Anda di halaman 1dari 6

Kalau boleh memilih lagi

Karya : Putu Wijaya

Waktu aku bangun, di sampingku ada bom. Menyangka itu sisa-sisa dari mimpi, aku acuh-tak-acuh saja.
Aku tangkap saja dan memeluknya seperti guling. Tidurku berkelanjutan lagi untuk beberapa jam. Tatkala
aku bangun terlambat esoknya, bom itu hampir saja menindih kepalaku.

Sekarang aku tercengang. Aku belum pernah meraba sebuah bom. Di dalam bisokop bom tidak pernah
menjadi terlalu penting. Yang penting adalah akibat-akibatnya. Sekarang aku terpaksa mengerti bahwa
bom tidak sesederhana yang disampaikan oleh seorang juru kamera atau seorang sutradara film. Bom
adalah sesuatu yang keras, dingin, penuh dengan seluk-beluk dan menimbulkan keruwetan tentang: apa
yang harus diperbuat dengan sebuah bom.

Aku hanya tidur seorang diri. Istriku telah berangkat ke pasar. Sedangkan anak-anak pada jam sembilan
seperti ini, sudah pasti semuanya berada dalam kelas. Aku terpaksa menghadapi bom itu sendirian.
Pembantu dalam rumah tentu tidak bisa diajak berunding. Iyem hanya bisa mencuci dan memasak, sambil
memecahkan secara berkala gelas-gelas, pelayan itu tentu tidak bisa diajak menghadapi bom.

Bom itu seperti bayi yang minta dimanjakan. Aku tahu itu taktik yang sangat berbahaya. Begitu disentuh,
maka tenaganya akan merasuk ke dalam badan, melumpuhkan otak, membakar emosi, sehingga setiap
orang bisa menjadi opembunuh yang keji. Aku hanya berani memandangnya. Meninggalkan pun tidak bisa,
karena aku khawatir bom itu akan bertingkah. Berkembang di luar pengamatanku.

Bahkan waktu pintu diketok, aku cepat-cepat membentak Iyem, supaya enyah jauh-jauh. Pintu itu aku
kunci. Kini aku yakin bahwa bom itu sedang bekerja. Aku seperti mendengar bunyi ketukan sehingga aku
jadi curiga kalau-kalau itu bom waktu. Kalau ya, tanpa dibantu lagi ia akan meledak. Bagiku sekarang tinggal
pilihan di mana aku dapat membiarkan bom itu meledak, tapa membahayakan banyak orang.

Dalam keadaan seperti itu, aku teringat kepada musuh-musuhku. Tetangga-tetangga yang aku benci.
Majikan yang pernah menyakiti hatiku. Bekas-bekas pacar dan beberapa pejabat yang culas, akan tetapi
tetap menjadi wakil yang terhormat. Aku juga teringat kepada gubuk-gubuk liar gelandangan yang
seharusnya lebih pantas mati daripada hidup lebih lata dari binatang. Dengan mudah aku dapat membawa
bom itu ke sana. Meledakkannya, lalu memikul resikonya. Dianggap penjahat atau pahlawan.

Tapi aku bukan seorang lelaki yang jantan. Aku tidak berniat menjadi pahlawan atau penjahat secara
spektakuler. Aku merasa lebih gampang untuk memandangi bom itu terus-menerus. Mungkin sekali aku
akan keluar rumah dan mengumumkan kepada para tetangga untuk menjauhi rumahnya. Tapi aku
khawatir kalau yang akan terjadi bukannya kebaikan, tetapi keonaran. Dan kalau ternyata apa yang
kukatakan bohong, aku bisa menjadi bulan-bulanan ejekan.
Selama satu jam aku tak dapat memutuskan apa-apa. Selama waktu itu rasa cemasku makin menjadi-jadi.
Jantungku tidak kuat lagi untuk menghitung. Lalu bom itu aku raih. Aku dalam baju, aku bawa keluar, untuk
diungsikan ke suatu tempat yang tidak mengganggu orang. Tetapi di mana, di mana ada tempat yang tidak
mengganggu orang? Rumah tetangganya amat dempet-dempetan. Di mana-mana banyak orang. Apalagi
di sekitar rumahku pasar dan jalan raya yang rame.

Sambil memeluk bom, dengan memakai sarung yang kusut dan sandal jepit, aku kebingungan di depan
rumah. Aku pikir aku harus memilih dengan cepat, apa yang harus dikorbankannya. Bom itu tampaknya
tidak banyak punya waktu lagi. Mungkin masih ada seperempat jam yang sangat mendesak. Sesudah itu
setiap saat bisa terjadi ledakan.

Untuk tidak menarik perhatian orang, aku kekep makin kuat bom itu. Sekarang aku mulai menghitung sekali
lagi, apa yang harus aku korbankan. Rumah tanggaku sendiri? Rumah salah seorang tetangga yang dibenci
oleh seluruh kampung karena selalu bijkin onar? Sebuah mobil sedan kepunyaan orang asing yang
kebetulan lewat. Kantor polisi. Atau sebuah tanah lapang.

Karena kekacauan pikiranku, jantungku lebih keras menghitung. Saraf-sarafku tegang. Aku tidak bisa lagi
berpikir dengan baik. Tiba-tiba saja aku lari kencang sekencangkencangnya. Aku melihat sebuah tiang
bendera yang tinggi. Tiang bendera yang paling tinggi dalam daerah itu. Di puncaknya berkibar dengan
anggun merah-putih. Aku langsung memanjatnya.

Mula-mula aku tidak menarik perhatian orang banyak, sebagaimana yang aku harapkan. Tetapi setelah aku
mulai menaiki tiang bendera itu, orang-orang gempar. Mula-mula yang berdekatan saja. Kemudian dari
jalanan mengalir banyak orang melihat aku hampir mencapai puncak bendera. Tetangga-tetangga mula-
mula tertawa, tetapi serentak mereka tahu bahwa itu aku, mereka heran. Di kalangan pergaulan biasa, aku
adalah seorang manusia yang wajar, sabar serta baik. aku dikenal sebagai orang yang lurus yang tak akan
melakukan apa-apa tanpa alasan yang kuat. Dan kalau sekarang aku memanjat tiang bendera setinggi itu
hanya dengan kain sarung, pasti ada yang istimewa. Mereka pun berhenti ketawa, lalu lari menghampiri.

Seorang anak lari ke sekolah, memberitahukan anak-anakku apa yang terjadi dengan bapaknya. Anakku
melapor kepada gurunya. Lalu guru itu sendiri menganjurkan agar anak-anakku berlarian ke bawah tiang
bendera. Salah seorang pergi ke rumah. Ia tidak menjumpai siapa-siapa lagi. Iyem telah pergi bersama
orang lain menuju tiang bendera. Sementara istriku yang sedang berbelanja sudah mengalir juga bersama
orang banyak.

“Okiiii, turun kamu!” kata semua orang sambil melihat ke puncak bendera.

Aku memberi isyarat agar orang-orang itu menjauh. Aku menunjuk ke bom yang berada di balik bajuku.
Tapi orang-orang itu tidak mengerti. Mereka berkumpul tambah banyak.

“Okiii, turun!” jerit istriku yang baru sampai.


Anak-anak ikut menjerit di samping ibunya.

“Bapaaak! Turunnnnn!”

Aku bertambah kukuh berpegang. Ujung bendera itu mengibas-ngibas. Aku mengeluarkan bom itu lalu
membungkusnya dengan bendera. Aku memandang ke bawah dengan cemas. Aku lihat begitu banyak
orang. Tidak penting lagi bahwa di antara mereka itu ada tetangga, istri dan anak-anakku. Aku melihat
begitu banyak orang. Rasa cemasku bertambah besar.

“Jangan bunuh anak itu!”teriak istriku

Orang banyak terkesima.

“Kamu bilang anak, anak apa?”

Istriku meraung, mengacungkan tangan dan menunjuk ke buntalan yang aku kekep. Orang banyak segera
sadar. Kini perhatian mereka tidak lagi kepadaku, tetapi kepada buntalan itu. Semuanya terdiam,
memandang ke atas dengan cemas. Mereka tidak berani lagi beteriak, khawatir kalau aku jadi gugup dan
menjatuhkan anakku.

“Jangan bunuh anak itu Oki, itu anak kamu sendiri!”

Anak-anakku ikut membantu ibunya. Mereka membuka mulut lebar-lebar.

“Bapaaaaak! Jangan bunuh adik kamiiii!”

Orang banyak tak ada yang berani mengatakan apa-apa. Ini adalah masalah pribadi. Mereka hanya
memandang sambil membagi simpati mereka, kepada pihak mana saja yang nanti ternyata benar.
Sedangkan akudi puncak bendera itu semakin ketakutan. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ketukan dari
dalam bom itu makin keras menusuk-nusuk jantungku. Aku berteriak supaya orang-orang menghindar.

“Pergii! Pergiii semua!!”

Tetapi orang banyak makin mengalir ke bawah tiang bendera. Aku jadi tambah takut. Tubuhku gemetar.
Tiang bendera itu ikut bergetar melanjutkan ketakutanku. Ini menyebabkan masyarakat di bawah tiang
bendera itu cemas. Apalagi karena tanggungjawab dan ketakutan, aku memeluk erat-erat bom itu. “kalau
ini meledak, biar akulah yang hancur sendiri,” kataku putus-asa.

Aku dekap bom itu ketat-ketat.

“Jangaaaan Paak!”teriak istriku.

Orang banyak ikut berseru.

“Jangaaaaan Okiiii!!” Sayang anakmu!!”

Aku tidak mendengar, aku terus mendekap. Istriku terus menjerit. Anak-anak berhenti membuka mulut,
sekarang mereka menangis. Pada saat itu orang banyak mulai bingung. Keadaan menjadi tegang dan kacau.
Hanya ada seorang petugas yang tenang. Ia melihat keadaan bertambah kritis. Ini memerlukan tindakan
cepat. Harus diputuskan cepat dan dilaksanakan dengan segera.

Petugas itu menarik lengan istriku.

“Jadi suamimu ingin membunuh anakmu?”

“Benar Pak.”

“Mana di antara keduanya yang paling kau cintai?”

“Kedua-duanya.”

“Tidak bisa, pilih satu saja,”

“Tidak bisa Pak, saya pilih kedua-duanya.”

Petugas itu menggeleng dengan dingin.

“Keadaan sudah gawat, kamu harus memilih satu, suamimu atau anakmu?”
Istriku tidak dapat memutuskan. Ia tetap ingin keduanya. Ia tidak mau memilih. Ia lebih suka menangis dan
memandang ke puncak bendera sambil menadahkan tangan.

“Okiiii!”

Tiba-tiba anak-anakku jatuh pinsan karena terlalu keras berkoar. Ini menyebabkan petugas itu cepat
bertindak. Ia menengok ke atas. Dilihatnya aku memeluk bom itu dengan keras sekali. Lalu ia
mengacungkan bedilnya. Istriku menjerit. Ia memeluk kaki petugas itu dan mencakar-cakarnya.

“Jangan Pak! Jangannnnn!”

Petugas itu tidak tergoda. Ia memerintahkan orang banyak agar ikut membantu. Lalu puluhan, barangkali
ratusan – kalau tidak bisa dikatakan ribuan tangan merentang, mengembangkan jari-jari, siap menerima
apa yang akan jatuh. Tangan-tangan itu bagai dataran putih yang empuk. Aku di atas tiang bendera sama
sekali tidak mengerti, kenapa begitu banyak tangan tertadah. Tapi waktu aku melihat pucuk senjata itu
mengarah ke atas kepalaku, aku semakin keras memeluk.

“Dor!”

Peluru itu menembus salah satu bagian tubuhku. Tapi aku tidak jatuh. Aku masih terus menempel, melilit
tiang bendera.

Dor!

Tanganku lemah memeluk.

Dor!

Aku terus melilit tiang. Tapi bom itu lepas dari peganganku. Dengan diselimuti oleh bendera, bom itu
melayang ke bawah. Sepuluh, atau seribu, kalau tidak berjuta-juta tangan yang menadah berebutan
hendak menjemput barang yang jatuh itu.

Aku masih sempat mendengar ledakan yang dahsyat. Aku masih dapat membayangkan tangan-tangan itu
lepas dari tubuh pemiliknya, terlempar ke udara sambil menyerakkan daerah. Aku masih bisa melihat
seratus, seribu atau berjuta-juta orang kehilangan tangan. Tangan anakku, tangan isteriku, tetanggaku,
tangan begitu banyak orang terlempar tepat mengemai mukaku. Aku mengeram.
Kalau boleh memilih lagi, aku tidak akan menjamah bom itu. Akan ia biarkan saja tergolek di tempat tidurku
sebagai bencana atau mimpi buruk. Aku tidak tahu darimana asalnya, siapa yang telah mengaturnya. Dan
yang lebih penting lagi, aku tidak usah merasa mempunyai kewajiban apa-apa. Apalagi secara diam-diam
menaruh harapan untuk menyelamatkan orang banyak.

Sambil tersiksa oleh akibat perbuatanku, aku mati perlahan-lahan. Tubuhku bagai sekerat dendeng,
tetap tergantung di tiang bendera itu, sampai sekarang

Anda mungkin juga menyukai