Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat
serta salam tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhamad SAW, kepada
keluarga, sahabat dan kita selaku umatnya.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yakni untuk memenuhi tugas
pengganti final Teori sosial yang dibimbing oleh Bapak Dr.Jaelan Usman,M.Si.
Makalah ini berjudul “Penyelesaian Konflik Ahmadiyah dan Sunni melalui Teori
Kesalahpahaman Antar Budaya” yang mana di dalamnya mencakup konflik itu
sendiri dan penyelesaiannya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, maka
untuk kritik yang membangun akan diterima dengan hati terbuka. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Terimakasih.

Makassar, 20 Januari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI.........................................................................Error! Bookmark not defined.

BAB I .................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 3

BAB II................................................................................................................................. 4

PEMBAHASAN ................................................................................................................. 4

A. Kronologis Terjadinya Konflik Ahmadiyah di Cikeusik,Banten ............................ 4

B. Penyelesaian Konflik Ahmadiyah ........................................................................... 7

C. Penyelesaian Konflik dengan Pendekatan Teori kesalahpahaman antar budaya


mengenai konflik Ahmadiyah ....................................................................................... 12

BAB III ............................................................................................................................. 18

PENUTUP ........................................................................................................................ 18

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 18

B. Saran ..................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah yang berkaitan dengan penyimpangan agama kini semakin
marak diberitakan. Apalagi permasalahan tersebut menyangkut
penyimpangan agama. Penyimpangan itu dapat terlihat dengan
terbentuknya aliran-aliran yang mengatasnamakan bahwa aliran tersebut
adalah Islam yang sebenarnya. Padahal belum tentu ajaran-ajaran dalam
aliran tersebut benar adanya.Kasus yang sering terjadi adalah seseorang
yang mengaku sebagai nabi terakhir setelah nabi Muhammad SAW dan
mengaku mendapatkan wahyu. Salah satu aliran seperti yang telah
disebutkan di atas adalah Ahmadiyah.Meskipun tujuan Ahmadiyah adalah
menghidupkan kembali agama Islam dan menegangkan kembali syari’at
Qur’aniah, namun ajaran-ajaran dalam aliran ini dapat dikatakan sesat.
Ahmadiyah yang merupakan salah satu golongan yang
mengatasnamakan agama namun dinyatakan sesat ini telah menuai
banyak kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Ahmadiyah itu
sendiri merupakan sekelompok orang yang memiliki keyakinan
sendiri namun mirip dengan agama Islam.Ahmadiyah memiliki ciri-ciri
istimewa dari golongan Islam lainnya, maka Ahmadiyah dapat disebut
suatu golongan atau suatu aliran dalam Islam,tetapi sebenarnya ia
adalah suatu gerakan yang besar dalam pangkuan Islam.Tujuan utamanya
adalah membangunkan kaum muslimin dan mempersatukan usaha mereka
untuk menyebarluaskan Islam. Tujuannya juga bukan memusatkan dan
memegang teguh kepada perbedaan-perbedaan faham yang tidak begitu
penting,sebagaimana dilakukan oleh golongan golongan Islam lainnya.
Cita-citanya jauh mengatasi segala penganutpenganut faham lain dalam
Islam.Kelompok ini memiliki seorang imam yang bernama Mirza Ghulam
Ahmad dan para pengikutnya disebut Ahmadi.
Konflik antar umat agama Islam di Indonesia terkait permasalahan
Ahmadiyah telah sering dan lama terjadi di berbagai daerah. Penolakan

1
dan berakhir dengan tindakan kekerasan yang memakan banyak korban,
pengrusakan tempat ibadah dan penyerangan menunjukkan konflik
tersebut serius. Tidak saja nampak di atas permukaan tetapi juga dibawah
permukaan sehingga perlu diselesaikan secara komprehensif. Dari
berbagai kasus konflik Ahmadiyah di berbagai daerah, pada makalah ini
akan mengambil sampel kerusuhan di Cikeusik, Pandeglang, Banten,.
Ahmadiyah adalah sebuah nama yang tidak bisa lepas dari tragedi
yang terjadi di Cikeusik. Permasalahan Ahmadiyah merupakan
permasalahan yang tidak mudah begitu saja kita lepaskan dari konflik
horisontal di Indonesia, bahkan di beberapa negara di belahan dunia
lainnya. Sebelum tragedi Cikeusik terjadi, sudah banyak tragedi-tragedi
keagamaan lainnya yang menyangkut Ahmadiyah, sebut saja di Parung,
Lombok Barat, Makassar dan di beberapa tempat lainnya
Konflik yang terjadi di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten
merupakan konflik yang terjadi berkaitan dengan permasalahan hak
manusia yang paling dasar, yaitu hak asasi manusia. Konflik yang terjadi
di Cikeusik berkaitan dengan masalah agama, yang merupakan hak yang
paling dasar bagi setiap individu manusia, oleh karena itu masalah agama
merupakan masalah yang sensitif yang akan gampang menyulut emosi
para pihak yang terkait di dalamnya, dan emosi tersebut berbuntutlah pada
sebuah tragedi yang sekarang kita kenal dengan konflik Cikeusik.
Konflik ini merupakan konflik intra umat beragama, yang sama-
sama mempertahankan identitas dirinya masing-masing. Identitas
merupakan salah satu elemen kuat yaitu mobilisasi kelompok komunal
didasarkan ras, agama, kultur, bahasa dan lain-lain. Konflik Pandeglang
merupakan konflik internal agama Islam antara Islam yang mainstream
(kelompok massa)dengan sebuah aliran minoritas yaitu Ahmadiyah yang
juga mengatakan kelompoknya adalah Islam. Salah pemicu konflik ini
adalah fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan bahwa
Ahmadiyah aliran sesat. Fatwa ini dijadikan sebagai landasan oleh

2
kelompok massa yang sangat benci terhadap Ahmadiyah untuk melakukan
penyerangan.
Kesenjangan pemahaman adalah awal dari segala perbedaan.
Apalagi bilamana tidak terdapat negoisasi dan pintu toleransi tertutup.
Kasus Ahmadiyah di Indonesia termasuk konflik ummat dalam satu
agama,yaitu agama Islam.Konflik tersebut dipandang darisisi komunikasi
antar budaya, terjadinya kesenjangan persepsi antara ummat Islam
mainstream terhadap ummat Islam jemaat Ahmadiyah. namun dipandang
dari sisi jemaat Ahmadiyah, terdapat kelemahan komunikasi antar budaya
dalam dakwah yang mereka lakukan.Asumsi tentang latar belakang
agama dan budaya yang berbeda membuat konflik antar sesama ummat
Islam tidak terelakkan. Jalan yang harus dilakukan adalah melihat dari
dekat komunikasi antarbudaya yang telah dilakukan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kronologis Terjadinya Konflik Ahmadiyah di Cikeusik,
Banten ?
2. Bagaimana penyelesaian Konflik ahmadiyah ?
3. Bagaimana pendekatan teori kesalahpahaman antar budaya
mengenai Konflik Ahmadiyah ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini sebagai tugas pengganti final
mata kuliah teori sosial

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kronologis Terjadinya Konflik Ahmadiyah di Cikeusik,Banten


Konflik Ahmadiyah merupakan konflik antar umat beragama, yang
sama-sama mempertahankan identitas dirinya masing-masing. Identitas
merupakan salah satu elemen kuat yaitu mobilisasi kelompok komunal
didasarkan ras, agama, kultur, bahasa dan lain-lain. Konflik Pandeglang
merupakan konflik internal agama Islam antara Islam yang mainstream
(kelompok massa) dengan sebuah aliran minoritas yaitu Ahmadiyah yang
juga mengatakan kelompoknya adalah Islam.
Konflik antar umat agama Islam di Indonesia terkait permasalahan
Ahmadiyah telah sering dan lama terjadi di berbagai daerah. Penolakan
dan berakhir dengan tindakan kekerasan yang memakan banyak korban,
pengrusakan tempat ibadah dan penyerangan menunjukkan konflik
tersebut serius. Tidak saja nampak di atas permukaan tetapi juga dibawah
permukaan sehingga perlu diselesaikan secara komprehensif.
Kasus konflik ini merupakan kasus kekerasan yang
memprihatinkan dan menjadi perhatian di tingkat nasional. Kronologis
dari kerusuhan Cikeusik adalah sebagai berikut Sebelum peristiwa ini,
Sabtu tanggal 5 Februari 2011 sekitar pukul 09.00 WIB Polisi dari Polres
Pandeglan menangkap Parman (Mubalik Ahmadiyah Pandeglan), istrinya
dan Tatep (Ketua pemuda ahmadiyah). Parman adalah mubaligh
Ahmadiyah kelahiran Cikesuik sementara Tatep ketua Pemuda Ahmadiyah
Cikesuik. Polisi membawa mereka ke Polres Padeglang dengan alasan
ingin meminta keterangan atas status imigrasi istri Parman yang
berkewarganegaraan Piliphina. Karena penahanan ini, warga Ahmadiyah
Cikeusik diungsikan ke rumah keluarga Parman, desa seberang Umbulan.
Warga Ahmadiyah berjumlah 25 orang, mayoritas orang tua dan anak-
anak.

4
Berdasarkan informasi penahanan ini, pemuda-pemuda Ahmadiyah
dari Jakarta dan Serang pergi menuju Cikeusik untuk melakukan
pengamanan terhadap warga Ahmadiyah yang masih menetap di Cikeusik.
Mereka tiba sekira pukul 8.00 WIB keesokan harinya tanggal 6 Februari.
Mereka berjumlah 18 orang (ditambah 3 orang warga Cikeusik). Mereka
kemudian berjaga-jaga di rumah Parman.Diperkirakan pukul 9.00 WIB
ada 6 petugas polisi dari reserse kriminal datang ke lokasi dengan satu
mobil pick-up kijang polisi dan dua truk Dalmas (Pengendali Massa).
Mereka sarapan pagi bersama dan mengobrol dengan warga Ahmadiyah.
Ada dialog antara warga Ahmadiyah dan Polisi, Polisi minta mereka untuk
segera meninggalkan lokasi dan tidak melakukan perlawanan jika ada
serangan. Atas desakan polisi, warga Ahmadiyah menolak, lalu perwakilan
Polisi meninggalkan lokasi karena menerima telepon.Minggu tanggal 6
Februari 2011 pukul 10.00, Massa diperkirakan berjumlah 500 orang
menyerang lokasi Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik,
Kabupaten Pandeglang. Massa dari arah utara terus mendatangi lokasi
warga Ahmadiyah. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok,
“Ahmadiyah hanguskan!” “Ahmadiyah bubarkan” “Polisi minggir! Kami
yang berkuasa di sini!”Saat mereka mendekati halaman rumah Parman,
wakil Ahmadiyah bernama Deden Sujana yang berjaga-jaga berusaha
menenangkan massa. Namun massa makin beringas. Terjadi pemukulan
terhadap Deden. Saat itu 21 jamaah Ahmadiyah yang bertahan keluar dari
rumah, dan massa sempat mundur. Namun gelombang massa kian besar
dari arah belakang. Serangan makin massif. Serangan ini diperbesar
kemudian dari arah selatan. Saksi di TKP memperkirakan jumlah
penyerang berjumlah 1500 orang. Penyerangan berusaha mengejar
anggota Ahmadiyah. Yang tertangkap di sawah-sawah ditelanjangi
kemudian dipukuli secara brutal bersama-sama. Mereka yang ditangkap
adalah Rony, Mulyadi, Tarno dan Masruddin. Massa menyerang warga
Ahmadiyah dengan senjata tajam : golok, pedang dan tombak. Batu-batu
juga digunakan untuk memukul korban. Warga Ahmadiyah yang bisa

5
melarikan diripun menerima banyak luka senjata tajam dan memar.
Penyerang terus memukuli warga Ahmadiyah yang tertangkap, satu orang
berhasil melarikan diri. Tiga warga Ahmadiyah tewas di lokasi
penyerangan. Sebagian besar tubuh mereka penuh sayatan dan tusukan
golok, wajah rusak, luka lebam.
Gambaran Situasi Sebelum Konflik
Pada saat sebelum terjadi konflik dan berakhir dengan kekerasan di
Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang memang
sudah terjadi pergesekan-pergesekan antara warga desa dan sekitarnya
dengan jemaat Ahmadiyah setempat terkait dengan perbedaan pandangan
dan ajaran dalam ajaran Islam. Sebagaimana diketahui warga sekitar
Cikeusik tergolong fanatik dalam memegang ajaran Islam sesuai Al-Quran
dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Sehingga sulit baginya menerima
warga lain yang memiliki aliran yang berbeda dan dianggap menyimpang.
Kegiatan ibadah jemaat Ahmadiyah yang memiliki masjid sendiri secara
khusus telah meresahkan warga dan membuat khawatir ajaran yang dinilai
sesat tersebut dapat semakin meluas dan mempengaruhi warga lainnya.
Jadi kegelisahan dan konflik dibawah permukaan sebenarnya sudah lama
terjadi, hanya dalam kasus kekerasan pada tanggal 6 Februari 2011
tersebut dikarenakan pemicu (triger). Pemicu bisa saja terjadi atas
dorongan penolakan dan kerusuhan Ahmadiyah di berbagai daerah yang
lain. Tindakan kekerasan mengakibatkan konflik nampak di atas
permukaan yang merupakan akumulasi dari konflik di bawah permukaan
yang sudah lama terjadi, sehingga mengakibatkan kekerasan yang luar
biasa.
Yang Terlibat Dalam Konflik
Pada kasus kekerasan di Cikeusik yang terlibat adalah kelompok
aliran Islam fundamentalis dengan kelompok jamaat Ahmadiyah. Kedua
kelompok tersebut ternyata tidak saja berasal dari daerah Cikeusik, tetapi
juga berasal dari daerah-daerah lain yang melibatkan dalam konflik
tersebut. Seperti jamaat Ahmadiyah didatangkan dari Jakarta dan Serang,

6
sedangkan kelompok penyerang nampaknya sudah dikoordinir dengan
baik dengan terlihat adanya tanda pengenal berupa pita warna biru. Bisa
saja kelompok penyerang berasal dari keorganisasian pemuda Islam. Hal
ini menunjukkan adanya kesinambungan antara konflik Ahmadiyah
diberbagai daerah yang nampaknya bersifat lokal dengan Cikeusik. Tetapi
menurut beberapa analisis kasus tersebut juga dapat disebabkan atau
dimanfaatkan oleh pihak ketiga, yang mengambil kepentingan dalam kasus
tersebut. Sayangnya pihak ketiga selalu sulit dibuktikan keterlibatannya
dalam setiap konflik. Adanya kepentingan politis dalam konflik lebih
cenderung hanya pada tahap hipotesis.
Yang Berkepentingan dalam Konflik
Secara fisik Nampak yang berkepentingan dalam konflik Cikeusik
adalah satu, kelompok Islam fundamentalis yang ingin menegakkan akidah
ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW dan
mencegah adanya kelompok ajaran sesat. Dua, kelompok jamaat
Ahmadiyah yang tetap mempertahankan keyakinan ajaran Ahmadiyah
yang dianggapnya sebagai suatu ajaran yang benar. Tiga, Kelompok yang
dapat memainkan konflik Ahmadiyah dan mengambil keuntungan dari
kerusuhan tersebut. Misalnya kepentingan politis dan pengalihan issue.
Sekali lagi bahwa kelompok ke tiga ini sulit pembuktiannya secara fisik.

B. Penyelesaian Konflik Ahmadiyah


Ahmadiyah telah dinyatakan sebagai aliran sesat (non-
Islam) oleh Rabithah al-‘Alam al-Islami (Muslim World League) pada
1974 serta fatwa MUI pada 1980 dan 2005. Dalam konteks perundangan
di Indonesia, Ahmadiyah dianggap sebagai aliran yang menodai agama
berdasarkan PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, yang kemudian diperkuat menjadi UU No
5/1969 dan dimasukkan ke dalam KUHP, yakni pasal 156a. Ahmadiyah
dinilai telah melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran dari agama, yakni mengakui Mirza Ghulam Ahmad

7
sebagai nabi. Sebenarnya PNPS ini sudah diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk judicial review, tetapi MK menolaknya melalui
Keputusannya No. 140/PUU-VII/2009.
Di dunia terdapat variasi tentang kebijakan negara terhadap
penodaan agama serta pelarangan atau pembatasan aktivitas aliran
keagamaan yang dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat. Dalam
resolusi-resolusi Komisi/Dewan HAM PBB sejak tahun 2002, negara-
negara yang mendukung hukum penodaan agama (blasphemy law) lebih
banyak dari pada yang menolaknya. Meski Amerika Serikat dan Uni Eropa
menolak hukum ini, kini masih banyak negara Eropa yang
mempertahankannya, yakni Austria, Denmark, Finlandia, Yunani, Italia,
Irlandia, Belanda dan Jerman di samping Spanyol, Protugal dan Slovakia.
Demikian pula, sejumlah negara di Eropa, seperti Rusia, Perancis, Swiss,
Jerman dan Yunani, kini masih melarang atau membatasi aktivitas aliran
tertentu, seperti Mormon, Saksi Yehova atau Scientology serta aliran-
aliran kepercayaan (cults) lainnya.
Semua negara Muslim memiliki hukum penodaan agama, dan pada
umumnya mereka melarang aliran Ahmadiyah atau mengelompokkan
sebagai non-Islam. Oleh karenanya, beberapa tahun lalu banyak ormas
Islam di Indonesia menuntut Presiden untuk membubarkan Jemaat
Ahmadiyah berdasarkan PNPS di atas. Namun karena pembubaran oleh
presiden itu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, maka Ahmadiyah ini
tidak dibubarkan. Sebenarnya kasus ini bisa diselesaikan melalui
proses peradilan dengan tuduhan penodaan agama berdasarkan pasal 156a
KUHP, tetapi sampai kini belum ada pihak yang membawanya ke
pengadilan.
Pemerintah menyelesaikan kasus Ahmadiyah dengan
penerbitan SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, No 3/2008, No
KEP-033/A/JA/6/2008, No. 199/2008. SKB ini memberi peringatan
kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran ajaran yang
menyatakan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, serta peringatan kepada

8
warga masyarakat untuk tetap menjaga kerukunan. Dengan demikian,
SKB ini memperbolehkan pengikut Ahmadiyah untuk mengekspresikan
keyakinan mereka secara internal (forum internum), tetapi melarang
mereka untuk mengekspresikannya secara eksternal (forum
externum). Hanya saja, sampai kini kadang-kadang masih terjadi
pelanggaran terhadap SKB tersbut, baik yang dilakukan oleh pengikut
Ahmadiyah maupun oleh warga. Bahkan di Lombok Barat pengikut aliran
ini masih berada di pengungsian di Asrama Transito Mataram sejak 2006.
Oleh karenanya, Pemda, Kantor Kementerian Agama dan MUI
Kabupaten/Kota serta para tokoh agama di tingkat lokal dituntut untuk
terus menerus mensosialisaikan SKB tersebut. Sejalan dengan hal ini, agar
negara konsisten pada kewajiban perlindungan HAM terhadap
minoritas, para pengungsi Ahmadiyah di Mataram tersebut semestinya
dipulangkan ke kampung asalnya, kecuali jika mereka lebih memilih
relokasi atas kemauan mereka sendiri Upaya-upaya pemulangan tersebut
bisa dilakukan melalui pendekatan persuasif dengan mengedepankan
musyawarah dan negosisi (interst approach). Pendekatan ini lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan kekuasaan (power approach) atau
pendekatan pengadilan (right approach). Hanya saja, keberhasilan
pendekatan persuasif ini sangat ditentukan oleh empat faktor, yakni (1)
komitmen Pemda untuk menyelesaikan persoalan dengan
mengesampingkan faktor politis terkait Pilkada, (2) keihklasan para tokoh
agama masing-masing pihak untuk menyelesaikannya secara bijak dengan
mengesampingkan kepentingan atau egoisme kelompok, (3) keberadaan
mediator yang bisa diterima oleh semua pihak serta memiliki pengalaman
dalam dialog antar dan internal agama, dan (4) penyediaan berbagai
kompensasi berdasarkan prinsip win win solution.
Akhirnya, untuk tetap menjaga kerukunan internal umat beragama,
Pemda dan aparat keamanan tetap harus melakukan upaya-upaya
pencegahan konflik serta antisipasi agar konflik atau ketegangan itu tidak
berkembang menjadi kekerasan. Sementara para tokoh agama tetap bisa

9
menjelaskan posisi aliran-aliran tersebut dalam perspektif aqidah Islam
yang benar sesuai dengan kesepakatan ulama dan organisasi Islam tingkat
dunia, disertai dengan ajakan kepada warga tentang perlunya pemeliharaan
kedamaian dan kerukunan umat beragama.Ajakan tersebut sangat penting,
karena jika protes-protes terhadap penodaan atau penghinaan agama itu
dimaksudkan untuk “membela agama”, maka aksi-aksi itu seharusnya
dilakukan dengan cara baik (ma’ruf) dan bijaksana (hikmah), bukan
dengan cara kekerasan yang justru menodai agama itu sendiri. Di sisi lain,
para pengikut Ahmadiyah seharusnya menghentikan penyiaran
bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Yang lebih penting lagi
adalah, ketentuan delik penodaan atau penghinaan agama, yang dalam
RUU KUHP dimuat pada pasal 341-344, perlu diperjelas agar tidak
menimbulkan multi tafsir.
Di Cikeusik, Pendegelang banten telah terjadi penyerangan
terhadap pengikut ahmadiyah yang dilakukan oleh masyarakat sekitar.
Kenapa ini terjadi? apakah karena kelalaian pemerintah mengantisipasi
kejadian yang suatu saat bisa terjadi atau masyarakat yang tidak mentaati
hokum yang ada.Sebenarnya masalah aliran ahmadiyah sudah pernah
diputuskan dengan SK 3 menteri. Namun kenyataannnya sampai saat ini
realisasi praksis dari keputusan ini jauh dari harapan terlaksananya
keputusan tersebut dengan baik.
pertama, supremesi hukum, dalam hal ini pemerintah harus tegas
untuk menindak para pelaku yang melakukan penyerangan, karena
perbuatan tersebut tidak manusiawi yang sudah menewaskan tiga orang
pengikut ahmadiyah. Dan yang menjadi agenda yang segera dilaksanakan
adalah pemerintah lebih cepat menyelesaiakan persoalan aliaran
ahmadiayah. Apakah alairan ini dibubarkan atau diberi kebebasan, karena
persoaalan ini berkaitan dengan hak setiap orang untuk mengamalkan
sebuah ajaran yang sesuai dengan keyakinan masisng-masing warga
indonesia. Pemerintah harus segera memberikan solusi apakah aliaran
ahmadiyah di bubarkan atau diberi kebebasan bersikap, berpendapat

10
sebagai warga negara indonesia sesuai dengan isi dari UUD 1945.
Kedua, menfungsikan lembaga keagamaan. Untuk menyikapi
persoalan aliaran seperti ahmadiayah, pemerintah harus menfungsikan
institusi keagamaan dan organisasi keagamaan untuk memalkukan
pertimbangan-pertimbangan menyikapi aliaran ahmadiyah.persoalan
ahmadiyah sudah pernah diputuskan oleh lembaga oraganisasi keagamaan
seperti MUI, NU Muhamadiyah dan lembaga keagamaan lainnya
memutuskan bahwa aliran ahmadiyah aliran sesat sebagai aliaran yang
sesat, tetapi sampai saat ini aliran ahmadiyah masih tetap menyebarkan
ajarannya. Karena bagaimanapun memerintah tidak bisa memeutuskan
sendiri dan harus melibatkan lembaga-lembaga keagamaan.
Ketiga, lemahnya koordinasi pemerintah pusat dengan daerah.
Penyerangan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pengikut aliran
ahmadiyah di Pandegelang Banten tidak akan terjadi jika pemerintah
melakukan koordinasi yang baik dengan pemerintah daerah sampai tingkat
desa sesuai keputusan SKB3 menteri. Dengan tujuan untuk menghentikan
penyebaran aliran ahmadiyah dimanapun berada.ini yang menyebabbkan
masyarakat mengambil tindakan sendiri, karena sejak dulu sudah
diputuskan bahwa aliaran ahmadiyah adalah aliaran sesat.
Keempat, kesadaran masyarakat dalam berbangsa dan beragama.
Penyerangan kepada pengikut ahmadiyah di pandegelang banten tidak
akan terjadi jika masyarakat sadar dan mengerti tentang isi dari SKB3
menteri serta bagaimana menjadi warga negara yang baik dan tidak
mengambil keputusan sendiri untuk membubarkan aliaran ahmadiyah,
penyerangan terjadi karena masyarakat tidak memahami isi dari keputusan
SKB 3 Menteri begitu juga para pengikut aliaran ahmadiyah tidak
mengerti isi dari keputusan tersebut. Jadi disini diperlukan peran
pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah untuk mensosialisasikan
keputusan SKB3 Menteri kepada masyarakat. karena indonesia adalah
negara hukum siapa yang melakukan tindakan merugikan orang lain harus
dihukum. Ini harus melibatkan para pemuka agama untuk memberikan

11
pendidikan bagaimana beragama dan menjalankan agama yang baik.
Kelima, meninaju ulang SKB3 Menteri. Pemerintah dan lembaga
keagaman perlu meninjau ulang keputusan tersebut dan memperjelas
kekuatan hukum dari SKB itu. Agar dari pihak pengikut ahmadiyah dan
masyarakat dapat memahami isi dari keputusan itu.
Harapan dari penulis dan mungkin menjadi harapan masyarakat,
secepatnya pemerintah menyelesaikan persoalan aliran ahmadiyah. Jangan
hanya menyelesaikan masalah dari sisi kemanuaiannya saja. Tetapi
pemerintah juga tidah melupakan keputusan lembaga-lembaga keagamaan
yang memutuskan bahwa aliran ahmadiyah adalah aliran sesat dan menjadi
pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan. Sehingga persoalan
aliaran ini tidak berkepanjangan dan dapat menciptakan kerukunan antar
rakyat yang beragama. Dan jika aliran ahmadiyah dibubarkan atau diberi
kebebasan pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan harus tegas
menyikapi persoalan ini.

C. Penyelesaian Konflik dengan Pendekatan Teori kesalahpahaman antar


budaya mengenai konflik Ahmadiyah

Perlu kita ketahui Teori kesalahpahaman antar budaya merupakan


Konflik yang disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi
di antara budaya yang berbeda.
. Kesenjangan pemahaman adalah awal dari segala perbedaan.
Apalagi bilamana tidak terdapat negoisasi dan pintu toleransi tertutup.
Kasus Ahmadiyah di Indonesia termasuk konflik ummat dalam satu
agama, yaitu agama Islam. Konflik tersebut dipandang dari
sisi komunikasi antarbudaya, terjadinya kesenjangan persepsi antara
ummat Islam mainstream terhadap ummat Islam jemaat Ahmadiyah.
Namun dipandang dari sisi jemaat Ahmadiyah, terdapat kelemahan
komunikasi antar budaya dalam dakwah yang mereka lakukan.Asumsi
tentang latar belakang agama dan budaya yang berbeda membuat konflik
antar sesama ummat Islam tidak terelakkan. Jalan

12
yang harus dilakukan adalah melihat dari dekat komunikasi antar budaya
yang telah dilakukan.Penafsiran agama sering kali menjadi akar konflik.
Ahmadiyah qadian dipandang dari Perspektif Komunikasi
Antarbudaya- kajian tentang agama di ruang publik, ditemukan sejumlah
kelemahan dalam berkomunikasi jemaat Ahmadiyah.
JemaatAhmadiyah qadian dalam melakukan strategi komunikasi
antar budaya maupun strategi tidak sejalan dan sepaham dengan prinsip-
prinsip komunikasi maupun dakwah.Adanya sejumlah kelemahan telah
memunculkan mis "persepsidan mis "komunikasi bahwa komunikasi dan
dakwah yang dilakukan Ahmadiyah qadian bersifat tertutup dan eksklusif.
Padahal persepsi ummat Islam arus utama belum tentu benar, jika
Ahmadiyah melakukan strategi dalam komunikasi terbuka, termasuk
melakukan komunikasi diplomasi.Menelaah jauh dalam sejarah panjang
perjalanan Ahmadiyah,sikap ekslusivisme telah membuat komunikasi
terhambat. Sesuai dengan teori komunikasi antar budaya,
komunikasi adalah negoisasi terhadap antarbudaya komunikator dengan
komunikan, yang mempertimbangkan media, bahasa dan situasi. Dakwah
juga begitu ,mestilah dilakukan dengan strategi agar maksud mau
menerima pesan ilahiyah. Sampaikan sesuai dengan kadar akal mereka
yang menerimanya.
Kasus Ahmadiyah di Indonesia selain materi akidah yang
dibawa juga sangat tidak dapat diterima juga sikap dalam
mengkonstruksi budaya hidup mereka yang tidak dapat diterima
.membatasi pergaulan telah membuat kecurigaan kian bertambah bagi
ummat Islam mainstream.
komunikasi antar budaya yang efektif harus memperhatikan empat
syarat, yaitu :
1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia
2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya bukan sebagaimana
yang kita kehendaki;

13
3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bentindak berbeda
dari cara kita bertindak;
4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi
hidup bersama orang dari budaya lain.

Kasus Ahmadiyah Merupakan Satu Fenomena Komunikasi Antar-Budaya


Dalam kasus Ahmadiyah, yang terjadi memang bukan konflik
antara gama seperti yang terjadi di Poso atau Ambon, tapi tetap merupakan
kasus konflik antar-identitas religius karena Ahmadiyah memiliki identitas
religius yang berbeda dengan identitas religius Muslim arus utama di
Indonesia. Perbedaan itu didasarkan pada adanya pandangan yang cukup
fundamental dalam keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sangat berbeda
dibandingkan Islam arus utama. Menurut sudut pandang umumnya umat
Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam
sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi yaitu Isa
Al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan
umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad sebagai nabi
terakhir, walaupun masih menunggu kedatangan Isa as dan Imam Mahdi
Dalam satu negara di mana kebebasan beragama dijamin, konflik tetap
muncul ketika keyakinan religius sekelompok orang membuat tidak
nyaman orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama.
Perbedaan fundamental yang menyangkut soal posisi Muhammad
sebagai nabi terakhir itulah yang membuat umat Islam arus utama merasa
bahwa identitas religius mereka berbeda dengan Ahmadiyah, bahkan
mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai Islam.
Perasaan bahwa ada ketidaksamaan identitas itu selanjutnya merasa
terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat
Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka
Ahmadiyah dianggap tidak memiliki shared and learned patterns of belief
and perception* yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas
masalah utama dalam kasus Ahmadiyah ini adalah identitas religius.

14
Ada hubungan yang erat antara identitas, stereotipe, dan prasangka.
Untuk memahami begitu banyaknya informasi yang diterima, kita
biasanya melakukan kategorisasi dan generalisasi, kadang mengandalkan
stereotype satu kepercayaan yang dipercaya secara luas tentang satu
kelompok tertentu. Stereotipe ini membantu kita untuk mengetahui apa
yang kita harapkan dari orang lain, bisa positif, bisa pula negatif. Meski
begitu, stereotipe positif pun bisa berdampak negatif karena memunculkan
harapan-harapan yang tidak realistis dari individu.
Dalam kasus Ahmadiyah ini, stereotipe kelompok agama yang
menyimpang melekat erat pada diri Ahmadiyah dan pada pikiran sebagian
besar anggota umat Islam lain. Karena ada pengalaman di masa lalu bahwa
kelompok Islam yang menyimpang kerap melahirkan masalah, seperti
Negara Islam Indonesia misalnya, maka ekspektasi yang muncul dalam
kepala umat Islam arus utama pun tentang Ahmadiyah didasarkan pada
pengalaman tersebut .Stereotipe menjadi sangat destruktif ketika sifatnya
negatif dan sangat diyakini. Penelitian membuktikan bahwa jika sudah
dipercayai, stereotipe akan sangat sulit dihilangkan. Bahkan orang
cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotipe tersebut, tapi
melupakan informasi yang menentangnya. Begitu juga dengan kasus
Ahmadiyah. Imbauan dan pembelaan dari tokoh-toko Jaringan Islam
Liberal (JIL) dan Gus Dur tetap tidak dapat memupus stereotipe yang ada
dalam benak umat Islam main stream tentang Ahmadiyah. Stempel ajaran
sesat yang mesti dibasmi tetap melekat. Kita mendapatkan stereotipe
melalui berbagai cara, termasuk dari media: berita, film, dsb. Kita juga
dapat mengetahui stereotipe dari keluarga atau teman. Selain itu,
pengalaman negatif pun dapat memunculkan stereotipe. Saat mengalami
interaksi yang tidak menyenangkan dengan orang lain, kita akan
menyimpulkan bahwa keadaan tak menyenangkan itu berasal dari seluruh
kelompok tersebut, apa pun karakteristik yang kita perhatikan dari
kelompok itu.

15
Selanjutnya ada prasangka atau prejudice, yaitu sikap negatif
terhadap satu kelompok budaya tertentu berdasarkan sedikit pengalaman
atau bahkan tanpa pengalaman sama sekali. Newberg menyatakan bahwa
jika stereotipe menyatakan pada kita seperti apa sebuah kelompok,
prasangka menyatakan bagaimana perasaan yang mungkin kita miliki
terhadap kelompok tersebut. Menurut Hecht, prasangka dapat muncul dari
kebutuhan pribadi untuk memiliki perasaan positif tentang kelompok kita
sendiri dan perasaan negatif tentang kelompok lain, atau dapat muncul dari
ancaman, baik yang nyata maupun yang bersifat dugaan. Dalam kasus
Ahmadiyah, kebutuhan umat Islam arus utama akan perasaan bahwa
agama yang mereka anut tidak ternodai dapat dianggap sebagai pemicu
sikap anti-Ahmadiyah, yang merupakan prasangka terhadap kelompok
tersebut. Umat Islam mayoritas, termasuk Majelis Ulama Indonesia dan
Menteri Agama RI, merasa bahwa Ahmadiyah merupakan ancaman bagi
ajaran Islam dan umat Islam secara umum.
Lalu, perilaku apa yang muncul sebagai konsekuensi stereotipe dan
prasangka? Diskriminasi. Diskriminasi dapat muncul berdasarkan berbagai
jenis identitas: ras, etnis, agama, dll. Bentuk diskriminasi bervariasi, mulai
dari perilaku nonverbal yang halus--seperti jarangnya ada kontak mata
atau peminggiran dari percakapan--, penghinaan verbal dan penyisihan
dari pekerjaan dan kesempatan-kesempatan ekonomis, hingga kekerasan
fisik dan penyisihan yang dilakukan secara sistematis. Maluso menyatakan
bahwa diskriminasi dapat dilakukan secara interpersonal, kolektif, atau
institusional. Saat ini, diskriminasi kolektif dan institusional secara
konsisten kerap terjadi. Para individu secara sistematis dipinggirkan dari
partisipasi setara dalam masyarakat atau akses yang sama untuk
mendapatkan hak-hak formal dan informal.
Karena adanya semua stereotipe dan prasangka tentang
Ahmadiyah, berbagai jenis diskriminasi pun muncul, baik yang
interpersonal, kolektif, maupun institusional. Itu bisa dilihat dari berbagai
penyerangan fisik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah, seperti

16
Cikeusik, Cianjur, NTB, dan Cirebon, misalnya, hingga pernyataan
Menteri Agama RI tentang Ahmadiyah, yang menyatakan bahwa
kelompok itu tak boleh mengaku sebagai Islam , hingga fatwa yang
dikeluarkan MUI dan pernyataan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Dari berbagai uraian di atas, terlihat jelas bahwa kasus Ahmadiyah
ini merupakan fenomena komunikasi antarbudaya. Unsur identitas religius
menjadi dasar munculnya konflik. Stereotipe dan prasangka muncul dalam
pikiran umat Islam main stream terhadap Ahmadiyah, yang selanjutnya
memunculkan diskriminasi terhadap kelompok ini.
Komunikasi antarbudaya merupakan proses komunikasi sosial
yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi tingkat ketidakpastian
terhadap orang lain. Menurut Lary Mary dalam Andi Eka Putra , bahwa
dalam konteks relasi antar kelompok agama, proses komunikasi sosial
meniscayakan adanya saling keterbukaan sehingga terbangun sikap saling
kesepahaman sebagai lawan sikap etnosetrisme yang menunjukkan sikap
tak peduli dengan yang lain yang mengakibatkan timbulnya kebencian dan
permusuhan. Komunikasi sosial merupakan sarana membangun kohesi
atau ikatan kebersamaan dalam suatu komunitas.Melalui komunikasi
sosial, berbagai kesenjangan dapat dinegosiasikan,didiskusikan dan
dicarikan pemecahan masalahnya secara beradab. Proses komunikasi
sosial menuntut adanya saling pengertian dua belah pihak sehingga proses
komunikasi berjalan dengan lancar dan baik.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik Ahmadiyah merupakan konflik antar umat beragama, yang
sama-sama mempertahankan identitas dirinya masing-masing. Meskipun
tujuan Ahmadiyah adalah menghidupkan kembali agama Islam dan
menegangkan kembali syari’at Qur’aniah, namun ajaran-ajaran dalam
aliran ini dapat dikatakan sesat.Ahmadiyah qadian dalam melakukan
strategi komunikasi antar budaya maupun strategi tidak sejalan
dan sepaham dengan prinsip-prinsip komunikasi maupun dakwah.
Padahal persepsi ummat Islam arus utama belum tentu benar, jika
Ahmadiyah melakukan strategi dalam komunikasi terbuka,dengan adanya
saling keterbukaan sehingga terbangun sikap saling kesepahaman.

B. Saran
Sikap toleransi harus kita tanamkan dalam perbedaan pendapat
agar tidak merasa paling benar.Dengan sikap menghormati dan saling
menghargai yang dapat menghindarkan kita dari konflik antar sesama
manusia.Dalam penyusunan makalah ini mungkin terdapat banyak
kekurangan oleh karena itu penulis meminta saran dan kritik dari para
pembaca agar penyusunan makalah kedepannya akan lebih baik lagi,atas
perhatian pembaca penulis mengucapkan banyak terima kasih.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah
http://www.Analisishankamnas.blogspot.com
http://www.kitamedia.blogspot.com/2007/01/kasuskomunikasiantarbudaya
http://www.academia.edu/2013/11/19/konflikahmadiyah
https://studylibid.com/kasus-ahmadiyah
https://id.m.wikipedia.org/wiki/penyerangancikeusik
masykuriabdillah.lec.uinjkt.ac.id
repository.uinjkt.ac.id/ahmadiyahqadiandalamperspektifkomunikasiantarbudaya

19

Anda mungkin juga menyukai