Anda di halaman 1dari 4

DEFISIENSI VITAMIN B12 (KOBALAMIN)

A. FUNGSI VITAMIN B12


Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa
reaksi biologis penting. Koenzim tersebut ada dua
yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-deoxyadenosyl-
cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan tubuh, dan
makanan. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-
methilmalonyl-CoA mutase. Enzim L-methilmalonyl-CoA
mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-
methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Reaksi biokimia yang
menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi
dari lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis
hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin
B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-
CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic
acid oleh suatu enzim hydrolase. Keberadaan methylmalonic acid dalam
darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat merupakan indikator
terjadinya kekurangan vitamin B12. Peran yang kedua dari vitamin B12
sebagai kofaktor untuk enzim methyonine synthase. Enzim ini
membutuhkan methylcobalamin dan tergantung pada folat untuk
mensintesis asam
amino methyonine dari homocysteine. Methyonin dibutuhkan untuk
sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor methyl yang berguna
dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation DNA dan RNA.
Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi pembentukan DNA yang akhirnya
dapat menyebabkan anemia macrocytic megaloblastic(Gibson,2005).
Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati. Total simpanan tubuh pada
subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. Kehilangan vitamin
B12 dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam
empedu. Sebagian besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi
kembali dan dapat digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada
orang dewasa diperkirakan 1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam
tubuh). Jumlah pengeluaran vitamin B12 melalui stool proporsional dari
cadangan tubuh, sehingga perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang
yang kekurangan vitamin B12 misalnya vegetarian dibandingkan dengan
orang yang tidak mempunyai intrinsic factor atau yang mengalami
malabsorbsi (Gibson 2005).
B. DEFISIENSI VITAMIN B12
Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi
enzim yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas
pembentukan methionine synthase dapat meningkatkan level homosistein,
sementara kerusakan aktifitas L- methylmalonyl-CoA mutase menyebabkan
peningkatan metabolit dari methylmalonyl-CoA yang
disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang mengalami defisiensi
vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun level
homosistein dan MMA dalam darah meningkat. Defisiensi vitamin B12
secara klinis menyebabkan kerusakan sistem hematopoitik sama seperti
pada defisiensi asam folat. Macro-ovalocytic erythrocytes sebagai petunjuk
sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan hemoglobin. Pada
keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid (MMA)
pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam folat
(Gibson 2005).
Menurut Byrd-Bredbenner(2013) berikut adalah gangguan akibat
kekurangan vitamin B12 :
1. Anemia makrositik
Ketika kekurangan vitamin B-12 cukup parah sehingga
simpanan tubuh hilang atau hampir hilang, anemia megaloblastik
(makrositik) terjadi. Anemia yang diproduksi pada defisiensi vitamin
B-1.2 identik dengan yang diproduksi pada defisiensi folat. Karena
kekurangan vitamin B-12 merusak metabolisme folat, DNA normal
dan sintesis sel darah merah terganggu, menghasilkan anemia
megaloblastik.
2. Perubahan Neurologis
Kekurangan vitamin B-12 menghasilkan degenerasi saraf pada
beberapa individu, yang bisa berakibat fatal. Komplikasi neurologis
menghasilkan gangguan sensorik di kaki, seperti terbakar, kesemutan,
tusukan, dan mati rasa (secara kolektif disebut paresthesia).
3. Peningkatan Konsentrasi Homocysteine Plasma
Status vitamin B-12, folat, dan vitamin B-6 yang buruk
masing-masing dapat menghasilkan tingkat sirkulasi asam amino
homocysteine yang tinggi
C. PEMERIKSAAN BIOLOGIS
Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan
menggunakan berbagai indikator dan metodepenilaian.Berikut ini
akan diuraikan beberapa indikator dan jenis penilaian status
vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan setiap indikator:
1. Vitamin B12 dalam serum
Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih
beragam pendapat. Menurut Gibson (1990) konsentrasi serum vitamin
B12 pada keadaan normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 –
900 pg/mL (148 – 682 pmol/L). Nilai dibawah 100 pg/mL (74 pmol/L)
selalu menunjukkan keadaan defisiensi vitamin B12 dan dihubungkan
dengan anemia megaloblastik. Sedangkan FAO/WHO tahun 1988,
merekomendasikan penggunaan cut off point di bawah 80 pg/mL (59
pmol/L) untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson (2005) total
vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara
rutin untuk screening defisiensi vitamin B12 karena konsentrasinya
menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam
tubuh, namun sensitifitasnya rendah.
Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan
dengan “microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods”
atau disebut “Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods”
memberi hasil yang lebih tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode
radioisotop sangat sederhana, memerlukan waktu yang singkat, dan
tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau kemoterapetik kanker. Metode
lain yaitu AxSYM System yang merupakan penilaian mikropartikel
enzim intrinsic factor untuk menentukanjumlah vitamin B12dalam
serum atau plasma manusia(Gibson 2005).
2. Vitamin B12 dalam eritrosit
Penilaian eritrosit untuk vitamin B12 mempunyai
keterbatasan, beberapa hasil diperoleh dengan nilai yang tidak
dapat membedakan antara kondisi subyek normal dengan
defisiensi. Selain itu konsentrasi vitamin B12 eritrosit juga
cenderung rendah pada saat terjadi defisiensi folat karena
vitamin B12 berperan penting untuk pemanfaatan folat oleh se-
sel darah merah. Dengan demikian vitamin B12 dalam eritrosit
kurang spesifik (Gibson 2005).
3. Methylmalonic acid (MMA)
Peningkatan konsentrasi methylmalonic acid dalam serum atau
plasma merupakan indikator awal terjadinya defisiensi vitamin B12.
Pengukuran serum MMA telah berhasil mengidentifikasi subyek
dengan defisiensi vitamin B12, bahkan dengan defisiensi subklinik.
Pengukuran MMA lebih sensitif untuk mengukur defisiensi vitamin B12
dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi vitamin B12 serum.
Methylmalonic acid (MMA) dapat diukur dengan metode
gabungan “gas- chromatography mass-spectrometry” dalam serum dan
urin (Gibson 2005). Metode ini sangat sensitif dan reliabel untuk
mengukur methylmalonic acid dalam urin. Namun, tehnik
mengukurannya agak sulit dan waktunya lama karena memerlukan
sampel urin selama 24 jam. Sedangkan sampel urin sesaat dapat
digunakan untuk keperluan screening. Pada kondisi normal 1,5 sampai
2 mg mehyilmalonic acid yang dikeluarkan melalui urin per 24 jam,
sedangkan bila terjadi defisiensi vitamin B12 dapat mencapai 300 mg
per 24 jam. Konsentrasi MMA serum dikategorikan normal bila
konsentrasi MMA serum < 638 nmol/L, kadar MMA serum  638
nmol/L dikategorikan defisiensi vitamin B12(Gibson, 2005).
4. Homocysteine
Kadar homocysteine plasma kurang spesifik sebagai indikator
defisiensi vitamin B12. Konsentrasi
total homocysteine plasma dapatdiukur dengan “fluorescent atau electri
chemical detection”,prosedur “enzymatic” atau dengan metode
“capillary gas chromatography mass spectrometry” (Gibson 2005).
5. Deoxyuridine suppression test (DxdUST)
Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi defisiensi
vitamin B12 dan/atau folat. Dalam penilaian ini, sum-sum
tulang, lymposit darah periperal, atau sampel darah
keseluruhan dari individu dipreinkubasi dalam tes tube dengan
nonradioaktif deoxyuridine dan kemudian dengan prekursor
radioaktif DNA (Gibson 2005).
Penilaian dengan Deoxyuridine suppression test
ini telah digunakan dalam beberapa penelitian. Namun
prosedurnya agak sedikit lambat dan membosankan untuk
dilakukan, tidak praktis dan tidak reliable untuk digunakan
secara luas (Gibson 2005).
6. Schilling test
Bila defisiensi vitamin B12 telah didiagnosa, hal yang
penting diketahui adalah apakah penyebabnya gangguan
penyerapan. Hal ini dapat diperoleh dengan menentukan
absorbsi pemberian dosis rendah secara oral (0,5 – 2 μg) dalam
keadaan puasa, dengan mengukur pengeluaran dari urin.
Prosedur ini disebut dengan “Schilling test”. Namun schilling
test mempunyai beberapa kelemahan antara lain tes ini tidak
mempunyai standar yang baik diantara laboratorium; waktu
yang diperlukan cukup lama sejak diberi dosis oral sampai
dikeluarkan melalui urin, level isotop dosis, dan lamanya
pengumpulan urin (Gibson 2005).

DAFTAR PUSTAKA
Byrd-Bredbenner, C, et al., 2013. Wardlaw's Perspective in
Nutrition Ninth Edition. New York : Mc Graw Hill.
Gibson, SR. 1990. Principles of Nutritional Assesment. New York : Oxford
University Press.
Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment 2 edition. New
York : Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai