Anda di halaman 1dari 105

BUKU AJAR

Oleh :

Dr. H. USMAN, SH, MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018
DAFTAR ISI

PENGANTAR
A. Deskripsi Mata Kuliah 1
B. Tujuan Instruksional Umum (TIU) 1
C. Strategi Perkuliahan 4

I PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEGUNAAN SOSIOLOGI 6


HUKUM
A. Pengertian Sosiologi Hukum 6
B. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum 7
C. Paradigma Sosiologi Hukum 8
D. Beberapa Masalah yang Disoroti Sosiologi Hukum 10
E. Kegunaan Sosiologi Hukum 16

II SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM 19


A. Pengantar. 19
B. Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum. 20

III STRUKTUR SOSIAL DAN HUKUM


A. Kaidah-Kaidah Sosial dan Hukum 26
C. Kelompok-Kelompok Sosial dan Hukum 26
B. Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan dan Hukum 32
C. Kelompok-Kelompok Sosial dan Hukum 36
D. Lapisan-Lapisan Sosial, Kekuasaan Dan Hukum 37

IV PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM 42


A. Pengantar 42
B. Beberapa Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial 43
C. Hubungan Antara Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum 48
E. Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat 52
D. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan 57

V HUKUM DAN MASALAH PENYELESAIAN KONFLIK 64


A. Pendahuluan 66
B. Bentuk-bentuk Penyelesaian Konflik 65
C. Hasil yang Telah Dicapai dalam Usaha Mewujudkan Penyelesaian Konflik 75
tanpa Kekerasan

VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM 78


A. Penegakan Hukum: Inti dan Artinya 78
B Faktor-Faktor Yang Mungkin Mempengaruhi Penegakan Hukum 79
VII. PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI HUKUM 80
A. TESIS HUKUM YANG RESPONSIF
B. Perspektip Teoritik dalam Sosiologi Hukum
PENGANTAR
A. Deskripsi Mata Kuliah
Sosiologi hukum merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti
oleh setiap mahasiswa Fakultas Hukum Unja. Mata kuliah ini membahas tentang
hubungan timbal balik antara hukum dengan berbagai gejala sosial lainnya.
Pengkaji dilakukan secara analitis deskriptif.
Kajian mata kuliah ini merupakan kajian memadukan antara berbagai
disiplin seperti sosiologi, hukum dan filsafat. Oleh karena itu sebelum mengikuti
mata kuliah sosiologi hukum, mahasiswa harus sudah lulus mata kuliah sosiologi
dan paling tidak telah lulus sejumlah 90 SKS atau duduk pada semester VI .
Dalam matakuliah ini akan dibahas beberapa persoaan pokok seperti:
1. Kaedah-kaeadah Sosial Dan Hukum
2. Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Dan Hukum
3. Kelompok-kelompok Sosial Dan Hukum
4. Lapisan-lapisan Sosial, Kekuasaan Dan Hukum
5. Interkasi sosial dan hukum
6. Perubahan Sosial dan Hukum
7. Masalah sosial dan hukum

B. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mengikuti mata kuliah ini, diharapkan anda:
1. Dapat mejelaskan tentang berbagai konsep dan teori dibidang sosiologi hukum.
2. Mampu menggunakan konsep dan teori dibidang sosiologi hukum untuk
menganalisis pengaruh timbal balik antara hukum di satu sisi dengan gejala sosial
di sisi yang lain.
3. Mampu menganalisis dan kontruksi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat,
baik sebagai sarana pengendalian sosial mapun sebagai sarana untuk merubah
masyarakat.
4. Mampu mengadakan evaluasi terhadap evektifitas hukum dalam masyarakat.

C. Garis Besar Program Perkuliahan


No Tujuan Instruksional Khusus Pokok Bahasan dan Sub Pokok Est. Daftar Kepustakaan
Bahasan Waktu
1 Setelah mengikuti kuliah ini anda Pengertian, Ruang Lingkup Dan
akan dapat menjelaskan Pengertian, Kegunaan Siologi Hukum
Ruang Lingkup Dan Kegunaan Siologi
Hukum
a. Setelah mengikuti kuliah ini anda a. Pengertian Sosiologi Hukum 30 m Soerjono Soekanto.
akan dapat menjelaskan Mengenal Sosiologi
pengerian sosiologi hukum dan Hukum. Alumni,
membandingkannya dengan Bandung, 1986. (BAB I
pengertian antropologi hukum. B).

b. Setelah mengikuti kuliah ini anda b. Ruanglingkup Sosiologi Hukum 30 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Pokok-pokok Sosiologi
Ruanglingkup Sosiologi Hukum Hukum. Grafindo
dan hubungan sosiologi hukum Persada, Jakarta1997.
dengan ilmu hukum. (BAB I E)
c. Setelah mengikuti kuliah ini anda c. Paradigma Sosilogi Hukum Soerjono Soekanto.
akan dapat menjelaskan kerangka Mengenal Sosiologi
hubungan antara Hukum dengan Hukum. Alumni,
gejala sosial lannya serta manfaat Bandung, 1986. (BAB III)
dari penget ahuan tersebut.
d. Setelah mengikuti kuliah ini anda d. Kegunaan Sosiologi Hukum 40 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Pokok-pokok Sosiologi
Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Hukum. Grafindo
pengembangan ilmu hukum Persada, Jakarta1997.
maupun bagi praktek ilmu hukum, (BAB I E)
baik pada taraf organisasi
masyarakat, golongan dalam
masyarakat maupun taraf
individu.
2 Sejarah Sosiologi Hukum
Setelah mengikuti kuliah ini anda Sejarah Sosiologi Hukum 50 m Soerjono Soekanto.
akan dapat menceritakan sejarah Mengenal Sosiologi
lahirnya sosiologi hukum. Hukum. Alumni,
Bandung, 1986. (BAB II
B).
Soerjono Soekanto,
Pokok-pokok Sosiologi
Hukum. Grafindo
Persada, Jakarta1997.
(BAB II)
3 Setelah mengikuti kuliah ini anda Struktur Sosial Dan Hukum
akan dapat menjelaskan hubungan
antara struktur sosial dengan hukum.
a. Setelah mengikuti kuliah ini a. Kaedah-kaeadah Sosial dan 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan : Hukum Pokok-pokok Sosiologi
1) proses timbulnya kaedah, 2) Hukum. Grafindo
macam-macam Kaedah-kaeadah Persada, Jakarta1997.
Sosial, 3) berbagai teori tentang (BAB III B)
cara mebedakan kaedah sosial
dengan kaedah hukum, dan 4)
hubungan antara kaedah sosial
dengan kaedah hukum.
b. Setelah mengikuti kuliah ini b. Lembaga-lembaga 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan : Kemasyarakatan dan Hukum Pokok-pokok Sosiologi
1) pengertian dan fungsi Hukum. Grafindo
lembaga kemasyarakat, 2) Persada, Jakarta1997.
hubungan antara hukum dengan (BAB III C)
lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya, dan 3)
menjelasakan kapan hukum
dapat merupakan suatu lembaga
kemasyarakatan yang primer di
dalam suatu masyarakat.
c. Setelah mengikuti kuliah ini c. Kelompok-kelompok Sosial dan 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan Hukum Pokok-pokok Sosiologi
hubungan antara kelompok- Hukum. Grafindo
kelompok Sosial dan Hukum Persada, Jakarta1997.
dengan menyebutkan contoh (BAB III D)
tentang hubungan antara
kelompok-kelompok Sosial dan
Hukum.
d. Setelah mengikuti kuliah ini d. Lapisan-lapisan Sosial, 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan 1) Kekuasaan dan Hukum Pokok-pokok Sosiologi
konsep kedudukan (status) dan Hukum. Grafindo
peranan (role), kekuasaan dan Persada, Jakarta1997.
wewenang, 2) menjelaskan (BAB III E)
hubungan kekuasaan, stratifikasi
sosial dengan hukum.
4 a. Setelah mengikuti kuliah ini Perubahan Sosial Dan Hukum 50 m Soerjono Soekanto,
anda akan dapat menjelaskan Pokok-pokok Sosiologi
hubungan antara perubahan Hukum. Grafindo
sosial dengan hukum. Persada, Jakarta1997.
(BAB IV)
1) Setelah mengikuti kuliah ini anda a. Beberap 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan teori- a Teori Tentang Hukum Dan Pokok-pokok Sosiologi
teori tentang perubahan sosial Perubahan Sosial Hukum. Grafindo
dengan hukum. Persada, Jakarta1997.
(BAB IV B)
2) Setelah mengikuti kuliah ini anda b. Hubunga 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan: 1) n Perubahan-perubahan Sosial dan Pokok-pokok Sosiologi
Penybab terjadinya perubahan Hukum Hukum. Grafindo
sosial, 2) saluran-saluran Persada, Jakarta1997.
perubahan sosial, 3) proses (BAB IV C)
perubahan hukum, 4) dampak
perubahan sosial yang tidak
seiring dengan perubahan
hukum.
3) Setelah mengikuti kuliah ini anda c. Hukum Sebagai Alat Untuk 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan dampak Mengubah Masyarakat Pokok-pokok Sosiologi
hukum terhadap perubahan sosial Hukum. Grafindo
dan proses pelembagaan hukum. Persada, Jakarta1997.
(BAB IV D)
4) Setelah mengikuti kuliah ini anda d. Hukum Sebagai Sarana Pengatur 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan: 1) Perikelakuan Pokok-pokok Sosiologi
masalah hukum sebagai sarana Hukum. Grafindo
social engineering, 2) syarat dan Persada, Jakarta1997.
batas hukum sebagai sarana (BAB IV E)
social engineering, 3) konsepsi
hukum tentang status&role, 4)
konsep hans kelsen
tentang status&role, 5) hypotesa
soerjono soekanto
tentang status&role.
5) Setelah mengikuti kuliah ini anda e. Batas-batas Pengguaan Hukum 50 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Batas- Pokok-pokok Sosiologi
batas Pengguaan Hukum dan Hukum. Grafindo
kondisi yang mendasari sistem Persada, Jakarta1997.
hukum sebagai alat untuk (BAB IV F)
mengubah masyarakat.
C. Setelah mengikuti kuliah ini anda c. Masalah sosial dan hukum
akan dapat menjelaskan
hubungan antara masalah-
masalah sosiall degan hukum.

5 Setelah mengikuti kuliah ini anda Hukum Dan Masalah Penyelesaian 100 Roni Hanitijo Sumitro.
diharapkan dapat mejelaskan Konflik. Beberapa Masalah
Pengertian konflik., hubung an Dalam Studi Hukum dan
antara huk um dan k onflik , Masyarakat. Remaja
masalah pokok dari hukum karya, Bandung, 1985
menyangkut cara-cara anggota (BAB V)
masyarakat menyelesaik an
konflik-konflik , bentuk-bentuk
penyelesaian konflik yang ditemui di
dalam masyarakat, f u n g s i h u k u m
dalam hubungann ya dengan
penyele sa ian konfl ik.
Setelah mengikuti kuliah ini anda Faktor yang Mempengaruhi Penegakan 100 m Soerjono Soekanto,
akan dapat menjelaskan Inti dan Hukum, Beberapa Faktor yang
6 arti peneg ak an hukum, faktor- Mempengaruhi
faktor yang mungkin Penegakan Hukum, Raja
mempengaruhinya penegakan Wali, Jakarat, 1986.
hukum. sebenarnya terletak pada,
gangguan penegakan hukum yang
berasal dari Undang-Undan, peran
penegak hukum dalam penegakan
hukum, pentingnya sarana atau
fasilitas dalam penegakan hukum,
pengaruh persepsi masyarakat
tentang hukum terhdap dalam
penegakan hukum, dan peran
kebudayaan (sistem) hukum dalam
penegakan hukum.

C. Strategi Perkuliahan
Perkuliahan dilakukan melalui setrategi sebgai berikut:
1. Kuliah mimbar dan dialog/tanya jawab.
2. Diskusi kelompok dan diskusi kelas
3. Presentasi individu dan atau kelompok
4. Pemberian tugas individu dan kelompok
5. Ujian tengah semester dan ujian akhir semester
1. Penilaian
Penilaian dilakukan dengan ketetntuan sebgai berikut:
a. Mahasiswa yang kehadirannya kurang dari 75% dari keseluruhan perkuliahan
tidak dibenarnkan mengikuti ujian akhir, dan dengan sendirinya dianggap gagal.
b. Penetapan nilai dilakukan melalui dua jenis jenis pengukuran, yaitu penilaian
proses dan penilaian hasil dengan komposisi bobot sebagai berikut :

1. Tugas terstruktur 25%


2. Ujian Tengah Semester 25%
3. Ujian Akhir Semester 50%

Penentuan nilai akhir dihitung dengan rumus : Nilai Akhir = (a+b+c+(d x 2))/4
2. Tugas terstruktur
Penulisan tugas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Diketik pada kertas HVS ukuran kuarto sebanyak antara 6 – 10 halaman.
b. Dikerjakan secara berkelompok dengan jumlah tim 3 – 4 orang.
c. Diserahkan paling lambat satu minggu setelah Mid Tes.
d. Dipresentasikan di kelas
Sistematika tugas disusun sebagai beriku:
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
II. PEMBAHSAN (Sesuai topik yang dipilih)
A. …………
B. Dst (sesuai keperluan)
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran (jika dianggap perlu)
Judul tugas merupakan penjabaran dari topik yang telah ditentukan sebagai
berikut:
1. Kaedah-kaeadah Sosial dan Hukum
2. Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Hukum
3. Kelompok-kelompok Sosial dan Hukum
4. Lapisan-lapisan Sosial, Kekuasaan dan Hukum
5. Hukum Dan Masalah Penyelesaian Konflik
6. Hubungan Perubahan-perubahan Sosial dan Hukum
7. Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat
8. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan
9. Masalah penegakan hukum
10. Hukum dan kemiskinan
11. Hukum dan kejahatan
12. Hukum dan lingkungan hidup
13. Hukum dan birokrasi (pelayanan publik)
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

Pokok Bahasan 1
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEGUNAAN
SOSIOLOGI HUKUM

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK):


Setelah mengikuti kuliah ini anda akan dapat :
a. menjelaskan pengerian sosiologi hukum dan mampu membedakan ilmu hukum dengan
sosiologi hukum.
b. menjelaskan Ruanglingkup Sosiologi Hukum dan hubungan sosiologi hukum dengan ilmu
hukum.
c. Memberikan gambaran tentang paradigma sosiologi hukum.
d. Menjelaskan berbagai persoalan yang menjadi pusat perhatian dalam kajian sosiologi
hukum.
e. Menjelaskan kegunaan sosiologi hukum baik secara umum maupun Pada taraf organisasi
dalam masyarakat, taraf golongan dalam masyarakat dan taraf individual:

A. Pengertian Sosiologi Hukum


Menurut Soeryo Soekanto (1986:12), hukum mempunyai tiga dimensi, yaitu sebagai
nilai, kaedah dan perikelakuan. Oleh karena itu maka hukum dapat dilihat dan dikaji dari
berbagai sudut. Hukum sebagai nilai, maka dikaji oleh filasafat hukum dan politik hukum.
Hukum sebagai kaedah dipelajari oleh ilmu hukum. Sedangkan hukum sebagai perilaku
dipelajari oleh Sosilologi Hukum, antropologi hukum dan psikologi hukum.
Lebih lanjut menurut Soeryo Soekanto (1997:9-11), dengan metode sejarah,
ditelitilah perkembangan hukum dari awal sampai terjadinya himpunan kaidah-kaidah
hukum tertentu. Kemudian hukum tadi dibanding-bandingkan dengan hukum yang
berlaku di masyarakat-masyarakat lainnya, untuk mendapatkan persamaan dan
perbedaan. Itu semua, merupakan obyek penelitian dari sejarah hukum dan ilmu
perbandingan hukum. Ilmu hukum juga meneliti aspek-aspek yang tetap dari suatu
struktur hukum, aspek-aspek mana dapat dianggap sebagai inti atau dasar dari hukum.
Hal ini merupakan tugas dari teori hukum.
Hukum juga dapat ditelaah sebagai gejala kebudayaan. Ini merupakan
bidangnya Antropologi hukum, terutama sekali menelaah masyarakat-masyarakat
sederhana dan unsur-unsur tradisional dari masyarakat-masyarakat yang sedang
mengalami proses modernisasi. Dalam hal ini antropologi hukum mempelajari proses-
proses hukum terutama dengan meneliti sebab-sebab terjadinya sengketa, proses dan
penyelesaiannya.
Jika dilihat dati sudut pola-pola perikelakuan (hukum) warga-warga masyarakat.
Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola perikelakuan atau apakah hukum
yang terbentuk dari pola-pola perikelakuan tersebut. Di dalam hal yang pertama,
bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-
pola perikelakuan? Inilah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi
hukum. Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan
sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginan-keinginan kelompok-kelompok sosial.
Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak
pola-pola perikelakuan yang bersifat yuridis?

Pokok Bahasan 1 6
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu
hukum maupun antropologi hukum; akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi
adalah hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan
perubahan-perubahan sosial dan budaya. Untuk meneliti hal itu, diperlukan
pengetahuan yang cukup mengenai hukum sebagai suatu gejala sosial. Jadi, pada
dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam
masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang
hidup bersama dalam masyarakat.
Dari uraian diatas, maka dapat diberikan batasan bahwa sosiologi hukum adalah
suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dengan geja-gejala sosial lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:
11). Sosiologi hukum merupakan cabang dari sosiologi. Kendati demikian sosiologi hukum
memiliki persamaan dengan ilmu hukum, yaitu obyek kajiannya hukum. Bedanganya
dengan ilmu hukum adalah menyangkut sifat, tujuan dan metode. Ilmu hukum bersifat
preskriftif (apa yang seyogyanya). Sedangkan sosiologi hukum bersifat deskriftif. Tujuan
ilmu hukum untuk menemukan apa hukumnya terhadap masalah hukum yang dihadapi.
Sedangkan sosiologi hukum bertujuan menjelaskan dan memahami persoalan hukum
yang dihadapi. Metode ilmu hukum bersifat normatif sedangkan sosiologi hukum bersifat
empirik.

B. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum

Menyangkut ruang lingkup sosiologi hukum, semenjak . Anzilotti


mengemukakan istilah sosiologi hukum, timbul aneka macam argumen, yang
biasanya berkisar pada ruang lingkup sosiologi hukum dan perspektifnya hinggadibidang
penelitian. Diskusi-diskusi tersebut dewasa ini masih berlangsung terus, terutama
pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang (seperti Indonesia) dimana
kegunaan sosiologi cenderung belum melembaga dengan kuat. Sosiologi hukum
sebenarnya, merupakan ilmu tentang kenyataan humum yang ruanglingkupnya adalah
(Soerjono Soekanto, 1986: 15):
1. Dasar sosial dari hukum, atas dasar anggapan bahwa hukurn timbul serta tumbuh dari
proses-proses sosial lainnya ("the genetic sociology of law").
2.
Efek hukum terhadap gejala sosial lainnya dalam masyarakat ("the operational
sociology o f I a w ) .
Secara skematik, mengenai ruang lingkup sosiologi hukum
sebagaimana diungk apkan oleh Soerjono Soekanto tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:

Pokok Bahasan 1 7
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

Sosiologi
hukum

Dasar sosial dari hukum Efek hukum terhadap


Atas dasar anggarap bahwa Gejala-gejala sosial lainnya
Hukum tumbuh dari proses- Dalam masyarakat
Proses lainnya (The operational sosiology of law)
(Genetic sosiology of law)

Struktur Sosial dan hukum Proses Sosial dan hukum


10

Apabila yang dipersoalkan adalah perspektif


penelitiannya,maka dibedakan antara:
1. Sosiologi hukum teoritis yang bertujuan untuk menghasilkan generalisasi/abstraksi
setelah pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan - keteraturan
sosial dan pengembangan hipotesa-hipotesa.
2. Sosiologi hukum empires yang bertujuan untuk menquji ipotesa- hipotesa dengan
cara mempergunakan atau mengolah data yang dihimpun di dalam keadaan yang
dikendalikan secara sistematis dan metodologis.
Pembedaan tersebut diatas hingga kini masih tetap dipermasalahkan eksistensinya
antara pendukung-pendukung madzhab sosiologi neo-positivis atau analitis dengan pen-
dukung-pendukung madzhab sosiologi dialektis atau kritis. Fihak peartarna, beranggapan
bahwa sosiologi merupakan sarana ilmiah untuk menjelaskan gejala sosial.
Sebaliknya, fihak kedua tidak berhenti disitu saja; akan tetapi dianggapnya bahwa
tugas seterusnya adalah untuk mengadakan
evaluasi terhadap gejala social yang diteliti. Evaluasi atau kritik tersebut tak
dapat diuji secara empiris karena didasarkan pada sifat hakekat manusia dan
masyarakat. Bagi mereka analisa data empiris baru merupakan tahap awal, dari
kegiatan untuk menyusun teori.
C. Paradigma Sosiologi Hukum

Dari uraian tersebut diatas kiraffiya dapat ditarik kesimpulan, bahwa didalam
kerangka akademis, maka penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk
memungkinkan pembentukan teori hukuk yang bersifat sosiologis (Sosiological rechtstheorieen").
Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum menurut jalan fikiran yuridis-

Pokok Bahasan 1 8
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

tradisionil. Untuk memperjelas hal ini, mungkin ada baiknya untuk memberikan
uraian tentang disiplin hukum, sehingga kaitannya dengan ilmu-ilmu hukum menjadi
jelas (Soerjono Soekanto, 1986: 15-16)
Dari definisi sosiologi hukum sebagaimana disebutkan di muka, dapat diketahui
bahwa fokusnya adalah hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial
lainnya. Masalahnya adalah apakah yang diartikan dengan hukum dan apa pula arti
gejala sosial lainnya.
Mengenai pengertia hukum, sejak dahulu kala sudah ada pendapat-pendapat,
yang menyatakan bahwa tak akan mungkin merumuskan definisi hukum, karena ruang
lingkupnya sangat luas. Oleh karena itu, agar ada suatu pegangan, lebih baik dibuat
klasifikasi mengenai pengertian yang diberikan pada hukum. Artinya, bagaimanakah
masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum, terlepas dari apakah itu benar
atau keliru.
Perihal gejala-gejala sosial, maka ruang lingkupnya dapat dipergunakan
sistematika, sebagai berikut :
A. Struktur sosial yang merupakan keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang
pokok, yaitu :
1. Kelompok sosial
2. Kebudayaan
3. Lembaga-lembaga sosial
4. Stratifikasi
5. Kekuasaan dan wewenang.
B. Proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara pelbagai bidang kehidupan, yang
mencakup :
1. Interaksi sosial
2. Perubahan-perubahan sosial
3. Masalah-masalah sosial.
Atas dasar hal-hal tersebut diatas, maka dapat disusun suatu paradigma sosiologi
hukum yang ruang lingkupnya adalah pengaruh timbal-balik antara hukum dengan gejala-
gejala sosial lainnya. Secara visual gambarannya adalah sebagai berikut :

Gejala Sosial HUKUM Gejala Sosial


Lain Lain

Penjabaran daripada gambaran tersebut diatas dapat ditelaah pada sistematika,


sebagai berikut.

1. Kelompok-kelompok HUKUM
sosial.
2. Kebudayaan (terutama
nilai-nilai dan kaedah-kaedah HUKUM
lainnya.

Pokok Bahasan 1 9
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

3. Lembaga-lembaga Sosial HUKUM

4. Stratifikasi HUKUM

5. Kekuasaan dan Wewenang. HUKUM

6. Interaksi Sosial HUKUM

7. Perubahan-perubahan
HUKUM
sosial

8. Masalah sosial HUKUM

D. Beberapa Masalah yang Disoroti Sosiologi Hukum

Dengan bertitik tolak dari ruang lingkup sosiologi hukum sebagaiaman


disebutkan sebelumnya, maka beberapa persoalan yang pada umumnya selalu
mendapat sorotan dari para ahli sosiologi hukum adalah sebagai berikut (Soerjono
Soekanto, 1997-11-21):
1. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat,
Pada hakikatnya, Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat merupakan obyek yang
menyeluruh dari sosiologi hukum, oleh karena suatu sistem hukum merupakan
pencerminan daripada suatu Sistem sosial di mana sistem hukum tadi merupakan bagian-
nya. Akan tetapi persoalannya tidak semudah itu, oleh karena perlu diteliti dalam
keadaan-keadaan apa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial
mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan sampai sejauh
manakah proses pengaruh mempengaruhi tadi bersifat timbal-balik. Misalnya, apakah
sistem kewarisan dalam suatu masyarakat selalu mempengaruhi sistem hukum
kewarisannya. Kemudian timbul persoalan apakah dengan memperkenalkan dan
menerapkan suatu sistem hukum kewarisan yang baru, sistem kewarisan lama akan
dapat diubah.
2. Persamaan persamaan dan Perbedaan perbedaan Sistem sistem Hukum
Penelitian di bidang ini penting bagi suatu ilmu perbandingan serta untuk
dapat mengetahui apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal,
dan apakah perbedaan-perbedaan yang ada merupakan suatu penyimpangan dari
konsep-konsep yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat setempat memang
menghendakinya.
Penelitian perbandingan ini tidak perlu dilakukan dengan cara membanding-
bandingkan beberapa masyarakat yang berbeda, akan tetapi dapat pula diadakan

Pokok Bahasan 1 10
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

penelitian terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu masyarakat yang
terdiri dari pelbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumnya. Misalnya di
Indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem-sistem hukum
yang berlaku di pelbagai daerah dan yang didukung oleh suku-suku bangsa yang
berlainan.

3. Sifat Sistem Hukum yang Dualistis


Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, di satu pihak berisikan
ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta
memperkembangkan hak-haknya, mempertahankan hak-haknya, memperkembangkan
kesamaan derajat manusia, menjamin kesejahteraannya dan seterusnya. Akan tetapi
di lain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga -
warga masyarakat atau dapat dijadikan sarana oleh sebagian kecil warga-warga
masyarakat yang menamakan dirinya sebagai penguasa, untuk mempertahankan
kedudukan sosial politik-ekonominya yang lebih tinggi dari bagian terbesar warga-
warga masyarakat. Hukum dapat menjadi alat yang potensial bagi pemerintahan
yang bersifat tirani. Dengan demikian, maka sampai batas-batas tertentu, isi hukum
dapat ditafsirkan dari segi maksud penggunaan hukum tersebut.
4. Hukum dan Kekuasaan
Ditinjau dari sudut ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana dari elit yang
memegang kekuasaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk
mempertahakan kekuasaannya, atau untuk menambah serta mengembangkannya.
Secara sosiologis, elit tersebut merupakan golongan kecil dalam masyarakat yang
mempunyai kedudukan yang tinggi atau tertinggi dalam masyarakat, dan yang
biasanya berasal dari lapisan atas atau menengah atas. Baik-buruknya suatu
kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya,
baik-buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk
mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat
tersebut lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan
masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur. Akan
tetapi karena sifat-sifat dan hakikatnya, kekuasaan tersebut supaya dapat
bermanfaat, harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan batas-batasnya. Untuk itu
diperlukan hukum yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri yang hendak dipegang
dengan teguh.
Apabila kita berpegang pada pendapat bahwa elit dalam masyarakat yang
menyusun dan membentuk hukum, maka timbul pertanyaan sampai sejauh manakah
terdapat persesuaian pendirian antara elit tersebut dengan orang banyak mengenai
keadilan, kepastian hukum, kesadaran hukum, dan sebagainya? Hal ini juga
mempunyai hubungan yang erat dengan gejala bahwa secara relatif, apabila orang -
orang dari lapisan atas masyarakat melanggar suatu kaidah hukum, jarang sekali
dilakukan tindak terhadap mereka. Dengan diadakannya penelitian terhadap gejala-

Pokok Bahasan 1 11
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

gejala di atas, sedikit banyaknya dapat ditelaah sampai sejauh manakah prinsip
negara hukum dapat terwujud dan terlaksana dalam praktek.
5. Hukum dan Nilai-nilai Sosial-Budaya
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu masyarakat, dan bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang pada suatu saat
berlaku dalam masyarakat. Misalnya, Hukum Waris daerah Tapanuli menentukan
bahwa seorang janda bukanlah merupakan ahli waris bagi suaminya, oleh karena janda
dianggap sebagai orang luar (keluarga suaminya). Garis hukum semacam itu,
merupakan pencerminan dari nilai-nilai sosial-budaya dari suatu masyarakat, yang
patrilineal.
Orang-orang yang pernah belajar dan mengetahui apa yang dinamakan hukum,
pada umumnya berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa untuk mewujudkan nilai-nilai
sosial yang dicita-citakan oleh masyarakat, diperlukan kaidah-kaidah (hukum)
sebagai alatnya. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum dengan nilai-
nilai sosial-budaya masyarakat Indonesia, perlu ditinjau sejenak alam pikiran bangsa
Indonesia yang untuk sebagian besar masih tinggal dan hidup di daerah pedesaan. Orang
Indonesia, merasa dirinya sebagai bagian dari alam sekitarnya dan di dalam segala
tingkah-lakunya: Untuk mencapai kebahagiaan hidup, seseorang harus menyesuaikan
diri dengan tata cara sebagaimana telah ditetapkan oleh alam sekitarnya. Suatu
perbuatan yang melanggar diartikan; oleh karena itu sanksi-sanksi atas pelanggaran-
pelanggaran demikian ditujukan untuk memperbaiki kembali keseimbangan alam (alam
pikiran kosmis).
Peraturan-peraturan mengenai tingkah-laku manusia, dapat diketahui dari
pitutur orang-orang tua yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Dengan adanya pandangan yang demikian, maka tak dapat
dihindarkan bahwa hukum (adat) dalam bidang-bidang tertentu mempunyai
kecenderungan untuk mempertahankan status-quo, tanpa begitu memperhatikan hal-
hal baru yang menghendaki penilaian baru pula (Soerjono Soekanto: 1970).
Disamping pandangan hidup yang bersifat kosmis tersebut di atas, dikenal pula
bentuk kerukunan dalam pergaulan hidup antar manusia. Bentuk kerukunan itu
berpengaruh pula dalam bidang hukum, misalnya apabila terjadi suatu sengketa, maka
penyelesaiannya ditujukan pada kerukunan dari para pihak yang berselisih, yang
membawa pada suatu kompromi. Dalam pergaulan hidup, segi kerukunan jelas
memperlihatkan segi-segi yang baik, akan tetapi hal ini dapat menyebabkan sulit
tercapainya suatu kepastian hukum (Daniel S. Lev, 1972).
6. Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Kepastian Hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok daripada
hukum. Walaupun demikian, seringkali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan
sekaligus secara merata. Hal ini misalnya ditegaskan pula oleh seorang tokoh sosiologi,
yaitu Max Weber yang membedakan substantive rationality dari formal rationality (Max

Pokok Bahasan 1 12
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

Rheeinstein(ed) 1954: Bab XI). Dikatakannya bahwa sistem Hukum Barat mempunyai
kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusun-
an secara sistematis dari ketentuan-ketentuan semacam itu seringkali bertentangan
dengan aspek-aspek dari substantive rationality, yaitu kesebandingan bagi warga-
warga masyarakat secara individual. Dilema tersebut di atas merupakan tema yang
menarik bagi penelitian sosiologi hukum, misalnya dalam meneliti kemungkinan-
kemungkinan untuk membentuk sistem hukum yang memberikan derajat dan
kesempatan yang sama bagi para warga masyarakat dalam melakukan tindakan-
tindakan hukum atau pembentukan suatu sistem hukum yang langgeng, akan tetapi
cukup terbuka bagi perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi dalam
masyarakat.

7. Peranan Hukum Sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat

Setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-


perubahan. Di dalam proses perubahan tersebut, biasanya ada suatu kekuatan yang
menjadi pelopor perubahan atau agent of change. Kita mengenal pelbagai kelompok
sosial sebagai agent of change, misalnya pemerintah, sekolah-sekolah, organisasi-
organisasi politik, para cendekiawan, petani, dan lain sebagainya. Bagaimanakah dengan
hukum? Sampai sejauh manakah peranan hukum dalam mengubah masyarakat? Ini
merupakan pertanyaan yang penting, mengingat bahwa masyarakat Indonesia sedang
mengalami pembangunan dan perubahan. Pembangunan mengandung aspek dinamika,
padahal banyak yang berpendapat bahwa hukum bersifat mempertahankan status-quo.
Bukankah hal ini merupakan dua hal yang berlawanan? Sebenarnya tidaklah mudah
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, sebelum diadakan penelitian
terhadap pelbagai lembaga hukum, proses berjalannya hukum, efeknya terhadap
masyarakat dan lain-lain persoalan yang ada hubungannya dengan itu. Untuk
memberikan sedikit gambaran mengenai masalah itu, akan dikemukakan beberapa
persoalan sebagai berikut:
a. Pengadilan
Di sini tidaklah ingin dikecilkan peranan daripada struktur pengadilan, komposisi
para hakim, jalannya sidang, biaya yang diperlukan, dan lain sebagainya; itu
merupakan hal-hal yang sangat penting untuk diselidiki dengan saksama. Akan tetapi
di sini akan disinggung suatu aspek lain dari pengadilan, yaitu mengenai keputusan
yang diberikan oleh pengadilan. Banyak sekaIi aspek-aspek keputusan pengadilan yang
belum mendapat penelitian hal mana sebenarnya akan berguna bagi perkembangan
hukum di Indonesia serta proses peradilan pada khususnya. Dalam penelitian ini, ilmu
hukum tak akan mungkin melakukannya sendiri; ilmu hukum harus meminta bantuan
kepada sosiologi, ilmu politik, psikologi dan sampai batas-batas tertentu juga ilmu
ekonomi dan antropologi. Sebagai contoh, dapat diketengahkan faktor-faktor apakah
yang mempengaruhi seorang hakim dalam memberikan keputusan atau di dalam
menemukan hukum. Suasana politik sedikit banyak mempunyai pengaruh, status
ekonomi pun mempunyai pengaruh-pengaruh tertentu, di samping unsur-unsur atau

Pokok Bahasan 1 13
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

keadaan psikologis yang sedang dialami. Belum lagi tentang status terdakwa secara
sosial-ekonomi politis dan juga pengaruh mass media terhadap jalannya peradilan.
Di lain pihak dapat pula dikemukakan masalah efek sosial daripada suatu
keputusan pengadilan. Misalnya, sampai sejauh manakah keputusan-keputusan
pengadilan mengenai pelanggaran lalu lintas mengurangi pelanggaran-pelanggaran lalu
lintas. Atau misal lain adalah, sampai sejauh manakah keputusan-keputusan mengenai
perkara-perkara cek kosong dapat membatasi pelanggaran tersebut, dan banyak
contoh-contoh lainnya yang dapat diambil dari kehidupan sehari-hari.
Suatu penelitian yang juga akan sangat berguna, adalah penelitian terhadap
peranan hakim dalam mengubah masyarakat melalui keputusan-keputusannya. Hukum
positif tertulis tak akan selalu dapat mengikuti perubahan atau mengubah masyarakat,
karena sifatnya yang relatif kaku. Oleh karena itu, maka peranan hakim adalah penting,
untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada hukum positif tertulis dalam
konteks perubahan masyarakat.
b. Efek Suatu Peraturan Perundang-undangan dalam Masyarakat
Suatu penelitian terhadap efek suatu peraturan perundang-undangan di dalam
masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah hukum tersebut
benar-benar berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan
baik, belum cukup apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis/ideologis
dan yuridis saja; secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukanlah
berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada
gejala-gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup. Peraturan perundang-undangan
tersebut harus diberi waktu agar meresap dalam diri warga-warga masyarakat. Apabila
sering terjadi pelanggaran-pelanggaran (tertentu) terhadap suatu peraturan perundang-
undangan, maka hal itu belum tentu berarti bahwa peraturan tersebut secara sosiologis
tidak berlaku di dalam masyarakat. Mungkin para pelaksana peraturan tadi kurang tegas
dan kurang bertanggung jawab di dalam pekerjaannya; ini perlu diperhitungkan
dalam menilai apakah suatu peraturan itu baik atau kurang baik.
c. Tertinggalnya Hukum di Belakang Perubahan-perubahan Sosial dalam
Masyarakat
Dalam setiap masyarakat akan dijumpai suatu perbedaan antara pola-pola
perikelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perikelakuan yang
dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum. Adalah suatu keadaan yang tak dapat dihindari
bahwa kadang-kadang timbul suatu ketegangan sebagai akibat perbedaan-perbedaan
tersebut di atas. Mengapa hal itu sampai terjadi? Adalah suatu keadaan yang lazim
bahwa kaidah-kaidah hukum di susun dan direncanakan oleh sebagian kecil dari masya-
rakat yang menamakan dirinya sebagai elit masyarakat tersebut, yang mungkin berbeda
kepentingan-kepentingannya dan pola-pola perikelakuannya lagi pula, suatu kaidah
hukum berisikan patokan perilaku yang diharapkan. Sudah tidak asing lagi bagi kita,
betapa banyaknya perundang-undangan pada zaman kolonial dulu misalnya, yang tidak
kena pada sasarannya. Dengan demikian, maka tidakl ah terlalu mengherankan
mengapa hukum kadang-kadang tidak berhasil mengusahakan atau bahkan

Pokok Bahasan 1 14
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

"memaksakan" agar para warga masyarakat menyesuaikan tingkah- lakunya pada hukum
yang telah diperlakukan. Apakah hal ini berarti bahwa hukum selalu tertinggal di
belakang perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat? (William F.
Ogburn 1966:200). Hukum tertinggal, apabila hukum tersebut tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Misalnya, dengan
berkembangnya teknologi di bidang tenaga nuklir untuk maksud-maksud damai,
hukum (internasional publik, misalnya) mungkin tertinggal. Hal ini pun menyangkut
Indonesia yang dalam batas-batas tertentu telah mempergunakan dan
memperkembangkan teknologi nuklir tersebut.
d. Difusi Hukum dan Pelembagaannya
Suatu penelitian yang akan menarik sekali adalah mengenai bagaimana warga-
warga masyarakat mengetahui hukum yang berlaku serta bagaimana Hukum
mempengaruhi tingkah laku mereka setelah hal itu diketahuinya. Dari penelitian
semacam itu dapat pula diketahui sampai sejauh manakah hukum mengalami proses
pelembagaan atau proses institutionalization dalam diri warga-warga masyarakat atau
bahkan tertanam dalam jiwa mereka (internalized). Apabila hal itu tercapai, maka
hukum semakin efektif.
e. Hubungan antara Para Penegak atau Pelaksana Hukum
Di Indonesia ini dikenal beberapa penegak atau pelaksana hukum, seperti
misalnya hakim, jaksa, polisi dan lain sebagainya yang masing-masing mempunyai fungsi-
fungsinya sendiri. Penelitian mengenai kedudukan pelaksana-pelaksana hukum tersebut
belum banyak dilakukan di Indonesia. Yang dimaksudkan di sini adalah suatu penelitian
bukan dari segi perundang-undangan semata-mata yang secara yuridis menentukan
kedudukan para pejabat tersebut di dalam masyarakat, akan tetapi juga dari sudut lain,
misalnya dari sudut perkembangan sosial dan politik. Penelitian semacam ini akan lebih
banyak menghasilkan gambaran yang nyata dari kedudukan masing-masing pelaksana
hukum tersebut.

f. Masalah Keadilan
Suatu penelitian terhadap masalah keadilan akan menarik sekali, oleh karena
adanya beberapa asas keadilan. Kadang\kadang keadilan didasarkan pada asas
kesamarataan, di mana setiap orang mendapat bagian yang sama. Adakalanya keadilan
didasarkan pada kebutuhan, sehingga` menghasilkan kesebandingan hal mana biasanya.
diterapkan di bidang hukum. Tidak jarang dipergunakan asas kualifikasi untuk mengukur
keadilan, serta juga asas obyektif yang ,melihat dari sudut prestasi seseorang. Asas
subyektif juga lazim )diterapkan, apabila yang dipermasalahkan adalah ketekunan untuk
mencapai sesuatu, tanpa melihat hasilnya.
Adalah penting sekali untuk meneliti, asas apa yang lazim diterapkan di bidang
hukum, walaupun ada kecenderungan untuk mencapai kesebandingan. Dengan demikian
akan dapat diketahui batas-batas keserasian antara tugas-tugas hukum untuk menegakkan
kepastian hukum untuk mencapai ketertiban, dan kesebandingan untuk mencapai
ketenteraman.

Pokok Bahasan 1 15
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

E. Kegunaan Sosiologi Hukum

Dengan berpedoman pada persoalan-persoalan yang disoroti sosiologi hukum, maka


dapatlah dikatakan, bahwa sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hu-
kum, dan sebaliknya. Perihal perspektif daripada sosiologi hukum, maka secara umum
ada dua pendapat utama, sebagai berikut (J van Houtte 1970:57).
1. Pendapat-pendapat yang menyatakan, bahwa kepada sosiologi hukum hams
diberikan suatu fungsi yang global. Arti nya, sosiologi hukum hams menghasilkan
suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan sebagai sarana dari
keadilan. Di dalam fungsinya itu, maka hukum dapat memperoleh bantuan yang
tidak kecil dari sosiologi hukum, di dalam mengidentifikasikan konteks sosial di mana
hukum tadi diharapkan berfungsi.
2. Pendapat-pendapat lam menyatakan, bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru
dalam bidang penerangan dan pengkaidahan (J van Houtte 1970: 59).
Perihal proses pengkaidahan, maka sosiologi hukum dapat mengungkapkan data
tentang keajegan-keajegan mana di dalam masyarakat, yang menuju pada
pembentukan hukum (baik melalui keputusan penguasa maupun melalui ketetapan
bersama dari para warga masyarakat, terutama yang menyangkut hukum fakultatif).
Dari batasan, ruang lingkup maupun perspektif sosiologi hukum sebagaimana
dijelaskan di atas, maka dapatlah dikatakan, bahwa kegunaan sosiologi hukum di dalam
kenyataannya adalah sebagai berikut:
1. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi
pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.
2. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-
kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam
masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masya-
rakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan
sosial tertentu.
3. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk
mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Kegunaan-kegunaan umum tersebut di atas, secara terinci dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Pada taraf organisasi dalam masyarakat:
a. Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang
mempengaruhi perencanaan, pembentukan dan penegakan hukum.
b. Dapat diidentifikasikannya unsur-unsur kebudayaan manakah yang mempengaruhi
isi atau substansi hukum.
c. Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam pembentukan
hukum dan penegakannya.
2. Pada taraf golongan dalam masyarakat:
a. Pengungkapan daripada golongan-golongan manakah yang sangat menentukan di
dalam pembentukan dan penerapan hukum.
Pokok Bahasan 1 16
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

b. Golongan-golongan manakah di dalam masyarakat yang beruntung atau sebaliknya


malahan dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
c. Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat.
3. Pada taraf individual:
a. Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan
warga-warga masyarakat.
b. Kekuatan, kemampuan dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam
melaksanakan fungsinya.
c. Kepatuhan daripada warga-warga masyarakat terhadap hukum, baik yang
berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak-hak,
maupun perilaku yang teratur. (Soerjono Soekanto, 1997-21-23).

RANGKUMAN
1. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum, dapat dipandang sebagai
suatu alat dari ilmu hukum di dalam meneliti obyeknya dan untuk pelaksanaan proses
hukum.
2. sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan geja-gejala sosial lainnya.
3. Ruang lingkup sosiologi hukum menyangkut 1) dasar sosial dari hukum, atas dasar anggarap
bahwa Hukum tumbuh dari proses-Proses lainnya (Genetic sosiology of law), 2) Efek hukum
terhadap Gejala-gejala sosial lainnya Dalam masyarakat (The operational sosiology of law).
4. Gejala-gejala sosial, terdiri dari pertama, Struktur sosial yang merupakan keseluruhan
jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu :1. Kelompok sosial, 2. Kebudayaan, 3.
Lembaga-lembaga sosial, 4. Stratifikasi, dan 5. Kekuasaan dan wewenang. Kedua,
Proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara pelbagai bidang kehidupan, yang
mencakup : 1. Interaksi sosial, 2. Perubahan-perubahan sosial, dan 3. Masalah-masalah
sosial.
5. Beberapa persoalan yang disoroti oleh sosiologi hukum antara lain:
a. Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat,
b. Persamaan persamaan dan Perbedaan perbedaan Sistem sistem Hukum
c. Sifat Sistem Hukum yang Dualistis
d. Hukum dan Kekuasaan
e. Hukum dan Nilai-nilai Sosial-Budaya
f. Kepastian Hukum dan Kesebandingan
g. Peranan Hukum Sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat:
1) Pengadilan
2) Efek Suatu Peraturan Perundang-undangan dalam Masyarakat
3) Tertinggalnya Hukum di Belakang Perubahan-perubahan Sosial dalam Masyarakat
4) Difusi Hukum dan Pelembagaannya
5) Hubungan antara Para Penegak atau Pelaksana Hukum
6) Masalah Keadilan
6. Sosiologi hukum berguna untuk: 1) memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman
terhadap hukum di dalam konteks sosial, 2) memberi kemampuan untuk mengadakan
analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian
sosial, sarana untuk mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar
mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu, 3) meberi kemampuan untuk mengadakan
evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.

Pokok Bahasan 1 17
Pengertian, Ruang Lingkup Dan Kegunaan Sosiologi Hukum

DAFTAR PERTANYAAN :
1. Jelaskan pengerian sosiologi hukum dan jelaskan pula persamaan dan perbedaan sosiologi
hukum dengan ilmu hukum.
2. Jelaskan Ruanglingkup Sosiologi Hukum dan hubungan sosiologi hukum dengan ilmu hukum.
3. Berikan gambaran tentang paradigma sosiologi hukum.
4. Jelaskan berbagai persoalan yang menjadi pusat perhatian dalam kajian sosiologi hukum.
5. Jelaskan kegunaan sosiologi hukum baik secara umum maupun Pada taraf rganisasi dalam
masyarakat, taraf golongan dalam masyarakat dan taraf individual.

DAFTAR PUSTAKA:
Soerjono Soekanto. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni, Bandung, 1986. (BAB I dan II B).
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada, Jakarta1997. (BAB
II)

Pokok Bahasan 1 18
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum

Pokok Bahasan 2
SEJARAH P E R K E M B A N G A N SOSIOLOGI HUKUM

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK):


Setelah mengikuti kuliah ini anda akan dapat :
a. menceritakan sejarah lahir dan berkembanganya sosiologi hukum.
b. Menjelaskan masukan (input) yang diberikan oleh ilmu hukum dan filsafat hukum dalam
terbentuknya sosiologi hukum.
c. menjelaskan pokok-pokok pikiran dari ahli filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi
yang mempengaruhi perkemabangan Sosiologi Hukum.

A. Pengantar.

Dari sudut sejarah, istilah sosiologi hukum untuk p ertama kalinya


diperkenalkan oleh seorang Itali yang bernama Anzilotti pada ahun 1882.
Dari sudut perkembang annya terbentuknya ilmu tersebut dapat dinyatakan, bahwa
sosiologi pada hakekatnya lahir dari hasil pem i k i r a n pa r a a h l i , ba i k da r i bi da n g
f i l s a f a t h u k u m , i l m u h u k um maupun sosiologi. Hasil pemikiran tersebut mewakili
kelompok disiplin filsafat, ilmu hukum maupun disiplin nomotetis. Oleh karena itu,
sosiologi hukum merupakan refleksi dari inti pemikiran disiplin-disiplin tersebut.
Betapa besarnya pengaruh filsafat hukum dan ilmu-ilmu hukum masih
terasa hingga dewasa ini, dan hal tersebut nyata sekali dari masukan ("input") yang
diberikan oleh pelbagai aliran atau madzhab. Faktor-faktor penting yang
merupakan masukan dari aliran-aliran atau madzhab-madzhab tersebut, adalah
misalnya :
ALIRAN/MADZHAB. FAKTOR-FAKTOR YANG RELEVAN.
1. Aliran Hukum Alam: 1. Hukum dan moral
(Aristoteles, Aquinas, 2. Kepastian hukum dan kea d i l a n yang
Grotnis) d i a n g g a p s e b a gai tujuan dan syarat utama dari
hukum.
2. Madzhab Formalisms: 1. Logika hukum
2. Fungsi keajegan dari hukum
3. Peranan formil dari penegak/petugas/pejabat hukum
4. Madzhab sejarah dan 1. Kerangka kebudayaan dari hukum;
kebudayaan 2. hubungan antara hukum dengan sistim nilai-nilai.
(van Savigny, -Maine): 3. Hukum dan perubahan-perubahan sosial.

4. Aliran Utilitarianism 1. Konsekwensi - konsekwensi ,sosial dari hukum


(Bentham, Ihering, 2. Penggunaan yang tidak wajar dari pembentukan
Ehrlich dan Pound). undang-undang.
3. Klasifikasi tujuan dan kepentingan warga dan masya-
rakat, Beserta tujuan-tujuan sosial.

5. Sociological Jurisprudence 1. Hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial.


dan Legal Realism 2. Faktor politik dan kepentingan dalam hukum.
3. Stratifikasi sosial dan hu-
(Ehrlich, Pound, Holmes kum.
Llewellyn, Frank). 4. Hubungan antara hukum tertulis/resmi dengan kenyataan
hukum / hukum yang hidup.
5. Hukum dan kebijaksanaan umum.
6. Segi perikemanusiaan dari hukum.

Pokok Bahasan 2 19
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum

7. Studi tentang keputusan pengadilan dan pola perike-


lakuan (hakim).

B. Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum.

1. Pengaruh dari filsafat hukum.

Dimuka telah dijelaskan bahwa perkembangan sosiologi hukum tak mungkin


dilepaskan dari pengaruh filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi. Filsafat hukum,
dalam hal ini para ahli filsafat hukum, se benarnya merupakan pembuka jalan
terbentuknya dan perkembangan selanjutnya dari sosiologi hukum. Pertama-tama perlu
disebut nama-nama Pound, Cardozo dan Holmes dari aliran sociological
jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Kemudian
perlu dicatat nama Ehrlich dari Jerman yang terkenal dengan teori "lebende
Recht" juga pada awal abad ke-20. Lundstedt, Olivecrone dan Hagerstrom
merupakan tokoh-tokoh aliran Realisme Hukum yang berkembang sebelum dan sesudah
Perang Dunia kedua. Ahli filsafat hukum Rusia Petrazycki dengan ajaran-ajarannya
sangat berpengaruh terhadap perkembangan Sosiologi Hukum di Eropa (murid-muridnya
adalah, antara lain, Timasheff, Gurvitch dan Sorokin).
Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk
menetralisasikan atau merelatifkan dogmatik hukum, oleh karena tekanan lebih banyak
diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum ("law in action"). Pound, misalnya
berpendapat bahwa hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim / pengadilan. Pound
mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan
membina masyarakat. Untuk memenuhi fungsinya tersebut, maka sorotan yang
terlalu besar pada aspek static dari hukum harus ditinggalkan. Cardozo kemudian
berpendapat, bahwa hukum bukanlah merupakan penterapan murni dari peraturan
perundang-undangan. Terhadap hukum berpengaruh pula kepentingan-kepentingan
sosial yang hidup dalam masyarakat. Fungsi sosiologi hukum adalah untuk menguji
apa hukum dan peraturan perundang- benar-benar berfungsi dalam masyarakat.

2. Ilmu hukum : Hans Kelsen.


Kelsen terkenal dengan ajarannya yang dinamakan ajaran murni tentang hukum
(The Pure Theory of Law) dimana Kalsen mengakui bahwa hukum di pengaruhi oleh
faktor-faktor politisi sosiologis, filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah
suatu teori yang murni tentang hukum yang "dibersihkan" dari segala faktor yang
mempengaruhinya. Oleh karena itu Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai
kaedah; hukum sebagai perikelakuan yang ajeg merupakan obyek sosiologi hukum
yang baginya bukan merupakan ilmu hukum.
Menurut Kelsen setiap data hukum merupakan suatu susunan daripada
kaedah-kaedah ("stufnenbau"). Dipuncak "stufenbau" tersebut terdapat "grudnorm"
atau kaedah dasar dari suatu tata kaedah hukum nasional yang bukan
merupakan suatu kaedah hukum positif yang dibentuk oleh suatu tindakan legislatif

Pokok Bahasan 2 20
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum

manapun, akan tetapi hanyalah merupakan hasil analisa pemikiran yuridis (jadi,
hanya dipostulasikan oleh fikiran manusia). Kaedah dasar tersebut merupakan
dasar dari segala pandangan menilai yang bersifat yuridis yang memungkinkan
dalam kerangka tata kaedah hukum suatu negara. Kelsen kemudian menghubungkan
hal "stufenbau" dan kaedah dasar dengan suatu negara tertentu; kesimpulannya
adalah, bahwa isi perumusan kaedah dasar negara yang satu boleh berbeda
dengan negara lain, halmana tergantung dari sifat masing-masing negara.
Teori "stufenbau" dari Kelsen sebenarnya berisi- kan hal-hal, sebagai berikut :
1. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistim kaedah. kaedah hukum secara
hierarkhis.
2. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat
terbawah keatas, adalah:
a. Kaedah-kaedah individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama
pengadilan.
b. Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan.
c. Kaedah-kaedah daripada konstitusi.
Ketiga macam kaedah tersebut merupakan kaedah kaedah hukum positif;
diatas konstitusi adalah tempatnya kaedah dasar (hipotetis) yang lebih
tinggi dan bukan merupakan kaedah hukum positif, akan tetapi merupakan
kaedah yang dihasilkan oleh pemikiran yuridis.
3. Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau
ditentukan oleh kaedahkaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih
tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sosiologi hukum adalah bahwa
perbedaan hukum dengan kebiasaan (belaka) terletak pada unsur kekuasaan
resmi, yang dapat memaksakan berlakunya hukum tersebut. Selain daripada itu,
hingga kini ada kecenderungan kuat dalam penterapan hukum, untuk
mempertahankan prinsip dan pola yang telah ada dalam sistim hukum.

3. Sosiologi: pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber


Didalam menguraikan teoti-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh
perhatian yang besar terhadap kaedah hukum yang dihubungkannya sebagai jenis-
jenis solidaritas dalam masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai kaedah yang
bersanksi, dimana berat-ringannya sanksi tergantung pada;
a. sifat pelanggaran,
b. anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baikburuknya perikelakuan-
perikelakukan tertentu.
c. peranan sanksi tersebut dalam masyarakat.
Sejalan dengan itu, maka kaedah-kaedah hukum yang ada
diklasifikasikannya kedalam dua macam kaedah hukum, yang didasarkan pada
jenis-jenis sanksi, yaitu kaedah hukum repressif dan restitutif. Didalam masya-

Pokok Bahasan 2 21
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum

rakat dapat dijumpai kaedah-kaedah hukum yang sanksinya mendatangkan


penderitaan bagi pelanggarnya. Sanksi kaedah-kaedah tersebut menyangkut hari
depan dan kehormatan warga masyarakat; bahkan apabila sanksi tersebut.
dikenakan pada diri seseorang, maka kemerdekaan nya dirampas. Kaedah itu
merupakan kaedah hukum repressif, yang merupakan hukum pidana.
Selain daripada itu terdapat sanksi yang tujuan utamanya adalah pemulihan
keadaan (seperti keadaan sebelum terjadinya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah
yang mungkin menyebabkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat). Kaedah
dengan sanksi semacam itu merupakan kaedah hukum restitutif, yang antara
lain mencakup hukum perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum
administrasi, dan sebagainya, setelah dikurangi unsur-unsur pidana yang terdapat
didalamnya. Menurut Durkheim, maka setiap kaedah hukum mempunyai tujuan
berganda, yakni :
a. menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban.
b. menetapkan dan merumuskan sanksi-sanksi.
Didalam hukum perdata (dan hukum restitutif lain nya), kedua tujuan
tersebut dirumuskan secara terpisah dengan tekanan pads perumusan kewajiban-
kewajiban. Pada hukum pidana hanya dirumuskan sanksi -sanksinya, oleh karena
dianggap bahwa dalam bidang itu warga-warga masyarakat telah mengetahui
kewajibankewajibannya.
Jenis-jenis kaedah hukum tersebut kemudian dikaitkan dengan bentuk-bentuk
solidaritas, yang menjadi ciri mas y arakat-masyarakat tertentu. Titik tolaknya
adalah bentuk solidaritas, oleh karena jenis kaedah hukum merupakan akibat dari
bentuk-bentuk solidaritas tertentu. Adapun bentuk-bentuk solidaritas tersebut, adalah:
1. solidaritas mekanis yang terutama terdapat pads masyarakat sederhana
yang relatif masih homogin struktur sosial dan kebudayaannya. Pada
bentuk solidaritas ini, seorang warga masyarakat tergantung pada
kelompoknya dan keutuhan masyarakat ter jamin oleh hubungan antar
manusia yang erat dan karena adanya tujuan bersama. Pada masyarakat
dengan solidaritas mekanis, hukumnya yang pokok adalah hukum pidana
dengan sanksi repressif. Hal ini disebabkan, oleh karena :
a. pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang mencemaskan
keyakinan bersama.
b. masing-masing warga masyarakat merasa dirinya terancam oleh penyimpangan
tersebut.
c. reaksi negatif terhadap pennyimpangan tsb. memperkuat solidaritas
masyarakat.
2. solidaritas organik yang ditandai, antara lain, oleh adanya pembagian kerja
dalam masyarakat, yang biasanya dijumpai pads masyarakat yang komplek
dan heterogin struktur sosial dan kebudayaa nnya. Pada bentuk solidaritas
ini yang berlaku adalah hukum dengan sanksi restitutif, oleh karena yang

Pokok Bahasan 2 22
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum

lebih penting adalah mengembalikan kedudukan seseorang yang dirugikan.


Teori Durkheim tersebut terutama mengetengah kan hal-hal sebagai berikut.
1. Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu
masyarakat.
2. Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun
untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Dari ajaran-ajaran yang luas dari Max Weber, maka Yang menarik adalah
tipe tipe ideal dari hukum yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan ,
yaitu :
1. Hukum irrasionil dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim
mendasarkan keputusankeputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosionil tanpa
mengacu pada suatu kaedah hukum.

2. Hukum irrasionil dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim


berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan --
ramalan.
3. Hukum rasional dan materiel dimana keputusan para pembentuk undang-
undang dan hakim didasarkan pada kitab suci; ideologi atau kebijaksanaan
penguasa.
4. Hukum rasionil dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari
ilmu hukum. (Soerjono Soekanto, 1986: 13-22)
RANGKUMAN
1. I s ti l ah s os i ol ogi hukum untuk pertama kal i nya di perkenalkan ol eh s eorang
I tali yang bernama Anzi lotti pada ahun 1882. Dari s udut perkembang annya
terbentuknya ilmu tersebut dapat dinyatakan, bahwa sosiologi pada hakekatnya lahir dari
hasil pem i k i r a n p a r a a h l i , b a i k d a r i b i d a n g f i l s a f a t h u k u m , i l m u h u k um
maupun sosiologi.
2. Faktor-faktor penting yang merupakan masukan dari aliran-aliran filsafat dan ilmu
hukum adalah sebagai berikut:
a. Pada Aliran Hukum Alam, hal yang relevan adalah: 1) Hukum dan moral; 2)
Kepastian hukum dan kea d i l a n y a n g d i a n g g a p s e b a gai tujuan dan
syarat utama dari hukum.
b. Pada Madzhab Formalisms hal yang relevan adalah: 1) Logika hukum; 2) Fungsi
keajegan dari hukum; 3) Peranan formil dari penegak/petugas/pejabat hukum
c. Pada Madzhab Kebudayaan hal yang relevan adalah: 1) Kerangka kebudayaan dari
hukum; 2) hubungan antara hukum dengan sistim nilai-nilai; 3) Hukum dan
perubahan-perubahan sosial.
d. Pada Aliran Utilitarianism hal yang relevan adalah: 1) Konsekwensi - konsekwensi
, sosial dari hukum; 2) Penggunaan yang tidak wajar dari pembentukan undang-
undang; 3) Klasifikasi tujuan dan kepentingan warga dan masyarakat, Beserta
tujuan-tujuan sosial.
e. Aliran Jurisprudence dan Legal Realism hal yang relevan adalah, 1) Hukum sebagai
mekanisme pengendalian sosial, 2) Faktor politik dan kepentingan dalam hukum, 3)
Stratifikasi sosial dan hukum. 4) Hubungan antara hukum tertulis/resmi dengan kenya-

Pokok Bahasan 2 23
Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum

taan hukum / hukum yang hidup, 5) Hukum dan kebijaksanaan umum, 6) Segi
perikemanusiaan dari hukum, 7) Studi tentang keputusan pengadilan dan pola
perikelakuan (hakim).
3. Pengaruh yang khas dari filsafat hukum terlihat jelas pada kegiatan untuk
menetralisasikan atau merelatifkan dogmatik hukum, oleh karena tekanan lebih banyak
diletakkan pada beraksinya atau berprosesnya hukum ("law in action"). Menurut Pound,
hukum adalah suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan per-
undang-undangan dan keputusan hakim / pengadilan. Menurut Cardozo kemudian
berpendapat, bahwa hukum bukanlah merupakan penterapan murni dari peraturan
perundang-undangan. Terhadap hukum berpengaruh pula kepentingan-kepentingan sosial
yang hidup dalam masyarakat.
4. Pengaruh dari ilmu hukum terlihat dari pendapat Kelsen yang terkenal dengan
ajarannya yang dinamakan ajaran murni tentang hukum (The Pure Theory of Law) dimana
Kalsen mengakui bahwa hukum di pengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologis,
filosofis, dan seterusnya. Yang diingininya adalah suatu teori yang murni tentang
hukum yang "dibersihkan" dari segala faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu
Kelsen hanya mau melihat hukum sebagai kaedah; hukum sebagai perikelakuan
yang ajeg merupakan obyek sosiologi hukum yang baginya bukan merupakan ilmu
hukum.
5. Pengaruh dari sosiologi terbukti dari Teori Durkheim yang terutama mengetengah-
kan hal-hal sebagai berikut.
a. Hukum merupakan gejala yang tergantung pada struktur sosial suatu
masyarakat.
b. Hukum merupakan sarana untuk mempertahankan keutuhan masyarakat, maupun
untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat.
Max Weber, menajarkan tentang tipe tipe ideal dari hukum yang sekaligus
menunjukkan suatu perkembangan , yaitu :
a. Hukum irrasionil dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim
mendasarkan keputusankeputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosionil tanpa
mengacu pada suatu kaedah hukum.
b. Hukum irrasionil dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim
berpedoman pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan --
ramalan.
c. Hukum rasional dan materiel dimana keputusan para pembentuk undang-
undang dan hakim didasarkan pada kitab suci; ideologi atau kebijaksanaan
penguasa.
d. Hukum rasionil dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari
ilmu hukum.

DAFTAR PERTANYAAN
1. Ceritakan secara singkat sejarah lahir dan berkembanganya sosiologi hukum!
2. Jelaskan masukan (input) penting apa yang diberikan oleh ilmu hukum dan filsafat hukum
dalam terbentuknya sosiologi hukum?
3. Jelaskan pengaruh filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi dalam perkemabangan
Sosiologi Hukum!

REFERENSI:
Soerjono Soekanto. Mengenal Sosiologi Hukum. Alumni, Bandung, 1986. (BAB II
B)

Pokok Bahasan 2 24
Struktur Sosial dan Hukum

Pokok Bahasan 3

STRUKTUR SOSIAL DAN HUKUM

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK):


Setelah mengikuti kuliah ini anda akan dapat :
a. Menjelaskan proses lahirnya kaedah hukum.
b. Menjelaskan hubungan antara kaedah hukum dengan kaedah sosial lainnya.
c. Menjelaskan ciri-ciri yang membedakan kaedah hukum dari kaedah sosial lainnya.
d. Menjelaskan hubungan hukum sebagai lembaga sosial dengan lembaga-lembaga sosial
lainnya.
e. Menjelaskan hubungan kelompok-kelompok sosial bagi pembentukan hukum maupun
pelaksanaannya.
f. Menjelaskan hubungan hukum dengan lapisan sosial dan kekuasaan.

Pada hakikatnya masyarakat dapat ditelaah dari dua sudut, yakni sudut
struktural dan sudut dinamikanya. Segi struktural masyarakat dinamakan pula
struktur sosial, yaitu keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni
kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan
sosial (Selo Soemardjan-Soelaema Soemaidi 1964:14). Yang dimaksudkan dengan
dinamika masyarakat adalah apa yang disebut proses sosial dan perubahan-
perubahan sosial. Dengan proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara
pelbagai segi kehidupan bersama. Dengan lain perkataan proses-proses sosial adalah
cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-
kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk
hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. (Gillin and Gillin 1954:487, 488).
Yang terutama akan disoroti adalah interaksi sosial yang merupakan dasar daripada
proses sosial. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang
menyangkut hubungan antara .orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

A. Kaidah-Kaidah Sosial dan Hukum


Pergaulan hidup manusia diatur oleh pelbagai macam kaidah atau norma, yang
pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan
tenteram. Di dalam pergaulan hidup tersebut, manusia mendapatkan pengalaman-
pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primary
needs, yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan
harta, harga diri, potensi untuk berkembang, dan kasih sayang. Pengalaman-
pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif, sehingga
manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus
dianuti, dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut sangat
berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman
mental baginya.
Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan
Pokok Bahasan 3 25
Struktur Sosial dan Hukum

kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap


manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk
kaidah-kaidah, oleh karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas.
Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia adalah berbeda-beda: oleh
karena itu diperlukan patokan-patokan yang berupa kaidah-kaidah. Dengan demikian
dapatlah dikatakan, bahwa kaidah merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman
perihal tingkah laku atau perikelakuan yang diharapkan.
Berdasarkan pendapat Soerjono Soekanto tersebut, mengenai proses
terbentuknya kaedah secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:

A1. ALUR TERBENTUKNYA KAIDAH

primary
needs

NILAI

pola perilaku
Yang pantas

KAEDAH 22

Di satu pihak kaidah-kaidah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia, dan
terdiri dari kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan bertujuan
untuk mencapai suatu kehidupan yang ber-Iman (Purnadi Purbacaraka 1974:4), sedangkan
kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidup berakhlak atau mempunyai hati nurani
bersih. Di lain pihak ada kaidah kaidah yang mengatur kehidupan antar manusia atau
antar pribadi, yang terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah
kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan menyenangkan,
sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan antar
manusia. Kedamaian tersebut akan tercapai, dengan menciptakan suatu keserasian
antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketenteraman (yang bersifat batiniah).
Kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, merupakan suatu
ciri yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.

Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada
perbedaan antara kaidah-kaidah hukum di satu pihak, dengan perikelakuan yang nyata.
Hal ini terutama disebabkan, oleh karena kaidah hukum merupakan patokan-patokan
tentang perikelakuan yang diharapkan yang dalam hal-hal tertentu merupakan abstraksi

Pokok Bahasan 3 26
Struktur Sosial dan Hukum

dari pola-pola perikelakuan. Namun demikian, ada baiknya untuk mengemukakan


beberapa pendapat dari para ahli ilmu-ilmu sosial mengenai masalah ini, yaitu perbedaan
antara perikelakuan sosial yang nyata dengan perikelakuan sebagaimana yang
diharapkan oleh hukum. Dengan uraian tersebut, maka sedikit banyaknya akan
terungkapkan beberapa dasar sosial daripada hukum.

A2. MACAM-MACAM KAEDAH SOSIAL

KAEDAH SOSIAL

PRIBADI ANTAR PRIBADI

kesusilaan. kepercayaan kesopanan


hukum
hidup
berakhlak/mem mencapai suatu kedamaian
kehidupan yang pergaulan hidup
punyai hati dalam
berIman yang
nurani bersih. pergaulan
menyenangkan
antar manusia

23

Kiranya telah cukup jelas bahwa setiap masyarakat memerlukan suatu mekanisme
pengendalian sosial agar selalu sesuatunya berjalan dengan tertib. Yang dimaksudkan
dengan mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah
segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun
yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga
masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masya-
rakat yang bersangkutan. (J.S. Roucek 1951:3). Namun permasalahannya di sini adalah
bagaimana untuk menentukan bahwa salah satu tipe pengendalian sosial
tersebut dapat dinamakan hukum. Dengan perkataan lain, persoalannya kembali
lagi pada masalah membedakan hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya, persoalan mana
telah lama membingungkan para antropolog dan para sosiolog. Walaupun kesulitan-kesulitan-
tetap ada, namun ada suatu konsensus bahwa semua masyarakat mempunyai suatu
perangkat kaidah-kaidah yang dapat dinamakan hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, dibawah ini diuraikan beberapa pendapat ahli
mengenai pembedaaan hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya.

1. Bronislaw Malinowski

Dalam suatu buku yang berjudul Crime and Custom in Savage Society (1962).
Malinowski berpendapat bahwa intisari hukum terjalin dalam prinsip resiprositas .
Analisa dari Malinowski sangat berguna oleh karena berkat penelitiannya dia telah
membuktikan bahwa hukum tidak hanya berperan di dalam keadaan-keadaan yang penuh
kekerasan dan pertentangan, akan tetapi hukum juga berperan pada aktivitas sehari-hari.

Pokok Bahasan 3 27
Struktur Sosial dan Hukum

Dengan perkataan lain, Malinowski berusaha untuk menghilangkan kesan bahwa hukum
semata-mata terdiri dari paksaan dengan jalan mengemukakan suatu sistem yang sangat
luas dari pengendalian sosial. Akan tetapi dia kurang berhasil untuk membedakan hukum
dari kebiasaan. Apabila asas resiprositas terdapat pada kebanyakan hubungan-hubungan
hukum atau memperkuat pengendalian hukum, namun hal itu bukanlah berarti bahwa
semua yang merupakan hukum dapat digolongkan pada asas resiprositas.
Beberapa tahun kemudian, Malinowski berpendapat bahwa ada beberapa kaidah
yang untuk penerapannya memerlukan dukungan dari suatu kekuasaan yang terpusat.
Kaidah-kaidah itulah yang dinamakan hukum, yang berbeda dengan kaidah-kaidah
lainnya. (E. A. Hoebel 1961: VIII).
Kemungkinan besar pendapat Malinowski yang membedakan hukum dengan
kebiasaan agak berpengaruh terhadap pendapat-pendapat para sarjana kemudian yang
pada umumnya berusaha untuk mempertentangkan kedua pengertian tersebut di atas.
Kedua pengertian tadi biasanya dibedakan atas dasar dua kriteria yaitu sumber sanksinya
dan pelaksanaannya. Pada kebiasaan sumber sanksi dan pelaksanaannya adalah para
individu atau kelompok, sedangkan hukum didukung oleh suatu kekuasaan yang
terpusat pada badan-badan tertentu dalam masyarakat. Atau dengan perkataan lain,
hukum dilaksanakan oleh negara sebagai pemegang kedaulatan.

KRETRIA PEMBEDAAN KEBIASAAN HUKUM


sumber sanksinya individu atau kelompok didukung oleh suatu kekuasaan
yang terpusat pada badan-badan
tertentu dalam masyarakat
pelaksanaannya individu atau kelompok didukung oleh suatu kekuasaan
yang terpusat pada badan-badan
tertentu dalam masyarakat

2. Max Weber

Max Weber juga menekankan pada pelaksanaan hukum oleh suatu kekuasaan
yang terpusat. Dikatakannya kemudian bahwa seorang sosiolog tugasnya bukan untuk
menilai suatu sistem hukum, akan tetapi hanya memahaminya saja. Konsepsi Max
Weber tentang hukum memungkinkan usaha-usaha untuk menemukan kelompok kecil
sampai dengan kelompok-kelompok besar seperti negara. Lagipula Weber sebetulnya
tidak menganggap hukum sebagai perintah (command), akan tetapi sebagai suatu
ketertiban (order). Dengan demikian dia tidaklah memandang hukum semata-mata
sebagai pelaksanaan suatu kekuasaan yang terpusat. Weber sebetulnya lebih
mengutamakan pengertian wewenang (authority) sebagai intisari dari hukum.

3. H.L.A. Hart

H.L.A. Hart berusaha untuk mengembangkan suatu konsep tentang hukum yang
mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban
tertentu yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum. Menurut Hart, maka inti

Pokok Bahasan 3 28
Struktur Sosial dan Hukum

dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama dan aturan-aturan
sekunder (primary and secondary rules). Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-
ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan pergaulan hidup. Adalah mungkin untuk hidup dengan aturan-aturan utama di
dalam masyarakat yang sangat stabil di mana para, warganya saling mengenal serta
mempunyai hubungan yang erat satu dengan lainnya. Tetapi semakin kompleks suatu
masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Oleh karena itu
diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari :
1. rules of recognition, yaitu aturan-aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan
dengan aturan-aturan utama dan dimana perlu, menyusun aturan-aturan tadi secara
hirarkis menurut urut-urutan kepentingannya;
2. rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang
baru; dan,
3. rules of adjudication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada orang
perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu aturan
utama dilanggar. (H.L.A. Hart 1961: Bab V)
Walaupun Hart menyamakan hukum dengan serangkaian aturan-aturan,
hendaknya dipahamkan bahwa yang dimaksudkannya dengan hukum adalah lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang tertentu.

4. Paul Bohannan

Paul Bohannan, seorang antropolog mempunyai pendapat yang sejalan dengan


Hart. Bohannan terkenal dengan konsepsi reinstitutionalization of' norms (pelembagaan
kembali dari norma-norma). Dia menyatakan bahwa suatu lembaga hukum menimpakan
alat yang dipergunakan oleh warga-warga suatu masyarakat untuk menyelesaikan
perselisihan-perselisihan yang terjadi dan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
daripada aturan yang terhimpun di dalam pelbagai lembaga kemasyarakatan.
Setiap masyarakat mempunyai lembaga-lembaga hukum dalam anti ini, dan juga
lembaga-lembaga non-hukum lainnya. (P. Bohannan 1965:35) Bohannan selanjutnya
mengatakan bahwa hukum terdiri dari aturan-aturan atau kebiasaan yang telah menga-
lami proses pelembagaan kembali (reinstitutionalized) artinya, kebiasaan-kebiasaan dari
lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga dapat
dipergunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memang dibentuk
untuk maksud tersebut. Lembaga-lembaga hukum berbeda dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya atas dasar 2 kriteria, yaitu pertama-tama, lembaga-lembaga
hukum memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara-cara menyelesaikan perselisihan-
perselisihan yang timbul di dalam hubungannya dengan tugas-tugas kemasyarakatan
lainnya. Kecuali daripada itu lembaga-lembaga hukum mencakup dua jenis aturan yakni
penetapan kembali daripada aturan-aturan lembaga-lembaga non hukum (yaitu hukum.
substantif) dan aturan yang mengatur aktivitas-aktivitas daripada lembaga-lembaga
hukum itu sendiri (yaitu hukum ajektif). Pendapat Bohannan tadi sangat penting untuk
diperhatikan oleh karena dengan pernyataan itu dia berpendapat bahwa sifat yang

Pokok Bahasan 3 29
Struktur Sosial dan Hukum

penting dari gejala hukum adalah fakta bahwa aturan dan lembaga-lembaga hukum
mengatur hampir seluruh perikelakuan sosial dalam masyarakat.

5. E. Adamson Hobel dan Karl Llewellyn


Suatu pendekatan lain terhadap anti hukum dilakukan dengan menelaah fungsi yang
harus dipenuhi oleh hukum. E. Adamson Hobel dan Karl Llewellyn menyatakan bahwa
hukum mempunyai fungsi yang penting demi keutuhan masyarakat. Fungsi-fungsi
tersebut adalah sebagai berikut:
a. menetapkan hubungan antara para warga masyarakat, dengan menetapkan
perikelakuan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang,
b. membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan dengan seksama pihak-
pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanksi-
sanksi yang tepat dan efektif.
c. disposisi masalah-masalah sengketa,
d. menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.
(E.A. Hoebel 1961: Bab II).
Khususnya tentang fungsi-fungsi hukum pada umumnya terdapat suatu
kesepakatan antara para antropolog, ahli filsafat hukum maupun para sosiolog, walaupun
masing-masing mempergunakan istilah-istilah yang berbeda. Kesepakatan tadi adalah
tentang fungsi-fungsi suatu sistem hukum yang secara menyeluruh menyangkut
pengesahan wewenang, cara-cara menyelesaikan perselisihan, mekanisme yang
mempermudah hubungan antara para warga masyarakat, dan adanya penyesuaian diri
terhadap perubahan-perubahan.

6. L. Pospisil

Suatu pendapat lain pernah dikemukakan oleh antropolog L. Pospisil


(1958), yang menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:
Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian
sosial. Agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya, dikenal
adanya empat tanda hukum atau attributes of law.
1. Tanda yang pertama dinamakannya attribute of authority, Yaitu bahwa hukum
merupakan keputusan-keputusan dari pihak-pihak yang berkuasa dalam masyarakat,
keputusan-keputusan mana ditujukan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan Yang
terjadi di dalam masyarakat.
2. Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal application
yang artinya adalah bahwa keputusan-keputusan Yang mempunyai daya
jangkau yang panjang untuk masa-masa mendatang.
3. Attribute of obligation merupakan tanda keempat yang berarti bahwa
keputusan-keputusan penguasa harus berisikan kewajiban-kewajiban pihak
kesatu terhadap pihak kedua dan sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak hams
masih di dalam kaidah hidup.
4. Tanda keempat disebut sebagai attribute of sanction yang menentukan bahwa

Pokok Bahasan 3 30
Struktur Sosial dan Hukum

keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi yang
didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
Uraian pendapat dari beberapa sarjana ilmu-iImu sosial sebagaimana
dikemukakan di atas, dimaksudkan untuk memberi suatu gambaran yang agak luas
dan untuk memberikan petunjuk di manakah sebetulnya letak permasalahannya.
Memang perlu diakui bahwa merupakan hal yang sulit untuk membedakan hukum dan
kaidah-kaidah lainnya secara tegas. Hal ini disebabkan oleh karena baik hukum
maupun kaidah-kaidah lainnya merupakan unsur-unsur yang membentuk mekanisme
pengendalian sosial.
Pada masyarakat-masyarakat tertentu kaidah-kaidah non-hukum berlaku lebih
kuat daripada kaidah-kaidah hukum, lebih-lebih pada masyarakat sederhana di mana
interaksi sosial lebih dilakukan atas dasar hubungan-hubungan pribadi. Sebaliknya
adalah keliru untuk selalu mengkaitkan hukum dengan suatu kekuasaan terpusat yang
mempunyai wewenang tunggal untuk menerapkan hukum. Apabila pendapat terakhir
tersebut dianut maka berarti bahwa masyarakat-masyarakat yang tidak mempunyai
suatu kekuasaan terpusat, sama sekali tidak mempunyai hukum (hal mana adalah
mustahil).
Walaupun kesulitan-kesulitan tersebut di atas timbul, akan tetapi dapatlah
dikatakan bahwa hukum mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan
kaidah-kaidah lain, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Ada suatu kecenderungan
untuk menganggap ciri-ciri tersebut adalah bahwa hukum bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan; hukum mengatur
perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat lahiriah; hukum dijalankan oleh badan-badan
yang diakui oleh masyarakat sebagai badan-badan pelaksana hukum. Khususnya tentang
hal yang terakhir ini perlu ditegaskan bahwa badan-badan tersebut mungkin merupakan
orang-orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai pejabat pelaksana hukum
(misalnya kepala adat atau suatu dewan para sesepuh, pada masyarakat-masyarakat
yang masih sederhana sistem sosialnya). Yang terpenting adalah, bahwa hukum
bertujuan untuk mencapai kedamaian, yang berarti suatu keserasian antara ketertiban
dengan ketentraman.
B. Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan dan Hukum
Di dalam uraian-uraian di muka telah disinggung bahwa pergaulan hidup di dalam
masyarakat diatur oleh kaidah-kaidah dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Di
dalam perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah tersebut berkelompok-kelompok pada
belbagai keperluan pokok daripada kehidupan manusia seperti misalnya kebutuhan hidup
kekerabatan, kebutuhan pencarian hidup, kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk
menyatakan rasa keindahan, kebutuhan jasmaniah dari manusia dan lain sebagainya.
Misalnya, kebutuhan kehidupan kekerabatan menimbulkan lembaga-lembaga
kemasyarakatan seperti keluarga batih; pelamaran, perkawinan, perceraian, kewarisan dan
lain sebagainya. Kebutuhan pencarian hidup menimbulkan lembaga-lembaga
kemasyarakatan seperti misalnya pertanian, industri dan lain-lain. Kebutuhan akan
peternakan, koperasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti misalnya taman kanak-
Pokok Bahasan 3 31
Struktur Sosial dan Hukum

kanak, pesantren, sekolah-sekolah dasar, sekolah-sekolah menengah, perguruan tinggi


dan seterusnya. Kebutuhan-kebutuhan untuk menyatakan rasa keindahan menimbulkan
lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti olahraga, kesusastraan, seni rupa, seni suara
dan lain-lainnya. Dari contoh-contoh di atas kiranya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
lembaga-lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat, oleh karena
setiap masyarakat tentu mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila dikelom-
pok-kelompokkan, terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam
pelbagai bidang kehidupan. Dengan demikian maka suatu lembaga kemasyarakatan
merupakan kumpunan daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang
berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, maka lembaga-lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1. Untuk memberikan pedoman kepada para warga masyarakat, bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah masyarakat
yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan pokok.
2. Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan. Memberikan pegangan
kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).
(Soe rj ono Soekanto 1978:74),
Dari penjelasan singkat tersebut di atas nyata bahwa tidak semua kaidah-kaidah
merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan; hanya kaidah-kaidah yang mengatur
kebutuhan pokok saja yang merupakan lembaga kemasyarakatan. Artinya adalah bahwa
kaidah-kaidah tersebut harus mengalami proses pelembagaan
(institutionalization) terlebih dahulu, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu
kaidah yang baru, untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, yang
dimaksudkan di sini adalah agar kaidah-kaidah tadi diketahui, dimengerti, ditaati dan
dihargai dalam kehidupan sehari-hari. Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti
demikian saja, akan tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi sehingga suatu kaidah tidak
saja melembaga, akan tetapi bahkan menjiwai dan mendarah daging (internalized) pada
para warga masyarakat.
Masalah yang dapat timbul dari hubungan antara lembaga-lembaga
kemasyarakatan dengan hukum adalah pertama-tama, dapatkah hukum dianggap
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan? Dengan melihat bahwa hukum merupakan
himpunan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian, maka
dapatlah dikatakan bahwa hukum diharapkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan ketertiban dan ketenteraman, hal mana merupakan salah satu kebutuhan pokok
dari masyarakat. Bahwa hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan adalah
karena disamping sebagai gejala sosial (das Sein), hukum juga ` mengandung unsur-
unsur yang ideal (das Sollen). Apabila telah dicapai kesepakatan bahwa hukum
merupakan suatu lembaga kemasyarakatan, maka pertanyaan berikutnya adalah,
bagaimana hubungan hukum dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya?
Pertanyaan tersebut di atas kiranya akan dapat dijawab dengan menelaah
macam-macam lembaga kemasyarakatan yang dapat dijumpai di dalam masyarakat.
Bermacam-macamnya lembaga kemasyarakatan tersebut antara lain disebabkan karena

Pokok Bahasan 3 32
Struktur Sosial dan Hukum

adanya klasifikasi tipe-tipe lembaga-lembaga kemasyarakatan. Tipe-tipe lembaga


kemasyarakatan tersebut dapat diklasifikasikan dari pelbagai sudut. Menurut Gillin dan
Gillin (1954:70), sebagai berikut:
1. Dari sudut perkembangannya dikenal adanya Crescive institutions dan enacted
institutions. Crescive institutions atau lembaga-lembaga utama, merupakan lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang dengan sendirinya tumbuh dari adat istiadat
masyarakat. Sebaliknya enacted institutions dengan sengaja dibentuk untuk
memenuhi tujuan-tujuan tertentu, tetapi yang tetap masih didasarkan pada kebiasaan-
kebiasaan di dalam masyarakat. Pengalaman-pengalaman di dalam melaksanakan
kebiasaan tersebut kemudian disistematisir dan diatur untuk kemudian dituangkan ke
dalam lembaga-lembaga yang disahkan oleh penguasa (masyarakat yang
bersangkutan).

2. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, timbul klasifikasi atas basic
institutions dan subsidiary institutions. Basic institutions dianggap sebagai lembaga
kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata
tertib dalam masyarakat. Sebaliknya, subsidiary institutions yang dianggap kurang
penting, seperti misalnya kegiatan-kegiatan untuk rekreasi. Ukuran apa yang dipakai
untuk menentukan apakah suatu lembaga kemasyarakatan dianggap basic atau
subsidiary berbeda pada masing-masing masyarakat, dan ukuran-ukuran tersebut juga
tergantung pada masa masyarakat tadi hidup.

3. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan antara approved atau socially
sanctioned institutions dengan unsanctioned institutions. Yang pertama merupakan
lembaga-lembaga yang diterima oleh masyarakat, sedangkan yang kedua ditolak,
walaupun kadang-kadang masyarakat tidak berhasil untuk memberantasnya.

4. Pembedaan antara general institutions dengan restricted institutions terjadi apabila


klasifikasi didasarkan pada faktor Penyebarannya.
5. Dari sudut fungsinya, terdapat pembedaan antara operative institutions dengan
regulative institution. Yang pertama berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun pola-
pola atau tata-cara Yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang
bersangkutan, sedangkan yang kedua bertujuan untuk mengawasi tata kelakuan
yang tidak menjadi bagian yang mutlak daripada lembaga itu sendiri.
Setiap masyarakat mempunyai sistem nilai-nilai yang menentukan lembaga
kemasyarakatan manakah yang dianggap sebagai pusat dari pergaulan hidup masyarakat
Yang kemudian dianggap berada di atas lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Akan
tetapi di dalam setiap masyarakat sedikit banyak akan dapat dijumpai pola-pola yang
mengatur hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut. Sistem dari pola-
pola tersebut lazimnya dinamakan institutional configuration. Sistem tadi, dalam masyarakat
yang masih homogen dan tradisional mempunyai kecenderungan untuk bersifat statis dan
tetap. Lain halnya dengan masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks dan terbuka
bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial, maka sistem tersebut seringkali

Pokok Bahasan 3 33
Struktur Sosial dan Hukum

mengalami perubahan-perubahan. Hal itu disebabkan, oleh karena dengan masuknya hal-
hal yang baru, masyarakat biasanya juga mempunyai anggapan-anggpan baru tentang
kaidah-kaidah yang berkisar pada kebutu pokoknya.
Dengan melihat uraian di atas, maka tidak mudah untuk menentukan hubungan
antara hukum dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya terutama di dalam
menentukan hubungan timbal balik yang ada. Hal itu semuanya tergantung pada nilai-nilai
masyarakat dan pusat perhatian penguasa terhadap aneka macam lembaga
kemasyarakatan yang ada, dan sedikit banyaknya ada pengaruh-pengaruh pula dari
anggapan-anggapan tentang kebutuhan-kebutuhan apa yang pada suatu saat merupakan
kebutuhan pokok. Sebagaimana dikatakan oleh Harjono Tjitrosubono:
"Sudah tentu saja sepenuhnya mengakui bahwa antara perkembangan hukum dan
perubahan-perubahan sosial-politik ekonomi di dalam masyarakat ada
interconnections dan interdependencies, akan tetapi saya tidak dapat menyatakan
seperti Prof. Daniel Lev bahwa lembaga hukum absolut bukan lembaga primair
dalam masyarakat yang berubah.
Oleh karena sebab primair yang menggerakkan perubahan perubahan di dalam
masyarakat, apakah lembaga politik, apakah lembaga sosial ataukah lembaga ekonomis
atau kebudayaan menurut pendapat saya tidak dapat dipastikan secara umum yang
bersifat mutlak sebagai suatu axioma di dalam ilmu pengetahuan alam atau natural
science, akan tetapi bergantung daripada resultante dari perimbangan dan integrasi di
dalam interconnections dan interdependencies antar potensi-potensi sosial di dalam social
control dalam arti luas dan dalam proses sosial yang total, sehingga di suatu waktu dan
tempat tertentu lembaga hukum akan dapat mengambil Peranan yang pnmair di dalam
perubahan masyarakat. Dan di lain waktu di tempat lembaga poIitik, atau lembaga sosial,
atau lembaga ekonomi atau produk kebudayaan akan mengambil peranan yang primair.
Akan tetapi harus diakui sebagai suatu kenyataan bahwa di dalam developing countries,
hukum negara sangat dipengaruhi oleh lembaga politik, seperti di tahun 1959 dengan
dekrit presiden dasar hukum negara diubah sekaligus dari UUD Sementara kembali ke
UUD RI 1945". (H.Tjiptosubeno 1971:11)
Dengan perkataan lain, maka lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu
mendapatkan penilaian tertinggi dari masyarakat, mungkin merupakan lembaga
kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya. Namun demikian, hukum dapat merupakan suatu
lembaga kemasyarakatan yang primer di dalam suatu masyarakat apabila dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut,
1. sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority) dan berwibawa
(prestigeful);
2. hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis;
3. penegak hukum dapat di jadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap hukum;
4. diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa pada warga masyarakat;
5. para penegak dan pelaksana hukum merasa dirinya terikat pada hukum yang
diterapkannya dan membuktikannya di dalam pola-pola perikelakuannya;

Pokok Bahasan 3 34
Struktur Sosial dan Hukum

6. sanksi-sanksi yang positif maupun negatif dapat dipergunakan untuk menunjang


pelaksanaan hukum;
7. perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan-aturan hukum.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka tidak mustahil bahwa hukum akan
berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.

C. Kelompok-Kelompok Sosial dan Hukum


Mempelajari kelompok-kelompok sosial merupakan hal yang penting bagi hukum,
oleh karena hukum merupakan abstraksi daripada interaksi-interaksi sosial
dinamis di dalam kelompok-kelompok sosial tersebut. Interaksi-interaksi sosial yang
dinamis tersebut lama-kelamaan karena pengalaman, menjadi niai-nilai sosial yaitu konsepsi-
konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran bagian terbesar warga-warga masyarakat
tentang apa yang dianggap baik dan tidak baik di dalam pergaulan hidup. Nilai-nilai sosial
tersebut biasanya telah berkembang sejak lama dan telah mencapai suatu kemantapan
dalam jiwa bagian terbesar warga-warga masyarakat dan dianggap pedoman atau
pendorong bagi tata kelakuannya. Nilai-nilai sosial yang abstrak tersebut mendapatkan
bentuk yang konkret di dalam kaidah-kaidah yang merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan.

HUBUNGAN KELOMPOK-KELOMPOK SOSIAL DAN


HUKUM

Interkasi
sosial

Nilai-nilai sosial tentang


Perilaku baik dan buruk

Nilai-nilai yang mantap sebagai


Pedoman dan pendorong
Bagi tata kelakuan

KAEDAH
38

Untuk jelasnya, akan dikemukakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
seorang sosiolog yaitu Richard Schwartz, terhadap dua bentuk masyarakat tadi di Israel
(R.D. Schwartz 1964: 471-491). Masyarakat tani yang satu dibentuk atas dasar
kolektivisme ekonomis dan dinamakan kutza, sedangkan yang lainnya merupakan
masyarakat yang didasarkan pada hak milik perseorangan yang dinamakan moshav.
Pada moshav dijumpai suatu badan peradilan khusus yang mengadili
persengketaan-persengketaan yang terjadi, badan mana tidak dijumpai pada kvutza.
Walaupun kvutza mempunyai suatu rapat desa sebagai badan legislatif yang melahirkan
keputusan-keputusan terhadap orang banyak, namun tak ada badan khusus yang
bertugas sebagai badan pelaksana hukum atau penegak hukum. Apabila pelaksanaan
pengendalian sosial ditinjau pada kedua masyarakat tersebut, maka pada kvutza yang
Pokok Bahasan 3 35
Struktur Sosial dan Hukum

kolektif sifatnya para warganya secara tetap melakukan interaksi sosial antara
sesamanya. Mereka mempunyai sistem kaidah-kaidah sosial yang terinci konkret, dapat
diterapkan terhadap bagian terbesar dari masyarakat dan Pada umumnya mereka
mengetahui, menghargai serta mentaati kaidah-kaidah tersebut. Sebaliknya, antara
warga-warga moshav tidak terjadi hubungan-hubungan yang rapat dan juga tak ada
kesatuan pendapat perihal isi kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Schwartz berkesimpulan
bahwa karena kvutza mempunyai sistem pengendalian sosial informal yang kuat, maka
masyarakat tersebut tidak begitu memerlukan suatu sistem hukum. Walaupun mungkin
terjadi kegoncangan pada sistem pangendalian sosial yang informal tadi, namun ada
kecenderungan untuk memperkuatnya kembali daripada membentuk pengendalian
sosial yang formal (yaitu hukum). Sebaliknya pada moshav perkembangan yang kuat dari
hukum disebabkan karena kurang efektifnya alat-alat pengendalian sosial yang informal.
Dari keterangan-keterangan Schwartz tersebut di atas terdapat suatu bukti bahwa
pada masyarakat-masyarakat tertentu hukum kurang berperanan apabila dibandingkan
dengan kaidah-kaidah lainnya. Terutama pada masyarakat-masyarakat gemein schaftlich
kaidah-kaidah sosial lainnya lebih efektif oleh karena hukum sebetulnya secara implisit
berarti turut sertanya atau campur tangannya pihak lain yang berarti pula memperluas
persengketaan. Artinya, pada masyarakat-masyarakat tertentu yang masih sederhana dan
homogen sifatnya ada kecenderungan untuk menyelesaikan suatu konflik di antara mereka
sendiri.
Betapa pentingnya kelompok-kelompok sosial bagi usaha-usaha untuk mengenal
sistem hukum, juga dibuktikan oleh Daniel S. Lev di dalam uraiannya tentang proses
perubahan hukum di Indonesia, tulisan mana berjudul The Politics of Judicial Develop-
ment in Indonesia (D.S. Lev 1965:173-199). Tulisan tersebut menyoroti pengaruh dari
konflik antara para hakim, jaksa dan polisi, terhadap perkembangan lembaga-lembaga
hukum di Indonesia (sesudah revolusi). Para hakim, jaksa dan polisi, secara sosiologis
merupakan kategori sosial, yang merupakan suatu tipe kelompok sosial. Pertama yang
ditelaahnya adalah pertentangan antara para hakim dengan jaksa mengenai soal wibawa,
hal mana mengakibatkan usaha-usaha untuk mengubah hukum acara pidana dan
kekuasaan-kekuasaan yudisial. Kemudian ditelaahnya pula tentang konflik antara polisi
dengan kejaksaan perihal pembagian kekuasaan yang juga menyangkut soal kedudukan
dan wibawa.
D. Lapisan-Lapisan Sosial, Kekuasaan Dan Hukum
Selama di dalam sesuatu masyarakat ada suatu yang dihargai, dan setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu tadi dapat
menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat
tersebut. Barang sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat itu mungkin berupa benda-
benda yang bernilai ekonomis, atau mungkin berupa kekuasaan, ilmu pengetahuan,
kesalehan dalam agama, dan seterusnya. Barangsiapa memiliki sesuatu yang berharga
tadi dalam jumlah yang banyak, maka dia dianggap oleh masyarakat sebagai pihak yang
menduduki lapisan tertinggi. Sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat tadi disebut juga
social stratification yaitu pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.

Pokok Bahasan 3 36
Struktur Sosial dan Hukum

Hal yang mewujudkan unsur-unsur baku dalam teori sosiologi tentang sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role).
Pada umumnya manusia bercita-cita agar tak ada perbedaan kedudukan dan
peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi, cita-cita tersebut selalu akan tertumbuk pada
kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan warga-warganya pada
tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut.
Dengan demikian maka masyarakat menghadapi dua persoalan, yaitu menempatkan
individu-individu tersebut dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajibannya.
Apabila, misalnya, semua kewajiban selalu sesuai dengan keinginan-keinginan para
warga masyarakat dan sesuai dengan kemampuan-kemampuannya, maka tak akan
dijumpai kesulitan-kesulitan. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian; kedudukan-
kedudukan dan peranan-peranan tertentu memerlukan kemampuan-kemampuan dan
latihan-latihan, dan pentingnya kedudukan-kedudukan serta peranan-peranan tersebut
juga tidak selalu sama. Maka, tak dapat dihindarkan lagi bahwa masyarakat harus
menyediakan beberapa macam sistem pembalasan jasa sebagai pendorong agar
warga-warganya mau melaksanakan kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan
posisinya di dalam masyarakat.
Dengan demikian, maka mau tidak mau, harus ada sistem berlapis-lapis di dalam
masyarakat, oleh karena gejala tersebut sekaligus memecahkan persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat, yaitu menempatkan warga-warganya pada tempat-tempat yang tersedia
dalam struktur sosial dan mendorong mereka agar melaksanakan kewajiban yang sesuai
dengan kedudukan serta peranannya. Pengisian tempat-tempat tersebut merupakan
daya pendorong agar masyarakat bergerak sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi
wujudnya di dalam setiap masyarakat juga berlainan, oleh karena hal itu tergantung pada
bentuk dan kebutuhan masing-masing masyarakat. Jelas bahwa kedudukan dan
peranan yang dianggap tertinggi oleh setiap masyarakat adalah kedudukan dan peranan
yang dianggap terpenting serta memerlukan kemampuan dan latihan-latihan yang
maksimal. Tak banyak individu-individu yang dapat memenuhi persyaratan demikian;
mungkin hanya segolongan kecil saja di dalam masyarakat. Maka oleh sebab itulah
pada umumnya warga-warga lapisan atas (upper class) tidak terlalu banyak apabila
dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower class).
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting oleh karena dapat
menentukan nasib berjuta juta manusia. Baik-buruknya kekuasaan tadi senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan atau
disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan selalu ada di dalam setiap masyarakat,
baik yang masih sederhana, maupun yang sudah kompleks susunannya. Akan tetapi
walaupun selalu ada, kekuasaan tadi tidak dapat dibagi rata kepada semua warga
masyarakat. Justru karena pembagian yang tidak merata tadi timbul makna yang
pokok dari kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut
kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.
Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan

Pokok Bahasan 3 37
Struktur Sosial dan Hukum

yang dikuasai, atau dengan perkataan lain, antara pihak yang memiliki-kemampuan
untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu dengan rela
atau karena terpaksa (Selo Soemardjan-Soelaeman Soemardi1964:337).
Apabila kekuasaan itu dijelmakan pada diri seseorang, maka biasanya orang
itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-
pengikutnya. Bedanya antara kekuasaan dan wewenang (authority) adalah bahwa
setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan,
sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok
orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.
Adanya wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila didukung dengan kekuasaan yang
nyata. Akan tetapi acapkali terjadi bahwa letaknya wewenang yang diakui oleh
masyarakat dan letaknya kekuasaan yang nyata, tidak di dalam satu tangan atau
tempat.
Adanya kekuasaan dan wewenang di dalam setiap masyarakat merupakan gejala
yang wajar, walaupun wujudnya kadang-kadang tidak disukai oleh masyarakat itu
sendiri, oleh karena sifatnya yang mungkin abnormal menurut pandangan masyarakat
yang bersangkutan. (Bierens de Haan 1952:66). Setiap masyarakat memerlukan suatu
faktor pengikat atau pemersatu yang terwujud dalam diri seorang atau sekelompok
orang yang memilih kekuasaan dan wewenang tadi.
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling sedikit, dua hal yang
menonjol, yaitu pertama-tama bahwa para pembentuk, penegak maupun pelaksana
hukum adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan-kedudukan yang
mengandung unsur-unsur kekuasaan. Akan tetapi mereka tak dapat mempergunakan
kekuasaannya dengan sewenang-wenang oleh karena ada pembatasan-pembatasan
tentang peranannya, yang ditentukan oleh cita-cita keadilan masyarakat dan oleh
pembatasan-pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri. Efektivitas
pelaksanaan hukum sedikit banyaknya ditentukan oleh sahnya hukum tadi; artinya, apakah
hukum tadi dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan-badan yang benar-
benar mempunyai wewenang, yakni kekuasaan yang diakui oleh masyarakat. Dalam arti
inilah hukum dapat mempunyai pengaruh untuk membatasi kekuasaan. Akan tetapi sistem
hukum merupakan pula suatu sarana bagi penguasa untuk mengadakan tata-tertib
dalam masyarakat, atau untuk mempertahankan serta menambah kekuasaannya
walaupun penggunaan hukum untuk maksud-maksud tersebut ada juga batas-
batasnya.
Hal yang kedua adalah bahwa sistem hukum antara lain menciptakan dan
merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban beserta pelaksanaannya. Dalam hal ini
ada hak-hak warga masyarakat yang tak dapat dijalankan oleh karena yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya, dan sebaliknya ada
hak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu. Lagi
pula, apabila masyarakat mengakui adanya hak-hak tertentu, maka hal itu pada
umumnya berarti adanya kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak tersebut melalui
lembaga-lembaga hukum tertentu, oleh karena hukum tanpa kekuasaan untuk

Pokok Bahasan 3 38
Struktur Sosial dan Hukum

melaksanakannya merupakan hukum yang mati. Dengan demikian, maka dapat dikatakan
bahwa kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal balik; di satu pihak hukum
memberi batas-batas pada kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan merupakan suatu
jaminan bagi berlakunya hukum.
Bagaimana hubungan antara kekuasaan, lapisan-lapisan sosial dan hukum,
melalui suatu sistem hukum, hak-hak dan kewajiban- kewajiban ditetapkan untuk warga
masyarakat yang menduduki posisi-posisi tertentu atau kepada seluruh masyarakat. Hak-
hak dan kewajiban-kewajiban mempunyai sifat timbal balik, artinya hak seseorang
menyebabkan timbulnya kewajiban bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sejalan dengan itu,
kebebasan diberikan kepada golongan-golongan tertentu, menyebabkan pembatasan-
pembatasan pada golongan-golongan lainnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap
sistem lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Suatu contoh yang sederhana adalah
Keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 078/1970 dan 079/1970 masing-
masing tentang Nama Jabatan dan Jenjang, Pangkat Tenaga Edukatif Perguruan Tinggi
dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta tentang tugas-tugas
pokok, kriteria pengangkatan dalam jabatan akademis serta prosedur Pengangkatan dalam
Jabatan dan kenaikan pangkat tenaga Tenaga Edukatif Perguruan Tinggi dalam lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Walaupun hukum yang tercermin dalam
keputusan-keputusan menteri tersebut diatas hanya ditujukan kepada staf pengajar
Pengajar Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saja, namun hukum
tadi merupakan dasar bagi lapisan sosial staf pengajar sekaligus dengan kekuasaan dan
wewenangnya. Contoh ini merupakan suatu contoh dari sistem lapisan sosial yang
dengan sengaja.
Suatu sistem lapisan sosial yang tidak sengaja dibentuk, akan tetapi kemudian
menghasilkan hak-hak tertentu bagi warga-warganya, antara lain dapat dijumpai pada
masyarakat tani di daerah pedesaan di jawa. Para petani biasanya membedakan antara
wok baku yaitu lapisan tertinggi dari orang-orang yang pertama datang menetap di desa
yang bersangkutan dengan lapisan kedua yang disebut kuli gandok atau lindung yang
terdiri dari laki-laki yang telah bekeluarga dan lapisan ketiga yang terdiri dari bujangan
yang dinamakan joko atau sinoman. Masing-masing tadi mempunyai hak dan kewajiban
masing-masing yang dengan tegas dibedakan serta dipertahankan melalui sistem
pengendalian sosial formal yang ada.
Sehubungan dengan apa yang dijelaskan di muka, dapatlah diketemukan paling
sedikit dua hipotesa, yakni:
1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang
mengaturnya.
2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam semakin banyak hukum yang
mengaturnya.

RANGKUMAN
1. Pengalaman manusia dalam pergaulan hidup menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun
negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik

Pokok Bahasan 3 39
Struktur Sosial dan Hukum

dan harus dianuti, dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut
berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman
mental baginya. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sikap-sikap
manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah.
2. Hukum dalam keadaan tertentu menyesuaikan diri dengan struktur sosial, tetapi di dalam
keadaan-keadaan lain, hal yang sebaliknyalah yang terjadi. Dan gejala ini merupakan bagian
dari proses sosial yang terjadi secara menyeluruh.
3. hukum mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan kaidah-kaidah lain,
ciri-ciri tersebut adalah bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan; hukum mengatur perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat
lahiriah; hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan-badan
pelaksana hukum. bahwa hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian, yang berarti suatu
keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.
4. Hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan fungsional yang berhubungan dan saling
pengaruh mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
5. Pada masyarakat-masyarakat tertentu hukum kurang berperanan apabila dibandingkan dengan
kaidah-kaidah lainnya.
6. Hukum merupakan refleksi dari pembagian kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap sistem
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan timbal
balik; di satu pihak hukum memberi batas-batas pada kekuasaan, dan di lain pihak kekuasaan
merupakan suatu jaminan bagi berlakunya hukum.

DAFTAR PERTANYAAN
1. jelaskan bagaimana proses lahirnya kaedah hukum?
2. Jelaskan bagaimana hubungan antara kaedah hukum dengan kaedah sosial lainnya?
3. Jelaskan ciri-ciri yang membedakan kaedah hukum dari kaedah sosial lainnya!
4. Jaskan bagaimana hubungan hukum sebagai lembaga sosial dengan lembaga-lembaga sosial
lainnya?
5. Jelaskan bagaimana hubungan kelompok-kelompok sosial bagi pembentukan hukum
maupun pelaksanaannya?
6. Jaskan bagainana hubungan hukum dengan lapisan sosial dan kekuasaan?

DAFTAR PUSTAKA:
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada, Jakarta1997.

Pokok Bahasan 3 40
Perubahan Sosial dan hukum

Pokok Bahasan 4
PERUBAHAN-PERUBAHAN SOSIAL DAN HUKUM

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK):


Setelah mengikuti kuliah ini anda akan dapat :
a. Menjelaskan teori-teori perubahan sosial dan hukum.
b. Menjelaskan hubungan antara kaedah hukum dengan perubahan sosial.
c. Apa yang terjadi dan apa akibatnya jika perubahan hukum tidak seiring dengan perubahan
sosial lainnya atau sebaliknya?
d. Menjelasakan kodisi yang harus diipenuhi jika akan menggunakan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat.
e. Menjelasakan kondisi yang harus dipenuhi jika akan menggunakan hukum sebagai sarana
pengatur perikelakuan
f. Menjelaskan batas-batas pengguaan hukum.

A. Pengantar
Perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari definisi tersebut kiranya jelas bahwa
tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan
daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya
dari struktur masyarakat. (Selo Soemardjan 1962: XVIII, 379).
Para sarjana sosiologi juga pernah mengadakan klasifikasi antara masyarakat-
masyarakat yang statis dengan yang dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan
sebagai suatu masyarakat di mana perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali terjadi
dan berlangsung dengan lambat. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat-
masyarakat yang mengalami pelbagai perubahan yang cepat. Jadi setiap masyarakat, pada
suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lain-
nya, mungkin dianggap sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan
bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress), namun dapat pula berarti
suatu kemunduran dari masyarakat yang bersangkutan, yang menyangkut bidang-bidang
kehidupan yang tertentu. Akan tetapi ada kecenderungan, untuk hanya menelaah
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.
Kiranya sulit untuk dapat membayangkan bahwa perubahan-perubahan sosial yang
terjadi pada salah satu lembaga kemasyarakatan, tidak akan menjalar ke lembaga-
lembaga kemasyarakatan lainnya. Walaupun hal itu mungkin saja terjadi, akan tetapi
pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang-bidang
lainnya. Masalah kemudian adalah sampai seberapa jauh suatu lembaga kemasyarakatan
dapat mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, atau sampai sejauh
manakah suatu lembaga kemasyarakatan dapat bertahan terhadap rangkaian perubahan-
penibahan yang dialami oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya? Apabila hal ini
diterapkan terhadap hukum, maka masalahnya adalah sampai seberapa jauhkah

Pokok Bahasan 4 41
Perubahan Sosial dan hukum

perubahan-perubahan hukum dapat mengakibatkan perubahan-perubahan pada bidang-


bidang lainnya. Atau, sampai seberapa jauhkah hukum harus menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi di bidang-bidang lainnya?

B. Beberapa Teori Tentang Hukum Dan Perubahanperubahan Sosial

Sebagaimana telah disinggung di dalam pembahasan teori dari Max Weber, salah
satu sumbangan pemikirannya yang penting adalah pendapatnya atau tekanannya pada
segi rasional dari perkembangan lembaga-lembaga hukum terutama pada masyarakat-
masyarakat Barat. Menurut Max Weber perkembangan hukum materiil dan hukum acara
mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang
didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju di mana hukum disusun secara
sistematis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan
latihan-latihan di bidang hukum. Tahap tahap perkembangan hukum yang dikemukakan
oleh Max Weber tersebut lebih banyak merupakan bentuk-bentuk hukum yang dicita-
citakan, dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh pada
pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. (R. Bendix 1960: 388).
Hal yang sama dapat pula ditafsirkan terhadap teori Max Weber tentang tipe-
tipe ideal dari sistem hukum, yaitu yang irrasional dan rasional. Dengan adanya
birokrasi pada masyarakat-masyarakat industri yang modem, maka sistem hukum rasional
dan formal timbul, di mana faktor kepastian hukum lebih ditekankan daripada keadilan.
Perubahan-perubahan hukum sebagaimana dinyatakan oleh Max Weber, adalah sesuai
dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem sosial dari masyarakat yang
mendukung sistem hukum yang bersangkutan.
Suatu teori lain tentang hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial
pemah pula dikemukakan oleh Emile Durkheim yang pada pokoknya menyatakan bahwa
hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurut dia,
maka di dalam masyarakat terdapat: dua macam solidaritas yaitu yang bersifat mekanis
(mechanical solidarity) dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang
mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, di mana
ikatan daripada para warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan
yang sama. Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang
heterogen di mana terdapat pembagian kerja yang kompleks. Ikatan dari masyarakat
lebih banyak tergantung pada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang dihasilkan
oleh pembagian kerja. Pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis sistem
hukumnya adalah hukum pidana yang bersifat represif. Suatu perbuatan merupakan tindak
pidana apabila perbuatan tadi menghina keyakinan-keyakinan yang tertanam dengan
kuatnya di dalam masyarakat; artinya, keyakinan-keyakinan yang telah mantap dalam
masyarakat. Di dalam masyarakat-masyarakat atas dasar solidaritas yang mekanis, para
warganya bertindak atas dasar perasaan terhadap orang-orang yang melanggar kaidah-
kaidah hukum, oleh karena apabila terjadi pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum semua
warga masyarakat merasa dirinya terancam secara langsung. Akan tetapi sebaliknya,
pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum tersebut memperkuat solidaritas di dalam

Pokok Bahasan 4 42
Perubahan Sosial dan hukum

masyarakat.
Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap
pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum menjadi berkurang sehingga hukum yang
bersifat represif berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Di dalam hukum yang
restitusif, tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan, yaitu
bahwa segala sesuatu harus dikembalikan pada keadaan sebelum kaidah-kaidah tersebut
dilanggar.
Apa yang telah dikemukakan oleh Durkheim tersebut di atas agak sulit untuk
dibuktikan. Salah satu penemuan yang membuktikan bahwa teori Durkheim tidak benar,
telah dikemukakan oleh Richard Schwartz dan James C. Miller yang meneliti 51 masyarakat.
(R.D. Schwartz and J.C. Miller 1964: 159). Mereka meneliti beberapa karakteristik sistem
hukum yang telah berkembang termasuk adanya counsel (yaitu suatu badan yang
menyelesaikan persengketaan-persengketaan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak
mempunyai hubungan kekerabatan dengan pihak-pihak Yang bersengketa), mediation
(yaitu intervensi dari pihak ketiga yang tak mempunyai hubungan darah dengan para
pihak), dan polisi Yang merupakan angkatan bersenjata yang dipergunakan untuk
melaksanakan hukum. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa dari 5l masyarakat yang
merupakan masyarakat-masyarakat sederhana sampai pada masyarakat-masyarakat yang
kompleks, masyarakat tak mempunyai ketiga karakteristik tersebut di atas; 20 masyarakat
hanya mempunyai mediation, 11 masyarakat hanya mempunyai mediation dan polisi; 7
masyarakat mempunyai ketiga karakteristik tersebut di atas. Ada 2 masyarakat yang
menyimpang di mana yang ada hanya polisi. Masyarakat-masyarakat di mana tidak di
jumpai mediation menipakan masyarakat-masyarakat yang paling sederhana yang bahkan
belum mengenal uang. Sebaliknya dua pertiga dari masyarakat-masyarakat mengenal
mediation telah mempergunakan uang dalam sistem ekonominya. Masyarakat-masyarakat
tersebut telah mengenal konsepsi ganti rugi yang merupakan prekondisi dari mediation.
Oleh karena ada 20 masyarakat yang mempunyai mediation tidak mengenal polisi, jelaslah
bahwa kedua karakteristik tersebut tidak selalu berkembang bersama-sama. Masyarakat-
masyarakat yang mengenal polisi, pada umumnya mempunyai sistem ekonomi yang maju
dan mempunyai derajat spesialisasi tertentu; kebanyakan telah mempunyai pendeta-
pendeta, guru dan pejabat-pejabat pemerintah.
Penemuan-penemuan Schwartz dan Miller tersebut di atas ternyata bertentangan
dengan teori Duricheim tentang perkembangan dari hukum represif ke hukum restitutif.
Sebab polisi (yang merupakan badan yang terlebih-lebih represif sifatnya) diketemukan
pada masyarakat-masyarakat yang mempunyai derajat pembagian kerja tertentu.
Sebaliknya, mediation yang bersifat restitutif (apabila dihubungkan dengan konsep ganti
rugi), dapat dijumpai pada masyarakat yang belum mengenal pembagian kerja.
Penggunaan Counce hanya dijumpai pada masyarakat-masyarakat Yang sangat
kompleks, dan penggunaannya tidak selalu disertai atau diikuti dengan mediation.
Schwartz dan Miller berpendapat bahwa bagi penggunaan Counsel, tidak cukup apabila
hanya dipergunakan sebagai ukuran kemajuan sistem ekonomi dan spesialisasi
(maksudnya pembagian kerja); ditambahkannya bahwa mungkin derajat tidak adanya buta

Pokok Bahasan 4 43
Perubahan Sosial dan hukum

huruf merupakan faktor yang penting. Selanjutnya dikatakan bahwa penemuan-penemuan


tersebut akan dapat mendukung teori evolusi perkembangan lembaga-lembaga hukum.
Walaupun teori Durkheim tidak seluruhnya benar secara empiris, hal itu bukanlah
berarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna. Sebaliknya, ada hal-hal tertentu yang
berguna untuk menelaah sistem-sistem hukum dewasa ini. Apa yang dikemukakannya
tentang hukum yang bersifat represif berguna untuk memahami pentingnya hukuman.
Baik pada masyarakat sederhana maupun kompleks hukuman merupakan refleksi dari
reaksi-reaksi yang sentimentil atau kemarahan. Apa yang telah dinyatakan oleh
Durkheim tentang hukum restitutif pada masyarakat-masyarakat modem agaknya
penting untuk mengoreksi pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa semua sistem
hukum bertujuan untuk menjatuhkan hukuman sebagai suatu pembalasan (teori
restitutif). Apalagi dalam bidang hukum dagang misalnya, kelihatan bahwa sanksi-sanksi
yang non-represif lebih ditekankan daripada sanksi-sanksi yang represif.
Suatu teori lain yang mengandung unsur-unsur hukum dan perubahan-
perubahan sosial adalah teori dari Sir Henry Maine. Dikatakannya bahwa
perkembangan hukum dari status ke kontrak adalah sesuai dengan perkembangan
dari masyarakat yang sederhana dan homogen ke masyarakat yang telah kompleks
susunannya dan bersifat heterogen di mana hubungan antara manusia lebih
ditekankan pada unsur pamrih. Di dalam membicarakan soal status, Maine
memusatkan perhatiannya pada para ibu dan anak-anak di dalam keluarga, serta
kedudukan lembaga perbudakan pada khususnya. Dalam hal ini mereka, di dalam
melakukan tindakan-tindakan hukum ditentukan oleh kedudukannya. Akan tetapi pada
masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks, seseorang mempunyai beberapa
kebebasan dalam membuat suatu kontrak atau untuk ikut dalam suatu kontrak
tertentu. Yang kemudian mengikatnya adalah ketentuan-ketentuan di dalam kontrak
tersebut.
Pitirim Sorokin pernah pula mengemukakan teori tentang perkembangan hukum dan
gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikannya dengan tahapan-tahapan tertentu
yang dilalui oleh setiap masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai nilai
tertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai
tersebut adalah yang ideational (yaitu kebenaran absolut sebagaimana diwahyukan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa), sensate (yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada
pengalaman), dan yang idealistic (yang merupakan kategori campuran). Hukum dan
gejala-gejala sosial budaya lainnya terbentuk sesuai dengan bentuk nilai :nilai yang
sedang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena, kata Sorokin, masyarakat Barat
sedang dalam tahap sensate, maka hukum yang didasarkan pada pengalaman-
pengalamanlah yang berlaku pada masyarakat tersebut walaupun teorinya tidak
banyak berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi hukum, akan tetapi yang
penting adalah apa yang telah dikemukakannya tentang hukum yang didasarkan pada
pengalaman.
Walaupun sistematika Sorokin tentang perkembangan hukum tidak terlalu
memuaskan, namun perlu dicatat bahwa setiap sistem hukum tak akan mungkin

Pokok Bahasan 4 44
Perubahan Sosial dan hukum

secara mutlak menutup dirinya terhadap perubahan-perubahan sosial di dalam


masyarakat.
Selain daripada itu, Arnold M. Rose pernah mengemukakan adanya 3 teori umum
perihal perubahan-perubahan sosial, yang kemudian dihubungkan dengan hukum.
Ketiga teori umum tersebut sebetulnya lebih banyak menyangkut sebab utama
terjadinya perubahan-perubahan sosial, yakni masing-masing:
1) Kumulasi yang progresif daripada penemuan-penemuan di bidang teknologi.
2) kontak atau konflik antara kebudayaan; dan
3) gerakan sosial (social movement).
Menurut ketiga teori tersebut di atas, maka hukum lebih merupakan akibat
daripada faktor penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial. Teori tentang
penemuan-penemuan dibidang teknologi, yang antara lain dikemukakan oleh William
F. Ogburn, menyatakan bahwa penemuan-penemuan baru di bidang teknologi merupakan
faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya Perubahan-perubahan sosial oleh karena
penemuan-penemuan tersebut mempunyai daya berkembang yang kuat. Organisasi
ekonomi merupakan faktor kedua oleh karena manusia pertama-tama bermotivasi pada
keuntungan ekonomis yang dimungkinkan oleh karena adanya perubahan-perubahan di
bidang teknologi. Hukum hanya merupakan refleksi dari dasar-dasar teknologi dan
ekonomi masyarakat. Dalam bentuknya yang lebih politis sifatnya, Karl Marx
mengemukakan teori yang hampir sama. Salah satu kelemahan teori ini adalah bahwa
teori tersebut menyangkal adanya sebab-sebab yang bersumber pada hukum maupun
ideologi.
Teori lainnya yang menyangkut kebudayaan banyak dikemukakan oleh para
antropolog dan sosiolog, menyatakan bahwa proses pembaharuan ( perubahan) terjadi
apabila dua kebudayaan (atau lebih) berhubungan. Pembaharuan terjadinya bukan semata-
mata karena terjadi proses peniruan atau paksaan, akan tetapi juga oleh karena alam
pikiran menjadi lebih terbuka, hal mana berarti kemungkinan terjadinya hal-hal yang baru
juga lebih banyak. Sebelum terjadinya hubungan tadi, alam pikiran warga -warga
masyarakat hanya terbatas pada masyarakat serta kebudayaannya sendiri. Hukum yang
baru mungkin timbul sebagai akibat terjadinya kontak kebudayaan tersebut oleh karena
dengan terjadinya hubungan, diketahui pula unsur-unsur yang baik dari kebudayaan lain
(misalnya, orang-orang Jepang yang telah banyak mengambil unsur-unsur dari hukum
Barat, sesudah tahun 1870), maupun kekurangan-kekurangannya. Teori tersebut di atas
kurang memuaskan oleh karena dewasa ini komunikasi yang maju memungkinkan adanya
hubungan atau kontak yang tetap antara dua kebudayaan atau lebih, atau konflik antara
kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Teori gerakan sosial antara lain menyatakan bahwa adanya ketidakpuasan
terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu menimbulkan keadaan tidak tenteram yang
menyebabkan terjadinya gerakan-gerakan untuk mengadakan perubahan-perubahan. Se-
ringkali hasil perubahan-perubahan tersebut adalah terwujudnya suatu hukum baru.
Sayang sekali bahwa teori tersebut tidak berhasil mengemukakan faktor-faktor apa yang
dapat menyebabkan terjadinya ketidakpuasan, dan bagaimana selanjutnya hukum dapat

Pokok Bahasan 4 45
Perubahan Sosial dan hukum

menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan lebih lanjut.


Suatu teori lain yang menghubungkan hukum dengan perubahan-perubahan sosial
adalah pendapat Hazairin tentang hukum adat. Di dalam pidato pengukuhannya sebagai
guru besar pada tahun 19521 beliau antara lain berpendapat bahwa secara langsung
maupun tidak langsung, seluruh lapangan hukum mempunyai hubungan dengan
kesusilaan. Oleh karena itu maka di dalam sistem hukum yang sempurna, tak ada
tempat bagi sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan.
Khususnya dalam hukum adat ada hubungan yang langsung antara hukum dengan
kesusilaan yang akhimya meningkat menjadi hubungan antara hukum dengan adat.
Adat merupakan renapan (endapan) kesusilaan di dalam masyarakat yaitu bahwa
kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah
mendapat pengakuan secam umum dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya dikatakan
bahwa walaupun terdapat perbedaan sifat atau perbedaan corak antara kaidah-kaidah
kesusilaan dengan kaidah-kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang
menurut hukum dilarang atau disuruh merupakan bentuk-bentuk yang juga dicela atau
dianjurkan menurut kesusilaan, sehingga pada hakikatnya di dalam patokan lapangan
itu hukum juga berurat pada kesusilaan. Apa yang tak mungkin terpelihara lagi hanya
oleh kaidah-kaidah kesusilaan diikhtiarkan penegakannya dengan kaidah-kaidah hukum.
Oleh Hazairin dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum merupakan kaidah-kaidah yang
tidak hanya didasarkan pada kebebasan pribadi, akan tetapi secara serentak mengekang
pula kebebasan tersebut dengan suatu gertakan maupun ancaman paksaan yang
merupakan ancaman hukum atau penguat hukum. Dengan penjelasan tersebut,
Hazairin menghilangkan batas tegas antara hukum di satu pihak dengan kesusilaan di
pihak lain. Sebaliknya, kaidah-kaidah kesusilaan dan adat dibiarkan pemeliharaannya
kepada kebebasan pribadi Yang dibatasi dengan ancaman serta dijuruskan pada suatu
ancaman paksaan, yaitu hukuman yang merupakan penguat hukum. Dan kemudian,
tentang isi hukum adat disesuaikannya dengan paham masyarakat baik dalam arti adat
sopan-santun maupun dalam arti hukum.
Seorang sarjana hukum adat lainnya yaitu Soepomo di dalam suatu pidato yang
berjudul Hukum Adat di Kemudian Hari Berhubung dengan Pembinaan Negara Indonesia 2
banyak sekali mengungkapkan hubungan antara hukum (adat) dengan perubahan-
perubahan sosial yang dialami Indonesia terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Walaupun mungkin tak ada teori-teori baru dari Soepomo tersebut, namun apa yang
dikemukakan pada waktu itu sungguh merupakan sesuatu yang dianggap baru di dalam
Perkembangan hukum di Indonesia pada khususnya. Dalam kata-kata Soepomo sendiri.
"Dengan tamatnya masa kolonial itu, kami dihadapkan kepada masalah
mengubah dan membaharui Indonesia, Yang berarti: meruntuhkan tata-tertib
masyarakat yang lampau, dan menciptakan ukuran-ukuran baru, berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan nasional dari bangsa Indonesia, disesuaikan dengan

1
Yang berjudul Kesusilaan dan Hukum
2
Diucapkan di Washington pada tanggal 14 Agustus 1952 pada Konperensi Asia Tenggara. Salinannya dalam Bahasa
Indonesia dimuat dalam majalah Hukum, tahun 1952, No. 4 dan 5.

Pokok Bahasan 4 46
Perubahan Sosial dan hukum

syarat-syarat hidup modem".


Meskipun Soepomo tidak secara terinci menguraikan teori-teori yang menjadi dasar
dari uraiannya, setidak-tidaknya dapat disimpulkan bahwa hukum mempunyai hubungan
timbal-balik dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya di dalam masyarakat.

C. Hubungan Antara Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum


Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat dapat terjadi
oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari
masyarakat itu sendiri (sebab-sebab intern) maupun dari luar masyarakat tersebut (se-
bab-sebab eksteren). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan misalnya
pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan baru;
pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstem
dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh
kebudayaan masyarakat lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan sosial lebih
mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat--
masyarakat lain, atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju. Sistem lapisan
sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta ketidakpuasan masyarakat tertiadap
bidang kehidupan yang tertentu; dapat pula memperlancar terjadinya perubahan--
perubahan sosial, sudah tentu di samping faktor-faktor yang dapat memperlancar proses
perubahan-perubahan sosial, dapat juga diketemukan faktor-faktor yang mungkin
menghambatnya seperti sikap masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau
(tradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-
interest), prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan yang
bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut di atas sangat mempengaruhi
terjadinya perubahan-perubahan sosial, beserta prosesnya.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya
adalah lembaga-lembaga pemasyarakatan di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan,
agama, dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan titik tolak,
tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing-
masing lembaga kemasyarakatan tersebut.
Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya dikenal
adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, Yaitu badan-badan pembentuk hukum,
badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-
badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang
menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum,
merupakan ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara modern, Pada masyarakat-
masyarakat sederhana, ketiga fungsi tadi mungkin berada di tangan satu badan tertentu
atau diserahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti misalnya keluarga luas.
Akan tetapi, baik pada masyarakat modem maupun sederhana ketiga fungsi tersebut
dijalankan dan merupakan saluran-saIuran melalui mana hukum mengalami perubahan-
perubahan.

Pokok Bahasan 4 47
Perubahan Sosial dan hukum

Apabila hukum harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka
perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan semata-mata.
Apabila karena faktor-faktor prosediiral suatu badan mengalami kemacetan, maka badan-
badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit
banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut.
Sebagaimana dikatakan oleh Daniel S. Lev:
"Yang menjadi hukum ialah praktek sehari-hari oleh pejabat hukum. Kalau
kelakuan pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-
advokat, pokrol bambu, polisi-polisi dan pegawai-pegawai pemerintah pada umumnya
berubah ini berarti bahwa hukum sudah berubah walaupun undang-undangnya sama
saja seperti dulu" (D.S. Lev 1971, 2:7).
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya,
perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak selalu berlangsung
bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkm
tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta
kebudayaannya, atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi. Apabila terjadi hal yang
demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan di mana terjadi ketidak-
seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan, (W.F. Ogburn 1966:200).
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau
sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar di dalam
suatu masyarakat bahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang
diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan
oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-
kaidah sosial lainnya. Hal ini terjadi oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau
disahkan oleh bagian kecil dari masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan
dan wewenang.
Walaupun mereka terdiri dari orang-orang yang dapat dianggap mewakili
masyarakat, namun adalah tak mungkin untuk mengetahui, memahami, menyadari dan
merasakan kepentingan-kepentingan seluruh warga masyarakat atau bagian terbesar dari
masyarakat. Oleh karena itu perbedaan antara kaidah hukum di satu pihak, dengan
kaidah-kaidah sosial lainnya di lain pihak merupakan ciri Yang tak dapat dihindarkan
dalam masyarakat. Namun demikian, keadaan tadi bukanlah berarti bahwa pasti timbul
social lag. Tertinggalnya hukum terhadap bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila
hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika
tertentu, apalagi perubahan-perubahan di bidang-bidang lainnya telah melembaga serta
menunjukkan suatu kemantapan. Suatu contoh dari adanya lag dari hukum terhadap
bidang-bidang lainnya adalah Hukum Perdata (Barat) yang sekarang berlaku di Indonesia.
Di bidang Hukum Perdata masih dijurnpai warisan sistem hukum yang dijalankan oleh
pemerintah Hindia Belanda dahulu, yakni tidak adanya kesatuan dalam peraturan hukum
bagi golongan-golongan penduduk di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda dahulu
melaksanakan Politik hukum kolonial, yaitu dengan mengadakan penggolongan penduduk

Pokok Bahasan 4 48
Perubahan Sosial dan hukum

(pasa1163 I. S) dan Penggolongan hukum (pasal 131 LS), sehingga menyebabkan adanya
dualisme dan bahkan pluralisme hukum yang hingga saat ini masih tetap berlaku dalam
bidang Hukum Perdata c.q. Hukum Kekeluargaan. (dikurangi Hukum Perkawinan).
Hukum Kekeluargaan Yang berlaku di Indonesia atas dasar Penggolongan
penduduk (pasal 163 LS) adalah sebagai berikut:
1. Bagi orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat dan Hukum Agama. Bagi orang-orang
Indonesia yang beragama Kristen di daerah-daerah Jawa, Minahasa dan Ambon
berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Staatsblad 1933/no.74), sedangkan
bagi mereka yang tinggal di luar daerah-daerah tersebut, walaupun mereka beragama
Kristen, diperlakukan Hukum Adat masing-masing.
2. Bagi bangsa Timur Asing bukan Cina, berlaku hukum adat dan/atau hukum agama
mereka.
3. Bagi orang-orang atau golongan Eropa berlaku Bugerlijk Wetbcek.
4. Bagi orang-orang Cina berlaku Bugerlijk Wetboek.
Dewasa ini, di antara mereka yang tidak tergolong ke dalam golongan Indonesia,
banyak yang telah menjadi warganegara Indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap
berlaku hukum yang berbeQa. Jelaslah bahwa sistem hukum yang demikian tidak
mungkin dipertahankan oleh karena tertinggal jauh oleh bidang-bidang lainnya yang
menyangkut kebutuhan masyarakat.
Suatu keadaan yang menunjukkan bahwa hukum tertinggal oleh perkembangan
bidang-bidang lainnya, seringkali menimbulkan hambatan-hambatan terhadap bidang-
bidang tersebut. Hal ini, misalnya, dapat dijumpai pada bagian-bagian tertentu dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang dapat menghambat pelaksanaan program Keluarga
Berencana di Indonesia. Oleh karena pertambahan penduduk yang sangat pesat (sekitar
2,8% setahun), maka dikhawatirkan bahwa pembangunan ekonomi akan tertinggal jauh
dari angka laju pertambahan penduduk. Oleh sebab itu diintrodusir program Keluarga
Berencana yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan
ibu, anak, keluarga dan bangsa; serta, menaikkan taraf hidup rakyat dengan mengurangi
angka kelahiran, sehingga pertambahan penduduk tidak melampaui kemampuan
menambah hasil produksi nasional. Jelaslah bahwa Keluarga Berencana, antara lain,
berarti menjalankan pencegahan kehamilan. Pasal 534 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan) karena melarang pemberian penerangan
tentang usaha-usaha pencegahan kehamilan, dapat menghambat pelaksanaan program
Keluarga Berencana. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
"Barang siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk mencegah
hamil, atau yang dengan terang-terangan dan dengan tiada diminta menawarkan
ikhtiar atau pertolongan untuk mencegah hamil atau yang dengan terang-terangan
atau dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan tiada diminta bahwa ikhtiar
atau pertolongan itu bisa didapat, dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya dua bulan atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus rupiah".
Disamping itu, maka program Keluarga Berencana akan melaksanakan pendidikan
tentang kehidupan berkeluarga atau tentang kependudukan kepada siswa-siswa sekolah,

Pokok Bahasan 4 49
Perubahan Sosial dan hukum

maupun di dalam kerangka pendidikan di luar sekolah. Pasal 283 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (Bab XTV tentang Kejahatan Melanggar Kesusilaan), mempersulit
terlaksananya rencana tersebut oleh karena pasal tersebut menyatakan bahwa:
"(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan atau
memberikan untuk selamanya atau untuk sementara, menyerahkan atau
memperlihatkan, baik sesuatu tulisan, gambar atau benda yang melanggar
kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau untuk menggugurkan kandungan
kepada orang di bawah umur yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya,
bahwa umur orang itu belum tujuh belas tahun, kalau isi tulisan atau gambar,
barang atau alat itu diketahuinya.
(2) Barangsiapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan, jika yang
demikian itu diketahuinya, di hadapan orang di bawah umur dimasukkan dalam ayat
yang lalu dihukum dengan hukuman itu juga.
(3) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan atau hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya enam ratus
rupiah, barangsiapa menawarkan atau memberikan untuk selama-lamanya atau
sementara, menyerahkan atau memperlihatkan baik suatu tulisan, gambar atau
barang yang melanggar kesusilaan maupun alat untuk mencegah atau menggugur-
kan kandungan, kepada orang di bawah umur dimaksudkan dalam ayat pertama
atau membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di hadapan orang di
bawah umur dimaksudkan dalam ayat pertama, jika ia harus dapat
menyangka, bahwa tulisan itu gambar atau barang itu melanggar kesusilaan.
atau alat itu ialah alat untuk mencegah atau merusakkan kandungan".
dan kemudian pasa1283 bisa menyatakan bahwa,
"Kalau yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal
282 dan 283 dalam pekerjaannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu
belum lalu dua tahun sejak penghukumannya dahulu karena kejahatan
semacam itu juga, menjadi tetap, maka ia boleh dipecat dari haknya melakukan
pekerjaan itu".
Dari pasal-pasal tersebut di atas kiranya menjadi jelas bahwa tertinggalnya
kaidah-kaidah hukum terhadap perkembangan unsur-unsur lainnya dalam masyarakat, hal
mana bahkan dapat menghambat perkembangan di bidang-bidang lainnya.
Tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu
disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar,
sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk.
Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu
keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi para warga masyarakat
untuk mengukur kegiatan-kegiatannya. Tentang hal ini banyak diketemukan contoh-
contoh dari hukum internasional, baik publik maupun perdata. Misalnya,
perkembangan yang pesat di bidang penggunaan tenaga nuklir untuk maksud-maksud
perang maupun damai, meninggalkan perkembangan hukum jauh di belakangnya. Juga

Pokok Bahasan 4 50
Perubahan Sosial dan hukum

sepanjang tentang hukum perdata intemasional banyak diketemukan unsur-unsur yang


tertinggal seperti misalnya tidak adanya hukum perkawinan yang mengatur hubungan
perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan oleh karena sifatnya yang
nasional; sehingga suatu masalah masih tetap ada yaitu apakah hukum nasional negara
tertentu diakui oleh negara lain.
Faktor tertinggalnya kaidah-kaidah hukum sudah menimbulkan pelbagai persoalan;
persoalan-persoalan tersebut akan bertambah banyak apabila diusahakan untuk menyoroti
kemungkinan-kemungkinan bahwa unsur-unsur lain dalam masyarakat tertinggal oleh
hukum. Hal ini terutama disebabkan oleh karakteristik kaidah-kaidah hukum itu sendiri yang
mengakibatkan hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan perubahan-perubahan
sosial tambah ruwet. Pertama-tama, kaidah-kaidah hukum merupakan suatu sistem
tersendiri dalam masyarakat yang merupakan suatu jaringan dari hubungan-hubungan
antar manusia, hubungan antar manusia dengan kelompok-kelompok sosial, dan
hubungan antar kelompok sosial. Jaringan tersebut merupakan suatu subsistem dalam
masyarakat, sebagaimana halnya, misalnya, sistem kekerabatan. Selanjutnya, pengaruh
hukum pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luas. Bahkan
dapat dikatakan bahwa hukum mempengaruhi hampir semua lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Misalnya, hukum waris merupakan bagian dari sistem hukum
masyarakat yang bersangkutan dan tak akan mungkin dipahami tanpa menyoroti sistem
hukum tersebut. Akan tetapi, hukum waris juga merupakan bagian yang penting dan
hakiki dari lembaga-lembaga kewarisan, dan tak akan mungkin dimengerti tanpa
memahami lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut.
Kemungkinan, kesulitan-kesulitan di atas dapat diatasi dengan terlebih dahulu
menganalisa peranan hukum dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial
dengan membedakan antara aspek-aspek hukum yang secara tidak langsung. Hukum
mempunyai pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-
perubahan sosial dengan membentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang
berpengaruh langsung terhadap masyarakat. Sebaliknya, apabila hukum membentuk
atau mengubah basic institutions dalam masyarakat, maka terjadi pengaruh yang
langsung. Hal ini membawa pembicaraan pada penggunaan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat.

D. Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat

Pada sub ini akan diusahakan untuk membahas hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat, dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu
alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang
atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin
satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu
langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, dan bahkan
mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pula pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan,

Pokok Bahasan 4 51
Perubahan Sosial dan hukum

selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut.


Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan
direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning.
Sebagaimana disinggung di atas, hukum mungkin mempunyai pengaruh langsung atau
pengaruh yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial.
Misalnya, suatu peraturan yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi para warga
negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya
perubahan-perubahan sosial.
Suatu contoh lain adalah tentang jumlah universitas dan mahasiswa di Indonesia.
Sebelum Undang-undang No. 22/1961 ditetapkan, terdapat 14 universitas negeri dengan
65.000 mahasiswa. Terlepas dari segi baik-buruknya, sejak Undang-undang tersebut
ditetapkan, jumlah universitas negeri naik sampai menjadi 34 buah dengan 158.000
mahasiswa. Contoh ini diberikan untuk sekedar membuktikan bahwa suatu keputusan
hukum dapat memperbanyak jumlah lembaga-lembaga pendidikan (misalnya universitas),
dan selanjutnya lembaga-lembaga tersebut merupakan alat sosialisasi, akulturasi,
perubahan, mobilitas atau gerak sosial, dan tempat pendidikan bagi golongan elit yang
porensiil. Lembaga-lembaga pendidikan memperkenalkan ide-ide baru; lembaga--
lembaga tersebut dapat menarik orang-orang dari latar belakang etnik yang berbeda,
agama yang berbeda maupun ideologi yang berbeda. Lembaga-lembaga pendidikan
tersebut (yang kebanyakan bertempat di daerah-daerah perkotaan) dapat menarik
warga-warga daerah pedesaan, dan sampai batas-batas tertentu lembaga-lembaga tadi
menjadi golongan elit masa depan.
Di dalam pelbagai hal, hukum mempunyai pengaruh Yang langsung terhadap
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang
langsung antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial. Suatu kaidah hukum
yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya dapat
menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-
perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola-pola
perikelakuan dan hubungan-hubungan antara para warga masyarakat. Kaidah-kaidah
hukum tersebut ditetapkan di dalam Ketetapan MPRS No. II/ 1960 yang mencoba
membentuk suatu sistem hukum waris yang seragam di Indonesia. Kaidah-kaidah
hukum tersebut mungkin sekali mengubah pola-pola kewarisan terutama pada
masyarakat-masyarakat patrilineal dan akan mengakibatkan kedudukan yang lebih baik
bagi para wanita, oleh karena menurut hukum adat asli, seorang Janda bukanlah
merupakan ahliwaris suaminya oleh karena tak ada hubungan kekerabatan (jadi, janda
dianggap orang luar keluarga suaminya almarhum). Sehubungan dengan adanya
ketentuan tersebut, perlu dicatat suatu keputusan Mahkamah Agung tertanggal 1
November 1961, yang merupakan keputusan Kasasi atas keputusan-keputusan
pengadilan negeri Kabanjahe dan pengadilan tinggi Medan. Keputusan tersebut
menyangkut gugatan seorang wanita atas sebagian dari harta warisan ayahnya
almarhum. Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi menolak gugatan tersebut atas
dasar bahwa hukum adat Karo dan sistem patrilineal menentukan bahwa harta warisan

Pokok Bahasan 4 52
Perubahan Sosial dan hukum

seorang pria hanya dapat diwariskan kepada anak (2) laki-lakinya atau apabila dia tidak
mempunyai keturunan, kepada saudara-saudara laki-laki yang terdekat melalui garis
keturunan patrilineal. Menurut keputusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, maka
"anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas
harta warisan dalam arti bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak
perempuan". (R. Subekti dan J. Tamara 1965:85). Keputusan tersebut mengakibatkan
reaksi dari para sarjana hukum maupun masyarakat umum khususnya di Sumatra Utara.
Suatu seminar tentang kewarisan diadakan pada tahun 1962 di mana antara lain
dikemukakan bahwa keputusan Mahkamah Agung tertanggal l November 1961 tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya kegoncangan-kegoncangan pada sistem sosial
masyarakat Karo. Akan tetapi di lain pihak diakui pula dalam seminar tersebut bahwa
pada masa-masa mendatang mau tidak mau pola-pola kewarisan yang hanya
memberikan hak sebagai ahli waris kepada anak laki-laki saja harus ditinggalkan.
Pengalaman-pengalaman di negara-negara lain dapat membuktikan pula bahwa
hukum, sebagaimana halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan
sebagai alat untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial. Misalnya di Tunisia, maka
sejak diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang
telah dewasa, mempunyai kemampuan hukum untuk menikah tanpa harus didampingi
oleh seorang wali. Tunisia sebagai suatu negara Islam di mana penduduknya pada
umumnya menganut ajaran-ajaran mashab Maliki, mengambil prinsip-prinsip dari mashab
Hanafi tentang kedudukan wanita. Di Siria, Yordania, Irak dan juga di Marokko, suatu
perkawinan haruslah mendapatkan izin dari pengadilan. Misalnya, pengadilan dapat
menolak untuk memberikan izin, apabila para pihak yang akan menikah mempunyai
perbedaan usia yang terlampau besar. Bahkan di Siria, misalnya, pengadilan baru akan
memberikan izin untuk melakukan poligami apabila pengadilan telah yakin benar bahwa
calon suami mempunyai kedudukan ekonomis yang kuat. (N.J. Coulson 1969).
Perlu diperhatikan bahwa pembedaan antara pengaruh langsung dengan
pengaruh tidak langsung dari hukum seringkali tak dapat ditetapkan secara mutlak atau
kadang-kadang dasar pembedaannya agak goyah. Sebab, dalam pelbagai hal pengaruh
langsung maupun pengaruh tidak langsung saling mengisi. Akan tetapi keuntungan
hukum bertujuan untuk memelihara tata tertib dalam masyarakat, tidak perlu bersifat
konservatif.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-
perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan. (intended
change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan
direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan
oleh warga-warga masyarakat yang berperanan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam
masyarakat-masyarakat yang sudah kompleks di mana birokrasi memegang peranan
penting tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk
sahnya. Dalam hal ini, maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk
mengadakan perubahan-perubahan sosial, walaupun secara tidak langsung. Oleh sebab

Pokok Bahasan 4 53
Perubahan Sosial dan hukum

itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah
masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi
serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum
mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan
yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di bidang-
bidang sosial, ekonomi dan politik. Misalnya, Ketetapan MPRS No. XLI/ 1968 yang
menetapkan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun di Indonesia, merupakan
suatu contoh di mana hukum berfungsi atau berperan secara tidak langsung dalam
perubahan sosial yang direncanakan. Akan tetapi, hasil yang positif tergantung pada
kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya
disorganisasi sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi (yang juga dapat
dilakukan dengan mempergunakan hukum sebagai alat), untuk memudahkan proses
reorganisasi. Kemampuan untuk membatasi terjadinya disorganisasi selanjutnya
tergantung pada suksesnya proses pelembagaan dari unsur-unsur baru yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Berhasil tidaknya proses
pelembagaan tersebut mengikuti formula sebagai berikut, (Selo Soemardjan 1965:26).

Yang dimaksudkan dengan efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari
penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode untuk menanamkan
lembaga baru di dalam masyarakat. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, makin
ampuh alat-alat yang dipergunakan, makin rapih dan teratur organisasinya, dan makin
sesuai sistem penanaman itu dengan kebudayaan masyarakat, makin besar hasil yang
dapat dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu. Tetapi, setiap usaha menanam
sesuatu yang baru, pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan dari masyarakat
yang merasa dirugikan. Kekuatan menentang dari masyarakat itu mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses pelembagaan. Kekuatan
menentang dari masyarakat tersebut mungkin timbul karena pelbagai faktor, antara lain:
1) mereka, yaitu bagian terbesar dari masyarakat tidak mengerti akan kegunaan unsur-
unsur baru tersebut.
2) perubahan itu sendiri, bertentangan dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilainya yang ada
dan berlaku. Khususnya tentang kaidah-kaidah dan nilai-nilai, bukanlah berarti bahwa
semua kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang tampaknya bertentangan samasekali tak
dapat dijadikan faktor penunjang bagi perubahan atau pembangunan. Untuk keperluan
itu perlu dibedakan antara. (Selo Soemardjan 1972:2):
I. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang menguntungkan proses perubahan; dan
karena itu harus dipelihara dan bahkan diperkuat.
II. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dapat menguntungkan proses perubahan,
dengan jalan menyesuaikannya dengan proses perubahan tersebut.

Pokok Bahasan 4 54
Perubahan Sosial dan hukum

III. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dapat menjadi faktor penghambat


perubahan, akan tetapi yang dapat dinetralisir oleh proses perubahan itu
sendiri.
IV. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang merupakan hambatan, sehingga harus
dihapuskan secara keseluruhan.
3) para warga masyarakat yang kepentingan-kepentingannya tertanam dengan kuatnya
cukup berkuasa untuk menolak suatu proses pembaharuan.
4) risiko yang dihadapi sebagai akibat dari perubahan ternyata lebih berat daripada
mempertahankan ketenteraman sosial yang ada sebelum terjadinya perubahan.
5) masyarakat tidak mengakui wewenang dan kewibawaan para pelopor perubahan.
Dengan demikian maka jelaslah, bahwa apabila efektivitas menanam kecil,
sedangkan kekuatan menentang dari masyarakat besar, maka kemungkinannya
terjadinya sukses dalam proses pelembagaan menjadi kecil atau bahkan hilang sama
sekali. Sebaliknya, apabila efektivitas menanam itu besar dan kekuatan menentang dari
masyarakat kecil, maka jalannya proses pelembagaan menjadi lancar. Berdasarkan
hubungan, timbal-balik antara ke dua faktor yang berpengaruh positif dan negatif itu,
orang dapat menambah kelancaran proses pelembagaan dengan memperbesar efektivitas
menanam dan/atau mengurangi kekuatan menentang dari masyarakat. Perlu pula
diperhatikan bahwa penggunaan kekuasaan untuk mengurangi kekuatan menentang dari
masyarakat itu biasanya malahan memperbesar kekuatan menentang tersebut tidak
menjelma sehagai suatu aksi ke luar, akan tetapi meresap ke dalam jiwa orang di dalam
bentuk rasa dendam atau benci. Perasaan-perasaan demikian itu juga menghambat
berhasilnya proses pelembagaan.
Terhadap hasil dari pengaruh positif dan negatif tersebut ada pengaruh dari faktor
ketiga, yaitu faktor kecepatan menanam. Yang diartikan dengan itu adalah panjang atau
pendeknya jangka waktu di mana usaha menanam itu dilakukan dan diharapkan
memberikan hasil. Semakin tergesa-gesa orang berusaha menanam dan semakin cepat
orang mengharapkan hasilnya, semakin tipis efek proses pelembagaan di dalam
masyarakat. Sebaliknya, semakin tenang orang berusaha menanam dan semakin cukup
waktu yang diperhitungkannya untuk menimbulkan hasil dari usahanya, semakin besar
hasilnya.
Efek kecepatan usaha-usaha menanam tersebut, sebenarnya tidak dapat dilihat
sendiri, akan tetapi selalu harus dihubungkan dengan faktor efektivitas menanamkan
unsur-unsur baru. Apabila penambahan kecepatan menanam disertai dengan usaha
menambah efektivitas, maka hasil proses pelembagaan tidak akan berkurang pula. Hasil
tersebut akan berkurang, apabila hanya kecepatan menanam saja yang ditambah tanpa
memperbesar efekrivitasnya. Ekses ke jurusan yang sebaliknya, tidak menguntungkan
pada suksesnya proses pelembagaan. Apabila kecepatan menanam diulur-ulur sampai
tidak ada batas waktunya samasekali, maka biasanya timbul kecenderungan bagi
efektivitas menanam menjadi berkurang, oleh karena kurang atau tidak ada dorongan
untuk mencapai hasil.

Pokok Bahasan 4 55
Perubahan Sosial dan hukum

Kiranya proses pelembagaan yang berhasil sebagaimana terurai di atas ddaklah


terlalu mudah terlaksana apabila diterapkan terhadap hukum. Akan tetapi hal itu bukanlah
berarti bahwa proses tersebut tak dapat terlaksana apabila diterapkan terhadap hukum.
penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mau tidak mau harus
disesuaikan dengan anggapan-anggapan masyarakat apabila suatu hasil positif hendak
dicapai. Maka, yang sebaiknya dilakukan, adalah pertama-tama menelaah bagaimana
anggapan-anggapan masyarakat tentang hukum. Artinya, apakah pada suatu saat fokus
masyarakat memang tertuju pada hukum. Selanjutnya perlu disoroti bagian-bagian
manakah dari suatu sistem hukum yang paling dihargai oleh bagian terbesar masyarakat
pada suatu saat. Hal-hal itulah yang secara minimal harus dilakukan terlebih dahulu sebe-
lum hukum dapat diterapkan sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Setelah
penggunaan hukum sebagai sarana dilaksanakan, maka perlu diteliti secara tahap demi
tahap sampai sejauh mana efektivitas penerapan hukum tersebut. Maksudnya adalah
untuk mengetahui titik kelemahan yang ada sehubungan dengan reaksi masyarakat,
sehingga hal-hal yang merugikan itu dapat diatasi dengan segera. Hal ini perlu dilakukan
oleh karena apabila hukum tidak dilaksanakan seluruhnya atau sebagian oleh warga-
warga yang terkena oleh aturan-aturan tadi, maka wewenang serta kewibawaan
pembentuk hukum, penegak hukum, dan hukum itu scndiri menjadi berkurang atau
bahkan hilang samasekali. Apabila hal itu terjadi, maka tujuan dari penggunaan hukum
tadi tidak akan tercapai.

E. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan


Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan
untuk mengubah perikelakuan warga-warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini
adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment
(Gunnar Myrdal 1968: Chapter 2 dan 18), di mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk
dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada
faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari
pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun
golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus
diidentifikasikan, oleh karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya
tujuan-tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk
mencapai tu juan-tujuan tersebut.
Kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana
saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat-hakikat hukum, juga perlu diketahui
adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah
ataupun mengatur perikelakuan warga-warga masyarakat). Sebab, sarana yang ada
membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah
yang tepat untuk dipergunakan.

Pokok Bahasan 4 56
Perubahan Sosial dan hukum

Suatu contoh dari uraian di atas adalah, misalnya, perihal komunikasi hukum.
Kiranya sudah jelas, bahwa supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi
perikelakuan warga-warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan seluas
mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu,
merupakan salah satu syarat penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum
tersebut, dapat dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata-cara yang
terorganisasikan dengan resmi. Akan tetapi disamping itu, maka ada juga tata cara
informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam
penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini semuanya
termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran daripada unsur-unsur kebudayaan
tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Proses difusi tersebut, antara lain, dapat dipengaruhi oleh:
a. pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum),
mempunyai kegunaan,
b. ada-tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun positif,
c. sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama,
d. kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi
efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan warga-warga
masyarakat.
Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
pengatur atau pengubah perikelakuan. Dengan lain perkataan, masalah yang
bersangkut paut dengan tata cara komunikasi itulah yang terlebih dahulu hares
diselesaikan.
Untuk dapat mengidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan
penggunaan hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan
perihal struktur penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada untuk
mengadakan social engineering melalui hukum, hubungan antara hukum dengan
perikelakuan, dan selanjutnya.
Kiranya telah jelas, bahwa di dalam rumusan yang sederhana, maka
masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, yang di dalam
kehidupannya berkaitan secara langsung dengan penentuan pilihan terhadap apa yang
ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukannya, dibatasi
oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau dia sampai melampaui batas-batas yang
ada, maka mungkin dia menderita; sebaliknya, kalau dia tetap berada di dalam batas-
batas tertentu, maka dia akan mendapat imbalan-imbalan tertentu pula. Inilah yang
kesemuanya terkait pada kepentingan-kepentingan manusia pribadi maupun di dalam
kehidupan berkelompok. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya,
menyediakan pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan
kelompok-kelompok social.
Apakah yang akan dipilih oleh pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok,

Pokok Bahasan 4 57
Perubahan Sosial dan hukum

tergantung pada faktor-faktor pisik, psikologis dan social. Di dalam suatu masyarakat
di mana interaksi social menjadi intinya, maka perikelakuan-perikelakuan yang
diharapkan dari pihak-pihak lain, merupakan hal yang sangat menentukan. Misalnya,
apabila seorang petani sangat memerlukan kredit untuk usaha taninya, sedangkan di
dalam lingkungannya hanya ada kreditur-kreditur yang menetapkan bunga yang
sangat tinggi, maka pilihannya hanya terbatas antara meminjam uang dengan bunga
yang tinggi dan meneruskan usaha taninya, atau berhenti bertani. Akan tetapi,
walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan pilihan -
pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur (B.J. Biddle and E.J. Thomas
1966:4). Hal ini disebabkan oleh karena manusia pribadi tadi menduduki posisi-posisi
tertentu dalam masyarakat dan berperannya dia pada posisi tersebut ditentukan oleh
kaidah-kaidah tertentu. Kecuali daripada itu, maka berperannya dia juga tergantung
dan ditentukan oleh berperannya pihak-pihak lain di dalam posisinya masing-masing.
Selanjutnya, hal itu juga dibatasi oleh pihak-pihak yang mengawasi dan memberikan
reaksi terhadap berperannya dia, maupun kemampuan-kemampuan serta kepribadian
manusia pribadi yang berperan (role-performance).
Apabila uraian di muka ditelaah dengan saksama, maka kaidah merupakan
patokan untuk bertingkah laku sebagaimana diharapkan (statements of expected
behavior). Pribadi-pribadi yang memilih, melakukan hal itu, oleh karena dia percaya
bahwa dia menghayati perikelakuan yang diharapkan dari pihak-pihak lain, dan
bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perikelakuannya. Kaidah-kaidah itulah
yang menghubungkan segi batiniah dari pribadi-pribadi yang memilih, dengan dunia
atau masyarakat sekelilingnya. Oleh karena itu, untuk menjelaskan mengapa sese-
orang menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka harus pula dipertimbangkan
anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau tidak harus
dilakukan) maupun anggapan-anggapan tentang yang harus dilakukan oleh
lingkungannya. Inilah yang merupakan struktur normatif yang terdapat pada diri
pribadi manusia, yang sekaligus merupakan potensi di dalam dirinya, untuk dapat
mengubah perikelakuannya, melalui perubahan-terencana di dalam wujud penggunaan
kaidah-kaidah hukum sebagai sarana (J. Blake and K. Davis 1964:456,457). Dengan
demikian, maka pokok di dalam proses perubahan perikelakuan meialui kaidah-kaidah
hukum adalah konsepsikonsepsi tentang kaidah, peranan (role) dan sarana-sarana maupun
cara-cara untuk mengusahakan adanya konformitas (conformityinducing measures).
Yang dimaksudkan dengan peranan, adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang
berisikan patokan-patokan perikelakuan, pada kedudukan-kedudukan tertentu di dalam
masyarakat, kedudukan mana dapat dipunyai pribadi ataupun kelompok-kelompok. pri-
badi yang mempunyai peranan tadi dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan
perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin
berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah.
Konsepsi-konsepsi sosiologis tersebut di atas, mungkin akan lebih jelas bagi
kalangan hukum, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa hukum. Pemegang peranan
adalah subyek hukum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

Pokok Bahasan 4 58
Perubahan Sosial dan hukum

yang berkaitan dengan kepentingan hukum. Berperannya pemegang peranan merupakan


peristiwa hukum yang dapat sesuai atau berlawanan dengannya. Jadi kaidah-kaidah
hukum tadi, merupakan role expectation terhadap role occupant; dan di dalam proses
social engineering, maka role expectation tadi berasal dari para pelapor perubahan atau
agents of change. Dengan demikian, maka masalah utamanya adalah, bagaimana kaidah-
kaidah hukum akan dapat mengatur berperannya pemegang-pemegang peranan
tersebut di atas.
Artinya, suatu kaidah hukum yang berisikan larangan atau suruhan atau kebolehan
bagi subyek hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum bagi penegak hukum untuk
melakukan tindakan terhadap pelanggar-pelanggarnya. Kaidah hukum yang pertama
disebutnya kaidah hukum sekunder, sedangkan yang kedua disebutnya kaidah hukum
primer. Kaidah hukum sekunder hanyalah merupakan gejala lanjutan daripada kaidah
hukum primer. Model ini, sedikit banyaknya menunjukkan bagaimana kaidah hukum
mempengaruhi perikelakuan. Hal ini disebabkan, oleh karena pemegang peranan
menentukan pilihan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh
lingkungannya. Kaidah-kaidah hukum dan adanya penegak-penegak hukum, merupakan
salah satu batas untuk melakukan pilihan tersebut. Hukum berproses dengan cara
membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang peranan, melalui aturan-aturan serta
sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas (yang antara lain, berwujud sanksi).
Proses tadi berjalan dengan cara:
a. penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan,
b. perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan positif
atau negatif, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah hukum, sehingga (Hans Kelsen 1961:16)
"The secondary norm stipulates the behavior which the legal sanction endeavours
to bring about stipulating thesanction".
Uraian Kelsen tersebut di atas, hanyalah terbatas pada hubungan antara kaidah-
kaidah hukum tersebut. Padahal, baik pembentuk hukum, penegak hukum maupun para
pencari keadilan, kesemuanya adalah pemegang peranan yang mempunyai struktur
pilihan yang ditentukan oleh lingkungannya masing-masing. Oleh karena model dari
Kelsen tersebut sangat terbatas ruang lingkupnya, maka diperlukan kerangka yang
lebih luas, yang mungkin lebih banyak mempertimbangkan masalah-masalah di sekitar
nenegak hukum subyek-subyek hukum lainnya. Untuk keperluan itu, kiranya akan dapat
dikemukakan langkah-langkah atau tahap-tahap yang didasarkan pada hipotesa-hipotesa
sebagai berikut:
a. Para pemegang peranan akan menentukan pilihannya, sesuai dengan anggapan-
anggapan ataupun nilai-nilai mereka terhadap realitas yang menyediakan
kemungkinan-kemungkinan untuk memilih dengan segala konsekuensinya.
b. Salah satu di antara faktor-faktor yang menentukan kemungkinan untuk menjatuhkan
pilihan adalah perikelakuan yang diharapkan dari pihak lain.
c. Harapan terhadap peranan-peranan tertentu dirumuskat, oleh kaidah-kaidah.
d. Kaidah-kaidah hukum adalah kaidah-kaidah yang dinyatakan oleh para pelopor

Pokok Bahasan 4 59
Perubahan Sosial dan hukum

perubahan atau mungkin juga oleh pattern-setting group.


e. Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan
dapat dilakukan dengan cara-cara:
1. melakukan imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang
patuh maupun melanggar kaidah-kaidah hukum.
2. merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa,
sehingga sesuai dengan serasi tidak serasinya perikelakuan pemegang peranan
dengan kaidah-kaidah hukum,
3. mengubah perikelakuan pihak ke tiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan
pemegang-pemegang peranan yang mengadakan interaksi,
4. mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap dan nilai-nilai pemegang peranan.
Langkah-langkah tersebut di atas hanyalah merupakan suatu model belaka, yang
pasti mempunyai kelemahan-kelemahan. Akan tetapi dengan model tersebut di atas,
setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan tidak
efektifnya sistem kaidah-kaidah hukum tertentu di dalam mengubah atau mengatur
perikelakuan para warga masyarakat di dalam arti luas. Setidak-tidaknya ada petunjuk-
petunjuk, di manakah kelemahan-kelemahan penerapan hukum itu adanya. Misalnya,
mengapa suatu perundang-undangan lalu lintas darat tidak begitu efektif di dalam
mengubah perikelakuan warga-warga masyarakat. Mungkin masalahnya terletak pada
perundang-undangan lalu lintas darat tidak begitu efektif di dalam mengubah perikelakuan
warga-warga masyarakat. Mungkin masalahnya terletak pada perundang-undangan lalu
lintas darat tidak begitu efektif di dalam mengubah perikelakuan warga-warga
masyarakat. Mungkin masalahnya terletak pada perundang-undangannya sendiri yang
terlalu abstrak atau terlalu rumit, atau mungkin pada para penegak hukum, atau warga
masyarakat sendiri; atau mungkin pada fasilitas pendukungnya.
Oleh karena itu, membentuk hukum yang efektif memang memerlukan waktu
yang lama. Hal itu disebabkan, antara lain, karena daya cakupnya yang sedemikian luas;
lagi pula hukum itu harus dapat menjangkau jauh ke muka, sehingga juga memerlukan
pendekatan yang multi-disipliner. Bahkan kadang-kadang, suatu hukum perlu dicoba
terlebih dahulu, karena justru melalui percobaan tadi akan dapat diketahui kelemahan-
kelemahan dan batas-batas jangkaunya di dalam mengubah atau mengatur perikelakuan.
Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproses di dalam dan untuk
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dengan warga-warganyalah yang
dapat menentukan luas daya cakup hukum, maupun batas kegunaannya.

F. Batas-Batas Pengguaan Hukum


Di dalam sebuah tulisan yang berjudul Tantangan Bagi Pembinaan Hukum
Nasional seorang sarjana hukum pernah menulis sebagai berikut:
"... pembangunan hukum itu dapat diadakan di sela-sela pembangunan fisik dan
mental, dengan terlebih dahulu menentukan tujuan hukum dan
perkembangannya, mengadakan suatu analisa deskriptif dan prediktif, dan
mengumpulkan data-data tentang hukum yang masih dianggap melckat dalam diri

Pokok Bahasan 4 60
Perubahan Sosial dan hukum

anggota-anggota masyarakat. Menentukan tujuan hukum dan perkembangannya


saya kira tidaklah sulit, sebaliknya yang saya anggap sulit adalah menetapkan
apakah anggota-anggota masyarakat itu dapat menerima atau mengakui tujuan
hukum tersebut oleh karena taatnya anggota-anggota masyarakat kepada hukum
dapat disebabkan oleh dua faktor yang dominan, yaitu:
Pertama: bahwa tujuan hukum identik dengan tujuan/ aspirasi anggota-anggota
masyarakat itu atau dengan kata lain taatnya anggota-anggota
masyarakat pada hukum adalah karena terdapatnya perasaan keadilan
dan kebenaran deiam hukum itu sendiri.
Kedua karena adanya kekuasaan yang imperatif melekat dalam hukum
tersebut, dengan sanksi apabila ada orang yang berani melanggarnya ia
akan memperoleh akibat-akibat hukum yang tak diingiru". (Andi
Amruilah 1972.35)
Apabila pernyataan tersebut di atas dianalisa secara agak lebih mendalam, maka
timbul dugaan bahwa pendapat tersebut terlalu menitikberatkan pada segi hukum. yaitu
bahwa kemauan warga-warga masyarakat harus disesuaikan dengan tujuan dan perkem-
bangan hukum. Sebenarnya kedua segi tersebut mempunyai pengaruh timbal-balik oleh
karena hukumpun mempunyai batas-batas kemampuan untuk menjamin kepentingan -
kepentingan warga-warga masyarakat. Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan
hukum terletak pada hal-hal sebagai berikut. (R Pound 1965:70)
1) Hukum pada umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan para warga
masyarakat yang bersifat lahiriah.
2) Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya, sebab
sebagaimana dik atakan oleh Edwin Sutherlad:
'When the mores are adequate, laws are unnecessary; when the mores are
inadequate, the laws are inneffective" (E. Sutherland and Donald Cressey
1966:11)
3) Lagipula, untuk melaksanakan isi, maksud dan tujuan hukum, diperlukan lembaga-
lembaga tertentu.
Faktor-faktor tersebut di atas perlu sekali diperhatikan apabila hukum hendak
dipakai sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Akan tetapi yang lebih penting
lagi adalah pelopor perubahan yang ingin mengubah masyarakat dengan
memakai hukum sebagai alatnya.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa kondisi yang harus
mendasari suatu sistem hukum agar dapat dipakai sebagai alat untuk mengubah
masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
1. Hukum merupakan aturan-aturan umum yang tetap; jadi bukan merupakan aturan
yang bersifat ad-hoc.
2. Hukum tersebut harus jelas bagi dan diketahui oleh warga-warga masyarakat yang
kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tersebut.
3. Sebaiknya dihindari penerapan peraturan-peraturan yang bersifat retroaktif.
4. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum.

Pokok Bahasan 4 61
Perubahan Sosial dan hukum

5. Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan.


6. Pembentukan Hukum harus mempernatikan kemampuan para warga masyarakat
untuk mematuhi hukum tersebut.
7. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena
warga-warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pegangan bagi kegiatan-
kegiatannya.
8. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut.

RINGKASAN
1. Ada beberapa teori yang dikemukan untuk menjelaskan hubungan antara hukum dan
perubahan sosial. Max Weber mengemukakan teori tentang perkembangan hukum materiil
dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, Selain itu Max Weber
mengemukakan teori tentang tipe-tipe ideal dari sistem hukum. Emile Durkheim
mengemukakan teori bahwa hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam
masyarakat. Sedangkan Sir Henry Maine mengemukakan teori tentang Perkembangan
hukum dari status ke kontrak. Pitirim Sorokin mengemukakan bahwa Masyarakat
berkembang sesuai dengan nilainilai tertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat
yang bersangkutan.
2. Perubahan tidak selamanya menghasilkan keadaan-keadaan yang positif, apa lagi bila proses
tersebut tidak berjalan secara teratur. Hukum berperan untuk menjamin bahwa perubahan-
perubahan tadi terjadi dengan teratur dan tertib.
3. Sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan menjamin ketertiban proses perubahan, maka
hukum mempunyai batas-batas kemampuan dan terikat oleh kondisi-kondisi tertentu.
Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan hukum terletak pada: a) Hukum pada
umumnya hanya mengatur kepentingan-kepentingan para warga masyarakat yang bersifat
lahiriah; b) Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya;
untuk melaksanakan isi, maksud dan tujuan hukum, diperlukan lembaga-lembaga
tertentu. Apabila batas-batas dan kondisi-kondisi tersebut diperhatikan, dimengerti dan
diterapkan, maka dapatlah diperkirakan bahwa penggunaan hukum sebagai alat mempunyai
harapan-harapan yang positif dalam mengubah masyarakat serta mendukung
pembangunan.
4. Di dalam mempergunakan hukum sebagai sarana, perlu pula di perhatikan dengan sungguh-
sungguh anggapan-anggapan bagian terbesar warga-warga masyarakat tentang hukum.
Hukum bukanlah satu-satunya alat pengendalian sosial; apabila ada alat alat pengendalian
sosial lain yang dianggap lebih ampuh oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat, maka
penerapan hukum hanya akan merupakan usaha yang sia-sia belaka atau bahkan dapat
menimbulkan reaksi-reaksi yang negatif. Jadi dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah
sampai sejauh mana hukum telah melembaga atau bahkan telah mendarah daging dalam
diri bagian terbcsa (warga-warga masyarakat yang bersangkutan.
5. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya) tidak
selalu berlangsung bersama-sama. pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan
hukum tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya atau mungkin sebaliknya.
Apabila terjadi hal yang demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu keadaan
di mana terjadi ketidakeseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya kaidah-kaidah hukum juga dapat mengakibatkan terjadinya suatu
disorganisasi, yaitu suatu keadaan di mana kaidah-kaidah lama telah berpudar,
sedangkan kaidah-kaidah baru sebagai penggantinya belum disusun atau dibentuk.
Keadaan tersebut selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya anomie, yaitu suatu
keadaan yang kacau, oleh karena tidak adanya pegangan bagi para warga masyarakat
untuk mengukur kegiatan-kegiatannya.

Pokok Bahasan 4 62
Perubahan Sosial dan hukum

6. beberapa kondisi yang harus mendasari suatu sistem hukum agar dapat dipakai sebagai alat
untuk mengubah masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
a. Hukum merupakan aturan-aturan umum yang tetap; jadi bukan merupakan aturan yang
bersifat ad-hoc.
b. Hukum tersebut harus jelas bagi dan diketahui oleh warga-warga masyarakat yang
kepentingan-kepentingannya diatur oleh hukum tersebut.
c. Sebaiknya dihindari penerapan peraturan-peraturan yang bersifat retroaktif.
d. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum.
e. Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan.
f. Pembentukan Hukum harus mempernatikan kemampuan para warga masyarakat untuk
mematuhi hukum tersebut.
g. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena
warga-warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pegangan bagi kegiatan-
kegiatannya.
h. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut.

DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan 3 teori-teori berkenaan dengan perubahan sosial dan hukum.
2. Jelaskan bagaimana hubungan antara kaedah hukum dengan perubahan sosial.
3. Jelaskan apa yang terjadi dan apa akibatnya jika perubahan hukum tidak seiring dengan
perubahan sosial lainnya atau sebaliknya?
4. Jelasakan kondisi yang harus dipenuhi jika akan menggunakan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat.
5. Jelasakan kondisi yang harus dilakukan jika akan menggunakan hukum sebagai sarana
pengatur perikelakuan.
6. Jelaskan batas-batas pengguaan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Grafindo Persada, Jakarta1997. (BAB
IV)

Pokok Bahasan 4 63
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

Pokok Bahasan 5
HUKUM DAN MASALAH PENYELESAIAN KONFLIK

TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)


Setelah mengikuti kuliah ini anda diharapkan dapat:
1. Mejelaskan Pengertian konflik.
2. Mejelaskan hubungan antara hukum dan konflik.
3. Mejelaskan masalah pokok dari hukum menyangkut cara-cara anggota masyarakat
menyelesaikan konflik-konflik.
4. Mejelaskan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang ditemui di dalam masyarakat.
5. Mejelaskan fungs i hukum dal am hubungannya dengan penyel esai an konflik.

A. Pendahuluan
Dikaitkan dengan berlakunya suatu sistem hukum, biasanya dapat
dinyatakan bahwa terjadi suatu masalah hukum bilamana terjadi suatu konflik
dua pihak, yang diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini
dapat berwujud bermacam-macam badan atau lembaga, umpamanya seorang
kepala suku, suatu dewan, suatu rapat anggota, seorang anggota keluarga yang
berhubungan darah dengan kedua belah pihak yang bersengketa, seorang
rohaniwan, seorang ilmuwan dari cabang spesialisasi tertentu, semua ini
menempati fungsi sebagai hakim.
Dengan demikian hadirnya hukum berkaitan erat dengan sa lah satu bentuk
penyelesaian konflik yang netral dan tidak memihak. Dalam pengertian ini hukum
tidak identik dengan negara. Karena dalam masyarakat-masyarakat yang belum
mengenai bentuk negara pun sudah terdapat aturan-aturan yang memaksa
tentang bagaimana orang harus bertindak bilamana terjadi kon flik, umpamanya
apabila terjadi pencurian ternak dan salah seorang anggota suku tersebut dicurigai
melakukannya.
Terdapat suatu hubungan yang erat anta ra hukum dan konflik. Karena
tidak dapat dihindarkan bahwa tiap bentuk hidup bersama mengalami
bermacam-macam bentuk konflik, umpamanya mengenai pembagian barang di dalam
masyarakat, mengenai wewenang menentukan cara memenuhi perjanjian, mengenai
bagaimana melakukan penggantian kerugian, untuk ini masing -masing
terdapat suatu bentuk peradilan tertentu dalam tiap -tiap kehidupan sosial.
Bentuk peradilan ini tentunya tidak sama dengan bentuk-bentuk peradilan yang
terdapat dalam masyarakat modern, yaitu yang diorganisasikan secara sistematis,
di mana seorang anggota masyarakat, setelah menempuh pendidikan khusus, memilih
pekerjaan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara pihak-pihak, dan
dalam hal demikian ini pihak -pihak itulah yang memilih anggota masyarakat tadi
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.
Pada waktu sekarang, lembaga-lembaga demikian ini dilengkapi pula dengan
staf administrasi yang mengelola semua berkas perkara (dossier) secara ter atur dan
melakukan semua persiapan, sehingga para hakim dapat menjalankan tugasnya dengan

Pokok Bahasan 5 64
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

baik. Cara yang berbentuk formal ini banyak terdapat dalam peradilan -peradilan
di masa yang lalu, dan sampai sekarang sisa-sisanya masih dapat ditemukan dalam
sistem-sistem hukum tertentu di luar Eropa.
Di negara-negara Arab masih terdapat bentuk peradilan khadi. Dalam peradilan
itu seorang hakim, dengan cara duduk di bawah sebuah pohon, mendengarkan pihak-
pihak yang bersengketa, untuk kemudian memberikan suatu putusan yang pasti
mengenai perselisihan itu. Di sini tidak dijumpai berkas-berkas perkara yang
tebal, waktu menunggu giliran yang lama, dan pengacara-pengacara yang melaku-
kan pembelaan. Suatu perbandingan antara bentuk peradilan yang formal dan bentuk
yang' informal menghasilkan suatu daftar kelemahan-kelemahan dan kelebilian-
kelebilian mengenai kedua bentuk peradilan tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa
di dalam sejarah kedua bentuk peradilan tersebut tiap kali timbul kembali.
Dalam masyarakat dengan budaya yang formalistic, kerap kali masih dijumpai
adanya peradilan sederhana, umpamanya pada tingkat peradilan desa. "Simple
justice" yang masih tetap diper tahankan ini kerap kali dipergunakan untuk
menghindarkan keputusan-keputusan yang bersifat memihak dan sewenang-wenang.
Tetapi peradilan sederhana dan peradilan cepat tidak selalu me rupakan peradilan
yang adil.
Bentuk-bentuk peradilan dan penyelesaian konflik yang di jumpai sepanjang
sejarah pada masyarakat yang berbeda-beda, masih dapat dijumpai dalam
masyarakat industri modern. Tidak semua konflik yang terjadi dalam masyarakat
diajukan ke muka pengadilan. Berbagai macam perselisihan besar maupun kecil di -
selesaikan menurut cara-cara mereka sendiri, baik oleh piliakpihak yang
berselisih maupun oleh lingkungan di tempat m ereka berada. Oleh orang-orang di
sekeliling pihak-pihak yang bersengketa dan oleh para pendukung mereka kerap kali
dilakukan usaha-usaha untuk menengahi dan mendamaikan konflik-konflik yang
terjadi dengan kemungkinan bahwa di antara yang mencampuri konflik itu
memiliak pada salah satu pihak. Dalam keadaan darurat pun, misalnya di dalam suatu
kamp tawanan, juga diadakan peradilan-peradilan informal lengkap dengan hakim
dan pembela yang diselenggarakan sendiri oleh para tawanan untuk mengaddi
tindakan-tindakan tertentu yang mengancam kelangsungan kehidupan kelompok
tawanan itu. Dalam keadaan demikian itu, oleh kelompok tawanan juga diawasi
dengan ketat kemungkinan tedadinya pencurian roti dAn-makanan.
Sampai seberapa jauh penyelesaian konflik informal yang bentuknya diciptakan
sendiri ini memenuhi persyaratan normatif dan ideal yang biasanya disyaratkan
oleh ketentuan hukum dan peradilan? Misalnya kewajiban peradilan untuk
mendengarkan dan mempertimbangkan kembali hal-hal yang diajukan para pihak,
kewajiban peradilan untuk berada di atas pfliak-pihak yang bersengketa, pengajuan
bukti-bukti, penguasaan norma keseimbangan antara tindakan dan sanksi,
memperhatikan alasan-alasan yang masuk akal dan keadilan?
Salah satu masalah pokok dari hukum menyangkut cara -cara anggota

Pokok Bahasan 5 65
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

masyarakat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di antara mereka. Di sini


yang penting adalah perimbangan antara bentuk-bentuk penyelesaian konflik
yang bersifat yuridis dan non-yuridis serta berada jauh bentuk penyelesaian
konflik yang non-yuridis menghormati cara-cara penyelesaian konflik yang
beradab. Selanjutnya penting pula bagi kehidupan sosial untuk memilih bentuk
penyelesaian konflik yang paling memadai untuk tipe-tipe konflik dan tipe-tipe
hubungan konflik yang ter jadi di dalam kelompok itu. Berbagai jenis cabang ilmu ikut
serta memberikan sumbangan bagi masalah ini, oleh karena konflik konflik dan
hubungan-hubungan konflik demikian itu timbul di dalam berbagai macam situasi
dan tingkat hidup masyarakat. Dari mulai konflik suami-istri yang bersifat emosional
atau konflik dua perusahaan yang Baling bersaing memperebutkan langganan, sam pai
pada konflik antarnegara atau antar kelompok negara yang ~ saling bertentangan dalam
bidang politik internasional.
Di dalam uraian ini hanya akan dikemukakan mengenai perbandingan antara
beberapa bentuk yang non-yuridis dan beberapa bentuk yuridis dalam penyelesaian
konflik-konflik, yang terutama ditujukan pada konflik-konflik yang terjadi di dalam
kehidupan bersama masyarakat yang pada prinsipnya dapat diselesaikan oleh hukum.
Konflik antarnegara atau konflik yang didasarkan pada masalah psikologis yang
mendalam antara suami-istri berada di luar ruang lingkup uraian ini.
Membandingkan kedua bentuk utama dari penyelesaian konflik ini bertujuan untuk
dapat menyusun suatu perumusan secara terinci mengenai tujuan peradilan seba -
gai suatu bentuk penyelesaian konflik, dan untuk dapat menentu kan persyaratan-
persyaratan yang diperlukan agar peradilan dapat dipakai sebagai suatu bentuk
penyelesaian konflik.

B. Bentuk-bentuk Penyelesaian Konflik


Bagan yang dapat disaksikan selanjutnya menunjukkan bentuk dari 20 jenis
penyelesaian konflik yang kemudian dirinci lagi menjadi 6 sub-kategori. Ke dalam dua
puluh jenis penyelesaian konflik tersebut belum tercakup semua bentuk penyelesaian
konflik yang pernah dilakukan, tetapi setidak-tidaknya kumpulan itu sudah
mencakup semua prototip yang dikenal.
Uraian singkat mengenai tiap bentuk ini kiranya akan dapat memperjelas
pengertiannya. Yang dimaksud dengan konflik adalah situasi (keadaan) di mana dua
atau lebih pihak-pihak memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak
dapat dipersatukan, dan di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain
mengenai kebenaran tujuannya masing-masing.
Bagan: Bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang terbagi dalam 6 sub-kategori

Kelompok keenam Penyelesaian — Kekerasan.


dengan Kekerasan
Kelompok kelima 1. Tindakan politik dan aksi sosial
2. Bertahap tanpa kekerasan.

Pokok Bahasan 5 66
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

3. Pembentukan keputusan legislatif


4. Penyelesaian melalui saluran pemerintah
Kelompok keempat Yuridis- 1. Proses pidana
2. Proses perdata
normatif
3. Proses administratif
4. Sid-,-ng pengadilan
5. Proses singkat
6. Arbitrase

Kelompok ketiga 1. Pemakai jasa penengah


2. Sidang/musyawarah
Pra-yuridis 3. Perdamaian
4. Pengaduan
Kelompok kedua 1. Dengan undian
2. Kesepakatan
Dikelola sendiri 3. Perundingan

Kelompok pertama 1. Penyerahan sementara


2. Menghindarkan diri/meninggalkan pergi
3. Penyerahan
1. Penyerahan.
Kelompok pertama 2. Menghindarkan diri, melarikan diri,
mengundurkan diri
3. Penyerahan sementara, penundaan reaksi,
reaksi menunggu dulu.

Kelompok pertama
1. Penyerahan.
2. Menghindarkan diri, melarikan diri, mengundurkan diri
3. Penyerahan sementara, penundaan reaksi, reaksi
menunggu dulu.
Dalam kelompok ini, suatu konflik diakhiri karena salah satu pihak,
kebanyakan pihak yang paling lemah atau yang paling rendah tingkatannya, mengalah
pada situasi yang tidak menguntungkan pihak tersebut.
Apabila pihak yang paling lemah ini memperoleh kesempatan untuk
menghindarkan diri dari kekuasaan pihak yang paling kuat, maka masalah konflik ini
akan hilang. Menyerahkan diri, percerai an, mencari tempat tinggal lain,
mengasingkan diri, semua tindakan ini merupakan reaksi supaya konflik yang terjadi
tidak menimbulkan akibat yang terlalu menyakitkan.
Di dalam lingkungan yang kemungkinannya untuk meng hindarkan diri
demikian ini kecil, baik secara sosial maupun secara fisik-geografis, kemungkinan
bahwa konflik-konflik akan meningkat, lebih besar.
Bentuk penyerahan yang hanya bersifat sementara terjadi apa bila pihak yang
paling lemah tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan pihak yang paling kuat.
Tetapi cara ini semata-mata dilakukan agar pada kesempatan yang baik dapat
menghindarkan diri atau melanjutkan kembali pertentangan itu. Perbedaannya

Pokok Bahasan 5 67
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

dengan bentuk penyerahan yang pertama adalah bahwa pada penyerahan yang
bersifat tetap, kedudukan berkuasa dari pihak yang paling kuat diakui sepenuhnya,
kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan dan keinginan dari pihak yang paling
lemah.
Kelompok kedua:
4. Perundingan.
5. Kesepakatan.
6. Dengan undian.
Di dalam kelompok ini konflik ditandai dengan kesamaan tingkat
peranan dari kedua belah pihak dalam menyelesaikan konflik ter -
sebut. Di sini tidak ada pihak atau instansi ketiga yang perlu di -
minta bantuannya. Hal ini memberikan kebebas an yang lebih
besar kepada para pihak untuk menyelesaikan konflik itu, tetapi
sebaliknya juga meminta banyak pengorbanan dari mereka.
Suatu konfrontasi terbuka dengan pihak lawan tanpa melam -
paui pendiriannya sendiri atau mempersempitnya, menunjukkan
nilai harga diri yang tinggi dan sikap yang terbuka. Penting juga untuk diketahui
apakah kedua belah pihak memutuskan untuk tetap melanjutkan hubungan
sosial di antara mereka atau tidak. Kesediaan yang kadang-kadang disebabkan karena
terpaksa untuk melanjutkan hubungan sosial demikian itu, menciptakan suatu
landasan yang baik agar konflik itu dapat dikelola sendiri.
Ada perundingan yang bertujuan untuk mencapai suatu pe nyelesaian
konflik atas dasar kesepakatan bersama, sedangkan ada pula perundingan di
mana para pihak berusaha memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya dari
penyelesaian yang diusulkan, yaitu bila para pihak memperhitungkan suatu
kemungkinan yang minimal bagi terjadinya kerugian yang maksimal. Jadi di sini para
pihak bersedia untuk melakukan kompromi. Dalam bidang perdagangan banyak
dilakukan penyelesaian konflik secara mandiri demikian ini.
Undian juga merupakan suatu cara yang kerap kali diperguna kan untuk
menyelesaikan suatu konflik. Di sini para pihak secara sepakat menetapkan untuk
menentukan hasilnya oleh suatu badan yang tidak bersifat pribadi, dalam hal ini
dengan cara undian.Cara ini ban yak dipergunakan dalam bidang olah raga. Juga
dalam kesempatan lain, umpamanya dalam kegiatan anak -anak ternyata cara
undian merupakan cara penyelesaian konflik yang efisien.

Kelompok ketiga :
7. Lembaga pengaduan.
8. Perdamaian.
9. Musyawarah.
10. Penyelesaian dengan pihak penengah.
Ciri penyelesaian konflik yang termasuk kelompok ketiga ini adalah adanya
instansi ketiga yang ikut Berta terlibat, yaitu atas prakarsa dari salah satu pihak

Pokok Bahasan 5 68
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

yang bersengketa. Siapa yang merupakan pihak ketiga ini tidaklah dapat ditentukan
lebih dahulu. Kadang-kadang pihak ketiga ini merupakan seorang yang asing, yang
oleh kedua belah pihak yang bersengketa diterima sebagai penengah, atau
seseorang yang mampu mewujudkan suatu musyawarah di antara pihak-pihak yang
bersengketa. Pekerjaan menyelesaikan konflik demikian ini ni bukan merupakan
pekerjaan tetap pihak ketiga tadi, melainkan hanya dilakukannya secara insidental
atas permintaan pihak-pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga ini dapat pula berupa suatu lembaga pengaduan atau biro
penyelesaian perselisihan, yang tugasnya menyelidiki dan kemudian berusaha
untuk menyelesaikan konflik-konflik atau hubungan-hubungan konflik di antara
pihak-pihak yang bersengketa. Lembaga atau biro demikian ini memberikan
jasanya atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, dan biasanya pihak
yang lemahlah yang mengajukan pengaduan kepada lembaga atau biro dimaksud.
Dalam hal ini tindakan pengajuan pengaduan demikian itu dianggap sebagai
petunjuk adanya suatu konflik. Ada kemungkinan bahwa pihak ketiga yang
diminta jasa baiknya dapat menyelesaikan konflik tersebut.
Semua bentuk yang termasuk kelompok ini dapat disebut sebagai bentuk
penyelesaian konflik pra-yuridis, karena di satu pihak sudah dipergunakan jasa pihak
ketiga yang tidak memihak, tetapi di lain pihak, pihak ketiga ini kerap kali tidak
cukup mampu untuk melakukan ikatan dengan aturan-aturan guna dapat menye-
lesaikan konflik itu. Keadaan demikian in i memberikan lebih banyak
kemungkinan untuk menyelesaikan konflik kepada kelom pok jenis ketiga ini,
terutama jenis penengah, daripada seorang hakim resmi, karena seorang
penengah dapat mengusulkan penyelesaian sementara, dapat menunjukkan
kemungkinan-kemungkinan penyelesaian lain, dapat menjanjikan dukungan untuk
masa sesudah penyelesaian konflik nanti, dan dapat melakukan tekanan tekanan
terhadap pihak-pihak yang bersengketa supaya melakukan kompromi dengan ancaman
akan menghentikan usaha-usahanya sebagai penengah.
Makin besar kepercayaan dan pengaruh pihak penengah ter hadap kedua belah
pihak yang bersengketa, makin besar pula kemungkinan ia dapat mencarikan
penyelesaian bagi pihak-pihak yang bersengketa itu. Meskipun demikian, pihak ketiga
sebagai penengah tidak berdiri sendiri dalam menyelesaikan konflik-konflik, karena
pada akhirnya pihak-pihak yang bersengketa yang menetapkan cara ter tentu yang
akan dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara
mereka. Bentuk yang paling banyak terjadi adalah penyelesaian konflik dengan
jalan perdamaian, yaitu dengan cara melupakan semuanya, memaafkan segala-
galanya, dan semua dimulai dengan yang baru.
Penyelesaian konflik dengan cara musyawarah dan dengan jasa pihak
penengah banyak didasarkan p ada masalah sikap memberi dan menerima dari
kedua belah pihak tanpa mempertimbangkan apakah kedua belah pihak itu akan
berbaik kembali di masa yang akan datang.
Pada penyelesaian konflik berdasarkan perdamaian, konflik itu hapus

Pokok Bahasan 5 69
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

seluruhnya dengan penemuan suatu modus con-vivendi yang pantas dan dapat
diterima sebagai sarana.

Kelompok keempat :
11. Arbitrase.
12. Proses singkat.
13. Sidang pengadilan.
14. Proses perdata, proses administratif.
15. Proses pidana.
Kelompok ini berisi semua jenis bentuk perantaraan hukum dalam penyelesaian
konflik. Prakarsa tentang perantaraan ini diajukan oleh salah satu pihak yang
bersengketa, tetapi segera setelah hakim menyatakan menerima perkara ini, maka
keputusannya akan berada di tangan hakim itu. Para pihak tidak lagi menguasai
konflik di antara mereka secara keseluruhan, kecuali apabila hakim mengusulkan untuk
mengadkan perdamaian. Hakim kerap kali me mang mencoba untuk mendamaikan
para pihak yang bersengketa dengari suatu sidang pengadilan singkat, tetapi
apabila usaha penyelesaian ini tidak berhasil, hakim akan memberikan keputusan-
nya berdasarkan hukum yang berlaku. Keputusan demikian ini tidak didasarkan
pada keinginan hakim sendiri, melainkan pada peraturan-peraturan hukum yang tidak
bersifat pribadi. Semua bentuk yuridis mengenai penyelesaian konflik dirumuskan
secara formal dengan persyaratan yang ketat dan bukti-bukti yang cukup, sedangkan
komunikasi kebanyakan dilakukan secara tertulis.
Perumusan-perumusan secara formal ini mengakibatkan waktu penyelesaian
konflik menjadi lebih lama. Meskipun para pihak yang bersengketa kadang-kadang
merasa dirugikan karena lamanya waktu penyelesaian konflik secara yuridis, tetapi waktu
itu sendiri kadang-kadang memberikan basil yang menggembirakan. Setelah waktu
berjalan beberapa lama, dapat terjadi bahwa konflik itu lenyap dengan sendirinya,
atau bahwa pendirian pihak-pihak yang bersengketa, karena pengaruh-pengaruh dari
pihak lain, berkembang menjadi lebih mendekati satu dengan yang lain, atau karena
konflik itu tiba-tiba menjadi tidak relevan lagi bagi kedua belah pihak yang
bersengketa.
Pihak-pihak ketiga dalam uraian di atas semua merupakan hakim-hakim
profesional, kecuali mereka yang memberikan keputusan berdasarkan arbitrase.
Arbitrase terletak pada batas an tara penyelesaian konflik pra-yuridis dan penyelesaian
konflik yuridis-normatif. Dalam arbitrase pihak ketiga dipilih sendiri oleh pihak-pihak yang
bersengketa, dan kerap kali bukan merupakan hakim-hakim profesional, melainkan
orang-orang yang ahli mengenai masalah penyelesaian konflik, yaitu kebanyakan dalam
bidang perdagangan dan industri.
Bagaimanapun juga, prosedur arbitrase banyak didasarkan pa da peraturan-
peraturan hukum, dan pada akhirnya keputusan -keputusan yang diberikan
mempunyai kekuatan mengikat yang bersifat yuridis bagi kedua belah pihak yang
berselisih. Ikatan yang mempunyai kekuatan hukum dari keputusan dimaksud,
membedakan jenis kelompok yuridis-normatif ini dari kelompok pra-yuridis
Pokok Bahasan 5 70
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

sebelumnya.

Kelompok kelima:
16. Penyelesaian melalui saluran pemerintah.
17. Pembentukan keputusan legislatif.
18. Tindakan politik dan aksi sosial.
19. Bertalian tanpa kekerasan.
Dalam kelompok ini penyelesaian konflik beralih dari ruang sidang pengadilan yang
tenang ke tengah-tengah kancah pertentangan dalam proses pembentukan
keputusan pemerintahan dan keputusan politik. Pembentukan keputusan
pemerintahan dan keputusan legislatif, sama halnya dengan sarana perantaranya,
yaitu hukum, bersifat sangat terikat pada peraturan-peraturan, sehingga dapat
disebut sebagai penyelesaian konflik dengan bentuk y uridis -politis. Dalam
beberapa hal masih terdapat kemungkinan untuk memasukkan pihak ketiga dalam
bentuk suatu prosedur yang ti dak berbentuk badan pribadi (orang).
Pada pembentukan keputusan yang bersifat pemerintahan, konflik-konflik kerap
kali diselesaikan oleh lembaga pemerintahan yang tingkatannya lebih tinggi,
sehingga bentuk ini dapat dipersamakan dengan bentuk penyelesaian konflik oleh
pihak ketiga. Tetapi penyelesaian konflik oleh lembaga pemerintahan yang le bih
tinggi ini tidaklah benar-benar sama dengan penyelesaian konflik oleh pihak ketiga,
oleh karena lembaga pemerintahan yang lebih tinggi itu mempunyai kepentingan
supaya konflik-konflik yang terjadi pada tingkat yang lebih rendah dapat
diselesaikan. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, dan yang di samping itu
masih pula memiliki berbagai kesempatan untuk mempenga ruhi situasi, lembaga
pemerintahan yang lebih tinggi memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk
mencampuri penyelesaian konflik-konflik yang terjadi dibandingkan dengan
kekuasaan seorang hakim. Tetapi di dalam negara hukum yang demokratis, lembaga
pemerintahan selalu terikat pada peraturan-peraturan hukum. Apabila peraturan-
peraturan hukum ini dilanggar oleh suatu lembaga pemerintahan, maka kembali menjadi
tugas hakim untuk menyelesaikannya. Perundan- undangan kerap kali juga dianggap
sebagai suatu bentuk penyelesaian konflik. Dahrendorf menamakan perundang-undangan
sebagai suatu bentuk institusionalisasi konflik, maksudnya terdapat suatu prosedur tetap
yang diterima oleh semua orang, yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik-konflik
dan pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam kehidupan sosial dengan
cara damai. Dalam hal ini peraturan-peraturan yang formal memegang peranan
penting. Tanpa dapat dihindarkan, pertentangan-pertentangan di dalam parlemen
dapat demikian memuncak, di mana tiap partai politik dapat mengemukakan apa
saja yang ingin mereka kemukakan, dan dapat mengajukan kritik yang sangat tajam
terhadap partai-partai politik lain. Tetapi yang menyolok adalah peranan ketua
parlemen yang dalam kenyataannya bertindak sebagai lembaga formal yang tidak
berwujud pribadi, partai-partai saling mengadakan komunikasi, dan tetap mengadakan
komunikasi terus meskipun konflik terjadi dengan seru. Dengan pengecualian
yang jarang terjadi, anggota-anggota fraksi mungkin terlibat dalam konflik secara

Pokok Bahasan 5 71
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

fisik, dan apabila hal ini terjadi, maka jelas bertentangan dengan aturan
tataatertib parlemen yang berlaku.
Kedua bentuk penyelesaian konflik yang bersifat politis lain nya, yaitu
tindakan politik dan aksi sosial, serta bentuk bertahan tanpa kekerasan, diikat secara
agak lunak oleh peraturan hukum. Meskipun demikian kedua bentuk penyelesaian
konflik ini biasanya masih diikat lagi oleh norma-norma sosial dan peraturan-per-
aturan informal.
Membuat suatu konflik menjadi terbuka agar orang-orang di sekelilingnya dan
mereka yang belum tersangkut jadi ikut serta berpartisipasi, merupakan suatu cara
yang kerap kali dilakukan. Biasanya terjadi suatu pembesaran skala dari konflik
yang terjadi, dan bersama-sama dengan itu terjadi polarisasi sosial di dalam
masyarakat. Kedua bentuk kegiatan itu dimaksudkan agar peme rintah atau
pembuat undang-Undang mendapat tekanan-tekanan untuk memaksa kedua
lembaga ini mengambil keputusan-keputusan yang berbeda dari keputusan yang
menurut rencana akan di keluarkan atau yang sudah dikeluarkan oleh kedua
lembaga tersebut.
Konfrontasi antara golongan-golongan oposisi dengan pemegang-pernegang
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan politik haruslah dianggap sebagai suatu cara
ke arah penyelesaian suatu konflik. Aksi politik dan aksi sosial serta bentuk-bentuk
kelanjutan lain dari proses politik dalam bentuk aksi -aksi tanpa kekerasan
dengan disertai atau tanpa disertai pelanggaran -pelanggaran hukum, biasanya
timbal dari suatu konflik yang terpendam.
Cara penanganan konflik dalam usaha mengarahkan ke jalan yang benar
dalam bentuk yuridis normatif berbeda dengan dalam bentuk yuridis-politis. Dalam
bentuk yuridis-politis penanganan konflik-konflik itu berwujud proses sosial yang
diarahikan pada suatu penyelesaian tertentu. Penyelesaian demikian ini dapat
mengalami eskalasi apabila digunakan kekerasan. Di bawah pengaruh keadaan
tertentu, aksi-aksi itu dapat mengakibatkan deeskalasi sehingga mengurangi
pertentangan-pertentangan yang terjadi.
Setelah sepuluh taliun mengalami proses sosial, gerakan hakhak sipil warga
negara kulit hitam Amerika Serikat yang meng akibatkan pertentangan-
pertentangan, menjadi lebili lunak daripada sebelumnya.

Kelompok keenm
20. Penyelesaian konflik dengan penggunaan kekerasan
Kekerasan merupakan suatu cara penyelesaian konflik, di mansa satu pihak
mencoba menyelesaikan suatu konflik terhadap pihak yang lain dengan
menggunakan sarana fisik. Sama halnya seperti dalam bentuk penyelesaian konflik
yang lain, dalam penyelesaian konflik dengan kekerasan juga masih
dipertimbangkan mengenai penyelesaian atau pengakhiran konflik, meskipun pihak yang
mempergunakan kekerasan mungkin mengajukan alasan bahwa cara ini
merupakan satu-satunya jalan keluar yang dapat ditempuh. Tetapi kekerasan
menimbulkan kekerasan pula, baik dalam bentuk pembalasan maupun untuk
Pokok Bahasan 5 72
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

memperkuat keadaan yang sudah terlanjur diwarnai dengan kekerasan.


Kerap kali dibedakan antara penggunaan kekerasan yang di lakukan oleh
negara dengan penggunaan kekerasan oleh anggota-anggota masyarakat. Hal ini
sudah merupakan masalah lama, yaitu masalah men gen ai le gitimitas dari
kekuas aan ne gar a untuk m em pergunakan kekerasan pada keja dian -
kejadian tert entu, misalnya penggunaan senjata oleh polisi, penangkapan
penjahiat, m enin das pem ber on ta k, dan se ba gainy a. Mono poli pen ggu na an
sarana kekerasan oleh negara menunjukkan jumlah peng gunaan kekerasan
di dalam masyarakat selama satu a ba d ini men j a di m enurun . Namu n
de miki an, perso al an m en gen ai l e gi timi tas kekuasaan negara dalam
pen ggunaan ke keras an belum ter jaw a b. Dapa t di berikan contoh di mana
negara melakukan kek e r a s an de n ga n da l i h de m i k e a m an a n da n
k e te r t i ba n . P e r a n g s au da r a m e r u p a k a n c o n to h y a n g p a l i n g e k s tr e m di
m a n a b e r l a k u hukum: kekerasan dilawan dengan kekerasan, tetapi di sini
hukum pen ggun aa n ke ker as an a kan j a tuh ber sam a den gan ba tas an t ara
yang menang dengan yang kalah.
Bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang telah diuraikan di muka
da pa t di g a m b a r k a n s e ba g a i s u a tu g a r i s l u r u s s e ba ga i b e r i k u t: mula-
mula ben tuk pen yeles aian man diri, den gan cam pur tan gan pi h ak k e ti ga ,
pe r tam a s ua tu pe ny eles ai an pr a - yuri dis, k emu di an penyel esaian yuridis
disert ai pihak k e tiga sam pai pa da su atu per juangan politik, dan kelanjutan
dari perjuangan ini denga n menggunakan sarana lain, yaitu kekerasan.
Nampak adanya peningkatan formalitas dalam deretan bentuk -
be n tuk pe ny el es a ia n k onf li k y an g di sus ul k em u di an den ga n pe -
ngurangan formalitas yang berupa aksi -aksi politik dan kekerasan.
Deretan bentuk -bentuk pen yelesaian konflik itu juga mencermin -kan apa
yang di dalam psikologi dikenal dengan mekanisme reaksi pada keadaan -
keadaan yang problematic, yaitu reaksi "fight" dan reaksi "fight", di mana
perundingan dengan dan intervensi oleh pihak- ketiga merupakan alte rnatif
yang perlu dipertimbangkan. Apabila diperhatikan kembali deretan bentuk -
bentuk penyelesaian konflik tadi, maka akan ternyata bahwa suatu cara
penataan lain yang tidak berbentuk garis lurus akan menimbulkan gambaran
yang lebih jelas lagi. Penyelesaia n konflik yang formal tidak selalu lehih
baik daripada penyelesaian konflik yang informal, dan pe nyelesaian politik
tidak selalu harus lebih baik dari penyelesaian yur i dis . Y an g ter gam bar
te r u tam a m enu n juk k an be n tu k - ben tuk alte r n a tif dar i peny e l es ai an ko n fli k
y a n g t er j a di be rs am a - sa m a sekaligus, dan tidak terjadi secara beruntun.
Apabila Semua bentuk itu disusun kembali menurut suatu Kri teria yang
lain, maka akan tergambar suatu bagan yang berbentuk sepatu kuda.
Ba gan ini ter ba gi men ja di tiga, y aitu : pe ny elesaian konflik yang dilakukan
oleh satu pihiak, Oleh dua pihak; dan pe nyelesaian konflik dengan bantuan pihak
ketiga.

Pokok Bahasan 5 73
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

Bagan mengenai bentuk-bentuk Penyelesaian Konflik

penyerahan kekerasan

Perundingan
perundingan

Apabila diperhatikan kedua Ujung dari bagan terlihat bahw a letaknya


sangat berdek atan. Kedua Ujung ta di kelihatan serupa, baik sang
pe ny er aha n diri m au pun den gan k ek er asa n, ya itu k onfli k diselesaikan oleh
pihak yang kua t. P enyerahan kerap kali merupa kan akibat dari kekerasan,
sedangkan penyerahan (atau penun dukan) yang berlangsung, lama
menimbulkan perlawanan dengan k e k e ra s a n . Ju ga pa da pe n y e l e s ai a n
k o n fl i k de n ga n c ar a pe r gi m enin ggalk an te m pa t, pe ny ele sai an dil aku kan
o leh s a tu pih ak saja.
S e tel ah m em perh a tik an h al -h al y an g ekstr em s e ba gaim ana tersebut
di atas yang masing-masing nampak lebih menyerupai, dibandingkan
dengan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang tergambar pada sisi lain
dari bagan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan mengenai adanya dua
kelompok cara penyelesaian konflik, yaitu: penyerahan, perundingan, undian
di satu sisi, dan penyelesaian oleh pemerintah dan legislatif dan perjuangan
politik pada sisi yang lain. Di bagian tengah dari bagan sepatu kuda ter sebut
terdapat penyelesaian konflik dengan campur tangan pihak ketiga.
D e n gan ba n tu a n b a gan s e pa tu k u da ini da pa t dir umus k an fungsi
hukum dalam hubungannya dengan penyelesaian konflik sebagai berikut:
1. Hukum berfungsi untuk mengubah bentuk -bentuk penyelesaian konflik
dengan kekerasan menjadi bentuk penyelesaian konfik tanpa kekerasan.
2. Hukum berfungsi untuk mengubah penyelesaian konflik sepihak, terutama
penundukan (atau penyeralian) diri, menjadi penyelesaian konflik dengan dua
atau tiga pihak.
Fungsi yang pertama biasanya dinyatakan dengan jelas dalam h uk um da n
da l am si da n g pe n ga dil an . Di s ini l ah l e tak fun gsi emansipasi dari hukum di
mana penguasaan dari pihak-pihak ter ten tu di dal am k onfli k dikur an gi
de n gan c ar a perun din gan di antara pihak -pihak yang setaraf atau dalam
situasi di mana ter sangkut tiga pihak, maupun dalam penyelesaian konfl ik
dengan perantaraan peradilan. Baik dalam bentuk penyelesaian konflik yang
tidak bersifat yuridis maupun yang berbentuk yuridis, nilai -nilai dan asas-
Pokok Bahasan 5 74
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

asas hukum mempunyai peranan yang penting se kali, sedangkan di


dalamnya dapat dikenal kembali aspek -aspek budaya dari hukum itu di dalam
kehidupan sosial.
C. Hasil yang Telah Dicapai dalam Usaha Mewujudkan Penyelesaian
Konflik tanpa Kekerasan

Fungsi hukum dan pera dilan untu k me wuj udkan penyel esaian konflik
tan pa ke keras an di dalam kehi du pan sosial, menimbul k a n pe r ta ny a an
m e n gen ai s e j auh m an a h al ini su dah da pa t di wujudkan dalam kenyataan.
Apakah fungsi ini sesuai dengan fungsi hukum dan peradilan yang lebih dikenal
sebagai sarana pemaksa, yang anggota-anggota masyarakat terlibat di
dalamnya bertentangan dengan kemampuannya masing -masing. Hal ini
terutama berlaku dalam hukum pidana di mana pada tersangka yang
dituntut s e la lu ber t e n t an gan den ga n ke m au a n m er ek a m as in g -m asi n g.
Oleh hukum pidana sendiri hal demikian itu dianggap seba gai memberikan
kemungkinan untuk menyelesaikan konflik menurut kemauan sendiri, yaitu
menghukum sendiri, pembalasan, penyele saian tak terendah, penyanderaan,
dan lain-lain. Negara mengambil alih konflik itu dari pihak para korban dan
menjamin agar pemeriksaan, penyidangan, dan peny elesaiannya dilakukan
berdasarkan peraturan-peraturan.
Meskipun demikian ada pendapat dalam bidang kriminologi yang
berpendapat bahwa penyelesaian konflik itu lebih baik di serahkan kepada
pemiliknya yang sah, yaitu para pihak yang ber sen-keta sendiri. Menurut
pendapat ini, pengaruh negatif yang ditim bul kan ol eh a para tur n e gar a pa da
w a k tu m en ga dili pel aku pelaku kejahatan dianggap sebagai sangat
menentukan. Apabila kemudian pelaku-pelaku kejahatan dan korban -
korbannya sendiri berdamai, maka sebe narnya b anyak hal yang da pat
dicapai. Di lain pihak penyelen ggaraan pe radilan oleh negara hanya meng -
hasilkan lebih banyak penjahat yang lebih terlatih. Campur tangan negara
dalam penyelesaian konflik ini masih sangat tergantung pada adanya
hubungan erat di dalam masyarakat, sehingga kejahatan-kejahatan dapat
diselesaikan sendiri oleh sistem kontrol sosial masyarakat itu. Maka timbal
pertanyaan apakah dalam masyarakat industri yang modern ikatan sosial di
antara individu -individu masih cukup kuat, dan apakah kema mpuan kontrol
sosial yang dimiliki oleh suatu lingkungan sosial tidak terlalu dibesar -besar-
kan. Hukum, terutama hukum pidana, justru melakukan pengen dali an
te rha da p ko n trol sosi al , dan ol eh k are nan ya k er a p kali bersifat mengurangi
kekerasan. Dalam kejadi an-kejadian yang ekstrem, dengan alasan mengadili
anggota-anggota golongan revolusinner atau organisasi teror, misalnya, kerap
kali putusan pengadilan mendapatkan banyak tantangan, dan mungkin pula
mengakibatkan polarisasi kekuatan. Tetapi dalam kejadia n-kejadian
demikian ini pun proses pemidanaan bertanggung jawab terhadap perusakan
yang tidak terkendali oleh golongan oposisi dari ang gota-anggota masyarakat itu
Pokok Bahasan 5 75
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

sendiri.
Juga dalam bidang hukum perdata, penyelidikan yang lebih m en dalam
a k an da pa t mem ban tu h akim dala m m en gus ali ak an pen y eles ai an k onflik
ta n pa ke k eras an . K er a p k ali terj a di s ate lah piha k m enj a di tersa ngku t
pa da su a tu k onfli k, s e be narn ya ber te ntangan dengan kemampuannya
sendiri. Sehingga bertambah pula alasan untuk mempertanyakan apakah
tidak lebih baik apabila sengketa diselesaikan secara mandiri oleh kedua
belah pihak yang bersengketa saja. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu di -
k e tahui a pak ah pih ak k e ti ga m am pu me y akin ka n dan m em per ta l i a n k a n
n a m a ba i k n y a s e ba ga i o r a n g y a n g ti da k m e m i h a k .
Yang juga menjadi masalah adalah karena cara penyelesaian yang
bersifat teknis-yuridis mengenai konflik dalam kenyataannya s an ga t be r be da
de n ga n c ar a pe n dek a t an y a n g di l ak u ka n ol eh pi h a k- pi h a k y a n g
be r s e n gk e t a . A ga r pe r be da a n a n ta r a pi h a k -pihak yang bers engketa
dengan hakim tidak terlalu besar, maka untuk menyelesaikan konflik-konflik
tertentu oleh Undang-Undang ditetapkan bahwa pelaksanaannya harus
dilakukan oleh seorang pengacara. Meskipun demikian masih tetap terclapat
hambatan yang mempersulit hakim dalam mengambil suatu keputusan akhir.
D a l a m h al de mi k i an i ni h a ki m a k a n m e m pe r gun a k a n k o ns e p k on s e p
pe n ge r ti an y a n g t a j am , s e dan gka n pa ra pih a k s e n dir i mempergunakan
konsep-konsep pengertian yang lebih longgar. Seleksi bahan informasi
mengenai suatu konfli k dilakukan oleh hakim berdasarkan alasan -alasan
yuridis, sedangkan para pihak melakukan seleksi dan memberikan
gambaran yang sangat ber beda mengenai konflik yang sama. Hakim
mencari konsistensi den gan ke pu tusan -kepu tusan yan g sudah pernah
dipu tuskan se be lumny a, sedangkan para pihak lebih banyak mengajukan kejadi-
k e j a di a n y a n g m er e k a al ami s ec a ra k on gk r e t, terl e pas da ri s oal-soal lain.
Pada akhirnya hakim akan menyelenggarakan suatu penyele saian yang
tidak bersifat pribadi secara bertahap, sedangkan para pihak akan mengajukan
pilihan-pilihan dan penolakan-penolakan atas dasar kepentingan-kepentingan
dan keinginan-keinginan mereka masing-masing serta akan berusaha sekuat-
kuatnya supaya hal-hal tersebut dipenuhi.
Kerap kali perbedaan antara kedua cara pendek atan tersebut sangat
besar sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang sangat be r be da .
A pa bi l a ga m ba r a n y a n g di pe r ol e h de n ga n c a r a pe n dekatan yuridis
berkembang terlepas dari pengenalan -pengenalan yang diperoleh dengan
cara-cara pendekatan bukan yuridis, maka tujuan peradilan tidak akan dapat
tercapai. Kekecewaan karena sikap-sikap pengadilan, penyesalan karena
keputusan-keputusan yang terlalu berpegang pada bunyi peraturan
perundang-undangan tertulis tetapi asing dengan dunia kenyataan, akan
mengakibatkan polarisasi kekuatan sosial, dan akhirnya mengakibatkan tim -
buInya kembali konflik-konflik yang kadang-kadang berkembang ke arah

Pokok Bahasan 5 76
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

penggunaan cara-cara yang terlarang, termasuk kekerasan.


Kemungkinan untuk mencapai tahap di mana hakim mampu
menyelesaikan k onflik-konflik tanpa kekerasan, banyak dipengaruhi oleh
kewibawaan hakim yang diperoleh berdasarkan kep utusan-keputusan dan
pernyataan-pernyataan yang mereka berikan di dalam pengadilan. Jarak yang
terlalu jauh dari kehidupan masya rakat yang nyata akan m embahayakan
relevansi keputusan penga dilan, sedangkan bilamana terlalu dekat dengan
kehidupan sosial, akan membahayakan sifat tidak memihak dari pengadilan.
Tugas pembuat undang -undang lebih mudah daripada tugas hakim,
karena konflik-konflik di antara pihak-pihak lebili banyak diselesaikan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan sendiri. Sumbangan yang diberikan oleh
pembuat undang-undang bagi penyelesaian konflik-konflik secara damai
tergantung pada cara golongan mayoritas menghormati kepentingan -
kepentingan dan keinginan-keinginan golongan minoritas di parlemen. Apabila
golongan mayoritas mengabaikan penghormatan ini, maka pada suatu saat
pihak yang kalah akan kehilangan kepercayaan pa da cara -cara
pengambilan keputusan yang dipergunakan. Suatu tradisi parle menter tidak
hanya berisi praktek-praktek pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak saja. Aturan-aturan tertulis dan tidak tertulis tentang bentuk-bentuk
pengambilan keputusan parlemen ter merupakan dasar bagi cara -cara
penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Bilamana tradisi parlementer menjadi
lebih mantap di dalam masyarakat, maka pembuat Undang -Undang juga akan
lebih banyak mendasarkan penyelesaian konflik -konflik yang terjadi di dalam
masyarakat tanpa kekerasan.

RANGKUMAN

1. Yang dimaksud dengan konflik adalah situasi (keadaan) di mana dua atau lebih pihak-pihak
memperjuangkan tujuan-tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan, dan
di mana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya
masing-masing.
2. Terdapat suatu hubungan yang erat antara hukum dan konflik. Karena tidak dapat
dihindarkan bahwa tiap bentuk hidup bersama mengalami bermacam-macam
bentuk konflik, untuk ini masi ng -masi ng terdapat s uatu bentuk peradi lan
tertentu dalam tiap-tiap kehidupan sosial.
3. Salah satu masalah pokok dari hukum menyangkut cara -cara anggota masyarakat
menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi adalah perimbangan antara bentuk-
bentuk penyelesaian konflik yang bersifat yuridis dan non-yuridis serta
penyelesaian konflik yang non-yuridis menghormati cara-cara penyelesaian konflik
yang beradab. Serta untuk memilih bentuk penyelesaian konflik yang paling memadai
untuk tipe-tipe konflik dan tipe-tipe hubungan konflik yang ter jadi di dalam kelompok
itu.
4. Terdapat berbagai bentuk penyelesaian konflik yang ditemui di dalam masyarakat, yang dapat
dikelompokkan ke dalam enam kelompok, yaitu:
a. Penarikan diri dari konflik, meliputi: a) Penyerahan sementara; b) Menghindarkan.

Pokok Bahasan 5 77
Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik

diri/meninggalkan pergi; c) Penyerahan.


b. Konflik dikelola sendiri, meliputi: a) Dengan undian; b) Kesepakatan; c) Perundingan.
c. Penyelesaian secara Pra-yuridis, meliputi: a) Pemakai jasa penengah; b)
Sidang/musyawarah; c) Perdamaian; d) Pengaduan.
d. Penyelesaian secara Yuridis-normatif, meliputi: a) Proses pidana; b) Proses perdata; c)
Proses administratif; d) Sidang pengadilan; e) Proses singkat; f) Arbitrase.
e. Penyelesaian secara politik dan pemerintahan, meliputi: a) Tindakan politik dan aksi
sosial; b) Bertahap tanpa kekerasan; c) Pembentukan keputusan legislatif; c)
Penyelesaian melalui saluran pemerintah.
f. Penyelesaian dengan Kekerasan.
5. fungs i hukum dal am hubungannya dengan penyel es ai an konfl ik sebagai berikut:
b. Hukum berfungs i untuk mengubah bentuk -bentuk penyel es ai an konfli k
dengan kekerasan menjadi bentuk pe nyel es aian konfik tanpa kekerasan.
c. Hukum berfungsi untuk mengubah penyel esaian konflik s epi hak, terutama
penundukan (atau penyeral i an) di ri, menjadi penyelesaian konflik dengan dua
atau tiga pihak.

DAFTAR PERTANYAAN
6. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan konflik?
7. Jelaskan hubungan antara hukum dan konflik!
8. Jelasalan masalah pokok dari hukum menyangkut cara -cara anggota masyarakat
menyelesaikan konflik-konflik!
9. Jelaskan bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang ditemui di dalam masyarakat!
10. J elas kan fungsi h ukum dal am hubungannya dengan penyel esai an konfl ik!

DAFTAR PUSTAKA
Roni hanijo soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum Dan Masyarakat.
Penerbit Remaja Karya, bandung 1985.

Pokok Bahasan 5 78
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Pokok Bahsan 6
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK):


Setelah mengikuti kuliah ini anda akan dapat :
1. Menjelaskan Inti dan arti penegakan hukum
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya penegakan hukum. sebenarnya
terletak pada
3. Menjelaskan gangguan penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang.
4. Menjelaskan peran penegak hukum dalam penegakan hukum.
5. Menjelaskan pentingnya sarana atau fasilitas dalam penegakan hukum.
6. Menjelaskan pengaruh persepsi masyarakat tentang hukum terhdap dalam penegakan
hukum.
7. Menjelaskan peran kebudayaan (sistem) hukum dalam penegakan hukum.

A. Penegakan Hukum: Inti dan Artinya


Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-
undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah
demikian, sehingga pengertian "law enforcement" begitu populer. Selain dari itu,
maka ada kecenderungan yang kuat untuk me ngartikan penegakan hukum
sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-
pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila
pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut
malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapatlah ditarik suatu
kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-
Undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni fihak-fihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada
Pokok Bahasan 6 79
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan
dibahas di sini, dengan cara mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari
kehidupan masyarakat Indonesia.

B Faktor-Faktor Yang Mungkin Mempengaruhi Penegakan Hukum

1. Undang-Undang
Di dalam tulisan ini, maka yang diartikan dengan Undang-Undang dalam arti
materiel adalah (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979) peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Dengan
demikian, maka Undang-Undang dalam materiel (selanjutnya disebut Undang-Undang)
mencakup :
1. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan
tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.
2. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.
Suatu masalah lain yang dijumpai di dalam Undang-undang adalah adanya pelbagai
Undang-Undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam
Undang-Undang tersebut diperintahkan demikian.
Persoalan lain yang mungkin timbul di dalam Undang-undang, adalah
ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan
pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu disebabkan, oleh karena penggunaan kata-
kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari
bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.
Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa (gangguan
terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan,
karena:
1. Tidak diikutinya azas-azas berlakunya Undang,
2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan
Undang-Undang,
3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-undang yang mengakibatkan
kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

2. Penegak Hukum

Di dalam tulisan ini, maka yang dimaksudkan dengan penegak hukum akan
dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan
hukum yang tidak hanya mencakup "law enforcement", akan tetapi juga "peace
maintenance". Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka
yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan
pemasyarakatan.
Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum mempunyai kedudukan ("status")
dan peranan ("role"). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur
kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan

Pokok Bahasan 6 80
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewa-
jiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan
atau "role". Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,
lazimnya dinamakan pemegang peranan ("role occupant"). Suatu hak sebenarnya
merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah
beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur,
sebagai berikut :
1. Peranan yang ideal ("ideal role")
2. Peranan yang seharusnya ("expected role")
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri ("perceived role") ,
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan ("actual role"). '
Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan "role
performance" atau "role playing". Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan yang ideal
dan yang seharusnya datang dari fihak (atau pihak-pihak) lain, sedangkan peranan yang
dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri
pribadi. Sudah tentu bahwa di dalam kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi
apabila seseorang berhubungan dengan fihak lain (disebut "role sector") atau dengan
beberapa fihak ("role set").
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat
lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan
demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul
konflik ("status conflict" dan conflict of roles"). Kalau di dalam kenyataannya terjadi
suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya
dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan ("role-
distance").
Kerangka sosiologis tersebut di atas, akan diterapkan dalam analisa terhadap
penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada peranannya. Namun
demikian, di dalam hal ini ruang lingkup hanya akan dibatasi pada peranan yang
seharusnya dan peranan aktual.
Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan mengenai penegak
hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Diskresi menyangkut
pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi
juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh
karena (Wayne LaFavre 1964):
1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat
mengatur semua perilaku manusia,
2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan
perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak
pastian.
3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagairnana yang
dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang.
4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.

Pokok Bahasan 6 81
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penggunaan perspektif peranan dianggap mempunyai keuntungan-keuntungan


tertentu, oleh karena :
1. Fokus utamanya adalah dinamika masyarakat;
2. Lebih mudah untuk membuat suatu proyeksi, oleh karena pemusatan perhatian pada
segi prosesual,
3. Lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya,
daripada kedudukan dengan lambang-lambangnya yang cenderung bersifat konsumtif,
Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah
dirumuskan di dalam beberapa Undang Undang. Di samping itu, di dalam
Undang-Undang tersebut juga dirumuskan perihal peranan yang ideal. Secara berurut
peranan yang ideal dan yang diharuskan.
Di dalam melaksanakan peranan yang aktual, penegak hukum sebaiknya mampu
"mulat sarira" atau "mawas diri", halmana akan tampak pada perilakunya yang
merupakan pelaksanaan daripada peranan aktualnya. Agar mampu untuk mawas diri
penegak hakum harus berikhtiar untuk hidup (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto
1983):
1. sabenere (logis), yaitu dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan yang
salah;
2. samestine (ethis), yaitu bersikap tindak maton atau berpatokan dan tidak waton
ialah asal saja sehingga sembrono atau ngawur. Ukuran maton itu ialah :
a. "Sabutuhe" yang maksudnya tidak serakah.
b. "sacukupe" yaitu mampu tidak berkekurangan tetapi juga tidak serba
berkelebihan.
c. "saperlune", artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal.
3. sakepenake (estetis) yang harus diartikan : mencari yang enak tanpa rnenyebabkan
tidak enak pada prihadi lain".
Hal-hal tersebut di atas hanya mungkin, apabila dilandaskan pada paling sedikit
dua azas, yakni (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Sokanto 1983)
1. apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain
mengalaminya . . .
2. apa yang boleh anda perdapat, biarkanlah orang lain berikhtiar mendapatkannya
. . ."
Pelbagai situasi mungkin dihadapi oleh para penegak hukum. di mana mereka
harus melakukan diskresi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas.
Situasi-situasi tersebut adalah mungkin keadaan di mana harus diadakan penindakan
atau pencegahan (yang kemungkinan diikuti dengan penindakan, apabila pencegahan
tidak berhasil). Di dalam kedua situasi tersebut, inisiatif mungkin berasal dari penegak
hukum itu sendiri, atau mungkin dari warga masyarakat. Hal-hal tersebut akan
dijelaskan dibawah ini, sehingga memungkinkan analisa yang lebih mendalam dengan
mempergunakan konsep-konsep yang telah dijelaskan di muka. Hal-hal tersebut dapat
dinamakan "kasus-kasus diskresi", sebagai berikut (James Q. Wilson 1968 dan Louis A.
Radelet 1973) :

Pokok Bahasan 6 82
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

1.Kasus I : Situasi penindakan yang diprakarsai penegak hukum.


Di dalam kasus seperti ini, maka penegak hukum memprakarsai suatu aksi dimana
wewenang penuh ada padanya. walaupun prakarsa tersebut mungkin merupakan suatu
tanggapan terhadap suatu masalah yang oleh masyarakat dianggap mengganggu. Dalam
situasi-situasi semacam ini, maka pengaruh yang kuat dari atasan mungkin kuat, oleh
karena tolok ukurnya adalah mencapai tujuan sebagaimana ditetapkan oleh pembentuk
hukum; yang biasanya terumuskan di dalam bentuk yang tertulis. Peranan aktual dari
penegak hukum berorientasi pada tujuan semata-mata, yang tidak mustahil beralih ke
orientasi terhadap alat atau cara.
Di dalam keadaan semacam ini, kewenangan berdiskresi relatif besar, walaupun
dapat dikendalikan oleh atasan atau suatu instansi tertentu. Dengan demikian,
kemungkinan terjadi kesenjangan antara peranan yang diharuskan dengan peranan
aktual dapat dibatasi, apabila atasan menghendakinya.
2.Kasus II : Situasi penindakan yang diprakarsai oleh warga masyarakat.
Di dalam kasus seperti ini, maka ada warga masyarakat yang terganggu, sehingga
melaporkan hal itu kepada penegak hukum. Dalam hal semacam ini, maka penegak
hukum mempunyai beberapa pilihan untuk melaksanakan peranan aktualnya. Apabila
kejadiannya menyangkut remaja, maka dapat diadakan tindakan-tindakan sementara,
atau melanjutkan proses sampai ke pengadilan. Dalam hal ini, maka keleluasaan untuk
mengadakan diskresi secara relatif adalah sempit (kecuali di dalam kasus-kasus yang
menyangkut rernaja).
3.Kasus III : Situasi pencegahan yang diprakarsai oleh penegak Hukum.
Di dalam kasus seperti ini, maka penegak hukum mengambil prakarsa untuk
mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa yang secara potensial dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan terhadap kedamaian.
4.Kasus IV : Situasi pencegahan yang diprakarsai oleh warga masyarakat.
Di dalam kasus seperti ini, maka warga masyarakat meminta bantuan penegak
hukum untuk mencegah terjadinya peristiwa yang mengganggu kedamaian. Keleluasaan
menerapkan diskresi dalam kasus semacam ini adalah relatif besar, sehingga sukar
sekali untuk mencegah kesenjangan antara peranan yang diharuskan dengan peranan
aktual.
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Me-
reka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, di
samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh
mereka. Kecuali dari itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-
unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan
sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan
lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.
Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang
seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya

Pokok Bahasan 6 83
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

sendiri atau dari lingkangan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan


tersebut, adalah antara lain :
1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan fihak lain dengan
siapa dia berinteraksi,
2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk mernikirkan masa depan, sehingga sulit sekali
untuk membuat suatu proyeksi,
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhar. tertentu,
terutama kebutuhan materiel.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, melatih dan
membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap, sebagai berikut :
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman-pengalaman maupun penemuan-penemuan
baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima penrbahan-perubahan setelah menilai kektrrangan-
kekurangan yang ada pada saat itu,
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya dengan dilandasi suatu
kesadaran,
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya,
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan,
6. Menyadari akan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya, dan percaya bahwa
potensi-potensi tersebut akan dapat dikembangkan.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib (yang buruk),
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan
kesejahteraan umat manusia,
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri sendiri maupun
fihak-fihak lain,
10.Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan
perhitungan yang mantap.

3. Faktor Sarana Atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak
terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Agar masalah
tersebut dapat difahami dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses
peradilan.
Di dalam pembicaraan mengenai penegak hukum di muka, telah disinggung
perihal hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap hambatan pada proses banding
dan kasasi perkara-perkara pidana. Dari hasil-hasil penelitian yang sama, dapat pula
diperoleh data mengenai faktor-faktor penghambat proses penyelesaian dalam proses

Pokok Bahasan 6 84
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

banding dan kasasi tersebut, menurut kalangan penegak hukum tertentu. Secara visual
dan kuantitatif, gambarannya adalah, sebagai berikut (dikutip dari Lampiran 13 laporan
penelitian tersebut) :

6. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertu juan untuk
mencapai Kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut
tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Di
dalam bagian ini, akan diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-
pendapat masyarakat mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi
kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas, bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan
faktor-faktor terdahulu, yaitu Undang-Undang, penegak hukum dan sarana
atau fasilitas.
Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat-pendapat
tertentu mengenai hukum. Pertama-tama ada pelbagai pengertian atau arti
yang diberikan pada hukum, yang variasinya adalah sebagai berikut :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan,
2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan,
3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas
yang diharapkan,
4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis),
5. Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat,
6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa,
7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan,
8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik,
9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai,
10. Hukum diartikan sebagai seni.
Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat
kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan
pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan
pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.
Warga masyarakat rata-rata mempunyai pengharapan, agar polisi dengan serta
merta dapat menanggulangi masalah yang dihadapi tanpa memperhitungkan, apakah
polisi tersebut baru saja menamatkan pendidikan kepolisian, atau merupakan polisi yang
sudahi berpengalaman. Peng}iarapan tersebut tertuju kepada polisi yang mempunyai
pangkat terendah sampai dengan yang tertinggi pangkatnya. Orang-orang yang
berhadapan dengan polisi, tidak "sempat" memikirkan taraf pendidikan yang pernah di-
alami oleh polisi dengan pangkat terendah, misalnya.

Pokok Bahasan 6 85
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Di dalam kehidupan sehari-hari, maka begitu menyelesaikan pendidikan


kepoiisian, maka seorang anggota polisi langsunt; Icijun kc cl.ilaru masyarakat, di mana
dia akan menghadapi pelbagai masalah, yang mungkin pernah dipelajarinya di sekolah,
atau mungkin sama sekali belum pernah diajarkan. Masalah-masalah tersebut ada yang
memerlukan penindakan dengan segera, akan tetapi ada juga persoalan-persoalan yang
baru kemudian memerlukan penindakan, apabila tidak tercegah. Hasilnya akan
dirasakan secara langsung oleh masyarakat tanpa pertimbangan bahwa anggota polisi
tersebut baru saja menyelesaikan pendidikan, atau baru saja ditempatkan di daerah
yang bersangkutan. Warga masyarakat mempunyai persepsi bahwa setiap anggota polisi
dapat menyelesaikan gangguan-gangguan yang dialami oleh warga masyarakat, dengan
hasil yang sebaik-baiknya.
Di dalam kehidupan sehari-hari polisi pasti akan menghadapi bermacam-macam
manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. Di antara mereka
itu ada yang dengan sendirinya taat pada hukum, ada yang pura-pura mentaatinya, ada
yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang dengan terang-terangan
melawannya. Yang dengan sendirinya taat, harus diberi perangsang agar tetap taat,
sehingga dapat dijadikan keteladanan. Akan tetapi timbul masalah dengan mereka yang
pura-pura mentaati hukum, oleh karena mencari peluang di mana penegak hukum
berada dalam keadaan kurang siaga. Masalah lainnya adalah, bagaimana menangani
mereka yang tidak mengacuhkan hukum, ataupun yang secara terang-terangan
melanggarnya.
Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat
mentaati hukum, menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan
atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan
tujuannya. Misalnya, kalau ketaatan terhadap hukum dilakukan dengan hanya
mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum
dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya taat pada saat ada petugas
saja. Hal ini bukanlah berarti bahwa cara demikian (yakni yang "coercive") selalu
menghasilkan ketaatan yang semu. Maksudnya adalah, bahwa apabila cara demikian
selalu ditempuh, maka hukum dan penegak hukum dianggap sebagai sesuatu yang
menakutkan. Cara-cara lain dapat diterapkan, misalnya, cara yang lunak (atau
"persuasion") yang bertujuan agar warga masyarakat secara mantap mengetahui dan
memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-niiai yang dianut oleh warga
masyarakat. Kadang-kadang, dapat diterapkan cara mengadakan penerangan dan
penyuluhan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan
tertentu terhadap hukum (cara ini lazimnya dikenal dengan sebutan "pervasion"). Cara
lainnya yang agaknya menyudutkan warga masyarakat adalah "compulsion". Pada cara
ini dengan sengaja diciptakan situasi tertentu, sehingga warga masyarakat tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali mematuhi hukum. Memang dengan mempergunakan
cara ini, tercipta suatu situasi di mana warga masyarakat agak terpaksa melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.

Pokok Bahasan 6 86
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Oleh karena masyarakat mengharapkan bahwa polisi akan dapat melindunginya,


maka dengan sendirinya polisi harus mengenal lingkungan di mana dia bertugas, dengan
sebaik-baiknya. Pengenalan lingkungan dengan sebaik-baiknya tidak mungkin terjadi,
kalau polisi tidak menyatu dengan lingkungan tersebut. Keadaan akan bertambah buruk
lagi, apabila sama sekali tidak ada motivasi untuk mengenal dan memahami lingkungan
tersebut, oleh karena terlampau berpegang pada kekuasaan formal atau kekuatan fisik
belaka.
Dari sudut sistem sosial dan budaya, Indonesia merupakan suatu masyarakat
majemuk ("plural society"), dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan kebudaya-
an-kebudayaan khususnya. Di samping itu, maka bagian terbesar penduduk Indonesia
tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan wilayah perkotaan. Ma-
salah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani
dengan cara-cara tradisional; di wilayah perkotaan juga tidak semua masalah dapat
diselesaikan tanpa mempergunakan cara-cara yang tradisional. Kalau demikian halnya,
bagaimanakah cara untuk mengenal lingkungan (sosial) dengan sebaik-baiknya ?
Pertama seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau
pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan
status,/kedudukan dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-
dasarnya, seperti misalnya, kekuasaan, kekayaan materiel, kehormatan, pendidikan,
dan lain sebagainya. Dari pengetahuan dan pemahaman terhadap stratifikasi sosial
tersebut, akan dapat diketahui lambang-lambang kedudukan yang berlaku dengan segala
macam gaya pergaulannya. Di samping itu akan dapat diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kekuasaan dan wewenang, beserta penerapannya di dalam kenyataan.
Hal itu semua akan dapat diketahui melalui wawancara dengan pelbagai tokoh atau
warga masyarakat biasa, maupun dengan jalan mengadakan pengamatan-pengamatan
terlibat maupun tidak terlibat.
Hal lain yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga
social yang hidup, serta yang sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga masya-
rakat setempat. lembaga-lembaga sosial tersebut adalah, misalnya, lembaga
pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga penegakan hukum, dan seterusnya. Secara
teoretis lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai hubungan fungsional, sehingga
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas maupun perubahan-
perubahan sosial-budaya yang akan atau sedang terjadi.
Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, maka terbukalah
jalan untuk dapat mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah
yang berlaku di lingkungan tersebut. Pengetahuan serta pemahaman terh~idap nilai-
nilai serta norma-norma atau kaidah-kaidah sangat pealing di dalam pekerjaan menye-
lesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi (ataupun yang bersifat potensial). Di
samping itu akan dapat diketahui (serta mungkin selanjutnya disadari), bahwa hukum
tertulis mcmpunyai pelbagai kelemahan yang harus diatasi dengan keputusan-keputusan
yang cepat dan tepat (dikresi).

Pokok Bahasan 6 87
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Di dalam situasi-situasi tertentu, polisi mau tidak mau hares melaksanakan


peranan aktual yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, misalnya, penerapan kekerasan
akan tetapi di dalam keadaiin demikian perlu diteliti apakah kekerasan tersebut
memang berasal dari polisi tersebut, atau merupakan suatu akibat dari lingkungan
(ataupun faktur-faktor lainnya). Mengenai hal ini, Satjipto Rahardjo pernah
rnengetengahkan hasil penelitian Sugiarso yang berusaha mengkaitkan kondisi
penggunaan kekerasan dengan tipe masyarakat madya dan modern. Secara visual
hasilnya adalah, sebagai berikut (Satjipto Rahardjo, 1982) (lihat Tabel sebelah).

Terhadap tabel tersebut di atas, Satjipto Rahardjo memberikan ulasan, sebagai


berikut (Satjipto Rahardjo 1982) :
". .. , penggunaan kekerasan oleh polisi bukan merupakan suatu tindakan yang
murni digerakkan oleh keinginannya untuk melakukan hal itu. Tampaknya cukup
banyak faktor yang turut menyebabkannya, bahkan bisa dikatakan juga yang
memancingnya untuk berbuat demikian. Dengan demikian perbuatan petugas
polisi itu kiranya dapat digolongkan ke dalam tindakan yang benar-benar bersifat
relational …………………….. Apa yang dilakukan oleh seseorang juga merupakan
reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain."
Selanjutnya Satjipto Rahardjo juga menyatakan, bahwa (Satjipto Rahardjo 1982) :
"Seorang polisi akan mengalami, bahwa penggunaan kekerasan itu merupakan
suatu sarana untuk melakukan persuasi. Dari pengalaman ini, yaitu menggunakan
kekerasan untuk menjalankan tubas-tugasnya sebagaimana dikehendaki oleh
hukum, polisi mengembangkan suatu pertanggung jawaban …………...... terhadap
penggunaan kekerasan itu. Dari perkembangan yang demikian itu tampaknya
dengan tidak begitu sulit keadaan menggelincir ke arah penggunaan kekerasan
secara di luar hukum. Juga penggunaan kekerasan yang demikian ini ditafsirkan
sebagai sarana yang bersifat fungsional bagi tugas-tugas kepolisian . . . "
Kiranya hal terakhir tersebut di atas yang harus dapat dicegah, oleh karena akan
dapat memberikan gambaran yang keliru mengenai hukum yang diidentikkan dengan
petugas hukum atau penegak hukum. Memang, di sinilah letak masalahnya yang
menyangkut faktor masyarakat di dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Anggapan
dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum (atau sebaliknya)
mengakibatkan bahwa harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak
hukum meniadi terlampau banyak, sehingga mungkin mengakibatkan terjadinya
kebingungan pada diri penegak hukum, oleh karena terjadinya pelbagai konflik dalam
dirinya. Akan tetapi di lain fihak, keadaan ini juga dapat memberikan pengaruh yang
baik, yakni bahwa penegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat
perhatian dari warga masyarakat.
Masalah lain yang timbul sebagai akibat anggapan masyarakat sebagaimana
disinggung di muka itu, adalah mengenai segi panerapan perundang-undangan. Kalau
penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak
mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Selain

Pokok Bahasan 6 88
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

dari itu, maka mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaah bahwa perundang-
undangan kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat; bukankah
hal itu dapat ditanggulangi dengan diskresi, yang secara lahiriyah tampak begitu
sederhana.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa anggapan-anggapan dari masyarakat
tersebut harus mengalami perubahan-perubahan di dalam kadar-kadar tertentu. Per-
ubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan melalui penerangan atau penyuluhan
hukum yang sinambung dan yang senantiasa dievaluasi hasil-hasilnya, untuk kemudian
dikembangkan lagi. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat menemp3tkan
hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.
Di samping adanya kecenderungan yang kuat dari masyarakat untuk mengartikan
hukum sebagai penegak hukum atau petugas hukum, maka ada golongan-golongan
tertentu dalam masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum
positif tertulis. Di dalam suatu penelitian yang diadakan terhadap sejumlah mahasiswa
di 27 kota di Indonesia pada tahun 1977 - 1978 diperoleh hasil bahwa 61.07 % dari
seluruh responden yang berjumlah 1893 mahasiswa mengartikan hukum sebagai tata
hukum (Penelitian terhadap Ciri-ciri Kepribadian Mahasiswa Indonesia pada Perguruan-
Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se Indonesia oleh Direktorat Kemahasiswaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Anggapan-anggapan semacam itu sebenarnya
juga ada pada kalangan hukum umumnya, yaitu terutama yang menduduki posisi-posisi
formal tertentu. Hal itu tampak dari program-program resmi yang diterapkan, misalnya,
program penyuluhan hukum (tertulis). Salah satu akibatnya yang positif adalah,
kemungkinan bahwa warga masyarakat mempunyai pengetahuan yang pasti mengenai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum (yang kemungkinan besar
akan berkelanjutan dengan adanya pemahaman-pemahaman tertentu). Kalau warga
masvarakat sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, maka mereka
juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk
melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhab mereka sesuatu
dengan aturan yang ada. Hal itu semua biasanya dinamakan kompetensi hukum yang
tidak mungkin ada, apabila warga masyarakat:
1. tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila, hak-hak mereka dilanggar atau
terganggu,
2. tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-
kepentingannya,
3. tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor
keuangan, psikis, sosial atau politik,
4. tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya,
5. mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan
pelbagai unsur kalangan hukum formal.
Sebagai salah satu akibat negatif dari pandangan atau anggapan bahwa hukum
adalah hukum positif tertulis belaka adalah, adanya kecenderungan yang kuat sekali

Pokok Bahasan 6 89
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

bahwa satu-satunya tugas hukum adalah adanya kepastian hukum. Dengan adanya
kecenderungan untuk lebih menekankan pada kepastian hukum belaka, maka akan
muncul anggapan yang kuat sekali bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban.
Lebih mementingkan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum,
sehingga timbul gagasan-gagasan yang kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat
diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan-kecenderungan yang legistis tersebut
pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang
belum tentu berlaku secara sosiologis. Di lain fihak kecenderungan-kecenderungan
tersebut kadang-kdang menganggap bahwa terjemahan-terjemahan tidak resmi dari
perundang-undangan zaman hindia-belanda secara yuridis telah berlaku.
Adanya keinginan-keinginan yang sangat kuat untuk menyusun kodifikasi atau
pembukuan nornla-norma hukum bidang-bidang tertentu, merupakan suatu akibat yang
lebih lanjut yang mempunyai segi positif dan negatifnya. Selama usaha mengadakan
kodifikasi tersebut memperhitungkan bidang-bidang kehidupan netral dan spiritual,
serta tujuan kodifikasi adalah kepastian hukum, keseragaman hukum dan kesederhanaan
hukum, maka usaha mengadakan kodifikasi adalah positif. Akan tetapi, kalau . usaha
tersebut hanya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dan mencoba membukukan
norma-norma hukum yang mengatur bidang kehidupan spiritual (atau non, netral), maka
sifatnya adalah negatif.

5. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat


sengaja dibedakan, oleh karena di dalam pembahasannya akan diketengahkan masalah
sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-materiel. Sebagai
suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup
struktur, substansi dan kebudayaan (Lawrence M. Friedman 1977). Struktur mencakup
wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, mencakup tatanan
lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak
dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma
hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa
yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan
pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor
kebudayaan ini.
Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum, adalah sebagai berikut (Purnadi
Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1983):
1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman,
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keahlakan,
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovatisme.

Pokok Bahasan 6 90
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Di Indonesia nilai-nilai yang meniadi dasar hukum adat, adalah antara lain,
sebagai berikut (Moh. Koesnoe 19G9):
"1) Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai fungsi masing-masing
demi untuk melangsungkan dan kelangsungan dari pada masyarakat (sebagai
lingkungan kesatuan),
2). Setiap individu di dalam lingkungan kesatuan itu, bergerak berusaha sebagai
pengabdian kepada keseluruhan kesatuan,
3). Dalam pandangan adat yang demikian mengenai kepentingan-kepentingan individu
itu, maka sukarlah untuk dapatnya dikemukakan adanya suatu keperluan yang
mendesak untuk menertibkan segala kepentingan-kepentingan para individu-
individu itu. Bagi adat, ketertiban itu telah ada di dalam semesta, di dalam
kosmos. Ketertiban itu adalah berupa dalam hubungan yang harmonis antara
segalanya ini. Gerak dan usaha memenuhi kepentingan individu, adalah gerak dan
usaha yang ditempatkan di dalam garis ketertiban kosmis tersebut. Bagi setiap
orang, maka garis ketertiban kosmis itu dijalani dengan serta merta. Bilamana
tidak dijalankan garis itu, garis yang dijelmakan di dalam adat, maka baik
jalannya masyarakatnya, maupun jalan kehidupan peribadi orang yang
bersangkutan akan menderita karena berada di luar garis tertib kosmis tersebut,
yaitu, adat.
4). Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat itu harus
disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan mempergunakan
paksaan. Apa yang disebut sebagai salah kaprah, yaitu dengan sebutan hukum
adat, tidaklah merupakan hukuman.
Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat, untuk mengembalikan langkah yang yang
berada di luar garis tertib kosmis itu, demi untuk tidak terganggu ketertiban
kosrnis. Upaya adat dari lahirnya adalah terlihat sebagai adanya penggunaan
kekuasaan melaksanakan ketentuan yang tercantum di dalam pedoman hidup yang
disebut adat.
Tetapi dalam intinya itu adalah lain, itu bukan pemaksaan dengan
mempergunakan alat, paksa. Itu bukan bekerjanya suatu sanctie. Itu adalah upaya
membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu, dan bukan suatu "hukuman",
bukan suatu "leed" yang diperhitung bekerjanya bagi individu yang bersangkutan".
Hal-hal yang telah dijelaskan oleh Moh. Koesnoe secara panjang lebar di atas,
merupakan kebudayaan Indonesia yang mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum
Adat tersebut merupakan hukum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat terbanyak.
Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang
timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar supaya hukum perundang-undangan
tersebut dapat berlaku secara efektif.
Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keahlakan, juga merupakan pasangan nilai yang
bersifat universal. Akan tetapi di dalam kenyataan pada masing-masing masyarakat

Pokok Bahasan 6 91
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

timbul perbedaan-perbedaan karena pelbagai macam pengaruh. Pengaruh dari kegiatan-


kegiatan modernisasi di bidang materiel, misalnya, tidak mustahil akan menempatkan
nilai kebendaan pada posisi yang lebih tinggi daripada nilai keahlakan, sehingga akan
timbul pula suatu keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan pada posisi
yang lebih tinggi dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa pelbagai aspek proses
hukum akan mendapat penilaian dari segi kebendaan belaka. Salah satu akibat daripada
penempatan nilai kebendaan pada posisi yang yang lebih tinggi daripada nilai
keahlakan, adalah bahwa didalam proses pelembagaan hukum dalam masyarakat,
adanya sanksi-sanksi negatif lebih dipentingkan daripada kesadaran untuk mematuhi
hukum. Artinya, berat-ringannya ancaman hukuman terhadap pelanggaran menjadi
tolok ukur kewibawaan hukum; kepatuhan hukum kemudian juga disandarkan pada "cost
and benefit".
Mengenai hal tersebut di atas, memang belum pernah diadakan penelitian di
Indonesia, yang secara langsung memeriksa efek daripada penempatan nilai kebendaan
pada posisi yang lebih penting daripada nilai keahlakan. Akan tetapi, secara tidak
langsung pernah dipersoalkan mengenai hubungan antara pasal 283 dan 534 KUHP yang
berpokok pangkal pada nilai keahlakan, dengan pelaksanaan program keluarga
berencana. Akan tetapi di negara lain, misalnya di Amerika Serikat pernah diadakan
pelbagai penelitian, untuk megukur mana yang lebih efektif, yakni penanaman
kesadaran ataukah ancaman hukuman yang tinggi. Contoh dari penelitian tersebut
hukuman yang pernah dilakukan oleh Schwarz dan Orleans terhadap efektivitas sanksi,
khususnya terhadap kepatuhan untuk membayar pajak (Richard D. Schwartz & Sonya
Orleans 1967).
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa sanksi-sanksi lebih
efektif bagi mereka yang berasal dari kelas sosial yang relatif tinggi (dari sudut
kedudukan ekonomis). Bagi masyarakat luas yang menduduki kelas sosial yang lebih
rendah, maka penanaman kesadaran jauh lebih efektif daripada ancaman-ancaman
hukuman.
Pasangan nilai konservatisme dan nilai inovatisme, senantiasa berperan di dalam
perkembangan hukum, oleh karena di satu fihak ada yang menyatakan bahwa hukum
hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan "status-
quo". Di Iain fihak ada anggapan-anggapan yang kuat pula, bahwa hukum juga dapat
berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal yang
baru.
RANGKUMAN
1. Inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum bukanlah semata-
mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indone-
sia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian "law enforcement" begitu
populer.

Pokok Bahasan 6 92
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

2. Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang
saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni fihak-fihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan
hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas di sini, dengan cara
mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
3. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang mungkin disebabkan,
karena:
1. Tidak diikutinya azas-azas berlakunya Undang,
2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan Undang-
Undang,
3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-undang yang mengakibatkan kesimpang-siuran
di dalam penafsiran serta penerapannya.
4. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya,
lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah
mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik ("status conflict" dan
conflict of roles"). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan
yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka ter-
jadi suatu kesenjangan peranan ("role-distance").
5. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil
penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
6. Terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah
satu akibatnya adalah, bahwa baik-buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku
penegak hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum se-
bagai struktur maupun proses.
7. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut,
lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.

Pokok Bahasan 6 93
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan Inti dan arti penegakan hukum.
2. Jelaskan secara umum faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya penegakan hukum.
3. Jelaskan gangguan penegakan hukum yang berasal dari Undang-Undang.
4. Jelaskan peran penegak hukum dalam penegakan hukum.
5. Jelaskan pentingnya sarana atau fasilitas dalam penegakan hukum.
6. Jelaskan pengaruh persepsi masyarakat tentang hukum terhdap dalam penegakan hukum.
7. Jelaskan peran kebudayaan (sistem) hukum dalam penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , Raja Wali,
Jakarat, 1986.

Pokok Bahasan 6 94
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

Pokok Bahasan 7
PERSPEKTIF TEORI SOSIOLOGI HUKUM

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK):


Setelah mengikuti kuliah ini anda akan dapat :
1. Menjelaskan pengertian dasar dari Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum
Responsi p.
2. Menjelaskan karakterisitik atau ciri-ciri dari Hukum Represip, Hukum Otonom, dan
Hukum Res ponsi p.
3. Menggunakan keti ga model hukum tersebut, yai tu Hukum Represip, Hukum
Otonom, dan Hukum Res pons ip untuk mengadanlis is tata hukum I ndonesia.
4. Menjelaskan perspektip teori Sosiologi Hukum.

1. TESIS HUKUM YANG RESPONSIF

Adanya kritik-kritik terhadap kemampuan hukum untuk mencapai keadilan


substantif serta menangani masalahmasalah dasar keadilan serta terhadap peranan
hukum sebagai alat dominasi, pendukung utama kekuasaan serta pri vilese, telah
melahirkan kebutuhan pada satu pihak pendekatan i1mu-ilmu sosial yang mampu
menjelaskan konteks sosial hukum serta dimensi-dimensi tata hukum, dan pada
pihak lain kebutuhan akan suatu kerangka bagi alternatif penataan hukum.
Dalam hubungan itu, Philippe Nonet dan Philip Selz-nick' mengetengahkan
suatu teori mengenai 3 (tiga) keadaan dasar hukum dalam masyarakat yakni:
1. Hukum Represip yakni hukum yang merupakan alat kekuasaan represip;
2. Hukum Otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menjinakkan
repressi dan melindungi integritasnya sendiri, dan
3. Hukum Responsip yaitu hukum yang merupa kan sarana respons atas
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi masyarakat.

Pada Hukum Represip, tujuan hukum adalah keter tiban dan dasar
keabsahannya adalah pengamanan masyarakat. Aturan-aturannya bersifat terperinci
namun kurang mengikat pembuat aturan, seringkali terjadi diskresi. Sifat memaksa
nampak meluas dan hanya secara le mah dibatasi, sementara itu yang
dikembangkan adalah "moralitas kekangan". Hukum tunduk pada politik ke-
kuasaan serta harapan-harapan atas ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak-
taatan dianggap penyimpangan. Kritisisme dipandang sebagai ketidaksetiaan.
Hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada kejujuran
prosedural. Aturan-aturan mengikat baik penguasa maupun yang di kuasai dan
diskresi dibatasi oleh hukum. Paksaan dikendalikan oleh kekangan-kekangan
hukum, dan moralitasnya adalah moralitas institusional. Hukum "merdeka" dari po -
litik. Harapan-harapan ketaatan tidak terlampau ketat dan dibenarkan oleh hukum
misalnya dalam kerangka pengujian aturan-aturan. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh
prosedur-prosedur yang mapan.
Pada hukum responsip keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substantip
dan aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Diskresi dilaksanakan
dalam rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih nampak dalam bentuk alternatif
Pokok Bahasan 7 94
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

positif seperti insentip atau sistim-sistim kewajiban mandiri. Moralitas yang


nampak adalah "moralitas kerja sama", sementara aspirasi-aspirasi hukum dan politik
berada dalam keadaan terpadu. Ketidaktaatan dinilai dalam ukuran dan kerugian-
kerugian substantip dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi.
Kesempatan untuk berpartisipasi diperluas melalui integrasi bantuan hukum dan
bantuan sosial.
Sungguhpun konsepsi-konsepsi abstrak di atas mungkin dalam masyarakat-
masyarakat tertentu mengandung ciri-ciri campuran, namun dapat dipastikan
bahwa postur dasar suatu tata hukum akan lebih memperlihatkan kecenderungan
yang mirip dengan salah satu type hukum represip, otonom atau responsip.
Keadaan-keadaan hukum demikian tidak terlepas dari tipe-tipe organisasi formal
yakni pra-birokrasi, birokratik dan pasca-birokratik. sebagai contoh pada organisasi
formal pra-birokratik nampak terdapatnya ketidakterpisahan antara kepentingan pribadi
dan tanggungjawab kemasyarakatan, juga pengam bilan keputusan lebih didasarkan
pada tindakan tanpa pengendalian dari penguasa. Pada organisasi formal birokratik
tujuan dinyatakan secara jelas dan terdapat lingkungan kompetensi yang secara
hierarkhis terbagi-bagi, proses pengambilan keputusan bersifat rutin dan sistematik.
Sedangkan dalam tipe organisasi formal pasca birokratik terlihat adanya orientasi
pada tujuan secara luwes dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Lebih jauh, Nonet dan Selznick memberikan uraian yang lebih terperinci
mengenai ketiga tipe hukum tersebut di atas.

Hukum Represip
Gagasan hukum represip mengandaikan bahwa setiap tata hukum merupakan
"keadilan yang beku" dan mempunyai potensi represip oleh karena terikat pada
status quo dan dengan menyelimuti otoritas, hukum membuat kekuasaan lebih efektip.

Dalam hubungannya dengan kekuasaan, bentuk sistematik hukum represip


mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Pranata-pranata hukum secara langsung disediakan bagi kekuasaan politik,
*hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk pada kepen tingan
negara;
(2) Kelestarian kekuasaan adalah tugas, dari penegakan hukum;
(3) Alat-alat pengendalian khusus seperti Polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas;
(4) Pelembagaan keadilan klas. -

Pelaksanaan hukum represip memperlihatkan kecenderungan perspektip resmi (Official


Perspective) dalam pengertian- dengan dibenarkan oleh kedaulatan hak-hak istimewa
mengawetkan diskresi Berta keteraturan administratip yang kaku.
Terjadi pula suatu keadaan Was dengan mengkonsolidasi dan melegitimasi
pola-pola subordinasi sosial dan dalam kaftan ini hukum pidana nampak dominan.

Pokok Bahasan 7 95
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

Tata hukum yang ada menampilkan gambaran:


a. Peradilan dan penegak hukum sebagai alat pemerintah
b. Tujuan hukum adalah "memelihara perdamaian setiap saat dengan biaya
apapun untuk memuaskan keinginan sosial atas keamanan umum"
c. Hukum pidana, merupakan pusat perhatian penegakan hukum.

"Official Perspective" dalam bekerjanya hukum represip timbul untuk


mengkonsolidasikan kekuasaan, mempertahankan "sistim" dan mengawetkan
sumberdayasumberdaya admiriistratip.

Penguasa mengindentifikasikan kepentingan-kepentingan mereka dengan


kepentingan masyarakat dan untuk itu digunakan aparatur pemaksa yang
terisolasi dari pengaruhpengaruh luar yang akan mengurangi "monopoli kekeras -
an yang absah"

Produk-produk hukum maupun pelaksanaannya di rasakan represip oleh


masyarakat oleh karena hukum:
1. Melembagakan disprivilese dengan menekankan kewajiban dan tanggung jawab,
bukan pads hakhak yang dipunyai oleh golongan-golongan yang tidak berkuasa.
2. Melembagakan ketergantungan khususnya go longan miskin yang menjadi
sasaran bekerjanya lembaga-lembaga atau birokrasi tertentu maupun distigmatisasi
oleh klasifikasi-klasifikasi resmi.
3. Mengorganisasi pengaman sosial atas "klas-klas berbahaya" dengan
mengkriminalisasikan perilaku-perilaku tertentu.

Represi adalah satu sisi dari keadilan kelas, sedangkan sisi yang lain adalah
konsolidasi privilese.
Sumber lain dari hukum represip adalah tuntutan atas penyesuaian
budaya (cultural conformity) yang menimbulkan kecenderungan -kecenderungan
menghukum atas nama moral dan nilai-nilai budaya.
Dengan begitu perwujudan-perwujudan hukum represip menampilkan dua
gambaran pokok:
1. Keterpaduan yang erat antara hukum dengan po litik dalam bentuk subordinasi
langsung pranatapranata hukum pada elite yang memerintah dengan menjadi
semacam Instrumentalisme primitip" yang siap mengkonsolidasikan kekuasaan,
menjamin privilese dan memenangkan konformitas.
2. Merajalelanya diskresi baik sebagai hasil maupun sebagai cara, untuk menjamin
bekerjanya peranan hukum sebagai alat di atas.

Hukum, Otonom

Dengan tumbuhnya hukum otonom, maka tata, hu kum menjadi sumberdaya


untuk menjinakkan repressi dan berorientasi pada the "Rule of Law".

Pokok Bahasan 7 96
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

Ciri-ciri hukum otonom antara lain sebagai berikut:


1) Hukum dipisahkan dari politik dengan pemisah an fungsi-fungsi
2) Tata Hukum mendukung "model aturan-aturan"
3) Prosedur adalah pusat hukum
4) Kepatuhan pada hukum dipahami sebagai ketaatan yang ketat pada hukum
positip.
Sumber transisi dari hukum -represip ke hukum otonom adalah kepentingan
pemerintah untuk memperoleh legitimasi. Fungsi legitimasi adalah melindungi
penguasa dari tuntutan-tuntutan saingannya serta kritik-kritik potensial. Jadi
legitimasi harus dilihat pads isi dan akibatnya.
Strategi pokok legitimasi adalah pemisahan hukum dari politik yang
mempunyai dua aspek:
Pertama, politik tunduk pada hukum, oleh karena hukum melembagakan prinsip
pembatasan penggunaan kekuasaan;
Kedua, peradilan menekankan fungsi non-politik.
Ciri yang berpusat pada aturan (yakni norma yang menentukan lingkup dan
penerapan hukum) didasari oleh:
1) Aturan-aturan adalah sumberdaya yang kuat untuk mengabsahkan
kekuasaan.
2) Diskresi dipersempit
3) Menyebarluasnya aturan mengundang kompleksitas dan masalah
konsistensi yang memerlukan kemampuan. profesional.
4) Orientasi pads aturan-aturan cenderung membatasi tanggung jawab sistim
hukum.
5) Walaupun menjinakkan represi, hukum otonom tetap mempunyai
gagasan bahwa hukum adalah alat pengendalian sosial.
Hukum Responsip
Beberapa ciri hukum responsip yang bertujuan agar hukum lebih tanggap
terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektip dalam menangani
masalah-masalah sosial, antara lain adalah:

1. dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan;


2. mengendalikan tuntutan pada ketaatan serta mengurangi kekakuan hukum;
3. bantuan hukum menampilkan suatu dimensi po litik;
4. terdapatnya perencanaan pranata-pranata hukum secara lebih kompeten.
Dalam rangka pengutamaan tujuan, maka yang pen ting adalah basil-basil
substantif serta tanggung jawab ke- lembagaan yang efektip.
Hukum responsip mencoba mengatasi prokialisme (kepicikan) dalam moralitas
masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang
secara sosial terintegrasi.
Pada keadaan terdapatnya hukum responsip, kesem patan untuk

Pokok Bahasan 7 97
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini,


arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum meng an-
dung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan. Wahana bagi
kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk berperan serta dalam menentukan
kebijaksanaan umum.

M A TR I K T I G A T I P E H U K UM
HUKUM HUKUM HUKUM
REPRESIF OTONOM RESPONSIF

TUJUAN HUKUM Tata tertib Legitimasi Kompeten


LEGITIMASI Pertahanan social dan Keadilan procedural Keadilan substantif
raison d-etat (demi
Kepentingan negara.
sendiri).
ATURAN-ATURAN Kasar dan mendetil, Pajang-lebar; mengikat Tunduk kepada prinsip dan
tetapi hanya lemah sekali baik yang memerintah kebijaksanaan
Mengikat pembuatnya maupun yang diperintah
ALASAN Ad hoc: cepat dan khusus Menghormati sekali otoritas Bertujuan perluasan kompeten
hukum; Mudah menjurus kognitif
Keformalisme dan legalisme
KEBIJAKAN Sangat umum; Terikat kepada aturan; kurang Banyak dipakai, tetapi demi
opportunistic pendelegasian tujuan yang dapat dipertang
gungjawabkan
PEMAKSAAN Ekstensif; Dikendalikan secara Diawasi oleh kendali-kendali Pencarian Alternatif secara
lemah sekali hukum positif, misalnya insentif sistem-
sitem kewajiban swasembada
moralitas Moralitas komunal; Moralitas institusional; Moralitas rakyat; "moralitas
moralisme hukum; yaitu sangat memperhati- kerja sama"
Moralitas pengawasan" kan integritas proses hukum
POLITIK HUkum tunduk kepada Hukum 'bebas" dari politik; Aspirasi- aspirasi hukum dan
politik kekuasaan Pemisahan kekuasaan Politik berintegrasi; pembauran
kekuasaan
Harapan ketaatan Tanpa syarat; tidak taat Penyimpangan aturan Tidak taat Dilihat sebagai
harus Dihukum sebagai Dibenarkan Secara hukum, Kerugian substantif; dipandang
pembang-kangan Misalnya untuk mengkaji Sebagai pengajuan isu tentang
Kesahihan undang.undang legitimasi
atau perintah-perintah
PARTISIPASI Menurut dengan patuh, Kemungkinan dibatasi oleh Kemungkinan diperluas oleh
kritik tanda tidak loyal prosedur-prosedur yang integrasi kepengacaraan hukum
dibuat munculnya kritik hukum dan sosial
i

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (New York: Harper Colophon
Books, 1978). (dalam AAG. Piters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan perkembangan sosial, Pustaka Sinar
Harapan, 1990).

2. Beberapa Perspektip Teoritik dalam Sosiologi Hukum


Pembahasan mengenai konteks sosial hukum, khususnya peranan hukum di
dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek yang telah dipaparkan di
atas.Dan dalam konteks itulah, maka sosiologi hukum mempunyai peranan
penting.

Pokok Bahasan 7 98
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

Abad keduapuluh ini jelas merupakan sebuah kurun waktu yang telah
menghasilkan suatu gerakan ke arah studi mengenai hukum yang berorientasi sociologis.
Perwujudan gerakan ini adalah wilayah kegiatan yang diberi name "sosiologi
hukum”
Sebagai suatu bidang spesialisasi akademik yang di akui, sosiologi hukum dalam
perkembangannya mengenal beberapa perspektip teoritik serta studi-studi yang lebih
meningkatkan arti pentingnya di antara bidang-bidang pengetahuan ilmiah sosial yang
lain serta lebih menambah kemampuan dalam menjelaskan obyek studinya.
William Evan 6 menyebutkan adanya tida k kurang dari 6 (enam)
perspektip yang tumbuh dalam Sosiologi Hukum yakni:
1. teori behavioralist yang memusatkan perhatian pada usaha mempelajari
hukum sebagai sistim perilaku;
2. teori yurisprudential yang menekankan perlunya pemahaman atas aspek-
aspek yurisprudential serta gagasan-gagasan hukum;
3. teori fungsionalis yang memandang hukum se bagai mekanisme umum
pengendalian sosial pada hampir semua sektor di dalam masyarakat atau yang
mengkaji kemampuan hukum untuk secara fungsio nal didayagunakan di
dalam masyarakat yang me ngalami konflik-konflik kepentingan dalam rangka
menciptakan harmoni;
4. teori konflik yang berpangkal tolak pada pan dangan bahwa hukum sebagai
supra-struktur memberikan pembenaran ideologis bagi dominasi atau se bagai
seperangkat sumber daya;
5. teori sosialisasi yang menekankan pada segi segi sosio-psikologis dari fenomena
hukum;
6. teori sistem yang menelaah hukum melalui di namika proses-proses hukum
yang menyangkut input dan output, keadaan variabel -variabel sistim atau
sub-sistim, proses feed back dan sebagainya.
Pandangan lain mengemukakan bahwa perspektip-perspektip dalam
sosiologi hukum pada dasarnya berkisar pada perspektip konsensus, pluralis dan
konflik, di samping pendapat yang melihat adanya paradigma-paradigma yang bersaing
di dalam sosiologi hukum, yakni paradigma "social facts", paradigma "social
definitions" serta paradigma "social behavior:"
Terlepas dari persoalan mana di antara perspektip, paradigma dan teori itu
yang dominan, akan tetapi jelas bahwa masalah-masalah hukum dan masyarakat
semakin banyak dijelaskan dan dianalisa melalui perspektip-perspektip teoritik
sosiologi hukum, sementara Sosiologi Hukumpun mengalami pula
pertumbuhan. Misalnya saja, term-term umum Sosiologi Hukum tidak hanya
berkisar pada dikotomi peranan paksaan dan kesepakatan dalam pembentukan hukum
atau bekerjanya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial atau alat perubahan
sosial, melainkan lebih lagi mempersoalkan dimensi-dimensi ideologis dari hukum
serta hubungan-hubungan yang ada antara terbentuk dan bekerjanya hukum dengan

Pokok Bahasan 7 99
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

Negara.
Klasifikasi konseptual tentang permasalahan, usaha untuk menyediakan
jawaban-jawaban baru atas permasalahan, argumen-argumen bagi prioritas yang
berbeda serta pelambangan teori baru tetap terbuka di dalam studi so siologi
hukum.
Ruang lingkup menjadi kian luas karena memang sosiologi hukum pada satu pihak
tidak terlepas dari perkembangan disiplin ilmu hukum dan pada pihak lain tidak ter-
serabut dari akar sosiologis.
Persoalan-persoalan yang relefan baik dalam kerangka pengembangan konsep maupun
guna mengkaji realitas bekerjanya hukum di dalam masyarakat yang terpapar dalam buku
ini, seperti uraian tentang otonomi relatif hukum (Isaac D. Balbus), bagaimana hukum
berfungsi dalam konteks konflik sosial — artinya: tidak sekedar sarana akomodasi
sengketa. — seperti dijelaskan oleh Austin T. Turk, sejauh mana hukum merefleksikan
sistim budaya adat (Stanley Diamond) memang merupakan masalah-masalah dasar
sosiologi hukum.
Bagi perkembangan pemikiran kritis di bidang hukum dan masyarakat — yang telah
dirintis pada dasawarsa 1970-an oleh ahli-ahli hukum berorientasi sosiologis di UI, Undip dan
Unpad untuk menyebut beberapa pusat kajian — jelas bahan-bahan yang disajikan dalam
buku ini sangat bermanfaat, paling tidak dalam hal:
Pertama, mempertegas batas dan orientasi studi hukum dan masyarakat yang
dicakup oleh sosiologi hukum;
Ke dua, memberi perangkat konseptual guna mempertajam analisis mengenai pelbagai
dimensi peranan hukum Berta konteks sosial hukum.
Dengan begitu, keseluruhan uraian yang terpapar dalam bab-bab selanjutnya
memperkaya pendalaman mengenai perspektip dan teori sekitar konteks sosial hukum.

RANGKUMAN
1. Pada Hukum Represip, tujuan hukum adalah ketertiban dan dasar keabsahannya
adalah pengamanan masyarakat. Aturan-aturannya bersifat terperinci namun kurang
mengikat pembuat aturan, seringkali terjadi diskresi. Sifat memaksa nampak meluas dan
hanya secara lemah dibatasi, sementara itu yang dikembangkan adalah "moralitas
kekangan". Hukum tunduk pada politik k ekuasaan serta harapan-harapan atas
ketaatan bersifat tanpa syarat dan ketidak -taatan dianggap penyimpangan. Kritisisme
dipandang sebagai ketidaksetiaan.
2. Hukum otonom, tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada kejujuran prosedural.
Aturan-aturan mengikat baik penguasa maupun yang di kuasai dan diskresi dibatasi
oleh hukum. Paksaan dikendalikan oleh kekangan-kekangan hukum, dan
moralitasnya adalah moralitas institusional. Hukum "merdeka" dari politik. Harapan-
harapan ketaatan tidak terlampau ketat dan dibenarkan oleh hukum misalnya dalam
kerangka pengujian aturan-aturan. Partisipasi masyarakat dibatasi oleh prosedur-prosedur
yang mapan.
3. Pada hukum responsip keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substantip dan
aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Diskresi dilaksanakan dalam
rangka mencapai tujuan. Paksaan lebih nampak dalam bentuk alternatif positif
seperti insentip atau sistim-sistim kewajiban mandiri. Moralitas yang nampak adalah
"moralitas kerja sama", sementara aspirasi-aspirasi hukum dan politik berada dalam
keadaan terpadu. Ketidaktaatan dinilai dalam ukuran dan kerugiankerugian substantip
Pokok Bahasan 7 100
Perspektif Teori Sosiologi Hukum

dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi. Kesempatan untuk


berpartisipasi diperluas melalui integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial.
4. perspektip-perspektip dalam sosiologi hukum pada dasarnya berkisar pada perspektip
konsensus, pluralis dan konflik, di samping pendapat yang melihat adanya paradigma-
paradigma yang bersaing di dalam sosiologi hukum, yakni paradigma "social facts",
paradigma "social definitions" serta paradigma "social behavior:"

DAFTAR PERTANYAAN
1. Jelaskan pengertian dari Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum Res pons ip.
2. Jelaskan karakterisitik atau ciri-ciri dari Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum
Responsi p.
3. B uatlah anali sis terhadap tata hul um I ndonesi a dengan menggunakan keti ga
model hukum ters ebut, yaitu Hukum Represip, Hukum Otonom, dan Hukum.
4. Jelaskan perspektip teori Sosiologi Hukum.

DAFTAR PUSTAKA
AAG. Piters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan perkembangan sosial, Pustaka Sinar
Harapan, 1990
Mulyana Kusuma Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan Lembaga Vbantuan
Hukum Indonesia, Jakarta 1988.)

Pokok Bahasan 7 101

Anda mungkin juga menyukai