Anda di halaman 1dari 16

PENYEBAB TIMBULNYA RASA MALAS BELAJAR PADA REMAJA

YANG BERPENGARUH TERHADAP PRESTASI AKADEMIK

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknik Penulisan Karya Ilmiah
Pada Program Studi Akhwal Al-Asyakhsiyyah Fakultas Syariah IAIN Manado

Oleh

INDAH FIDYANTHI AMALIA MOOPIO


NIM.19.1.1.020

Dosen Pengampu
ADRIANDI KASIM, S.HI., M.H.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

MANADO

2019
Daftar Isi

Daftar Isi ............................................................................................................................. i


BAB I Pendahuluan .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan ......................................................................................................... 3
A. Pengertian Belajar ...................................................................................................... 3
B. Teori Belajar............................................................................................................... 3
C. Rasa Malas Belajar ..................................................................................................... 5
D. Faktor – faktor yang mempengaruhi belajar .............................................................. 5
E. Faktor-faktor penyebab malas belajar ........................................................................ 6
F. Dampak dari Rasa Malas Belajar................................................................................ 8
BAB III Penutup ............................................................................................................. 13
Kesimpulan ................................................................................................................... 13
Daftar Pustaka ................................................................................................................ 14

i
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Dalam hidup ini, sesungguhnya manusia selalu belajar. Belajar, bukan saja
melibatkan penguasaan kemampuan akademik semata, tetapi melibatkan emosi,
interaksi sosial, dan perkembangan kepribadian. Para ahli memberikan definisi
yang beragam pada kata “belajar”. Belajar (learning) menurut Hilgard dan Bower
adalah perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang
disebabkan oleh pengalamannya secara berulang-ulang dalam situasi itu, di mana
perubahan dalam tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan
respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang
(misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya). Dengan demikian, kata
kunci dari belajar adalah perubahan, baik secara kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Perubahan itu ada karena individu melakukan latihan dan
pengalaman. Memang belajar adalah aktivitas yang kompleks dan tidak bisa
diamati secara instan. Ada anak yang kelihatannya konsentrasi menyimak
pelajaran, tetapi setelah diberi pertanyaan dia tidak mengerti materi yang baru
disampaikan guru. Sesungguhnya ia belum atau tidak belajar.1

Aktivitas belajar bagi setiap individu tidak selalu dapat berlangsung secara
wajar. Hal ini seringkali dialami oleh anak atau remaja yang sedang menempuh
pendidikan formal. Keberhasilan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-
faktor yang memengaruhi belajar antara lain faktor kesehatan, kecerdasan, bakat,
minat, kematangan, motivasi, kelelahan, sikap, perhatian, guru, orang tua, teman,
dan keadaan lingkungan. Apabila faktor-faktor tersebut tidak tidak berperan
secara positif memungkinkan anak akan menolak bahkan menentang untuk
belajar. Perilaku seperti menolak atau enggan belajar sering disebut dengan malas
belajar.2

Belajar di pendidikan formal memakan waktu yang tidak sebentar. Hal ini
seringkali mendatangkan rasa jenuh dan malas belajar. yang akan membawa
pengaruh terhadap kehidupan psikis. Kejenuhan belajar dapat timbul baik dalam
diri remaja itu sendiri maupun dari luar diri . Dari dalam diri sendiri misalnya rasa
bosan dan kurangnya motivasi diri. Remaja belum dapat menanamkan dalam
dirinya bahwa belajar itu suatu yang menyenangkan. Belajar masih dianggap

1
Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, jurnal at-ta’dib, No. 2/Vol.
4, sya’ban 1429, h. 130
2
Megayanti, ”Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Siswa Malas Belajar Pada Kelas V”,
Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, No. 30/Vol. 5, h. 2.848

1
2

suatu beban dan kewajiban, sehingga belajar menjadi sesuatu yang


membosankan.3

Dalam hal ini, malas belajar ditunjukkan terjadi lantaran tidak memiliki
motivasi untuk melakukan tugas. Perilaku tersebut muncul karena dibenaknya
tertanam persepsi yang salah terhadap tugas yang diberikan. Misalnya belajar itu
melelahkan atau tak ada gunanya. Persepsi semacam itu bisa terjadi kalau
lingkungan sekitar yang ada kurang tertanam budaya belajar “Motivasi
dipengaruhi oleh suatu sikap yang terdapat dalam diri orang itu. Sikap itu timbul
lantaran adanya persepsi atau pemberian makna terhadap suatu objek atau
peristiwa. Persepsi atau pemberian makna tersebut ditentukan oleh suatu sistem
nilai, yani suatu patokan untuk berperilaku yang berlaku pada suatu lingkungan
tertentu4

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat pada makalah ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan belajar, dan bagaimana penjelasan tentang


teori belajar?
2. Apa yang dimaksud dengan rasa malas belajar?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan penyebab rasa
malas belajar?
4. Bagaimana penjelasan tentang dampak dari rasa malas belajar?

3
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar Mahasiswa Di
Lingkungan Kampus Universitas Trunojoyo Madura” , Kompetensi, No. 2/Vol. 12, Oktober 2018,
h. 282
4
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 288
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Belajar
Belajar adalah “suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai
hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan5 Dalam
proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan inti. “Secara psikologis belajar
dapat diartikan sebagai proses memperoleh perubahan tingkah laku (baik dalam
kognitif, afektif, maupun psikomotor) untuk memperoleh respons yang diperlukan
dalam interaksi dengan lingkungan secara efisien”6

B. Teori Belajar
1. Classsical Conditioning
Ivan Petrovich Pavlov adalah tokoh dari teori ini. Eksperimentasinya
adalah seekor anjing dibedah, sehingga kelenjar ludahnya berada di luar
pipinya dimasukkan di kamar yang gelap. Hal ini dimaksudkan untuk
mengukur dengan teliti air liur (saliva) yang keluar sebagai respon ketika
ada rangsangan makanan ke mulutnya. Setelah percobaan diulang berkali-
kali, ternyata saliva telah keluar sebelum makanan telah sampai ke
mulutnya, yaitu ketika melihat piring makanan, pada waktu melihat orang
yang biasa memberi makanan, dan bahkan waktu mendengar langkah orang
yang memberi makanan. Makanan merupakan perangsang alami bagi
refleks keluarnya saliva. Sedangkan piring dan suara langkah kaki
merupakan perangsang yang bukan sewajarnya.

Dari hasil tersebut Pavlov berkesimpulan bahwa gerakan-gerakan


refleks dapat dipelajari dan bisa berubah karena latihan. Clasical
Conditioning adalah sebuah teori tentang penciptaan refleks baru. Jadi,
apabila stimulus yang diadakan kemudian disertai dengan stimulus penguat,
maka stimulus tadi cepat atau lambat akan menimbulkan respon. Teori ini
memiliki kelemahan antara lain belajar dalam teori classical conditioning
seolah-olah bisa diamati secara langsung, padahal belajar merupakan proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali hanya
gejalanya saja. Selain itu, teori ini terkesan sangat mekanistis seperti
kegiatan mesin dan robot, padahal tiap individu memiliki self direction dan
self control untuk menolak atau merespon sesuatu. Kritik selanjutnya

5
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 284
6
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 286

3
4

terhadap teori ini adalah proses belajar manusia tidak bisa


dianalogikan dengan perilaku hewan, karena ada perbedaan tajam antara
keduanya.7

2. Cognitive Learning
Tokohnya adalah Edward Tolman Calche. Pada tahun 1932 ia
melakukan eksperimen pada tikus. Dalam percobaan tersebut tikus
mempelajari jalan melalui lorong yang berliku dan kompleks dalam
pandangannya. Tikus yang berlari melalui lorong yang berliku tidak
mempelajari urutan belok kiri atau kanan, tetapi mengembangkan suatu peta
kognitif. Ia membagi tikus kepada dua kelompok. Kelompok pertama, tikus
dibiarkan terlebih dahulu mengeksplorasi lorong tanpa adanya penguat
seperti makanan. Dan kelompok kedua tikus yang tidak mengeksplorasi
lorong. Kepada masing-masing kelompok tikus diberi penguat makanan
dengan cara tikus harus menemukan jalan untuk mendapatkan makanan
tersebut. Dari percobaan tersebut ternyata kelompok tikus pertama berlari
lebih cepat dibanding dengan kelompok kedua karena tikus kelompok
pertama telah mempelajari lay out lorong selama eksplorasi, dan peta
kognitif ini membantu proses belajar melewati jalan spesifik jika makanan
diberikan. Tolman mengemukakan bahwa belajar menurut pendekatan
classical conditioning semata-mata dipengaruhi oleh peristiwa eksternal
atau lingkungan satu stimulus secara konsisten diikuti oleh stimulus lain dan
kemudian organisme mengasosiasikannya. Jadi menurut teori ini, tingkah
laku manusia yang nampak tidak dapat diukur tanpa melibatkan proses
mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain-lain.8

3. Teori Belajar Sosial


Teori ini sering disebut dengan teori belajar pengamatan. Tokoh
utamanya Albert Bandura. Bandura berpendapat bahwa tingkah laku
manusia bukan semata-mata refleks otomatis terhadap stimulus, melainkan
juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Lebih lanjut menurutnya
manusia belajar melalui proses peniruan (imitation) dan penyajian contoh
(modelling). Teori belajar sosial menekankan pembiasaan pada proses
respon dan peniruan dalam hal perkembangan sosial dan moral anak didik.
Prinsip pembiasaan dalam perilaku sosial dan moral yang lazim adalah
memberikan reward and punishement. Jadi, anak didik bisa membedakan
tingkah laku yang menghasilkan ganjaran atau hukuman, sehingga ia dapat
memilih tingkah laku mana yang baik dan buruk, sekaligus konsekuensinya.

7
Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, h. 131
8
Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, h. 131-132
5

Prinsip peniruan atau modelling mengharuskan orang tua para guru dan
tokoh masyarakat memberi contoh teladan yang baik agar anak didik dapat
meniru dengan baik9

C. Rasa Malas Belajar


Malas adalah “tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu. Malas juga
berarti segan, tidak suka, tidak bernafsu”. Malas belajar “berarti tidak mau,
enggan, tak suka, dan tak bernafsu untuk belajar”. “Malas adalah kebiasaan yang
dipelajari dan dibentuk oleh kondisi lingkungan dan orang-orang sekitarnya”.
“Sifat malas adalah akibat ketidakmampuan mengelola waktu dan tiadanya
disiplin diri, bukan sifat bawaan. Oleh sebab itu, agar sifat malas ini tidak
terbentuk, perlu dibiasakan untuk menghargai waktu dan disiplin. Jepang dan
Cina bisa menjadi negara yang maju pesat karena manusianya dikenal memiliki
sifat gigih, tekun, dan pekerja keras. Psikologi LPT UNIKA Soegijapranata
Semarang, Drs. Haryo Goeritno, Msi, (2009) seperti yang dikutip oleh Imam
Musbikin mengatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada karakter khusus yang
dapat dijadikan patokan sifat malas atau tidak karena malas bersifat sementara.
Umumnya, sifat malas senantiasa dibandingkan antara kegiatan yang biasanya
dilakukan dengan kegiatan yang tengah dilakukan saat itu. Karenanya, ukuran
malas tergantung pada aktivitas orang-orang yang ada disekitarnya”. Setiap orang
bisa berperilaku malas terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan karena tidak
memiliki motivasi untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan itu10

D. Faktor – faktor yang mempengaruhi belajar


1. Faktor-faktor non sosial dalam belajar
Kelompok faktor-faktor ini boleh dikatakan juga tak terbilang
jumlahnya, seperti misalnya: keadaan udara, suhu ucara, cuaca, waktu (pagi,
siang, ataupun malam), tempat (letaknya, pergedungannya), alat-alat yang
dipakai untuk belajar Faktor tersebut harus diatur sedemikian rupa agar
dapat membantu proses belajar secara maksimal.

2. Faktor-faktor sosial dalam belajar


Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor sosial di sini adalah faktor
manusia (sesama manusia), baik manusia itu ada (hadir) maupun
kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir. Kehadiran
orang lain pada waktu seseorang sedang belajar, banyak mengganggu
belajar”. Misalkan kalau satu kelas sedang mengikuti kuliah, lalu terdengar
banyak mahasiswa lain bercakap-cakap di samping kelas. Faktor-faktor
sosial tersebut pada umumnya bersifat mengganggu proses belajar.

9
Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, h. 132-133
10
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 287
6

3. Faktor-faktor fisiologis dalam belajar


Keadaan jasmani pada umumnya ini dapat dikatakan melatar
belakangi aktivitas belajar, keadaan jasmani yang kurang segar, keadaan
jasmani yang lelah lain pengaruhnya daripada yang tidak lelah”. Nutrisi
harus cukup karena kekurangan kadar makanan akan mengakibatkan malas
belajar, kelesuan, lekas mengantuk, lekas lelah.
4. Faktor-faktor psikologi dalam belajar
Arden N. Frandsen (2004), seperti yang dikutip oleh Sumadi
Suryabrata mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang untuk belajar
itu adalah sebagai berikut:
a. Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas
b. Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk
selalu maju
c. Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru,
dan teman-teman.
d. Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun dengan kompetisi
e. Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai
pelajaran.
f. Adanya ganjaran atau hukum sebagai akhir dari pada belajar11

E. Faktor-faktor penyebab malas belajar


Remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal (yang bersumber
dari dalam diri sendiri) maupun eksternal (yang bersumber dari luar atau
lingkungan).
1. Faktor internal
Ada beberapa faktor yang harus dipenuhi agar berhasil dalam
belajar. Syarat-syarat itu meliputi fisik dan psikis. Yang termasuk faktor
fisik, diantaranya: nutrisi (gizi makanan), kesehatan dan keberfungsian fisik
(terutama pancaindra). Kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan kelesuan,
lekas mengantuk, lekas lelah, dan kurang bisa konsentrasi. Penyakit juga
bisa mempengaruhi keberhasilan belajar, oleh karena itu, pemeliharaan yang
intensif sangat penting bagi individu. Sementara yang termasuk faktor psikis
di antaranya adalah kecerdasan, motivasi, minat, sikap, dan kebiasaan
belajar, dan suasana emosi”. Apabila kedua faktor tersebut tidak terpenuhi
atau mengalami gangguan, maka kemungkinan besar mahasiswa akan
mengalami malas dalam belajar.

11
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 289-291
7

2. Faktor eksternal
Faktor ini meliputi aspek-aspek sosial dan nonsosial. Yang dimaksud
dengan faktor sosial adalah faktor manusia. Sedangkan yang termasuk
faktor non sosial adalah keadaan suhu udara (panas, dingin) waktu (pagi,
siang, malam), suasana lingkungan (sepi, bising, ramai), keadaan tempat
(kualitas gedung, luas ruangan, kebersihan, dan ventilasi), kelengkapan alat-
alat atau fasilitas belajar (alat peraga, bukubuku sumber, dan media
komunikasi belajar lainnya)”. Jadi jelas dalam kegiatan belajar ini banyak
masalah-masalah yang timbul terutama yang dirasakan oleh remaja
sendiri.12

Perubahan fisik biologis turut serta berperan aktif memberi pengaruh


terhadap perilaku remaja. Pada masa ini, mereka mengalami perubahan
dramatis pada organ reproduksi, seperti munculnya menstruasi bagi remaja
putri, serta munculnya jakun dan tumbuhnya kumis bagi remaja laki-laki.
Pada usia ini, secara fisik ada penambahan pada tinggi dan berat badan,
tetapi perkembangan reproduksinya lebih dominan. Hal ini dipengaruhi
kegiatan kelenjar dan hormonal. Kelenjar dan hormon yang mengontrol
pertumbuhan tulang dan otot tidak sama dengan kelenjar dan hormon yang
mengatur fungsi reproduksi. Perkembangan sistem tulang dan otot bersama
dengan organ lain dikendalikan oleh kelenjar pituitari dan tiroid. Sedangkan
organ reproduksi diatur oleh hormon seks (androgen dan estrogen) yang
menunjukkan peningkatan kegiatan yang tajam pada awal masa remaja.13

Androgen adalah jenis utama hormon seks laki-laki. Estrogen adalah


jenis utama hormon wanita. Baru-baru ini para peneliti menemukan jenis
androgen dan estrogen tertentu yang meningkat kuat selama masa remaja
(pubertas). Remaja laki-laki sangat dipengaruhi oleh hormon testosteron,
yaitu jenis androgen yang berperan penting pada perkembangan pubertas
laki-laki. sedangkan remaja perempuan atau gadis, dipenuhi oleh hormon
estradiol. Dengan meningkatnya kadar estradiol, terjadilah perkembangan
payudara, rahim dan perubahan tulang pada kerangka tubuh. Hormon-
hormon tersebut menyebabkan munculnya dorongan seksual. Dan aspek
psikologis yang muncul dari perubahan fisik tersebut, seperti yang sudah
dijelaskan di muka, menyebabkan mereka amat memperhatikan tubuh dan
membangun citranya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka. Remaja
putri seringkali menjadi lebih tidak puas dengan keadaan tubuhnya. Perilaku
yang muncul kemudian adalah bersolek untuk menarik perhatian, saling
taksir. Perhatian yang berlebihan pada faktor fisik ini, sangat mungkin

12
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 291-292
13
Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, h. 135-136
8

memengaruhi minat dan motivasi belajar remaja. Perubahan dramatis


struktur tubuh, emosi, dan perilaku di usia ini seharusnya disikapi orang tua,
guru, dan pembimbing secara bijak, dan memberikan pemahaman yang utuh
tentang perilaku positif yang seharusnya mereka pilih. Sedangkan faktor
dari luar (faktor eksternal) penyebab malas, tidak kalah besar pengaruhnya
terhadap kondisi anak dan remaja. Mengenai faktor eksternal, dapat kita
lihat dari kaca mata teori teori Brofenbrenner yang berparadigma
lingkungan (ekologi). Teori ini menyatakan bahwa perilaku seseorang
(termasuk perilaku malas belajar pada anak) tidak berdiri sendiri, melainkan
merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan
lingkungan di luarnya. Adapun lingkungan di luar diri individu, oleh
Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis.

a. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak,


yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru,
teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang
sehari-hari ditemui oleh anak.
b. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem
mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman,
guruteman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.
c. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut
sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung
menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti
keluarga besar, dokter, koran, televisi dsb.
d. Lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari
ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya
dsb.14
Sebagai konsekuensinya, bahwa manusia wajib mengadakan
adaptasi dengan dunia baru ini yang penuh dengan liku-liku dan seluk
beluknya serta resiko, terutama adaptasi pola berpikir, belajar, berkreasi,
bertindak dalam kehidupan. Ini memerlukan kesadaran dari remaja bahwa ia
berada di antara berbagai ragam problema secara sendirian. Sejalan dengan
perubahan dalam masyarakatnya, remaja juga mengalami pancaroba dalam
dirinya menuju taraf kedewasaannya. Untuk menjawab tantangan ini
dibutuhkan suatu sikap mental yang tangguh dan serasi dengan tuntutan
hidup di dunia ini. 15

F. Dampak dari Rasa Malas Belajar

14
Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, h. 136-137
15
Mei Mita Bella, Luluk Widya Ratna, “Perilaku Malas Belajar”, h. 288-289
9

1. Kecurangan Akademik
Masalah kecurangan akademik memang menjadi masalah yang
cukup meresahkan di dunia pendidikan saat ini. Bahkan universitas
terkemuka di dunia Universitas Harvard didera oleh masalah pencontekan
massal yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswanya beberapa waktu yang
lalu. Harvard yang dikenal sebagai universitas nomor wahid dengan seleksi
masuk yang sangat ketat, dan sistem pendidikan yang diakui kualitasnya
ternyata juga mengalami masalah yang berkaitan dengan kecurangan
akademik.16
Kecurangan akademik yang telah terjadi tentu memberikan dampak
negatif pada pendidikan itu sendiri. Secara personal, remaja yang
melakukan kecurangan akademik akan mendapatkan sanksi atas
perilakunya mulai dari tahap peringatan sampai dengan dikeluarkan dari
institusi. Hal ini tentu akan mempengaruhi masa depan mahasiswa itu
sendiri. Bagi institusi, ketika dalam proses pendidikan terdapat banyak
kecurangan akademik yang terjadi tentu akan berpengaruh pada kualitas
pendidikan yang akan menjadi semakin menurun. Lebih jauh lagi, remaja
sebagai generasi penerus yang akan menjadi calon pemimpin di masa depan,
jika mereka terbiasa melakukan kecurangan dan hanya berorientasi pada
nilai atau angka, maka dapat dibayangkan pemimpin seperti apa yang akan
meneruskan pembangunan bangsa. Dalam jangka panjang jika kecurangan
akademik dibiarkan berlangsung maka akan lahir pemimpin-pemimpin yang
tidak memiliki integritas kepribadian yang baik. 17

Secara umum, kontrol diri, efikasi diri akademik dan prestasi


akademik secara bersamaan memberikan kontribusi terhadap perilaku
kecurangan akademik walaupun kontribusinya tidak terlalu besar.
Selanjutnya, prestasi yang dimiliki oleh seorang remaja juga berperan kecil
dalam perilaku kecurangan akademik. Terdapat faktor-faktor yang lain yang
juga berperan dalam perilaku kecurangan akademik yang dilakukan oleh
remaja diantaranya persepsi terhadap hukuman atas kecurangan yang
dilakukan. Sesuai dengan temuan penelitian bahwa sejumlah 35% subjek
mengatakan bahwa mereka akan melakukan kecurangan akademik jika tidak
ada hukuman dan 17% melakukan kecurangan akademik jika kelulusan
mereka tidak tergantung terhadap kecurangan yang mereka lakukan
tersebut. Temuan ini sesuai dengan teori Deterrence Theory yang
menyatakan bahwa semakin tinggi hukuman yang didapatkan karena

16
Farah aulia, ” Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kecurangan Akademik Pada
Mahasiswa”, Jurnal RAP UNP, No. 1/Vol. 6, Mei 2015, h. 24
17
Farah aulia,” Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kecurangan Akademik Pada
Mahasiswa”, h. 25
10

perilaku melanggar aturan akan mengurangi jumlah individu yang


melakukan tindakan pelanggaran. Terkait dengan kecurangan yang dilihat
atau yang dilakukan sendiri, remaja berusaha untuk melakukan rasionalisasi
dan justifikasi terhadap perilaku curangnya tersebut dengan memberikan
berbagai macam alasan. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah karena
ingin mendapatkan nilai yang baik, kurang belajar, kurang memahami
materi, rasa malas, waktu belajar yang terbatas, guru yang kurang mampu
menjelaskan materi dengan baik, dan dalam kondisi yang kurang fit untuk
belajar. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haines
(dalam Pulvers and Diekhoff, 1999) bahwa pelaku kecurangan akademik
secara signifikan lebih menyukai menetralisasi perilaku mencontek
dibandingkan dengan bukan pelaku kecurangan. Sikap melakukan
netralisasi dapat mendorong seseorang menggunakan strategi untuk
menyakini bahwa kecurangan bukan kesalahan dan bahkan menerima
aktivitas kecurangan tersebut dalam kondisi tertentu .18

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 skala yaitu
Kecurangan Akademik, Kontrol Diri dan Efikasi Diri Akademik. Untuk
prestasi akademik dilihat dari IPK terakhir yang didapatkan oleh
mahasiswa. Atau hasil rapor pada siswa. Kecurangan akademik
didefinisikan sebagai bentuk perilaku mencontek dan plagiarisme yang
melibatkan remaja memberi atau menerima bantuan yang tidak sah dalam
ujian akademik atau mengumpulkan tugas yang tidak dibuatnya sendiri.
Kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk mengesampingkan atau
merubah respons internalnya, menghentikan kecendrungan perilaku yang
tidak dinginkan dan berusaha untuk mengendalikan perilakunya. Efikasi diri
akademik adalah keyakinan remaja akan kemampuannya bahwa ia akan
berhasil dalam tugas-tugas, perkuliahan dan aktivitas-aktivitas yang
berkaitan dengan akademik19

2. School Refusal
Bagi anak-anak dan remaja usia sekolah, merupakan kehidupan
sehari-hari yang harus mereka lalui sebagaimana orang dewasa melewatkan
kehidupannya dengan bekerja dan berkeluarga. Namun demikian ada anak-
anak yang merasa terganggu, tidak nyaman, dan tak dapat menyesuaikan
diri dengan kehidupan bersekolah. Beberapa anak dan remaja Klien Unit
Psikologi (UKP) mengeluhkan bahwa saat berangkat sekolah di pagi hari

18
Farah aulia, ” Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kecurangan Akademik Pada
Mahasiswa”, h. 29-30
19
Farah aulia, ” Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kecurangan Akademik Pada
Mahasiswa”, h. 26
11

ini merupakan saat- saat yang sulit bagi mereka. Di antara mereka
bahkan mengalami keluhan fisik seperti sakit kepala, sakit perut diare, mual,
muntah, dan sebagainya. Pada kasus lain, setiap pagi anak berangkat ke
sekolah seperti biasa, tetapi kemudia orangtua mereka mendapat laporan
dari sekolah bahwa anaknya telah absen dari sekolah selama seminggu.
Istilah “mogok sekolah” dalam penelitian ini diambil dari istilah
yang biasa digunakan orangtua untuk mengutarakan permasalahan anaknya
dalam literatur ada berbagai istilah yang berhubungan di antaranya school
refusal, school phobia, school avoidance, dan truancy. Keempat istilah itu
mengacu pada kecenderungan seseorang untuk menghindari sekolah.
Pengertian school refusal, school phobia, school avoidance, dan truancy
seringkali dipertukarkan karena mengandung unsur-unsur yang saling
tumpang tindih, sedangkan pengertian truancy sama sekali berbeda.
Truancy mengacu pada penghindaran sekolah yang berasosiasi dengan
kenakalan anak dan ketidaktarikan terhadap kegiatan sekolah. Anak yang
disebut truant tidak mengikuti sekolah lebih karena alas an-alasan seperti
malas, tidak mau mengikuti aturan-aturan di sekolah, atau lebih menyukai
aktivitas lain seperti main games, atau seperti yang terjadi pada anak-anal
jalanan di Indonesia, mereka lebih suka unutk berkeliaran di jalanan.
Mereka tidak mempunyai rasa bersalah yang berarti dengan meninggalkan
sekolah (Kearney, 2001). 20
Berbeda dari mereka, anak dengan kasus yang diistilahkan sebagai
school refusal atau school phobia menghindari sekolah karena adanya
tekanan emosi, perasaan takut dan cemas menghadapi sekolah. Mereka
biasanya merasa bersalah dengan meninggalkan sekolah dan rasa bersalah
ini membuat mereka semakin tertekan.
Anak usia sekolah dapat disebut mengalami school refusal jika:
a. Ia sama sekali meninggalkan sekolah (absen terus menerus)
b. Ia masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam
sekolah usai
c. Ia mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang
pergi ke sekolah, misalnya mengamuk.
d. ia pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan di sekolah
berulang kali mengalami masalah (misalnya pusing ke toilet, berkeringat
dingin)21

20
Sutarimah Ampuni, Budi Andayani, “ Memahami Anak Dan Remaja Dengan Kasus
Mogok Sekolah : Gejala, Penyebab, Struktur Kepribadian, Profil Keluarga, Dan Keberhasilan
Penanganan”, Jurnal Psikologi, No. 1/Vol. 34, h. 55-56
21
Sutarimah Ampuni, Budi Andayani, “ Memahami Anak Dan Remaja Dengan Kasus
Mogok Sekolah”, h. 57
12

secara umum penyebab terjadinya school refusal :

1) untuk menghindari objek-objek atau situasi yang berhubungan dengan


sekolah yang mendatangkan distress
2) untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan rasa tidak nyaman
baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan akademik
3) untuk mencari perhatian di luar sekolah
4) untuk mengejar kesenangan di luar sekolah
Durlak (1992) menyatakan adanya emosional distress yang yang
dialami anak dengan school refusal ini, yang ditandai dengan rasa takut
yang kurang beralasan jika harus pergi ke sekolah. Munculnya school
refusal biasanya dikaitkan dengan faktor keluarga. Terjadinya school refusal
pada anak telah ditemukan berhubungan dengan berbagai pola interaksi
yang kurang sehat dalam keluarga, misalnya adanya ketergantungan yang
berlebihan antara anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah
pembagian peran dalam keluarga. Anak-anak biasanya mengalami school
refusal biasanya juga menunjukkan tipe kepribadian yang khas, mereka
cenderung mempunyai kepribadian yang sensitive, peka terhadap kritik dan
evaluasi. Mereka kurang bisa mengelola emosi, mereka juga perfeksionis
yang menunjukkan perhatian berlebihan tentang performa akademik.
Tritmen pada anak-anak yang mengalami school refusal harus
ditunjukan untuk mengembalikan mereka ke sekolah seawall mungkin.
Tritmen yang efektif sebaiknya segera dilakukan utnuk mencegah
permasalahan-permasalahan yang akan timbul di kemudian hari, sehingga
school phobia harus ditangani sedini mungkin. meliputi, edukasi dan
konsultasi, pendekatan perilaku, intefensi yang melibatkan keluarga dan
orang terdekat22

22
Sutarimah Ampuni, Budi Andayani, “ Memahami Anak Dan Remaja Dengan Kasus
Mogok Sekolah”, h. 58
BAB III

Penutup

Kesimpulan
Belajar merupakan suatu proses perubahan baik dari segi pengetahuan
maupun perilaku, yang berdasarkan dari pengalaman individu itu sendiri. Belajar
tidak hanya melibatkan kemampuan akademik tetapi juga secara emosional ikut
dalam perubahan ini. Dalam proses belajar, ada beberapa teori yang dipaparkan
oleh para ahli beberapa di antaranya yaitu, Classsical Conditioning, Cognitive
Learning dan teori belajar sosial. Ketiga teori ini mewakili beberapa proses
belajar yang sering dilakukan anak maupun remaja saat ini.

Rasa malas belajar, terjadi karena tidak adanya motivasi yang kuat dalam
diri remaja itu sendiri dalam hal pembelajaran. Karena itu perlu adanya pemberian
persepsi sedini mungkin dari orang terdekat terkait menghindari rasa malas, dan
belajar disiplin dan menghargai waktu.

Ada banyak faktor-faktor terkait dengan belajar yaitu, terbagi atas faktor
sosial dan non sosial, faktor fisiologis dan psikologis dalam belajar. Juga dalam
penyebab dari rasa malas secara garis besar yang paling berpengaruh adalah faktor
internal dan eksternal dari remaja juga pengaruh lingkungan dan orang terdekat
baik orang tua maupun teman.

Dampak dari rasa malas belajar pada umumnya akan menimbulkan kasus
yang marak terjadi contohnya yaitu, timbulnya kecurangan akademik pada remaja
yang sangat memberikan pengaruh negatif bagi remaja tersebut dikemudian hari,
juga timbunya istilah school refusal atau “mogok sekolah” yang berdasar pada
rasa malas yang timbul pada remaja itu sendiri, dengan penjelasan mengenai
dampak rasa malas belajar ini maka perlu adanya bimbingan dari pihak-pihak
terdekat dari remaja itu sendiri.

13
Daftar Pustaka
Farah aulia, ” Faktor-Faktor Yang Terkait Dengan Kecurangan Akademik Pada
Mahasiswa”, Jurnal RAP UNP, No. 1/Vol. 6, Mei 2015

Megayanti, ”Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Siswa Malas Belajar Pada Kelas


V”, Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, No. 30/Vol. 5, 2016

Mei mita bella, luluk widya ratna, “Perilaku Malas Belajar Mahasiswa Di
Lingkungan Kampus Universitas Trunojoyo Madura” , Kompetensi, No.
2/Vol. 12, Oktober 2018

Rahmah maulidia, ” Problem Malas Belajar Pada Remaja”, jurnal at-ta’dib, No.
2/Vol. 4, sya’ban 1429.

Sutarimah Ampuni, Budi Andayani, “ Memahami Anak Dan Remaja Dengan


Kasus Mogok Sekolah : Gejala, Penyebab, Struktur Kepribadian, Profil
Keluarga, Dan Keberhasilan Penanganan”, Jurnal Psikologi, No. 1/Vol.
34, 2007

14

Anda mungkin juga menyukai