Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN PESERTA DIDIK

“ASPEK BELAJAR DAN HAMBATAN DALAM BELAJAR”

Disusun oleh :

 Elva Fatimatul.Z 2282150027


 Diah Nurma Asih 2282150012
 Sintia Mardita 2282150018
 Siti Waroh 2282150024

PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
BANTEN 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan nikmat
Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat serta salam marilah kita
curahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW.

Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dalam penyusunan
makalah Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Peserta Didik ini, yang berjudul “ASPEK
BELAJAR DAN HAMBATAN DALAM BELAJAR”. Penyusunan makalah ini salah satunya
bertujuan memberi informasi dan pengetahuan kepada teman-teman serta kepada pembaca
sekalian tentang aspek aspek dalam belajar serta hambatan yang terjadi dalam proses
pembelajaran. Kami ingin penyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Siti Aisyah,M.Pd
selaku dosen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Peserta Didik.

Atas segala kesempatan. Bimbingan moral maupun materil yang telah diberikan kepada kami
semoga dapat bermanfaat untuk kami dan untuk teman-teman serta para pembaca sekalian. Kami
menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kami
mengharapkan adanya saran serta kritik yang bersifat membangun sehingga dapat lebih
sempurna dalam pembuatan makalah berikutnya.

Serang, 11 Mei 2016

Kelompok 13
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Makalah 2

1.4 Manfaat Penulisan 2

1.5 Sistematika Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Aspek-aspek pembelajaran 3

2.2 Hambatan dalam belajar 11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 22

3.2 Saran 23

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat
dipandang dari berbagai aspek, dua diantaranya yaitu siswa dan guru. Dari segi siswa
misalnya, belajar dialami sebagai suatu proses, yakni proses mental dalam menghadapi bahan
belajar yang berupa keadaan, hewan, tumbuhan, manusia, dan bahan yang telah terhimpun
dalam buku pelajaran. Dari segi guru proses belajar tampak sebagai perilaku belajar tentang
sesuatu hal.
Belajar merupakan proses internal yang kompleks, melibatkan ranah-ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik, begitu juga dengan perkembangan sosial anak. Seyogyanya guru
dapat mengatur keempat hal tersebut dalam hal acara pembelajaran yang sesuai dengan fase-
fase belajar dan hasil belajar yang dikehendaki, sehingga tujuan dari pembelajaran itu sendiri
dapat tercapai dengan hasil yang maksimal.
Suatu tugas atau pekerjaan tidak akan terlaksana apabila ada suatu hambatan yang
mengganggu pekerjaan tersebut. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan
pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana dengan baik. Setiap manusia selalu mempunyai
hambatan dalam kehidupan sehari-hari, baik dari diri manusia itu sendiri ataupun dari luar
manusia.
Hambatan cenderung bersifat negatif, yaitu memperlambat laju suatu hal yang
dikerjakan oleh seseorang. Dalam melakukan kegiatan seringkali ada beberapa hal yang
menjadi penghambat tercapainya tujuan, baik itu hambatan dalam pelaksanaan program
maupun dalam hal pengembangannya. Hal itu merupakan rangkaian hambatan yang dialami
seseorang dalam belajar.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan belajar ?
2. Apa yang dimaksud dengan aspek belajar ?
3. Apa saja aspek belajar ?
4. Apa yang dimaksud dengan hambatan belajar ?
5. Apa saja Factor-factor hambatan belajar ?
6. Apa saja Jenis-jenis hambatan belajar
7. Bagaimana mendiagnosis hambatan belajar ?

1.3 Tujuan makalah


2 Untuk memahami yang dimaksud dengan belajar ?
3 Untuk memahami yang dimaksud dengan aspek belajar ?
4 Untuk mengetahui apa saja aspek belajar ?
5 Untuk memahami yang dimaksud dengan hambatan belajar ?
6 Untuk mengetahui apa saja Factor-factor hambatan belajar ?
7 Untuk mengetahui apa saja Jenis-jenis hambatan belajar?
8 Untuk memahami bagaimana mendiagnosis hambatan belajar ?

8.1 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini diantaranya untuk menambah wawasan dan ilmu
khususnya tentang psikologi pendidikan dan bimbingan peserta didik yang mencakup aspek-
aspek dalam belajar serta hambatan yang terjadi dalam proses pembelajaran.

8.2 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan makalah ini menggunakan metode kepustakaan dengan buku-buku


matakuliah psikologi pendidikan dan bimbingan peserta didik serta pengambilan penambahan
materi dari internet yang menunjang materi pembelajaran.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TINJAUAN PUSTAKA

Aspek Belajar Dan Hambatan Dalam Belajar

A. Aspek Belajar

Aspek-aspek pembelajaran menurut Bloom dan Krathwohl sebagaimana dikutip oleh


Moh. Uzer Usman dalam bukunya Menjadi guru professional telah menjadi suatu klasifikasi
tujuan yang memungkinkan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini
disadari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat terlihat dari keempat aspek yaitu aspek kognitif,
afektif, psikomotorik, dan perkembangan sosial.

1. Aspek Kognitif

 Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti
mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan.(Syah, 2005).
 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kognisi adalah proses
pengenalan dan penafsiran oleh seseorang; kegiatan memperoleh pengetahuan atau usaha
mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. (KBBI,1998).
 Ranah psikologi siswa yang paling utama adalah ranah kognitif. Ranah kejiwaan yang
berkedudukan pada otak ini merupakan sumber sekaligus pengendali dari ranah-ranah
kejiwaan lainnya, yakni ranah afektif (rasa) dan ranah Psikomotor (karsa). (Syah, 2003)
 Istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.
Ranah kewajiban yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi dan efeksi
yang bertalian dengan ranah rasa. (Chaplin, 1972)

Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif


manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai berjalan sejak manusia itu mulai
mendayagunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan
kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argument yang dikemukakan
para ahli mengenai hal ini antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seseorang
bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak
bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil
sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refleks motor dan daya-
daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli tidak terlepas sama sekali
dari aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak
adalah pusat ranah kognitif manusia.

Hasil-hasil riset kognitif yang dilakukan selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini
menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi yang
berasal dari pendengaran, penglihatan, dan informasi yang diserap dari indera-indera lainnya.
Selain itu, bayi juga berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis.

Implikasi pokok dari hasil-hasil riset kognitif di atas menurut Bower sebagaimana
yang dikutip Daehler dan Bukatko (1985) ialah bahwa manusia: …. Begins life as an
extremely competent social organism, an extremely competent learning organism, an
extremely perceiving organism. Artinya bayi manusia memulai kehidupannya sebagai
organisme social (makhluk hidup bermasyarakat) yang betul-betul berkemampuan, sebagai
makhluk hidup yang betul-betul mampu belajar, dan sebagai makhluk hidup yang mampu
memahami.

Jadi, tidak seperti organ-organ tubuh lainnya, organ otak sebagai markas fungsi
kognitif bukan hanya menjadi penggerak aktivitas akal pikiran, melainkan juga menjadi
menara pengontrol aktivitas perasaan dan perbuatan. Sebagai menara pengontrol, otak selalu
bekerja siang dan malam. Adanya kerusakan pada otak maka akan mengakibatkan kehilangan
fungsi kognitif, dan tanpa adanya fungsi kognitif maka martabat manusia tidak akan jauh beda
dengan hewan.

Menurut Muh. Uzer Usman dalam bukunya Menjadi guru merdeka, yang mengutip
pendapat dari seorang tokoh yang bernama Bloom (1956) mengklasifikasikan tujuan
kognitif atas enam bagian, yaitu sebagai berikut: [8]
1. Ingatan / recall. Mengacu pada kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah
dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah
kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
2. Pemahaman. Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi.aspek ini satu tingkat
di atas pengetahuan dan merupakan tingkat kemampuan berpikir yang rendah.
3. Penerapan. Mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah
dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan, prinsip. Penerapan
merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
4. Analisis. Mengacu kepada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponen-komponen
atau faktro penyebabnya, dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu
dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis
merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman
maupun penerapan.
5. Sintesis. Mengacu pada kemampuan memadukan konsep atau komponenkomponen
sehingga membentuk suatu pola srtuktur atau bentuk baru. Aspek ini memerlukan tingkah
laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berpikir yang lebih tinggi
daripada kemampuan sebelumnya.
6. Evaluasi. Mengacu pada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi
untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi.
Dari beberapa poin diatas pada intinya aspek kognitif adalah adalah kemampuan
intelektual seorang pelajar dalam berpikir, menegtahui dan memecahkan masalah. Dan aspek
kognitif lebih didominasi oleh alur-alur teoritis dan abstrak. Pengetahuan akan menjadi
standar umum untuk melihat kemampuan kognitif seseorang dalam proses pengajaran.

Perkembangan dan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif menurut Loree, dapat


dideskripsikan dengan dua cara yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. (Loree, 1998)

a) Perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif

Perkembangan fungsi-fungsi kognitif seseorang dapat diketahui dengan melakukan


pengukuran tes intelegensia melalui hasil studi longitudialnya Bloom, bahwa dengan
berpatokan kepada hasil tes IQ pada usia 17 tahun dari sekelompok subyek, maka kita dapat
membandingkan dengan hasil-hasil test IQ dari masa-masa sebelumnya yang ditempuh oleh
subyek yang sama. Berikut adalah persentase perkembangan taraf kematangan dan
kesempurnaan subyek tersebut sebagai berikut:

 Usia 1 tahun berkembang sampai sekitar 20%-nya;


 Usia 4 tahun sekitar 50%-nya;
 Usia 8 tahun sekitar 80%-nya;
 Usia 13 tahun sekitar 92%-nya;

b) Perkembangan perilaku kognitif secara kualitatif

Jean Piaget membagi proses perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu ke
dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik
yang berbeda-beda. Tahap perkembangan kognitif itu sebagai berikut:

1) Sensorimotor period (0-2 tahun).


Periode ini ditandai oleh penggunaan sensorimotorik yang intensif terhadap dunia
sekitarnya. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa,
hubungan tentang objek, kontrol skema, kerangka berfikir, pembentukan pengertian,
pengenalan hubungan sebab-akibat.
2) Preoperational Period (2-7 tahun).
Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan yaitu: Preconceptual (2- 4 tahun)
dan intuitive (4-7 tahun). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang
bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal khusus.
Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum
memahami cara orang lain memandang objek yang sama)
3) Concrete operational period (7-11 tahun).
Dalam periode ini anak mulai mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif
yang tampak ini ialah kemampuan anak dalam proses berpikir untuk mengoperasikan
kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkrit.
4) Formal operational period (11- 15 tahun).
Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika
formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat kongkrit. (Daehler &
Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
2. Aspek afektif

 Menurut Haidar Putra Daulay dalam Pendidikan Islam mengatakan bahwa afektif adalah
masalah yang berkenaan dengan emosi, berkenaan dengan ini terkait dengan suka, benci,
simpati, antipati, dan lain sebagainya.
 Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa yang dimaksud afektif adalah: 1)
Berkenaan dengan perasaan, 2) keadaan perasaan yang memengaruhi keadaan penyakit
(panyakit jiwa), 3) gaya atau makna yang menunjukkan perasaan.

Muh. Azer Usman membagi klasifikasi tujuan afektif ke dalam lima kategori yaitu:

1. Penerimaan. Mengacu kepada kesukarelaan dan kemampuan memperhatikan dan


memberikan respons terhadap stimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan hasil
belajar terendah dalam domain afektif.
2. Pemberian Respons. Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi
tersangut secara aktif, menjadi peserta, dan tertarik.
3. Penilaian. Mengacu pada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek
atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak, atau tidak
menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap dan
apresiasi.
4. Pengorganisasian. Mengacu pada penyatuan nilai. Sikap-sikap yang berbeda yang
membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk
suatu sistem nila internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat
hidup.
5. Karakterisasi. Mengacu pada karakter dan gaya hidup seseorang. Nilai-nilai sangat
berkembang dengan teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih
mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini bisa ada hubungannya dengan
ketentuan pribadi, sosial, dan emosi siswa.
Dari beberapa poin diatas bahwa pada intinya aspek afektif atau intelektual ini
adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan operasiasi seorang pelajar. Dan
berlangsungnya proses afektif adalah akibat perjalanan kognitif terlebih dahulu seperti
pernah diungkapkan bahwa: “Semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada
informasi dan pengatahuan yang kita miliki. Sikap selalu diarahkan pada objek,
kelompok atau orang hubungan kita dengan mereka pasti di dasarkan pada informasi
yanag kita peroleh tentang sifat-sifat mereka.”

Bidang afektif dalam psikologi akan memberi peran tersendiri untuk dapat
menyimpan menginternalisasikan sebuah nilai yang diperoleh lewat kognitif dan
kemampuan organisasi afektif itu sendiri. Jadi eksistensi afektif dalam dunia psikologi
pengajaran adalah sangat urgen untuk dijadikan pola pengajaran yang lebih baik
tentunya.

3. Aspek psikomotorik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia psikomotorik berarti berhubungan dengan


aktifitas fisik yang berkaitan dengan proses mental. Dalam ilmu psikologi, kata motor dapat
dipahami sebagai segala keadaan yang meningkatkan atau menghasilkan
stimulasi/rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik. Jadi, perkembangan psikomotorik
yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam
keterampilan fisik anak (motor skills) dengan proses mental.

Menurut Davc (1970) klasifikasi tujuan domain psikomotor terbagi lima kategori
yaitu :

a. Peniruan

Terjadi ketika seorang pelajar mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons
serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan
ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.

b. Manipulasi
Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan,
gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat
ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah
laku saja.

c. Ketetapan

Memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam


penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai
pada tingkat minimum.

d. Artikulasi

Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang


tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan
yang berbeda.

e. Pengalamiahan

Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan


energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan
merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.

Kecakapan psikomotor seorang anak tidak terlepas dari kecakapan kognitif dan juga
banyak terikat dengan kecakapan afektif. Karena keberhasilan pengembangan ranah kognitif
juga akan berdampak positif terhadap ranah perkembangan ranah psikomotorik. (Syah, 2003)

Banyak contoh yang membuktikan bahwa kecakapan kognitif itu berpengaruh besar
terhadap berkembangnya kecakapan psikomotor. Siswa yang berprestasi baik dalam bidang
pelajaran agama misalnya sudah tentu akan lebih rajin beribadah salat, puasa dan mengaji.
Dia juga tidak akan segan-segan memberi pertolongan pada orang yang memerlukan. Sebab,
ia merasa memberi bantuan itu adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang
berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman terhadao materi pelajaran
agama yang ia terima dari gurunya (kognitif).
Dalam mengembangkan ranah psikomotorik seorang anak, ada empat faktor yang
mendorong kelanjutan perkembanganmotor skills anak yang juga memungkinkan campur
tangan orangtua dan guru dalam mengarahkannya, yaitu: (Syah, 2005)

a) Pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf. system adalah organ halus dalam
tubuh yang terdiri atas struktur jaringan serabut syaraf yang sangat halus yang berpusat
pada sistem jaringan syaraf yang ada di otak. Semakin baik perkembangan kemampuan
sistem syaraf seorang anak, akan semakin baik dan beraneka ragam pula pola-pola
tingkah laku yang dimilikinya.
b) Pertumbuhan otot-otot. Otot adalah jaringan sel-sel yang dapat berubah memanjang dan
juga merupakan unit sel yang memiliki daya mengkerut. Peningkatan tegangan otot pada
anak dapat menimbulkan perubahan dan peningkatan aneka ragam kemampuan dan
kekuatan jasmaninya. Perubahan ini tampak sangat jelas pada anak yang sehat dari tahun
ke tahun dengan semakin banyaknya keterlibatan anak tersebut dalam permainan yang
bermacam-macam atau dalam membuat kerajinan tengan yang semakin meningkat
kualitas dan kuantitasnya dari masa ke masa.
c) Perkembangan dan perubahan fungsi kelenjar-kelenjar endokrin. Kelenjar adalah alat
tubuh yang menghasilkan cairan atau getah, seperti kelenjar keringat. Sedang kelenjar
endokrin secara umum merupakan kelenjar dalam tubuh yang memproduksi hormon
yang disalurkan ke seluruh bagian dalam tubuh melalui aliran darah. Perubahan fungsi
kelenjar-kelenjar endokrin akan mengakibatkan berubahnya pola sikap dan tingkah laku
seorang remaja terhadap lawan jenisnya. Dalam hal ini, orangtua dan guru seyogyanya
bersikap antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
perilaku seksual yang tidak dikehendaki demi kelangsungan perkembangan siswa
remaja yang menjadi tanggung jawabnya.
d) Perubahan struktur jasmani. Semakin meningkat usia anak akan semakin meningkat
pula ukuran tinggi dan bobot serta proporsi bagian tubuh lainnya. Perubahan jasmani ini
akan banyak berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan dan kecakapanmotor
skills anak. Namun, kemungkinan perbedaan hasil belajar psikomotor seorang siswa
dengan siswa-siswa lainnya selalu ada, karena kapasitas ranah kognitif juga banyak
berperan dalam menentukan kualitas dan kuantits prestasi-nya.
Di samping keempat faktor tersebut di atas, faktor-faktor lingkungan, alamiah sosial,
kultural, nutrisi dan gizi serta latihan dan kesempatan merupakan hal-hal yang sangat
berpengaruh terhadap proses dan produk perkembangan fisik dan perilaku psikomotorik.
(Makmun, 1998)

4. Aspek Perkembangan Sosial

Secara potensial manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoom politicon), kata
Plato. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan
lingkungan manusia-manusia lain. Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada
orang lain, maka mulailah pula ia menyadari bahwa ia harus belajar apa yang semestinya ia
perbuat seoerti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini
disebut sosialisasi.
Perkembangan sosial, dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian dari
perubahan yang berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial
yang dewasa.
Charlotte Buhler mengidentifikasikan perkembangan sosial dalam term kesadaran
hubungan subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama sebagai
berikut:
Masa kanak-kanak awal (0,0 – 3,0) : subjektif
Masa krisis I (3,0 – 4,0) : anak-degil
Masa kanak-kanak akhir (4,0 – 6,0) : subjektif menuju objektif
Masa anak sekolah (6,0 – 12,0) : objektif
Masa krisis II (12,0 – 13,0) : pre-puber
Masa remaja awal (13,0 – 16,0) : subjektif menuju objektif
Masa remaja akhir (16,0 – 18,0) : objektif

B. Hambatan dalam Belajar

1. Pengertian Kesulitan dan hambatan


 Menurut Ambo Enre Abdullah, Kesulitan adalah suatu kondisi tertentu yang ditandai
adanya hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan, sehingga memerlukan usaha
yang lebih keras untuk mengatakannya. (Fitri, 2005)
 Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 385) hambatan adalah halangan atau
rintangan. Hambatan memiliki arti yang sangat penting dalam setiap melaksanakan
suatu tugas atau pekerjaan. Suatu tugas atau pekerjaan tidak akan terlaksana apabila
ada suatu hambatan yang mengganggu pekerjaan tersebut. Hambatan merupakan
keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana dengan
baik. Setiap manusia selalu mempunyai hambatan dalam kehidupan sehari-hari, baik
dari diri manusia itu sendiri ataupun dari luar manusia.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hambatan cenderung bersifat


negatif, yaitu memperlambat laju suatu hal yang dikerjakan oleh seseorang. Dalam
melakukan kegiatan seringkali ada beberapa hal yang menjadi penghambat tercapainya
tujuan, baik itu hambatan dalam pelaksanaan program maupun dalam hal
pengembangannya.

2. Pengertian Belajar
 Moh.Uzer Usman dan Lilis Setiawati mengartikan “belajar sebagai perubahan
tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan
individu dan individu dengan lingkungan sehingga mereka lebih mampu
berinteraksi dengan lingkungannya”.
 Nana Sudjana mengatakan “belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah
mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah
proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai
pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu”.
 Menurut Skinner, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau
penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini
diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya, bahwa belajar adalah … a process of
progressive behavior adaptation. Berdasarkan eksperimennya, B.F. Skinner
percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal
apabila ia diberi penguat (reinforcer). (Barlow, 1985)

Dari beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku individu dari
hasil pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku tersebut, baik dalam aspek
pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor), maupun sikapnya (afektif).
Dalam penjelasan lanjutannya, pakar psikologi belajar itu menanamkan bahwa
pengalaman hidup sehari-hari dalam bentuk apapun sangat memungkinkan untuk
diartikan sebagai belajar. Sebab, sampai batas tertentu pengalaman hidup juga
berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan.

3. Pengertian Hambatan / Kesulitan Belajar

 Menurut Rochman Natawijaya dalam Sutriyanto (2009: 7), hambatan belajar adalah
suatu hal atau peristiwa yang ikut menyebabkan suatu keadaan yang menghambat
dalam mengaplikasikannya pada saat proses pembelajaran berlangsung.
 Kesulitan belajar menurut Hammil adalah: “menunjuk pada sekelompok kesulitan
yang memanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan
penggunaan kemampuan mendengar, mencakup-cakup,membaca, menulis, menalar,
atau kemampuan dalam bidang studi tertentu. (Abidin,2006:10)
 Sementara itu Siti Mardiyanti dkk. (1994 :4-5) menganggap kesulitan belajar sebagai
suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan tertentu untuk
mencapai hasil belajar.

Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan individual ini pula lah
yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan anak didik. “Dalam
keadaan di mana anak didik / siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang
disebut dengan “kesulitan belajar”.
Macam-macam kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam,
yaitu sebagai berikut.
a. Dilihat dari jenis kesulitan belajar.
 Ada yang berat,
 Ada yang sedang,
b. Dilihat dari bidang studi yang di pelajari.
 Ada yang sebagian bidang studi, dan
 Ada yang keseluruhan bidang studi.
c. Dilihat dari sifat kesulitannya.
 Ada yang sifatnya permanen / menetap, dan
 Ada yang sifatnya hanya sementara.
d. Dilihat dari segi faktor penyebabnya.
 Ada yang karena faktor intelegensi, dan
 Ada yang karena faktor non-intelegensi. (Widodo, 2013)

4. Faktor-faktor penyebab kesulitan belajar.

Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya
kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat di buktikan
dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak
didalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat
dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas
dua macam, yakni:
a. Factor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang muncul dari dalam diri
siswa sendiri. Faktor inter siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan
psiko-fisik siswa, yakni:
 Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/inteligensi siswa.
 Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap
 Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-
alat indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
b. Factor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan yang dating dari luar siswa.
Factor ini meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak
mendukung aktivitas belajar siswa. Factor ini dapat dibagi tiga macam.
1) Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah
dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2) Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan
kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal/tidak
baik.
3) Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang
buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta ala-alat belajar yang kurang
memadai atau berkualitas rendah.

5. Jenis-jenis kesulitan belajar


A. Learning Disability
Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ialah Sindrom
psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome)
yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indicator adanya keabnormalan psikis
(Reber, 1998) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
1) Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca.
Kesulitan belajar membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar
membaca yang berat disebut aleksia. Kemampuan membaca tidak hanya merupakan
dasar untuk menguasai berbagai bidang akademik, tetapi juga untuk meningkatkan
keterampilan kerja dan memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat secara bersama. Ada dua jenis pelajaran membaca, yaitu membaca
permulaan atau membaca lisan, dan membaca pemahaman. Mengingat pentingnya
kemampuan membca bagi kehidupan, kesulitan belajar membaca hendaknya
ditangani sedini mungkin. Ada dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris dan
disleksia visual.
Anak yang memiliki keterlambatan kemampuan membaca, mengalami
kesulitan dalam mengartikan atau mengenali struktur kata-kata (misalnya huruf atau
suara yang seharusnya tidak diucapkan, sisipan, penggantian atau kebalikan) atau
memahaminya (misalnya, memahami fakta-fakta dasar, gagasan, utama, urutan
peristiwa, atau topik sebuah bacaan). Mereka juga mengalami kesulitan lain seperti
cepat melupakan apa yang telah dibacanya. Sebagian ahli berargumen bahwa
kesulitan mengenali bunyi-bunyi bahasa (fonem) merupakan dasar bagi
keterlambatan kemampuan membaca, dimana kemampuan ini penting sekali bagi
pemahaman hubungan antara bunyi bahasa dan tulisan yang mewakilinya.

2) Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.


Tujuan utama pengajaran menulis adalah keterbacaan. Untuk dapat
mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk tertulis, pertama-tama anak harus dapat
menulis dengan mudah dan dapat membaca. Oleh karena itu pengajaran menulis
pada tahap awal difokuskan pada cara memegang alat tulis dengan benar, menulis
huruf balok dan huruf bersambung dengan benar, dan menjaga jarak dan proporsi
huruf secara benar dan konsisten.
Kesulitan menulis yang dialami anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
misalnya gangguan motorik, gangguan emosi, gangguan persepsi visual, atau
gangguan ingatan. Gangguan gerak halus dapat menganggu keterampilan menulis,
misalnya seorang anak mungkin mengerti ejaan suatu kata, tetapi ia tidak dapat
menulis secara jelas atau mengikuti kecepatan gurunya, hal ini dapat berakibat pada
penguasaan bidang studi akademik lain.

3) Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika (berhitung).


Kesulitan belajar berhitung yang berat disebut akalkulia. Ada tiga elemen
pelajaran berhitung yang harus dikuasai oleh anak. Ketiga elemen tersebut adalah
konsep, komputasi, dan pemecahan masalah. Seperti halnya bahasa, berhitung yang
merupakan bagian dari matematika adalah sarana berpikir keilmuan. Oleh karena
itu, seperti halnya kesulitan belajar bahasa, kesulitan berhitung hendaknya dideteksi
dan ditangani sejak dini agar tidak menimbulkan kesulitan bagi anak dalam
mempelajari berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Kesulitan belajar berhitung merupakan jenis kesulitan belajar terbanyak
disamping membaca. Padahal seperti halnya keterampilan membaca, keterampilan
menghitung merupakan sarana yang sangat penting untuk menguasai bidang studi
lainnya.

Namun demikian, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum


sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan di antaranya ada yang memiliki
kecerdasan di atas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita
sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction,
yaitu gangguan ringan pada otak. (Lask, 1985; Reber, 1988)

B. Under Achiever
 Rimm menyatakan ketika siswa tidak menampilkan potensinya, maka ia termasuk
underachiever. (Del Siegle & McCoah,2008)
 ”under achievement adalah kinerja yang secara signifikan berada di bawah
potensinya”. (Semiawan, 1997)
 ”under achiever adalah mereka yang prestasinya ternyata lebih rendah dari apa yang
diperkirakan berdasar hasil tes kemampuan belajarnya”. (Makmun, 2001)

a) Ciri-ciri under achiever:


 Prestasi tidak konsisten: kadang bagus, kadang tidak.
 Tidak menyelesaikan pekerjaan rumah (PR).
 Rendah diri.
 Takut gagal (atau sukses).
 Takut menghadapi ulangan.
 Tidak punya inisiatif.
 Malas, bahkan depresi.

b) Penyebab under achiever


Penyebab under achiever, Butler-Por (dalam oxfordbrooks.ac.uk,2006) menyatakan
bahwa under achievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan untuk
melakukan suatu dengan lebih baik,tetapi karena pilihan-pilihan yang dilakukan
dengan sadar atau tidak sadar.

C. Slow leaner

 Slow learning yaitu suatu istilah nonteknis yang dengan berbagai cara dikenakan pada
anak-anak yang sedikit terbelakang secara mental, atau yang berkembang lebih
lambat daripada kecepatan normal. (Chaplin, 2005)
 Menurut Burton, Slow learning adalah anak dengan tingkat penguasaan materi yang
rendah, padahal materi tersebut merupakan prasyarat bagi kelanjutan di pelajaran
selanjutnya, sehingga mereka sering harus mengulang. (Sudrajat, 2008)

1. Ciri-ciri slow learning


Karakteristik dari individu yang mengalami slow learning :
o Fungsi kemampuan di bawah rata-rata pada umumnya.
o Memiliki kecanggungan dalam kemampuan menjalin hubungan intrapersonal.
o Memiliki kesulitan dalam melakukan perintah yang bertahap.
o Tidak memiliki tujuan dalam menjalani kehidupannya
o Memiliki berbagai kesulitan internal seperti; keterampilan mengorganisasikan,
kesulitan transfer belajar, dan menyimpulkan infromasi.
o Memiliki skor yang rendah dengan konsisten dalam beberapa tes.
o Memiliki pandangan mengenai dirinya yang buruk.
o Mengerjakan segalanya secara lambat.
o Lambat dalam penguasaan terhadap sesuatu.

2. Penyebab slow learning


Kemiskinan
Kemiskinan merupakan factor utama dari slow learning di negara berkembang.
Kemiskinan menyababkan banyak kekurangan mental dan moral yang pada
akhirnya mempengaruhi performa siswa. Seperti ungkapan “di badan yang sehat
terdapat pikiran yang sehat”.
Factor emosional
Semua anak pasti mengalami permasalahan emosional, tetapi slow learner
mengalami permasalahan yang serius dan untuk waktu yang lama sehingga sangat
mengganggu proses belajar mereka. Permasalahan emosional ini berakibat pada
prestasi akademis yang rendah, hubungan interpersonal yang tidak baik, dan harga
diri yang rendah. Bagian penting dalam perkembangan personal, social dan
emosional adalah konsep diri dan harga diri.
Factor pribadi
Factor pribadi meliputi kelainan bentuk fisik (deformity), kondisi patologi/
penyakit badan, dan kekurangan penglihatan, pendengaran dan percakapan dapat
mengarah pada slow learning. Factor pribadi juga meliputi penyakit yang lama
atau ketidakhadiran di sekolah untuk waktu yan lama ddan kurangnya
kepercayaan diri. Ketika mereka lama tidak masuk sekolah tentu saja mereka akan
tertinggal dari teman mereka. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi kepercayaan
diri mereka dan menciptakan kondisi yang mengarah pada slow learning.
6. Diagnosis Kesulitan Belajar
Diagnosis adalah keputusan atau penentu mengenai hasil dari pengolahan data
tentang siswa yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang dialami
siswa. Sebelum menetakan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru
sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala
dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan
belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan
menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa. Dalam melakukan
diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang
diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa.
Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang
cukup terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip
Wardani (1991) sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika
mengikuti pelajaran.
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami
kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orangtua / wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang
mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat
kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar.
Diagnosis ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa.
2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan
belajar.
3. Keputusan mengenai jenis mata pelajaran apa yang mengalami kesulitan belajar.
(Rahman, 2012)

Kegiatan diagnosis dapat dilakukan dengan cara:


1. Membandingkan nilai prestasi individu untuk setiap mata pelajaran dengan rata-rata
nilai seluruh individu.
2. Membandingkan prestasi dengan potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut.
3. Membandingkan nilai yang diperoleh dengan batas minimal tujuan yang diharapkan.
Secara umum langkah-langkah tersebut diatas dapat dilakukan dengan mudah
oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orang tua
siswa dapat berhubungan dengan klinik psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah
apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh dibawah normal (tuna
grahita), orang tua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus
anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/ sekolah biasa tidak
menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusus untuk anak-anak abnormal.
Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior berat seperti
perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan narkotika, harus diperlakukan
secara khusus pula, umumnya dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau
ke “pesantren” khusus pecandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia,
disgafia, dan diskalkulia, sebagaimana yang telah diuraikan, guru dan orang tua sangat
dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini
biasanya bertugas menangani siswa pengidap sindrom-sindrom tadi disamping
melakukan remedial teaching (pengajaran perbaikan).
Dalam rangka diagnosis ini biasanya diperlukan berbagai bantuan tenaga ahli,
misalnya:
 Dokter, untuk mengetahui kesehatan anak.
 Psikolog, untuk mengetahui tingkat IQ anak.
 Psikiater, untuk mengetahui kejiwaan anak.
 Social worker, untuk mengetahui kelainan sosial yang mungkin dialami anak.
 Ortopedagogik, untuk mengetahui kelainan-kelainan yang ada pada anak.
 Guru kelas, untuk mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah.
 Orang tua anak, untuk mengetahui kebiasaan anak dirumah.(Ahmadi dkk, 2013)

 Analisis hasil diagnosis kesulitan belajar


Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi
perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa
yang berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh : siti fulanah mengalami
kesulitan khusus dalam memahami konsep kata polisemi. Polisemi adalahsebuah istilah
yang menunjuk kata yang mimiliki dua makna atau lebih. Kata “turun”, umpamanya,
dapat dipakai dalam berbagai frase seperti turun tangga, turun ranjang, turun tangan dan
seterusnya. Contoh sebaliknya, kata “naik” yang juga dapat dipakai dalam banyak frase
seperti: naik daun, naik darah, naik banding, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan
tingkah laku individu dari hasil pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku tersebut,
baik dalam aspek pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor), maupun
sikapnya (afektif). Pengertian ini disimpulkan dari beberapa yang dikemukakakan para
ahli. Dalam belajar mempunyai tujuan yang memungkinkan hasil belajar yang diperoleh
dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini disadari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat
terlihat dari keempat aspek yaitu aspek kognitif, afektif, psikomotorik, dan
perkembangan sosial. Kegatan belajar mengajar seorang siswa dapat mengalami sebuah
hambatan dalam belajar dimana menurut Menurut Rochman Natawijaya dalam
Sutriyanto (2009: 7), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hambatan belajar adalah
suatu hal atau peristiwa yang ikut menyebabkan suatu keadaan yang menghambat dalam
mengaplikasikannya pada saat proses pembelajaran berlangsung. Factor factor yang
mempengaruhi siswa dalam belajar diantaranya factor intern seperti rendahnya kapasitas
intelektual/ dan factor ekstern seperti ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan
ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga. Karena setiap siswa dapat mengalami
hambatan belajar berbeda beda sehingga adanya jenis jenis hambatan belajar yaitu,
Learning Disability diantaranya Disleksia (dyslexia), Disgrafia (dysgraphia), Diskalkulia
(dyscalculia) dan under achiever . Hambatan belajar tersebut dapat diatasi dengan cara
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup
terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani
(1991) sebagai berikut:
6. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika
mengikuti pelajaran.
7. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami
kesulitan belajar.
8. Mewawancarai orangtua / wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang
mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
9. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat
kesulitan belajar yang dialami siswa.
10. Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar.

3.2. Saran
Demikianlah yang dapat kami uraikan mengenai aspek belajar dan hambatan belajar kami
menyarankan kepada teman-teman yang ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang hal tersebut
di atas untuk mencari referensi melalui berbagai media yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Widodo Supriyono. 2004. Psikologi belajar, Cet. II; PT. Jakarta:
Rineka Cipta
Anderson, John R. 1990. Cognitive psychology and its implication. 3rd. Edition. New
York: W.H. Freeman and Company
Barlow, Daniel Lenox. 1985. Educational Psychology: The Teaching-Learning
Process. Chicago: The Moody Bible Institute
Best, John B. 1985. Cognitive Psichology. 2nd Edition. New York: Wet Publishing
Company
CV. Rajawali
Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam, Cet. I. Jakarta: Kencana
Davies, Ivor K. 1991. Pengelolaan Belajar, Cet. II. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka 1988
Djoko Pekik Irianto. 2002. Dasar Kepelatihan.. Yogyakarta: Andi.
Drs.H.Abu Ahmadi,widodo. 2013. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta
Edwar Gunawan. 2000.Identifikasi motifasi kohae belajar karate. Skripsi. Yogyakarta:
FIK UNY.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Edisi Ketiga Bahasa Depdiknas. Jakarta: Balai
Pustaka
M. Sajoto. 1988. Pembinaan Kondisi fisik dalam olahraga.DEPDIKBUD. Jakarta.
Makmun, Abin Syamsuddin. 1998. Psikologi Pendidikan: Perangkat sistem
pengajaran modul. Cet. II; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung
Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati. 2002. Upaya Optimalisasi Kegiatan belajar
mengajar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Nana Sudjana. 1987. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Balai Pustaka
Rahman, Aunur. 2012.Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.

ii
Sutriyanto. 2009. Faktor penghambat pembelajaran bolavoli siswi kelas X man 3
Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: FIK UNY.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Cet. II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi pendidikan dengan Pendekatan baru, Cet. XI.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Syah, Muhibbin. 2012. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers
Usman, Moh. Uzer. 2003.Menjadi guru Professional. Edisi kedua Cet. XV. Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya

iii

Anda mungkin juga menyukai