Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Dalam mencapai manusia yang sehat secara fisik,
manusia harus tahu bahwa sistem imunlah yang bekerja dalam menangkal
semua penyakit yang menyerang tubuh kita. Di dalam melindungi tubuh
kita, sistem imun memiliki kelainan-kelainan yang ada baik akibat
keturunan ataupun akibat penyakit. Salah satu kelainan tersebut adalah
hemofilia.
Koagulasi darah atau pembekuan darah adalah tranformasi darah
dari cairan menjadi gel padat. Pembekuan darah adalah mekanisme
hemostatik tubuh yang paling kuat. Mekanisme ini diperlukan untuk
menghentikan perdarahan dari semua defek kecuali defek yang paling
kecil.
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor
pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive
pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit
herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga
dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi
spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen. Sampai saat ini
dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive
yaitu : Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat defesiensi atau disfungsi
faktor pembekuan VIII (F VIIIc). Hemofilia B (Christmas disease) akibat
defesiensi atau disfungsi F IX (faktor Christmas). Sedangkan hemofilia C
merupakan penyakit perdarahn akibat kekurangan faktor XI yang
diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35.
Penyakit ini pertama kali dikenal pada keluarga Judah yaitu sekitar
abad kedua sesudah Masehi di Talmud. Pada awal abad ke-19 sejarah baru

1
2

hemofilia baru dimulai dengan dituliskannya silsilah keluarga Kerajaan


Inggris mengenai penyakit ini oleh Otta (1803). Sejak itu hemofilia
dikenal dengan kelainan pembekuan darah yang diturunkan secara X-
linked recessive, sekitar setengah abad sebelum hukum Mandel
diperkenalkan. Selanjutnya legg pada tahun 1872 berhasil membedakan
hemofilia dari penyakit gangguan pembekuan darah lainnya berdasarkan
gejala klinis, yaitu berupa kelainan yang diturunkan dengan
kecenderungan perdarahan otot serta sendi yang berlangsung seumur
hidup. Pada permulaan abad 20 hemofilia masih didiagnosis berdasarkan
riwayat keluarga dan gangguan pembekuan darah. Pada tahun 1940-1950
para ahli baru berhasil mengidentifikasi defisiensi F VIII dan F IX pada
hemofilia A dan Hemofilia B. Pada tahun 1970 berhasil diisolasi F VIII
dari protein pembawanya di plasma, yaitu faktor von Willebrand (F vW),
sehingga sekarang dapat dibedakan kelainan perdarahan akibat hemofilia
A dan penyakit van Willebrand. Memasuki abad 21, pendekatan
diagnostik dengan teknologi yang maju serta pemberian faktor koagulasi
yang diperlukan mampu membawa pasien hemofilia melakukan aktivitas
seperti orang lainnya tanpa hambatan.
Penyakit ini bermanifestasi klinis pada laki-laki. Angka kejadian
hemofilia A sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B sekitar 1:25.000-
30.000 orang. Belum ada angka mengenai kekerapan di Indonesia saat ini.
Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai disbanding kasus hemofilia B,
yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa memandang ras,
geografi dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan
diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat
keluarga (Ilmu Penyakit Dalam, 2010). Berdasarkan survei yang dilakukan
oleh World Federation of Hemofilia (WFH) pada tahun 2010, terdapat
257.182 penderita kelainan perdarahan di seluruh dunia, di antaranya
dijumpai 125.049 penderita hemofilia A dan 25.160 penderita hemofilia B.
Penderita hemofilia mencakup 63% seluruh penderita dengan kelainan
3

perdarahan. Penyakit von Willebrand merupakan jenis kelainan


perdarahan yang kedua terbanyak dalam survei ini setelah hemofilia yaitu
sebesar 39.9%.
Sebagai seorang calon dokter, kita harus memahami konsep dasar
tentang penyakit hemofilia ini agar dapat menjadi acuan kita dalam
melakukan penatalaksanaan pada pasien dengan hemofilia dan
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan hemofilia agar tetap dapat
melakukan aktivitasnya seperti biasa.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang kami buat maka muncul
keinginan kami sebagai untuk membahas masalah penyakit hemofilia guna
untuk memperdalam ilmu pengetahuan mengenai penyakit hemofilia agar
dapat menjadi acuan dan konsep dasar kami untuk melakukan
penatalaksanaan pasien dengan hemofilia.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan Umum
Refarat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD M. Natsir Solok dan diharapkan agar
dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi
para pembaca.
Tujuan khusus
Tujuan penulisan dari refarat ini adalah :
a. Mengetahui definisi hemofilia
b. Mengetahui klasifikasi hemofilia
c. Mengetahui etiologi hemofilia
d. Mengetahui patofisiologi hemofilia
e. Mengetahui manifestasi klinis hemofilia
f. Mengetahui diagnosi hemofilia
4

g. Mengetahui penatalaksanaan hemofilia


h. Mengetahui komplikasi hemofilia
i. Mengetahui pencegahan hemofilia
j. Mengetahui prognosis hemofilia
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FASE KOAGULASI


Koagulasi merupakan suatu proses perubahan bentuk darah dari
bentuk cair hingga mengental sebagai hasil dari transformasi protein yang
larut menjadi tidak larut serta perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Proses
ini melibatkan sejumlah besar faktor-faktor protein yang sebagian besar
merupakan pro-enzym (zymogens) yang diubah oleh partial proteolysis
menjadi bentuk aktif. Tahapan ini disebut sebagai Hemostasis sekunder.
Koagulasi merupakan bagian dari hemostasis yang bertanggung jawab
terhadap proses pembekuan darah. Produk dari prosedur ini adalah fibrin
yang mengandung gumpalan untuk menghentikan perdarahan dan
memperbaiki pembuluh darah yang rusak. Ketidaknormalan pada proses
koagulasi berakibat pada peningkatan risiko perdarahan, penggumpalan
(clotting) dan penyumbatan (embolism).

Ada dua lintasan yang membentuk bekuan fibrin, yaitu lintasan


instrinsik dan ekstrinsik. Proses yang mengawali pembentukan bekuan
fibrin sebagai respons terhadap cedera jaringan dilaksanakan oleh lintasan
ekstrinsik. Lintasan intrinsic pengaktifannya berhubungan dengan suatu
permukaan yang bermuatan negative. Lintasan intrinsic dan ekstrinsik
menyatu dalam sebuah lintasan terkahir yang sama yang melibatkan
pengaktifan protrombin menjadi thrombin dan pemecahan fibrinogen yang
dikatalis thrombin untuk membentuk fibrin.
6

Ada 12 faktor-faktor pembekuan darah adalah sebagai berikut :


Nomor Nama factor Asal dan fungsi
I Fibrinogen Protein plasma yang disintesis dalam
hati, diubah menjadi fibrin
II Protombin Protein Plasma yang disintesis didalam
hati, diubah menjadi trombin
III Tromboplastin Lipoprotein yang dilepas jaringan
rusak. Mengaktivasi faktor VII untuk
pembentukan thrombin
IV Ion kalsium Ion anorganik dalam plasma, didapat
dari makanan dan tulang diperlukan
dalam setiap pembekuan darah
V Proakselerin Protein plasma yabg disintesis di dalam
hati, diperlukan dalam mekanisme
intrinsik dan ekstrinsik
VI Tidak dipakai lagi Fungsinya sama dengan nomor V
VII Prokonvelin Protein plasma yang disintesis dalam
hati diperlukan dalam mekanisme
intrinsik
VIII Faktor Antihemolitik Protein plasma (enzim) yang disintesis
didalam hati dalam mekanisme
ekstrinsik (memerlukan vitamin K )
IX Plasma Tromboplastin Protein plasma yang disintesis didalam
hati berfungsi dalam mekanisme
ekstrinsik
X Faktor Stuart-power Protein plasma yang disintesis didalam
hati berfungsi dalam mekanisme
intrinsik
Nomor Nama factor Asal dan fungsi
7

XI Anteseden tromboplastin Protein plasma yang yang disintesis


plasma didalam hati berfungsi dalam
mekanisme intrinsik
XII Faktor Hageman Protein plasma yang disintesiis didalam
hati, berfungsi dalam mekanisme
intrinsik

2.2 Definisi
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat
yang paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan
intermiten. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau
faktor IX (F IX), dikelompokkan sebagai hemofolia A dan hemofilia B.
Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk
penyakit resesif terkait-X (Ginsberg,2008). Oleh karena itu, semua anak
perempuan dari laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier penyakit,
dan anak laki-laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang
karier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia.
Dapat terjadi wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu
karier), tetapi keadaan ini sangat jarang terjadi. Kira-kira 33% pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi spontan (Hoffbrand,
Pettit, 1993).
Hemofilia merupakan kelainan perdarahan herediter terikat faktor
resesif yang dikarakteristikkan oleh defisiensi faktor pembekuan esensial
yang diakibatkan oleh mutasi pada kromosom X (Wiwik Handayani,
2008)
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor
pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive
pada kromosom X (Xh). Meskipun hemofilia merupakan penyakit
herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga

5
8

dengan gangguan pembekuan darah, sehingga diduga terjadi mutasi


spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen (Aru et al, 2010).

2.3 Klasifikasi
Hemofilia adalah diatesis hemoragik yang terjadi dalam 2 bentuk :
hemofiia A, defisiensi faktor koagulasi VIII, dan hemofilia B, defisiensi
faktor koagulasi IX. Kedua bentuk ditentukan oleh sebuah gen mutan
dekat telomer lengan panjang kromosom X (Xq), tetapi pada lokus yang
berbeda, dan ditandai oleh pendarahan intramuskular dan subkutis;
perdarahan mulut, gusi, bibir, dan lidah, hematuria, serta hemartrosis.
1. Hemofilia A, hemofilia yang paling umum ditemukan, keadaan terkait
–X yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi VIII. Disebut
juga hemofilia klasik
2. Hemofilia B, jenis hemofilia yang umum ditemukan, keadaan terkait-X
yang disebabkan oleh kekurangan faktor koagulasi IX. Disebut juga
chrismast disease. Hemofilia B Leyden, bentuk peralihan defisiensi
faktor koagulasi IX, tendensi perdarahan menurun setelah pubertas.
3. Hemofilia C, gangguan autosomal yang disebabkan oleh kekurangan
faktor koagulasi XI, terutama terlihat pada orang turunan Yahudi
Aohkenazi dan ditandai dengan episode berulang perdarahan dan
memar ringan, menoragia, perdarahan pascabedah yang hebat dan
lama, dan masa rekalsifikasi dan tromboplastin parsial yang
memanjang. Disebut juga plasma tromboplastin antecedent deficiency.
PTA deficiency, dan Rosenthal syndrome.
Derajat penyakit pada hemofilia :
1. Berat : Kurang dari 1 % dari jumlah normal. Penderita hemofilia berat
dapat mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang-
kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
2. Sedang: 1% – 5% dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia sedang
lebih jarang mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat.
9

Perdarahan kadang terjadi akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat,


seperti olahraga yang berlebihan.
3. Ringan : 6 % – 50 % dari jumlah normalnya. Penderita hemofilia
ringan mengalami perdarahan hanya dalam situasi tertentu, seperti
operasi, cabut gigi, atau mengalami luka yang serius (Betz, Cecily
Lynn. 2009).

2.4 Etiologi
Hemofilia disebabkan oleh factor gen atau keturunan. hemofilia A
dan B, kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk
penyakit resesif terkait –X. Oleh karna itu semua anak perempuan dari
laki-laki yang menderita hemofilia adalah karier penyakit, dan anak laki-
laki tidak terkena. Anak laki-laki dari perempuan yang kerier memiliki
kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofilia dapat terjadi pada
wanita homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia, ibu karier) tetapi
keadaan ini sangat jarang terjadi .kira-kira 30% pasien tidak memiliki
riwayat keluarga dan mungkin akibat mutasi spontan (Hoffbrand, Pettit,
1993).
Menurut Robbins (2007) 70-80% penderita Hemofilia
mendapatkan mutasi gen resesif X-linked dari pihak Ibu. Gen F VIII dan F
IX terletak pada kromosom X dan bersifat resesif., maka penyakit ini
dibawa oleh perempuan (karier, XXh) dan bermanifestasi klinis pada laki-
laki (laki-laki, XhY); dapat bermanifestasi klinis pada perempuan bila
kromosom X pada perempuan terdapat kelainan (XhXh). Penyebab
hemofilia karena adanya defisiensi salah satu faktor yang diperlukan untuk
koagulasi darah akibat kekurangna faktor VIII atau XI, terjadi hambatan
pembentukan trombin yang sangat penting untuk pembentukan normal
bekuan fibrin fungsional yang normal dan pemadatan sumbat trombosit
yang telah terbentuk pada daerah jejas vaskular.Hemofilia A disebabkan
10

oleh defisiensi F VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan karena defisiensi


F IX.
Terdapat faktor risiko pada penyakit hemofilia yaitu riwayat
keluarga dari duapertiga anak-anak yang terkena menunjukkan bentuk
bawaaan resesif terkait-x. Hemofilia A (defisiensi faktor VIII terjadi pada
1 dari 5000 laki-laki. Hemofilia B ( defisiensi faktor IX) terjadi pada
seperlimanya.

2.5 Patofisiologi
Hemofilia adalah penyakit kelainan koagulasi darah congenital
karena anak kekurangan faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau faktor
IX (hemofilia B, atau penyakit Christmas). Penyakit kongenital ini
diturunkan oleh gen resesif terkait-X dari pihak ibu. F VIII dam F IX
adalah protein plasma yang merupakan komponen yang yang diperlukan
untuk pembekuan darah faktor-faktor tersebut diperlukan untuk
pembentukan bekuan fibrin pada tempat cidera vascular (Cecily Lynn
Betz, 2009)
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit
dan pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons
pembuluh darah, adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan
bekuan darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada
tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran darah
melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah.
Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial.
Faktor von Willebrand (vWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit.
Setelah proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan protein
lain trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan
menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut.
Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue faktor dan mengubah
11

permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah


dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan
distabilkan oleh faktor XIII.
Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh Davie dan Ratnoff
pada tahun 1950an dapat dilihat pada Gambar 1. Kaskade ini
menggambarkan jalur intrinsik dan ekstrinsik pembentukan thrombin.
Meskipun memiliki beberapa kelemahan, kaskade ini masih dipakai untuk
menerangkan uji koagulasi yang lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX
maka pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena
itu penderita hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit
berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses
perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka
dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan
darah yang terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat
proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8
dan F9. Gen F8 terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio
Xq28, sedangkan gen F9 terletak di regio Xq27.2,14 Terdapat lebih dari
2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22 dari gen F8
merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar 50%
penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan
secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak
ibu yang menderita kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi spontan
dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga penderita
hemofilia pada kasus demikian.
Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala
perdarahan walaupun biasanya ringan.Sebuah studi di Amerika Serikat
menemukan bahwa 5 di antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah
wanita (Muscari, Mary E. 2005).
12

Gambar.1

2.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis yang sering terjadi pada penderita dengan
hemofilia adalah adanya perdarahan berlebihan secara spontan setelah luka
ringan, pembengkakan, nyeri, dan kelainan-kelainan degeneratife pada
sendi, serta keterbatasan gerak. Hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi.
Pada penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi
dan perdarahan terjadi setelah trauma berat atau operasi. Pada hemofilia
sedang, perdarahan spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan.
Sedangkan pada hemofilia berat perdarahan spontan sering terjadi dengan
perdarahan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Perdarahan dapat mulai
terjadi semasa janin atau pada proses persalinan. Umumnya penderita
hemofilia berat perdarahan sudah mulai terjadi pada usia di bawah 1 tahun.
Perdarahan dapat terjadi di mukosa mulut, gusi, hidung, saluran kemih,
13

sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan, otot iliospoas, betis dan
lengan bawah. Perdarahan di dalam otak, leher atau tenggorokan dan
saluran cerna yang masif dapat mengancam jiwa.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (2006) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam menyatakan
bahwa Hemartrosis paling sering ditemukan (85%) dengan lokasi berturut-
turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan kaki, bahu,
pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami
hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru karena
ketidakmampuannya menahan gerakan berputar dan menyudut pada saat
gerakan volunter maupun involunter, sedangkan sendi peluru lebih mampu
menahan beban tersebut karena fungsinya.
Hematoma intramaskuler terjadi pada otot – otot fleksor besar,
khususnya pada otot betis, otot-otot region iliopsoas (sering pada panggul)
dan lengan bawah.Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan darah
yang nayata. Pendarahan intracranial bisaterjadi secara spontan atau
trauma yang menyebabkan kematian. Retriperitoneal dan retrofaringeal
yang membhayakan jalan nafas dan mengancam kehidupan. Kulit
mudah memar, Perdarahan memanjang akibat luka, Hematuria spontan,
Epiktasis, Hemartrosis (perdarahan pada persendian menyebabkannyeri,
pembengkakan, dan keterbatasan gerak, Perdarahan jaringan
lunak.Pembengkakan, keterbatasan gerak, nyeri dan kelainan degenerative
pada persendian yang lama kelamaan dapat mengakibatkan kecacatan (Aru
et al, 2010).
14

Tabel.1 Hubungan aktivitas F VIII dan F IX dengan manifestasi klinis


perdarahan.
Berat Sedang Ringan
Aktivitas F VIII/F IX <0,01 (<1) 0,01-0,05 (1-5) >0,05 (>5)
U/ml (%)
Frek Hemofilia A (%) 70 15 15
Frek Hemofilia B (%) 50 30 20
Usia awitan ≤ 1 tahun 1-2 tahun  2 tahun
Gejala neonates Sering PCB Sering PCB Tak pernah PCB
Kejadian ICB Jarang ICB Jarang sekali
ICB
Perdarahan otot/sendi Tanpa trauma Trauma ringan Trauma cukup
kuat
Perdarahan SSP Resiko tinggi Resiko sedang Jarang
Perdaran post-op Sering dan fatal Butuh bebat Pada operasi
besar
Perdarahan oral Sering terjadi Dapat terjadi Kadang terjadi
(trauma, cabut gigi)
PCB : post circumsional bleeding
ICB : intracranial hemorrhage

2.7 Diagnosis
Anamnesis
 Saat lahir biasanya terjadi perdarahan dari tali pusat
 Pada anak yang lebih besar biasanya terjadi perdarahan sendi
sebagai akibat jatuh pada saat belajar berjalan, riwayat tibulnya
biru-biru bila terbentur (perdarahan abnormal)
 Adanya keluhan perdarahan spontan yang biasa berlangsung lama
15

Pemeriksaan Fisik
 Hematom di kepala atau tungkai atau/bawah
 Hematrosis
 Sering dijumapai perdarahn interstial yang akan menyebabkan
atrofi otot, pergerakan akan terganggu dan terjadi kontraktur sendi.
Sendi yang paling sering terkena alaha siku, lutut pergelangan
kaki, paha dan sendi bahu.
 Sering dijumpai perdarahan di rongga mulut, kerongkongan,
hidung, perdarahan retroperitoneal, hematuri.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan PT (Partial Tromboplstin) dan APPT (Activated
Partial Tromboplastin Time). Bila masa protombin memberi hasil
normal dan APPT memanjang, memberi kesan adanya defisiensi
(kurang dari 25%) dari aktivitas satu atau lebih factor koagulasi plasma
(F XII, F XI, F IX, F VIII)
2. Pemeriksaan kadar factor VIII dan IX. Bila APPT pada pasien
dengan perdarahan yang berulang lebih dari 34 detik perlu dilakukan
pemeriksaan assay kuantitatif terhadap F VIII dan F IX untuk
memastikan diagnose.
3. Uji skrining koagulasi darah :
a. Jumlah trombosit
b. Masa protombin
c. Masa tromboplastin parsial
d. Masa pembekuan thrombin
e. Assay fungsional factor VIII dan IX
2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Suportif
a. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
b. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar
aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%
16

c. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi


perdarahan untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi.
d. Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada
sinovitis akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis
e. Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri
hebat, hindari analgetik yang mengganggu agregasi trombosit
f. Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara
komprehensif dan holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan
pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan
baik fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi
medic atritis hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin
dan panas, penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi
rekreasi serta edukasi.
2. Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk
menghindari kecatatan fisik sehingga pasien hemofilia dapat
melakukan aktivitas normal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut
dibutuhkan faktor anti hemofilia yang cukup banyak dengan biaya
yang tinggi.Terapi dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX
Pemberian faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk
menghindari kecatatan fisik sehingga pasien hemofilia dapat
melakukan aktivitas normal. Namun untuk mencapai tujuan tersebut
dibutuhkan faktor anti hemofilia yang cukup banyak dengan biaya
yang tinggi.Terapi dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX
baik rekombinan, kosentrat maupun komponen darah yang
mengandung cukup banyak factor pembekuan tersebut. Hal ini
berfungsi untuk profilaktif/untuk mengatasi episode perdarahan.
Jumlah yang diberikan bergantung pada factor yang kurang.
17

3. Terapi lainnya
a. Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan hemofili A
ringan sampai sedang. DDAVP meningkatkan pelepasan factor
VIII.
b. Pemberian prednisone 0.5-1 mg/kg/bb/hari selama 5-7 hari
mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (atrosis) yang
mengganggu aktivitas harian serta menurunkan kualitas hidup
pasien Hemofilia (Aru et al, 2010)
c. Transfusi periodik dari plasma beku segar (PBS)
d. Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM
e. Membersihkan mulut sebagai upaya pencegahan
18

f. Bidai dan alat orthopedic bagi pasien yang mengalami perdarahan


otak dan sendi (Hadayani, Wiwik, 2008)
2.9 Komplikasi
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada
pasien hemofilia adalah perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus
imunodefisiensi manusia sebelum diciptakannya F VIII artificial,
kekakuan sendi, hematuria spontan dan perdarahan gastrointestinal, serta
resiko tinggi terkena AIDS akibat transfusi darah.
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hemofilia (Cecily
Lynn Betz, 2009) :
a. Arthritis
b. Sindrom kompartemen
c. Atrofi otot
d. Kontraktur otot
e. Paralisis
f. Perdarahan intracranial
g. Kerusakan saraf
h. Hipertensi
i. Kerusakan ginjal
j. Splenomegali
k. Hepatitis
l. Sirosis
m. Infeksi HIV karena terpajan produk darah yang terkontaminasi
n. Antibody terbentuk sebagai antagonis F VIII dan IX
o. Reaksi tranfusi alergi terhadap produk darah
p. Anemia hemolitik
q. Thrombosis
r. Nyeri kronis
19

2.10 Pencegahan
Tindakan pencegahan pada hemofilia adalah yang berhubungan
dengan komplikasi masalah perdarahan. Dengan kemajuan pengobatan,
pasien hemofilia sekarang mungkin bisa hidup dengan normal.
Langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari
komplikasi :
a. Ikuti rencana terapi dengan tepat seperti yang telah
diresepkan dokter
b. Memeriksakan secara rutin dan vaksinasi seperti yang
direkomendasikan
c. Beritahukan pada semua penyedia pelayanan kesehatan
tentang kondisi anda
d. Melakukan perawatan gigi secara teratur.
e. Kenali tanda dan gejala perdarahan di sendi dan bagian lain
dari tubuh.

2.11 Prognosis
Pasien hemofilia mempunyai prognosis yang baik apabila diterapi
dengan tepat. Sebagian besar pasien dapat hidup seperti orang normal.
20

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat
yang paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan
intermiten. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII (F VIII) atau
faktor IX (F IX), dikelompokkan sebagai hemofolia A dan hemofilia B.
Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk
penyakit resesif terkait-X,
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX
maka pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena
itu penderita hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit
berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses
perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka
dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan
darah yang terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat
proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Gambaran klinis yang sering terjadi pada penderita dengan
hemofilia adalah adanya perdarahan berlebihan secara spontan setelah luka
ringan, pembengkakan, nyeri, dan kelainan-kelainan degeneratife pada
sendi, serta keterbatasan gerak.Hematuria spontan dan perdarahan
gastrointestinal juga kecacatan terjadi akibat kerusakan sendi.
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien hemofilia adalah
perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus imunodefisiensi manusia
sebelum diciptakannya F VIII artificial, kekakuan sendi, hematuria
spontan dan perdarahan gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS
akibat transfusi darah.

28
21

3.2 Saran
Hemofilia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat di cegah maka
untuk penderita hemophilia kami sarankaan agar tetap sabar dan berusaha
untuk pengobatan rutin. Dan berusaha agar menjaga kesehatan dan
mencegah dampak dari hemofilia.
22

DAFTAR PUSTAKA
1. Aru et al. 2009.Ilmu Penyakit dalam Jilid II: Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
2. Hoffard, A.V. 2005. Hematologi: Edisi IV. Jakarta: EGC
3. I Made Bakta. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
4. Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary, 29/E. 2002. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
5. Sudoyo, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2 Edisi 4.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia
6. Corwin, Elizabeth J. 2008. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.
7. World federation of Hemophilia, Canada.2005.
8. Antonius, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. 2010. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
9. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisilogi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. (Edisi VI). Jakarta : ECG. Pp. 340-84
10. Robbins. 2002. Buku Ajar Patologi Anatomi. Jakarta : ECG. Pp.862-89
11. Atul, B. M & Victor,H.(2008). Haematology at a glance (Edisi2).
Penerjemah: H. Hartanto.Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai