Anda di halaman 1dari 84

Filsafat Berfikir

EPISTEMOLOGI: FILSAFAT PENGETAHUAN


Agustus 3, 2011
17 Komentar

PENGANTAR
artikel di bawah ini merupakan kumpulan artikel dari internet.

FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

I. ANTARAN
Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu . Filsafat
merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup
pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah
fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur
sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya
melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu
baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru
kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu
pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan patokan-
patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang.
Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah mengantarkan dalam
berbagai fase kehidupan . Sejak zaman kuno, pertengahan dan modern sekarang ini telah
melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam dengan berbagai variasinya. Proses
perkembangan dari berbagai fase kehidupan primitip–klasik dan kuno menuju manusia modern
telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan pada masing-masing zaman.
Disinilah pemikiran filosofis telah mengantarkan umat manusia dari mitologi oriented pada satu
arah menuju pola pikir ilmiah ariented, perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris
dalam berbagai segmentasi kehidupan.
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan
saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia. Namun setelah adanya demitologisasi oleh para
pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM),
Heraklitos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya, maka
pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah kemegahanya diikuti oleh proses
demitologisasi menuju gerakan logosentrisme . Demitologisasi tersebut disebabkan oleh arus
besar gerakan rasionalisme , empirisme dan positivisme yang dipelopori oleh para pakar dan
pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan kehidupan manusia pada tataran era
modernitas yang berbasis pada pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat
ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat umum. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Permasalahan yang akan kita jelajahi dalam
penulisan makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan Filsafat Ilmu Sebagai
upaya konseptualisasi dan identifikasi”. Disini dipaparkan deskripsi awal tentang sejumlah
kajian yang menyangkut tentang subbab-subbab yakni : Pengertian Filsafat, Definisi filsafat
ilmu, Obyek material dan formal filsafat ilmu, Lingkup filsafat ilmu dan subsatnsi permasalahan
problem – problem filsafat ilmu

II. Pengertian Filsafat


Problem identifikasi untuk memberikan pengertian dalam khazanah intelektual seringkali
melahirkan perdebatan-perdebatan yang cukup rumit dan melelahkan. Hampir dalam setiap
diskusi berbagai ilmu seringkali terdapat penjelasan – penjelasan pengertian yang tidak jarang
memunculkan pengertian-pengertian yang beragam. Keberagaman pengertian ini disebabkan
berbagai arah sudut pandang dan focus yang berbeda-beda diantara para pakar dalam
memberikan identifikasi . Dan ini merupakan sebuah kemakluman sebab kajian ilmu adalah
kajian abstraksi konseptual maka sangat dimungkinkan masing-masing subyek (para pemikir )
memiliki perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses menemukan
makna dalam sebuah kajian keilmuan. Peradigma tersebut akan menjadi acuan bagi pemikir
untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi pembentuk dari konsepnya
tersebut. Termasuk dalam persoalan ini adalah apakah yang dimaksud dengan filsafat? Berbagai
jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai literatur.

Arti bahasa
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab,
yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini
merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.) dan
sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan” atau “ilmu”. Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi juga dikenal di Indonesia
dalam maknanya yang cukup luas dan sering digunakan oleh semua kalangan..
Ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti cinta dalam arti yang
luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian
dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan
mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan sebagai sebuah
perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
Seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa dikatakan
merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat”
adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
, mendeteksi problem secara radikal, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam
sebuah proses kerja ilmiah.
Berkaitan dengan konsep filsafat Harun Nasution tanpa keraguan memberikan satu penegasan
bahwa filsafat dalam khazanah islam menggunakan rujukan kata yakni falsafah . Istilah filsafat
berasal dari bahasa arab oleh karena orang arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi
bahasa Indonesia dibanding dengan bahasa- bahasa lain ke tanah air Indonesia. Oleh karenanya
konsistensi yang patut dibangun adalah penyebutan filsafat dengan kata falsafat.
Pada sisi yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim juga sering menggunakan kalimat
padanan Hikmah sehingga ilmu filsafat dipadankan dengan ilmu hikmah. Hikmah digunakan
sebagai bentuk ungkapan untuk menyebut makna kearifan, kebijaksanaan. sehingga dalam
berbagai literature kitab-kitab klasik dikatakan bahwa orang yang ahli kearifan disebut Hukama’.
Seringkali pula ketika dikaji dalam berbagai literature kitab-kitab pesantren muncul ungkapan-
ungkapan dalam sebuah tema dengan konsep yang dalam bahasa arabnya misalnya kalimat ‘wa
qala min ba’di al hukama….” . dan juga sejajar dengan kata al-hakim yang mengandung arti
bijaksana. Misalnya ayat yang berbunyi
Artinya: mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana [al baqarah 2: 32].”

Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.(An Nahl:125)

Dalam terjemahan Depag ditafsiri bahwa Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang
dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil . Sementara Al Jurjani –sebagaimana
dikutip oleh Amsal Bakhtiar—memberikan penjelasan tentang hikmah, yaitu ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia.
Perkataan filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah philosophy yang juga berarti filsafat
yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Unsur pembentuk kata ini adalah kata philos
dan sophos. Philos maknanya gemar atau cinta dan sophos artinya bijaksana atau arif (wise).
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan.
Namun, cakupan pengertian sophia ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti kearifan saja,
melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan
soal-soal praktis yang bertumpu pangkal pada konsep-konsep aktivitas –aktivitas awal yang
disebut pseudoilmiah dalam kajian ilmu.
Secara lughowi (semantic) filsafat berarti cinta kebijaksanaan dam kebenaran. Maksud
sebenarnya adalah pengetahuan tentang ada dari kenyataan-kenyataan yang paling umum dan
kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika,
etika, estetika dan teori pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam hakekatnya
memang merupakan problem falsafi yang kaya dengan banyak konsep dan pengertian.

Arti istilah
Sejumlah literatur mengungkapkan, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan
philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih
terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap
dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Kemudian, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui
sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang
mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal
mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurut sejarah kelahirannya istilah filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh
Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk
terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah
kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya
kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih
lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas,
filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang tuhan
(akhirat), tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, dsb.. Semua selalu
dikembalikan ke empat bidang induk: Pertama, filsafat tentang pengetahuan; obyek materialnya,:
pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran, epistemologi; logika; dan kritik ilmu-ilmu; Kedua,
filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan, obyek materialnya: eksistensi (keberadaan) dan
esensi (hakekat), metafisika umum (ontologi); metafisika khusus: antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta); teologi (tentang tuhan); Ketiga filsafat tentang nilai-nilai
yang terdapat dalam sebuah tindakan: obyek material : kebaikan dan keindahan,etika; dan
estetika; Keempat . sejarah filsafat; menyangkut dimensi ruang dan waktu dalam sebuah kajian .
Jika dikelompokkan secara kerakterisitik cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak
aliran filsafat. Ciri pemikiran filsafat mengacu pada tiga konsep pokok yakni persoalan filsafat
bercorak sangat umum, persoalan filsafat tidak bersifat empiris, dan menyangkut masalah-
masalah asasi. Kemudian Kattsoff menyatakan karakteristik filsafat dapat diidentifikasi sebagai
berikut.
1) Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuknya yang sistematis.
3) Filsafat menghasilkan sesuatu yang runtut.
4) Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5) Filsafat bersifat komprehensif.
Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada secara kritis,
sistematis,tertib,rasional dan komprehensip

III. Definisi Filsafat Ilmu


Rosenberg menulis “ Philosophy deals with two sets of questions: First, the questions that
science – physical, biological, social, behavioral –. Second, the questions about why the sciences
cannot answer the first lot of questions”. Dikatakan bahwa filsafat dibagi dalam dua buah
pertanyaan utama, pertanyaan pertama adalah persoalan tentang ilmu (fisika,biologi, social dan
budaya) dan yang kedua adalah persoalan tentang duduk perkara ilmu yang itu tidak terjawab
pada persoalan yang pertama. Dari narasi ini ada dua buah konsep filsafat yang senantiasa
dipertanyakan yakni tentang apa dan bagaimana. Apa itu ilmu dan bagaimana ilmu itu disusun
dan dikembangkan. Ini hal sangat mendasar dalam kajian dan diskusi ilmiah dan ilmu
pengetahuan pada umumnya.yang satu terjawab oleh filsafat dan yang kedua dijawab oleh kajian
filsafat ilmu.
Beberapa penjelasan mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakanlah hal-hal misalnya :
Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua
hanya hipotesis atau dugaan belaka? Teori pengetahuan menjadi inti diskusi, apa hakekat
pengetahuan, apa unsur-unsur pembentuk pengetahuan, bagaimana menyusun dan
mengelompokkan pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan, dan juga apa saja yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan. Disinilah filsafat ilmu memfokuskan kajian dan telaahnya. Yakni
pada sebuah kerangka konseptual yang menyangkut sebuah system pengetahuan yang di
dalamnya terdapat hubungan relasional antara, pengetahu /yang mengetahui (the Knower) dan
yang terketahui /yang diketahui (the known) dan juga antara pengamat (the observer) dengan
yang diamati (the observed).
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun
karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi
dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan integrative yang
eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara
filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu
adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan
zaman dan keadaan. Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. I
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat
ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah
suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu
jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of
science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general
scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah
sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-
praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between
experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-
teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts
of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as
grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered
as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat
bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat
melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam
semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain
pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan
bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan
ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the
elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on
and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical
methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-
tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur
pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-
anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan
bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat ilmu itu
mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
4) sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah
Selanjutnya John Losee dalam bukunya yang berjudul,A Historical Introduction to the
Philosophy of Science, Fourth edition, mengungkapkan bahwa : The philosopher of science
seeks answers to such questions as:
• What characteristics distinguish scientific inquiry from other types of investigation?
• What procedures should scientists follow in investigating nature?
• What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct?
• What is the cognitive status of scientific laws and principles?

Dari ungkapan tersebut terdapat sebuah konsep bahwa tugas dari pemikir filsafat ilmu itu untuk
menjawab dan menyelesaikan persoalan persoalan yang menyangkut: pertama, apa yang menjadi
perbedaaan ilmiah karakteristik type masing – masing ilmu ntara satu ilmu dengan ilmu lainnya
melalu penelitian. Kedua Prosedur apa yang harus dilakukan secara ilmiah dalam melakukan
penelitian atas kenyataan yang terjadi di alam?, Ketiga apa yang mestinya dilakukan dalam
mendapatkan penjelasan ilmiah untuk melakukan penelitian dan eksperimen itu ? Dan keempat
apakah teori itu dapat diambil sebagai konsep dan prinsip-prinsip ilmiah?.
Sehingga sketsa filsafat ilmu dapat di gambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Level Disciplin Subject-matter
2 Philosophy of Science Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation
1 Science Explanation of Facts
0 Facts

Dengan memperhatikan tabel diatas secara jelas ditampilkan bahwa filsafat ilmu menempati
level ke-2 sedangkan ilmu (science) pada level pertama dan semuanya pada satu pangkal pokok
yakni fakta (kenyataan) menjadi basis utama bangunan segala disiplin ilmu. Kalau ilmu itu
menjelaskan Fakta sementara filsafat ilmu itu subyek materinya adalah menganalisa prosedur-
prosedur logis dari ilmu (Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation).

IV. Lingkup Filsafat Ilmu


Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?
(Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang
benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
(Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis).

Sedangkan di dalam introduction-nya Stathis Psillos and martin Curd menjelaskan bahwa filsafat
ilmu secara umum menjawab pertanyaan – pertanyaan yang meliputi :
• apa tujuan dari ilmu dan apa itu metode ? jelasnya apakah ilmu itu bagaimana membedakan
ilmu dengan yang bukan ilmu (non science) dan juga pseudoscience?
• bagaimana teori ilmiah dan hubungannya dengan dunia secara luas ? bagaiman konsep teoritik
itu dapat lebih bermakna dan bermanfaat kemudian dapat dihubungkan dengan penelitian dan
observasi ilmiah?
• apa saja yang membangun struktur teori dan konsep-konsep seperti misalnya causation(sebab-
akibat dan illat), eksplanasi (penjelasan), konfirmasi, teori, eksperimen, model, reduksi dan
sejumlah probabilitas-probalitasnya?.
• apa saja aturan – aturan dalam pengembangan ilmu? Apa fungsi eksperimen ? apakah ada
kegunaan dan memiliki nilai (yang mencakup kegunaan epistemic atau pragmatis) dalam
kebijakan dan bagaimana semua itu dihubungkan dengan kehidupan social, budaya dan factor-
faktor gender?
Dari paparan ini dipertegas bahwa filsafat ilmu itu memiliki lingkup pembahasan yang meliputi:
cakupan pembahasan landasan ontologis ilmu, pembahasan mengenai landasan epistemologi
ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis dari sebuah ilmu.

V. Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu


Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di
jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek
material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu,
sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas
sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang
sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses
itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses
abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas
filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat
menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”),
“obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan
kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek
material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama)
menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala
pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang
terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek
menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu .
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih
menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu
pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi
manusia.

VI Problema Filsafat Ilmu


Problem filsafat Ilmu dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan
pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Untuk
Telaah tentang problema substansi Filsafat Ilmu, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1)
fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
Permasalahan atau problema filsafat ilmu mancakup ; pertama Problem ontologi ilmu;
perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu pada landasan ontologis (‘apa yang
terjadi’ – eksistensi suatu entitas) Kedua, Problem epistemologi; adalah bahasan tentang asal
muasal, sifat alami, batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir, validitas, reliabilitas sampai soal
kebenaran (bagaimana ilmu diturunkan – metoda untuk menghasilkan kebenaran) Ketiga,
Problem aksiologi; implikasi etis, aspek estetis, pemaparan serta penafsiran mengenai peranan
(manfaat) ilmu dalam peradaban manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan
ilmu

VII. Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu


Cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan
meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari gejala ilmu
pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian , kebenaran, dan obyektifitas.
Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala – gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah intuisi
para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasannya
masing-masing disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi dari filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu
kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat
lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu
sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi
konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai
confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan
evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun
besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan
tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)

VII. KESIMPULAN
1. Hakekat Filsafat
• Secara bahasa Philo/philia/philare yang artinya cinta, ingin, senang dan kata Sophia/sophos
yang artinya ilmu, kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi idzofahnya menjadi
filsafat/falsafah/filosofi yang artinya mencintai kebijaksanan pengetahuan dan kenginan yang
kuat akan ilmu pengetahuan. Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala
sesuatu yang ada secara kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip
2. Hakikat Filsafat Ilmu
a. Pengertian Filsafat Ilmu
• merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya
mengenai metoda, konsep- konsep, dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam
kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.
• filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of
sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. Dalam menyelesaikan kajiannya pada konsep
ontologis. ,secara epistemologis dan tinjauan ilmu secara aksiologis.
b. Karakteristik filsafat ilmu
• Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
• Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari berbagai sudut pandang dengan sikap
kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah, sitematis berpangkal pada metode ilmiah ,
analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah dan sikap konsisten dalam membangun
teori serta tindakan ilmiah
3. Objek filsafat ilmu
• Objek material filsafat ilmu adalah ilmu dengan segala gejalanya manusia untuk tahu.
• Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dengan berbagai gejala dan upaya pendekatannya.

4. Lingkup dan problema substansi filsafat ilmu


• Cakupannya pembahasan tentang problema substansi landasan ontologis ilmu, epistemologi
ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis dari sebuah ilmu.
5. Manfaat mempelajari filsafat ilmu
• Semakin kritis dalam sikap ilmiah dan aktivitas ilmu/keilmuan
• Menambah pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan
tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
• Memecahkan masalah dan menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang
dihadapi.
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan
tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT :


SUATU PENGANTAR KEARAH FILSAFAT ILMU

1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos

Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah
filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1)
Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM –
dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran
dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-
tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India
maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi
awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah
Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah
keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia
dan kelak keselamatan sesudah kematian.

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani
Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan
dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak
terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk
dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan
Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir”
(“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides
menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).

Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari
“bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah
orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang
yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara
kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.

Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche),
itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang
mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode
berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan
kausalitasnya (sebab-akibat).

Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi).
Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam
arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui
observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir
untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang
patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat
inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah
atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian
pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara
berulangkali dihasilkan teori ilmiah.

Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 –
400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato
maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-
pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir
Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal
sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau
bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada
nyata adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos
dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang
dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato
sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika,
estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.

Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan
dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam
dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa
“ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah
dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya
bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.
Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu
alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan

2. Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama


Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai
dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt.
“Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau
Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini
anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Naziane
(330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367),
Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para
Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa
iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini banyak
pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi
“diabdikan” untuk dogma agama.

Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles.
Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun
Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan
Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut
sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles dijuluki
sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani
menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad
Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt.
“scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara
dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat internasional. Inti
ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan akal budi. Pada masa ini
filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat sebagai suatu kesetaraan antara satu
dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau
sebaliknya.

Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap
perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N.
Copernicus yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan
temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme).
Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi
sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak
jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh karena itu
dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.

3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan

Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman “Renesanse”, periode
sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527), Th.
Hobbes (1588-1679), Th. More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan yang
sangat bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah “antroposentrisme”nya. Artinya pusat
perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno, atau Tuhan
sebagaimana dalam Abad Pertengahan.
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-
kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R. Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan
G. Leibniz (1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya kemungkinan-
kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan manusia.

Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse
dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”.
Periode sejarah perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau
“Fajar Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut
sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah
mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para
empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume
(1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804)

Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah peranan filsuf Jerman Immanuel Kant, yang
dapat dianggap sebagai inspirator dan sekaligus sebagai peletak dasar fondasi ilmu, yakni dengan
“mendamaikan” pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme versus kaum
empirisme. Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal terbit tahun 1781 yang
berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason), memberi arah baru mengenai
filsafat pengetahuan.

Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada
dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum
rasionalisme maupun empirisme, yang salah apabila masing-masing dari keduanya mengkalim
secara ekstrim pendapatnya dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang
pengetahuan dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system)
manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin tanpa kategorisasi dan
penataan dari rasio manusia. Menurut Kant, empirisme mengandung kelemahan karena anggapan
bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari
pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori
(yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari
pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan
apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu
sendiri
4. Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu Yang Otonom

Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan
memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan
mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas
dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak
bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu. Akan
tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak spekulasi filsafati dan
otonom. Aliran-aliran tersebut antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme,
pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah
positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia
dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3) Positif-
ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan
metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat
diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat,
luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh
karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum
dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam
(Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”, sehingga banyak pendekatan dan metode-
metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang
berkembang sesudahnya.

Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah
aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan
tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh
Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari
kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan
semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain),
sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in
Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan
keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan research). Demikian pula hal ada dan
keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari
obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi
bahasan dalam filsafat ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu
(Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain dengan mempersoalkan
kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan
sebaliknya hasil-hasil terkini dari ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik
bagi Filsafat Ilmu sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya (survey of sciences)
sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam bukunya Science and the Modern World
(dalam Hamersma, 1981:48)
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang
begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu
sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap
individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada
gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana,
sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral
dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain.
Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat
tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka,
pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.

Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai
kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap
kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari
setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang
memberi warna dan menjadi “semangat zaman” (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu,
keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan
negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya
Sejarah Pendidikan Indonesia.

Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian
kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut
yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan
kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap
lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).

Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada
maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan,
tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan
dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau
kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan
sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah
intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)

Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu
pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih
tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu
sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya
sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal
dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.

Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau “tradisional” yang
umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir
besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah
perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266)
Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam
masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah
Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan
kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)

Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara
pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai
representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan
nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal);
masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun
negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah
yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan
dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh
anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak
mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya
menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada
sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.

Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara
diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam
pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis
ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan
politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu terapan” yang
disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan
ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis “simbiose mutualistis” antara
sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.

Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman
pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari
sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda
abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia
merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.

Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk


Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara
temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan
dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan kurikulum
dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun
swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama. Singkatnya
segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dahulu dan sekarang dan
melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk
melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan
dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.

FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang
termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat
berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan
masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai
ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan,
memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari
sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang
dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah
terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
A. Konsep dan pernyataan ilmiah
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori
ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu
menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati
alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
1. Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada
bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman
yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari
pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris,
melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini
dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai
bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan
fenomena alam.
2. Falsifiabilitas
Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah konsep
falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919-20 dan kemudian
dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini adalah, sebuah pernyataan
ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji
teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin
terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar.
A. Pengertian Filsafat Ilmu
B. Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat
ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a
discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah
suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu
jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole.
(Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of
science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general
scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah
sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-
praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between
experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-
teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis,
description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science
what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts
of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as
grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered
as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat
bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat
melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam
semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain
pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan
bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan
ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the
elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of
argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on
and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical
methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-
tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur
pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-
anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan
bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi
ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ?
(Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang
benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
(Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis).
(Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu
kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat
lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu
sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan
landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan
membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa
filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya
mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni
berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
C.Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian,
yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3)
konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya.
• Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang
sensual satu dengan sensual lainnya.
• Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama,
menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena.
Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
• Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema
rasional, dan
• Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri
dengan obyektif.
• Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta
ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek
kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap
fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif
dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta
ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan
dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional,
kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S.
Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu,
yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran
pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi
yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain
dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa
skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada
dataran transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan
sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah
antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang
sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun
yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang
mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan
dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan
praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari
yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-
proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan
persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar
tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran
korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut
lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya
keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi
eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau
probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau
axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan
postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar
kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi
antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan
fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema
moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau
kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren
antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran
koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran
struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik
dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni
berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi
dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta
fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan
lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-
partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik
dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil
memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah
human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak
merusak lingkungan.
http://getuk.wordpress.com/2006/11/16/ruang-lingkup-filsafat-ilmu

PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan
dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi
menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah
ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-
cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu,
misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya
menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan
itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak
pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan
humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan
yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan
dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak
dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak
kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman
kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu
muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu
permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak
lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari
gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-
studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai
macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis
tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang
dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam
disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam
fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian
ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman
mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam
penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi
tabung, diperlukan pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis
di bursa saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-
pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut?
Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana
caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang
memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri apa?
Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab
pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan
dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan
penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama
membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya jelas beda.
Sementara perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera
ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan
(mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera
pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman
(hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa
membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita
mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan
yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-
satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya
John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis
ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam
banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya
pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang
jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau
terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit
atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni
otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan
bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit.
Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari
sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing,
tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing
hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang
inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan
akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain
substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan
akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes
(1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh
lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang
menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul
berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran
yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita
rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang
saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau
saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara
tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang
yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah
memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya
dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu
intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya
berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan
spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut
Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan
langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa
menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu
secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi
(meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-
hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial,
yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal
tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan
salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa
sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau
makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber
lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal.
Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme
dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan
langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun
sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu
sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan
rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya
kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam,
pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani),
dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa
a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap
sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi
ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu,
sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-322
SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant,
21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun
pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah deduksi
dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik kesimpulan
dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme adalah:
– Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
– Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
– Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)
Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:
– Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
– Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
– Semua manusia akan mati (kesimpulan)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh pernyataan
“bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar karena kenyataannya
demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan fakta (bisa dilihat
di peta). Korespondensi memakai logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya
bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini, logika yang
dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis. Kebenaran
pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori
keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang diambil adalah
teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok jika diukur dengan teori
kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara
pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya
teratur), lepas dari apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan
pernyataan sebelumnya atau tidak.
***
Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita akan
meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam pengetahuan yang
paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains.
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena ilmu-
ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian
filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-
1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis
Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis
buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy
di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang
menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang
Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam
merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana
diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam
kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke
akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja
secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari segala
realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal.
Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia
(mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains,
yakni objek-objek yang bersifat empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam beberapa
bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998) membagi bidang
kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar
dan apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk), estetika (membahas
perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu
di balik yang fisik). Empat bagian ini bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap
ilmu yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat
hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah.
Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya pengetahuan
yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah
rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran seorang filosof
ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan
itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama
Islam tentu telah memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang
bisa ia lakukan: menolak ajaran agama yang menurutnya tidak rasional, atau mencari
pembenaran rasional bagi ajaran agama yang tampaknya tidak rasional.
Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang sungguh-
sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal katanya philos
(cinta) dan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan berhenti
pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke baliknya. Ia tidak akan
puas jika dalam pemikirannya masih terdapat kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan
berpikir, meskipun dalam kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari
kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil sampai pada Kebenaran atau
kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut mendekati Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran hidup,
isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya sebagai sumber nilai
yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum
agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik; materialisme,
komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi semacam padanan agama (the religion
equivalen), yang berfungsi layaknya agama formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama
dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas
Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya
sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah
etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya.
Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita
memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan
adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima
dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap
harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti
dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan
jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat
memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat,
seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak
beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah
sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama
juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan
menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama
bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan,
dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah
iman kepada Allah dan hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan ilmiah)
adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan diperoleh
melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih
berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas jumlahnya dan
satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain
berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama,
yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika
masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam
(natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-
benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia,
astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang
ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun
Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak sepesat
ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena benturan antara
metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial sudah sangat
beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan
politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi
metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan
logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan
pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains
juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum
positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat.
Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim
objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
• Menemukan dan merumuskan masalah
• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa
bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh
penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar).
Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper,
falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000
percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak
perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam,
dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu
salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali,
karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar
kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap sudah cukup
untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu
sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah sehari-
hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal,
memerkirakan), dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada
masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang
mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan agama
atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud untuk netral,
dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains dapat
mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya teori evolusi Darwin
dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan
bagi kaum agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu dilahirkan.
Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang budaya, bahasa, dll.
Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu sains bisa
menghasilkan beragam aliran dan perspektif. []
Referensi pokok:
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung:
Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Catatan:
Tulisan ini pada awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan penulis ketika sering diundang
mengisi materi Filsafat Ilmu di Latihan Kader 1 (Basic Training) HMI.
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/

BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI

“Aku datang – entah dari mana,


aku ini – entah siapa,
aku pergi – entah kemana,
aku akan mati – entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).

1. Manusia bertanya

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya,
manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:

“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi
sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut
menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu
kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai
kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu
misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal
dan kepadanya kita menuju?” — Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap
Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.

Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa
kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!


KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan
lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? — Namun Engkau telah membuatnya hampir
sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah
kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”

2. Manusia berfilsafat

Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia
menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik
segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut
pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren
(“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas),
makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (=
kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).

Al-Kindi (801 – 873 M) : “Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang
merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia
… Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran
pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran”.

Unsur “rasional” (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam
upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan “secara mendasar” pengembaraan manusia di
dunianya menuju akhirat. Disebut “secara mendasar” karena upaya itu dimaksudkan menuju
kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-
musabab terdalam dari obyek yang dipelajari (“obyek material”), yaitu “manusia di dunia dalam
mengembara menuju akhirat”. Itulah scientia rerum per causas ultimas — pengetahuan mengenai
hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis “semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu
sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena
hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat
dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga;
bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya
ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup”. Mengingat berfilsafat adalah berfikir
tentang hidup, dan “berfikir” = “to think” (Inggeris) = “denken” (Jerman), maka – menurut
Heidegger (1889-1976 ), dalam “berfikir” sebenarnya kita “berterimakasih” = “to thank”
(Inggeris) = “danken” (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan
yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata “hikmat” bahasa Inggerisnya adalah “wisdom”, dengan
akar kata “wise” atau “wissen” (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa
Norwegia itulah “viten”, yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta “vidya” yang
diindonesiakan menjadi “widya”. Kata itu dekat dengan kata “widi” dalam “Hyang Widi” =
Tuhan. Kata “vidya” pun dekat dengan kata Yunani “idea”, yang dilontarkan pertama kali oleh
Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere =
menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu
pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama – fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal
dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang
dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-
hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia,
bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika”
(“physos” = alam).

Aras abstraksi kedua – matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri
dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang
dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari
semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga – teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-“abstrahere” dari semua
materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas
pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran
pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat
pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi
selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu
pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian
dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan
tentang batas-batas dari kekhususannya.

3. Manusia berteologi

Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan
Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam
semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh
orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan
hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas
yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah
berfilsafat juga.

Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya,
terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna
kata “sama” itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi
adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok
itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi
pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan
ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu
terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.

Catatan.

(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan
koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi
hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal (“‘aql”) dan kata ilmu (“‘ilm”) telah digunakan
dalam teks Al Qur’an. Kedekatan kata ‘ilm dengan kata sifat ‘alim kata ulama kiranya juga dapat
dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, “Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu
pengetahuan”, Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata
“ilmu” itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna
kata “ilmu” dalam teks dan konteks Al-Qur’an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai
pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan
hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia
meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan “dari atas” nyata
pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada
manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas “sapaan” Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena
ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: “aku
tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan
Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (akal menyelidiki isi
iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan
imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

4. Obyek material dan obyek formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang
mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia,
dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam
(kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi – filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam
konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi,
kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan
tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat
tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas
sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang
sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses
itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses
abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas
filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat
menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”),
“obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan
kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek
material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama)
menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala
pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang
terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

5. Cabang-cabang filsafat
5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu:
tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum,
agama, sejarah, … Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:

1. filsafat tentang pengetahuan:


obyek material : pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum (ontologi);
metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.

5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.
Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam
pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan


jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika (“logikos”) “berhubungan dengan
pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana
pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-
pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan
ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-
ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu,
dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.

5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat:
eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, … dan sebaginya.

5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang
gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat
hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu
mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku
manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya
manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang
penuh dengan sikap “takut-dan-taqwa”, wedi-lan-asih ing Panjenengane.

Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu
pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara
filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan
kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah
haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.

Catatan lain.

1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar
sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah
peribahasa: “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu”. Tahukah saudara akan kadar
keimanan saya?

2. Sekaligus juga patut ditanyakan “dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah
“hati” itu (misalnya dalam kata “sakit hati” jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang
pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata “sakit hati” karena liver anda
membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam
kata “batin”, “kalbu”, “berhati-hatilah”, “jantung hati”, “jatuh hati”, “hati nurani”, dan “suara
hati”.

3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada
banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait
dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah
(“clearly and distinctly”), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan
menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang
dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya
dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.

6. Refleksi rasional dan refleksi imani

Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi
obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-
naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang
sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu
pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan
keberuntungan bangsa Israel — bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai “bangsa terpilih”,
mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH
(dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-
naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun
memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.

Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus
dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang
disebut “negara Israel”.

Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan
Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham
yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya,
refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab
pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan
penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa
itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus,
barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup
dan sejarah manusia.

Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu,
berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit
bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat
dikatakan mengatasi setiap ilmu.

Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang
pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang
terkumpul (misalnya dalam wujud “ilmu kedokteran alternatif” tusuk jarum), dan dalam karya-
karya sastra “kaliber dunia” dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan
sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh
dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.

Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik
Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala
inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan
sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk “mokhsa”, pembebasan dari
keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas
kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan
sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-“dharma yuddha”, perang penuh
semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah “a
man of action” (“karma yogin”), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian
sehingga ia menjadi “mokhsa” melalui “perjuangan” yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma
Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih
sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai
sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual,
teologis dan etis.

Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok.
Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia
yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia
(yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan
waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa
depan.
Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah
sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: “Manunggaling Kawula
Gusti” (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT
Gramedia.

Pengertian Epistemologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu)
adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini
termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat,
misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta
hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui
akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif,
metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan
dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata
menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian
epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang
berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka
saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.

Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep,
meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan
konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi
mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak
akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa
memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru
bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-
hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap
substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya
yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap
substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi
itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan
pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.

epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan
pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen
Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana


kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin
untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun
S.Suriasumantri, 2005).

Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan,
P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan
mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan
D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal
itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup
membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan
berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan,
sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan
pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua
aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.

Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang
keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit
perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari
kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif
lebih mudah dipahami.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2082651-pengertian-
epistemologi/#ixzz1TvrB2vrp

ARTI EPISTEMOLOGI

Epistemologi adalah teori pengetahuan


1. Salah satu cabang filsafat yang mempermasalahkan hakikat pengetahuan, sumber-sumbernya,
syarat-syarat memperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian pengetahuan serta hakikat
kehendak dan kebebasan manusia dalam pengetahuan.
2. Cabang filsafat yang khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan
mendasar tentang pengetahuan.
3. Suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia
dalam interaksinya dengan diri, dan lingkungan sekitarnya.
4. Suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif (menilai), normatif (tentukan tolak ukur) dan kritis
(mempertanyakan dan menguji)

PEMBAHASAN DALAM EPISTEMOLOGI


1. Membahas tentang sumber-sumber pengetahaun
2. Membahas tentang apa yang kelihatan versus hakikatnya
3. Membahas tentang ke-valid-an pengetahuan.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105449-filsafat-ilmu/#ixzz1TvryqDYS

Berbagai Pengertian Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang
dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan. (Robert Ackermann)

Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta
menetapkan nilai dan usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. (Lewis White Beck)

Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat
dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta
letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. (Cornelius Benjamin)

Filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan
mengenai landasan-landasan ilmu. (May Brodbeck)

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2090480-pengertian-filsafat-
ilmu/#ixzz1TvtDWHFf

PERBANDINGAN FILSAFAT PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN


1. Filsafat Pengetahuan, adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman
yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya. (Spontan)
2. Sedangkan
3. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah
dibakukan secara sistematis. (Sistematis dan Reflektif)
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
1. Bahasa, merupakan salah satu hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan pada
manusia. Bahasa Tertulis dan Tidak Tertulis.
2. Kebutuhan hidup manusia, memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup
merupakan suatu bagian dari cara berada manusia. Pengetahuan merupakan suatu alat, strategi
dan kebijakan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105451-perbandingan-filsafat-
pengetahuan-dan-filsafat/#ixzz1TvskBjnT

Epistemologi Ilmu

Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1. Ontologi (hakikat apa yang dikaji)
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran
dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara ontologis, objek
dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam
nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada”. Persoalan yang didalami oleh
ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek
tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik meningkatkan
pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan
pendapat bahkan ke¬yakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana
manifestasi kebenaran yang dicarinya. 2. Epistemologi (filsafat ilmu) Epistemologi adalah
pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas
tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode
atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan
landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam
upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal
dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam
epistemologik, sehingga dikenal model model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme,
rasionalisme kritis, positivisme, feno¬menologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas
bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya
bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan teori
intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan diperca-ya.
Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang
bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan,
cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis
(metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa,
matematika dan statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang
dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta
dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri) dapat
diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari
kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana
yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas
dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita
mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah
dan berkembang. 3. Aksiologi ilmu (nilai kegunaan ilmu) Meliputi nilai nilai kegunaan yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan yang dijumpai
dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang
ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786495-epistemologi-
ilmu/#ixzz1TvsATtEd

Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi


Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan tertentu secara
rasional, disamping itu Filsafat Ilmu Pengetahuan : Cabang filsafat yang mempelajari teori
pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis
keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Untuk memperoleh kebenaran, perlu
dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran
ilmu pengetahuan adalah sbb. :
Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai
pemegang peranan utama
Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati adalah kegunaannya untuk
menyelesaikan masalah-masalah praktis.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105457-filsafat-ilmu-pengetahuan-
mempelajari-esensi/#ixzz1TvsvurkY

Apa itu ilmu pengetahuan ? Apa beda ilmu dengan pengetahuan ?


Karena ilmu pengetahuan melahirkan keyakinan filosofis yaitu yang disebut sebagai asumsi,
postulat, aksioma.
Filsafat ilmu adalah hal yang mendasari atau makna yang terkandung dalam sebuah ilmu.
Pemahaman akan filsafat ilmu disebut epistemologis. Filsafat adalah suatu wacana atau
argumentasi mengenai segala hal yang bersifat universal yang dilakukan secara reflektif hingga
sampai pada akar masalah yaitu suatu konsekuensi radikal, terakhir, dan sistematis guna
mencapai suatu hakikat permasalahan.
Bagian yang dibicarakan dalam filsafat ilmu mengenai ilmu pengetahuan dan kebenaran. Craig
(2005) melihat epistemologi adalah inti dari permasalahan filsafat mengenai hakikat, sumber,
batas-batas ilmu pengetahuan. Artinya bahwa pengetahuan adalah keyakinan akan kebenaran,
tetapi bukan semata-mata keyakinan yang benar. Misalnya keyakinan yang benar berdasarkan
terkaan, tidak termasuk pengetahuan.

Bagian utama permasalahan filsafat adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang ada, yaitu :
1. Masalah logika formal yang mendasari wacana ilmu pengetahuan.
2. Epistemologi mencari hubungan antara kebenaran dengan luasnya pengetahuan.
3. Berbeda, sama, serta hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
4. Klasifikasi ilmu pengetahuan
5. Masalah metodologi
6. Kesatuan ilmu pengetahuan
7. Pengembangan ilmu pengetahuan.
Epistemologis merupakan proses menyusun pendapat mengenai sesuatu hal yang berhubungan
dengan mengetahui,
Sumber : Pengantar Filsafat, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. PT. Refika Aditama, 2006.
http://kelascmpd.blog.com/2009/12/28/epistemologi-filsafat-ilmu/

BEBERAPA PENGERTIAN PENGETAHUAN (KNOWLADGE)

• Knowledge is relation between object and subject (James K. Feibleman)


• Adapun pengethaun itu ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Satu
kesatuan dalam mana obyek itu dipandang oleh subyek sebagai diketahui (M.J. Langeveld)
• Menurut epistemologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari berkontaknya dua
macam besaran, yaitu a. benda atau yang diperiksa, diselidiki, dan akhirnya diketahui (obyek),
b.manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan, penyelidikan,dan akhirnya mengetahui
(mengenal) benda atau hal tadi (Ensiklopedi Indonesia)
• Pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang
lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu, sebaliknya
subyek yang mengetahui dipengaruhi (Max Scheler 1874-1928)

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2090466-pengertian-pengetahuan-
knowladge/#ixzz1TvtL6pAo

FUNGSI ILMU PENGETAHUAN

Drs R.B.S. FUDYARTANTA, dosen psikologi universitas gajah mada


menyebutkan 4 tujuan ilmu pengetahuan
(1) Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan memaparkan suatu
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari
(2) Fungsi pengembangan, menemukan hasil ilmu yang baru
(3) Fungsi prediksi, meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi
sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
(4) Fungsi Kontrol, mengendalikan peristiwa yang tidak dikehendaki.
V. AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
J.I.G.M DROST S.J Dalam karangannya Agama dan ilmu pengetahuan alam
menulis :”ilmu pengetahuan alam adala ilmu tentang semesta alam sejauh berada dalam
waktu dan ruang, tetapi ruang dan waktu baru ada pada waktu alam ada. Maka titik dan
saat terjadinya terletak di luar sudut pandangan ilmu pengetahuan alam.
Prof Harsojo memperingatkan : tetapi perlu diingatkan bahwa ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan
rahasia alam semesta yang melindungi amanusi. Ilmuwan besar biasanya diganggu
dengan perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak. Bahwa
yang diketahui itu masih meragukan
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2114500-fungsi-ilmu-
pengetahuan/#ixzz1TvrqD31y

EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI

Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada


seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976),
pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat
seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-
Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf,
cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab,
dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun
yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).

Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali
itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman
tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya
rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam.
Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai
ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam
terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi
Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan
sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat,
Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya
rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur
mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya
karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya
memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek
romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari
sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan
Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-
Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.

Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang
pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang
diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali,
baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan
kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan
umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan
bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi
sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .

Sekilas tentang Epistemologi

Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara
sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai
ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber
pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat
pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial (hakiki)?.
Ketiga, validitas (kebenaran) suatu pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang
salah dapat dibedakan.

Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut.
Pertama, idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori
atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347
SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan
inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-
ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya.
Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti
bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang
seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh
guru Aristoteles itu sebagai “alam ide”, suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah
mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal
dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat
kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato
alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.

Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting
pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus
dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan
tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles,
hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia.
(Amin Abdullah;1996).

Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang
paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak
memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme
(Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi
karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra,
kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke
berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas
putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O.
Katsof;1995).

Epistemologi Filsafat Al-Ghazali

Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai
biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’
Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap
filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang
lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah
menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan
kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah
penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali
dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan
akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya
terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita
dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang
keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya
bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.

Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan
kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati
bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa
pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi
Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).

Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul
kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :

Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan
sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa
memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap
pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum
terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang
terhadap pengetahuanku”. (Al-Ghazali, 1961).

Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-
Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak
akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).

Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang
meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran
yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali
telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap
dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.

Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :

“Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat
dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau
misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak
sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal
bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-
hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa
hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat
disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih
bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan
yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.

Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang
sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan
pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-
akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa
pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi.” (Al-Ghazali,1961).

Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya
Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh
keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-
pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu.
Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga
ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali
akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.

“Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan
yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau

bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru
dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia
tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama.”
(Al-Ghazali, 1961). “……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala
pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun
menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita
hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita
cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya
ia akan menjadi samar dan membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).

Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki
yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya
didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya
pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan
keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.

Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju
pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni
dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga
tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak
pernah terdengar oleh telinga.

“……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati,
sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci
pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada
Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-
peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian
langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).

Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak
dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat
pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak
akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu
sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).

Catatan Akhir

Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma
rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis
hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua
paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme,
dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.

Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan
beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme)
yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian
epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat
mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa
ini.

Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri,
khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut
lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-
masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang
tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya
mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan
yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti itu membuat
alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan
masalah.
http://www.goodreads.com/story/show/12243-epistemologi-filsafat-al-ghozali
Epistemologi Islam
Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang
disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan
kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure),
yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan
kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini,
kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.”
“Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua
agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.” Dll.
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa
itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan
epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episçmç
yang bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali
digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat
yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika ontologi
mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian
sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara,
ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat
diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu,
sedangkan yang kedua pada metodologi.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran
yang bernama sofisme (‫)السوفسطائية‬. Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran
kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi
kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi
menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya, mudah diterka,
terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah
agama dicurigai. Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal seperti itu telah
menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles. Menurut
mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak benar bagi
siapapun. Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.
Sofisme klasik ini kemudian berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama
skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan
keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama)
harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa
kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis
menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte,
kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing.
Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan
menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme
agama.
Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari
sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu
ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:
Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.
Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari
musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang
yang ragu.
Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu
melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada,
yakni wahyu.
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu
pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:
‫طلب العلم فريضة على كل مسلم‬
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.
Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-
mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu
ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu
(kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus
(hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa
kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada
kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni,
mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf
dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua
masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika
pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristotels saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat
umum, maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak
mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas telah
memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan
yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme,
dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan
pengetahuan jenis kedua disebut empiris.
Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari
metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia
sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis
pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi
andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau
ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan
disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni
paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”.
Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan.
Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang
yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas
permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah
sampai di situ. Inilah yang disebut intuisi.
Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun,
agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang
terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini
didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan
jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring
dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu
iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut
teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia telah siap
dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang
diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di
dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla
Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa
di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran
pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang
membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam aliran
semacam itu hampir tidak ditemukan.
Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi sumber
ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb),
dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di
atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan ini.
Dari tiga yang pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada
indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap
teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di atas, Ibn Taimiyyah juga memberikan
kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak
boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal
dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi.
Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya
ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati
biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus
benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut
al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat,
padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa
bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh
Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang
bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya al-Ghazali kedudukan
wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya,
termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya
pada dalil-dalil wahyu. Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam
pembahasannya ini adalah hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.
Adapun al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi sumber
pengetahuan ini ke dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat
al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq (indera
mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera merasa dan meraba).
Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis yang keenam adalah sesuatu
keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung tanpa melalui indera-indera yang
disebutkan tadi.” Al-Baqillani kemudian menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang
diperoleh lewat (1) intuisi, seperti seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat akal,
seperti memahami omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang mutawâtir, seperti tentang
kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk tentunya khabar-khabar keagamaan, karena
sifatnya yang sama sebagai khabar.
Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para ulama terhadap
sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis,
empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang
revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan
knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris,
sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental
dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu
pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain,
hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya,
seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan,
pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis di atas, istilah pengetahuan
(knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad
modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris
dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.
Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan
modern. Karena di Islam tidak pernah terjadi tarik-ulur yang dahsyat antara akal dan iman, atau
antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang
ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama. Karena
dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera, ketiganya berjalin kelindan dengan
sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran
definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu
dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik.
Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd
Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia
Islam (Islamic worldview):
Pengetahuan dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-’ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ûr
(kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia
merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan adalah al-
’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui; tetapi Dia tidak pernah
disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini
umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah mustahil.
al-Attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless)
dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan.
Lagi pula, al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh
pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu
pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh
karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya
mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan
diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua
bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa ilmu itu
adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua,
sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai
datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Yazdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Hal itu
disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badîhî).
Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran tidak
ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya. Frase atau tuturan
yang lazim dipakai dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu
hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan yang ada dalam ilmu atau
bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya. Contohnya definisi yang
disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti: “penangkapan bentuk (shûrah atau form)
sesuatu dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial lainnya”, atau
“hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.
Yazdi pun kemudian menjelaskan tentang ilmu ini sebagaimana halnya al-Attas. Cuma istilah
yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung dari Allah swt
Yazdi menamakannya al-’ilm al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational
knowledge, knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat usaha
manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired
knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam
karyanya tentang perbandingan epistemologi antara al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-
ma’rifah baina al-Qur`ân wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir
Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa
ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-
masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik
perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Uraian keempat ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam mencakup
dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan kedua,
sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Dalam hal ini,
mutlak disimak firman Allah swt berikut ini:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-
’Alaq [96] : 1-5)
Secara jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra`,
juga bisa diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
Klasifikasi Pengetahuan, Bukan Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak.
Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak
dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang
sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran
Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi
seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada syar’iyyah dan
ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah yang berasal dari Nabi saw,
sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh
eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.
Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama. Cuma
penamaannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyyah adalah
yang berurusan dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang tidak
diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya.
Sementara syaikh al-’Utsaimin membahasakannya dengan ilmu syar’î dan nazarî. Ilmu syar’î
adalah fiqh (pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu
nazarî adalah ilmu shinâ’ah (perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat
Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Qur`an menjelaskan bahwa
bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh
manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui
dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak
adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an inilah maka kemudian
ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam
yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-
ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional
(propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika
agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga
adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”,
melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-
cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama.
Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah
dikemukakan oleh sebagian filosof Muslim di abad pertengahan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
http://pemikiranislam.net/2010/04/epistemologi-islam/
Epistemologi Menurut Perspektif Islam : Beberapa Isu Pilihan untuk Diskusi

Osman Bakar, PhD

1. Mana-mana epistemologi – teori ilmu – semestinya berkemampuan menghubungkaitkan


dengan jelas antara dua perkara, iaitu obiek yang dikethui dan subjek yang mengetahui.Yang
membedakan sesuatu epistemology dengan epistemology yang lain adalah tanggapan terhadap
ruanglingkup realitas objek dan ruanglingkup realitas subjek yang dapat diterima sebagai
meyakinkan. Aliran utama epistemology modern umpamanya yang sebenarnya merupakan
ciptaan pemikiran Barat didapati berbeda dengan epistemologi Islam pada umumnya dari segi
tanggapan terhadap kedua dua ruanglingkup ini. Di Barat terdapat sebilangan ilmuwan dan
pemikir yang berpegang pada epistemologi yang hampir serupa dengan epistemologi Islam.
Tetapi mereka ini merupakan golongan minoritas.

2. Adalah jelas bahawa konsep realitas sangat mempengaruhi epistemologi. Bagi ajoritas
ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat modern, yang diakui sebagai ealitas adalah terbatas
kepada apa yang dapat disaksikan oleh pancaindera atau yang apat disahkan oleh metode
empiris. Yang tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan metode ini disangsikan eksistensinya
atau pun ditolak sarna sekali. ‘Metode ilmiah dijadikan penentu tunggal eksistensi sesuatu.
Isunya, konsep pembuktian kebenaran terbatas kepada penggunasuaian metode ilmiah tetapi
makna dan pengertiani lmiah itu sendiri disempitkan kepada pengetahuan empiris. Tegasnya,
ruanglingkup realitas objek menurut aliran pemikiran ini adalah terbatas kepada alam fisik.

3. Seperti mana terjadi penyempitan realitas objek yang dapat diketahui oleh manusia epada
realitas fisik maka demikian juga terjadinya pengecilan wilayah realitas subyek ang mengetahui
kepada diri yang sekadar memiliki fakultas pancaindera dan fakultas
akal yang hanya pandai berfikir secara logika tentang data-data empiris sahaja. Dengan ata lain,
diri manusia yang ingin menjadi subyek yang mengetahui mempunyai tahap esadaran yang
rendah. Di kalangan ilmuwan modem bukan sedikit yang berpendapat
bahawa akal pikiran manusia itu sendiri adalah konsekuensi proses evolusi yang bersifat fisik.
Maksudnya, akal manusia disamakan sahaja dengan otak. Maka ia dilihat sebagai produk proses
fisik yang dapat dipahami dengan hanya perlu merujuk kepada realitas alam materi. Apabila
manusia seperti ini merujuk kepada dirinya sebagai “aku” maka kesadaran “aku”nya itu sekadar
kesadaran yang dimiliki oleh ego empirisnya.Ternyata bahawa epistemologi yang dimiliki oleh
aliran utama pemikiran ilmiah di Barat moden adalah didasarkan kepada hubungan antara objek
dan subyek pada tahap kesadaran manusia yang paling rendah.

4. Berbeda kedudukannya dengan konsep realitas dalam pemikiran Islam. Menurut l-Qur’an
realitas objek yang dapat diketahui mencakupi seluruh alam semesta dan enciptanya yakni Allah
s.w.t. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat irarkis. Maksudnya, ia memiliki
berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Selain alam isik wujud alam bukan fisik yang juga dapat
diketahui oleh manusia. Alam semesta atau kosmos yang diperlihatkan oleh al-Qur’an terbahagi
secara kasarnya kepada tiga tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat
terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat teratas adalah realitas spiritual.
Dalam al-Qur’an realitas ini merujuk kepada dunia malaikat yang menurut hadis adalah dicipta
daripada cahaya. Realitas tingkat tengah adalah realitas psikis atau animistik yang juga disebut
sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan keagamaan di dalam al-Qur’an realitas ini merujuk
kepada dunia jinn yang dicipta daripada api yang bukan fisik.

5. Juga menurut al-Qur’an, realitas subyek yang dapat diketahui mencakupi seluruh apa ang
disebut oleh Sayyidina Ali r.a. sebagai alam kecil (al- ‘alam al-saghir). Di Barat ia ikenali
dengan istilah microcosm. Alam ini merujuk kepada alam diri manusia yang juga terbahagi
kepada beberapa tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. AI-Qur’an menegaskan:
“Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia enyempurnakannya dan meniupkan
ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan Dia enjadikan bagi kamu (fakultas) pendengaran,
pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (32:7-9). Fakultas pengetahuan
manusia meliputi pancainderanya, fakultas-fakultas batin (internal) seperti fakultas pengingatan
dan daya khayal, fakultas rasional dan spiritualnya, yakni akal dan hati (qalb). Fakultas-fakultas
yang membentuk realitas subyek inilah yang memungkinkan manusia mengetahui realitas alam
semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam suatu hirarkis.

6. Epistemologi Islam menegaskan bahawa setiap disiplin ilmu atau sains dicirikan oleh mpat
perkara berikut: [1] ada mauduk (“subject matter”) yang diberi definisi yang jelas; 2] ada premis-
premis( muqadammat) yang diandaikan benar tetapi kebenarannya tidak isa dibuktikan dalam
ilmu tersebut; kebenaran premis-premis disiplin ilmu itu perlu ibuktikan dalam displin ilmu yang
dikira lebih tinggi kedudukannya dari segi tahap ebenaran yang dibicarakan; [3] ada metode
(tariqah) yang khusus baginya; [4] ada bjektif-objektif (ahdaf) khusus bagi disiplin berkenaan.

Dibentangkan pada: Diskusi Pakar “Krisis Epistemologi di Perguruan Tinggi” FUF UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta Indonesia, 23 Mei 2008.
http://i-epistemology.net/osman-bakar/32-epistemologi-menurut-perspektif-islam–beberapa-isu-
pilihan-untuk-diskusi.html

Zainal Abidin Bagir


Center for Religious and Cross-cultural Studies
Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia

1. “Islam Yes, Sains Islam No”?


Banyak Muslim kini tak lagi alergi dengan ajakan lama Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai
Islam No”, karena politik nyatanya memang tak perlu dipandang sebagai sesuatu yang sakral.
Urusan pengaturan negara dan politik adalah urusan manajemen, yang mesti ditangani manajer
profesional, secara (seharusnya) rasional—lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang
pluralistik. Tujuan-tujuan universal Islam bisa dicapai tanpa harus membentuk institusi-institusi
dengan embel-embel Islam—yang justru kerap menjadi sumber penyalahgunaan. Bagaimana
dengan institusi sains? [1] Perlukah slogan semacam itu: “Islam Yes, Sains Islam No”? Analogi
ini ditarik karena ada kesamaan penting antara negara dan sains: keduanya adalah institusi sosial
(publik) yang hidup dalam komunitas pluralistik. Di akhir makalah ini, saya akan kembali ke
analogi ini.
Gagasan “sains Islam” sudah berada di percaturan intelektual Islam selama lebih dari 20 tahun,
di berbagai belahan dunia Muslim, termasuk Indonesia. Gagasan ini jugalah yang rupanya
sebagiannya mengilhami diadakannya seminar ini pada hari ini. Dalam proposal seminar ini,
dinyatakan bahwa salah satu tujuan penciptaan epistemologi Islam adalah untuk “membangun
sains yang berdaya guna bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan.” Sains Barat modern
didasarkan pada epistemologi Barat, maka epistemologi Islam—yang keberadaannya sulit
dipungkiri—sudah sewajarnyalah mampu melahirkan sains yang Islami. Di sini, epistemologi
dianggap sebagai dasar sains; epistemologi memiliki prioritas (yaitu, keterdahuluan) baik secara
konseptual maupun temporal. Namun sejarah sains, baik di Barat mapun Islam, saya kira
menunjukkan bahwa kaitan epistemologi dengan sains tak serapi itu. Kaitan yang rapi hanya
muncul dalam rekonstruksi rasional atas sejarah, yang tak mesti mewakili gerak sejarah yang
sebenarnya. Nyatanya, sains kerap memiliki dinamikanya sendiri. Sains berkembang bukan
karena epistemologi yang baik, tapi justru epistemologi kerap dipaksa menyesuaikan diri dengan
temuan-temuan—dan kegagalan-kegagalan—sains.
Dengan begitu, anggapan bahwa perumusan epistemologi Islam akan otomatis menghasilkan
jenis model sains alternatif yang berbeda pula menjadi patut dipertanyakan. “Jenis sains yang
berbeda” ini disebut oleh banyak Muslim sebagai “sains Islam” ( Islamic science ). Dalam
makalah ini saya tak akan membahas kaitan epistemologi dengan sains, tapi langsung beranjak
dari problematik gagasan “sains Islam”.
Apa itu “sains Islam”? Definisi awal dan paling mudah yang bisa diberikan untuk “sains Islam”
adalah bahwa ia adalah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau manifestasi ajaran-
ajaran/nilai-nilai Islam dalam sistem sains. Definisi ini jelas amat luas cakupannya, namun justru
karena itu saya kira akan disepakati oleh para penganjur sains Islam seperti dalam kelompok
yang dipelopori oleh Seyyed Hossein Nasr, Isma’il Faruqi, maupun Ziaduddin Sardar. Tanpa
menafikan perbedaan-perbedaan yang terkadang cukup radikal, bisa saya katakan bahwa gagasan
sains Islam tercakup dalam definisi ini. Perbedaan di antara mereka terutama menyangkut
pemahaman mereka atas sains dan Islam, dan strategi pembentukannya. Di luar itu, dapat
dikatakan bahwa gagasan mereka tercakup dalam definisi ini.
2. Netralitas religius sains
Salah satu premis terpenting penganjur sains Islam adalah bahwa sains itu tak bebas nilai, karena
memiliki asumsi-asumsi metafisis yang mendahului aktifitas sains, sehingga sistem nilai-nilai
tertentu (termasuk di dalamnya nilai-nilai religius) bisa mewarnai aktifitas dan hasil (teori-teori)
sains. Namun argumen-argumen untuk premis ini seringkali didasarkan pada gambaran usang
dan tak akurat tentang sejarah dan filsafat sains, dan kadang-kadang bahkan ditampilkan dalam
semacam teori konspirasi.
Di antaranya, yang kerap disebut adalah kisah standar tentang pembentukan pandangan dunia
mekanis, yang diajukan secara substantif pertama kali oleh Descartes, lalu diturunkan menjadi
alat analisis yang digunakan Boyle sebagai dasar sainsnya, dan konon dijadikan basis kosmologi
oleh Newton. Pandangan dunia mekanis inilah yang kemudian menjadi basis sekularisasi
peradaban modern, hingga berujung pada peminggiran agama. Namun kisah ini terlalu
sederhana.
Seperti terungkap dalam kajian-kajian sejarah sains, kuatnya keberagamaan ketiga tokoh itu tak
dapat dipungkiri. Tuhan menempati posisi yang sentral dan esensial dalam sistem yang dibangun
ketiga ilmuwan modern awal itu. Yang tampak nyata dalam pemikiran mereka adalah
ketegangan yang nyata antara keinginan menampilkan sistem yang naturalistik tapi tetap
memberikan tempat yang sentral untuk Tuhan. Ketegangan yang serupa tampak pula dalam
sistem-sistem yang dibangun oleh ilmuwan dan filosof Muslim beberapa abad sebelumnya,
seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Bahwa kemudian sains berkembang ke arah yang menjauh dari
semangat religius mereka adalah persoalan lain. Yang jelas, sulit menuduh mereka sebagai agen-
agen sekularisme dan marjinalisasi agama.
Argumen lain untuk menunjukkan tak bebas nilainya sains merupakan analisis filosofis struktur
sains. Dari sisi ini, sesungguhnya tak sulit diterima bahwa sains itu tak bebas-nilai, bahwa teori-
teori sains itu lahir dari proses dimana nilai-nilai atau asumsi metafisis tertentu, dan bukan hanya
data-data empiris, juga terlibat. Pertanyaannya adalah: apakah kaum beragama, khususnya Islam,
perlu keberatan dengan nilai-nilai tersebut? Yang menjadi keberatan kita sesungguhnya bukanlah
adanya nilai-nilai per se , tapi nilai-nilai yang memecah-belah komunitas sains. Yaitu, nilai-nilai
yang mungkin tak bisa diterima Muslim atau Kristen, atau juga ateis, sehingga menjadikan
mereka tak bisa terlibat dalam komunitas sains tersebut.
Apakah sains memiliki nilai-nilai semacam itu? Menurut saya, tidak. Jika pun ada, biasanya itu
akan dikoreksi dalam perkembangan selanjutnya. Misalnya, keyakinan akan keteraturan alam;
bahwa alam ini teratur, peristiwa-peristiwa alam terjadi karena adanya hukum-hukum yang pasti.
Ini menjadi basis induksi, karena tanpanya kita tak bisa menyimpulkan bahwa eksperimen yang
kita lakukan hari ini akan memberikan hasil yang sama jika dilakukan besok. Seorang Muslim
atau Kristen bisa saja mengutip ayat-ayat dalam kitab sucinya untuk menunjukkan bahwa
keyakinan seperti itu ada dalam agama mereka, tapi seorang ilmuwan tak perlu menjadi Muslim
atau Kristen untuk memiliki keyakinan seperti itu. Ini lebih merupakan “keimanan operasional-
pragmatis”, yang dipegang secara tentatif untuk tujuan pragmatis merumuskan teori. (Dengan
menyatakan ini, saya tak ingin mengingkari bahwa dalam sejarahnya, bisa jadi konteks teistik
yang menjadi habitat perkembangan sains itulah yang memungkinkan sains berkembang, seperti
diajukan banyak sejarawan sains.)
Bagaimana dengan materialisme, yang konon juga mendasari sains? Materialisme ini pun saya
kira hanya merupakan keimanan operasional-pragmatis, yang sifatnya tentatif. Kalaupun seorang
materialis meyakini bahwa yang ada hanyalah materi, pertanyaan lanjutannya adalah: apa itu
materi? Nyatanya, yang disebut materi dalam sains berubah-ubah. Kalau materi didefinisikan
sebagai sesuatu yang menempati ruang dan dapat diindera, maka elektron mesti dianggap tak
ada. Elektron yang tak bisa dilihat langsung dianggap sebagai materi hanya karena jejak-jejaknya
bisa ditemukan di laboratorium. Elektron sendiri awalnya diajukan sebagai entitas teoretis (yaitu:
fiktif), namun kini ilmuwan menerima keberadaannya tanpa ragu-ragu. Bagaimana dengan
quark? Adakah quark? Ada banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa diajukan. Namun
ringkasnya, kandungan materialisme berubah terus, menuruti perkembangan sains. Ia bukanlah
doktrin yang kaku, berhadap-hadapan secara langsung dengan agama, tapi berevolusi terus.
Saya percaya, asumsi-asumsi metafisis lain bisa ditunjukkan memiliki karakter serupa. Di sisi
lain, dalam sejarah sains dan filsafat modern, kita bisa memberikan banyak contoh asumsi
metafisis yang direvisi atau bahkan dibuang, untuk mengakomodasi sains. Contohnya, keyakinan
Kant bahwa sistem geometri Euklid adalah sesuatu yang “given”; syarat mutlak bagi pengalaman
empiris, yang tanpanya kita tak dapat mengalami alam di luar diri kita. Namun ketika
ditunjukkan bahwa ada sistem geometri non-Euklidian yang justru digunakan dalam perumusan
teori relatifitas umum Einstein, asumsi itu pun gugur.
Contoh lain adalah perdebatan mengenai karakter ruang antara penganut substantivalisme dan
relasionalisme. Dalam sistem Newton ruang dipahami bersifat substantivalis. Dalam perdebatan
Newton dengan Leibniz, kedua alternatif ini ramai dibincangkan. Lalu teori relatifitas umum
Einstein dianggap menggugurkan substantivalisme. Namun, nyatanya, sampai kini perdebatan itu
tak kunjung berakhir, karena teori Einstein itu bisa ditampilkan dengan latar belakang pandangan
substantivalisme maupun relasionalisme. Ini contoh pandangan yang bisa memecah-belah.
Namun yang kita lihat, ilmuwan tak perlu memiliki komitmen terhadap salah satu dari dua
pandangan tentang ruang ini. Teori relatifitas umum bisa diterima kelompok substantivalis
maupun relasionalis.
Dalam sejarah sains dalam Islam, ada contoh mirip. Ketika sekelompok astronom Muslim
memutuskan untuk membuang asumsi metafisis Ptolemy bahwa bumi tak bergerak dan
merupakan pusat alam semesta, mereka mampu mengajukan sistem astronomi yang lebih akurat,
mirip dengan yang kelak diajukan Copernicus. Pertimbangan para astronom Muslim itu bukanlah
pertimbangan metafisis tapi semata-mata pertimbangan matematis dan empiris. Menurut
sejarawan sains Jamil Ragep, salah satu sumbangan terbesar Muslim terletak pada upaya mereka
untuk membebaskan astronomi dari filsafat, atau dari asumsi-asumsi metafisis yang tak jelas
dasar empirisnya.
Secara umum, gerakan sains sesungguhnya bisa dipahami sebagai gerakan ke arah objektifitas
yang lebih tinggi, dengan sebisa mungkin membebaskan sains dari asumsi-asumsi metafisis yang
tak diperlukan. Yang ingin saya simpulkan sampai di sini: jika suatu asumsi metafisis
diperlukan, ia harus bisa diterima seluruh anggota komunitas sains; dan jika ia memecah belah,
maka ia tak diperlukan dalam perumusan teori-teori sains. Sekali lagi, ini karena sifat publik
sains yang mementingkan kesepakatan. [2]
Kesimpulan berikutnya: Sains tidak bebas nilai, tapi netral secara religius ( religiously-neutral ),
karena nilai-nilai yang terlibat di dalamnya bukanlah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, tapi
lebih berfungsi sebagai asumsi operasional yang dianut secara tentatif. Dengan demikian, urgensi
untuk mengajukan “sains Islam” sebagai jawaban atas kelemahan-kelemahan yang dipersepsi
ada dalam sains modern (yaitu ketaksesuaiannya dengan agama, atau Islam khususnya) hilang
dengan sendirinya.
3. Ambiguitas sains
Sebagai ilustrasi dari kesimpulan ini, saya ingin membahas pandangan Mehdi Golshani,
fisikawan Iran (yang sempat popular di sini berkat bukunya Filsafat Sains menurut al-Qur’an ).
Dalam tulisannya “How to Make Sense of Islamic Science” yang diterbitkan belum lama ini (
American Journal of Islamic Social Sciences , v. 17, no. 3, 2002), ia membela gagasan sains
Islam, namun mengkritik beberapa versinya. Menurutnya, sains Islam bukanlah usulan untuk
melakukan aktifitas sains (eksperimentasi, observasi, teorisasi) dengan cara yang baru, atau
“secara Islami”. Namun ia meyakini adanya apa yang disebut “presuposisi metafisis” sains yang
dapat didasarkan atau menentang pandangan dunia religius; ruang untuk presuposisi itulah yang
baginya mesti diisi dengan premis-premis Islami.
Ada beberapa contoh spesifik yang diajukannya, yang menurut saya justru mendukung
kesimpulan di atas bahwa sains itu religiously-neutral . Misalnya, penjelasan untuk prinsip
antropik (bahwa hukum-hukum fisika beroperasi sedemikian hingga kehidupan bisa muncul di
semesta ini). Dua alternatif penjelasan untuk prinsip ini: ada amat banyak alam semesta,
sehingga tak mengherankan jika salah satunya kebetulan memiliki syarat-syarat yang
memungkinkan adanya kehidupan; atau, penjelasan lain, hanya ada satu alam semesta, tempat
kita hidup ini, yang sengaja dirancang oleh suatu pencipta (yang amat dekat dengan teisme,
karena si pencipta itu bisa segera diidentifikasi dengan Tuhan). Ilmuwan ateis seperti Peter
Atkins cenderung kepada tafsiran banyak-alam ( many-worlds interpretation ), yang logikanya
mirip dengan evolusi makhluk hidup melalui seleksi alam. Namun penjelasan pertama ini pun,
seperti ditunjukkan Golshani sendiri, bisa diberikan tafsir teistik: “kewujudan banyak alam
dengan konstanta yang amat berbeda sejalan dengan teisme: Tuhan mungkin saja menciptakan
banyak alam dengan karakteristik-karakteristik yang berbeda”.
Contoh lain Golshani adalah teori evolusi Darwin. Tafsir yang amat populer, seperti diajukan
Richard Dawkins atau Daniel Dennett, adalah bahwa teori ini telah menghilangkan keperluan
merujuk kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Namun sebagaimana Dawkins bisa
memberi tafsiran ateistik terhadap teori evolusi, ilmuwan Arthur Peacocke yang beragama
Kristen dapat pula memanfaatkan teori yang sama untuk mendukung panenteismenya, yang
menekankan kontinuitas tanpa henti dalam aktifitas penciptaan Tuhan (melalui evolusi). Filosof
Muslim Iqbal juga memiliki pandangan yang mirip tentang aktifitas tanpa henti Tuhan yang
terwujud dalam evolusi ini.
Maka contoh-contoh Golshani semuanya sesungguhnya justru menunjukkan ambiguitas sains: ia
bisa diberi tafsiran ateistik, bisa pula diberi tafsiran religius. Dengan kata lain, sains itu
religiously-neutral. Secara umum, kita bisa menemukan dalam setiap teori ilmiah yang
fundamental, yang mungkin memiliki implikasi religius, ambiguitas semacam itu. Lalu mana
yang benar dari berbagai penafsiran itu? Sampai di sini sains sendiri tak bisa menjawabnya.
Persis sebagaimana mekanika kuantum bisa ditafsirkan sebagai mendukung determinisme
(dalam tafsir David Bohm), ia juga bisa dianggap menghancurkannya (penafsiran Kopenhagen),
dan secara prinsipil observasi empiris semata tak dapat memutuskan tafsiran mana yang benar.
Ketakmampuan sains berpihak pada salah satu dari banyak alternatif, bagi saya, justru
menunjukkan bahwa ia bebas-nilai, sejauh menyangkut kepercayaan agama. Karena itu, cukup
mengherankan kalau Golshani kemudian membela gagasan “sains Islam”.
Pelajaran yang bisa ditarik di sini adalah pentingnya pembedaan antara teori-teori sains dengan
tafsiran filosofisnya. Ini perlu ditegaskan karena beberapa hal. Pertama, di kalangan penganjur
maupun penentang gagasan “sains Islam” keduanya kerap jumbuh, sehingga memunculkan
gambaran yang keliru tentang sains. Termasuk di dalamnya adalah kesan bahwa sains modern
(yaitu satu-satunya jenis sains yang diajarkan di universitas-universitas Indonesia) sifatnya tak
Islami. Kalau saja gagasan ini tersebar luas, tak akan mengherankan jika ini menimbulkan
problem psikologis yang serius di kalangan pelajar Muslim.
Dalam hal ini, salah satu tantangan terhadap umat Islam dalam bidang sains bukanlah dari (teori-
teori atau kandungan) sains itu sendiri, tapi dari tafsiran filosofisnya. Khususnya, ini berkaitan
dengan pemahaman yang keliru bahwa sains itu secara inheren bersifat sekular-anti agama
(sehingga perlu di-desekularisasi) atau bahwa sains modern itu tidak Islami (sehingga perlu
diislamisasikan). Maraknya tafsiran ateistik dari ilmuwan seperti Dawkins dan Dennett atau
Peter Atkins tak menunjukkan perlunya kita “memerangi” sains. Upaya-upaya menciptakan sains
alternatif justru mengesankan bahwa seolah-olah tafsiran ateistik tersebut adalah satu-satunya
tafsiran yang sah, yang identik dengan sains itu sendiri. Religiusitas ilmuwan-ilmuwan seperti
Einstein, Schrodinger, Bohm yang begitu kentara lalu menjadi sekadar “sempalan”. Padahal
penulis sejarah lain di masa depan bisa saja memandang kecenderungan religius ini, yang tak
pernah hilang dalam setiap periode sejarah sains, justru sebagai mainstream .
Lebih jauh, jika memang tafsiran ateistik itu yang merupakan ”musuh” kita, sesungguhnya kita
punya sekutu penting yang bisa hilang kalau kita melulu berbicara soal “sains Islam”. Yaitu
umat-umat beragama lain yang memiliki keprihatinan yang sama, dan yang, dalam beberapa hal,
sudah maju cukup jauh dalam diskursus sains dan agama. Dalam konteks ini, saya melihat
gagasan “sains Islam” lebih sebagai upaya penegasan identitas yang tak terlalu perlu. Penegasan
identitas adalah proyek ideologis untuk menarik garis yang tegas antara “kita” dan kelompok-
kelompok lain—bukan proyek pemberdayaan.
Sejalan dengan aspirasi objektifitas yang disinggung di atas, kalaupun sains dianggap tak
objektif karena mengandung ideologi tertentu (positifisme, naturalisme, dan sebagainya), yang
kita perlukan adalah de-ideologisasi sains. Sains perlu dibebaskan dari segala ideologi—baik
ideologi religius ataupun yang anti-religius. Dalam menjalankan upaya ini kita bisa dengan
mudah mendapatkan banyak kawan beragam dari kelompok-kelompok lain
4. De-ideologisasi sains dan objektifikasi Islam
Untuk mengakhiri makalah ini, saya ingin mengajukan gagasan Kuntowijoyo tentang
objektifikasi Islam, yang diajukannya sebagai jalan tengah dalam perdebatan antara Islam dan
sekularisme politik. ( Selamat Tinggal Mitos, Selamat datang Realitas , Mizan, Juli 2002) Saya
melihat, tak hanya dalam politik, dalam sains pun gagasan Kunto itu dapat diberlakukan.
Seperti disinggung di awal makalah ini, analogi negara dengan sains bisa ditarik, karena
keduanya memiliki satu karakteristik penting yang sama: keduanya adalah upaya publik. Dalam
pemahaman pasca-positifis, sains dipahami terutama sebagai aktifitas sosial. Sains disebut
objektif bukan karena ia merepresentasikan objek sebagaimana adanya ( noumena ), namun
karena ilmuwan yang satu bersepakat atas hasil-hasil observasi yang dilakukan ilmuwan lain.
Data-data empiris adalah sesuatu yang sifatnya publik, karena itu bisa diverifikasi bersama-sama.
Kesepakatan komunitas ini jelas tak identik dengan kebenaran, dan karena itulah teori-teori sains
bisa jatuh bangun. Jatuh bangunnya teori-teori sains itu merupakan bukti bahwa sistem ini,
dengan segala ketaksempurnaannya, bisa bekerja cukup baik.
Dalam tulisan-tulisannya sejak beberapa tahun silam, Kuntowijoyo kerap berbicara tentang
peralihan dari periode ideologi ke periode ilmu. Aspirasi negara atau partai Islam adalah indikasi
umat Islam berada dalam periode ideologi. Gagasan Nurcholish “Islam Yes, Partai Islam No” 30
tahun yang silam adalah upaya transisi ke periode ilmu (yang tak sepenuhnya berhasil). Peralihan
ke periode ilmu, menurut Kunto, ditandai dengan upaya objektifikasi, yang mengandung tiga hal:
(a) artikulasi politik dikemukakan melalui kategori-kategori objektif; (b) pengakuan penuh
kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif; dan (c) tak lagi berpikir kawan-
lawan, tapi perhatian ditujukan pada permasalahan bersama.
Seperti saya singgung di atas, aspirasi “sains Islam” pun tampaknya juga lebih merupakan
proyek ideologis. Bagaimana menerapkan gagasan Kunto dalam konteks ini? Point (a): Di atas
saya telah menyebutkan bahwa sains tak bebas-nilai, tapi nilai-nilai yang dianutnya adalah nilai-
nilai yang disepakati bersama, yang tak memecah belah komunitas sains. Karena itu, nilai-nilai
apapun, termasuk nilai-nilai Islam, jika ia ingin dimasukkan sebagai bagian sains, mesti tampil
sebagai sesuatu yang objektif, yang bisa disepakati bersama, dan sebagai sesuatu yang memang
diperlukan. Caranya adalah dengan menampilkannya sebagai sesuatu yang rasional, yang sumber
justifikasinya bukan hanya berasal dari wahyu atau kitab suci secara langsung. Karena komunitas
sains adalah suatu komunitas sosial, meyakinkan anggota-anggota lain dalam komunitas
dilakukan melalui komunikasi rasional. Membawa label-label Islam dalam komunitas pluralistik
(ateis, Kristen, Yahudi, Islam, dan sebagainya) seperti itu tak akan efektif. Komunitas pluralistik
inilah yang keberadaannya harus diakui dalam point (b) di atas.
Sebagai penjelasan point (c), Kunto menyarankan untuk, “melepaskan diri dari pikiran ‘kita
versus mereka’”. Penempelan label-label eksklusif seperti “Islami” memang akan mengarah pada
identifikasi ‘kita versus mereka’, dan kerap justru melupakan kita dari persoalan yang
sesungguhnya. Khususnya di saat umat Islam tertinggal amat jauh dalam perkembangan sains,
eksklusifitas “sains Islam” sungguh tak menguntungkan.
Sesungguhnya, karena keragaman Muslim dan keragaman epistemologi Islam, seperti saya
singgung di awal makalah ini, perlu diingatkan bahwa di antara sesama Muslim pun, ada
keragaman luar biasa dalam memahami Islam. “Sains Islam” suatu kelompok Muslim bisa
berbeda jauh dengan “sains Islam” kelompok Muslim lain. Sementara label Islam tak menjamin
kebenarannya (atau kesetiaannya terhdap ajaran Islam yang sesungguhnya), jalan komunikasi
satu-satunya adalah melalui objektifikasi, melalui percakapan dalam kategori-kategori objektif,
yang bisa disepakati bersama.
Dengan demikian, kembali ke gagasan Kunto, kalau kita perlu slogan, bisa dikatakan yang
diperlukan adalah objektifisasi atau rasionalisasi Islam, bukan “Islamisasi sains”. Namun slogan
tak perlu, karena ia biasanya lebih efektif sebagai sarana provokasi, dan sekaligus lebih mudah
memancing kesalahpahaman. Yang penting adalah inti ajakan itu: Bahwa yang diperlukan
Muslim saat ini bukanlah menempatkan diri di luar komunitas sains dunia (seraya mengritiknya
habis-habisan), tapi masuk ke dalam komunitas itu. [3]
Sebagaimana saat ini tampaknya sudah disadari banyak Muslim bahwa keislaman kita tak kurang
kaaffah tanpa memiliki negara Islam, demikian pula, keislaman kita tak kurang kaaffah tanpa
memiliki sains Islam. “Islam adalah rahmat bagi alam semesta” mesti dipahami sebagai prinsip
universalitas Islam: Bahwa ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya untuk
semua orang. Objektifikasi adalah jalan ke arah itu.

[1] Sebagai disclaimer awal, perlu dikemukakan di sini bahwa ketika “sains” disebut dalam
makalah ini, yang terutama dimaksudkan adalah ilmu-ilmu alam. Argumen-argumen yang
diajukan di sini sampai tingkat tertentu berlaku pula untuk ilmu-ilmu sosial, namun ada
perbedaan-perbedaan penting di antara keduanya, yang tak akan dibahas di sini. Pendeknya,
ketika “sains” disebut, yang mesti dibayangkan adalah ilmu-ilmu alam. Untuk keperluan
menunjukkan tak bebas nilainya ilmu-ilmu, ilmu alam biasanya dianggap sebagai kasus yang
lebih sulit ketimbang ilmu sosial, sehingga jika bisa ditunjukkan bahwa ilmu-ilmu alam pun,
khususnya fisika, tak bebas nilai, apalagi ilmu-ilmu sosial, di mana keterlibatan subjek pengamat
dengan objeknya lebih intens.
[2] Kasus adanya beberpa penafsiran atas mekanika kuantum merupakan ilustrasi lain untuk
kesimpulan ini. Mekanika kuantum diterima fisikawan tanpa mensyaratkan komitmen kepada
salah satu penafsirannya.
[3] Dalam konteks ini, amat menarik mencatat pernyataan Munawar Ahmad Anees, yang sempat
dikenal sebagai pengajur sains Islam bersama Ziauddin Sardar. Dalam kolomnya di Civilization
belum lama ini (February/March 2000), ia menyebut bahwa dilihat dengan lebih teliti, upaya-
upaya Islamisasi dan penciptaan sains Islami “tampak setengah matang dan parokial ( cliquish) .”
Selanjutnya: “Isyarat jelas untuk kondisi yang patut disesalkan ini [lemahnya gerakan ilmiah
Muslim] adalah absennya negara-negara Muslim dalam salah satu upaya ilmiah terbesar umat
manusia sepanjang sejarah, Projek Genome Manusia.”
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/makalah_untuk_seminar_epistemologi_islam.htm

© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights

0901P-EPISTEMOLOGI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN PADA


UNIVERSITAS ISLAM: Epistemologi Islam dan Proyek Reformasi Kurikulum1

Dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan hari Sabtu, tanggal 7 Pebruari 2009, di
Universitas
Muhammadiyah Makassar oleh Professor Dr. Omar Hasan Kasule Sr. MB ChB (MUK), (MPH)
Harvard,
DrPH(Harvard) Professor Epidemiologi dan Kedokteran Islam Universitas Brunei Darussalam
dan Profesor
Tamu Epidemiologi Universitas Malaya. EM omarkasule@yahoo.com WEB:
http://omarkasule.tripod.com
ABSTRAK
Makalah ini berdasarkan tesis bahwa reformasi epistemologis sangat penting untuk
pendidikan yang bermutu. Makalah ini dimulai dengan meringkas konsep dasar dan
paradigma epistemologi Islam dan metodologi penelitian. Selanjutnya membahas krisis
terkini menyangkut pengetahuan dan pendidikan umat, yaitu rendahnya motivasi belajar,
serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Solusi dari krisis
pendidikan akan diawali dengan perbaikan epistemologis dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Perbaikan epistemologis didefinisikan sebagai identifikasi bias-bias paradigma
dasar dan metodologi penelitian yang mencerminkan cara pandang dunia yang tidak tauhid.
Hal ini diikuti pula dengan pembentukan kembali konsep dasar epistemologis dan paradigma
dari berbagai disiplin ilmu dari paradigma tauhid yang bercirikan objektivitas, istiqamat al
ma’arifat, dan penyeragaman, ‘aalamiyyat al ma’arifat dari pengetahuan. Makalah ini
mendeskripsikan dengan jelas pendekatan-pendekatan penting dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Kesimpulan makalah ini adalah bahwa kualitas belajar dan penelitian akan
tercapai setelah ada perbaikan epistemologis, yang dapat mendorong peserta didik dan
pengajar untuk mengejar pengetahuan dalam bingkai tauhid yang membentuk cara pandang
terhadap dunia dan nilai-nilai dalam diri mereka.
KONSEP EPISTEMOLOGIS DASAR
Apakah yang Dimaksud dengan Epistemologi Islam ?. nadhariyat al ma’arifat al islamiyyat
Epistemologi adalah ilmu pengetahuan, ‘ilm al ‘ilm. Mempelajari asal-usul, hakikat dan
metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan. Epistemologi
Islam, nadhariyyat ma’rifiyyat Islamiyyat, didasarkan pada paradigma tauhid. Parameter
tetapnya adalah dari wahyu, wahy. Parameter tidak tetapnya disesuaikan oleh keadaan
waktutempat
yang bervariasi. Sumbernya adalah wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah), observasi dan
percobaan empiris, serta alasan kemanusiaan. Sekarang ini, tantangan utamanya adalah
meraih obyektivitas, al istiqamat, yaitu tetap pada jalan kebenaran dan tidak dapat
digoyahkan oleh tingkah laku dan hawa nafsu. Istiqamat hanya datang setelah iman, seperti
sabda Rasulullah qul amantu bi al laahi thumma istaqim’.
1.2 Hakikat Ilmu Pengetahuan, tabi’at al ma’arifat al insaniyyat
Istilah Al Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay,
dhann, yaqeen, tadhkirat, shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah
1 Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka
Trihastuti, Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang,
cp : 081318681994, e‐mail : yusibnuyassin@yahoo.com
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
2
untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, shakk, dhann, dan ghalabat al dhann.
Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen.
Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, and taqwah. Al Qur’an menegaskan
dasar pengetahuan yang nyata, hujjiyat al burhan. Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan
kalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat
terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan adalah milik
umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk
hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi
abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relatif, nisbiyat
al haqiqat. Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan
pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik.
1.3 Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan, masadir al ma’arifat:
Wahyu, wahy, kesimpulan, akal, dan pengamatan empiric dari alam semesta, kaun, adalah
sumber-sumber umum dari pengetahuan yang diterima oleh orang-orang beriman. Dalam
pengertian kuantitas, yang pertama adalah pengetahuan empiric, ‘ilm tajriibi. Dalam
pengertian kualitas, yang pertama adalah ilmu yang diwahyukan ilmu dan wahyu,. Ada
hubungan erat dan ketergantungan antara wahyu, pengamatan empiris, dan kesimpulan. Akal
dibutuhkan untuk memahami wahyu dan mencapai kesimpulan dari pengamatan empiris.
Wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang
tidak kasat mata. Akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan.
1.4 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan, tasnif al marifat
Pengetahuan bisa diwariskan atau dipelajari. Bisa aqli atau naqli. Bisa berupa pengetahuan
yang terlihat, ‘ilm al syahadat, dan pengetahuan yang tidak terlihat, ‘ilm al ghaib. Yang tidak
terlihat bisa mutlak, ghaib mutlaq, atau relative, ghaib nisbi. Mempelajari ilmu pengetahuan
bisa berupa kewajiban individu, fard ‘ain, sedangkan yang lain adalah kewajinban kolektif,
fard kifayat. Pengetahuan bisa sangat berguna, ‘ilmu nafiu, menjadi dasar, atau diaplikasikan.
Ada banyak disiplin ilmu yang berbeda. Disiplin-disiplin tersebut terus berubah seiring
dengan pengembangan pemahaman dan ilmu pengetahuan. Sebuah disiplin didefinisikan dan
dibatasi oleh metodologinya.
1.5 Keterbatasan Pengetahuan Manusia, mahdudiyat al marifat al bashariyyat
Al Qur’an dalam banyak ayat telah mengingatkan manusia bahwa pengetahuan mereka dalam
semua lingkungan dan disiplin ilmu sangat terbatas. Akal manusia bisa dengan mudah
diperdaya. Kecerdasan manusia memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan
persepsipersepsi
sensorik yang benar. Manusia tidak bisa mengetahui hal-hal tak kasat mata, ghaib.
Manusia bisa berfungsi dalam waktu yang terbatas. Masa lalu dan masa depan diyakini tidak
dapat diketahui. Manusia menjalankan fungsi dalam kecepatan yang terbatas baik pada level
konseptual maupun sensorik. Ide-ide tidak dapat dikeluarkan dan diproses jika mereka
dihasilkan terlalu lambat atau terlalu cepat. Manusia tidak mampu memvisualisasikan
peristiwa-peristiwa yang sangat lambat atau terlalu cepat. Peristiwa yang sangat lambat
seperti revolusi bumi atau rotasi bumi tidak dapat dirasakan kejadiannya. Memori manusia
sangat terbatas. Pengetahuan yang dipelajari bisa saja hilang atau mungkin lenyap secara
keseluruhan. Manusia akan menjadi sangat berpengetahuan jika mereka mempunyai memori
yang sempurna.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
3
2.0 METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN, manhaj al ma’arifat
2.1 Konsep-Konsep
Metodologi dimulai dengan penamaan Adam dan pengklasifikasian semua benda yang diikuti
oleh penemuan hasil percobaan-percobaan dan investigasi metodologis sistematis terkini.
Terinspirasi oleh Al Qur’an, umat Muslim mengembangkan metodologi empiris ilmiah yang
menyebabkan timbulnya reformasi Eropa, Renaissance, serta revolusi ilmiah dan teknologi
yang dimulai pada awal abad 16. Francis Bacon (1561-1626), orang Eropa yang pertama kali
menulis secara sistematis tentang metodologi empiris yang diinspirasi oleh kaum Muslim di
Eropa pada masanya. Orang-orang Eropa meniru metodologi empiris tanpa konteks
ketauhidan, menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan nantinya memaksakan hasil
tiruan buruk berupa ilmu pengetahuan sekuler kepada umat Islam di seluruh dunia. Ahli
Muslim kuno telah menunjukkan bahwa wahyu, akal dan pengalaman sangatlah tepat dan
telah menggunakan peralatan metodologis dari Al Qur’an untuk mengoreksi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani sebelum menyebarkannya ke Eropa. Mereka
mengganti logika deduktif Aristoteles dan definisinya dengan sebuah logika induktif Islam
yang diinspirasi oleh Al Qur’an.
2.2 Metodologi dari Al Qur’an, manhaj qur’ani
Al Qur’an menyediakan prinsip-prinsip umum yang membimbing dan bukan pengganti
penelitian empiris. Kitab ini menggabungkan pengamatan empiris; membebaskan pikiran dari
keragu-raguan, taklid buta, ketergantungan intelektual, dan hawa nafsu. Paradigma tauhidnya
menjadi dasar dari hubungan sebab akibat (kausalitas), rasionalitas, perintah, prediksi,
penemuan, obyektivitas, dan hukum alam. Hukum bisa diketahui melalui wahyu, pengamatan
empiris dan eksperimen. Para ahli Qur’an mengajarkan metodologi induktif, pengamatan
empiris, nadhar & tabassur; interpretasi, tadabbur, tafakkur, i’itibaar & tafaquhu; dan
pengetahuan yang terbukti, bayyinat & burhan. Al Qur’an melarang asal ikut-ikutan, taqliid,
prasangka, , dhann; dan keinginan pribadi, hawa nafsu. Konsep Al Qur’an dari istiqomat
menghasilkan kepercayaan dan pengetahuan yang tidak bias. Konsep Al Qur’an dari istikhlaf,
taskhir, dan isti’imar adalah dasar dari teknologi. Konsep dari ‘ilm nafei menggarisbawahi
perintah untuk mengubah pengetahuan dasar menjadi teknologi yang bermanfaat.
2.3 Metodologi dari Sains Islam Klasik
Ilmu pengetahuan klasik beserta konsepnya dapat diaplikasikan ke dalam IPTEK. Tafsir ilmu
dan tafsir mawdhu’e interpretasi data paralel pada penelitian empiris. ‘Ilm al nasakh
menjelaskan bagaimana data-data baru memperbaharui teori-teori yang lama tanpa
membuatnya tidak berguna sama sekali. ‘Ilm al rijaal dapat menguatkan keyakinan para
peneliti. ‘Ilm naqd al hadith menanamkan perilaku ‘membaca kritis’ literatur sains. Qiyaas
adalah analogi alasan-alasan. Istihbaab aplikasi berkelanjutan dari sebuah hipotesis atau
hukum ilmu pengetahuan sampai menemukan bukti. Istihsan dapat dibandingkan dengan
intuisi ilmiah. Istislah adalah penggunaan kepentingan umum untuk membuat keputusan atas
banyak pilihan, contohnya teknologi pengobatan. Ijma adalah kesepakatan yang ditetapkan
oleh para ilmuwan empiris. Maqasid as syari’ah adalah alat konsep untuk menyeimbangakan
penggunaan S&T. Qawaid as syari’ah adalah aksioma yang menyederhanakan operasi logika
kompleks dengan membangun aksioma tanpa melewati derivasi detail.
2.4 Kritik Islami Mengenai Metode Empiris, naqd al manhaj al tajribi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
4
Dengan alat metodologis berupa Al Qur’an dan Sains Islam klasik, umat Muslim
mengembangkan sebuah metodologi empiris dan induktif baru dalam bentuk qiyaas usuuli
dan juga mengawali metode empiris dengan eksperimen dan pengamatan sistematis, seperti
yang dicontohkan oleh hasil kerja Ibn Hazm tentang mata. Mereka mengkritik metodologi
Yunani Kuno adalah metodologi yang abstrak, hipotetis, meremehkan pengetahuan mudah,
dan berdasarkan logika deduktif. Mereka menerima metode ilmiah Eropa dari pembentukan
dan pengujian hipotesis, tetapi menolak asumsi filosofisnya: materialisme, pragmatisme,
atheisme, penolakan wahyu sebagai sumber pengetahuan, kekurangseimbangan, penolakan
dualitas raga dan jiwa, kurangnya manfaat manusia, kurangnya penyatuan paradigma seperti
tauhid, dan menjadi Euro-centric (condong ke Eropa) dan tidak menyeluruh. Orang-orang
Eropa menyatakan metodologinya akan lebih terbuka, akurat, tepat, objektif, dan netral
secara moral, tetapi hanya sebatas pengamatan dan tidak dipraktekkan. Dengan angkuhnya,
hal tersebut dianggap sebagai kemungkinan absolut dan pengetahuan empiris yang relative
berdasar pada kelemahan pengamatan dan interpretasi manusia.
3.0 KRISIS PENGETAHUAN dan PENDIDIKAN, azmat al ma’arifat wa al ta’aliim
3.1 Manifestasi Krisis
Ada anggapan pemisahan antara uluum al diin dan uluum al dunia . Perhatian terhadap
terhadap beasiswa sangatlah kecil. Kekayaan dan kekuasaan dianggap lebih penting dari
beasiswa. Ada banyak hal yang dilalaikan oleh sains empiris. Terdapat dikotomi dalam
sistem pendidikan: Islam Tradisional vs. Eropa, ulum al diin vs ulum al dunia. Integrasi dari
2 sistem itu sangat sulit atau bahkan telah gagal karena bersifat mekanis bukan konseptual.
Proses sekulerisasi dalam pendidikan telah menggeser dimensi moral dari pendidikan dan
merusak tujuan pendidikan Islami untuk mencipatakan individu yang utuh dan sempurna,
insan kaamil. Kegagalan otak Negara-negara Islam telah bercampur aduk menjadi krisis
pendidikan.
3.2 Ketidakberdayaan Umat karena Krisis Ilmu Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual adalah wujud nyata yang paling
signifikan dari keterbelakangan ummat. Krisis intelektual ummat diperparah oleh peniruan
dan penggunaan ide-ide serta konsep asing yang disusun secara buruk. Rasulullah
memperingatkan umat tentang fenomena lubang kadal (lizard-hole) di mana ummat nantinya
akan mengikuti / mengekor musuhnya tanpa bertanya, bagai kadal menuju lubangnya.
Contoh-contoh wujud ketidakberdayaan ummat adalah berupa kemiskinan, kelemahan
politik, ketergantungan ekonomi, kelemahan militer, ketergantungan pada iptek, dan
pengikisan identitas keIslaman dalam gaya hidup.
3..3 Latar Belakang Sejarah
Generasi Rasulullah saw adalah generasi yang terbaik. Guru terbaik bertemu dengan murid
terbaik dan menghasilkan kesempurnaan. Para Shahabat memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang luar biasa. Benih dari krisis yang sedang terjadi akhir-akhir ini muncul
sejak akhir khilafat rashidat. Serangan sosial dan politik meruntuhkan khilafat rashidat dan
prinsip-prinsip ideal yang merepresentasikannya dihentikan atau bahkan diganti. Kenudian,
ajaran ulama dan opini pemimpin yang melanjutkan perjuangan kebenaran prinsip-prinsip
Islam dibatasi dan dipenjara. Stagnansi intelektual mulai muncul. Proses sekularisasi Negara
Muslim mengalami kemajuan. Kelalaian dan buta huruf yang tersebar luas menjadi hal biasa.
Banyak ide dan fakta dari kaum non-Muslim tanpa bukti yang bisa dipercaya telah
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
5
menemukan jalan mereka merasuki warisan intelektual dan agama ummat, hingga
menciptakan krisis intelektual yang semakin bertambah parah.
4.0 LANGKAH AWAL MENUJU REFORMASI EPISTEMOLOGIS
4.1 Pengetahuan, sebuah Syarat Wajib untuk tajdid
Reformasi dan kebangkitan ummat akan terjadi melalui reformasi pendidikan dan
pengetahuan. Tajdid adalah sebuah fenomena penyelamatan ummat sekaligus menjadi tanda
sehat dan dinamisnya ummat ini. Hal tersebut merupakan karakteristik dasar ummat masa
reformasi/kebangkitan yang menggeser masa kemunduran ke zaman jahiliyah. Tajdid
mensyaratkan pengetahuan, ide-ide dan tindakan yang dirumuskan dengan persamaan
matematika berikut ini: tajdid = ide + tindakan. Tindakan tanpa pengetahuan dan akal yang
dibimbing tidak akan membawa perubahan yang baik. Gagasan tanpa tindakan tidak akan
merubah apapun. Tajdid mensyaratkan dan diikuti oleh sebuah reformasi ilmu pengetahuan
untuk menyediakan gagasan dan motivasi untuk membangun. Semua reformasi sosial yang
sukses dimulai dengan perubahan ilmu pengetahuan. Masyarakat ideal tidak bisa diciptakan
tanpa ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan harus benar, relevan, dan bermanfaat.
Sejarah pergerakan kebangkitan Muslim yang sukses selalu dipimpin oleh para akademisi.
4.2 Sebuah Strategi Pengetahuan Baru, nahwa istratijiyyat ma’arifiyyat jadiidat
Umat Muslim merupakan aset ekonomi dan politik yang mempunyai potensi besar namun
belum terealisasi. Perkembangan tajdid modern memiliki banyak kelebihan, tetapi juga
mempunyai kekurangan dasar yang harus diperbaiki. Krisis pengetahuan dan intelektual
masih menjadi sebuah penghalang. Pergerakan reformasi yang tidak diarahkan oleh
pengetahuan dan pemahaman yang benar akan lenyap dan gagal atau disingkirkan dari jalan
mereka. Perubahan sosial menuntut adanya perubahan perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku dari sebuah massa kritis dalam populasi. Perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku ditentukan oleh dasar pengetahuan. Visi dari strategi pengetahuan adalah
seorang manusia yang kokoh mengenal Sang Penciptanya, memahami kedudukannya,
perannya, haknya, dan kewajibannya dalam tata alam semesta (cosmic order). Misi dari
strategi pengetahuan adalah transformasi konseptual sistem pendidikan dari TK hingga
pendidikan pasca sarjana yang mencerminkan tauhid, nilai moral yang positif, obyektivitas,
universalitas, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
4.3 Menuju ke Arah Metodologi Islam, nahwa manhajiyyat ‘ilmiyyat islamiyyat
Tauhid yang universal, objektif, dan metodologi yang jelas harus menggantikan Eropa-sentris
dan konteks filosofi yang bias/semu, bukan metode praktis experimental. Aturan-aturan dari
ilmu tauhid adalah: persatuan pengetahuan, menyeluruh; hubungan sebab akibat adalah dasar
dari tindakan manusia, pengetahuan manusia yang terbatas, investigasi hubungan sebab
akibat yang didasarkan pada hukum alam yang konstan dan sesuai, harmoni antara yang
terlihat dan tidak terlihat, 3 sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan pengamatan empiris);
khilafat; akuntabilitas moral; makhluk dan ciptaanNya mempunyai tujuan, kebenaran adalah
mutlak dan relatif, keinginan bebas manusia adalah dasar dari akuntabilitas, dan tawakal.
5.0 REFORMASI EPISTEMOLOGI : KONSEP & PRAKTEK
5.1 Konsep Reformasi:
Reformasi pengetahuan adalah sebuah proses pemilihan kembali kumpulan pengetahuan
manusia agar sesuai dengan kepercayaan dasar dari ‘aqidat al tauhid. Proses reformasi bukan
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
6
untuk penemuan kembali roda pengetahuan, tetapi untuk perubahan, perbaikan, dan
reorientasi. Hal ini bersifat evolutif, bukan revolutif; serta bersifat korektif dan reformatif.
Ini adalah langkah awal dalam sistem pendidikan sebagai awal untuk memperbaiki
masyarakat.
5.2 Sejarah reformasi
Abad 2-3 H menjadi saksi kegagalan usaha transfer pengetahuan. Pengetahuan ilmiah Yunani
disalurkan kepada kamu Muslim bersamaan dengan filosofi Yunani dan pemikiran yang
menyebabkan kebingungan dalam aqidah. Ilmu Yunani lebih bergantung pada deduksi
filosofikal dari pada induksi yang berdasarkan eksperimen. Hal ini tidak menguatkan tarbiyat
ilmiah dari Al Qur’an yang menegaskan observasi akan hakikat sebagai dasar untuk
mengambil kesimpulan. Pergerakan reformasi pengetahuan yang terbaru pada akhir abad 14
H bertujuan pada pendirian sebuah sitem pendidikan yang berdasarkan tauhid.
5.3 Reformasi Disiplin ilmu:
Reformasi harus mulai dengan menata ulang epistemology, metodologi, dan kumpulan
pengetahuan dari setiap disiplin ilmu. Harus pro-aktif, akademik, metodologis, obyektif dan
praktis. Visinya adalah pengetahuan yang objektif, umum dan bermanfaat dalam konteks
interaksi manusia yang harmonis dengan llingkungan fisik, sosial, dan spiritual. Misi
praktisnya adalah transformasi paradigma, metodologis, dan penggunaan disiplin ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan tauhid. Tujuan langsungnya adalah: (a) perbaikan
paradigma disiplin ilmu yang ada untuk merubah mereka dari sebatas ritual sempit menjadi
bertujuan luas (obyektivitas universal) , (b) rekonstruksi paradigma yang menggunakan
pedoman yang objektif dan universal, (c) Klasifikasi kembali disiplin untuk mencerminkan
nilai tauhid yang universal, (d) perbaikan metodologi penelitian agar menjadi objektif,
bermanfaat, dan mudah dipahami (e) pertumbuhan pengetahuan dengan penelitian, dan (f)
menanamkan aplikasi pengetahuan yang benar secara moral. Al Qur’an memberikan prinsip
umum yang membangun objektivitas dan melawanan metodologi penelitian yang tidak jelas.
Hal ini menciptakan cara pandang dunia yang memperkuat penelitian untuk memperpanjang
batas pengetahuan dan pemanfaatannya bagi seluruh alam semesta. Ilmuwan didorong untuk
bekerja dengan parameter Al Qur’an untuk memperluas batas pengetahuan melalui
penelitian, dasar, aplikasi.
5.4 Kesalahpahaman Mengenai Proses Reformasi
Reformasi telah salah dipahami sebagai bentuk penolakan dari sekumpulan pengetahuan dan
disiplin manusia yang sudah ada. Kesalahpahaman ini sebagai wujud sempitnya pengetahuan
kaum Muslim. Anggapan salah tersebut dikarenakan buku-buku teks yang ada ditulis kembali
dengan tema Islami tanpa pemikiran yang mendalam tentang paradigma dan metodologi. Hal
ini juga memenjarakan reformasi spiritual para pelajar, para akademik, dan peneliti.
Pendekatan luar berikut ini telah dicoba untuk reformasi dan gagal: Menyisipkan ayat Al
Qur’an dan Al hadist dalam tulisan orang-orang Eropa dan sebaliknya, pencarian fakta ilmiah
dari Al Qur’an, pencarian bukti Al Qur’an dari fakta ilmiah, memperlihatkan mukjizat Al
Qur’an, pencarian hubungan antara konsep Islam dan Eropa, penggunaan Islam dalam
terminologi / istilah-istilah Eropa, dan penambahan gagasan untuk kumpulan ilmu
pengetahuan Eropa.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
7
5.5 Langkah-langkah Praktis / Tugas dari Proses Reformasi:
Langkah pertama adalah sebuah membuat pondasi yang baik dalam ilmu Islam metodologis
usul al fiqh, ‘uluum al Qur’an, ulum al hadith, dan ‘uluum al llughat. Diikuti dengan
membaca Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman perubahan dimensi ruang dan waktu.
Diikuti dengan klarifikasi masalah-masalah epistemologi dasar dan hubungan-hubungan:
wahyu dan akal, gaib dan shahada, ilmu dan iman. Diikuti oleh sebuah kritik Islami dari
paradigma dasar, asumsi-asumsi dasar, dan konsep dasar dari berbagai disiplin ilmu yang
menggunakan kriteria metodologi dan epistemologi Islami. Penilaian Islami atas buku-buku
teks dan materi pengajaran yang sudah ada, kemudian berusaha mengidentifikasi pahampaham
yang menyimpang dari pengertian dasar tauhid dan metodologi Islami.
Hasil awal dari proses reformasi adalah pengenalan Islam dalam disiplin ilmu, muqaddimat
al ‘uluum, pembangunan prinsip-prinsip dasar Islam dan paradigma yang menentukan dan
mengatur metodologi, isi, dan pengajaran disiplin ilmu. Hal ini berhubungan dengan
‘Introduction to History’ milik Ibn Khaldun, muqaddimat mempresentasikan penyamaan dan
konsep metodologis dalam peristiwa bersejarah. Publikasi dan penilaian buku-buku teks baru
dan pengajaran material lainnya adalah sebuah langkah yang penting dalam reformasi,
dengan menyerahkannya di tangan para pengajar dan pelajar yang telah mengaalami
reformasi. Pengembangan pengetahuan dasar yang teraplikasi dalam IPTEK akan menjadi
tahap terakhir dari proses reformasi, karena pada akhirnya yang jelas-jelas membawa
perubahan dalam masyarakat adalah IPTEK.
6.0 REFORMASI DALAM DISIPLIN-DISIPLIN KHUSUS
6.1 Apa yang Dibutuhkan?
6.1.1 Definisi dan klasifikasi
6.1.2 Pengembangan bersejarah
6.1.3 Metode penelitian
6.1.4 Kritik Epistemologis Islami atas konsep dasar dan paradigma
6.1.5 Pengenalan Epistemologis Islami pada disiplin ilmu
6.2 Reformasi Seni, islaah al funuun
6.2.1 Seni berbahasa.
6.2.2 Fine arts
6.2.3 Musik
6.2.4 Drama
6.2.5 Kerajinan Tangan
6.3 Reformasi Ilmu Pengetahuan yang Menyangkut Kehidupan
6.3.1 Penelitian organisme: biologi, zoologi, botani, ekologi, taksonomi, mikrobiologi, dan
parasitologi
6.3.2 Penelitian struktur: anatomi, histologi, dan embriologi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
8
6.3.3 Penelitian fungsi: biokimia, biofisika, fisiologi, dan pharmacologi
6.3.5 Penelitian penyakit dan pengobatanya: pathologi, farmasi, pediatrics, pengobatan
dalam, psikiatri, dan ilmu bedah
6.4 Reformasi Ilmu Fisik
6.4.1 Ilmu Matematika
6.4.2 Fisika
6.4.3 Kimia
6.4.4 Astronomi
6.4.5 Ilmu Bumi
6.4.6 Arkeologi
6.4.7 Geografi
6.4..8 Kependudukan
6.4.9 Anthropologi Fisik
6.4.10 Mesin
6.4.11 Arsitektur
6.5 Reformasi Ilmu Sosial, islaah al ‘uluum al ijtima’iyyat
6.5.1 Ekonomi
6.5.2 Ilmu Politik
6.5.3 Hukum
6.5.4 Sosiologi
6.5.5 Psikologi
6.5.6 Antropologi Budaya
6.5.7 Sejarah
6.9 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Keuangan
6.9.1 Perbankan
6.9.2 Keuangan
6.9.3 Akuntansi
6.9.4 Administrasi Bisnis
6.9.5 Manajemen
6.10 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Kepentingan Umum
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s
copyrights
9
6.10.1 Administrasi Publik
6.10..2 Hubungan Internasional
6.10.3 Hukum
6.11 DISIPLIN ISLAM KLASIK
6.1.1 Mungkin tampak mengejutkan bahwa beberapa ilmu Islam klasik yang didasarkan pada
wahyu juga membutuhkan analisis epistemologis. Bentuk ilmu ini di masa mereka telah
dipengaruhi oleh paradigma eksternal dan filosofi yang telah masuk perlahan-lahan ke dalam
mereka dan menciptakan bias-bias epistemologi yang membutuhkan perbaikan. Selain biasbias
itu, kita perlu melakukan formulasi ulang dimensi ruang dan waktu dalam ilmu-ilmu ini
dengan memisahkan komponen tetap (konstan) yang tidak berubah dari komponen tidak tetap
(variabel) sebagaimana membuat formulasi bagaimana komponen tidak tetap (variabel) dapat
menyesuaikan perubahan waktu dan faktor tempat.
6.1.2 Pertimbangan faktor ruang dan waktu dibutuhkan dalam uluum al Qur;an dan‘uluum al
hadiith. Fiqh dan usul al fiqh memiliki masalah sama yang timbul dari pemahaman harfiah
syari’at yang sempit dan perbedaan fiqih telah memecah belah umat pada masa lalu ke dalam
banyak masalah. Jika penyebabnya adalah fiqih, solusinya akan bisa ditemukan dalam fiqih.
Kita perlu meninjau kembali masyarakat dari general bird eye view yang menggunakan
tujuan-tujuan hukum yang lebih tinggi, maqasid as syari’ah, setelah itu kita akan mampu
membuat banyak kemajuan.
BAB I
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS

1. FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN


Sebelum Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian Kualitatif,
akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dengan
Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua metode Penelitian baik kuantitatif
maupun kualitatif digunakan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science). Oleh
karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah dan perbedaanya
dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah akan mempermudah
memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya. Berikut ini akan disinggung
sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya
memperoleh pengetahuan yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu
pengetahuan mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen,
kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat universal. Oleh
filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis
dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman
yang mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu
pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan
berbagai aspek kehidupan di samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu
pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi pada perilaku manusia
saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara
filosofis atau reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu
pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka
filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu
pengetahuannya datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak
perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting data itu
dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan antara
Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya Filsafat bersifat
rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi, sehingga kebenaran yang dicapai bersifat relatif.
Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap kebenaran agama, karena merupakan
wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf terkenal
Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat
diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi
oleh ruang dan waktu. Hal ini menjadi dasar bagi Epistomologi. Eksistensi Tuhan bukan
merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar jangkauan indera. Bahan kajian
Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan indera. Kajian Epistomologi adalah
fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi:
Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini mempersoalkan nilai (values), dan disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai apa yang
digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan
atau kebaikan dan Estetika atau nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya,
manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”,
misalnya permasalahan tentang apakah jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada
atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah, tetapi
oleh Religi. Refleksi tentang Being terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi yaitu struktur segala
yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan Metafisika yaitu hal-hal yang berada
di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
Selanjutnya akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu Pengetahuan,
karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu
pengetahuan dapat ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu
pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham
atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang
menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya
David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun
teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode
yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode
deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.

2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.


Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas
pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap
dengan panca indera disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu
adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat
ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah hal-
hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu adalah di luar
jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang
semesta alam (kosmos), yang tidak dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis
yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak dapat kita tangkap dengan panca indera, yang
dapat kita tangkap dengan panca indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya,
emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang
Pencipta Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui adalah
objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun
demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis
demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah, karena objek
itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti
membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah suatu
relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi
yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan
atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak
boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang satu dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam
pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul
di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema
berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal Ilmu-ilmu Empiris Induktif Ilmu-ilmu Terapan
Deduktif:
Logika
Matematika Alam
unorganik:
karang, batu, air. Hayati:
Kehidupan Sosial:
Manusia ber masyarakat Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh kontradiksi satu sama lain
Ukuran kebenaran Korespondensi

kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.


Pragmatis

apa yang bermanfaat itu benar.


Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah


Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu
pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu
Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya
menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori
dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori
itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses
mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum
dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).


Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa
sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam
menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang
didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat
deskriptif.
2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian
tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi
masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah pernyataan dalam Akta
Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak
Kedua.
3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang
banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena
seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi
pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan
seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah
berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori
Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini
gunting.
2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini
terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh
adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit
terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama
apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua)
pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut
hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat
menjelaskan fenomena disebut teori.

2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari
kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju
fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan
metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus
menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum
digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu
pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).

3) Objektif atau intersubjektif


Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu
pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) tetapi
merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan
ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.

Cara Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah


Cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut
Siklus Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6: Siklus Empiris


Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.

Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen, yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.

Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:


a. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh
Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut diperlukan
kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk
pemecahan masalah.
b. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis
diperlukan metode deduksi logis.
c. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi.
Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai
landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi,
kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
d. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment),
penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna
mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
e. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian
hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak
terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
f. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk
pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini
dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila
hipotesis tidak terbukti.

2. BEDA ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN


a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan
(knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak
menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka
menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan
pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau
hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas
hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu
pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik
sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan
membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat
berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu pengetahuan dan
perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit tentang
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.

b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan mempelajari hal tersebut kita
dapat mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk
begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena
peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4
sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi
mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos
adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau
gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional,
sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia
atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia
dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis
dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi
yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan
analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia
adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia
dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia
riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki
substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri.
Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur ontologis terdapat 2 prinsip,
yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan prinsip
kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam dirinya dan
mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan. Perubahan terjadi bila potensi
berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.

Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan”
adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2)
pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang
hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat
sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-
prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau
hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu
pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
(teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode.
Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua,
yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal);
(2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.

b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)


Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total
dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada
awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk
kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir
tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang
berada di balik fenomena).

Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat pada
sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-
elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model
yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji
coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu
harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan
eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis,
maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan
terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain
berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari pandangan Rene
Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya
karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena
berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut
Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan
rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga,
hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan
pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus
meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti
menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan
kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir
pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel
Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman
terhadap fakta saja, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.

Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal
pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam
pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme
menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut
Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha
menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur
apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu Kant berpendapat
bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga dapat dikatakan
menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang
bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles,
namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk
menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan


Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang
bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode
eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi
ini tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil
pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan
empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum
berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa,
sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya
pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun
demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada
pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis
berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan
akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari
kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau
teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam
bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti terdapat adanya
kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara
kritis atau telah dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini
berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang
bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar
munculnya kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan
hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat
dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna
bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk menemukan
teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai
berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan
telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan
lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian
atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan
dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna
manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga
penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan
dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami
sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada
tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di atas
menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga menghasilkan
penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung tanpa
berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan
para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan
mempertanyakan bagaimana alam semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi
penekanan ilmu pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu
akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya
melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau penelitian baru, dan
pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan
ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya untuk membedakan
hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang menyatakan hasil akal sehat
adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B.
dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan
ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan
dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan perseptual
dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal sehat yang menghasilkan
pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A.,
1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut
selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk
teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu
pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang
mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan sebab-
akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan
uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan
pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku
umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam
penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang
telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak memberikan
penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam
common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan
muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai
pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik
sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari
proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu
pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu
dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat
diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan
penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung pengertian
ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang
harus dapat diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda
yang dipergunakan adalah metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang
ilmu sosial dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen,
generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya melalui
pengamatan dengan panca indera.

Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu
pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat
pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan
tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak
bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.

d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan


a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu
diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada
Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi
tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti
oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan
kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan
tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.

Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode
Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya
dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah.
Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan P., 1994).
Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik dan objektif, sedang
metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori
menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode
ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang
berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya
akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu
pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang penting dari
metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan
penginterpretasian hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian
yang dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah merupakan
suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode ilmiah penting yaitu
menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda.
Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode induktif
guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka penelitian, penciptaan teori
dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama
penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun
kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994).
Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan
fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena fakta-fakta empirik itu
sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis,
digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan
yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya.
Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan
budaya sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan
pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan
untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya
harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas
data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran
universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori
yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode
penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah,
pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).

b) Metode Penelitian Ilmiah


Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua
golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan
pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa
tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial.
Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai
benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.

Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat
kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan
demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi.
Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan
variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang
menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga dan
terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong
terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam sosiologi
dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren atau penjelasan). Agar
dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat
berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang
ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna
yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).

Ditulis dalam Uncategorized


Tags: Filsafat, islam

MASA DEPAN DAN MASA LALUKU


Juli 27, 2009
5 Komentar

MASA DEPAN DAN MASA LALUKU

Ading Nashrulloh

Usiaku saat ini 30 tahun. Begitu pun usia anda yang sama denganku. Ketika aku melihat anak
usia 5 tahun, maka di masa laluku di 25 tahun yang lalu sama dengan anak itu. Masih anak-anak.
Saat ini aku hafal bahwa aku pernah melewati usia 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, 25 tahun…Lalu
aku melihat seorang kakek-kakek yang berusia 75 tahun, ia masih kuat mengajar di madrasah.
Jika usiaku dipanjangkan Tuhan, dan sekuat kakek itu, maka kakek itu adalah masa depanku, dan
masa depanmu juga, kawan.

Aku sempat membaca berita bahwa Pak Omar Dhani yang Panglima AURI di Masa Orde Lama,
hari ini meninggal dunia. Beliau sudah tua ketika hendak meninggalnya. Pastinya kemudian
dikuburkan, dan 30 tahun yang akan datang saat usiaku 60 tahun, jasadnya sudah menjadi tanah.
Dan 60 tahun yang akan datang, aku pun pastinya juga jadi tanah. Tanah adalah masa depan
jasadku, dan jasadmu juga.

Sedangkan 60 tahun lalu, aku belum ada. Bahkan tak seorang pun menganggap aku apa-apa.
Tiada yang dikatakan tentang aku. Aku belum ada. Aku tidak ada. Kau pun tidak ada. Ya kita
tidak ada di masa 60 tahun yang lalu, kawan.

Semakin lama waktu semakin mendekatkan kita kepada kematian, dan menjauhkan kita dari
dunia. Ketika aku melewati gedung-gedung di sepanjang jalan Jakarta, aku berbisik kepada
diriku, wahai Ading, kenapa kau tidak punya gedung-gedung itu, kenapa kau tidak mampu
sedang orang lain mampu. Aduhai jiwaku seakan teriris dirasuki rasa iri. Melihat orang bisa
bermegah-megahan dengan rumah gedung yang bertingkat, kendaraan yang sangat mengkilat.
Diiringi musik yang menggugah nafsu dan cinta. Lalu tidak lama kawanku yang memboncengku
melewati tanah kuburan Tanah Kusir. Kupandangi sepanjang jalan yang dilewati. Aha,
sebenarnya, dahulu orang-orang yang kini berbaring di kuburan itu, dahulunya pernah menikmati
megahnya dunia, atau hidup susah seperti aku. Tetapi kini mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Tubuh mereka dihimpit liang lahat. Dan aku yakin, aku, kau pasti akan mengikuti jejak mereka,
mau ataupun tidak mau. Dan gedung-gedung yang diimpikanitu kini menjadi sempit artinya.
Sedangkan kehidupan akhirat itu jadi besar urusannya.

Seandainya masa lalu kita adalah ketiadaan dan masa depan kita adalah tanah, mungkin kita
tidak perlu mengikuti agama. Kalaupun beragama hanya karena alasan pragmatis saja. Kepada
kita telah diajarkan ucapan innalillahi wainnalliahi rojiuun. Diucapkan ketika tertimpa musibah,
atau kematian dari saudara kita yang mukmin. Kita semua berasal dari Allah, dan akan kembali
kepada Allah. Jika kita dalam keadaan bersih. Sebab kalau kita kotor, tempat kembali kita adalah
neraka.

Kutulis kata demi kata tulisan ini begitu yakin, dan yakin bahwa aku ada. Tetapi adanya aku di
hari akhirat lebih pasti adanya, lebih meyakinkan. Aku tidak tahu harus kujawab apa, ketika aku
berdiri di hadapan Allah dan Dia bertanya kepadaku, usiamu kau habiskan untuk apa, Ading?
Apa yang telah kau lakukan untuk mengabdi pada Tuhanmu yang telah menciptakanmu? Kau
turuti perintah agamamu, ataukan kau turuti nafsumu?

Ditulis dalam Uncategorized


Tags: Filsafat

About author

Direktur Rumah Belajar Islam Indonesia

Cari

Navigasi

 Home
 Tentang

Kategori:

 artikel filsafat
 Artikel pendidikan
 Filsafat
 filsafat Islam
 Uncategorized

Links:

 bekal menuju akhirat


 e-Quran
 filsafat serius
 Ilmupedia
 Insan sejati
 Islam
 kampus Islam
 kamus filsafat
 kamus filsafat
 kaskus
 P asep Tamim
 Panjang Pisan
 Pemikir
 persis
 Qosidah Islam
 radio Islam
 tempat bertanya
 tv Quran
 WordPress.com
 WordPress.org

Archives:

 Agustus 2016
 April 2016
 Februari 2016
 Januari 2016
 Desember 2015
 November 2015
 Oktober 2011
 Agustus 2011
 Juli 2011
 Mei 2011
 April 2011
 Agustus 2010
 Juni 2010
 Mei 2010
 Maret 2010
 Desember 2009
 November 2009
 Oktober 2009
 Agustus 2009
 Juli 2009

Feeds

 RSS
 RSS Komentar

Blog di WordPress.com.

 Ikuti

Anda mungkin juga menyukai