Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KEJAHATAN MELANGGAR NORMA KESUSILAAN DAN NORMA KEPATUTAN


MENURUT KUHP
Tugas Mata Kuliah Delik-Delik Khusus
Dosen mata kuliah:
Dr. Musa Darwin Pane, S.H, M.H.

Disusun Oleh :
Yolandita Putri (31617007)
Parulian Ortega Sitompul (31617004)
Liani Luthfia Barlian (31617011)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai Tindak Pidana khusus atau Delik
khusus kejahatan norma kesusilaan dan norma kepatutan menurut KUHP. Makalah ini
kami buat dalam rangka memperdalam matakuliah Delik Delik Khusus. Kami
menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Hal ini
disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran. Demi perbaikan dan
kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 15 Maret 2019


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Delik kesusilaan .......................................................................................................... 5
2.2 Unsur-Unsur dan jenis delik kesusilaan ........................................................................................ 6
2.3 Kejahatan Kesusilaan .................................................................................................................... 7
2.4 Contoh tindak kejahatan kesusilaan ............................................................................................. 7
BAB III................................................................................................................................................. 11
KESIMPULAN ................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

Delict berasal dari bahasa latin yaitu delictum (delik) disebut strafbaar feit atau tindak
pidana. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam
Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan
sebagai berikut : “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang; tindak pidana.”

Delik khusus atau tindak pidana khusus hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu
dalam kualitas tertentu, misalnya tindak pidana korupsi, ekonomi, subversi dan lain-lain.
Sebagai contohnya delik mengenai kesusilaan. Pengertian Delik Kesusilaan, kata
“kesusilaan” dalam kamus Besar bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai “perihal susila”
kata “susila” dalam kamus tersebut mempunyai arti: Baik budi bahasanya, beradab, sopan,
santun. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaan. Serta pengetahuan tentang
adat. Dalam bahasa inggris, kata “susila” diartikan sebagai moral (ethics; decent). Kata
tersebut biasanya diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan moril
(kesopanan). Sedangkan ethic diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent diterjemahkan
dengan kepatuhan.

Dalam delik (tindak pidana) akan berlaku hukuman yang telah dinilainya, dalam hal
ini, KUHP yang terdiri dari pasal-perpasal, dalam pasal-pasal tersebut terdapat hukuman
yang berlaku bagi siapapun yang melanggarnya atau bertentangan dengan aturan itu. Jika
perbuatan yang dilakukan tidak diatur atau tidak terdapat dalam KUHP dan Undang-undang
maka perbuatan itu dinilai bukan merupakan tindak pidana. Untuk mempelajari mengenai
Delik khusus kejahatan kesusilaan, kiranya akan lebih mudah memperoleh kejelasannya
apabila terlebih dahulu mengetahui apa itu kejahatan norma kesusilaan dan dihubungkan
dengan aturan yang terdapat di KUHP. Tentunya sebagai warga Negara Indonesia kita di
harapkan untuk mengetahui bagaimana hukum di Indonesia sehingga dapat membangun
hukum yang ada dinegara ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Delik kesusilaan

Kata “kesusilaan” dalam kamus Besar bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai
“perihal susila” kata “susila” dalam kamus tersebut mempunyai arti: Baik budi bahasanya,
beradab, sopan, santun. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaan. Serta
pengetahuan tentang adat. Dalam bahasa inggris, kata “susila” diartikan sebagai moral
(ethics; decent). Kata tersebut biasanya diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan
dengan moril (kesopanan). Sedangkan ethic diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent
diterjemahkan dengan kepatuhan. Menurut M. Sudrajat Bassar1 dalam bukunya Tindak-
Tindak Pidana Tertentu, mengatakan bahwa, yang dinamakan dengan kesusilaan adalah:
Kesusilaan ialah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam berhubungan antara berbagai
anggota masyarakat tetapi khusus yang sedikit banyaknya mengenai kelamin (seks) seorang
manusia. Sedangkan kesopanan pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. Dari
pengertian kesusilaan, di atas secara singkat delik kesusilaan dapat dikatakan bahwa: Delik
kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Namun tidaklah
mudah menetapkan batas-batas atau ruang lingkup delik kesusilaan, karena pegertian dan
batas-batas “kesusilaan” itu cukup luas dan berbeda-beda menurut pandangan dan nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Terlebih karena hukum itu sendiri adalah pada hakikatnya
merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht das ethische minimum)2 Dari
pengertian di atas, sebenarnya tidaklah mudah dalam menetapkan batas-batas atau ruang
lingkup dari delik kesusilaan. Dalam lokakarya mengenai “Bab-bab Kodifikasi Hukum
Pidana (Buku II)”, yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman pada tanggal
23-25 April 1985 di Jakarta, masalah ini pernah dilontarkan dalam makalah Prof Mr. Roesan
saleh32, ia mengemukakan bahwa pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada
pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, akan tetapi juga meliputi hal-hal yanmg
termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam pergaulan
masyarakat. Roeslan Saleh menyatakan : 3

1
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di dalam KUHP, Remadja Karya, Bandung,

1986, Hlm.170.

2
Ungkapan serupa dikatakan oleh George Jelinek bahwa “the law as an ethical minimum” (Stephen

Aschafer. The political Criminal. 1973: 67). Juga terlihat dalam ungkapan Alfred Denning, bahwa “Without

religion there can be no morality and without morality there can be no . (Oemar Senoadji. Mass Media &Hukum. 1977: 141)

3 Dalam KUHP ketiga kelompok yang diusulkan oleh Roesasn saleh tersebut, masih di atur dalam bab- bab tersendiri
Oleh karena itu beliau menyarankan agar tindak pidana berupa “meninggalkan orang yang
perlu ditolong”,“penghinaan” dan “membuka rahasia” juga dimasukkan kedalam tindak
pidana kesusilaan.

2.2 Unsur-Unsur dan jenis delik kesusilaan

Dalam KUHP, Pasal 281 disebutkan bahwa dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak- banyaknya tiga ratus rupiah:
A. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggaran kesusilaan
B. Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan
dengan kehendaknya, melanggar kesussilaan Maka yang menjadi unsur dari delik
kesusilaan adalah:
a. Barang siapa
b. Dengan sengaja
c. Melanggar kesusilaan
d. Di muka umum.
Unsur barang siapa, meliputi juga Seorang pria yang telah menikah maupun yang
belum menikah; Seoarang wanita yang telah menikah maupun yang belum menikah. Unsur
dengan sengaja berarti, Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan Secara
Yuridis, delik kesusilaan menurut KUHP yang berlaku saat ini terdiri dari 2 (dua) kelompok
tindak pidana, yaitu “kejahatan kesusilaan” (diatur dalam bab XIV Buku II) dan
“Pelanggaran Kesusilaan” (diatur dalam Bab VI Buku III). Yang termasuk ke dalam
“Kejahatan Kesusilaan” adalah (Pasal 281-303 KUHP), yang meliputi perbuatan-perbuatan
sebagai berikut:
a) Melanggar kesusilaan di muka umum (Pasal 281)
b) Menyiarkan, mempertunjukan, membuat, menawarkan dsb tulisan, gambar,
benda yang melanggar kesusilaan (Bersifat porno) (Pasal282-283)
c) Melakukan Zina, perkosaan dan hal lain yang berhubungan dengan melakukan
atau menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul dan hubungan
seksual (Pasal 284-296)
d) Perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur (Pasal 297)
e) Yang berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal
299)
f) Yang berhubungan dengan minuman memabukan (Pasal 300)
g) Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301)
h) Penganiyaan hewan (Pasal 302)
i) Perjudian (Pasal 303)
Adapun yang termasuk ke dalam “Pelanggaran kesusilaan” menurut KUHP adalah (Pasal
532-547) yang melipiti perbuatan-perbuatan:
a) Mengungkapkan atau mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno (Pasal 532-533)
b) Yang berhubungan dengan mabuk dan minum keras (Pasal 535-539)
c) Yang berhubungan dengan perlakuan tindak susila terhadap hewan
(Pasal 540, 541, dan 544)
d) Meramal nasib dan atau mimpi (Pasal 546)
e) Menjual dan sebagainya jimat-jimat, benda-benda berkekuatan gaib atau memberi
pelajaran ilmu kesaktian (Pasal 546)
f) Memakai jimat sebagai saksi di persidangan (Pasal 457)

2.3 Kejahatan Kesusilaan

Kejahatan kesusilaan adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan masalah
kesusilaan, dimana kesusilaan disini berkaitan dengan nafsu seksual atau perbuatan mengenai
kehidupan seksual yang tidak senonoh serta dapat menyinggung rasa malu seksual seseorang
ataupun sekelompok. Adapun pengertian dan batas dari kejahatan seksual ini cukup luas serta
dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tertentu
sehingga seringnya tindakan ini sulit untuk dirumuskan. Batasan secara universal atau
menyeluruh yang berlaku di seluruh negara dan berkaitandengan suatu perbuatan kesusilaan
dinyatakan sebagai suatu tindak pidana yakni ;
1. Delik/gugatan tersebut dilakukan dengan kekerasan
2. Yang menjadi korban adalah orang dibawah umur
3. Delik tersebut dilakukan di muka umum
4. Korban dalam keadaan tidak berdaya
5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek kejahatan,
misalnya; guru dan murid.

Di Indonesia sendiri, ketentuan kejahatan kesusilaan dikelompokkan menjadi


tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kesopanan. Masing-masing tindak pidana tersebut
diatur dan dijelaskan lebih terperinci dalam :
1. Tindak pidana kesusilaan
- Bentuk kejahatan diatur dalam KUHP pasal 281-289
- Bentuk pelanggaran diatur dalam KUHAP pasal 532-5352.
2. Tindak pidana kesopanan
- Bentuk kejahatan diatur dalam KUHP pasal 300-303
- Bentuk pelanggaran diatur dalam KUHAP pasal 536-547

2.4 Contoh tindak kejahatan kesusilaan

Di dalam kehidupan bermasyarakat seperti sekarang ini tingkah laku masyarakat semakin
beranaka ragam dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan baik itu tindakan atau
perbuatan yang melanggar hukum atau pun perbuatan yang tidak melanggar hukum. Ruang
lingkup perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan itu sulit
untuk dirumuskan secara tegas dan pasti, dikarenakan batasan-batasan pengertian kesusilaan
yang belum secara pasti dirumuskan dalam KUHP dan juga karena nilai kesusilaan suatu
masyarakat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma lain yang berlaku dalam
masyarakat. Sehingga apa yang dianggap susila oleh suatu masyarakat mungkin saja
dianggap asusila oleh masyarakat yang lain, dan juga sebaliknya. Tata hukum di negara
indonesia menganut hukum positif yaitu hukum yang tertulis, sehingga didalam hukum
positif indonesia itu mengatur mengenai kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam
buku II (tentang kejahatan) BAB XIV (tentang kejahatan terhadap kesusilaan) dari pasal 281
sampai dengan 303 dan 303 bis.

Contohnya tindak pidana pemerkosaan,pornografi, penyiksaan terhadap hewan,


penganiayaan juga kekerasan terhadap anak dll.

2.5 Penegakan hukum terhadap tindak pidana kesusilaan

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan Pertama-tama sebelum kita


menjelaskan upaya penegakan hukum pidana terhadap kejahatan dunia maya, sebaiknya kita
mengetahui pengertian dari penegakan hukum itu sendiri, dimana pengertian dari penegakan
hukum pidana adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang sehingga mengkibatkan
kerugian bagi orang lain, sudah sepatutnya diberikan sanksi yang sepadan dengan perbuatan
pidana yang dilakukannya. Usaha penjatuhan sanksi pidana yang dilakukan oleh aparat
penegakan hukumitu adalah sebagai wujud dari penegakan hukum. Objek dari penegakan
hukum itu sendiri adalah hukum itu sendiri dimana hukum itu mempunyai beberapa unsur,
yaitu:
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat
2. Peraturan itu bersifat memaksa
3. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas
4. Peraturan itu diadakan oleh badan resmi yang berwajib.
4
Penegakan hukum merupakan suatu kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah dan pandangan-pandangan menilai yang mantap dan
mengejawantahkan dan sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan (sebagai social engineering), memerihara dan mempertahankan (sebagai social
control).5Hukum yang dipergunakan diIndonesia adalan hukum pidana yang merujuk pada
KUHP, menurut prof moeljatno, SH, menerangkan hukum pidana adalah bagian dari pada
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk :
1. Disertai ancaman-ancaman/sanksi pidana yang berupa pidana tertentu bagi siapa
saja yang melakukan suatu pelanggaran pidana
2. Menempukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangaitu dapat dikenai/ dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar laranggan tersebut. 6

4
C.S.T.Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, balai Pustaka, Jakarta, ,1989, hal 39
5 Purnadi Purbacara, penegakan hokum di Indonesia, alumni, Bandung, 1977, hal 13
6 Moeljatno . Asas-Asas Hukum Pidana ,Bina Ahsara.jakarta, 1983, hal 1
Hukum pidana memiliki dua unsur pokok yaitu :
1. Adanya suatu norma yaitu suatu larangan.
2. Adanya sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukum pidana7
Berdasarkan uraian diatas bahwa upaya penegakan hukum pidana adalah upaya
menyelenggarakan peraturan atau adat secara resmi yang mengikat oleh penguasa,
pemerintah untuk menciptakan (sebagai social engineering). Memerihara dan
mempertahankan (sebagai social control) kedamaian hidup mencangkup penyelidikan,
penyidikan penuntutan, dan pra-penuntutan.
Pemeriksaan sidang, upaya hukum dan eksekusi. Agar hukum/penegakan hukum itu
(inti) sendiri dapat berjalan dengan baik, maka harus diperlukan keserasian dalam hubungan
antara lain:
1. Hukum itu sendiri adalah bahwa terjadi ketidakcocokan dalam perundang-undangan
dengan hukum tidak tertulis.
2. Mentalitas petugas yang menegakan hukum (Hakim, Pengacara, Jaksa, Polisi, dst).
Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi mental penegakan
hukum kurang baik maka akan terjadi gangguan pada system penegakan hukum.
3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau perundang-
undangan baik, dan juga mentalitas penegak hukumbaik, akan tetapi fasilitas kurang
memadai, maka penegak hukum tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
4. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum, dan perilaku warga masyarakat.8
Penegakan hukum pidana in concreto, pada hakikatnya merupakan proses penjatuhan
pidana atau proses pemidanaan. Proses pemidanaan itu sendiri pada hakikatnya merupakan
proses penegakan hukum pidana dalam rangka menegakkan keadilan. Jadi merupakan bagian
pula dari “proses peradilan/mengadili” atau “proses menegakkan keadilan”. Oleh karna itu,
pengenaan atau penjatuhan sanksi pidana terkait erat dengan “proses peradilan” (penegakan
hukum dan keadilan) pada umumnya, dan khususnya terkait erat dengan syarat-syarat
pemidanaan, asas-asas dan tujuan pemidanaan dan keseluruhan sistem pemidanaan.9
Proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dengan sarana penal dan non penal. Adapun pada pencegahan
dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau ”penal
law enforcementpolicy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap: 10
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif); Tahap penegakan hukum in abstracto oleh
badan pembentuk Undang-undang yang disebut kebijakan legislatif.

7 Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas HUkum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1985, hal II
8 Soerjono Soenanto, Penegakan Hukum, Binacipta Angkasa Offsiet, Bandung, 1983, hal 15
9 Barda Nawawi Arif, Penegakan Hukum Pidana Dalam konteks Sistem Hukum dan Pembagunan Nasional, Studium General

Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 15 Mei 2007.


10 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,Ctk.

Kesatu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 79


2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); Tahap penegakan hukum in konkrito
pada penerapan hukum pidana/pidana oleh aparat peradilan pidana dari kepolsian
sampai pengadilan yang disebut kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
4. Tahap penegakan hukum in konkrito pada pelaksana pidana/pidana penjara oleh
petugas pelaksana pidana yang disebut kebijakan eksekutif.
BAB III
KESIMPULAN

KESIMPULAN

1. Bentuk dan macam-macam kejahatan kesusilaan yang dirumuskan dalam BAB XIV
KUHP tentang kejahatan tentang kesusilaan dikelompokan dalam pasal yang
langsung dan pasal yang tidak langsung berkaitan dengan delik kesusilaan, yaitu pasal
yang berkaitan langsung dengan delik kesusilaan itu sendiri seperti pasal 281,282,283,
mengenai pasal-pasal yang tidak langsung berkaitan dengan delik kesusilaan tetapi
memiliki hubungan dengan delik kesusilaan lainnya seperti UU ITE, dan UU
pornografi.RUU KUHP hanya mengelompokkan dalam 1 (satu) bab dengan judul
tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan. Tindak pidana terhadap
perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut diatur dalam pasal 467 s.d. 505 Bab 16
RUU KUHP. Mengenai kejahatan kesusilaan dalam rancanggan RUU KUHP, diatur
dalam buku ke-II (mengenai tindak pidana), BAB XV (mengenai tindak pidana
kesusilaan) yang diatur dari pasal 411 sampai 441. Pengaturan delik kesusilaan
menurut KUHP dan RUU KUHP pada dasarnya tidak jauh berbeda karena pada RUU
KUHP hanya mengkaji ulang atau merevisi pengaturan sebagaimana diatur dalam
KUHP, namun dalam Undang-undang Pornografi pengaturan delik kesusilaan
difokuskan pada perbuatan cabul yang tujuannya menimbulkan atau merangsang
nafsu.
2. Tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam KUHP tersebut kemudian diatur
lebih lanjut di dalam undang-undang lain di luar KUHP yang berisi
mempertegas/menguatkan berlakunya pada bidang pekerjaan (profesi) tertentu yang
umumnya disertai dengan pemberatan ancaman pidananya. Di samping itu, larangan
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan juga dijadikan
bahan materi kode etik dalam menjalankan profesi. Lahirnya Undang-undang Nomor
44 Tahun 2008 tentang Pornografi dilakukan atas pertimbangan bahwa tindak pidana
yang tergolong/terkait ponografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dinilai masih kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara
khusus mengatur pornografi (Penjelasan Umum).11
3. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak
merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya dengan
adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan hukum dan hak asasi

11
137BPHN: Mekanisme Penangan Hukum Tindak Pidana Kesusilaan
korban, jadi didalam KUHP Kedudukan korban itu tampaknya masih belum dioptimal
sebagaimana mestinya terhadap pelaku kejahatan kesusilaan. Misalnya :
- KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit
memberikan perlindungan langsung terhadap korban, misalnya dalam hal
penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap
korban atau keluarga korban.KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana
restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban atau
keluarganya.Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada
rumusan tentang tindakpidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana.
- KUHP menganut aliran neoklasik, yang antara lain menerima berlakunya
keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang
menyangkut fisik, lingkungan serta mental yang terefleksikan dalam Pasal 44
KUHP yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dijatuhi
pidana. Dari hal seperti itu, tepat untuk menggambarkan bahwa korban
memang sebagai pihak yang dilupakan dalam SPP.
4. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
dalam pelaksanaannya atau tujuannya berupaya untuk memberikan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia. Akan tetapi dalam penjabaran pasal-pasal
didalam penjelasannya tidak tersusun ketentuan yang memuat hak dan kewajiban bagi
korban secara adil. Beberapa ketentuan dalam KUHAP yang mengesampingkan
korban dan lebih berorientasi kepada kepentingan pelaku, yaitu:
- Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 yang terdiri atas angka 1 (satu)
hingga 32 dan berisi tentang berbagai macam pengertian berkaitan dengan
proses peradilan dengan segala aspeknya, tidak satupun yang merumuskan
pengertian tentang korban.
- Dalam Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa, yang terdiri atas 19 pasal,
sarat dengan aturan yang memberikan hak sebagai perlindungan hak asasi
manusia terhadap pelaku.
- Bab VII tentang Bantuan Hukum dalam ketentuan pasal-pasalnya mengatur
adanya beberapa hak dan kewajiban dari penasehat hukum selama proses
peradilan. Hak-hak ini dapat pula dikatakan sebagai pendukung bagi
terlaksananya hak-hak dari pelaku, karena penasehat hukum itu sangat
mengutamakan kliennya (pelaku), dan itu sudah menjadi kewajiban seorang
penasehat hukum yaitu mengurus segala masalah yang sedang dihadapi oleh
kliennya.
- Bab XII tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, menunjukkan pula adanya
beberapa hak bagi pelaku sebagai wujud dari perlindungan hukum dalam
proses peradilan pidana.
- Bab XIV tentang Penyidikan juga dijumpai ketentuan-ketentuan yang lebih
berorientasi terhadap hak pelaku.
- Dalam penjelasan pasal-pasal, tampak bahwa KUHAP lebih berorientasi pada
kepentingan pelaku daripada korban dan di bagian akhir dari penjelasan
KUHAP disebutkan beberapa asas yang maknanya lebih dominant bagi
kepentingan pelaku daripada korban.12

SARAN

1. Sifat universalitas nilai kesusilaan/pornografi dihubungkan dan berhubungan dengan


nilai kemanusiaan yakni perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang merendahkan
nilai kemanusiaan manusia dilihat dari sudut moral kesusilaan. Sedangkan sifat
lokalitas nilai kesusilaan ditentukan oleh lingkungan budaya hukum masyarakat yang
bersifat relatif, yaitu setiap lingkungan budaya hukum masyarakat memiliki cara
merumuskan perbuatan yang dilarang yang bertentangan dengan norma hukum pidana
kesusilaan/pornografi yang berbeda-beda. Hukum di satu sisi menghormati adanya
budaya hukum lokal tersebut, di sisi lain hukum (demikian juga hukum pidana)
memiliki fungsi untuk mengarahkan masyarakat (social engenering) untuk mencapai
kehidupan masyarakat yang ideal yang dicitakan di masa yang akan datang. Hukum
akan selalu mengikuti dinamika masyarakat, tetapi fungsi hukum dalam hubungannya
dengan dinamika masyarakat tersebut adalah menguatkan norma yang dinilai baik dan
melarang atau mengarahkan agar masyarakat meninggalkan perbuatan yang dinilai
tidak baik/buruk danagar memilih melakukan perbuatan yang dinilai baik. Oleh
karena itu Tim Perumus RUU KUHP telah berusaha secara cermat dan hati-hati untuk
merumuskan kebijakan hukum pidana nasional yang terkait dengan hukum yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum(lokal). Kebijakan tersebut esensinya
dalam memberlakukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
dilakukan diberlakukan secara limitatif yakni sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-
bangsa. Ketentuan tersebut dimuat dalam Pasal 1 ayat (4) RUU KUHP.
2. Agar hukum/penegakan hukumitu (inti) sendiri dapat berjalan dengan baik, maka
harus diperlukan keserasian dalam hubungan antara lain:
a. Hukum itu sendiri adalah bahwa terjadiketidakcocokan dalam perundang-
undangan dengan hukum tidak tertulis.
b. Mentalitas petugas yang menegakan hukum (Hakim, Pengacara, Jaksa, Polisi,
dst). Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan tetapi mental
penegakan hukum kurang baik maka akanterjadi gangguan pada system
penegakan hukum.
c. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau
perundang-undangan baik, dan juga mentalitas penegak hukumbaik, akan tetapi
fasilitas kurang memadai, maka penegak hukum tidak akan berjalan sebagaimana
mestinya.
d. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum, dan perilaku warga masyarakat.

12
139BPHN: Mekanisme Penangan Hukum Tindak Pidana Kesusilaan
3. Proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum
secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan–hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan sarana penal dan non penal.
Adapun pada pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal”
merupakan “penal policy” atau ”penal law enforcementpolicy” yang
fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);
2. Tahapaplikasi(kebijakan yudikatif/yudisial);
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
4. Agar hukum pidana di bidang kesusilaan dapat eksis sebagai norma hukum
pidana untuk mengawal nilai kesusilaan yang hidup dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat, maka yang perlu dilakukan adalah :
1. Menetapkan mekanisme perlindungan bagi korban dalam lembaga
peradilan;
2. Melakukan pembaruan peraturan-perundangan, termasuk tentang prosedur
Persidangan dan aturan pembuktian baru yang kondusif untuk penegakan
HAM. Termasuk hak-hak korban kejahatan;
3. Membuatprotokol-protokol yang dirumuskan dan disepakati bersama oleh
lembaga peradian dan organisasi masyarakat pendampingkorban untuk
menjamin koordinasi upaya perlindungan dan pemberdayaan;
4. Melakukan pelatihan bagi polisi, jaksa, hakim dan panitera pengadilan
untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan menjalankan sistem
perlindungan bagi saksi/korban dengan baik.13

13
139BPHN: Mekanisme Penangan Hukum Tindak Pidana Kesusilaan
DAFTAR PUSTAKA

M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di dalam KUHP, Remadja Karya,


Bandung, 1986, Hlm.170.
Ungkapan serupa dikatakan oleh George Jelinek bahwa “the law as an ethical minimum”
(Stephen Aschafer. The political Criminal. 1973: 67). Juga terlihat dalam ungkapan Alfred
Denning, bahwa “Without religion there can be no morality and without morality there can
be no . (Oemar Senoadji. Mass Media &Hukum. 1977: 141)
Dalam KUHP ketiga kelompok yang diusulkan oleh Roesasn saleh tersebut, masih di atur
dalam bab-bab tersendiri.
C.S.T.Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, balai Pustaka, Jakarta,
,1989, hal 39.

Purnadi Purbacara, Penegakan hukum di Indonesia, alumni, Bandung, 1977, hal 13.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Ahsara.jakarta, 1983, hal 1.

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas HUkum Pidana Di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-Bandung,


1985, hal II.

Soerjono Soenanto, Penegakan Hukum, Binacipta Angkasa Offsiet, Bandung, 1983, hal 15.

Barda Nawawi Arif, Penegakan Hukum Pidana Dalam konteks Sistem Hukum dan
Pembagunan Nasional, Studium General Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 15 Mei 2007.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan,Ctk. Kesatu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm.
79.

137BPHN: Mekanisme Penangan Hukum Tindak Pidana Kesusilaan

https://www.bphn.go.id/data/documents/analisis_atas_mekanisme_penanganan_hkm_thd_tindak_
pidana_kesusilaan.pdf

http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/06/penggolongan-tindak-tindak-pidana.html

https://www.academia.edu/36356346/MAKALAH_Hukum_Pidana_Tentang_Macam-
Macam_Delik_Tindak_Pidana

https://www.scribd.com/doc/141671735/KEJAHATAN-KESUSILAAN

https://www.youtube.com/watch?v=R_cHXEpp2W0

https://www.youtube.com/watch?v=0nYwmGAfGdI

Anda mungkin juga menyukai