, Profit
dan Loss Sharing atau Gross Profit. Kalau tidak disepakati maka akad tersebut menjadi gharar.

Waktu pembagian bagi hasil harus disepakati oleh kedua belah pihak, contohnya: setiap bulan atau waktu
yang telah disepakati.
Bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati diawal dan tercantum dalam akad.

Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah menjadi ciri khusus yang ditawarkan bagi masyarakat, dan
aturan syariah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha haruslah ditentukan pada awal terjadinya
akad. Besarnya porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan
harus terjadi dengan kerelaan (An-Tarodhin) oleh masing-masing pihak dan tidak ada unsur paksaan
(Bakhrul: 2006)

2. Konsep Bagi Hasil

Konsep bagi hasil sangat berbeda dengan konsep bunga yang diterapkan oleh sistem ekonomi
konvensional. Dalam ekonomi syariah, konsep bagi hasil dijabarkan sebagai berikut:

Pihak pemilik dana menanamkan dananya melalui institusi keuangan yang bertindak sebagai pengelola
dana.

Pihak pengelola mengelola dana-dana tersebut dalam sistem yang dikenal dengan sistem pool of fund
(penghimpunan dana), selanjutnya pengelola akan menginvestasikan dana tersebut dalam proyek atau
usaha-usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi semua aspek syariah.

Kedua belah pihak membuat akad yang berisi ruang lingkup kerjasama, jumlah nominal dana, nisbah, dan
jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.

Sumber dana terdiri dari: 1. Simpanan (tabungan dan simpanan berjangka), 2. Modal (simpanan pokok,
simpanan wajib, dana lain-lain), dan 3. Hutang pihak lain.

3. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil


Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan
dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada
penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan
kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.

Musyarakah (Joint Venture Profit dan Loss Sharing); menurut Syafi’i Antonio, Musyarakah merupakan
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan akad. Manan menguraikan, musyarakah adalah hubungan kemitraan antara bank dengan
konsumen untuk suatu masa terbatas pada suatu proyek baik bank maupun konsumen memasukkan modal
dengan perbandingan yang berbeda serta menyetujui laba yang ditetapkan sebelumnya. Sistem ini juga
berdasarkan prinsip mengurangi kemungkinan partisipasi yang menjurus pada kemitraan akhir oleh
konsumen dengan diberikannya hak pada bank kepada mitra usaha untuk membayar kembali saham bank
sekaligus ataupun berangsur-angsur dari sebagian pendapatan bersih operasinya.

Mudharabah (Trustee Profit Sharing); Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah
(perkongsian). Istilah mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah dengan pengertian yang sama.
Mudharabah juga termasuk perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana
pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk
mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian (Sumitro: 2004). Selain itu,
mudharabah juga berarti pernyataan yang berarti bahwa seseorang memberi modal usaha kepada orang
lain dengan tujuan modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak
sesuai perjanjian, sedangkan kerugian akan ditanggung oleh pihak pemilik modal.

Oleh karena itu ada beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang harus diperhatikan
yaitu:

Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha). Pada akad mudharabah, harus minimal ada dua pelaku.
Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal) dan pihak kedua sebagai pelaksana usaha
(mudharib). Pemodal dan pengelola syaratnya harus mampu melakukan transaksi dan secara hukum sah.

Objek mudharabah (modal dan kerja). Ini merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan
oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan berbentuk
uang, sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management
skill dan sebagainya.

Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul). Adanya persetujuan dari kedua belah pihak merupakan
konsekuensi dari prinsip 'an-taraadhim minkum atau sama-sama rela (Q.S. An-Nisa:29). Kedua belah
pihak harus rela bersepakat mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan
perannya untuk mengkontribusikan dana dan Pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan kerja. Syaratnya adalah melafazkan ijab dari yang punya modal dan qabul dari yang
menjalankannya.

Nisbah Keuntungan. Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad
jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima kedua pihak yang bermudharabah.
Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-maal mendapat imbalan atas
penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah perselisihan kedua belah pihak
mengenai cara pembagian keuntungan.

Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan
penyaluran dana adalah:

a) Tabungan Mudharabah. Merupakan simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap
saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.

b) Deposito Mudharabah. Merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan
hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan
mendapat imbalan bagi hasil.

c) Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Adalah sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah
antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan akan
dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah
disepakati (http//www.ifibank.go.id)

B. SISTEM BAGI HASIL DAN PENDAPAT PARA ULAMA

Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan,
yaitu :

Pendekatan profit sharing (bagi laba) ; Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi
keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang
timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).
Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat
diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang
telah dilakukan.

Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan); Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil
uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services)
yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan
besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi
dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Penghitungan menurut pendekatan
ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu
pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Syafi'i Antonio bahwa mudharib tidak
boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun bepergian
(diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan sehingga tidak berhak
mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari
bagian shahibul maal. Sedangkan, untuk profit sharing diterapkan berdasarkan pendapat ulama Abu
hanifah, Malik, Zaidiyah yang menjelaskan bahwa mudharib dapat membelanjakan harta mudharabah
hanya bila perdagangannya itu diperjalanan saja baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian dan
sebagainya. Hambali menegaskan bahwa mudharib boleh menafkahkan sebagian dari harta mudharabah
baik dalam keadaan menetap atau bepergian dengan ijin shahibul maal, tetapi besarnya nafkah yang boleh
digunakan adalah nafkah yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para pedagang dan tidak boros.

C. ANALISIS BAGI HASIL DAN BUNGA BANK

Dalam menganalisa bagi hasil bank syariah, perlu dipahami bahwa prinsip utama yang harus
dikembangkan oleh bank syariah dalam hubungannya dengan manajemen dana yakni Bank Syariah harus
mampu memberikan bagi hasil kepada penyimpan dana, minimal sama dengan atau lebih besar dari suku
bunga yang berlaku di bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah
dibanding bunga yang berlaku pada bank konvensional. Oleh karena itu, manajemen dana bank syariah
perlu dilakukan secara baik guna mencapai hasil keuntungan yang besar, sehingga berimbah pada
peningkatan tabungan nasabah. Disamping pengumpulan dana, yang perlu di analisis selanjutnya adalah
mengenai perbedaan antara bagi hasil dengan bunga bank yang diterapkan pada perbankan konvensional.
Perbedaan tersebut dapat pada tabel berikut:

SISTEM BUNGA SISTEM BAGI HASIL

Pcnentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil


Penentuan bunga dibuat pada saat akad dengan
dibuat pada saat akad dengan berpedoman pada
asumsi bahwa harus selalu untung.
kemungkinan untung dan rugi.

Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah
(modal) yang dipinjamkan. keuntungan yang diperoleh

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan


Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek
tanpa pertimbangan apakah proyek yang
yang dijalankan Bila merugi, kerugian akan
dijalankan oleh pihak nasabah memperoleh
ditanggung bersama.
untung ataukah rugi.

Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat


Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
meskipun jumlah keuntungan berlipat atau
peningkatan jumlah pendapatan
dalam keadaan ekonomi sedang “booming”.

Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama Tidak ada pihak atau agama yang meragukan
termasuk Islam. keabsahan bagi hasil

BAB III PENUTUP

Bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni pembagian hasil usaha
antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (Mudharib). Pada penerapannya prinsip yang
digunakan pada sistem bagi hasil, menggunakan dua macam kontrak kerjasama yaitu akad Musyarakah
dan Mudharabah. Dimana musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
tertentu dimana masing-mating pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Mudharabah
adalah perjanjian antara pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal
bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek
tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan profit sharing (bagi laba)
b. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).

DAFTAR PUSTAKA

Ach. Bakhrul Muchtasib. Konsep Bagi hasil Dalam Perbankan Syariah. 2006.
Akmal Yahya, Profit Distribution, hal. http//www.ifibank.go.id

Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga, 1994.

M. Syafei Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999) Cet.
ke-I.

M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta:Logung Pustaka,2009)

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktik, (Jakarta:Gema Insani, 2011)

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002)

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi hasil di Bank Syariah. ( Yogyakarta, UII Press, 2001)

Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011)

Rachmat Syafei, MA. Fiqh Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia,2001)

Tim Pengembangan Perbankan Syariah, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah,
(Jakarta : Djambatan, 2001)

Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga-Lembaga Terkait..(Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2004)

Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta, PT. Grasindo, 2005)

Anda mungkin juga menyukai