Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018
DAFTAR ISI
PENGANTAR
A. Deskripsi Mata Kuliah 1
B. Tujuan Instruksional Umum (TIU) 1
C. Strategi Perkuliahan 4
b. Setelah mengikuti kuliah ini anda b. Ruanglingkup Sosiologi Hukum 30 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Pokok-pokok Sosiologi
Ruanglingkup Sosiologi Hukum Hukum. Grafindo
dan hubungan sosiologi hukum Persada, Jakarta1997.
dengan ilmu hukum. (BAB I E)
c. Setelah mengikuti kuliah ini anda c. Paradigma Sosilogi Hukum Soerjono Soekanto.
akan dapat menjelaskan kerangka Mengenal Sosiologi
hubungan antara Hukum dengan Hukum. Alumni,
gejala sosial lannya serta manfaat Bandung, 1986. (BAB III)
dari penget ahuan tersebut.
d. Setelah mengikuti kuliah ini anda d. Kegunaan Sosiologi Hukum 40 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Pokok-pokok Sosiologi
Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Hukum. Grafindo
pengembangan ilmu hukum Persada, Jakarta1997.
maupun bagi praktek ilmu hukum, (BAB I E)
baik pada taraf organisasi
masyarakat, golongan dalam
masyarakat maupun taraf
individu.
2 Sejarah Sosiologi Hukum
Setelah mengikuti kuliah ini anda Sejarah Sosiologi Hukum 50 m Soerjono Soekanto.
akan dapat menceritakan sejarah Mengenal Sosiologi
lahirnya sosiologi hukum. Hukum. Alumni,
Bandung, 1986. (BAB II
B).
Soerjono Soekanto,
Pokok-pokok Sosiologi
Hukum. Grafindo
Persada, Jakarta1997.
(BAB II)
3 Setelah mengikuti kuliah ini anda Struktur Sosial Dan Hukum
akan dapat menjelaskan hubungan
antara struktur sosial dengan hukum.
a. Setelah mengikuti kuliah ini a. Kaedah-kaeadah Sosial dan 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan : Hukum Pokok-pokok Sosiologi
1) proses timbulnya kaedah, 2) Hukum. Grafindo
macam-macam Kaedah-kaeadah Persada, Jakarta1997.
Sosial, 3) berbagai teori tentang (BAB III B)
cara mebedakan kaedah sosial
dengan kaedah hukum, dan 4)
hubungan antara kaedah sosial
dengan kaedah hukum.
b. Setelah mengikuti kuliah ini b. Lembaga-lembaga 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan : Kemasyarakatan dan Hukum Pokok-pokok Sosiologi
1) pengertian dan fungsi Hukum. Grafindo
lembaga kemasyarakat, 2) Persada, Jakarta1997.
hubungan antara hukum dengan (BAB III C)
lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya, dan 3)
menjelasakan kapan hukum
dapat merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan yang primer di
dalam suatu masyarakat.
c. Setelah mengikuti kuliah ini c. Kelompok-kelompok Sosial dan 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan Hukum Pokok-pokok Sosiologi
hubungan antara kelompok- Hukum. Grafindo
kelompok Sosial dan Hukum Persada, Jakarta1997.
dengan menyebutkan contoh (BAB III D)
tentang hubungan antara
kelompok-kelompok Sosial dan
Hukum.
d. Setelah mengikuti kuliah ini d. Lapisan-lapisan Sosial, 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan 1) Kekuasaan dan Hukum Pokok-pokok Sosiologi
konsep kedudukan (status) dan Hukum. Grafindo
peranan (role), kekuasaan dan Persada, Jakarta1997.
wewenang, 2) menjelaskan (BAB III E)
hubungan kekuasaan, stratifikasi
sosial dengan hukum.
4 a. Setelah mengikuti kuliah ini Perubahan Sosial Dan Hukum 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan Pokok-pokok Sosiologi
hubungan antara perubahan Hukum. Grafindo
sosial dengan hukum. Persada, Jakarta1997.
(BAB IV)
1) Setelah mengikuti kuliah ini anda a. Beberap 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan teori- a Teori Tentang Hukum Dan Pokok-pokok Sosiologi
teori tentang perubahan sosial Perubahan Sosial Hukum. Grafindo
dengan hukum. Persada, Jakarta1997.
(BAB IV B)
2) Setelah mengikuti kuliah ini anda b. Hubunga 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan: 1) n Perubahan-perubahan Sosial dan Pokok-pokok Sosiologi
Penybab terjadinya perubahan Hukum Hukum. Grafindo
sosial, 2) saluran-saluran Persada, Jakarta1997.
perubahan sosial, 3) proses (BAB IV C)
perubahan hukum, 4) dampak
perubahan sosial yang tidak
seiring dengan perubahan
hukum.
3) Setelah mengikuti kuliah ini anda c. Hukum Sebagai Alat Untuk 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan dampak Mengubah Masyarakat Pokok-pokok Sosiologi
hukum terhadap perubahan sosial Hukum. Grafindo
dan proses pelembagaan hukum. Persada, Jakarta1997.
(BAB IV D)
4) Setelah mengikuti kuliah ini anda d. Hukum Sebagai Sarana Pengatur 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan: 1) Perikelakuan Pokok-pokok Sosiologi
masalah hukum sebagai sarana Hukum. Grafindo
social engineering, 2) syarat dan Persada, Jakarta1997.
batas hukum sebagai sarana (BAB IV E)
social engineering, 3) konsepsi
hukum tentang status&role, 4)
konsep hans kelsen
tentang status&role, 5) hypotesa
soerjono soekanto
tentang status&role.
5) Setelah mengikuti kuliah ini anda e. Batas-batas Pengguaan Hukum 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Batas- Pokok-pokok Sosiologi
batas Pengguaan Hukum dan Hukum. Grafindo
kondisi yang mendasari sistem Persada, Jakarta1997.
hukum sebagai alat untuk (BAB IV F)
mengubah masyarakat.
C. Setelah mengikuti kuliah ini anda c. Masalah sosial dan hukum
akan dapat menjelaskan
hubungan antara masalah-
masalah sosiall degan hukum.
5 Setelah mengikuti kuliah ini anda Hukum Dan Masalah Penyelesaian 100 Roni Hanitijo Sumitro.
diharapkan dapat mejelaskan Konflik. Beberapa Masalah
Pengertian konflik., hubung an Dalam Studi Hukum dan
antara huk um dan k onflik , Masyarakat. Remaja
masalah pokok dari hukum karya, Bandung, 1985
menyangkut cara-cara anggota (BAB V)
masyarakat menyelesaik an
konflik-konflik , bentuk-bentuk
penyelesaian konflik yang ditemui di
dalam masyarakat, f u n g s i h u k u m
dalam hubungann ya dengan
penyele sa ian konfl ik.
Setelah mengikuti kuliah ini anda Faktor yang Mempengaruhi Penegakan 100 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Inti dan Hukum, Beberapa Faktor yang
6 arti peneg ak an hukum, faktor- Mempengaruhi
faktor yang mungkin Penegakan Hukum, Raja
mempengaruhinya penegakan Wali, Jakarat, 1986.
hukum. sebenarnya terletak pada,
gangguan penegakan hukum yang
berasal dari Undang-Undan, peran
penegak hukum dalam penegakan
hukum, pentingnya sarana atau
fasilitas dalam penegakan hukum,
pengaruh persepsi masyarakat
tentang hukum terhdap dalam
penegakan hukum, dan peran
kebudayaan (sistem) hukum dalam
penegakan hukum.
C. Strategi Perkuliahan
Perkuliahan dilakukan melalui setrategi sebgai berikut:
1. Kuliah mimbar dan dialog/tanya jawab.
2. Diskusi kelompok dan diskusi kelas
3. Presentasi individu dan atau kelompok
4. Pemberian tugas individu dan kelompok
5. Ujian tengah semester dan ujian akhir semester
1. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan ketetntuan sebgai berikut:
a. Mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 75% dari keseluruhan perkuliahan
tidak dibenarnkan mengikuti ujian akhir, dan dengan sendirinya dianggap gagal.
b. Penetapan nilai dilakukan melalui dua jenis jenis pengukuran, yaitu penilaian
proses dan penilaian hasil dengan komposisi bobot sebagai berikut :
Penentuan nilai akhir dihitung dengan rumus : Nilai Akhir = (a+b+c+(d x 2))/4
2. Tugas terstruktur
Penulisan tugas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Diketik pada kertas HVS ukuran kuarto sebanyak antara 6 – 10 halaman.
b. Dikerjakan secara berkelompok dengan jumlah tim 3 – 4 orang.
c. Diserahkan paling lambat satu minggu setelah Mid Tes.
d. Dipresentasikan di kelas
Sistematika tugas disusun sebagai beriku:
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
II. PEMBAHSAN (Sesuai topik yang dipilih)
A. …………
B. Dst (sesuai keperluan)
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran (jika dianggap perlu)
Judul tugas merupakan penjabaran dari topik yang telah ditentukan sebagai
berikut:
1. Kaedah-kaeadah Sosial dan Hukum
2. Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Hukum
3. Kelompok-kelompok Sosial dan Hukum
4. Lapisan-lapisan Sosial, Kekuasaan dan Hukum
5. Hukum Dan Masalah Penyelesaian Konflik
6. Hubungan Perubahan-perubahan Sosial dan Hukum
7. Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat
8. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan
9. Masalah penegakan hukum
10. Hukum dan kemiskinan
11. Hukum dan kejahatan
12. Hukum dan lingkungan hidup
13. Hukum dan birokrasi (pelayanan publik)
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 1
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEGUNAAN
SOSIOLOGI HUKUM
Pokok Bahasan 1 6
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu
hukum maupun antropologi hukum; akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi
adalah hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan
perubahan-perubahan sosial dan budaya. Untuk meneliti hal itu, diperlukan
pengetahuan yang cukup mengenai hukum sebagai suatu gejala sosial. Jadi, pada
dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam
masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang
hidup bersama dalam masyarakat.
Dari uraian diatas, maka dapat diberikan batasan bahwa sosiologi hukum adalah
suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dengan geja-gejala sosial lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:
11). Sosiologi hukum merupakan cabang dari sosiologi. Kendati demikian sosiologi hukum
memiliki persamaan dengan ilmu hukum, yaitu obyek kajiannya hukum. Bedanganya
dengan ilmu hukum adalah menyangkut sifat, tujuan dan metode. Ilmu hukum bersifat
preskriftif (apa yang seyogyanya). Sedangkan sosiologi hukum bersifat deskriftif. Tujuan
ilmu hukum untuk menemukan apa hukumnya terhadap masalah hukum yang dihadapi.
Sedangkan sosiologi hukum bertujuan menjelaskan dan memahami persoalan hukum
yang dihadapi. Metode ilmu hukum bersifat normatif sedangkan sosiologi hukum bersifat
empirik.
Pokok Bahasan 1 7
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
Sosiologi
hukum
Dari uraian tersebut diatas kiraffiya dapat ditarik kesimpulan, bahwa didalam
kerangka akademis, maka penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk
memungkinkan pembentukan teori hukuk yang bersifat sosiologis (Sosiological rechtstheorieen").
Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum menurut jalan fikiran yuridis-
Pokok Bahasan 1 8
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
tradisionil. Untuk memperjelas hal ini, mungkin ada baiknya untuk memberikan
uraian tentang disiplin hukum, sehingga kaitannya dengan ilmu-ilmu hukum menjadi
jelas (Soerjono Soekanto, 1986: 15-16)
Dari definisi sosiologi hukum sebagaimana disebutkan di muka, dapat diketahui
bahwa fokusnya adalah hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial
lainnya. Masalahnya adalah apakah yang diartikan dengan hukum dan apa pula arti
gejala sosial lainnya.
Mengenai pengertia hukum, sejak dahulu kala sudah ada pendapat-pendapat,
yang menyatakan bahwa tak akan mungkin merumuskan definisi hukum, karena ruang
lingkupnya sangat luas. Oleh karena itu, agar ada suatu pegangan, lebih baik dibuat
klasifikasi mengenai pengertian yang diberikan pada hukum. Artinya, bagaimanakah
masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum, terlepas dari apakah itu benar
atau keliru.
Perihal gejala-gejala sosial, maka ruang lingkupnya dapat dipergunakan
sistematika, sebagai berikut :
A. Struktur sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang
pokok, yaitu :
1. Kelompok sosial
2. Kebudayaan
3. Lembaga-lembaga sosial
4. Stratifikasi
5. Kekuasaan dan wewenang.
B. Proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara pelbagai bidang kehidupan, yang
mencakup :
1. Interaksi sosial
2. Perubahan-perubahan sosial
3. Masalah-masalah sosial.
Atas dasar hal-hal tersebut diatas, maka dapat disusun suatu paradigma sosiologi
hukum yang ruang lingkupnya adalah pengaruh timbal-balik antara hukum dengan gejala-
gejala sosial lainnya. Secara visual gambarannya adalah sebagai berikut :
1. Kelompok-kelompok HUKUM
sosial.
2. Kebudayaan (terutama
nilai-nilai dan kaedah-kaedah HUKUM
lainnya.
Pokok Bahasan 1 9
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
4. Stratifikasi HUKUM
7. Perubahan-perubahan
HUKUM
sosial
Pokok Bahasan 1 10
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
penelitian terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu masyarakat yang
terdiri dari pelbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumnya. Misalnya di
Indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem-sistem hukum
yang berlaku di pelbagai daerah dan yang didukung oleh suku-suku bangsa yang
berlainan.
Pokok Bahasan 1 11
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
gejala di atas, sedikit banyaknya dapat ditelaah sampai sejauh manakah prinsip
negara hukum dapat terwujud dan terlaksana dalam praktek.
5. Hukum dan Nilai-nilai Sosial-Budaya
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat
berlaku dalam masyarakat. Misalnya, Hukum Waris daerah Tapanuli menentukan
bahwa seorang janda bukanlah merupakan ahli waris bagi suaminya, oleh karena janda
dianggap sebagai orang luar (keluarga suaminya). Garis hukum semacam itu,
merupakan pencerminan dari nilai-nilai sosial-budaya dari suatu masyarakat, yang
patrilineal.
Orang-orang yang pernah belajar dan mengetahui apa yang dinamakan hukum,
pada umumnya berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai
sosial yang dicita-citakan oleh masyarakat, diperlukan kaidah-kaidah (hukum)
sebagai alatnya. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum dengan nilai-
nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia, perlu ditinjau sejenak alam pikiran bangsa
Indonesia yang untuk sebagian besar masih tinggal dan hidup di daerah pedesaan. Orang
Indonesia, merasa dirinya sebagai bagian dari alam sekitarnya dan di dalam segala
tingkah-lakunya: Untuk mencapai kebahagiaan hidup, seseorang harus menyesuaikan
diri dengan tata cara sebagaimana telah ditetapkan oleh alam sekitarnya. Suatu
perbuatan yang melanggar diartikan; oleh karena itu sanksi-sanksi atas pelanggaran-
pelanggaran demikian ditujukan untuk memperbaiki kembali keseimbangan alam (alam
pikiran kosmis).
Peraturan-peraturan mengenai tingkah-laku manusia, dapat diketahui dari
pitutur orang-orang tua yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dengan adanya pandangan yang demikian, maka tak dapat
dihindarkan bahwa hukum (adat) dalam bidang-bidang tertentu mempunyai
kecenderungan untuk mempertahankan status-quo, tanpa begitu memperhatikan hal-
hal baru yang menghendaki penilaian baru pula (Soerjono Soekanto: 1970).
Disamping pandangan hidup yang bersifat kosmis tersebut di atas, dikenal pula
bentuk kerukunan dalam pergaulan hidup antar manusia. Bentuk kerukunan itu
berpengaruh pula dalam bidang hukum, misalnya apabila terjadi suatu sengketa, maka
penyelesaiannya ditujukan pada kerukunan dari para pihak yang berselisih, yang
membawa pada suatu kompromi. Dalam pergaulan hidup, segi kerukunan jelas
memperlihatkan segi-segi yang baik, akan tetapi hal ini dapat menyebabkan sulit
tercapainya suatu kepastian hukum (Daniel S. Lev, 1972).
6. Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Kepastian Hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok daripada
hukum. Walaupun demikian, seringkali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan
sekaligus secara merata. Hal ini misalnya ditegaskan pula oleh seorang tokoh sosiologi,
yaitu Max Weber yang membedakan substantive rationality dari formal rationality (Max
Pokok Bahasan 1 12
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
Rheeinstein(ed) 1954: Bab XI). Dikatakannya bahwa sistem Hukum Barat mempunyai
kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusun-
an secara sistematis dari ketentuan-ketentuan semacam itu seringkali bertentangan
dengan aspek-aspek dari substantive rationality, yaitu kesebandingan bagi warga-
warga masyarakat secara individual. Dilema tersebut di atas merupakan tema yang
menarik bagi penelitian sosiologi hukum, misalnya dalam meneliti kemungkinan-
kemungkinan untuk membentuk sistem hukum yang memberikan derajat dan
kesempatan yang sama bagi para warga masyarakat dalam melakukan tindakan-
tindakan hukum atau pembentukan suatu sistem hukum yang langgeng, akan tetapi
cukup terbuka bagi perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam
masyarakat.
Pokok Bahasan 1 13
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
keadaan psikologis yang sedang dialami. Belum lagi tentang status terdakwa secara
sosial-ekonomi politis dan juga pengaruh mass media terhadap jalannya peradilan.
Di lain pihak dapat pula dikemukakan masalah efek sosial daripada suatu
keputusan pengadilan. Misalnya, sampai sejauh manakah keputusan-keputusan
pengadilan mengenai pelanggaran lalu lintas mengurangi pelanggaran-pelanggaran lalu
lintas. Atau misal lain adalah, sampai sejauh manakah keputusan-keputusan mengenai
perkara-perkara cek kosong dapat membatasi pelanggaran tersebut, dan banyak
contoh-contoh lainnya yang dapat diambil dari kehidupan sehari-hari.
Suatu penelitian yang juga akan sangat berguna, adalah penelitian terhadap
peranan hakim dalam mengubah masyarakat melalui keputusan-keputusannya. Hukum
positif tertulis tak akan selalu dapat mengikuti perubahan atau mengubah masyarakat,
karena sifatnya yang relatif kaku. Oleh karena itu, maka peranan hakim adalah penting,
untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada hukum positif tertulis dalam
konteks perubahan masyarakat.
b. Efek Suatu Peraturan Perundang-undangan dalam Masyarakat
Suatu penelitian terhadap efek suatu peraturan perundang-undangan di dalam
masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah hukum tersebut
benar-benar berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan
baik, belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis/ideologis
dan yuridis saja; secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukanlah
berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada
gejala-gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup. Peraturan perundang-undangan
tersebut harus diberi waktu agar meresap dalam diri warga-warga masyarakat. Apabila
sering terjadi pelanggaran-pelanggaran (tertentu) terhadap suatu peraturan perundang-
undangan, maka hal itu belum tentu berarti bahwa peraturan tersebut secara sosiologis
tidak berlaku di dalam masyarakat. Mungkin para pelaksana peraturan tadi kurang tegas
dan kurang bertanggung jawab di dalam pekerjaannya; ini perlu diperhitungkan
dalam menilai apakah suatu peraturan itu baik atau kurang baik.
c. Tertinggalnya Hukum di Belakang Perubahan-perubahan Sosial dalam
Masyarakat
Dalam setiap masyarakat akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola
perikelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perikelakuan yang
dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang tak dapat dihindari
bahwa kadang-kadang timbul suatu ketegangan sebagai akibat perbedaan-perbedaan
tersebut di atas. Mengapa hal itu sampai terjadi? Adalah suatu keadaan yang lazim
bahwa kaidah-kaidah hukum di susun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masya-
rakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda
kepentingan-kepentingannya dan pola-pola perikelakuannya lagi pula, suatu kaidah
hukum berisikan patokan perilaku yang diharapkan. Sudah tidak asing lagi bagi kita,
betapa banyaknya perundang-undangan pada zaman kolonial dulu misalnya, yang tidak
kena pada sasarannya. Dengan demikian, maka tidakl ah terlalu mengherankan
mengapa hukum kadang-kadang tidak berhasil mengusahakan atau bahkan
Pokok Bahasan 1 14
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
"memaksakan" agar para warga masyarakat menyesuaikan tingkah- lakunya pada hukum
yang telah diperlakukan. Apakah hal ini berarti bahwa hukum selalu tertinggal di
belakang perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat? (William F.
Ogburn 1966:200). Hukum tertinggal, apabila hukum tersebut tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Misalnya, dengan
berkembangnya teknologi di bidang tenaga nuklir untuk maksud-maksud damai,
hukum (internasional publik, misalnya) mungkin tertinggal. Hal ini pun menyangkut
Indonesia yang dalam batas-batas tertentu telah mempergunakan dan
memperkembangkan teknologi nuklir tersebut.
d. Difusi Hukum dan Pelembagaannya
Suatu penelitian yang akan menarik sekali adalah mengenai bagaimana warga-
warga masyarakat mengetahui hukum yang berlaku serta bagaimana Hukum
mempengaruhi tingkah laku mereka setelah hal itu diketahuinya. Dari penelitian
semacam itu dapat pula diketahui sampai sejauh manakah hukum mengalami proses
pelembagaan atau proses institutionalization dalam diri warga-warga masyarakat atau
bahkan tertanam dalam jiwa mereka (internalized). Apabila hal itu tercapai, maka
hukum semakin efektif.
e. Hubungan antara Para Penegak atau Pelaksana Hukum
Di Indonesia ini dikenal beberapa penegak atau pelaksana hukum, seperti
misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain sebagainya yang masing-masing mempunyai fungsi-
fungsinya sendiri. Penelitian mengenai kedudukan pelaksana-pelaksana hukum tersebut
belum banyak dilakukan di Indonesia. Yang dimaksudkan di sini adalah suatu penelitian
bukan dari segi perundang-undangan semata-mata yang secara yuridis menentukan
kedudukan para pejabat tersebut di dalam masyarakat, akan tetapi juga dari sudut lain,
misalnya dari sudut perkembangan sosial dan politik. Penelitian semacam ini akan lebih
banyak menghasilkan gambaran yang nyata dari kedudukan masing-masing pelaksana
hukum tersebut.
f. Masalah Keadilan
Suatu penelitian terhadap masalah keadilan akan menarik sekali, oleh karena
adanya beberapa asas keadilan. Kadang\kadang keadilan didasarkan pada asas
kesamarataan, di mana setiap orang mendapat bagian yang sama. Adakalanya keadilan
didasarkan pada kebutuhan, sehingga` menghasilkan kesebandingan hal mana biasanya.
diterapkan di bidang hukum. Tidak jarang dipergunakan asas kualifikasi untuk mengukur
keadilan, serta juga asas obyektif yang ,melihat dari sudut prestasi seseorang. Asas
subyektif juga lazim )diterapkan, apabila yang dipermasalahkan adalah ketekunan untuk
mencapai sesuatu, tanpa melihat hasilnya.
Adalah penting sekali untuk meneliti, asas apa yang lazim diterapkan di bidang
hukum, walaupun ada kecenderungan untuk mencapai kesebandingan. Dengan demikian
akan dapat diketahui batas-batas keserasian antara tugas-tugas hukum untuk menegakkan
kepastian hukum untuk mencapai ketertiban, dan kesebandingan untuk mencapai
ketenteraman.
Pokok Bahasan 1 15
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
RANGKUMAN
1. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum, dapat dipandang sebagai
suatu alat dari ilmu hukum di dalam meneliti obyeknya dan untuk pelaksanaan proses
hukum.
2. sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan geja-gejala sosial lainnya.
3. Ruang lingkup sosiologi hukum menyangkut 1) dasar sosial dari hukum, atas dasar anggarap
bahwa Hukum tumbuh dari proses-Proses lainnya (Genetic sosiology of law), 2) Efek hukum
terhadap Gejala-gejala sosial lainnya Dalam masyarakat (The operational sosiology of law).
4. Gejala-gejala sosial, terdiri dari pertama, Struktur sosial yang merupakan keseluruhan
jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu :1. Kelompok sosial, 2. Kebudayaan, 3.
Lembaga-lembaga sosial, 4. Stratifikasi, dan 5. Kekuasaan dan wewenang. Kedua,
Proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara pelbagai bidang kehidupan, yang
mencakup : 1. Interaksi sosial, 2. Perubahan-perubahan sosial, dan 3. Masalah-masalah
sosial.
5. Beberapa persoalan yang disoroti oleh sosiologi hukum antara lain:
a. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat,
b. Persamaan persamaan dan Perbedaan perbedaan Sistem sistem Hukum
c. Sifat Sistem Hukum yang Dualistis
d. Hukum dan Kekuasaan
e. Hukum dan Nilai-nilai Sosial-Budaya
f. Kepastian Hukum dan Kesebandingan
g. Peranan Hukum Sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat:
1) Pengadilan
2) Efek Suatu Peraturan Perundang-undangan dalam Masyarakat
3) Tertinggalnya Hukum di Belakang Perubahan-perubahan Sosial dalam Masyarakat
4) Difusi Hukum dan Pelembagaannya
5) Hubungan antara Para Penegak atau Pelaksana Hukum
6) Masalah Keadilan
6. Sosiologi hukum berguna untuk: 1) memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman
terhadap hukum di dalam konteks sosial, 2) memberi kemampuan untuk mengadakan
analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian
sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar
mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu, 3) meberi kemampuan untuk mengadakan
evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Pokok Bahasan 1 17
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum
DAFTAR PERTANYAAN :
1. Jelaskan pengerian sosiologi hukum dan jelaskan pula persamaan dan perbedaan sosiologi
hukum dengan ilmu hukum.
2. Jelaskan Ruanglingkup Sosiologi Hukum dan hubungan sosiologi hukum dengan ilmu hukum.
3. Berikan gambaran tentang paradigma sosiologi hukum.
4. Jelaskan berbagai persoalan yang menjadi pusat perhatian dalam kajian sosiologi hukum.
5. Jelaskan kegunaan sosiologi hukum baik secara umum maupun Pada taraf rganisasi dalam
masyarakat, taraf golongan dalam masyarakat dan taraf individual.
DAFTAR PUSTAKA:
Soerjono Soekanto. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni, Bandung, 1986. (BAB I dan II B).
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada, Jakarta1997. (BAB
II)
Pokok Bahasan 1 18
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 2
SEJARAH P E R K E M B A N G A N SOSIOLOGI HUKUM
A. Pengantar.
Pokok Bahasan 2 19
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 2 20
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil analisa pemikiran yuridis (jadi,
hanya dipostulasikan oleh fikiran manusia). Kaedah dasar tersebut merupakan
dasar dari segala pandangan menilai yang bersifat yuridis yang memungkinkan
dalam kerangka tata kaedah hukum suatu negara. Kelsen kemudian menghubungkan
hal "stufenbau" dan kaedah dasar dengan suatu negara tertentu; kesimpulannya
adalah, bahwa isi perumusan kaedah dasar negara yang satu boleh berbeda
dengan negara lain, halmana tergantung dari sifat masing-masing negara.
Teori "stufenbau" dari Kelsen sebenarnya berisi- kan hal-hal, sebagai berikut :
1. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistim kaedah. kaedah hukum secara
hierarkhis.
2. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat
terbawah keatas, adalah:
a. Kaedah-kaedah individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama
pengadilan.
b. Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan.
c. Kaedah-kaedah daripada konstitusi.
Ketiga macam kaedah tersebut merupakan kaedah kaedah hukum positif;
diatas konstitusi adalah tempatnya kaedah dasar (hipotetis) yang lebih
tinggi dan bukan merupakan kaedah hukum positif, akan tetapi merupakan
kaedah yang dihasilkan oleh pemikiran yuridis.
3. Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau
ditentukan oleh kaedahkaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih
tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa
perbedaan hukum dengan kebiasaan (belaka) terletak pada unsur kekuasaan
resmi, yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu,
hingga kini ada kecenderungan kuat dalam penterapan hukum, untuk
mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistim hukum.
Pokok Bahasan 2 21
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 2 22
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 2 23
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum
taan hukum / hukum yang hidup, 5) Hukum dan kebijaksanaan umum, 6) Segi
perikemanusiaan dari hukum, 7) Studi tentang keputusan pengadilan dan pola
perikelakuan (hakim).
3. Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk
menetralisasikan atau merelatifkan dogmatik hukum, oleh karena tekanan lebih banyak
diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum ("law in action"). Menurut Pound,
hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan per-
undang-undangan dan keputusan hakim / pengadilan. Menurut Cardozo kemudian
berpendapat, bahwa hukum bukanlah merupakan penterapan murni dari peraturan
perundang-undangan. Terhadap hukum berpengaruh pula kepentingan-kepentingan sosial
yang hidup dalam masyarakat.
4. Pengaruh dari ilmu hukum terlihat dari pendapat Kelsen yang terkenal dengan
ajarannya yang dinamakan ajaran murni tentang hukum (The Pure Theory of Law) dimana
Kalsen mengakui bahwa hukum di pengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologis,
filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah suatu teori yang murni tentang
hukum yang "dibersihkan" dari segala faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu
Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai kaedah; hukum sebagai perikelakuan
yang ajeg merupakan obyek sosiologi hukum yang baginya bukan merupakan ilmu
hukum.
5. Pengaruh dari sosiologi terbukti dari Teori Durkheim yang terutama mengetengah-
kan hal-hal sebagai berikut.
a. Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu
masyarakat.
b. Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun
untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Max Weber, menajarkan tentang tipe tipe ideal dari hukum yang sekaligus
menunjukkan suatu perkembangan , yaitu :
a. Hukum irrasionil dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim
mendasarkan keputusankeputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosionil tanpa
mengacu pada suatu kaedah hukum.
b. Hukum irrasionil dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim
berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan --
ramalan.
c. Hukum rasional dan materiel dimana keputusan para pembentuk undang-
undang dan hakim didasarkan pada kitab suci; ideologi atau kebijaksanaan
penguasa.
d. Hukum rasionil dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari
ilmu hukum.
DAFTAR PERTANYAAN
1. Ceritakan secara singkat sejarah lahir dan berkembanganya sosiologi hukum!
2. Jelaskan masukan (input) penting apa yang diberikan oleh ilmu hukum dan filsafat hukum
dalam terbentuknya sosiologi hukum?
3. Jelaskan pengaruh filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi dalam perkemabangan
Sosiologi Hukum!
REFERENSI:
Soerjono Soekanto. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni, Bandung, 1986. (BAB II
B)
Pokok Bahasan 2 24
Struktur Sosial dan Hukum
Pokok Bahasan 3
Pada hakikatnya masyarakat dapat ditelaah dari dua sudut, yakni sudut
struktural dan sudut dinamikanya. Segi struktural masyarakat dinamakan pula
struktur sosial, yaitu keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni
kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan
sosial (Selo Soemardjan-Soelaema Soemaidi 1964:14). Yang dimaksudkan dengan
dinamika masyarakat adalah apa yang disebut proses sosial dan perubahan-
perubahan sosial. Dengan proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara
pelbagai segi kehidupan bersama. Dengan lain perkataan proses-proses sosial adalah
cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-
kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk
hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. (Gillin and Gillin 1954:487, 488).
Yang terutama akan disoroti adalah interaksi sosial yang merupakan dasar daripada
proses sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang
menyangkut hubungan antara .orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.
primary
needs
NILAI
pola perilaku
Yang pantas
KAEDAH 22
Di satu pihak kaidah-kaidah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, dan
terdiri dari kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan bertujuan
untuk mencapai suatu kehidupan yang ber-Iman (Purnadi Purbacaraka 1974:4), sedangkan
kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidup berakhlak atau mempunyai hati nurani
bersih. Di lain pihak ada kaidah kaidah yang mengatur kehidupan antar manusia atau
antar pribadi, yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah
kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan menyenangkan,
sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan antar
manusia. Kedamaian tersebut akan tercapai, dengan menciptakan suatu keserasian
antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketenteraman (yang bersifat batiniah).
Kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, merupakan suatu
ciri yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada
perbedaan antara kaidah-kaidah hukum di satu pihak, dengan perikelakuan yang nyata.
Hal ini terutama disebabkan, oleh karena kaidah hukum merupakan patokan-patokan
tentang perikelakuan yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi
Pokok Bahasan 3 26
Struktur Sosial dan Hukum
KAEDAH SOSIAL
23
Kiranya telah cukup jelas bahwa setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme
pengendalian sosial agar selalu sesuatunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksudkan
dengan mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah
segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun
yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga
masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masya-
rakat yang bersangkutan. (J.S. Roucek 1951:3). Namun permasalahannya di sini adalah
bagaimana untuk menentukan bahwa salah satu tipe pengendalian sosial
tersebut dapat dinamakan hukum. Dengan perkataan lain, persoalannya kembali
lagi pada masalah membedakan hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya, persoalan mana
telah lama membingungkan para antropolog dan para sosiolog. Walaupun kesulitan-kesulitan-
tetap ada, namun ada suatu konsensus bahwa semua masyarakat mempunyai suatu
perangkat kaidah-kaidah yang dapat dinamakan hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, dibawah ini diuraikan beberapa pendapat ahli
mengenai pembedaaan hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya.
1. Bronislaw Malinowski
Dalam suatu buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1962).
Malinowski berpendapat bahwa intisari hukum terjalin dalam prinsip resiprositas .
Analisa dari Malinowski sangat berguna oleh karena berkat penelitiannya dia telah
membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh
kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari.
Pokok Bahasan 3 27
Struktur Sosial dan Hukum
Dengan perkataan lain, Malinowski berusaha untuk menghilangkan kesan bahwa hukum
semata-mata terdiri dari paksaan dengan jalan mengemukakan suatu sistem yang sangat
luas dari pengendalian sosial. Akan tetapi dia kurang berhasil untuk membedakan hukum
dari kebiasaan. Apabila asas resiprositas terdapat pada kebanyakan hubungan-hubungan
hukum atau memperkuat pengendalian hukum, namun hal itu bukanlah berarti bahwa
semua yang merupakan hukum dapat digolongkan pada asas resiprositas.
Beberapa tahun kemudian, Malinowski berpendapat bahwa ada beberapa kaidah
yang untuk penerapannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat.
Kaidah-kaidah itulah yang dinamakan hukum, yang berbeda dengan kaidah-kaidah
lainnya. (E. A. Hoebel 1961: VIII).
Kemungkinan besar pendapat Malinowski yang membedakan hukum dengan
kebiasaan agak berpengaruh terhadap pendapat-pendapat para sarjana kemudian yang
pada umumnya berusaha untuk mempertentangkan kedua pengertian tersebut di atas.
Kedua pengertian tadi biasanya dibedakan atas dasar dua kriteria yaitu sumber sanksinya
dan pelaksanaannya. Pada kebiasaan sumber sanksi dan pelaksanaannya adalah para
individu atau kelompok, sedangkan hukum didukung oleh suatu kekuasaan yang
terpusat pada badan-badan tertentu dalam masyarakat. Atau dengan perkataan lain,
hukum dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang kedaulatan.
2. Max Weber
Max Weber juga menekankan pada pelaksanaan hukum oleh suatu kekuasaan
yang terpusat. Dikatakannya kemudian bahwa seorang sosiolog tugasnya bukan untuk
menilai suatu sistem hukum, akan tetapi hanya memahaminya saja. Konsepsi Max
Weber tentang hukum memungkinkan usaha-usaha untuk menemukan kelompok kecil
sampai dengan kelompok-kelompok besar seperti negara. Lagipula Weber sebetulnya
tidak menganggap hukum sebagai perintah (command), akan tetapi sebagai suatu
ketertiban (order). Dengan demikian dia tidaklah memandang hukum semata-mata
sebagai pelaksanaan suatu kekuasaan yang terpusat. Weber sebetulnya lebih
mengutamakan pengertian wewenang (authority) sebagai intisari dari hukum.
3. H.L.A. Hart
H.L.A. Hart berusaha untuk mengembangkan suatu konsep tentang hukum yang
mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban
tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum. Menurut Hart, maka inti
Pokok Bahasan 3 28
Struktur Sosial dan Hukum
dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan
sekunder (primary and secondary rules). Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-
ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pergaulan hidup. Adalah mungkin untuk hidup dengan aturan-aturan utama di
dalam masyarakat yang sangat stabil di mana para, warganya saling mengenal serta
mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya. Tetapi semakin kompleks suatu
masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Oleh karena itu
diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari :
1. rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan
dengan aturan-aturan utama dan dimana perlu, menyusun aturan-aturan tadi secara
hirarkis menurut urut-urutan kepentingannya;
2. rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang
baru; dan,
3. rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang
perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan
utama dilanggar. (H.L.A. Hart 1961: Bab V)
Walaupun Hart menyamakan hukum dengan serangkaian aturan-aturan,
hendaknya dipahamkan bahwa yang dimaksudkannya dengan hukum adalah lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang tertentu.
4. Paul Bohannan
Pokok Bahasan 3 29
Struktur Sosial dan Hukum
penting dari gejala hukum adalah fakta bahwa aturan dan lembaga-lembaga hukum
mengatur hampir seluruh perikelakuan sosial dalam masyarakat.
6. L. Pospisil
Pokok Bahasan 3 30
Struktur Sosial dan Hukum
keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang
didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
Uraian pendapat dari beberapa sarjana ilmu-iImu sosial sebagaimana
dikemukakan di atas, dimaksudkan untuk memberi suatu gambaran yang agak luas
dan untuk memberikan petunjuk di manakah sebetulnya letak permasalahannya.
Memang perlu diakui bahwa merupakan hal yang sulit untuk membedakan hukum dan
kaidah-kaidah lainnya secara tegas. Hal ini disebabkan oleh karena baik hukum
maupun kaidah-kaidah lainnya merupakan unsur-unsur yang membentuk mekanisme
pengendalian sosial.
Pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah non-hukum berlaku lebih
kuat daripada kaidah-kaidah hukum, lebih-lebih pada masyarakat sederhana di mana
interaksi sosial lebih dilakukan atas dasar hubungan-hubungan pribadi. Sebaliknya
adalah keliru untuk selalu mengkaitkan hukum dengan suatu kekuasaan terpusat yang
mempunyai wewenang tunggal untuk menerapkan hukum. Apabila pendapat terakhir
tersebut dianut maka berarti bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak mempunyai
suatu kekuasaan terpusat, sama sekali tidak mempunyai hukum (hal mana adalah
mustahil).
Walaupun kesulitan-kesulitan tersebut di atas timbul, akan tetapi dapatlah
dikatakan bahwa hukum mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan
kaidah-kaidah lain, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Ada suatu kecenderungan
untuk menganggap ciri-ciri tersebut adalah bahwa hukum bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan; hukum mengatur
perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah; hukum dijalankan oleh badan-badan
yang diakui oleh masyarakat sebagai badan-badan pelaksana hukum. Khususnya tentang
hal yang terakhir ini perlu ditegaskan bahwa badan-badan tersebut mungkin merupakan
orang-orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai pejabat pelaksana hukum
(misalnya kepala adat atau suatu dewan para sesepuh, pada masyarakat-masyarakat
yang masih sederhana sistem sosialnya). Yang terpenting adalah, bahwa hukum
bertujuan untuk mencapai kedamaian, yang berarti suatu keserasian antara ketertiban
dengan ketentraman.
B. Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan dan Hukum
Di dalam uraian-uraian di muka telah disinggung bahwa pergaulan hidup di dalam
masyarakat diatur oleh kaidah-kaidah dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Di
dalam perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah tersebut berkelompok-kelompok pada
belbagai keperluan pokok daripada kehidupan manusia seperti misalnya kebutuhan hidup
kekerabatan, kebutuhan pencarian hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk
menyatakan rasa keindahan, kebutuhan jasmaniah dari manusia dan lain sebagainya.
Misalnya, kebutuhan kehidupan kekerabatan menimbulkan lembaga-lembaga
kemasyarakatan seperti keluarga batih; pelamaran, perkawinan, perceraian, kewarisan dan
lain sebagainya. Kebutuhan pencarian hidup menimbulkan lembaga-lembaga
kemasyarakatan seperti misalnya pertanian, industri dan lain-lain. Kebutuhan akan
peternakan, koperasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti misalnya taman kanak-
Pokok Bahasan 3 31
Struktur Sosial dan Hukum
1. Untuk memberikan pedoman kepada para warga masyarakat, bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat
yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan pokok.
2. Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan. Memberikan pegangan
kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
(Soe rj ono Soekanto 1978:74),
Dari penjelasan singkat tersebut di atas nyata bahwa tidak semua kaidah-kaidah
merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan; hanya kaidah-kaidah yang mengatur
kebutuhan pokok saja yang merupakan lembaga kemasyarakatan. Artinya adalah bahwa
kaidah-kaidah tersebut harus mengalami proses pelembagaan
(institutionalization) terlebih dahulu, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu
kaidah yang baru, untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, yang
dimaksudkan di sini adalah agar kaidah-kaidah tadi diketahui, dimengerti, ditaati dan
dihargai dalam kehidupan sehari-hari. Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti
demikian saja, akan tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi sehingga suatu kaidah tidak
saja melembaga, akan tetapi bahkan menjiwai dan mendarah daging (internalized) pada
para warga masyarakat.
Masalah yang dapat timbul dari hubungan antara lembaga-lembaga
kemasyarakatan dengan hukum adalah pertama-tama, dapatkah hukum dianggap
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan? Dengan melihat bahwa hukum merupakan
himpunan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian, maka
dapatlah dikatakan bahwa hukum diharapkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan ketertiban dan ketenteraman, hal mana merupakan salah satu kebutuhan pokok
dari masyarakat. Bahwa hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan adalah
karena disamping sebagai gejala sosial (das Sein), hukum juga ` mengandung unsur-
unsur yang ideal (das Sollen). Apabila telah dicapai kesepakatan bahwa hukum
merupakan suatu lembaga kemasyarakatan, maka pertanyaan berikutnya adalah,
bagaimana hubungan hukum dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya?
Pertanyaan tersebut di atas kiranya akan dapat dijawab dengan menelaah
macam-macam lembaga kemasyarakatan yang dapat dijumpai di dalam masyarakat.
Bermacam-macamnya lembaga kemasyarakatan tersebut antara lain disebabkan karena
Pokok Bahasan 3 32
Struktur Sosial dan Hukum
2. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, timbul klasifikasi atas basic
institutions dan subsidiary institutions. Basic institutions dianggap sebagai lembaga
kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata
tertib dalam masyarakat. Sebaliknya, subsidiary institutions yang dianggap kurang
penting, seperti misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran apa yang dipakai
untuk menentukan apakah suatu lembaga kemasyarakatan dianggap basic atau
subsidiary berbeda pada masing-masing masyarakat, dan ukuran-ukuran tersebut juga
tergantung pada masa masyarakat tadi hidup.
3. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan antara approved atau socially
sanctioned institutions dengan unsanctioned institutions. Yang pertama merupakan
lembaga-lembaga yang diterima oleh masyarakat, sedangkan yang kedua ditolak,
walaupun kadang-kadang masyarakat tidak berhasil untuk memberantasnya.
Pokok Bahasan 3 33
Struktur Sosial dan Hukum
mengalami perubahan-perubahan. Hal itu disebabkan, oleh karena dengan masuknya hal-
hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan-anggpan baru tentang
kaidah-kaidah yang berkisar pada kebutu pokoknya.
Dengan melihat uraian di atas, maka tidak mudah untuk menentukan hubungan
antara hukum dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya terutama di dalam
menentukan hubungan timbal balik yang ada. Hal itu semuanya tergantung pada nilai-nilai
masyarakat dan pusat perhatian penguasa terhadap aneka macam lembaga
kemasyarakatan yang ada, dan sedikit banyaknya ada pengaruh-pengaruh pula dari
anggapan-anggapan tentang kebutuhan-kebutuhan apa yang pada suatu saat merupakan
kebutuhan pokok. Sebagaimana dikatakan oleh Harjono Tjitrosubono:
"Sudah tentu saja sepenuhnya mengakui bahwa antara perkembangan hukum dan
perubahan-perubahan sosial-politik ekonomi di dalam masyarakat ada
interconnections dan interdependencies, akan tetapi saya tidak dapat menyatakan
seperti Prof. Daniel Lev bahwa lembaga hukum absolut bukan lembaga primair
dalam masyarakat yang berubah.
Oleh karena sebab primair yang menggerakkan perubahan perubahan di dalam
masyarakat, apakah lembaga politik, apakah lembaga sosial ataukah lembaga ekonomis
atau kebudayaan menurut pendapat saya tidak dapat dipastikan secara umum yang
bersifat mutlak sebagai suatu axioma di dalam ilmu pengetahuan alam atau natural
science, akan tetapi bergantung daripada resultante dari perimbangan dan integrasi di
dalam interconnections dan interdependencies antar potensi-potensi sosial di dalam social
control dalam arti luas dan dalam proses sosial yang total, sehingga di suatu waktu dan
tempat tertentu lembaga hukum akan dapat mengambil Peranan yang pnmair di dalam
perubahan masyarakat. Dan di lain waktu di tempat lembaga poIitik, atau lembaga sosial,
atau lembaga ekonomi atau produk kebudayaan akan mengambil peranan yang primair.
Akan tetapi harus diakui sebagai suatu kenyataan bahwa di dalam developing countries,
hukum negara sangat dipengaruhi oleh lembaga politik, seperti di tahun 1959 dengan
dekrit presiden dasar hukum negara diubah sekaligus dari UUD Sementara kembali ke
UUD RI 1945". (H.Tjiptosubeno 1971:11)
Dengan perkataan lain, maka lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu
mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin merupakan lembaga
kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya. Namun demikian, hukum dapat merupakan suatu
lembaga kemasyarakatan yang primer di dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut,
1. sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa
(prestigeful);
2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
3. penegak hukum dapat di jadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
4. diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
5. para penegak dan pelaksana hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang
diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola perikelakuannya;
Pokok Bahasan 3 34
Struktur Sosial dan Hukum
Interkasi
sosial
KAEDAH
38
Untuk jelasnya, akan dikemukakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
seorang sosiolog yaitu Richard Schwartz, terhadap dua bentuk masyarakat tadi di Israel
(R.D. Schwartz 1964: 471-491). Masyarakat tani yang satu dibentuk atas dasar
kolektivisme ekonomis dan dinamakan kutza, sedangkan yang lainnya merupakan
masyarakat yang didasarkan pada hak milik perseorangan yang dinamakan moshav.
Pada moshav dijumpai suatu badan peradilan khusus yang mengadili
persengketaan-persengketaan yang terjadi, badan mana tidak dijumpai pada kvutza.
Walaupun kvutza mempunyai suatu rapat desa sebagai badan legislatif yang melahirkan
keputusan-keputusan terhadap orang banyak, namun tak ada badan khusus yang
bertugas sebagai badan pelaksana hukum atau penegak hukum. Apabila pelaksanaan
pengendalian sosial ditinjau pada kedua masyarakat tersebut, maka pada kvutza yang
Pokok Bahasan 3 35
Struktur Sosial dan Hukum
kolektif sifatnya para warganya secara tetap melakukan interaksi sosial antara
sesamanya. Mereka mempunyai sistem kaidah-kaidah sosial yang terinci konkret, dapat
diterapkan terhadap bagian terbesar dari masyarakat dan Pada umumnya mereka
mengetahui, menghargai serta mentaati kaidah-kaidah tersebut. Sebaliknya, antara
warga-warga moshav tidak terjadi hubungan-hubungan yang rapat dan juga tak ada
kesatuan pendapat perihal isi kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Schwartz berkesimpulan
bahwa karena kvutza mempunyai sistem pengendalian sosial informal yang kuat, maka
masyarakat tersebut tidak begitu memerlukan suatu sistem hukum. Walaupun mungkin
terjadi kegoncangan pada sistem pangendalian sosial yang informal tadi, namun ada
kecenderungan untuk memperkuatnya kembali daripada membentuk pengendalian
sosial yang formal (yaitu hukum). Sebaliknya pada moshav perkembangan yang kuat dari
hukum disebabkan karena kurang efektifnya alat-alat pengendalian sosial yang informal.
Dari keterangan-keterangan Schwartz tersebut di atas terdapat suatu bukti bahwa
pada masyarakat-masyarakat tertentu hukum kurang berperanan apabila dibandingkan
dengan kaidah-kaidah lainnya. Terutama pada masyarakat-masyarakat gemein schaftlich
kaidah-kaidah sosial lainnya lebih efektif oleh karena hukum sebetulnya secara implisit
berarti turut sertanya atau campur tangannya pihak lain yang berarti pula memperluas
persengketaan. Artinya, pada masyarakat-masyarakat tertentu yang masih sederhana dan
homogen sifatnya ada kecenderungan untuk menyelesaikan suatu konflik di antara mereka
sendiri.
Betapa pentingnya kelompok-kelompok sosial bagi usaha-usaha untuk mengenal
sistem hukum, juga dibuktikan oleh Daniel S. Lev di dalam uraiannya tentang proses
perubahan hukum di Indonesia, tulisan mana berjudul The Politics of Judicial Develop-
ment in Indonesia (D.S. Lev 1965:173-199). Tulisan tersebut menyoroti pengaruh dari
konflik antara para hakim, jaksa dan polisi, terhadap perkembangan lembaga-lembaga
hukum di Indonesia (sesudah revolusi). Para hakim, jaksa dan polisi, secara sosiologis
merupakan kategori sosial, yang merupakan suatu tipe kelompok sosial. Pertama yang
ditelaahnya adalah pertentangan antara para hakim dengan jaksa mengenai soal wibawa,
hal mana mengakibatkan usaha-usaha untuk mengubah hukum acara pidana dan
kekuasaan-kekuasaan yudisial. Kemudian ditelaahnya pula tentang konflik antara polisi
dengan kejaksaan perihal pembagian kekuasaan yang juga menyangkut soal kedudukan
dan wibawa.
D. Lapisan-Lapisan Sosial, Kekuasaan Dan Hukum
Selama di dalam sesuatu masyarakat ada suatu yang dihargai, dan setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu tadi dapat
menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat
tersebut. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin berupa benda-
benda yang bernilai ekonomis, atau mungkin berupa kekuasaan, ilmu pengetahuan,
kesalehan dalam agama, dan seterusnya. Barangsiapa memiliki sesuatu yang berharga
tadi dalam jumlah yang banyak, maka dia dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang
menduduki lapisan tertinggi. Sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat tadi disebut juga
social stratification yaitu pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.
Pokok Bahasan 3 36
Struktur Sosial dan Hukum
Hal yang mewujudkan unsur-unsur baku dalam teori sosiologi tentang sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role).
Pada umumnya manusia bercita-cita agar tak ada perbedaan kedudukan dan
peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi, cita-cita tersebut selalu akan tertumbuk pada
kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan warga-warganya pada
tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.
Dengan demikian maka masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu menempatkan
individu-individu tersebut dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajibannya.
Apabila, misalnya, semua kewajiban selalu sesuai dengan keinginan-keinginan para
warga masyarakat dan sesuai dengan kemampuan-kemampuannya, maka tak akan
dijumpai kesulitan-kesulitan. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian; kedudukan-
kedudukan dan peranan-peranan tertentu memerlukan kemampuan-kemampuan dan
latihan-latihan, dan pentingnya kedudukan-kedudukan serta peranan-peranan tersebut
juga tidak selalu sama. Maka, tak dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus
menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar
warga-warganya mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan
posisinya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, maka mau tidak mau, harus ada sistem berlapis-lapis di dalam
masyarakat, oleh karena gejala tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat, yaitu menempatkan warga-warganya pada tempat-tempat yang tersedia
dalam struktur sosial dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajiban yang sesuai
dengan kedudukan serta peranannya. Pengisian tempat-tempat tersebut merupakan
daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi
wujudnya di dalam setiap masyarakat juga berlainan, oleh karena hal itu tergantung pada
bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan
peranan yang dianggap tertinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan
yang dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan yang
maksimal. Tak banyak individu-individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian;
mungkin hanya segolongan kecil saja di dalam masyarakat. Maka oleh sebab itulah
pada umumnya warga-warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila
dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class).
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting oleh karena dapat
menentukan nasib berjuta juta manusia. Baik-buruknya kekuasaan tadi senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau
disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di dalam setiap masyarakat,
baik yang masih sederhana, maupun yang sudah kompleks susunannya. Akan tetapi
walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga
masyarakat. Justru karena pembagian yang tidak merata tadi timbul makna yang
pokok dari kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan
Pokok Bahasan 3 37
Struktur Sosial dan Hukum
yang dikuasai, atau dengan perkataan lain, antara pihak yang memiliki-kemampuan
untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela
atau karena terpaksa (Selo Soemardjan-Soelaeman Soemardi1964:337).
Apabila kekuasaan itu dijelmakan pada diri seseorang, maka biasanya orang
itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-
pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang (authority) adalah bahwa
setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan,
sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok
orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.
Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang
nyata. Akan tetapi acapkali terjadi bahwa letaknya wewenang yang diakui oleh
masyarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata, tidak di dalam satu tangan atau
tempat.
Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala
yang wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu
sendiri, oleh karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat
yang bersangkutan. (Bierens de Haan 1952:66). Setiap masyarakat memerlukan suatu
faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok
orang yang memilih kekuasaan dan wewenang tadi.
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit, dua hal yang
menonjol, yaitu pertama-tama bahwa para pembentuk, penegak maupun pelaksana
hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang
mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tak dapat mempergunakan
kekuasaannya dengan sewenang-wenang oleh karena ada pembatasan-pembatasan
tentang peranannya, yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh
pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Efektivitas
pelaksanaan hukum sedikit banyaknya ditentukan oleh sahnya hukum tadi; artinya, apakah
hukum tadi dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan-badan yang benar-
benar mempunyai wewenang, yakni kekuasaan yang diakui oleh masyarakat. Dalam arti
inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. Akan tetapi sistem
hukum merupakan pula suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata-tertib
dalam masyarakat, atau untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya
walaupun penggunaan hukum untuk maksud-maksud tersebut ada juga batas-
batasnya.
Hal yang kedua adalah bahwa sistem hukum antara lain menciptakan dan
merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini
ada hak-hak warga masyarakat yang tak dapat dijalankan oleh karena yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya, dan sebaliknya ada
hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu. Lagi
pula, apabila masyarakat mengakui adanya hak-hak tertentu, maka hal itu pada
umumnya berarti adanya kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak tersebut melalui
lembaga-lembaga hukum tertentu, oleh karena hukum tanpa kekuasaan untuk
Pokok Bahasan 3 38
Struktur Sosial dan Hukum
melaksanakannya merupakan hukum yang mati. Dengan demikian, maka dapat dikatakan
bahwa kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal balik; di satu pihak hukum
memberi batas-batas pada kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu
jaminan bagi berlakunya hukum.
Bagaimana hubungan antara kekuasaan, lapisan-lapisan sosial dan hukum,
melalui suatu sistem hukum, hak-hak dan kewajiban- kewajiban ditetapkan untuk warga
masyarakat yang menduduki posisi-posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak-
hak dan kewajiban-kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak seseorang
menyebabkan timbulnya kewajiban bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sejalan dengan itu,
kebebasan diberikan kepada golongan-golongan tertentu, menyebabkan pembatasan-
pembatasan pada golongan-golongan lainnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap
sistem lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Suatu contoh yang sederhana adalah
Keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 078/1970 dan 079/1970 masing-
masing tentang Nama Jabatan dan Jenjang, Pangkat Tenaga Edukatif Perguruan Tinggi
dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta tentang tugas-tugas
pokok, kriteria pengangkatan dalam jabatan akademis serta prosedur Pengangkatan dalam
Jabatan dan kenaikan pangkat tenaga Tenaga Edukatif Perguruan Tinggi dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Walaupun hukum yang tercermin dalam
keputusan-keputusan menteri tersebut diatas hanya ditujukan kepada staf pengajar
Pengajar Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja, namun hukum
tadi merupakan dasar bagi lapisan sosial staf pengajar sekaligus dengan kekuasaan dan
wewenangnya. Contoh ini merupakan suatu contoh dari sistem lapisan sosial yang
dengan sengaja.
Suatu sistem lapisan sosial yang tidak sengaja dibentuk, akan tetapi kemudian
menghasilkan hak-hak tertentu bagi warga-warganya, antara lain dapat dijumpai pada
masyarakat tani di daerah pedesaan di jawa. Para petani biasanya membedakan antara
wok baku yaitu lapisan tertinggi dari orang-orang yang pertama datang menetap di desa
yang bersangkutan dengan lapisan kedua yang disebut kuli gandok atau lindung yang
terdiri dari laki-laki yang telah bekeluarga dan lapisan ketiga yang terdiri dari bujangan
yang dinamakan joko atau sinoman. Masing-masing tadi mempunyai hak dan kewajiban
masing-masing yang dengan tegas dibedakan serta dipertahankan melalui sistem
pengendalian sosial formal yang ada.
Sehubungan dengan apa yang dijelaskan di muka, dapatlah diketemukan paling
sedikit dua hipotesa, yakni:
1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang
mengaturnya.
2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam semakin banyak hukum yang
mengaturnya.
RANGKUMAN
1. Pengalaman manusia dalam pergaulan hidup menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun
negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik
Pokok Bahasan 3 39
Struktur Sosial dan Hukum
dan harus dianuti, dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut
berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman
mental baginya. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sikap-sikap
manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah.
2. Hukum dalam keadaan tertentu menyesuaikan diri dengan struktur sosial, tetapi di dalam
keadaan-keadaan lain, hal yang sebaliknyalah yang terjadi. Dan gejala ini merupakan bagian
dari proses sosial yang terjadi secara menyeluruh.
3. hukum mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan kaidah-kaidah lain,
ciri-ciri tersebut adalah bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan; hukum mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat
lahiriah; hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan-badan
pelaksana hukum. bahwa hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian, yang berarti suatu
keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
4. Hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan fungsional yang berhubungan dan saling
pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
5. Pada masyarakat-masyarakat tertentu hukum kurang berperanan apabila dibandingkan dengan
kaidah-kaidah lainnya.
6. Hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap sistem
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal
balik; di satu pihak hukum memberi batas-batas pada kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan
merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum.
DAFTAR PERTANYAAN
1. jelaskan bagaimana proses lahirnya kaedah hukum?
2. Jelaskan bagaimana hubungan antara kaedah hukum dengan kaedah sosial lainnya?
3. Jelaskan ciri-ciri yang membedakan kaedah hukum dari kaedah sosial lainnya!
4. Jaskan bagaimana hubungan hukum sebagai lembaga sosial dengan lembaga-lembaga sosial
lainnya?
5. Jelaskan bagaimana hubungan kelompok-kelompok sosial bagi pembentukan hukum
maupun pelaksanaannya?
6. Jaskan bagainana hubungan hukum dengan lapisan sosial dan kekuasaan?
DAFTAR PUSTAKA:
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada, Jakarta1997.
Pokok Bahasan 3 40
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4
PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM
A. Pengantar
Perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari definisi tersebut kiranya jelas bahwa
tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan
daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya
dari struktur masyarakat. (Selo Soemardjan 1962: XVIII, 379).
Para sarjana sosiologi juga pernah mengadakan klasifikasi antara masyarakat-
masyarakat yang statis dengan yang dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan
sebagai suatu masyarakat di mana perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali terjadi
dan berlangsung dengan lambat. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat-
masyarakat yang mengalami pelbagai perubahan yang cepat. Jadi setiap masyarakat, pada
suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lain-
nya, mungkin dianggap sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan
bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress), namun dapat pula berarti
suatu kemunduran dari masyarakat yang bersangkutan, yang menyangkut bidang-bidang
kehidupan yang tertentu. Akan tetapi ada kecenderungan, untuk hanya menelaah
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.
Kiranya sulit untuk dapat membayangkan bahwa perubahan-perubahan sosial yang
terjadi pada salah satu lembaga kemasyarakatan, tidak akan menjalar ke lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya. Walaupun hal itu mungkin saja terjadi, akan tetapi
pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang-bidang
lainnya. Masalah kemudian adalah sampai seberapa jauh suatu lembaga kemasyarakatan
dapat mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, atau sampai sejauh
manakah suatu lembaga kemasyarakatan dapat bertahan terhadap rangkaian perubahan-
penibahan yang dialami oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya? Apabila hal ini
diterapkan terhadap hukum, maka masalahnya adalah sampai seberapa jauhkah
Pokok Bahasan 4 41
Perubahan Sosial dan hukum
Sebagaimana telah disinggung di dalam pembahasan teori dari Max Weber, salah
satu sumbangan pemikirannya yang penting adalah pendapatnya atau tekanannya pada
segi rasional dari perkembangan lembaga-lembaga hukum terutama pada masyarakat-
masyarakat Barat. Menurut Max Weber perkembangan hukum materiil dan hukum acara
mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang
didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju di mana hukum disusun secara
sistematis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan
latihan-latihan di bidang hukum. Tahap tahap perkembangan hukum yang dikemukakan
oleh Max Weber tersebut lebih banyak merupakan bentuk-bentuk hukum yang dicita-
citakan, dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh pada
pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. (R. Bendix 1960: 388).
Hal yang sama dapat pula ditafsirkan terhadap teori Max Weber tentang tipe-
tipe ideal dari sistem hukum, yaitu yang irrasional dan rasional. Dengan adanya
birokrasi pada masyarakat-masyarakat industri yang modem, maka sistem hukum rasional
dan formal timbul, di mana faktor kepastian hukum lebih ditekankan daripada keadilan.
Perubahan-perubahan hukum sebagaimana dinyatakan oleh Max Weber, adalah sesuai
dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem sosial dari masyarakat yang
mendukung sistem hukum yang bersangkutan.
Suatu teori lain tentang hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial
pemah pula dikemukakan oleh Emile Durkheim yang pada pokoknya menyatakan bahwa
hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurut dia,
maka di dalam masyarakat terdapat: dua macam solidaritas yaitu yang bersifat mekanis
(mechanical solidarity) dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang
mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, di mana
ikatan daripada para warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan
yang sama. Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang
heterogen di mana terdapat pembagian kerja yang kompleks. Ikatan dari masyarakat
lebih banyak tergantung pada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang dihasilkan
oleh pembagian kerja. Pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis sistem
hukumnya adalah hukum pidana yang bersifat represif. Suatu perbuatan merupakan tindak
pidana apabila perbuatan tadi menghina keyakinan-keyakinan yang tertanam dengan
kuatnya di dalam masyarakat; artinya, keyakinan-keyakinan yang telah mantap dalam
masyarakat. Di dalam masyarakat-masyarakat atas dasar solidaritas yang mekanis, para
warganya bertindak atas dasar perasaan terhadap orang-orang yang melanggar kaidah-
kaidah hukum, oleh karena apabila terjadi pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum semua
warga masyarakat merasa dirinya terancam secara langsung. Akan tetapi sebaliknya,
pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum tersebut memperkuat solidaritas di dalam
Pokok Bahasan 4 42
Perubahan Sosial dan hukum
masyarakat.
Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap
pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum menjadi berkurang sehingga hukum yang
bersifat represif berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Di dalam hukum yang
restitusif, tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu
bahwa segala sesuatu harus dikembalikan pada keadaan sebelum kaidah-kaidah tersebut
dilanggar.
Apa yang telah dikemukakan oleh Durkheim tersebut di atas agak sulit untuk
dibuktikan. Salah satu penemuan yang membuktikan bahwa teori Durkheim tidak benar,
telah dikemukakan oleh Richard Schwartz dan James C. Miller yang meneliti 51 masyarakat.
(R.D. Schwartz and J.C. Miller 1964: 159). Mereka meneliti beberapa karakteristik sistem
hukum yang telah berkembang termasuk adanya counsel (yaitu suatu badan yang
menyelesaikan persengketaan-persengketaan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak
mempunyai hubungan kekerabatan dengan pihak-pihak Yang bersengketa), mediation
(yaitu intervensi dari pihak ketiga yang tak mempunyai hubungan darah dengan para
pihak), dan polisi Yang merupakan angkatan bersenjata yang dipergunakan untuk
melaksanakan hukum. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa dari 5l masyarakat yang
merupakan masyarakat-masyarakat sederhana sampai pada masyarakat-masyarakat yang
kompleks, masyarakat tak mempunyai ketiga karakteristik tersebut di atas; 20 masyarakat
hanya mempunyai mediation, 11 masyarakat hanya mempunyai mediation dan polisi; 7
masyarakat mempunyai ketiga karakteristik tersebut di atas. Ada 2 masyarakat yang
menyimpang di mana yang ada hanya polisi. Masyarakat-masyarakat di mana tidak di
jumpai mediation menipakan masyarakat-masyarakat yang paling sederhana yang bahkan
belum mengenal uang. Sebaliknya dua pertiga dari masyarakat-masyarakat mengenal
mediation telah mempergunakan uang dalam sistem ekonominya. Masyarakat-masyarakat
tersebut telah mengenal konsepsi ganti rugi yang merupakan prekondisi dari mediation.
Oleh karena ada 20 masyarakat yang mempunyai mediation tidak mengenal polisi, jelaslah
bahwa kedua karakteristik tersebut tidak selalu berkembang bersama-sama. Masyarakat-
masyarakat yang mengenal polisi, pada umumnya mempunyai sistem ekonomi yang maju
dan mempunyai derajat spesialisasi tertentu; kebanyakan telah mempunyai pendeta-
pendeta, guru dan pejabat-pejabat pemerintah.
Penemuan-penemuan Schwartz dan Miller tersebut di atas ternyata bertentangan
dengan teori Duricheim tentang perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif.
Sebab polisi (yang merupakan badan yang terlebih-lebih represif sifatnya) diketemukan
pada masyarakat-masyarakat yang mempunyai derajat pembagian kerja tertentu.
Sebaliknya, mediation yang bersifat restitutif (apabila dihubungkan dengan konsep ganti
rugi), dapat dijumpai pada masyarakat yang belum mengenal pembagian kerja.
Penggunaan Counce hanya dijumpai pada masyarakat-masyarakat Yang sangat
kompleks, dan penggunaannya tidak selalu disertai atau diikuti dengan mediation.
Schwartz dan Miller berpendapat bahwa bagi penggunaan Counsel, tidak cukup apabila
hanya dipergunakan sebagai ukuran kemajuan sistem ekonomi dan spesialisasi
(maksudnya pembagian kerja); ditambahkannya bahwa mungkin derajat tidak adanya buta
Pokok Bahasan 4 43
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 44
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 45
Perubahan Sosial dan hukum
1
Yang berjudul Kesusilaan dan Hukum
2
Diucapkan di Washington pada tanggal 14 Agustus 1952 pada Konperensi Asia Tenggara. Salinannya dalam Bahasa
Indonesia dimuat dalam majalah Hukum, tahun 1952, No. 4 dan 5.
Pokok Bahasan 4 46
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 47
Perubahan Sosial dan hukum
Apabila hukum harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka
perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan semata-mata.
Apabila karena faktor-faktor prosediiral suatu badan mengalami kemacetan, maka badan-
badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit
banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut.
Sebagaimana dikatakan oleh Daniel S. Lev:
"Yang menjadi hukum ialah praktek sehari-hari oleh pejabat hukum. Kalau
kelakuan pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-
advokat, pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya
berubah ini berarti bahwa hukum sudah berubah walaupun undang-undangnya sama
saja seperti dulu" (D.S. Lev 1971, 2:7).
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya,
perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak selalu berlangsung
bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkm
tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta
kebudayaannya, atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal yang
demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan di mana terjadi ketidak-
seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan, (W.F. Ogburn 1966:200).
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau
sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar di dalam
suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang
diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan
oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-
kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau
disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan
dan wewenang.
Walaupun mereka terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap mewakili
masyarakat, namun adalah tak mungkin untuk mengetahui, memahami, menyadari dan
merasakan kepentingan-kepentingan seluruh warga masyarakat atau bagian terbesar dari
masyarakat. Oleh karena itu perbedaan antara kaidah hukum di satu pihak, dengan
kaidah-kaidah sosial lainnya di lain pihak merupakan ciri Yang tak dapat dihindarkan
dalam masyarakat. Namun demikian, keadaan tadi bukanlah berarti bahwa pasti timbul
social lag. Tertinggalnya hukum terhadap bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila
hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika
tertentu, apalagi perubahan-perubahan di bidang-bidang lainnya telah melembaga serta
menunjukkan suatu kemantapan. Suatu contoh dari adanya lag dari hukum terhadap
bidang-bidang lainnya adalah Hukum Perdata (Barat) yang sekarang berlaku di Indonesia.
Di bidang Hukum Perdata masih dijurnpai warisan sistem hukum yang dijalankan oleh
pemerintah Hindia Belanda dahulu, yakni tidak adanya kesatuan dalam peraturan hukum
bagi golongan-golongan penduduk di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda dahulu
melaksanakan Politik hukum kolonial, yaitu dengan mengadakan penggolongan penduduk
Pokok Bahasan 4 48
Perubahan Sosial dan hukum
(pasa1163 I. S) dan Penggolongan hukum (pasal 131 LS), sehingga menyebabkan adanya
dualisme dan bahkan pluralisme hukum yang hingga saat ini masih tetap berlaku dalam
bidang Hukum Perdata c.q. Hukum Kekeluargaan. (dikurangi Hukum Perkawinan).
Hukum Kekeluargaan Yang berlaku di Indonesia atas dasar Penggolongan
penduduk (pasal 163 LS) adalah sebagai berikut:
1. Bagi orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat dan Hukum Agama. Bagi orang-orang
Indonesia yang beragama Kristen di daerah-daerah Jawa, Minahasa dan Ambon
berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Staatsblad 1933/no.74), sedangkan
bagi mereka yang tinggal di luar daerah-daerah tersebut, walaupun mereka beragama
Kristen, diperlakukan Hukum Adat masing-masing.
2. Bagi bangsa Timur Asing bukan Cina, berlaku hukum adat dan/atau hukum agama
mereka.
3. Bagi orang-orang atau golongan Eropa berlaku Bugerlijk Wetbcek.
4. Bagi orang-orang Cina berlaku Bugerlijk Wetboek.
Dewasa ini, di antara mereka yang tidak tergolong ke dalam golongan Indonesia,
banyak yang telah menjadi warganegara Indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap
berlaku hukum yang berbeQa. Jelaslah bahwa sistem hukum yang demikian tidak
mungkin dipertahankan oleh karena tertinggal jauh oleh bidang-bidang lainnya yang
menyangkut kebutuhan masyarakat.
Suatu keadaan yang menunjukkan bahwa hukum tertinggal oleh perkembangan
bidang-bidang lainnya, seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-
bidang tersebut. Hal ini, misalnya, dapat dijumpai pada bagian-bagian tertentu dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang dapat menghambat pelaksanaan program Keluarga
Berencana di Indonesia. Oleh karena pertambahan penduduk yang sangat pesat (sekitar
2,8% setahun), maka dikhawatirkan bahwa pembangunan ekonomi akan tertinggal jauh
dari angka laju pertambahan penduduk. Oleh sebab itu diintrodusir program Keluarga
Berencana yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan
ibu, anak, keluarga dan bangsa; serta, menaikkan taraf hidup rakyat dengan mengurangi
angka kelahiran, sehingga pertambahan penduduk tidak melampaui kemampuan
menambah hasil produksi nasional. Jelaslah bahwa Keluarga Berencana, antara lain,
berarti menjalankan pencegahan kehamilan. Pasal 534 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan) karena melarang pemberian penerangan
tentang usaha-usaha pencegahan kehamilan, dapat menghambat pelaksanaan program
Keluarga Berencana. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
"Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk mencegah
hamil, atau yang dengan terang-terangan dan dengan tiada diminta menawarkan
ikhtiar atau pertolongan untuk mencegah hamil atau yang dengan terang-terangan
atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan tiada diminta bahwa ikhtiar
atau pertolongan itu bisa didapat, dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus rupiah".
Disamping itu, maka program Keluarga Berencana akan melaksanakan pendidikan
tentang kehidupan berkeluarga atau tentang kependudukan kepada siswa-siswa sekolah,
Pokok Bahasan 4 49
Perubahan Sosial dan hukum
maupun di dalam kerangka pendidikan di luar sekolah. Pasal 283 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (Bab XTV tentang Kejahatan Melanggar Kesusilaan), mempersulit
terlaksananya rencana tersebut oleh karena pasal tersebut menyatakan bahwa:
"(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan atau
memberikan untuk selamanya atau untuk sementara, menyerahkan atau
memperlihatkan, baik sesuatu tulisan, gambar atau benda yang melanggar
kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau untuk menggugurkan kandungan
kepada orang di bawah umur yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya,
bahwa umur orang itu belum tujuh belas tahun, kalau isi tulisan atau gambar,
barang atau alat itu diketahuinya.
(2) Barangsiapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan, jika yang
demikian itu diketahuinya, di hadapan orang di bawah umur dimasukkan dalam ayat
yang lalu dihukum dengan hukuman itu juga.
(3) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan atau hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus
rupiah, barangsiapa menawarkan atau memberikan untuk selama-lamanya atau
sementara, menyerahkan atau memperlihatkan baik suatu tulisan, gambar atau
barang yang melanggar kesusilaan maupun alat untuk mencegah atau menggugur-
kan kandungan, kepada orang di bawah umur dimaksudkan dalam ayat pertama
atau membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di hadapan orang di
bawah umur dimaksudkan dalam ayat pertama, jika ia harus dapat
menyangka, bahwa tulisan itu gambar atau barang itu melanggar kesusilaan.
atau alat itu ialah alat untuk mencegah atau merusakkan kandungan".
dan kemudian pasa1283 bisa menyatakan bahwa,
"Kalau yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal
282 dan 283 dalam pekerjaannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu
belum lalu dua tahun sejak penghukumannya dahulu karena kejahatan
semacam itu juga, menjadi tetap, maka ia boleh dipecat dari haknya melakukan
pekerjaan itu".
Dari pasal-pasal tersebut di atas kiranya menjadi jelas bahwa tertinggalnya
kaidah-kaidah hukum terhadap perkembangan unsur-unsur lainnya dalam masyarakat, hal
mana bahkan dapat menghambat perkembangan di bidang-bidang lainnya.
Tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu
disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar,
sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk.
Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu
keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi para warga masyarakat
untuk mengukur kegiatan-kegiatannya. Tentang hal ini banyak diketemukan contoh-
contoh dari hukum internasional, baik publik maupun perdata. Misalnya,
perkembangan yang pesat di bidang penggunaan tenaga nuklir untuk maksud-maksud
perang maupun damai, meninggalkan perkembangan hukum jauh di belakangnya. Juga
Pokok Bahasan 4 50
Perubahan Sosial dan hukum
Pada sub ini akan diusahakan untuk membahas hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu
alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang
atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin
satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu
langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan bahkan
mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan,
Pokok Bahasan 4 51
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 52
Perubahan Sosial dan hukum
seorang pria hanya dapat diwariskan kepada anak (2) laki-lakinya atau apabila dia tidak
mempunyai keturunan, kepada saudara-saudara laki-laki yang terdekat melalui garis
keturunan patrilineal. Menurut keputusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, maka
"anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas
harta warisan dalam arti bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak
perempuan". (R. Subekti dan J. Tamara 1965:85). Keputusan tersebut mengakibatkan
reaksi dari para sarjana hukum maupun masyarakat umum khususnya di Sumatra Utara.
Suatu seminar tentang kewarisan diadakan pada tahun 1962 di mana antara lain
dikemukakan bahwa keputusan Mahkamah Agung tertanggal l November 1961 tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya kegoncangan-kegoncangan pada sistem sosial
masyarakat Karo. Akan tetapi di lain pihak diakui pula dalam seminar tersebut bahwa
pada masa-masa mendatang mau tidak mau pola-pola kewarisan yang hanya
memberikan hak sebagai ahli waris kepada anak laki-laki saja harus ditinggalkan.
Pengalaman-pengalaman di negara-negara lain dapat membuktikan pula bahwa
hukum, sebagaimana halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan
sebagai alat untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Misalnya di Tunisia, maka
sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang
telah dewasa, mempunyai kemampuan hukum untuk menikah tanpa harus didampingi
oleh seorang wali. Tunisia sebagai suatu negara Islam di mana penduduknya pada
umumnya menganut ajaran-ajaran mashab Maliki, mengambil prinsip-prinsip dari mashab
Hanafi tentang kedudukan wanita. Di Siria, Yordania, Irak dan juga di Marokko, suatu
perkawinan haruslah mendapatkan izin dari pengadilan. Misalnya, pengadilan dapat
menolak untuk memberikan izin, apabila para pihak yang akan menikah mempunyai
perbedaan usia yang terlampau besar. Bahkan di Siria, misalnya, pengadilan baru akan
memberikan izin untuk melakukan poligami apabila pengadilan telah yakin benar bahwa
calon suami mempunyai kedudukan ekonomis yang kuat. (N.J. Coulson 1969).
Perlu diperhatikan bahwa pembedaan antara pengaruh langsung dengan
pengaruh tidak langsung dari hukum seringkali tak dapat ditetapkan secara mutlak atau
kadang-kadang dasar pembedaannya agak goyah. Sebab, dalam pelbagai hal pengaruh
langsung maupun pengaruh tidak langsung saling mengisi. Akan tetapi keuntungan
hukum bertujuan untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat, tidak perlu bersifat
konservatif.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-
perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan. (intended
change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan
direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan
oleh warga-warga masyarakat yang berperanan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam
masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan
penting tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk
sahnya. Dalam hal ini, maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk
mengadakan perubahan-perubahan sosial, walaupun secara tidak langsung. Oleh sebab
Pokok Bahasan 4 53
Perubahan Sosial dan hukum
itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah
masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi
serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum
mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan
yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di bidang-
bidang sosial, ekonomi dan politik. Misalnya, Ketetapan MPRS No. XLI/ 1968 yang
menetapkan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun di Indonesia, merupakan
suatu contoh di mana hukum berfungsi atau berperan secara tidak langsung dalam
perubahan sosial yang direncanakan. Akan tetapi, hasil yang positif tergantung pada
kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya
disorganisasi sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi (yang juga dapat
dilakukan dengan mempergunakan hukum sebagai alat), untuk memudahkan proses
reorganisasi. Kemampuan untuk membatasi terjadinya disorganisasi selanjutnya
tergantung pada suksesnya proses pelembagaan dari unsur-unsur baru yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Berhasil tidaknya proses
pelembagaan tersebut mengikuti formula sebagai berikut, (Selo Soemardjan 1965:26).
Yang dimaksudkan dengan efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari
penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan
lembaga baru di dalam masyarakat. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, makin
ampuh alat-alat yang dipergunakan, makin rapih dan teratur organisasinya, dan makin
sesuai sistem penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat, makin besar hasil yang
dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu. Tetapi, setiap usaha menanam
sesuatu yang baru, pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan dari masyarakat
yang merasa dirugikan. Kekuatan menentang dari masyarakat itu mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan. Kekuatan
menentang dari masyarakat tersebut mungkin timbul karena pelbagai faktor, antara lain:
1) mereka, yaitu bagian terbesar dari masyarakat tidak mengerti akan kegunaan unsur-
unsur baru tersebut.
2) perubahan itu sendiri, bertentangan dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilainya yang ada
dan berlaku. Khususnya tentang kaidah-kaidah dan nilai-nilai, bukanlah berarti bahwa
semua kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang tampaknya bertentangan samasekali tak
dapat dijadikan faktor penunjang bagi perubahan atau pembangunan. Untuk keperluan
itu perlu dibedakan antara. (Selo Soemardjan 1972:2):
I. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang menguntungkan proses perubahan; dan
karena itu harus dipelihara dan bahkan diperkuat.
II. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dapat menguntungkan proses perubahan,
dengan jalan menyesuaikannya dengan proses perubahan tersebut.
Pokok Bahasan 4 54
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 55
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 56
Perubahan Sosial dan hukum
Suatu contoh dari uraian di atas adalah, misalnya, perihal komunikasi hukum.
Kiranya sudah jelas, bahwa supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi
perikelakuan warga-warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan seluas
mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu,
merupakan salah satu syarat penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum
tersebut, dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata-cara yang
terorganisasikan dengan resmi. Akan tetapi disamping itu, maka ada juga tata cara
informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam
penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semuanya
termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran daripada unsur-unsur kebudayaan
tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Proses difusi tersebut, antara lain, dapat dipengaruhi oleh:
a. pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum),
mempunyai kegunaan,
b. ada-tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun positif,
c. sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama,
d. kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi
efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan warga-warga
masyarakat.
Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengatur atau pengubah perikelakuan. Dengan lain perkataan, masalah yang
bersangkut paut dengan tata cara komunikasi itulah yang terlebih dahulu hares
diselesaikan.
Untuk dapat mengidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan
penggunaan hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan
perihal struktur penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk
mengadakan social engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan
perikelakuan, dan selanjutnya.
Kiranya telah jelas, bahwa di dalam rumusan yang sederhana, maka
masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam
kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang
ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukannya, dibatasi
oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang
ada, maka mungkin dia menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-
batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula. Inilah yang
kesemuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam
kehidupan berkelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya,
menyediakan pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan
kelompok-kelompok social.
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok,
Pokok Bahasan 4 57
Perubahan Sosial dan hukum
tergantung pada faktor-faktor pisik, psikologis dan social. Di dalam suatu masyarakat
di mana interaksi social menjadi intinya, maka perikelakuan-perikelakuan yang
diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Misalnya,
apabila seorang petani sangat memerlukan kredit untuk usaha taninya, sedangkan di
dalam lingkungannya hanya ada kreditur-kreditur yang menetapkan bunga yang
sangat tinggi, maka pilihannya hanya terbatas antara meminjam uang dengan bunga
yang tinggi dan meneruskan usaha taninya, atau berhenti bertani. Akan tetapi,
walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan -
pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur (B.J. Biddle and E.J. Thomas
1966:4). Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi
tertentu dalam masyarakat dan berperannya dia pada posisi tersebut ditentukan oleh
kaidah-kaidah tertentu. Kecuali daripada itu, maka berperannya dia juga tergantung
dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing.
Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikan
reaksi terhadap berperannya dia, maupun kemampuan-kemampuan serta kepribadian
manusia pribadi yang berperan (role-performance).
Apabila uraian di muka ditelaah dengan saksama, maka kaidah merupakan
patokan untuk bertingkah laku sebagaimana diharapkan (statements of expected
behavior). Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia percaya
bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan
bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Kaidah-kaidah itulah
yang menghubungkan segi batiniah dari pribadi-pribadi yang memilih, dengan dunia
atau masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa sese-
orang menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan
anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau tidak harus
dilakukan) maupun anggapan-anggapan tentang yang harus dilakukan oleh
lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normatif yang terdapat pada diri
pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi di dalam dirinya, untuk dapat
mengubah perikelakuannya, melalui perubahan-terencana di dalam wujud penggunaan
kaidah-kaidah hukum sebagai sarana (J. Blake and K. Davis 1964:456,457). Dengan
demikian, maka pokok di dalam proses perubahan perikelakuan meialui kaidah-kaidah
hukum adalah konsepsikonsepsi tentang kaidah, peranan (role) dan sarana-sarana maupun
cara-cara untuk mengusahakan adanya konformitas (conformityinducing measures).
Yang dimaksudkan dengan peranan, adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang
berisikan patokan-patokan perikelakuan, pada kedudukan-kedudukan tertentu di dalam
masyarakat, kedudukan mana dapat dipunyai pribadi ataupun kelompok-kelompok. pri-
badi yang mempunyai peranan tadi dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan
perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin
berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah.
Konsepsi-konsepsi sosiologis tersebut di atas, mungkin akan lebih jelas bagi
kalangan hukum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Pemegang peranan
adalah subyek hukum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
Pokok Bahasan 4 58
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 59
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 60
Perubahan Sosial dan hukum
Pokok Bahasan 4 61
Perubahan Sosial dan hukum
RINGKASAN
1. Ada beberapa teori yang dikemukan untuk menjelaskan hubungan antara hukum dan
perubahan sosial. Max Weber mengemukakan teori tentang perkembangan hukum materiil
dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, Selain itu Max Weber
mengemukakan teori tentang tipe-tipe ideal dari sistem hukum. Emile Durkheim
mengemukakan teori bahwa hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam
masyarakat. Sedangkan Sir Henry Maine mengemukakan teori tentang Perkembangan
hukum dari status ke kontrak. Pitirim Sorokin mengemukakan bahwa Masyarakat
berkembang sesuai dengan nilainilai tertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat
yang bersangkutan.
2. Perubahan tidak selamanya menghasilkan keadaan-keadaan yang positif, apa lagi bila proses
tersebut tidak berjalan secara teratur. Hukum berperan untuk menjamin bahwa perubahan-
perubahan tadi terjadi dengan teratur dan tertib.
3. Sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan menjamin ketertiban proses perubahan, maka
hukum mempunyai batas-batas kemampuan dan terikat oleh kondisi-kondisi tertentu.
Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan hukum terletak pada: a) Hukum pada
umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan para warga masyarakat yang bersifat
lahiriah; b) Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya;
untuk melaksanakan isi, maksud dan tujuan hukum, diperlukan lembaga-lembaga
tertentu. Apabila batas-batas dan kondisi-kondisi tersebut diperhatikan, dimengerti dan
diterapkan, maka dapatlah diperkirakan bahwa penggunaan hukum sebagai alat mempunyai
harapan-harapan yang positif dalam mengubah masyarakat serta mendukung
pembangunan.
4. Di dalam mempergunakan hukum sebagai sarana, perlu pula di perhatikan dengan sungguh-
sungguh anggapan-anggapan bagian terbesar warga-warga masyarakat tentang hukum.
Hukum bukanlah satu-satunya alat pengendalian sosial; apabila ada alat alat pengendalian
sosial lain yang dianggap lebih ampuh oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat, maka
penerapan hukum hanya akan merupakan usaha yang sia-sia belaka atau bahkan dapat
menimbulkan reaksi-reaksi yang negatif. Jadi dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah
sampai sejauh mana hukum telah melembaga atau bahkan telah mendarah daging dalam
diri bagian terbcsa (warga-warga masyarakat yang bersangkutan.
5. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya) tidak
selalu berlangsung bersama-sama. pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan
hukum tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya atau mungkin sebaliknya.
Apabila terjadi hal yang demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan
di mana terjadi ketidakeseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu
disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar,
sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk.
Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu
keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi para warga masyarakat
untuk mengukur kegiatan-kegiatannya.
Pokok Bahasan 4 62
Perubahan Sosial dan hukum
6. beberapa kondisi yang harus mendasari suatu sistem hukum agar dapat dipakai sebagai alat
untuk mengubah masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
a. Hukum merupakan aturan-aturan umum yang tetap; jadi bukan merupakan aturan yang
bersifat ad-hoc.
b. Hukum tersebut harus jelas bagi dan diketahui oleh warga-warga masyarakat yang
kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tersebut.
c. Sebaiknya dihindari penerapan peraturan-peraturan yang bersifat retroaktif.
d. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum.
e. Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan.
f. Pembentukan Hukum harus mempernatikan kemampuan para warga masyarakat untuk
mematuhi hukum tersebut.
g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena
warga-warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pegangan bagi kegiatan-
kegiatannya.
h. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut.
DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan 3 teori-teori berkenaan dengan perubahan sosial dan hukum.
2. Jelaskan bagaimana hubungan antara kaedah hukum dengan perubahan sosial.
3. Jelaskan apa yang terjadi dan apa akibatnya jika perubahan hukum tidak seiring dengan
perubahan sosial lainnya atau sebaliknya?
4. Jelasakan kondisi yang harus dipenuhi jika akan menggunakan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat.
5. Jelasakan kondisi yang harus dilakukan jika akan menggunakan hukum sebagai sarana
pengatur perikelakuan.
6. Jelaskan batas-batas pengguaan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada, Jakarta1997. (BAB
IV)
Pokok Bahasan 4 63
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
Pokok Bahasan 5
HUKUM DAN MASALAH PENYELESAIAN KONFLIK
A. Pendahuluan
Dikaitkan dengan berlakunya suatu sistem hukum, biasanya dapat
dinyatakan bahwa terjadi suatu masalah hukum bilamana terjadi suatu konflik
dua pihak, yang diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini
dapat berwujud bermacam-macam badan atau lembaga, umpamanya seorang
kepala suku, suatu dewan, suatu rapat anggota, seorang anggota keluarga yang
berhubungan darah dengan kedua belah pihak yang bersengketa, seorang
rohaniwan, seorang ilmuwan dari cabang spesialisasi tertentu, semua ini
menempati fungsi sebagai hakim.
Dengan demikian hadirnya hukum berkaitan erat dengan sa lah satu bentuk
penyelesaian konflik yang netral dan tidak memihak. Dalam pengertian ini hukum
tidak identik dengan negara. Karena dalam masyarakat-masyarakat yang belum
mengenai bentuk negara pun sudah terdapat aturan-aturan yang memaksa
tentang bagaimana orang harus bertindak bilamana terjadi kon flik, umpamanya
apabila terjadi pencurian ternak dan salah seorang anggota suku tersebut dicurigai
melakukannya.
Terdapat suatu hubungan yang erat anta ra hukum dan konflik. Karena
tidak dapat dihindarkan bahwa tiap bentuk hidup bersama mengalami
bermacam-macam bentuk konflik, umpamanya mengenai pembagian barang di dalam
masyarakat, mengenai wewenang menentukan cara memenuhi perjanjian, mengenai
bagaimana melakukan penggantian kerugian, untuk ini masing -masing
terdapat suatu bentuk peradilan tertentu dalam tiap -tiap kehidupan sosial.
Bentuk peradilan ini tentunya tidak sama dengan bentuk-bentuk peradilan yang
terdapat dalam masyarakat modern, yaitu yang diorganisasikan secara sistematis,
di mana seorang anggota masyarakat, setelah menempuh pendidikan khusus, memilih
pekerjaan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara pihak-pihak, dan
dalam hal demikian ini pihak -pihak itulah yang memilih anggota masyarakat tadi
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.
Pada waktu sekarang, lembaga-lembaga demikian ini dilengkapi pula dengan
staf administrasi yang mengelola semua berkas perkara (dossier) secara ter atur dan
melakukan semua persiapan, sehingga para hakim dapat menjalankan tugasnya dengan
Pokok Bahasan 5 64
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
baik. Cara yang berbentuk formal ini banyak terdapat dalam peradilan -peradilan
di masa yang lalu, dan sampai sekarang sisa-sisanya masih dapat ditemukan dalam
sistem-sistem hukum tertentu di luar Eropa.
Di negara-negara Arab masih terdapat bentuk peradilan khadi. Dalam peradilan
itu seorang hakim, dengan cara duduk di bawah sebuah pohon, mendengarkan pihak-
pihak yang bersengketa, untuk kemudian memberikan suatu putusan yang pasti
mengenai perselisihan itu. Di sini tidak dijumpai berkas-berkas perkara yang
tebal, waktu menunggu giliran yang lama, dan pengacara-pengacara yang melaku-
kan pembelaan. Suatu perbandingan antara bentuk peradilan yang formal dan bentuk
yang' informal menghasilkan suatu daftar kelemahan-kelemahan dan kelebilian-
kelebilian mengenai kedua bentuk peradilan tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa
di dalam sejarah kedua bentuk peradilan tersebut tiap kali timbul kembali.
Dalam masyarakat dengan budaya yang formalistic, kerap kali masih dijumpai
adanya peradilan sederhana, umpamanya pada tingkat peradilan desa. "Simple
justice" yang masih tetap diper tahankan ini kerap kali dipergunakan untuk
menghindarkan keputusan-keputusan yang bersifat memihak dan sewenang-wenang.
Tetapi peradilan sederhana dan peradilan cepat tidak selalu me rupakan peradilan
yang adil.
Bentuk-bentuk peradilan dan penyelesaian konflik yang di jumpai sepanjang
sejarah pada masyarakat yang berbeda-beda, masih dapat dijumpai dalam
masyarakat industri modern. Tidak semua konflik yang terjadi dalam masyarakat
diajukan ke muka pengadilan. Berbagai macam perselisihan besar maupun kecil di -
selesaikan menurut cara-cara mereka sendiri, baik oleh piliakpihak yang
berselisih maupun oleh lingkungan di tempat m ereka berada. Oleh orang-orang di
sekeliling pihak-pihak yang bersengketa dan oleh para pendukung mereka kerap kali
dilakukan usaha-usaha untuk menengahi dan mendamaikan konflik-konflik yang
terjadi dengan kemungkinan bahwa di antara yang mencampuri konflik itu
memiliak pada salah satu pihak. Dalam keadaan darurat pun, misalnya di dalam suatu
kamp tawanan, juga diadakan peradilan-peradilan informal lengkap dengan hakim
dan pembela yang diselenggarakan sendiri oleh para tawanan untuk mengaddi
tindakan-tindakan tertentu yang mengancam kelangsungan kehidupan kelompok
tawanan itu. Dalam keadaan demikian itu, oleh kelompok tawanan juga diawasi
dengan ketat kemungkinan tedadinya pencurian roti dAn-makanan.
Sampai seberapa jauh penyelesaian konflik informal yang bentuknya diciptakan
sendiri ini memenuhi persyaratan normatif dan ideal yang biasanya disyaratkan
oleh ketentuan hukum dan peradilan? Misalnya kewajiban peradilan untuk
mendengarkan dan mempertimbangkan kembali hal-hal yang diajukan para pihak,
kewajiban peradilan untuk berada di atas pfliak-pihak yang bersengketa, pengajuan
bukti-bukti, penguasaan norma keseimbangan antara tindakan dan sanksi,
memperhatikan alasan-alasan yang masuk akal dan keadilan?
Salah satu masalah pokok dari hukum menyangkut cara -cara anggota
Pokok Bahasan 5 65
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
Pokok Bahasan 5 66
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
Kelompok pertama
1. Penyerahan.
2. Menghindarkan diri, melarikan diri, mengundurkan diri
3. Penyerahan sementara, penundaan reaksi, reaksi
menunggu dulu.
Dalam kelompok ini, suatu konflik diakhiri karena salah satu pihak,
kebanyakan pihak yang paling lemah atau yang paling rendah tingkatannya, mengalah
pada situasi yang tidak menguntungkan pihak tersebut.
Apabila pihak yang paling lemah ini memperoleh kesempatan untuk
menghindarkan diri dari kekuasaan pihak yang paling kuat, maka masalah konflik ini
akan hilang. Menyerahkan diri, percerai an, mencari tempat tinggal lain,
mengasingkan diri, semua tindakan ini merupakan reaksi supaya konflik yang terjadi
tidak menimbulkan akibat yang terlalu menyakitkan.
Di dalam lingkungan yang kemungkinannya untuk meng hindarkan diri
demikian ini kecil, baik secara sosial maupun secara fisik-geografis, kemungkinan
bahwa konflik-konflik akan meningkat, lebih besar.
Bentuk penyerahan yang hanya bersifat sementara terjadi apa bila pihak yang
paling lemah tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan pihak yang paling kuat.
Tetapi cara ini semata-mata dilakukan agar pada kesempatan yang baik dapat
menghindarkan diri atau melanjutkan kembali pertentangan itu. Perbedaannya
Pokok Bahasan 5 67
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
dengan bentuk penyerahan yang pertama adalah bahwa pada penyerahan yang
bersifat tetap, kedudukan berkuasa dari pihak yang paling kuat diakui sepenuhnya,
kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan dan keinginan dari pihak yang paling
lemah.
Kelompok kedua:
4. Perundingan.
5. Kesepakatan.
6. Dengan undian.
Di dalam kelompok ini konflik ditandai dengan kesamaan tingkat
peranan dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan konflik ter -
sebut. Di sini tidak ada pihak atau instansi ketiga yang perlu di -
minta bantuannya. Hal ini memberikan kebebas an yang lebih
besar kepada para pihak untuk menyelesaikan konflik itu, tetapi
sebaliknya juga meminta banyak pengorbanan dari mereka.
Suatu konfrontasi terbuka dengan pihak lawan tanpa melam -
paui pendiriannya sendiri atau mempersempitnya, menunjukkan
nilai harga diri yang tinggi dan sikap yang terbuka. Penting juga untuk diketahui
apakah kedua belah pihak memutuskan untuk tetap melanjutkan hubungan
sosial di antara mereka atau tidak. Kesediaan yang kadang-kadang disebabkan karena
terpaksa untuk melanjutkan hubungan sosial demikian itu, menciptakan suatu
landasan yang baik agar konflik itu dapat dikelola sendiri.
Ada perundingan yang bertujuan untuk mencapai suatu pe nyelesaian
konflik atas dasar kesepakatan bersama, sedangkan ada pula perundingan di
mana para pihak berusaha memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya dari
penyelesaian yang diusulkan, yaitu bila para pihak memperhitungkan suatu
kemungkinan yang minimal bagi terjadinya kerugian yang maksimal. Jadi di sini para
pihak bersedia untuk melakukan kompromi. Dalam bidang perdagangan banyak
dilakukan penyelesaian konflik secara mandiri demikian ini.
Undian juga merupakan suatu cara yang kerap kali diperguna kan untuk
menyelesaikan suatu konflik. Di sini para pihak secara sepakat menetapkan untuk
menentukan hasilnya oleh suatu badan yang tidak bersifat pribadi, dalam hal ini
dengan cara undian.Cara ini ban yak dipergunakan dalam bidang olah raga. Juga
dalam kesempatan lain, umpamanya dalam kegiatan anak -anak ternyata cara
undian merupakan cara penyelesaian konflik yang efisien.
Kelompok ketiga :
7. Lembaga pengaduan.
8. Perdamaian.
9. Musyawarah.
10. Penyelesaian dengan pihak penengah.
Ciri penyelesaian konflik yang termasuk kelompok ketiga ini adalah adanya
instansi ketiga yang ikut Berta terlibat, yaitu atas prakarsa dari salah satu pihak
Pokok Bahasan 5 68
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
yang bersengketa. Siapa yang merupakan pihak ketiga ini tidaklah dapat ditentukan
lebih dahulu. Kadang-kadang pihak ketiga ini merupakan seorang yang asing, yang
oleh kedua belah pihak yang bersengketa diterima sebagai penengah, atau
seseorang yang mampu mewujudkan suatu musyawarah di antara pihak-pihak yang
bersengketa. Pekerjaan menyelesaikan konflik demikian ini ni bukan merupakan
pekerjaan tetap pihak ketiga tadi, melainkan hanya dilakukannya secara insidental
atas permintaan pihak-pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga ini dapat pula berupa suatu lembaga pengaduan atau biro
penyelesaian perselisihan, yang tugasnya menyelidiki dan kemudian berusaha
untuk menyelesaikan konflik-konflik atau hubungan-hubungan konflik di antara
pihak-pihak yang bersengketa. Lembaga atau biro demikian ini memberikan
jasanya atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, dan biasanya pihak
yang lemahlah yang mengajukan pengaduan kepada lembaga atau biro dimaksud.
Dalam hal ini tindakan pengajuan pengaduan demikian itu dianggap sebagai
petunjuk adanya suatu konflik. Ada kemungkinan bahwa pihak ketiga yang
diminta jasa baiknya dapat menyelesaikan konflik tersebut.
Semua bentuk yang termasuk kelompok ini dapat disebut sebagai bentuk
penyelesaian konflik pra-yuridis, karena di satu pihak sudah dipergunakan jasa pihak
ketiga yang tidak memihak, tetapi di lain pihak, pihak ketiga ini kerap kali tidak
cukup mampu untuk melakukan ikatan dengan aturan-aturan guna dapat menye-
lesaikan konflik itu. Keadaan demikian in i memberikan lebih banyak
kemungkinan untuk menyelesaikan konflik kepada kelom pok jenis ketiga ini,
terutama jenis penengah, daripada seorang hakim resmi, karena seorang
penengah dapat mengusulkan penyelesaian sementara, dapat menunjukkan
kemungkinan-kemungkinan penyelesaian lain, dapat menjanjikan dukungan untuk
masa sesudah penyelesaian konflik nanti, dan dapat melakukan tekanan tekanan
terhadap pihak-pihak yang bersengketa supaya melakukan kompromi dengan ancaman
akan menghentikan usaha-usahanya sebagai penengah.
Makin besar kepercayaan dan pengaruh pihak penengah ter hadap kedua belah
pihak yang bersengketa, makin besar pula kemungkinan ia dapat mencarikan
penyelesaian bagi pihak-pihak yang bersengketa itu. Meskipun demikian, pihak ketiga
sebagai penengah tidak berdiri sendiri dalam menyelesaikan konflik-konflik, karena
pada akhirnya pihak-pihak yang bersengketa yang menetapkan cara ter tentu yang
akan dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara
mereka. Bentuk yang paling banyak terjadi adalah penyelesaian konflik dengan
jalan perdamaian, yaitu dengan cara melupakan semuanya, memaafkan segala-
galanya, dan semua dimulai dengan yang baru.
Penyelesaian konflik dengan cara musyawarah dan dengan jasa pihak
penengah banyak didasarkan p ada masalah sikap memberi dan menerima dari
kedua belah pihak tanpa mempertimbangkan apakah kedua belah pihak itu akan
berbaik kembali di masa yang akan datang.
Pada penyelesaian konflik berdasarkan perdamaian, konflik itu hapus
Pokok Bahasan 5 69
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
seluruhnya dengan penemuan suatu modus con-vivendi yang pantas dan dapat
diterima sebagai sarana.
Kelompok keempat :
11. Arbitrase.
12. Proses singkat.
13. Sidang pengadilan.
14. Proses perdata, proses administratif.
15. Proses pidana.
Kelompok ini berisi semua jenis bentuk perantaraan hukum dalam penyelesaian
konflik. Prakarsa tentang perantaraan ini diajukan oleh salah satu pihak yang
bersengketa, tetapi segera setelah hakim menyatakan menerima perkara ini, maka
keputusannya akan berada di tangan hakim itu. Para pihak tidak lagi menguasai
konflik di antara mereka secara keseluruhan, kecuali apabila hakim mengusulkan untuk
mengadkan perdamaian. Hakim kerap kali me mang mencoba untuk mendamaikan
para pihak yang bersengketa dengari suatu sidang pengadilan singkat, tetapi
apabila usaha penyelesaian ini tidak berhasil, hakim akan memberikan keputusan-
nya berdasarkan hukum yang berlaku. Keputusan demikian ini tidak didasarkan
pada keinginan hakim sendiri, melainkan pada peraturan-peraturan hukum yang tidak
bersifat pribadi. Semua bentuk yuridis mengenai penyelesaian konflik dirumuskan
secara formal dengan persyaratan yang ketat dan bukti-bukti yang cukup, sedangkan
komunikasi kebanyakan dilakukan secara tertulis.
Perumusan-perumusan secara formal ini mengakibatkan waktu penyelesaian
konflik menjadi lebih lama. Meskipun para pihak yang bersengketa kadang-kadang
merasa dirugikan karena lamanya waktu penyelesaian konflik secara yuridis, tetapi waktu
itu sendiri kadang-kadang memberikan basil yang menggembirakan. Setelah waktu
berjalan beberapa lama, dapat terjadi bahwa konflik itu lenyap dengan sendirinya,
atau bahwa pendirian pihak-pihak yang bersengketa, karena pengaruh-pengaruh dari
pihak lain, berkembang menjadi lebih mendekati satu dengan yang lain, atau karena
konflik itu tiba-tiba menjadi tidak relevan lagi bagi kedua belah pihak yang
bersengketa.
Pihak-pihak ketiga dalam uraian di atas semua merupakan hakim-hakim
profesional, kecuali mereka yang memberikan keputusan berdasarkan arbitrase.
Arbitrase terletak pada batas an tara penyelesaian konflik pra-yuridis dan penyelesaian
konflik yuridis-normatif. Dalam arbitrase pihak ketiga dipilih sendiri oleh pihak-pihak yang
bersengketa, dan kerap kali bukan merupakan hakim-hakim profesional, melainkan
orang-orang yang ahli mengenai masalah penyelesaian konflik, yaitu kebanyakan dalam
bidang perdagangan dan industri.
Bagaimanapun juga, prosedur arbitrase banyak didasarkan pa da peraturan-
peraturan hukum, dan pada akhirnya keputusan -keputusan yang diberikan
mempunyai kekuatan mengikat yang bersifat yuridis bagi kedua belah pihak yang
berselisih. Ikatan yang mempunyai kekuatan hukum dari keputusan dimaksud,
membedakan jenis kelompok yuridis-normatif ini dari kelompok pra-yuridis
Pokok Bahasan 5 70
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
sebelumnya.
Kelompok kelima:
16. Penyelesaian melalui saluran pemerintah.
17. Pembentukan keputusan legislatif.
18. Tindakan politik dan aksi sosial.
19. Bertalian tanpa kekerasan.
Dalam kelompok ini penyelesaian konflik beralih dari ruang sidang pengadilan yang
tenang ke tengah-tengah kancah pertentangan dalam proses pembentukan
keputusan pemerintahan dan keputusan politik. Pembentukan keputusan
pemerintahan dan keputusan legislatif, sama halnya dengan sarana perantaranya,
yaitu hukum, bersifat sangat terikat pada peraturan-peraturan, sehingga dapat
disebut sebagai penyelesaian konflik dengan bentuk y uridis -politis. Dalam
beberapa hal masih terdapat kemungkinan untuk memasukkan pihak ketiga dalam
bentuk suatu prosedur yang ti dak berbentuk badan pribadi (orang).
Pada pembentukan keputusan yang bersifat pemerintahan, konflik-konflik kerap
kali diselesaikan oleh lembaga pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi,
sehingga bentuk ini dapat dipersamakan dengan bentuk penyelesaian konflik oleh
pihak ketiga. Tetapi penyelesaian konflik oleh lembaga pemerintahan yang le bih
tinggi ini tidaklah benar-benar sama dengan penyelesaian konflik oleh pihak ketiga,
oleh karena lembaga pemerintahan yang lebih tinggi itu mempunyai kepentingan
supaya konflik-konflik yang terjadi pada tingkat yang lebih rendah dapat
diselesaikan. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, dan yang di samping itu
masih pula memiliki berbagai kesempatan untuk mempenga ruhi situasi, lembaga
pemerintahan yang lebih tinggi memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk
mencampuri penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dibandingkan dengan
kekuasaan seorang hakim. Tetapi di dalam negara hukum yang demokratis, lembaga
pemerintahan selalu terikat pada peraturan-peraturan hukum. Apabila peraturan-
peraturan hukum ini dilanggar oleh suatu lembaga pemerintahan, maka kembali menjadi
tugas hakim untuk menyelesaikannya. Perundan- undangan kerap kali juga dianggap
sebagai suatu bentuk penyelesaian konflik. Dahrendorf menamakan perundang-undangan
sebagai suatu bentuk institusionalisasi konflik, maksudnya terdapat suatu prosedur tetap
yang diterima oleh semua orang, yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik-konflik
dan pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam kehidupan sosial dengan
cara damai. Dalam hal ini peraturan-peraturan yang formal memegang peranan
penting. Tanpa dapat dihindarkan, pertentangan-pertentangan di dalam parlemen
dapat demikian memuncak, di mana tiap partai politik dapat mengemukakan apa
saja yang ingin mereka kemukakan, dan dapat mengajukan kritik yang sangat tajam
terhadap partai-partai politik lain. Tetapi yang menyolok adalah peranan ketua
parlemen yang dalam kenyataannya bertindak sebagai lembaga formal yang tidak
berwujud pribadi, partai-partai saling mengadakan komunikasi, dan tetap mengadakan
komunikasi terus meskipun konflik terjadi dengan seru. Dengan pengecualian
yang jarang terjadi, anggota-anggota fraksi mungkin terlibat dalam konflik secara
Pokok Bahasan 5 71
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
fisik, dan apabila hal ini terjadi, maka jelas bertentangan dengan aturan
tataatertib parlemen yang berlaku.
Kedua bentuk penyelesaian konflik yang bersifat politis lain nya, yaitu
tindakan politik dan aksi sosial, serta bentuk bertahan tanpa kekerasan, diikat secara
agak lunak oleh peraturan hukum. Meskipun demikian kedua bentuk penyelesaian
konflik ini biasanya masih diikat lagi oleh norma-norma sosial dan peraturan-per-
aturan informal.
Membuat suatu konflik menjadi terbuka agar orang-orang di sekelilingnya dan
mereka yang belum tersangkut jadi ikut serta berpartisipasi, merupakan suatu cara
yang kerap kali dilakukan. Biasanya terjadi suatu pembesaran skala dari konflik
yang terjadi, dan bersama-sama dengan itu terjadi polarisasi sosial di dalam
masyarakat. Kedua bentuk kegiatan itu dimaksudkan agar peme rintah atau
pembuat undang-Undang mendapat tekanan-tekanan untuk memaksa kedua
lembaga ini mengambil keputusan-keputusan yang berbeda dari keputusan yang
menurut rencana akan di keluarkan atau yang sudah dikeluarkan oleh kedua
lembaga tersebut.
Konfrontasi antara golongan-golongan oposisi dengan pemegang-pernegang
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik haruslah dianggap sebagai suatu cara
ke arah penyelesaian suatu konflik. Aksi politik dan aksi sosial serta bentuk-bentuk
kelanjutan lain dari proses politik dalam bentuk aksi -aksi tanpa kekerasan
dengan disertai atau tanpa disertai pelanggaran -pelanggaran hukum, biasanya
timbal dari suatu konflik yang terpendam.
Cara penanganan konflik dalam usaha mengarahkan ke jalan yang benar
dalam bentuk yuridis normatif berbeda dengan dalam bentuk yuridis-politis. Dalam
bentuk yuridis-politis penanganan konflik-konflik itu berwujud proses sosial yang
diarahikan pada suatu penyelesaian tertentu. Penyelesaian demikian ini dapat
mengalami eskalasi apabila digunakan kekerasan. Di bawah pengaruh keadaan
tertentu, aksi-aksi itu dapat mengakibatkan deeskalasi sehingga mengurangi
pertentangan-pertentangan yang terjadi.
Setelah sepuluh taliun mengalami proses sosial, gerakan hakhak sipil warga
negara kulit hitam Amerika Serikat yang meng akibatkan pertentangan-
pertentangan, menjadi lebili lunak daripada sebelumnya.
Kelompok keenm
20. Penyelesaian konflik dengan penggunaan kekerasan
Kekerasan merupakan suatu cara penyelesaian konflik, di mansa satu pihak
mencoba menyelesaikan suatu konflik terhadap pihak yang lain dengan
menggunakan sarana fisik. Sama halnya seperti dalam bentuk penyelesaian konflik
yang lain, dalam penyelesaian konflik dengan kekerasan juga masih
dipertimbangkan mengenai penyelesaian atau pengakhiran konflik, meskipun pihak yang
mempergunakan kekerasan mungkin mengajukan alasan bahwa cara ini
merupakan satu-satunya jalan keluar yang dapat ditempuh. Tetapi kekerasan
menimbulkan kekerasan pula, baik dalam bentuk pembalasan maupun untuk
Pokok Bahasan 5 72
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
Pokok Bahasan 5 73
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
penyerahan kekerasan
Perundingan
perundingan
Fungsi hukum dan pera dilan untu k me wuj udkan penyel esaian konflik
tan pa ke keras an di dalam kehi du pan sosial, menimbul k a n pe r ta ny a an
m e n gen ai s e j auh m an a h al ini su dah da pa t di wujudkan dalam kenyataan.
Apakah fungsi ini sesuai dengan fungsi hukum dan peradilan yang lebih dikenal
sebagai sarana pemaksa, yang anggota-anggota masyarakat terlibat di
dalamnya bertentangan dengan kemampuannya masing -masing. Hal ini
terutama berlaku dalam hukum pidana di mana pada tersangka yang
dituntut s e la lu ber t e n t an gan den ga n ke m au a n m er ek a m as in g -m asi n g.
Oleh hukum pidana sendiri hal demikian itu dianggap seba gai memberikan
kemungkinan untuk menyelesaikan konflik menurut kemauan sendiri, yaitu
menghukum sendiri, pembalasan, penyele saian tak terendah, penyanderaan,
dan lain-lain. Negara mengambil alih konflik itu dari pihak para korban dan
menjamin agar pemeriksaan, penyidangan, dan peny elesaiannya dilakukan
berdasarkan peraturan-peraturan.
Meskipun demikian ada pendapat dalam bidang kriminologi yang
berpendapat bahwa penyelesaian konflik itu lebih baik di serahkan kepada
pemiliknya yang sah, yaitu para pihak yang ber sen-keta sendiri. Menurut
pendapat ini, pengaruh negatif yang ditim bul kan ol eh a para tur n e gar a pa da
w a k tu m en ga dili pel aku pelaku kejahatan dianggap sebagai sangat
menentukan. Apabila kemudian pelaku-pelaku kejahatan dan korban -
korbannya sendiri berdamai, maka sebe narnya b anyak hal yang da pat
dicapai. Di lain pihak penyelen ggaraan pe radilan oleh negara hanya meng -
hasilkan lebih banyak penjahat yang lebih terlatih. Campur tangan negara
dalam penyelesaian konflik ini masih sangat tergantung pada adanya
hubungan erat di dalam masyarakat, sehingga kejahatan-kejahatan dapat
diselesaikan sendiri oleh sistem kontrol sosial masyarakat itu. Maka timbal
pertanyaan apakah dalam masyarakat industri yang modern ikatan sosial di
antara individu -individu masih cukup kuat, dan apakah kema mpuan kontrol
sosial yang dimiliki oleh suatu lingkungan sosial tidak terlalu dibesar -besar-
kan. Hukum, terutama hukum pidana, justru melakukan pengen dali an
te rha da p ko n trol sosi al , dan ol eh k are nan ya k er a p kali bersifat mengurangi
kekerasan. Dalam kejadi an-kejadian yang ekstrem, dengan alasan mengadili
anggota-anggota golongan revolusinner atau organisasi teror, misalnya, kerap
kali putusan pengadilan mendapatkan banyak tantangan, dan mungkin pula
mengakibatkan polarisasi kekuatan. Tetapi dalam kejadia n-kejadian
demikian ini pun proses pemidanaan bertanggung jawab terhadap perusakan
yang tidak terkendali oleh golongan oposisi dari ang gota-anggota masyarakat itu
Pokok Bahasan 5 75
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
sendiri.
Juga dalam bidang hukum perdata, penyelidikan yang lebih m en dalam
a k an da pa t mem ban tu h akim dala m m en gus ali ak an pen y eles ai an k onflik
ta n pa ke k eras an . K er a p k ali terj a di s ate lah piha k m enj a di tersa ngku t
pa da su a tu k onfli k, s e be narn ya ber te ntangan dengan kemampuannya
sendiri. Sehingga bertambah pula alasan untuk mempertanyakan apakah
tidak lebih baik apabila sengketa diselesaikan secara mandiri oleh kedua
belah pihak yang bersengketa saja. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu di -
k e tahui a pak ah pih ak k e ti ga m am pu me y akin ka n dan m em per ta l i a n k a n
n a m a ba i k n y a s e ba ga i o r a n g y a n g ti da k m e m i h a k .
Yang juga menjadi masalah adalah karena cara penyelesaian yang
bersifat teknis-yuridis mengenai konflik dalam kenyataannya s an ga t be r be da
de n ga n c ar a pe n dek a t an y a n g di l ak u ka n ol eh pi h a k- pi h a k y a n g
be r s e n gk e t a . A ga r pe r be da a n a n ta r a pi h a k -pihak yang bers engketa
dengan hakim tidak terlalu besar, maka untuk menyelesaikan konflik-konflik
tertentu oleh Undang-Undang ditetapkan bahwa pelaksanaannya harus
dilakukan oleh seorang pengacara. Meskipun demikian masih tetap terclapat
hambatan yang mempersulit hakim dalam mengambil suatu keputusan akhir.
D a l a m h al de mi k i an i ni h a ki m a k a n m e m pe r gun a k a n k o ns e p k on s e p
pe n ge r ti an y a n g t a j am , s e dan gka n pa ra pih a k s e n dir i mempergunakan
konsep-konsep pengertian yang lebih longgar. Seleksi bahan informasi
mengenai suatu konfli k dilakukan oleh hakim berdasarkan alasan -alasan
yuridis, sedangkan para pihak melakukan seleksi dan memberikan
gambaran yang sangat ber beda mengenai konflik yang sama. Hakim
mencari konsistensi den gan ke pu tusan -kepu tusan yan g sudah pernah
dipu tuskan se be lumny a, sedangkan para pihak lebih banyak mengajukan kejadi-
k e j a di a n y a n g m er e k a al ami s ec a ra k on gk r e t, terl e pas da ri s oal-soal lain.
Pada akhirnya hakim akan menyelenggarakan suatu penyele saian yang
tidak bersifat pribadi secara bertahap, sedangkan para pihak akan mengajukan
pilihan-pilihan dan penolakan-penolakan atas dasar kepentingan-kepentingan
dan keinginan-keinginan mereka masing-masing serta akan berusaha sekuat-
kuatnya supaya hal-hal tersebut dipenuhi.
Kerap kali perbedaan antara kedua cara pendek atan tersebut sangat
besar sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang sangat be r be da .
A pa bi l a ga m ba r a n y a n g di pe r ol e h de n ga n c a r a pe n dekatan yuridis
berkembang terlepas dari pengenalan -pengenalan yang diperoleh dengan
cara-cara pendekatan bukan yuridis, maka tujuan peradilan tidak akan dapat
tercapai. Kekecewaan karena sikap-sikap pengadilan, penyesalan karena
keputusan-keputusan yang terlalu berpegang pada bunyi peraturan
perundang-undangan tertulis tetapi asing dengan dunia kenyataan, akan
mengakibatkan polarisasi kekuatan sosial, dan akhirnya mengakibatkan tim -
buInya kembali konflik-konflik yang kadang-kadang berkembang ke arah
Pokok Bahasan 5 76
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
RANGKUMAN
1. Yang dimaksud dengan konflik adalah situasi (keadaan) di mana dua atau lebih pihak-pihak
memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan, dan
di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya
masing-masing.
2. Terdapat suatu hubungan yang erat antara hukum dan konflik. Karena tidak dapat
dihindarkan bahwa tiap bentuk hidup bersama mengalami bermacam-macam
bentuk konflik, untuk ini masi ng -masi ng terdapat s uatu bentuk peradi lan
tertentu dalam tiap-tiap kehidupan sosial.
3. Salah satu masalah pokok dari hukum menyangkut cara -cara anggota masyarakat
menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi adalah perimbangan antara bentuk-
bentuk penyelesaian konflik yang bersifat yuridis dan non-yuridis serta
penyelesaian konflik yang non-yuridis menghormati cara-cara penyelesaian konflik
yang beradab. Serta untuk memilih bentuk penyelesaian konflik yang paling memadai
untuk tipe-tipe konflik dan tipe-tipe hubungan konflik yang ter jadi di dalam kelompok
itu.
4. Terdapat berbagai bentuk penyelesaian konflik yang ditemui di dalam masyarakat, yang dapat
dikelompokkan ke dalam enam kelompok, yaitu:
a. Penarikan diri dari konflik, meliputi: a) Penyerahan sementara; b) Menghindarkan.
Pokok Bahasan 5 77
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik
DAFTAR PERTANYAAN
6. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan konflik?
7. Jelaskan hubungan antara hukum dan konflik!
8. Jelasalan masalah pokok dari hukum menyangkut cara -cara anggota masyarakat
menyelesaikan konflik-konflik!
9. Jelaskan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang ditemui di dalam masyarakat!
10. J elas kan fungsi h ukum dal am hubungannya dengan penyel esai an konfl ik!
DAFTAR PUSTAKA
Roni hanijo soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum Dan Masyarakat.
Penerbit Remaja Karya, bandung 1985.
Pokok Bahasan 5 78
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahsan 6
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM
efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan
dibahas di sini, dengan cara mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari
kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-Undang
Di dalam tulisan ini, maka yang diartikan dengan Undang-Undang dalam arti
materiel adalah (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979) peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Dengan
demikian, maka Undang-Undang dalam materiel (selanjutnya disebut Undang-Undang)
mencakup :
1. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan
tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.
2. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.
Suatu masalah lain yang dijumpai di dalam Undang-undang adalah adanya pelbagai
Undang-Undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam
Undang-Undang tersebut diperintahkan demikian.
Persoalan lain yang mungkin timbul di dalam Undang-undang, adalah
ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan
pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu disebabkan, oleh karena penggunaan kata-
kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari
bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.
Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa (gangguan
terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan,
karena:
1. Tidak diikutinya azas-azas berlakunya Undang,
2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan
Undang-Undang,
3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-undang yang mengakibatkan
kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya.
2. Penegak Hukum
Di dalam tulisan ini, maka yang dimaksudkan dengan penegak hukum akan
dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan
hukum yang tidak hanya mencakup "law enforcement", akan tetapi juga "peace
maintenance". Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka
yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
pemasyarakatan.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan ("status")
dan peranan ("role"). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur
kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan
Pokok Bahasan 6 80
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewa-
jiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan
atau "role". Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,
lazimnya dinamakan pemegang peranan ("role occupant"). Suatu hak sebenarnya
merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah
beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur,
sebagai berikut :
1. Peranan yang ideal ("ideal role")
2. Peranan yang seharusnya ("expected role")
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri ("perceived role") ,
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan ("actual role"). '
Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan "role
performance" atau "role playing". Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan yang ideal
dan yang seharusnya datang dari fihak (atau pihak-pihak) lain, sedangkan peranan yang
dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri
pribadi. Sudah tentu bahwa di dalam kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi
apabila seseorang berhubungan dengan fihak lain (disebut "role sector") atau dengan
beberapa fihak ("role set").
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat
lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan
demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul
konflik ("status conflict" dan conflict of roles"). Kalau di dalam kenyataannya terjadi
suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya
dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan ("role-
distance").
Kerangka sosiologis tersebut di atas, akan diterapkan dalam analisa terhadap
penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada peranannya. Namun
demikian, di dalam hal ini ruang lingkup hanya akan dibatasi pada peranan yang
seharusnya dan peranan aktual.
Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak
hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Diskresi menyangkut
pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi
juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh
karena (Wayne LaFavre 1964):
1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat
mengatur semua perilaku manusia,
2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan
perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak
pastian.
3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagairnana yang
dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang.
4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.
Pokok Bahasan 6 81
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahasan 6 82
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahasan 6 83
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak
terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Agar masalah
tersebut dapat difahami dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses
peradilan.
Di dalam pembicaraan mengenai penegak hukum di muka, telah disinggung
perihal hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap hambatan pada proses banding
dan kasasi perkara-perkara pidana. Dari hasil-hasil penelitian yang sama, dapat pula
diperoleh data mengenai faktor-faktor penghambat proses penyelesaian dalam proses
Pokok Bahasan 6 84
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
banding dan kasasi tersebut, menurut kalangan penegak hukum tertentu. Secara visual
dan kuantitatif, gambarannya adalah, sebagai berikut (dikutip dari Lampiran 13 laporan
penelitian tersebut) :
6. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertu juan untuk
mencapai Kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut
tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Di
dalam bagian ini, akan diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-
pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi
kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan
faktor-faktor terdahulu, yaitu Undang-Undang, penegak hukum dan sarana
atau fasilitas.
Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat-pendapat
tertentu mengenai hukum. Pertama-tama ada pelbagai pengertian atau arti
yang diberikan pada hukum, yang variasinya adalah sebagai berikut :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan,
2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan,
3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas
yang diharapkan,
4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis),
5. Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat,
6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa,
7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan,
8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik,
9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai,
10. Hukum diartikan sebagai seni.
Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat
kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan
pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan
pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.
Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar polisi dengan serta
merta dapat menanggulangi masalah yang dihadapi tanpa memperhitungkan, apakah
polisi tersebut baru saja menamatkan pendidikan kepolisian, atau merupakan polisi yang
sudahi berpengalaman. Peng}iarapan tersebut tertuju kepada polisi yang mempunyai
pangkat terendah sampai dengan yang tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang
berhadapan dengan polisi, tidak "sempat" memikirkan taraf pendidikan yang pernah di-
alami oleh polisi dengan pangkat terendah, misalnya.
Pokok Bahasan 6 85
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahasan 6 86
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahasan 6 87
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahasan 6 88
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
dari itu, maka mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaah bahwa perundang-
undangan kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat; bukankah
hal itu dapat ditanggulangi dengan diskresi, yang secara lahiriyah tampak begitu
sederhana.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa anggapan-anggapan dari masyarakat
tersebut harus mengalami perubahan-perubahan di dalam kadar-kadar tertentu. Per-
ubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan melalui penerangan atau penyuluhan
hukum yang sinambung dan yang senantiasa dievaluasi hasil-hasilnya, untuk kemudian
dikembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat menemp3tkan
hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.
Di samping adanya kecenderungan yang kuat dari masyarakat untuk mengartikan
hukum sebagai penegak hukum atau petugas hukum, maka ada golongan-golongan
tertentu dalam masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum
positif tertulis. Di dalam suatu penelitian yang diadakan terhadap sejumlah mahasiswa
di 27 kota di Indonesia pada tahun 1977 - 1978 diperoleh hasil bahwa 61.07 % dari
seluruh responden yang berjumlah 1893 mahasiswa mengartikan hukum sebagai tata
hukum (Penelitian terhadap Ciri-ciri Kepribadian Mahasiswa Indonesia pada Perguruan-
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se Indonesia oleh Direktorat Kemahasiswaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Anggapan-anggapan semacam itu sebenarnya
juga ada pada kalangan hukum umumnya, yaitu terutama yang menduduki posisi-posisi
formal tertentu. Hal itu tampak dari program-program resmi yang diterapkan, misalnya,
program penyuluhan hukum (tertulis). Salah satu akibatnya yang positif adalah,
kemungkinan bahwa warga masyarakat mempunyai pengetahuan yang pasti mengenai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum (yang kemungkinan besar
akan berkelanjutan dengan adanya pemahaman-pemahaman tertentu). Kalau warga
masvarakat sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, maka mereka
juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk
melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhab mereka sesuatu
dengan aturan yang ada. Hal itu semua biasanya dinamakan kompetensi hukum yang
tidak mungkin ada, apabila warga masyarakat:
1. tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila, hak-hak mereka dilanggar atau
terganggu,
2. tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya,
3. tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor
keuangan, psikis, sosial atau politik,
4. tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya,
5. mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan
pelbagai unsur kalangan hukum formal.
Sebagai salah satu akibat negatif dari pandangan atau anggapan bahwa hukum
adalah hukum positif tertulis belaka adalah, adanya kecenderungan yang kuat sekali
Pokok Bahasan 6 89
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
bahwa satu-satunya tugas hukum adalah adanya kepastian hukum. Dengan adanya
kecenderungan untuk lebih menekankan pada kepastian hukum belaka, maka akan
muncul anggapan yang kuat sekali bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban.
Lebih mementingkan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum,
sehingga timbul gagasan-gagasan yang kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat
diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan-kecenderungan yang legistis tersebut
pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang
belum tentu berlaku secara sosiologis. Di lain fihak kecenderungan-kecenderungan
tersebut kadang-kdang menganggap bahwa terjemahan-terjemahan tidak resmi dari
perundang-undangan zaman hindia-belanda secara yuridis telah berlaku.
Adanya keinginan-keinginan yang sangat kuat untuk menyusun kodifikasi atau
pembukuan nornla-norma hukum bidang-bidang tertentu, merupakan suatu akibat yang
lebih lanjut yang mempunyai segi positif dan negatifnya. Selama usaha mengadakan
kodifikasi tersebut memperhitungkan bidang-bidang kehidupan netral dan spiritual,
serta tujuan kodifikasi adalah kepastian hukum, keseragaman hukum dan kesederhanaan
hukum, maka usaha mengadakan kodifikasi adalah positif. Akan tetapi, kalau . usaha
tersebut hanya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dan mencoba membukukan
norma-norma hukum yang mengatur bidang kehidupan spiritual (atau non, netral), maka
sifatnya adalah negatif.
5. Faktor Kebudayaan
Pokok Bahasan 6 90
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Di Indonesia nilai-nilai yang meniadi dasar hukum adat, adalah antara lain,
sebagai berikut (Moh. Koesnoe 19G9):
"1) Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-masing
demi untuk melangsungkan dan kelangsungan dari pada masyarakat (sebagai
lingkungan kesatuan),
2). Setiap individu di dalam lingkungan kesatuan itu, bergerak berusaha sebagai
pengabdian kepada keseluruhan kesatuan,
3). Dalam pandangan adat yang demikian mengenai kepentingan-kepentingan individu
itu, maka sukarlah untuk dapatnya dikemukakan adanya suatu keperluan yang
mendesak untuk menertibkan segala kepentingan-kepentingan para individu-
individu itu. Bagi adat, ketertiban itu telah ada di dalam semesta, di dalam
kosmos. Ketertiban itu adalah berupa dalam hubungan yang harmonis antara
segalanya ini. Gerak dan usaha memenuhi kepentingan individu, adalah gerak dan
usaha yang ditempatkan di dalam garis ketertiban kosmis tersebut. Bagi setiap
orang, maka garis ketertiban kosmis itu dijalani dengan serta merta. Bilamana
tidak dijalankan garis itu, garis yang dijelmakan di dalam adat, maka baik
jalannya masyarakatnya, maupun jalan kehidupan peribadi orang yang
bersangkutan akan menderita karena berada di luar garis tertib kosmis tersebut,
yaitu, adat.
4). Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat itu harus
disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan mempergunakan
paksaan. Apa yang disebut sebagai salah kaprah, yaitu dengan sebutan hukum
adat, tidaklah merupakan hukuman.
Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat, untuk mengembalikan langkah yang yang
berada di luar garis tertib kosmis itu, demi untuk tidak terganggu ketertiban
kosrnis. Upaya adat dari lahirnya adalah terlihat sebagai adanya penggunaan
kekuasaan melaksanakan ketentuan yang tercantum di dalam pedoman hidup yang
disebut adat.
Tetapi dalam intinya itu adalah lain, itu bukan pemaksaan dengan
mempergunakan alat, paksa. Itu bukan bekerjanya suatu sanctie. Itu adalah upaya
membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu, dan bukan suatu "hukuman",
bukan suatu "leed" yang diperhitung bekerjanya bagi individu yang bersangkutan".
Hal-hal yang telah dijelaskan oleh Moh. Koesnoe secara panjang lebar di atas,
merupakan kebudayaan Indonesia yang mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum
Adat tersebut merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat terbanyak.
Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang
timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar supaya hukum perundang-undangan
tersebut dapat berlaku secara efektif.
Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keahlakan, juga merupakan pasangan nilai yang
bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataan pada masing-masing masyarakat
Pokok Bahasan 6 91
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pokok Bahasan 6 92
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
2. Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang
saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni fihak-fihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan
hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas di sini, dengan cara
mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
3. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan,
karena:
1. Tidak diikutinya azas-azas berlakunya Undang,
2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-
Undang,
3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-undang yang mengakibatkan kesimpang-siuran
di dalam penafsiran serta penerapannya.
4. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya,
lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah
mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik ("status conflict" dan
conflict of roles"). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan
yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka ter-
jadi suatu kesenjangan peranan ("role-distance").
5. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
6. Terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah
satu akibatnya adalah, bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku
penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum se-
bagai struktur maupun proses.
7. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut,
lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.
Pokok Bahasan 6 93
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan Inti dan arti penegakan hukum.
2. Jelaskan secara umum faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya penegakan hukum.
3. Jelaskan gangguan penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang.
4. Jelaskan peran penegak hukum dalam penegakan hukum.
5. Jelaskan pentingnya sarana atau fasilitas dalam penegakan hukum.
6. Jelaskan pengaruh persepsi masyarakat tentang hukum terhdap dalam penegakan hukum.
7. Jelaskan peran kebudayaan (sistem) hukum dalam penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , Raja Wali,
Jakarat, 1986.
Pokok Bahasan 6 94
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 7
PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI HUKUM
Pada Hukum Represip, tujuan hukum adalah keter tiban dan dasar
keabsahannya adalah pengamanan masyarakat. Aturan-aturannya bersifat terperinci
namun kurang mengikat pembuat aturan, seringkali terjadi diskresi. Sifat memaksa
nampak meluas dan hanya secara le mah dibatasi, sementara itu yang
dikembangkan adalah "moralitas kekangan". Hukum tunduk pada politik ke-
kuasaan serta harapan-harapan atas ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak-
taatan dianggap penyimpangan. Kritisisme dipandang sebagai ketidaksetiaan.
Hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada kejujuran
prosedural. Aturan-aturan mengikat baik penguasa maupun yang di kuasai dan
diskresi dibatasi oleh hukum. Paksaan dikendalikan oleh kekangan-kekangan
hukum, dan moralitasnya adalah moralitas institusional. Hukum "merdeka" dari po -
litik. Harapan-harapan ketaatan tidak terlampau ketat dan dibenarkan oleh hukum
misalnya dalam kerangka pengujian aturan-aturan. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh
prosedur-prosedur yang mapan.
Pada hukum responsip keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substantip
dan aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Diskresi dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih nampak dalam bentuk alternatif
Pokok Bahasan 7 94
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
Lebih jauh, Nonet dan Selznick memberikan uraian yang lebih terperinci
mengenai ketiga tipe hukum tersebut di atas.
Hukum Represip
Gagasan hukum represip mengandaikan bahwa setiap tata hukum merupakan
"keadilan yang beku" dan mempunyai potensi represip oleh karena terikat pada
status quo dan dengan menyelimuti otoritas, hukum membuat kekuasaan lebih efektip.
Pokok Bahasan 7 95
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
Represi adalah satu sisi dari keadilan kelas, sedangkan sisi yang lain adalah
konsolidasi privilese.
Sumber lain dari hukum represip adalah tuntutan atas penyesuaian
budaya (cultural conformity) yang menimbulkan kecenderungan -kecenderungan
menghukum atas nama moral dan nilai-nilai budaya.
Dengan begitu perwujudan-perwujudan hukum represip menampilkan dua
gambaran pokok:
1. Keterpaduan yang erat antara hukum dengan po litik dalam bentuk subordinasi
langsung pranatapranata hukum pada elite yang memerintah dengan menjadi
semacam Instrumentalisme primitip" yang siap mengkonsolidasikan kekuasaan,
menjamin privilese dan memenangkan konformitas.
2. Merajalelanya diskresi baik sebagai hasil maupun sebagai cara, untuk menjamin
bekerjanya peranan hukum sebagai alat di atas.
Hukum, Otonom
Pokok Bahasan 7 96
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
Pokok Bahasan 7 97
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
M A TR I K T I G A T I P E H U K UM
HUKUM HUKUM HUKUM
REPRESIF OTONOM RESPONSIF
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (New York: Harper Colophon
Books, 1978). (dalam AAG. Piters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan perkembangan sosial, Pustaka Sinar
Harapan, 1990).
Pokok Bahasan 7 98
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
Abad keduapuluh ini jelas merupakan sebuah kurun waktu yang telah
menghasilkan suatu gerakan ke arah studi mengenai hukum yang berorientasi sociologis.
Perwujudan gerakan ini adalah wilayah kegiatan yang diberi name "sosiologi
hukum”
Sebagai suatu bidang spesialisasi akademik yang di akui, sosiologi hukum dalam
perkembangannya mengenal beberapa perspektip teoritik serta studi-studi yang lebih
meningkatkan arti pentingnya di antara bidang-bidang pengetahuan ilmiah sosial yang
lain serta lebih menambah kemampuan dalam menjelaskan obyek studinya.
William Evan 6 menyebutkan adanya tida k kurang dari 6 (enam)
perspektip yang tumbuh dalam Sosiologi Hukum yakni:
1. teori behavioralist yang memusatkan perhatian pada usaha mempelajari
hukum sebagai sistim perilaku;
2. teori yurisprudential yang menekankan perlunya pemahaman atas aspek-
aspek yurisprudential serta gagasan-gagasan hukum;
3. teori fungsionalis yang memandang hukum se bagai mekanisme umum
pengendalian sosial pada hampir semua sektor di dalam masyarakat atau yang
mengkaji kemampuan hukum untuk secara fungsio nal didayagunakan di
dalam masyarakat yang me ngalami konflik-konflik kepentingan dalam rangka
menciptakan harmoni;
4. teori konflik yang berpangkal tolak pada pan dangan bahwa hukum sebagai
supra-struktur memberikan pembenaran ideologis bagi dominasi atau se bagai
seperangkat sumber daya;
5. teori sosialisasi yang menekankan pada segi segi sosio-psikologis dari fenomena
hukum;
6. teori sistem yang menelaah hukum melalui di namika proses-proses hukum
yang menyangkut input dan output, keadaan variabel -variabel sistim atau
sub-sistim, proses feed back dan sebagainya.
Pandangan lain mengemukakan bahwa perspektip-perspektip dalam
sosiologi hukum pada dasarnya berkisar pada perspektip konsensus, pluralis dan
konflik, di samping pendapat yang melihat adanya paradigma-paradigma yang bersaing
di dalam sosiologi hukum, yakni paradigma "social facts", paradigma "social
definitions" serta paradigma "social behavior:"
Terlepas dari persoalan mana di antara perspektip, paradigma dan teori itu
yang dominan, akan tetapi jelas bahwa masalah-masalah hukum dan masyarakat
semakin banyak dijelaskan dan dianalisa melalui perspektip-perspektip teoritik
sosiologi hukum, sementara Sosiologi Hukumpun mengalami pula
pertumbuhan. Misalnya saja, term-term umum Sosiologi Hukum tidak hanya
berkisar pada dikotomi peranan paksaan dan kesepakatan dalam pembentukan hukum
atau bekerjanya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial atau alat perubahan
sosial, melainkan lebih lagi mempersoalkan dimensi-dimensi ideologis dari hukum
serta hubungan-hubungan yang ada antara terbentuk dan bekerjanya hukum dengan
Pokok Bahasan 7 99
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
Negara.
Klasifikasi konseptual tentang permasalahan, usaha untuk menyediakan
jawaban-jawaban baru atas permasalahan, argumen-argumen bagi prioritas yang
berbeda serta pelambangan teori baru tetap terbuka di dalam studi so siologi
hukum.
Ruang lingkup menjadi kian luas karena memang sosiologi hukum pada satu pihak
tidak terlepas dari perkembangan disiplin ilmu hukum dan pada pihak lain tidak ter-
serabut dari akar sosiologis.
Persoalan-persoalan yang relefan baik dalam kerangka pengembangan konsep maupun
guna mengkaji realitas bekerjanya hukum di dalam masyarakat yang terpapar dalam buku
ini, seperti uraian tentang otonomi relatif hukum (Isaac D. Balbus), bagaimana hukum
berfungsi dalam konteks konflik sosial — artinya: tidak sekedar sarana akomodasi
sengketa. — seperti dijelaskan oleh Austin T. Turk, sejauh mana hukum merefleksikan
sistim budaya adat (Stanley Diamond) memang merupakan masalah-masalah dasar
sosiologi hukum.
Bagi perkembangan pemikiran kritis di bidang hukum dan masyarakat — yang telah
dirintis pada dasawarsa 1970-an oleh ahli-ahli hukum berorientasi sosiologis di UI, Undip dan
Unpad untuk menyebut beberapa pusat kajian — jelas bahan-bahan yang disajikan dalam
buku ini sangat bermanfaat, paling tidak dalam hal:
Pertama, mempertegas batas dan orientasi studi hukum dan masyarakat yang
dicakup oleh sosiologi hukum;
Ke dua, memberi perangkat konseptual guna mempertajam analisis mengenai pelbagai
dimensi peranan hukum Berta konteks sosial hukum.
Dengan begitu, keseluruhan uraian yang terpapar dalam bab-bab selanjutnya
memperkaya pendalaman mengenai perspektip dan teori sekitar konteks sosial hukum.
RANGKUMAN
1. Pada Hukum Represip, tujuan hukum adalah ketertiban dan dasar keabsahannya
adalah pengamanan masyarakat. Aturan-aturannya bersifat terperinci namun kurang
mengikat pembuat aturan, seringkali terjadi diskresi. Sifat memaksa nampak meluas dan
hanya secara lemah dibatasi, sementara itu yang dikembangkan adalah "moralitas
kekangan". Hukum tunduk pada politik k ekuasaan serta harapan-harapan atas
ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak -taatan dianggap penyimpangan. Kritisisme
dipandang sebagai ketidaksetiaan.
2. Hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada kejujuran prosedural.
Aturan-aturan mengikat baik penguasa maupun yang di kuasai dan diskresi dibatasi
oleh hukum. Paksaan dikendalikan oleh kekangan-kekangan hukum, dan
moralitasnya adalah moralitas institusional. Hukum "merdeka" dari politik. Harapan-
harapan ketaatan tidak terlampau ketat dan dibenarkan oleh hukum misalnya dalam
kerangka pengujian aturan-aturan. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh prosedur-prosedur
yang mapan.
3. Pada hukum responsip keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substantip dan
aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Diskresi dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih nampak dalam bentuk alternatif positif
seperti insentip atau sistim-sistim kewajiban mandiri. Moralitas yang nampak adalah
"moralitas kerja sama", sementara aspirasi-aspirasi hukum dan politik berada dalam
keadaan terpadu. Ketidaktaatan dinilai dalam ukuran dan kerugiankerugian substantip
Pokok Bahasan 7 100
Perspektif Teori Sosiologi Hukum
DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan pengertian dari Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum Res pons ip.
2. Jelaskan karakterisitik atau ciri-ciri dari Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum
Responsi p.
3. B uatlah anali sis terhadap tata hul um I ndonesi a dengan menggunakan keti ga
model hukum ters ebut, yaitu Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum.
4. Jelaskan perspektip teori Sosiologi Hukum.
DAFTAR PUSTAKA
AAG. Piters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan perkembangan sosial, Pustaka Sinar
Harapan, 1990
Mulyana Kusuma Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan Lembaga Vbantuan
Hukum Indonesia, Jakarta 1988.)