Anda di halaman 1dari 95

UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK PENINGKATAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM


PANCHAYATI RAJ INSTITUTION TERHADAP AKOMODASI
KEPENTINGAN PEREMPUAN DI KERALA, INDIA (1995-2005)

SKRIPSI

CANIA CITTA IRLANIE

1306415535

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

DEPOK

Juli 2019
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Mbak Hurriyah, selaku pembimbing penulis yang senantiasa available 24 jam


seminggu, 365 hari setahun. Bisa dihubungi kapan saja dan sangat supportive.
Semua masukan dan kritik dari mbak Hurriyah menjadi bagian penting dan
fundamental dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semua buku dan referensi
jurnal/penelitian dari mbak Hurriyah sangat bermanfaat dalam pelaksanaan
penelitian ini. Selama bertahun-tahun kuliah, baru dalam bimbingan bersama
mbak Hurriyah penulis mulai belajar struktur penulisan ilmiah yang lebih
matang—kemudian belajar lagi sampai hangus saat bimbingan bersama mbak
Nuri.

2. Mbak Evida Kartini, selaku dosen pengampu kelas Asia Selatan yang telah
menginspirasi penulis untuk meneliti tentang masyarakat Asia Selatan, khususnya
Kerala, India. Khususnya karena di dalam deck presentasi mbak Evida, semua
masyarakat Asia Selatan jadi terkesan menarik untuk diteliti. Jujur saja, setelah
mengerjakan penelitian ini dengan jungkir balik, saya jadi agak merasa tertipu
dengan kemasan presentasi mbak Evida.

3. Mbak Nuri Soeseno, selaku dosen penguji, yang telah mendedikasikan waktu dan
energi selama dua minggu penuh membimbing dan membantu penulis
menyelesaikan revisi tulisan ini. Referensi buku dan jurnal dari mbak Nuri telah
membantu penulis melakukan perbaikan mendasar dan penting yang membuat
laporan penelitian ini menjadi jauh lebih baik—meskipun masih jauh dari ideal.
Mbak Nuri adalah dosen pengampu mata kuliah Pemikiran Politik Kontemporer
yang telah membuat penulis membaca habis banyak buku filsafat, termasuk The
Democratic Paradox karya Chantal Mouffe dan Liberalism and the Limits of
Justice karya Michael Sandel. Namun, sampai hari ini penulis masih cenderung
liberal hehehe—condong libertarian siiih, dekat ke Mises dan Richard Thaler.

4. Mas Ali Muhyidin, selaku ketua sidang yang juga ikut menguji skripsi ini. Mas
Ali di mata penulis adalah dosen terbaik untuk urusan logika dan rasionalitas. Saat

iv
mengajar, mas Ali akan sering sekali memberikan contoh-contoh pemikiran dan
argumentasi yang beliau sebut “doesn’t make any sense at all”. Antara senang dan
waswas juga penulis saat sidang tidak mendapat komentar itu. Bisa jadi mas Ali
tidak komen begitu karena tulisan penulis tidak seburuk itu atau malah jauh lebih
buruk dari itu, jadi sudah bukan “out of sense” lagi, tapi “out of universe”.
Untungnya mas Ali selalu kasih kesempatan kedua untuk mahasiswanya belajar
lagi dan memperbaiki diri. Inilah alasan utama mas Andrinov kalah pamor dari
mas Ali dalam mata kuliah Politik Lingkungan.

5. Mas Syaiful Bahri, selaku sekretaris sidang yang juga ikut menguji skripsi ini.
Gak nyangka banget sidang penulis akan diuji mas Syaiful. Di kelas aja mas
Syaiful bikin deg-degan, apalagi dalam sidang. Dan ternyata, mas Syaiful tetaplah
mas Syaiful yang sama, di kelas maupun di ruang sidang. Dingin dan muncul
dengan pertanyaan tajam. Ya, khas mas Syaiful. Nevertheless, masukan dan
pertanyaan dari mas Syaiful telah membantu penulis dalam melakukan perbaikan
tulisan ini.

6. Sejumlah orang yang rajin sekali mengingatkan penulis mengerjakan skripsi: Mas
Ade Armando, mas Nur Iman Subono, Edbert Gani Suryahudaya (Politik 2012),
Jasin Fadillah (Politik 2011).

7. Paulus Adhisabda Putra


SABDASubekti,
PS the love of my life. Sabda berperan penting sekali
dalam penelitian ini, dimana beliau membantu penulis dengan membuatkan
algoritma untuk mengambil dan mengkategorikan 15.000-an data hasil Pemilu
PRI di Kerala. Idk what I’d do without his Clojure expertise. Kepikiran
mengenalkan beliau dengan mas Ali, karena sama-sama suka ngomong “it doesn’t
make any sense at all”.

8. Ibu Agnes Vera Widyastuti, ibu penulis yang luar biasa. Janda yang membesarkan
tiga anak perempuan tanpa pendampingan laki-laki sebagai suami. Beliau telah
menghabiskan sebagian besar masa hidupnya untuk membesarkan anak-anaknya
dalam hidup yang bersahaja, dengan komitmen untuk tidak menikah lagi karena
“terlalu berisiko membawa laki-laki asing ke dalam hidup tiga anak perempuan,”
katanya. Perjuangan beliau yang telah membuat penulis percaya bahwa
keberdayaan perempuan itu nyata.

v Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Cania Citta Irlanie


Program Studi : Ilmu Politik
Judul : Dampak Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam
Panchayati Raj Institution Terhadap Akomodasi Kepentingan
Perempuan di Kerala, India (1995-2005)

Skripsi ini akan membahas mengenai dampak dari meningkatnya keterwakilan


perempuan di dalam politik lewat keberadaan kuota reservasi di Panchayati Raj
Institution (PRI) terhadap akomodasi kepentingan perempuan di Kerala, India sepanjang
tahun 1995-2005 (satu dekade pertama berlakunya kuota). Penelitian ini menggunakan
sejumlah konsep untuk menjelaskan hal-hal yang menjadi variabel penelitian ini, antara
lain: konsep keterwakilan dan keterwakilan perempuan, konsep demokrasi deliberatif
(sebagaimana dipraktikkan dalam PRI), serta konsep kepentingan perempuan (yang
terbagi dalam kepentingan gender praktikal dan kepentingan gender strategis).
Sedangkan yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini adalah teori critical mass
dari Rosabeth Moss Kanter (1977) dan Drude Dahlerup (1988). Tesis utama dari teori
tersebut adalah jika keterwakilan perempuan mencapai ambang proporsi tertentu—yang
disebut dengan istilah “critical mass”, maka perempuan akan dapat bersuara dan
membawa dampak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan keterwakilan
deskriptif perempuan berdampak pada terwujudnya akomodasinya kepentingan
perempuan (bentuk keterwakilan substantif), baik kepentingan gender praktikal maupun
strategis.

Kata kunci: Critical mass, keterwakilan perempuan, kepentingan perempuan

viii
ABSTRACT

Name : Cania Citta Irlanie


Major : Political Science
Title : The Impact of Increase of Women Representation in Panchayati
Raj Institution on the Accommodation of Women’s Interests in
Kerala, India (1995-2005)

This bachelor thesis discusses the impact of the increase of women’s representation
through reservation in the Panchayati Raj Institution (PRI) to the accommodation of
women’s interests in Kerala, India during 1995-2005. The author explores several
concepts to explain variables involved: the concept of representation and women’s
representation, deliberative democracy (as practiced in PRI), and the concept of women’s
interests (which is categorized into two: practical gender interests and strategic gender
interests). This research is based on the critical mass theory from Rosabeth Moss Kanter
(1977) and Drude Dahlerup (1988). The thesis of this theory is if women’s representation
achieves certain degree of proportion—called “critical mass”, then women will be able
to rise their aspiration and make impact. This research finds that the increase of women’s
descriptive representation has brought impact on bringing women’s interests into
realization (a form of substantive representation), both practical gender interests and
strategic gender interests.

Keywords: Critical mass, women’s representation, women’s interests

ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................................................................ vii
ABSTRAK ................................................................................................................ viii
ABSTRACT ............................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................x
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xiii
DAFTAR GRAFIK.................................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................1
1.2 Permasalahan .......................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................5
1.4 Signifikansi Penelitian .........................................................................................5
1.5 Kajian Literatur....................................................................................................6
1.6 Konsep dan Teori.................................................................................................8
1.6.1 Konsep Keterwakilan ...................................................................................8
1.6.2 Konsep Keterwakilan Perempuan ..............................................................11
1.6.3 Konsep Kepentingan Perempuan................................................................15
1.6.4 Konsep Demokrasi Deliberatif ...................................................................16
1.6.5 Teori Critical Mass .....................................................................................18
1.7 Metode ...............................................................................................................21
1.8 Kerangka Alur Berpikir .....................................................................................22
1.9 Sistematika Penulisan ........................................................................................23

BAB 2 PEMBENTUKAN PANCHAYATI RAJ INSTITUTION DAN


PENERAPAN KUOTA PEREMPUAN ..................................................................24
2.1 Sejarah dan Sistem Panchayati Raj Institution ..................................................24
2.2 Sejarah Perjuangan Kuota Perempuan di India .................................................27
2.3 Fungsi PRI dan Ruang untuk Akomodasi Kepentingan Perempuan .................30

x
BAB 3 KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PRI DAN DAMPAKNYA
TERHADAP AKOMODASI KEPENTINGAN PEREMPUAN DI KERALA:
DARI PERWAKILAN DESKRIPTIF KE SUBSTANTIF....................................37
3.1 Profil Kerala ......................................................................................................37
3.1.1 Konteks Sosial-Politik di Kerala ................................................................37
3.1.2 Permasalahan Perempuan di Kerala ...........................................................41
3.2 Keterwakilan Deskriptif Perempuan di PRI Kerala ..........................................50
3.2.1 Peningkatan Keterwakilan Deskriptif Perempuan di PRI Kerala ...............50
3.2.2 Latar Belakang Keterpilihan Perempuan di PRI Kerala .............................51
3.3 Keterwakilan Substantif Perempuan di PRI Kerala ..........................................56
3.3.1 Wujud Akomodasi Kepentingan Perempuan di Kerala ..............................56
3.3.2 Sarpanch Perempuan sebagai Aktor Kunci ................................................66
3.3.3 Keterbatasan dalam Mengakomodasi Kepentingan Gender Strategis ........69

BAB 4 KESIMPULAN ..............................................................................................73


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................76

xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Model Devolusi Kekuasaan dalam Desentralisasi PRI ...............................33


Tabel 2.2 Pemetaan Wewenang dan Program yang Dapat Dikembangkan di Panchayat
.....................................................................................................................................35
Tabel 3.1 Tingkat Literasi Perempuan & Laki-Laki (Berusia 7 Tahun ke Atas) di Tiap-
Tiap Distrik di Kerala (1990 dan 2000).......................................................................42
Tabel 3.2 Komponen Gender Development Index Kerala dan India (1990 dan 2000) .
.....................................................................................................................................43
Tabel 3.3 Partisipasi Kerja Perempuan dalam Usia Produktif (15-59 Tahun) di India dan
Sejumlah Negara Bagian (1990)..................................................................................44
Tabel 3.4 Partisipasi Kerja Perempuan di India dan Sejumlah Negara Bagian (1970,
1980, dan 1990) ...........................................................................................................45
Tabel 3.5 Perbandingan Proporsi Partisipasi Kerja Antar Gender ..............................46
Tabel 3.6 Perbandingan Jumlah Perempuan dan Laki-Laki di PRI Kerala (1995-2005)
.....................................................................................................................................50
Tabel 3.7 Latar Belakang Pendidikan Perempuan di PRI Kerala (1995) ....................51
Tabel 3.8 Latar Belakang Pekerjaan Perempuan di PRI Kerala (1995) ......................52
Tabel 3.9 Latar Belakang Partai Perempuan dan Laki-Laki di PRI (1995) ................53
Tabel 3.10 Rata-Rata Persentase Serapan Anggaran DWCRA di Gram Panchayat
dengan Sarpanch Perempuan dan Laki-Laki di Kerala (2000)....................................59
Tabel 3.11 Persentase Rumah Tangga yang Mendapat Akses Terhadap Sanitasi Layak
di Desa dan Kota di Kerala (1995-2005) .....................................................................60
Tabel 3.12 Peningkatan Awareness dari Perempuan yang Masuk Sebagai Anggota dan
Pimpinan Dalam PRI (1995-2000) ..............................................................................64
Tabel 3.13 Tingkat Kejahatan Terhadap Perempuan di Kerala (rata-rata per tahun
selama 1995-2005) ......................................................................................................70
Tabel 3.14 Jumlah Kasus Kejahatan Terhadap Perempuan Per 1.000 Kasus Perempuan
(rata-rata per tahun selama 1995-2005) ......................................................................71
Tabel 3.15 Persentase Kasus Bunuh Diri Perempuan Per Kategori Sebab .................72

xii
DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Alur Berpikir ..............................................................................22


Bagan 2.1 Struktur Kelembagaan Pemerintahan India ................................................32

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1 Persentase Perempuan di PRI Berdasarkan Pendidikan (1995-2005) .......54


Grafik 3.2 Persentase Perempuan di PRI Berdasarkan Pekerjaan (1995-2005) ..........54
Grafik 3.3 Persentase Perempuan Per Partai di PRI Kerala, India (1995-2005) .........55
Grafik 3.4 Persentase Perempuan Dalam PRI Berdasarkan Jalur Masuk (1995-2005) .
.....................................................................................................................................58
Grafik 3.5 Posisi Kerala dan Empat Negara Bagian Lain Berdasarkan Kejahatan
Terhadap Perempuan Menurut Jenis Kasusnya (2005) ...............................................71

xiii Universitas Indonesia


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


India, seperti halnya negara-negara lain di dunia, mengalami proses panjang
dalam mewujudkan kesetaraan gender di tengah masyarakat. Perubahan struktural
yang lebih sensitif gender baru dimulai pada tahun 1976 sejak terbentuknya
Committee on the Status of Women in India (CSWI). Pada tahun 1988, komite ini
merancang National Perspective Plan for Women (NPP) yang di dalamnya terdapat
rekomendasi 30% kuota reservasi untuk perempuan di setiap lapisan lembaga
perwakilan (Thomas, 2004:21). Perjuangan meloloskan kuota ini membutuhkan
waktu sekitar 5 tahun hingga akhirnya terbitlah Amandemen Konstitusi ke-74 pada
Tahun 1992 (yang mulai berlaku pada tahun 1993).
Satu tahun sebelumnya, Pemerintah India terlebih dahulu menerbitkan
Amandemen Konstitusi ke-73 (yang kemudian menjadi ruang pengejawantahan
amandemen ke-74). Amandemen ini merupakan dokumen yang menjadi tanda
berdirinya Panchayati Raj Instution1 secara resmi di seluruh negara bagian2 di India
(Parayil & Sreekumar, 2003:477). Negara bagian diberikan waktu satu tahun untuk
memasukkan kebijakan ini ke dalam konstitusi mereka dan menjalankannya dalam
pemerintahan. Proses pembentukan lembaga PRI yang berfungsi penuh di setiap
negara bagian membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hingga tiga tahun setelah
amandemen ini diberlakukan (tahun 1995, tahun dimana Pemilu PRI
diselenggarakan untuk pertama kalinya), baru 15 dari 32 negara bagian yang sudah
memiliki PRI yang berfungsi penuh di setiap lapis desentralisasi dengan baik.

1
Disingkat PRI. Sebuah badan eksekutif lokal yang terdiri atas tiga lapis desentralisasi. Di lapis
paling atas, yakni tingkat distrik, terdapat Zila Parishad. Kemudian, di lapis berikutnya, yakni
tingkat Blok, terdapat Panchayat Samiti. Terakhir, di tingkat Desa, terdapat Gram Panchayat. Di
masing-masing badan PRI ini terdapat seorang kepala yang disebut Sarpanch, Wakil Sarpanch,
Sekretaris Panchayat, dan para anggota yang disebut Panchas.
2
Jauh sebelum adanya regulasi ini, praktik sejenis PRI sudah banyak dilakukan secara organik di
sejumlah desa di negara bagian tertentu. Praktik tertua dilakukan di sebagian besar desa di Kerala.
Bentuknya adalah pemerintahan desa yang otonom yang secara rutin mengadakan musyawarah
rembuk desa (selengkapnya akan dijelaskan di bab 2). Jadi, amandemen ini menandai kehadiran PRI
secara formal dalam pemerintahan India, tetapi bukan sebagai sesuatu yang sama sekali baru bagi
masyarakat India, khususnya masyarakat Kerala.

1 Universitas Indonesia
2

Signifikansi dari amandemen ke-73 ini adalah terbentuknya lokus-lokus


kekuasaan baru di tingkat distrik (dengan nama Zila Parishad), blok (dengan nama
Panchayat Samiti), dan desa (dengan nama Gram Panchayat) yang dapat
diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum. Jumlah kursi yang tersedia
untuk PRI di seluruh India mencapai angka 470 ribu. Wewenang yang ada di PRI
adalah wewenang eksekutif tingkat bawah yang mencakup pembangunan
infrastruktur dasar pedesaan dan penyelenggaraan program-program yang
sekiranya dibutuhkan oleh masyarakat desa3.
Setahun setelah amandemen ke-73, Pemerintah India menerbitkan
amandemen ke-74 yang melengkapi PRI dengan kuota reservasi di tiga lembaga
PRI untuk kelompok yang termarjinalkan4, yaitu (1) perempuan, (2) kasta bawah5,
6
dan (3) suku minoritas (Kalaramadam, 2016:2-3). Bagian yang menjadi
pembahasan dalam penelitian ini adalah kuota untuk perempuan. Kebijakan kuota
ini menjadi penting untuk memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang
termarjinalkan menyalurkan aspirasi mereka dalam pembuatan keputusan (decision
making process). Khususnya untuk PRI, lembaga eksekutif di level yang sangat
lokal dengan cakupan wewenang yang dapat berdampak langsung dan strategis
pada hidup sehari-hari mereka dan keluarga mereka. Kuota reservasi yang
diberlakukan untuk perempuan adalah sebesar 33%, dimana berlaku sebagai kuota
jadi 7 . Karena adanya kuota reservasi ini, kuantitas keterwakilan perempuan di

3
Dalam melakukan alokasi anggaran, PRI memiliki sebuah mekanisme musyawarah warga yang
disebut dengan Gram Sabha. Kegiatan ini dapat dihadiri oleh seluruh warga yang sudah berusia 17
tahun ke atas. Nantinya, aspirasi dari Gram Sabha akan dibahas lagi oleh para Panchas dan pengurus
Panchayat dalam rapat-rapat Panchayat, untuk akhirnya diputuskan sebuah rancangan alokasi
anggaran untuk keperluan warga di bawah wewenang satu Panchayat.
4
Kurang atau sulit mendapatkan akses untuk berpartisipasi sebagai subjek dalam kehidupan publik,
baik di ranah politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
5
Selanjutnya akan disebut SC (Scheduled Caste), yang mencakup sejumlah kasta kelas bawah, yang
berbeda-beda di setiap negara bagian.
6
Selanjutnya akan disebut ST (Scheduled Tribe), yang mencakup sejumlah suku minoritas, yang
berbeda-beda di setiap negara bagian.
7
Artinya, kursi direservasi bukan di tahap pencalonan, melainkan di tahap akhir. Jadi, 33% kursi di
tiga lapis PRI akan selalu direservasi untuk perempuan, meskipun yang terpilih melalui pemilihan
langsung tidak mencapai persentase tersebut. Mekanisme penunjukkan perempuan yang menempati
kursi reservasi tanpa menang pemilihan diserahkan kepada Lok Sabha (parlemen India). Hingga
tulisan ini dibuat, belum ada sanksi khusus yang diberlakukan untuk pelanggaran terhadap ketentuan
kuota. Hal ini menjelaskan fakta adanya negara bagian yang belum berhasil mencapai ambang batas
ini.
3

dalam politik meningkat, dengan menjadi anggota dan pimpinan PRI (Behera,
2011:216).
Dampak dari peningkatkan keterwakilan perempuan ini diteliti oleh Behera
dalam makalahnya yang berjudul “Dalit Women’s Political Empowerment through
Panchayati Raj System in India” (2011). Hasil wawancara dengan beberapa
narasumber lokal menunjukkan bahwa peningkatan keterwakilan ini telah
memberikan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan sumber daya–distribusi
sumber daya negara dilakukan berdasarkan aspirasi yang masuk dari Gram Sabha
(Sunny, 2014:41). Dengan banyaknya bermunculan perempuan di ruang publik,
warga perempuan pun lebih aktif terlibat di Gram Sabha. Pada tahun 2000,
partisipasi perempuan di Gram Sabha mencapai angka 43,4% (tertinggi dalam
sejarah India).
Berdasarkan data dari penelitian Gibson (2012), kuota reservasi perempuan
di PRI (yang kemudian meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik)
memiliki sejumlah signifikansi sebagai berikut. Pertama, membuka peluang yang
lebih besar untuk masuknya perspektif perempuan dalam proses pembuatan
kebijakan pembangunan. Kedua, membangun persepsi positif untuk warga
perempuan pada umumnya untuk merasa pantas terlibat dalam Gram Sabha yang
menentukan distribusi pengadaan barang dan layanan publik di desa mereka.
Ketiga, menciptakan peluang politik bagi pihak-pihak yang termarjinalkan untuk
mengklaim barang dan layanan publik yang hendak disediakan Negara (Gibson,
2012:417).
Sejak adanya amandemen ke-73 dan 74 di India, telah banyak penelitian
yang dilakukan untuk memotret fenomena tersebut dari berbagai sisi. Penulis
tertarik dengan sejumlah penelitian yang menempatkan Kerala sebagai role model
yang dianggap telah berhasil meningkatkan kualitas keterwakilan dan partisipasi
perempuan dengan memanfaatkan amandemen ke-73 dan 74 secara optimal
(Shanker, 2010:6; Thakur, 2010:13-14). Adapun yang dimaksud dengan
keterwakilan dan partisipasi di sini bukan hanya dalam artian persentase kursi yang
diduduki oleh perempuan, melainkan juga bagaimana perempuan terlibat aktif,
hadir, dan bersuara dalam pertemuan-pertemuan Panchayat sebagai pimpinan
maupun anggota Panchayat.

Universitas Indonesia
4

Apabila dilihat dari Gender Development Index (GDI), Kerala juga


konsisten berada di posisi tiga teratas di antara seluruh Negara bagian di India
(bahkan sampai dengan saat tulisan ini ditulis). Menurut data dari Ministry of
Women and Child Development Government of India (WCD), pada tahun 1990,
GDI Kerala menempati posisi ke-1 di India dengan skor 0,721. Skor tersebut naik
pada tahun 2005 menjadi 0,745, dengan Kerala tetap menduduki peringkat teratas
di India. Data ini menunjukkan bahwa posisi perempuan di Kerala sebelum
diberlakukan kuota sudah relatif lebih baik dibandingkan dengan negara bagian
lainnya, sehingga menjadi menarik untuk mengupas lebih jauh bagaimana
keberadaan kuota reservasi ini dapat menjadi batu loncatan yang signifikan bagi
perempuan di Kerala.

1.2 Permasalahan
PRI telah membuka lokus kekuasaan baru yang kemudian menambah
jumlah orang yang menjadi bagian dari decision making process, tidak terkecuali
perempuan. Masuknya perempuan di arena politik PRI ini didukung pula dengan
keberadaan kuota afirmasi yang diberlakukan sejak Amandemen ke-74 Konstitusi
India, sehingga menjadi menarik apabila relasi PRI dengan isu perempuan dapat
diteliti lebih jauh, terutama apabila dilihat dari komunitas masyarakat yang
dianggap berhasil, dalam konteks ini adalah Kerala. Apakah peningkatan jumlah
perempuan yang masuk ke dalam lokus kekuasaan ini berdampak secara langsung
terhadap akomodasi kepentingan perempuan? Merujuk salah satu notion dari Anne
Phillips, “the Politics of Presence”, kehadiran dipercaya sebagai jalan transformasi
dari “standing as” atau berdiri sebagai perempuan menuju “acting for” atau
bertindak untuk kepentingan perempuan sebagai kelompok.
Apabila melihat hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, tampak bahwa
keberadaan kuota reservasi telah secara nyata dan signifikan meningkatkan
keterwakilan deskriptif perempuan dalam politik. Selain itu, terdapat beberapa
penelitian juga yang menjabarkan adanya perubahan arah kebijakan secara umum
terhadap fokus alokasi anggaran ke arah urusan rumah tangga, seperti sanitasi, air
bersih, dan sumber listrik. Namun, penelitian tersebut kurang menjelaskan secara
mendalam bagaimana perubahan arah kebijakan tersebut dapat terjadi dan
5

bagaimana perubahan tersebut memang terkait langsung dengan kepentingan


perempuan. Sedangkan hal-hal yang disebutkan adalah kebutuhan umum, bukan
secara khusus menyasar pada urusan perempuan.
PRI sendiri sebagai sebuah bentuk desentralisasi tentunya dapat dipandang
sebagai sebuah instrumen deepening democracy yang mengarah pada pembuatan
keputusan yang lebih inklusif. Perempuan adalah salah satu kelompok subjek dalam
masyarakat yang menjadi beneficiaries atas iklusivitas ini. Penulis mencoba
menguji, apakah dampaknya hanya sebatas peningkatan kuantitas perwakilan
perempuan di politik atau juga kualitas dalam artian terakomodasinya kepentingan
perempuan dalam formulasi kebijakan. Oleh karenanya, pertanyaan yang akan
dicoba dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana dampak dari peningkatan
keterwakilan perempuan dalam Panchayati Raj Institution terhadap akomodasi
kepentingan perempuan di Kerala?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun penelitian ini dilakukan dengan tujuan berikut:
a) Memahami dampak peningkatan keterwakilan perempuan terhadap
akomodasi kepentingan perempuan di Kerala;
b) Mengelaborasi faktor-faktor yang memfasilitasi terjadinya akomodasi
kepentingan perempuan di PRI;

1.4 Signifikansi Penelitian


Adapun signifikansi dari penelitian ini antara lain:
a) Penelitian ini memiliki signifikansi untuk menambah kajian seputar
kebijakan yang memberikan peluang lebih bagi perempuan untuk mencapai
kekuasaan dan mengartikulasikan kepentingannya dalam decision making
process;

b) Penelitian ini juga memiliki signifikansi dalam menjelaskan bagaimana


keterwakilan perempuan dalam politik dapat berdampak pada akomodasi
kepentingan perempuan.

Universitas Indonesia
6

1.5 Kajian Literatur


Terdapat beberapa penelitian yang memotret dampak dari peningkatan
partisipasi perempuan di Panchayati Raj Institution. Shanker (2010) mencoba
memetakan permasalahan dalam pemberdayaan perempuan melalui peningkatan
keterwakilan di PRI. Di dalam laporannya, dikatakan bahwa terlepas dari kuantitas
perwakilan perempuan sebagai anggota pemimpin Panchayat yang tinggi,
partisipasi dalam pembuatan keputusan masih jarang ditelaah lebih jauh dan di
situlah sesungguhnya masalah keterwakilan perempuan berada. Terdapat dua isu
yang menjadi hambatan untuk terwujudnya keterwakilan substantif perempuan.
Pertama, Proxy Candidate, yakni perempuan yang sengaja dimajukan oleh suami
atau bapaknya untuk menjadi anggota ward, namun bertugas menyuarakan
kepentingan mereka dalam pembuatan keputusan). Kedua, Decision Making
Initiative, dimana perempuan kerap tidak mampu memunculkan inisiatif dalam
proses pembuatan keputusan sebagai anggota ward dikarenakan berbagai macam
faktor, termasuk tekanan keluarga dan perasaan inferior sebagai perempuan
(Shanker, 2010:8).
Penelitian lainnya dari Thakur (2010), juga membahas faktor yang
menghambat partisipasi perempuan dalam politik menjadi substantif. Literasi
rendah menjadi elemen yang berpengaruh signifikan. Panchas perempuan di Distrik
Samastipur, Bihar, hanya mencapai angka literasi 36%. Mereka sulit untuk
berpartisipasi karena adalah faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas
perwakilan perempuan di Bihar (Thakur, 2010:20). Perempuan dengan literasi
rendah sulit berpartisipasi karena kurangnya wawasan untuk mengembangkan
inisiatif. Di dalam wawancara Thakur dengan sejumlah anggota panchas
perempuan di Samastipur, mereka mengungkapkan rasa tidak percaya diri untuk
bersuara dan mereka juga menyebutkan tidak mengerti dengan berbagai istilah yang
dipergunakan dalam rapat-rapat Panchayat. Selain itu, adanya budaya dominasi
laki-laki di masyarakat, status perempuan yang lebih rendah, dan adat tradisi yang
mengekang perempuan juga menjadi faktor yang membuat rendahnya kualitas
partisipasi perempuan di PRI.
Penelitian lainnya dari Gibson (2012) di Kerala menunjukkan bahwa
peningkatan partisipasi perempuan melalui reservasi kursi dalam PRI menunjukkan
7

perbedaan model pembangunan yang signifikan, dimana perwakilan perempuan


cenderung memprioritaskan pembangunan yang mengarah pada kebutuhan rumah
tangga, seperti sanitasi, air bersih, dan listrik. dan artikulasi kepentingan kaum
marjinal melalui partai kiri (jika partai kiri cukup kuat untuk memengaruhi
legislasi) dapat membentuk serangkaian kebijakan untuk mengurangi
ketidaksetaraan.
Gibson menemukan bahwa partisipasi perempuan di Kerala sangat
berdampak positif dan signifikan terhadap alokasi anggaran untuk permasalahan
ketersediaan toilet dan perumahan, meskipun keterlibatan perempuan dalam
merespons isu-isu strategis diskriminasi gender belum tampak. Penelitiannya juga
menjelaskan mengenai mengenai pengaruh Gram Sabha dalam menciptakan
peluang politik bagi perempuan untuk mengalokasikan dan mengklaim manfaat
pembangunan untuk kepentingan kelompok perempuan yang merupakan bagian
dari kelompok marjinal di India. Gram Sabha dalam hal ini memberikan
kesempatan bagi perempuan khususnya wakil kelompok perempuan yang menjadi
Sarpanch dan Panchas untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan
pembangunan.
Dari penelitian-penelitian tersebut, terlihat adanya sejumlah faktor
penghambat untuk kehadiran perempuan dalam lembaga-lembaga politik menjadi
substantif, antara lain masalah proxy candidate dan kualitas diri perempuan (literasi
dan kapabilitas) yang rendah yang membuatnya tidak dapat bekerja optimal dalam
menyerap dan mengartikulasikan aspirasinya sendiri sebagai perempuan maupun
anggota masyarakat perempuan yang diwakilinya. Namun demikian, perempuan di
Kerala memiliki performa yang secara umum lebih baik dibandingkan dengan
negara bagian lain, yang sangat mungkin disebabkan oleh tingkat literasi yang
tinggi. Posisi penelitian ini adalah mengeksplorasi lebih dalam mengenai
bagaimana perempuan yang masuk ke PRI di Kerala mewujudkan keterwakilan
substantif, termasuk juga sejauh apa akomodasi kepentingan perempuan dapat
dilakukan di sana, dan faktor-faktor kunci yang memfasilitasi terjadinya akomodasi
kepentingan tersebut.

Universitas Indonesia
8

1.6 Konsep dan Teori


Penulis akan menggunakan beberapa konsep dari sebuah teori yang akan
menjelaskan hubungan diantara konsep-konsep utama yang menjadi subjek
penelitian ini. Pertama, konsep perwakilan secara umum dari Hanna Fenichel Pitkin
untuk menjelaskan mengenai perwakilan dan keterwakilan secara umum, dimana
di dalamnya terdapat istilah “perwakilan deskriptif” dan “perwakilan substantif”.
Kedua, konsep politik kehadiran yang mengangkat pentingnya keterwakilan
perempuan dari Anne Phillips. Konsep ini menjelaskan fenomena meningkatnya
“keterwakilan perempuan” yang terjadi lewat pemberlakuan kuota dan bagaimana
kebijakan afirmasi dipandang perlu bagi kelompok perempuan. Ketiga, konsep
demokrasi deliberatif dari Seyla Benhabib untuk menjelaskan posisi Panchayati Raj
Institution sebagai ruang praktik penerapan kuota dan keterwakilan perempuan
yang menjadi subjek penelitian ini. Selanjutnya, penulis akan menggunakan teori
critical mass dari Kanter dan Dahlerup untuk menjelaskan bagaimana keberadaan
kuota yang meningkatkan keterwakilan deskriptif perempuan dapat berdampak
pada keterwakilan pada level substansi, khususnya apabila di-exercise dalam ruang
demokrasi deliberatif.

1.6.1 Konsep Keterwakilan

Di dalam memaknai “keterwakilan”, penulis merujuk pada konsep-konsep


“perwakilan” yang disusun oleh Hanna Fenichel Pitkin dalam bukunya yang
berjudul “The Concept of Representation” (1967). Pitkin tidak merumuskan sebuah
konsep perwakilan yang sama sekali baru, melainkan mengumpulkan berbagai
pandangan terhadap “perwakilan” dari beragam pemikir. Secara umum, Pitkin
mengelompokkan pandangan-pandangan tersebut ke dalam dua pendekatan, yakni
(1) pendekatan formalistik dan (2) pendekatan simbolik, dimana dalam masing-
masing pendekatan, terdapat dua konsep perwakilan.

Pendekatan formalistik ini menggunakan cara pandang yang disebut oleh


Pitkin sebagai “authorization view” yang dapat diterjemahkan menjadi "pandangan
otorisasi" (Pitkin, 1967:38). Para pemikir yang mengembangkan konsep-konsep
perwakilan formalistik disebut sebagai “teoritisi otorisasi” (“authorization
9

theorists”). Secara gamblang, cara pandang otorisasi dapat dipahami sebagai cara
pandang yang menekankan pada ada tidaknya pemberian otoritas atau wewenang
dari terwakil kepada wakil. Pitkin menjelaskan:

"…this view defines representing in terms of a transaction that


takes place at the outset, before the actual representing begins.
To the extent that one has been authorized, within the limit of
one's authority, anything that a person does is representing"
(Pitkin, 1967:39).

“…pandangan ini memaknai perwakilan dalam kerangka


transaksi yang terjadi di luar dari proses perwakilan itu sendiri.
Sampai pada titik dimana ketika seseorang sudah diberikan
otoritas, maka dalam otoritasnya itu, apapun yang ia lakukan
termasuk dalam tindakan mewakili” (Pitkin, 1967:39).

Dengan definisi ini, maka dapat dikatakan bahwa sejak wewenang mewakili
sudah diberikan, segala sesuatu yang dikerjakan seorang wakil dalam
wewenangnya sebagai wakil sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai
tindakan "mewakili" (the act of representing).

Konsep perwakilan mengalami perkembangan. Keterwakilan tidak lagi


semata-mata melihat elemen otorisasi atau pemberian wewenang dari terwakil
kepada wakil atau yang disebut sebagai konsep “perwakilan otoritatif”. Konsep ini
dapat dilihat sebagai konsep perwakilan yang “...equally formal and empty of
substantive content¾formal dan tidak substantif” (Pitkin, 1967:55). Kritikus
terhadap konsep ini kemudian memunculkan “accountability view” yang dapat
diterjemahkan menjadi “pandangan akuntabilitas” (Pitkin, 1967:55-56). Pandangan
akuntabilitas bersama pandangan otorisasi dikelompokkan dalam naungan
pendekatan formalistik. Menurut Pitkin, sebetulnya yang dikembangan dalam
pandangan akuntabilitas adalah elemen substantif dari pendekatan formalistik yang
hilang dalam pandangan otorisasi. Elemen substantif tersebut adalah bagaimana
wakil secara berkala mempertanggungjawabkan (hold accountable) tindakan
mewakili yang dilakukannya (the act of representing) kepada terwakil. Proses ini
tidak hanya berlangsung diakhir suatu ketika tindakan diambil, tetapi juga di awal
sebelum tindakan diambil. Wakil secara aktif menyerap aspirasi dari terwakil dan

Universitas Indonesia
10

menjadikan aspirasi tersebut sebagai landasan dari segala tindakan yang ia ambil
selama bertindak mewakili (act as representative) (Pitkin, 1967:58-59).

Pendekatan lainnya adalah pendekatan simbolik. Pendekatan ini oleh Pitkin


dipergunakan untuk menaungi konsep-konsep perwakilan yang berbentuk
“standing for”, sedangkan pendekatan formalistik menaungi konsep-konsep
perwakilan yang berbentuk “acting for” (Pitkin, 1967:60-61). Para teoritisi yang
menggunakan pendekatan ini berpandangan bahwa "true representation requires
that representatives be so selected that its composition corresponds accurately to
that of the whole nation; only then is it really a representative body¾perwakilan
yang sesungguhnya mensyaratkan wakil diseleksi dengan sedemikian rupa
sehingga komposisinya secara akurat menghadirkan komposisi masyarakat secara
keseluruhan; hanya dengan beginilah ia dapat dianggap sah sebagai sebuah badan
perwakilan" (Pitkin, 1967:60). Jadi, secara sederhana, pendekatan simbolik dapat
dilihat sebagai pendekatan yang menekankan komposisi pada level karakteristik
yang proporsional diantara kelompok wakil dengan kelompok terwakil (Pitkin,
1967:61). Elemen karakteristik yang dijadikan landasan proporsionalitas ini
kemudian memecah pandangan teoritisi-teoritisi dalam naungan pendekatan
simbolik ke dua bentuk konsep perwakilan, yakni (1) konsep “perwakilan
deskriptif” dan (2) konsep “perwakilan simbolik”.

“Kesamaan antara wakil dan terwakil” merupakan karakteristik utama


pendekatan simbolik. Teoritisi-teoritisi di bawah naungan pendekatan simbolik ini
berpandangan bahwa lembaga perwakilan harus menjadi “the most exact possible
image of of the country¾seakurat mungkin mencerminkan negaranya” dan harus
“correspond in composition with the community (being
represented)¾menghadirkan komposisi yang sama dengan yang ada dalam
masyarakat” (Pitkin, 1967:62). Dengan demikian, komposisi para wakil di lembaga
perwakilan harus menggambarkan komposisi dari masyarakat yang diwakili
mereka. Perbedaan kemudian muncul pada elemen mana yang dijadikan acuan
pembentuk image dari masyarakat terwakil (the community being represented).
Konsep perwakilan deskriptif menggunakan elemen identitas individu-individu
yang kelihatan yang membentuk sebuah identitas masyarakat, seperti ras, suku, dan
11

gender. Sementara, konsep perwakilan simbolik menggunakan elemen identitas


pada level intelektual atau ide yang tidak kelihatan, seperti ideologi, agama, dan
ragam kepercayaan.

Di dalam penelitian ini, penulis mengeksplorasi fenomena meningkatnya


keterwakilan perempuan setelah diberlakukannya kebijakan kuota. Konsep
perwakilan yang berlaku di dalam kebijakan kuota ini adalah konsep perwakilan
deskriptif, dimana kehadiran perempuan yang standing for perempuan,
mensyaratkan komposisi gender yang lebih proporsional dalam institusi politik.
Selanjutnya, penulis hendak mengeksplorasi dampak dari peningkatan
keterwakilan deskriptif tersebut; apakah akan muncul keterwakilan yang lebih
substantif dalam bentuk akomodasi kepentingan perempuan, setelah terjadi
peningkatan keterwakilan perempuan secara deskriptif.

1.6.2 Konsep Keterwakilan Perempuan

Setelah memahami konsep representasi atau keterwakilan secara umum,


penting untuk memahami secara khusus tentang keterwakilan perempuan yang
menjadi subjek penelitian ini. Untuk itu, penulis merujuk pada gagasan “politik
kehadiran” (politics of presence) yang diangkat oleh Anne Phillips dalam bukunya
yang berjudul “The Politics of Presence” (1995).

Phillips mengkritik pandangan liberal tentang keberagaman (diversity) dan


keterwakilan (representation) atas keberagaman itu. Kaum liberal melihat
keberagaman berada pada level intelektual atau ide. Dengan demikian, maka
representasi atas keberagaman bisa dilakukan tanpa secara langsung menghadirkan
keberagaman pada level identitas, tetapi cukup pada level intelektual atau ide
(Phillips, 1995:6). Dengan menggunakan cara pandang tersebut, maka laki-laki
dapat hadir di lembaga-lembaga perwakilan membawakan gagasan dari perempuan
atau mengangkat permasalahan yang menjadi keresahan bagi perempuan.
Pertanyaan yang menarik kemudian diajukan oleh Phillips, “but, how can men
legitimately stand in for women when what is at issue is the representation of
women per se?¾bagaimana mungkin laki-laki secara sah berdiri mewakili

Universitas Indonesia
12

perempuan ketika isunya adalah keterwakilan perempuan itu sendiri?” (Phillips,


1995:6). Ketika keterwakilan perempuan itu sendiri yang menjadi isu atau masalah,
jelaslah bahwa kehadiran laki-laki yang dominan sebagai wakil (dalam pembuatan
keputusan) justru menjadi bagian dari masalah.

Perempuan pantas mendapat rekognisi pada level identitas, perempuan


seharusnya menjadi subjek yang juga hadir di mimbar-mimbar kekuasaan. Selama
berabad-abad ketika perempuan tidak terlibat dalam decision making process,
perempuan secara konsisten mengalami subordinasi ekonomi, dimana mereka
mendominasi pekerjaan-pekerjaan upah rendah dalam sektor-sektor yang tidak
(atau kurang) membutuhkan keahlian (skill atau expertise) (Phillips, 1995:12). Hal
ini mengindikasikan adanya kedekatan antara gagasan dengan identitas yang lebih
dekat dari yang diasumsikan dalam pandangan liberal. Sangat mungkin bahwa
kehadiran pada level identitas adalah elemen yang krusial terhadap kehadiran pada
level ide dari suatu kelompok.

Fenomena under-representation atau rendahnya keterwakilan dari suatu


kelompok dalam masyarakat demokratis dimaknai Phillips sebagai keadaan dimana
ada ketimpangan (gap) antara proporsi kehadiran suatu kelompok sebagai
konstituen (electorate) dan mereka sebagai wakil (elected officials) (Phillips,
1995:39). Keterwakilan yang proporsional bukan semata-mata mempersoalkan
keabsahan (legitimasi) dari sebuah institusi demokrasi, tetapi lebih mendasar lagi,
yakni bagaimana rekognisi terhadap sebuah identitas yang menjadi bagian dari
masyarakat demokratis adalah hal yang penting bagi kesejahteraan (well-being)
mereka. Jika suatu kelompok tidak mendapat rekognisi (dan penghargaan) yang
setara dengan yang lain, maka mereka sudah mengalami (berada di bawah) suatu
bentuk opresi (Phillips, 1995:40).

Phillips memetakan empat rationale yang menjadi latar belakang dari


kampanye-kampanye pentingnya keterwakilan perempuan (Phillips, 1995:62).
Pertama, perempuan yang masuk ke dalam institusi politik dapat memunculkan
figur role model bagi perempuan lainnya (yang selama ini menjadi kelompok
subordinat di tengah masyarakat). Dengan munculnya role model perempuan yang
berkiprah di ruang politik, perempuan lain dapat memiliki rasa percaya diri untuk
13

terlibat dalam politik. Kedua, kehadiran perempuan dalam institusi politik dapat
sekaligus menghadirkan kepentingan perempuan yang terabaikan sebelumnya.
Ketiga, keterwakilan perempuan menjadi elemen mendasar dalam perwujudan
keadilan antar gender. Keempat, kehadiran perempuan dalam politik akan
meningkatkan kualitas kehidupan politis perempuan (political life). Phillips sendiri
menekankan pada rationale ketiga, sebagaimana tergambar dalam pernyataannya
yang berbunyi:

“…the most immediately compelling of the remaining argument is that


which presents gender parity as a straightforward matter of justice;
that it is patently and grotesquely unfair for men to monopolize
representation” (Phillips, 1995:63).

“…argument yang paling gamblang dalam membela agenda


menghadirkan kesetaraan gender adalah menempatkan ini sebagai
masalah keadilan (secara umum); bahwa adalah suatu ketidakadilan
yang teramat sangat dan terang-terangan bagi perempuan jika laki-laki
memonopoli (institusi) perwakilan” (Phillips, 1995:63).

Upaya-upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam institusi politik


formal menjadi hal yang mendasar dan penting untuk dilakukan demi mewujudkan
tatanan sosial yang lebih adil gender; to level the playing ground untuk perempuan,
sebagai kelompok gender subordinat. Kebijakan kuota, yang menjadi subjek
bahasan dalam penelitian ini, merupakan salah satu bentuk upaya meningkatkan
keterwakilan perempuan. Phillips melihat hal ini sebagai faktor enabler bagi
perempuan yang sebelumnya disabled dalam sistem sosial yang patriarkis dan
menempatkan perempuan sebagai gender subordinat. Menurut Phillips, “changing
the gender composition of elected assemblies is largely an enabling condition (a
crucially important one, considering what is disabled at present)¾mengubah
komposisi gender di dalam institusi dewan perwakilan adalah suatu upaya
memberdayakan (sesuatu yang sangat penting, menimbang ketidakberdayaan yang
ada saat ini)” (Phillips, 1995:83).

Secara historis, perempuan telah mengalami berbagai bentuk subordinasi,


antara lain perempuan tidak berhak atas kepemilikan (property ownership), tidak
dapat menjadi anggota militer, tidak dapat menjadi pejabat pemerintah, tidak dapat

Universitas Indonesia
14

ikut memilih dalam demokrasi, dan lain sebagainya. Hal-hal ini telah secara nyata
membatasi perempuan dari partisipasi politik (Benhabib, 2002:195). Dalam
meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemikir feminis terpecah ke dalam
dua pendekatan, yakni (1) meningkatkan partisipasi perempuan ke dalam institusi
politik formal dan (2) memperluas definisi dari "politik" itu sendiri sehingga
menjangkau berbagai bentuk partisipasi perempuan lainnya di luar institusi politik
formal. Pandangan Phillips, yang menjadi acuan penulis, tergolong dalam
pendekatan pertama.

Terdapat sejumlah strategi yang telah dilakukan untuk meningkatkan


partisipasi perempuan ke dalam institusi politik formal, antara lain pelatihan
berpolitik bagi perempuan, kebijakan-kebijakan afirmasi (diskriminasi positif), dan
pemberlakuan kuota (Benhabib, 2002:197). Kebijakan yang dieksplorasi dalam
penelitian ini adalah pemberlakuan kuota untuk perempuan di dalam institusi
politik formal. Meskipun tidak dapat menjadi jaminan atas ekspektasi apapun,
namun menurut Phillips, keterwakilan perempuan adalah seperti "…a shot in the
dark: far more likely to reach its target than when those shooting are predominantly
male, but still open to all kinds of accident¾sebuah bidikan dalam gelap: lebih
berpeluang mencapai target dibandingkan ketika kondisinya laki-laki
mendominasi, namun tetap terbuka pada berbagai kemungkinan yang tidak
diinginkan" (Phillips, 1995:83).

Demikianlah dapat dipahami bahwa kebijakan kuota yang meningkatkan


keterwakilan perempuan tidak dapat dipandang sebagai sebuah jaminan bagi
berbagai macam hal, misalnya saja terpenuhinya kebutuhan perempuan,
tersampaikannya aspirasi perempuan, terciptanya keadilan gender di tengah
masyarakat, dan lain sebagainya. Kebijakan ini harus dipandang sebagai bantuan
pada entry level bagi perempuan untuk berbagai kemungkinan (perubahan) yang
penulis sebutkan sebelumnya. Mengapa perempuan memerlukan bantuan ini?
Karena hambatan untuk masuk ruang politik bagi perempuan sebagai kelompok
gender subordinat terlalu besar, sementara laki-laki berdiri sebagai pihak yang
memonopoli ruang-ruang politik.
15

1.6.3 Kepentingan Perempuan


Di dalam penelitian ini, penulis hendak melihat hubungan antara
keterwakilan deskriptif perempuan dengan akomodasi kepentingan perempuan.
Oleh karena itu, selain memahami konsep “keterwakilan”, menjadi penting pula
untuk memahami konsep “kepentingan perempuan”. Untuk memahami konsep
“kepentingan perempuan”, penulis merujuk pada artikel jurnal dari Maxine
Molyneux, seorang pemikir feminis, yang berjudul “Mobilization without
Emancipation: Women’s Interests, the State, and Revolution in Nicaragua” (1985).
Molyneux meneliti mengenai perubahan sosial ketika terjadi revolusi sosialis dan
bagaimana posisi kepentingan perempuan ketika masyarakat sudah masuk dalam
tatanan sosial-politik yang baru (pasca revolusi). Dalam menjelaskan hasil
penelitiannya itulah Molyneux menjabarkan konsep “kepentingan perempuan”
menurut pandangannya. Ia membagi konsep tersebut ke dalam dua jenis
kepentingan: (1) kepentingan gender strategis (strategic gender interests) dan (2)
kepentingan gender paraktikal (practical gender interests) (Molyneux, 1985:232).
Menurut Molyneux, kepentingan gender strategis berarti “…interests
derived in the first instance deductively, that is, from the analysis of women’s
subordination and from the formulation of an alternative, more satisfactory set of
arrangements to those which exist¾kepentingan yang dibangun melalui analisis
terhadap subordinasi perempuan dan terbentuk sebagai formula alternatif yang
lebih baik bagi perempuan dari apa yang ada” (Molyneux, 1985:232). Dengan
merujuk pada pengertian ini, maka kepentingan gender strategis merupakan
kepentingan yang progresif, yang mengangkat agenda penghapusan subordinasi
gender, baik dalam budaya maupun hukum yang ada di masyarakat. Molyneux
memberikan contoh kepentingan gender strategis, antara lain: penghapusan
pembagian kerja gender, penghapusan beban kerja domestik yang absolut hanya
untuk perempuan, legalisasi aborsi sebagai wujud perlindungan hak reproduktif
perempuan, dan pembuatan regulasi untuk menindak tegas laki-laki yang
melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan (Molyneux,
1985:232-233).
Jenis kepentingan yang kedua adalah kepentingan gender praktikal.
Moleyneux memaknai kepentingan gender praktikal sebagai “…interests given

Universitas Indonesia
16

inductively and arise from the concrete conditions of women’s positioning within
the gender division of labor¾kepentingan yang dibangun secara induktif dan
muncul dari kondisi konkret posisi perempuan dalam pembagian kerja gender”
(Molyneux, 1985:233). Dengan pengertian ini, kepentingan gender praktikal dapat
dipahami sebagai kepentingan perempuan yang konkret, yang riil dalam kondisi
status quo, tanpa mempersoalkan keberadaan pembagian kerja gender tradisional
(ataupun nilai-nilai tradisional seputar gender lainnya). Moleyneux (1985:233)
menambahkan, “…these interests are usually a response to an immediate perceived
need, and they do not generally entail a strategic goal such as women’s
emancipation or gender equality¾kepentingan ini biasanya adalah respons
terhadap kebutuhan urgen dan mereka tidak mengandung tujuan-tujuan strategis
seperti emansipasi perempuan ataupun kesetaraan gender”. Kebutuhan urgen di sini
dapat dimaknai sebagai kebutuhan reguler sehari-hari yang harus terpenuhi.
Moleyneux memberikan contoh kepentingan gender praktikal, yaitu kebutuhan
makan dan air minum. Hal ini menjadi kepentingan perempuan, karena perempuan
berada dalam posisi yang bertanggung jawab menyediakan konsumsi di rumah.
Kepentingan perempuan dalam urusan domestik digambarkan oleh Moleyneux
dengan amat baik dalam pernyataan berikut:
“When government fail to provide basic needs, women withdraw
their support. When the livelihood of their families¾especially their
children¾is threatened, it is women who form the phalanxes of
bread rioters, demonstrators, and petitioners” (Moleyneux,
1985:233).

“Ketika pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan dasar,


perempuan akan menarik dukungan mereka. Ketika kehidupan dari
keluarga mereka¾khususnya anak-anak mereka¾terancam,
perempuanlah yang membentuk barikade penjarah roti, demonstran,
dan petisioner” (Moleyneux, 1985:233).

1.6.4 Konsep Demokrasi Deliberatif

Kata “demokrasi” dapat dimaknai dengan beragam cara dan pendekatan.


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pemaknaan terhadap demokrasi yang
dikembangkan oleh Seyla Benhabib¾yang terkenal dengan sebutan “demokrasi
deliberatif”. Dalam bukunya yang berjudul “The Claims of Culture: Equality and
17

Diveristy in the Global Era” (2002), Benhabib berpendapat bahwa demokrasi


adalah:

“...a model for organizing the collective and public exercise of power
in the major institutions of a society on the basis of the principle that
decisions affecting the well-being of a collectivity can be viewed as an
outcome of a procedure of free and reasoned deliberation among
individuals considered as moral and political equals” (Benhabib,
2002:105).

“…suatu model untuk mengorganisasi massa dan kekuasaan publik


dalam sebuah institusi besar di tengah masyarakat berbasis sebuah
prinsip dimana keputusan yang dihasilkan yang memengaruhi
kesejahteraan publik merupakan hasil dari sebuah proses deliberasi
yang bebas dan rasional diantara individu yang setara, baik secara
moral maupun politik” (Benhabib, 2002:105).

Dari pemaknaan ini, penulis menyimpulkan terdapat tiga elemen yang harus
dipenuhi dalam praktik demokrasi deliberatif, yaitu (1) adanya sebuah
pengorganisasian kekuasaan dan massa dalam sejumlah institusi masyarakat, (2)
kekuasaan (yang terorganisasi) tersebut dapat membuat keputusan yang
menentukan nasib atau kesejahteraan (well-being) dari massa, dan (3) keputusan
tersebut merupakan hasil dari delibrasi yang bebas dan rasional antara individu
(bagian dari massa) yang setara, baik secara moral maupun politis.
Sementara itu, dalam memaknai proses deliberasi itu sendiri, penulis
merujuk kepada pembacaan Mouffe (2000:46-47) terhadap konsep demokrasi
Benhabib. Deliberasi dimaknai oleh Benhabib sebagai proses pembuatan keputusan
yang melibatkan orang secara bebas dan setara. Ada tiga elemen yang harus
dipenuhi untuk terselenggaranya proses deliberasi dengan baik (Mouffe, 2000:47),
yakni (1) partisipasi diselenggarakan dengan norma kesetaraan dan kesamaan
(semua partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bertindak, bertanya,
menginterogasi, mendebat, dan lain sebagainya dalam ruang institusi demokrasi
yang tersedia), (2) semua partisipan memiliki hak untuk mempertanyakan
topik/wacana yang dijadikan bahan pembicaraan/pembahasan, dan (3) semua
partisipan memiliki hak untuk mengajukan argumen terhadap aturan yang berlaku
di dalam penyelenggaraan pembicaraan/pembahasan.

Universitas Indonesia
18

Konsep demokrasi deliberatif penulis gunakan untuk mendekati Panchayati


Raj Institution sebagai sebuah institusi demokrasi yang bersifat deliberatif. PRI
memenuhi syarat-syarat demokrasi deliberatif, dimana proses deliberasi terjadi di
level elite pengurus PRI (dalam format rapat-rapat Panchayat) dan di level akar
rumput (dalam format rembuk desa yang dikenal dengan nama “Gram Sabha”). Di
dalam rapat Panchayat, tiap-tiap anggota PRI memiliki hak partisipasi yang bebas
dan setara. Hanya saja, satu orang yang memegang jabatan Sarpanch (Presiden
Panchayat), memiliki otoritas lebih, yakni sebagai pihak yang memiliki wewenang
mengatur jalannya rapat, dari mulai menentukan agenda pembahasan sampai
kesimpulan pembahasan. Meskipun demikian, di dalam prosesnya, setiap anggota
berhak mempertanyakan agenda yang dijadikan fokus pembahasan oleh Sarpanch.
Di dalam Gram Sabha, yang terjadi kurang lebih sama dengan dalam rapat
Panchayat, perbedaannya adalah pertemuan diikuti oleh seluruh warga desa (di
dalam satu teritori Gram Panchayat).

1.6.5 Teori Critical Mass

Di dalam penelitian ini, penulis hendak membahas dampak dari


meningkatnya keterwakilan deskriptif perempuan akibat keberadaan kuota
reservasi. Dalam mendekati masalah ini, penulis akan menggunakan teori critical
mass. Teori ini menghubungkan antara keterwakilan dengan artikulasi kepentingan
perempuan dalam institusi politik atau dalam proses pembuatan keputusan
(decision making process). Hubungan antara keterwakilan deskriptif perempuan
dengan artikulasi kepentingan perempuan dapat dijelaskan dengan menggunakan
critical mass theory atau teori critical mass.

Istilah "critical mass" sendiri dapat dipahami sebagai sebuah ambang massa
kritikal, dimana "massa" bisa diartikan sebagai intensitas yang tergambarkan
dengan kuantitas atau jumlah atau keterwakilan deskriptif dari suatu kelompok
(dalam konteks penelitian ini adalah perempuan; kehadiran kelompok perempuan).
Ambang kritikal di sini menjadi batas minimum massa perempuan dimana apabila
terlewati, maka kemungkinan besar terjadi dampak dari kehadiran perempuan di
dalam sebuah institusi politik (dimana decision making process terjadi).
19

Penulis memahami konsep critical mass dan teori critical mass melalui
tulisan dari Childs & Krook (2008) yang berjudul "Critical Mass Theory and
Women's Political Representation". Childs & Krook (2008:726) menjelaskan
bahwa perdebatan mengenai konsep critical mass pada awalnya mengemuka pasca
terbitnya karya Rosabeth Moss Kanter (1977) dan Drude Dahlerup (1988), dimana
mereka membahas mengenai bagaimana pengalaman kelompok perempuan
menjadi minoritas baik dalam institusi bisnis (korporat) maupun politik. Kanter dan
Dahlerup kemudian menyimpulkan bahwa jika jumlah perempuan meningkat,
maka perempuan akan mendapatkan pengalaman berbeda (akan terjadi perubahan).
Pandangan Kanter dan Dahlerup inilah yang menjadi rujukan teori critical mass
yang penulis gunakan dalam menunjukkan hubungan antara meningkatnya
keterwakilan perempuan dengan terjadinya akomodasi kepentingan perempuan.

Kanter (1977:231 dalam Childs & Krook, 2008:727) dalam penelitiannya


mengeksplorasi pengalaman perempuan di dalam korporasi, hasilnya ia jabarkan
dalam sebuah buku yang berjudul "Men and Women of the Corporation". Ia
menyimpulkan bahwa jumlah perempuan yang terlalu sedikit membuat mereka
tidak bisa membangun counter-culture (bisa juga dipahami sebagai "counter-
narrative") dan cenderung akan mengikut pada budaya (nilai dan prinsip) yang
dominan di korporat tempat mereka bekerja. Dari sini, ia melihat bahwa apabila
jumlah dari suatu kelompok minoritas (dalam hal ini perempuan) membesar, maka
mereka akan dapat menemukan allies, membangun koalisi, dan dapat membawa
perubahan pada budaya kelompok besar yang menaungi mereka (dalam konteks
penelitian Kanter, kelompok besar ini adalah sebuah ruang sosial-budaya korporat)
(Kanter, 1977:966 dalam Childs & Krook, 2008:728). Rasio laki-laki banding
perempuan yang diajukan oleh Kanter sebagai acuan critical mass adalah 65:35
(Kanter, 1977:209 dalam Childs & Krook, 2008:729). Artinya, harus ada minimal
35% perempuan dalam suatu komunitas untuk dapat menghadirkan perubahan di
dalam komunitas tersebut.

Dahlerup mengembangkan penelitian mengenai critical mass dengan


mengeksplorasi masalah ini di ranah institusi politik, yang hasilnya ia jabarkan
dalam jurnal yang berjudul "From a Small to a Large Minority:Women in
Scandinavian Politics" (dalam Scandinavian Political Studies Vol.11 No.4,

Universitas Indonesia
20

1988:hlm.275-297). Dalam penelitiannya, Dahlerup menggambarkan posisi


perempuan sebagai kelompok minoritas dalam kehidupan bermasyarakat secara
umum; perempuan kerap menjadi korban pelecehan seksual, tidak mendapat
otoritas hukum yang setara dengan laki-laki (contohnya di Indonesia, hingga tahun
1963, perempuan tidak berhak membuat perjanjian hukum tanpa izin laki-laki, bisa
dari bapak atau suami mereka), tidak dianggap sebagai pemegang tanggung jawab
dalam keluarga, dan lain sebagainya (Dahlerup, 1988:279 dalam Childs & Krook,
2008:730). Latar belakang ini digunakan oleh Dahlerup untuk menjelaskan
bagaimana perempuan secara otomatis menjadi kelompok minoritas dalam ruang
politik (political realm), baik informal (norma masyarakat) maupun formal
(institusi politik) karena posisinya yang subordinat di tengah masyarakat patriarkis.

Dahlerup memetakan enam ranah dimana perempuan dapat membawa


dampak di dalam politik (ketika mereka hadir dalam institusi politik) (Dahlerup,
1988:283-299 dalam Childs & Krook, 2008:730). Pertama, dalam hal persepsi
terhadap perempuan yang berpolitik (politisi perempuan). Perubahan yang terjadi
dapat mengurangi perlakuan seksis dan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Kedua, dalam hal performa dan efisiensi dari politisi perempuan. Hal ini dapat
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan di dalam institusi
politik. Ketiga, dalam hal iklim sosial dalam kehidupan politik. Terjadi perubahan
yang termanifestasi dalam wujud iklim bekerja yang lebih menghormati otonomi
(more consensual style) dan ramah keluarga (family friendly). Keempat, dalam hal
diskursus politik. Kehadiran perempuan dapat meredefinisi kepentingan politik.
Kelima, dalam hal agenda pembuatan kebijakan. Kehadiran perempuan dapat
membawa kepentingan perempuan ke dalam pembuatan kebijakan (the
feminisation of political agenda). Keenam, dalam hal pengaruh dan kekuasaan
perempuan secara umum. Perubahan dalam hal ini dapat terjadi dengan adanya
keberdayaan sosial dan ekonomi yang lebih baik untuk perempuan.

Di dalam penelitiannya, Dahlerup menemukan bahwa peningkatan jumlah


perempuan di dalam institusi politik telah mengurangi stereotipe terhadap
perempuan di tengah masyarakat, karena mereka hadir di ruang publik dan
melakukan kerja-kerja publik yang nyata (Dahlerup, 1988:285 dalam Childs &
Krook, 2008:731). Dari penelitiannya, Dahlerup tidak menetapkan sebuah ambang
21

critical mass ideal (sebagaimana Kanter dengan angka 35%), namun ia menyatakan
bahwa seiring dengan bertambahnya proporsi perempuan, semakin besar peluang
untuk dampak-dampak dalam enam ranah tadi terealisasikan (Dahlerup, 1988:290
dalam Childs & Krook, 2008:732).

Childs & Krook memberikan catatan dalam hal riset yang sebaiknya
dikembangkan dalam menguji teori critical mass dan menjelaskan hubungan antara
keterwakilan deskriptif dan substantif perempuan (Childs & Krook, 2008:734).
Pertama, pertanyaan dari penelitian sebaiknya diubah dari mempertanyakan kapan
perempuan membuat perbedaan menjadi bagaimana perempuan membuat
perbedaan. Kedua, unit analisis dalam penelitian sebaiknya digeser dari level makro
yang mempertanyakan apa yang telah perempuan (women actors in general)
lakukan ke level mikro yang mempertanyakan secara spesifik yang telah dilakukan
oleh aktor perempuan tertentu (specific woman actor). Di dalam penelitian ini,
penulis mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang menjadi catatan dari Childs &
Krook dengan menggunakan praktik kuota perempuan di PRI Kerala. Penelitian
mengeksplorasi bagaimana perempuan yang masuk dalam PRI membawa
perubahan dan siapa aktor-aktor kuncinya.

Dampak-dampak yang dielaborasi oleh Dahlerup, khususnya di ranah


keempat (perubahan diskursus), kelima (perubahan agenda kebijakan), dan keenam
(praktik pengaruh dan kekuasaan perempuan), hanya mungkin termanifestasi dalam
iklim politik yang demokratis dan secara khusus deliberatif, dimana perempuan
yang hadir dalam politik mendapat kesempatan untuk menghadirkan aspirasinya
secara bebas dan setara dengan laki-laki dalam proses pembuatan keputusan
(decision making process). Oleh karena itu, selanjutnya penulis akan menjabarkan
konsep demokrasi deliberatif yang juga penting sebagai konteks politik yang
kondusif untuk implementasi teori critical mass yang telah penulis jabarkan.

1.7 Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur. Penulis
mengambil data-data yang berhubungan dengan penelitian dari berbagai literatur

Universitas Indonesia
22

laporan penelitian lapangan di Kerala. Penulis juga menggunakan sejumlah


dokumen seputar Pemilu Panchayati Raj Instution yang diakses melalui situs resmi
Local Self Government Department of Kerala. Data yang akan diambil dari kajian
literatur khususnya yang mengeksplorasi mengenai praktik kekuasaan (power
exercising) oleh para perempuan yang masuk ke dalam Gram Panchayat, baik
sebagai jajaran pengurus maupun anggota dan dampaknya terhadap akomodasi
kepentingan perempuan di suatu Panchayat.
Dalam proses analisis, penulis melakukan interpretasi atas data yang telah
dikumpulkan. Dalam usaha memahami data-data tersebut, seorang peneliti tidak
bisa melepaskan diri dari subjektifitas atau kacamata yang digunakan oleh si
peneliti, sebagaimana disebutkan dalam tulisan John W. Cresswell tentang desain
penelitian. Ia menyebutkan bahwa sebuah penelitian kualitatif tidak bisa dilepaskan
dari interpretasi peneliti atas berbagai data yang berhasil dikumpulkan (Creswell,
2013:262). Penulis akan mengumpulkan sebanyak mungkin data-data khusus yang
berhubungan dengan praktik PRI di Kerala dan hubungannya dengan akomodasi
kepentingan perempuan. Kemudian, data-data tersebut akan dikategorikan dan
dideskripsikan, diinterpretasi dan dianalisis sesuai alur berpikir dalam penelitian
ini.

1.8 Kerangka Alur Berpikir

Bagan 1.1 Kerangka Alur Berpikir

Keluarnya Amandemen
ke-74 yang Peningkatan Akomodasi
memberlakukan kuota Keterwakilan Kepentingan
Deskriptif Perempuan
reservasi untuk
perempuan di PRI

Seperti yang tampak pada bagan di atas, penelitian ini berangkat dari
institusionalisasi Panchayati Raj yang resmi beroperasi sebagai lembaga
desentralisasi tiga lapis, yakni di tingkat Distrik (Zila Parishad), Blok (Panchayat
Samiti), dan Desa (Gram Panchayat). Lalu, diberlakukannya reservasi kuota 33%
untuk perempuan. Pemberlakuan kuota reservasi tersebut meningkatkan partisipasi
perempuan secara kuantitas keterwakilannya di dalam politik. Penelitian ini akan
23

menguji bagaimana peningkatan keterwakilan deskriptif perempuan di dalam PRI


berdampak akomodasi kepentingan perempuan di suatu Panchayat yang
menunjukkan adanya konversi dari keterwakilan deskriptif menjadi keterwakilan
substantif.

1.9 Sistematika Penulisan


BAB 1 Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan
signifikansi penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan konsep, metode
penelitian, dan skema alur berpikir.

BAB 2 Pembentukan Panchayati Raj Institution dan Penerapan Kuota


Perempuan. Bab ini akan berisi proses terbentuknya PRI melalui amandemen ke-
73 dan proses perjuangan kuota perempuan hingga diberlakukannya di dalam PRI
melalui amandemen ke-74.

BAB 3 Keterwakilan Perempuan di PRI dan Dampaknya Terhadap


Akomodasi Kepentingan Perempuan di Kerala: Dari Perwakilan Deskriptif
ke Substantif. Bab ini akan berisi penjelasan secara umum mengenai profil
masyarakat dan sistem politik Kerala, kemudian mengerucut ke persoalan
perempuan di Kerala yang membuatnya menjadi kelompok marjinal. Selanjutnya,
akan dibahas profil keterpilihan perempuan yang masuk ke dalam PRI setelah
diberlakukannya amandemen ke-73 dan 74, serta jalur masuknya mereka ke PRI
(untuk menggambarkan dampak dari kuota reservasi secara kuantitas), ditutup
dengan penjabaran mengenai dampak dari meningkatnya kuantitas perwakilan
perempuan di PRI terhadap terakomodasinya kepentingan perempuan di Kerala.

BAB 4 KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dan ringkasan jawaban dari
pertanyaan penelitian, serta rekomendasi atau insights dari temuan dari penelitian
yang penulis anggap bermanfaat untuk pengembangan penelitian maupun inovasi
dalam rangka mendorong keterwakilan substantif bagi perempuan (sebagai
kelompok gender marjinal).

Universitas Indonesia
BAB 2

PEMBENTUKAN PANCHAYATI RAJ INSTITUTION DAN PENERAPAN


KUOTA PEREMPUAN

Di dalam bab ini, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai


sejarah Panchayati Raj Institution di India, terutama di Kerala. Kemudian, penulis
juga akan membahas perubahan penting terhadap PRI melalui Amandemen
Konstitusi India ke-73 Tahun 1992, setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan
perubahan yang terjadi dengan adanya penerapan kuota reservasi untuk perempuan,
SC, dan ST yang diberlakukan melalui Amandemen Konstitusi India ke-74 Tahun
1992 (amandemen ini secara resmi diberlakukan tahun 1993).

2.1 Sejarah dan Sistem Panchayati Raj Institution


Sebelum menjadi sebuah institusi resmi Negara, Panchayati Raj Institution
(PRI) sudah dikenal dalam bentuk suatu pemerintah informal di tingkat desa yang
secara rutin mengadakan rembuk desa untuk mengatur urusan-urusan warga desa.
Dalam sejarah India, PRI sama sekali bukanlah sesuatu yang baru di India. Penulis
akan menyebut praktik ini sebagai Proto PRI 8 . Praktik Proto PRI ini sudah
berkembang di banyak daerah pedesaan di India (rural India) sejak awal abad ke-
17 (Furstenberg, 2015). Sejumlah prasasti mendokumentasikan sistem Proto PRI
ini sebagai "komunitas desa yang bertindak sesuai dengan kesepakatan dan
menggunakan beberapa kekuatan hukum dan administratif yang tradisional dan
mengakar di masyarakat". Dari sanalah akhirnya mencuat ide untuk menggunakan
elemen komunitas desa untuk perkembangan demokratisasi India yang diadvokasi
oleh Mahatma Gandhi (Furstenberg, 2015).
Praktik Proto PRI sempat mengalami kemunduran saat awal mula kekuasaan
Inggris (pertengahan abad ke-18) yang memang menerapkan sistem sentralisasi
total. Setelah beberapa dekade menjajah, Inggris kemudian melihat peran dan nilai
politis dari lembaga-lembaga Proto PRI ini, hingga kemudian menyusun rencana

8
Nama yang dipergunakan oleh masyarakat India berbeda-beda di setiap desa yang mempraktikkan,
sehingga penulis mengenalkan istilah Proto PRI untuk memudahkan penyebutan. Kata "proto"
sendiri lazim dipergunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menjadi cikal bakal (origin) atau
ada dalam bentuk yang lebih kuno (primitive) dari sesuatu yang lain.

24
25

untuk mengakomodasi keberadaannya melalui Komisi Desentralisasi Inggris


pada tahun 1907. Namun, Pemerintah India saat itu melakukan perlawanan dan
menolak adanya integrasi Proto PRI ke dalam sistem pemerintahan kolonial
Inggris. Pecahnya Perang Dunia I membuahkan kemunduran lebih lanjut bagi
praktik Proto PRI, dimana rakyat saat itu dilanda krisis akibat perang (Mondal,
2010).
Pasca Perang Dunia I berakhir, sepanjang tahun 1920-an, keberadaan Proto
PRI mulai dikampanyekan oleh Mahatma Gandhi untuk bisa dibentuk di seluruh
desa yang ada di India sebagai suatu sistem self-government di desa-desa, dengan
visi untuk meningkatkan ekonomi warga. Gandhi juga mendorong lembaga-
lembaga Proto PRI agar menjadi kekuatan politik akar rumput yang
memperjuangkan kemerdekaan India. Namun, Pemerintah India pada saat itu tidak
mengindahkan ide-ide Gandhi. Barulah pada tahun 1937, ketika Congress
Ministries dibentuk, Pemerintah India mulai mencanangkan pembentukan Gram
Panchayat (lembaga PRI tingkat desa) dan pengorganisasian mereka untuk
akhirnya mendorong perwujudan kemerdekaan India. Sayangnya, sebelum
lembaga tersebut mencapai hasil yang bersifat substanstif, kolonial Inggris
menyatakan perang dengan Pemerintah India. Tekanan dari Inggris memukul
mundur Pemerintah India dan menyebabkan sejumlah pejabat Congress Ministries
mengundurkan diri. Dengan demikian, Proto PRI kembali kehilangan relevansi
politisnya (Mondal, 2010).
Proto PRI baru bisa kembali mengalami kebangkitan lagi untuk secara
bebas dikembangkan di berbagai desa dan dipraktikkan oleh masyarakat desa
dengan selayaknya setelah India merdeka dari kolonialisme Inggris pada tahun
1950. 9 Di sebagian besar tempat dengan Proto PRI, berbagai produk hukum
maupun norma yang ditetapkan oleh lembaga Proto PRI tersebut tetap diberlakukan
selama sekitar tiga-lima tahun sejak kemerdekaan India. Bahkan sampai bertahun-
tahun berikutnya, masih terdapat sebagian kecil desa yang mempunyai Proto PRI
yang belum mengadopsi hukum sesuai dengan Konstitusi India, melainkan tetap
mempraktikkan hukum yang ditetapkan oleh Proto PRI di Panchayat (desa) mereka.

9
Tahun 1950 merupakan tahun dimana India baru saja memiliki sebuah landasan hukum yang sah
yang disebut sebagai Konstitusi Republik India Tahun 1950.

Universitas Indonesia
26

Tampak bahwa PRI, sejak masih berbentuk Proto PRI, sudah menjadi
bagian yang penting dalam hidup masyarakat India, bahkan bertumbuh bersama
masyarakat India melewati berbagai bentuk administrasi, dari kolonial Belanda,
Inggris, sampai demokratisasi. Praktik ini bisa dikatakan sudah menjadi tradisi bagi
masyarakat India, sehingga menjadi hal yang wajar apabila pemerintah India
mengadopsikan ke dalam sistem pemerintahan formal. Hal ini sekaligus juga
menjadi jalan konsolidasi bangsa India di zaman kemerdekaan. Pada tahun 1992,
Proto PRI akhirnya diadopsi oleh Pemerintah India menjadi bagian yang sah dalam
sistem pemerintahan India melalui Amandemen Konstitusi India ke-73 dan dinamai
Panchayati Raj Institution (PRI).
Perubahan yang paling mendasar dari Proto PRI ke PRI adalah integrasi
sistem hukum dalam PRI ke dalam sistem hukum India. Konsekuensi dari
keberadaan PRI yang sudah menjadi lembaga negara yang berdiri secara sah
sepenuhnya diakui dalam konstitusi nasional dengan rincian kewenangan, fungsi,
dan tanggung jawabnya adalah PRI pun harus mengakui balik konstitusi nasional
India dan mengakhiri praktik hukum maupun kewenangan yang tidak tertera dalam
konstitusi. Dengan integrasi PRI ke dalam sistem pemerintahan India, PRI dapat
menjadi agen pelaksana kebijakan pusat di titik-titik akar rumput di seluruh India.
Salah satu kebijakan pusat yang kemudian dibawa ke PRI sampai ke seluruh
desa di India adalah Amandemen Konstitusi ke-74 pada tahun 1992 yang memuat
sebuah strategi untuk memberdayakan kelompok-kelompok yang termarjinalkan di
desa-desa untuk bisa ikut terlibat aktif dalam decision making process. Strategi
yang dimaksud adalah kuota reservasi untuk (1) perempuan, (2) kasta bawah (SC),
dan (3) Suku Minoritas (ST). Kuota ini diberlaku sebagai kuota jadi10 dimana untuk
SC dan ST berlaku proporsi yang disesuaikan dengan persentase populasi mereka
di suatu daerah pemilihan PRI (baik untuk Zila Parishad, Panchayat Samiti, maupun
Gram Panchayat) dan untuk perempuan berlaku proporsi baku sebesar 33%.

10
Artinya, kursi direservasi bukan di tahap pencalonan, melainkan di tahap akhir. Jadi, 33% kursi
di tiga lapis PRI akan selalu direservasi untuk perempuan, meskipun yang terpilih melalui pemilihan
langsung tidak mencapai persentase tersebut. Mekanisme penunjukkan perempuan yang menempati
kursi reservasi tanpa menang pemilihan diserahkan kepada Lok Sabha (parlemen India). Hingga
tulisan ini dibuat, belum ada sanksi khusus yang diberlakukan untuk pelanggaran terhadap ketentuan
kuota. Hal ini menjelaskan fakta adanya negara bagian yang belum berhasil mencapai ambang batas
ini.
27

Amandemen ini sekaligus menetapkan secara resmi ketiga lembaga PRI; Zila
Parishad pada level Distrik, Panchayat Samiti pada level Blok, dan Gram Panchayat
pada level Desa, beserta cakupan wewenang, tugas, dan fungsinya. Selain itu,
terdapat pula Komite Perencanaan Distrik, untuk menyiapkan rancangan rencana
pengembangan untuk Distrik (Panchayat Election, 2016). Sampai saat tulisan ini
dibuat, sistem Panchayati Raj Institution sudah ada secara lengkap dan berfungsi
penuh di semua Negara bagian, kecuali Nagaland, Meghalaya, dan Mizoram
(Panchayat Election, 2016).11

2.2 Sejarah Perjuangan Kuota Perempuan di India


Kuota perempuan telah lama diperdebatkan di India. Aturan ini sempat
muncul pertama kali pada tahun 1935 sebagai bagian dari UU Pemerintah India,
menghilang pada tahun 1950 seiring diberlakukannya konstitusi baru, dan muncul
kembali pada tahun 1988 sebagai bagian dari National Perspective Plan for
Women. Sementara isunya sendiri terangkat ke permukaan ketika adanya gerakan
nasionalis pada tahun 1920-an. Gerakan perempuan itu menentang keras kuota
perempuan atas dasar hak kewarganegaraan yang setara. Setelah kemerdekaan,
Konstitusi India Tahun 1950 tidak memasukkan kuota khusus bagi perempuan
untuk kepentingan mengakui kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan.

Proposal untuk diberlakukannya kuota reservasi untuk perempuan muncul


kembali pada tahun 1957 dalam konteks diskusi mengenai sistem baru pemerintah
daerah, ketika komite yang bertugas membuat rekomendasi, menyarankan agar
semua dewan lokal menyertakan setidaknya dua orang perempuan di setiap
lembaga pemerintah lokal (Rai, 2017:61). Versi final undang-undang yang
disahkan pada tahun 1959 tidak membuat persyaratan khusus mengenai perempuan,
tetapi mengizinkan para pemimpin lokal untuk mencalonkan beberapa orang ke
dewan jika tidak ada perempuan yang terpilih secara langsung sama sekali.

Fase berikutnya untuk perjuangan kuota perempuan dimulai pada 1970-an


hingga awal 1980-an. Di era tersebut, organisasi internasional Perserikatan Bangsa-

11
Sampai saat tulisan ini dibuat, India memiliki 29 Negara bagian dan hanya 3 Negara bagian yang
belum memiliki sistem PRI.

Universitas Indonesia
28

Bangsa (PBB) mulai mengakui pentingnya perempuan dalam kehidupan publik,


yang akhirnya bermuara pada Konferensi PBB Tentang Perempuan yang diadakan
di Meksiko. Konferensi tersebut secara umum membahas mengenai status
perempuan di seluruh dunia dan diakhiri dengan deklarasi Dekade Untuk
Perempuan (United Nations Decade for Women) pada tahun 1975. Pemerintah
India segera meratifikasi berbagai konvensi internasional dan instrumen jaminan
hak yang sama untuk perempuan dan menunjukkan komitmennya dengan
membentuk Committee on The Status of Women in India (Komisi Status
Perempuan atau CSWI). CSWI memiliki dua tugas. Pertama, memeriksa
konstitusi, hukum dan ketentuan administrasi yang memiliki kaitan dengan status
sosial, pendidikan, dan pekerjaan perempuan. Kedua, menilai dampak dari
ketentuan-ketentuan tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan pemberdayaan
perempuan.

Dalam melakukan tugasnya, CSWI banyak menyelenggarakan studi


komprehensif tentang status perempuan dan mengembangkan intervensi kebijakan
yang tepat berdasarkan hasil analisis mereka tentang ekonomi, hukum, politik,
pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sosial-budaya perempuan (High Level
Committee on the Status on Women, 2015). Studi komprehensif ini telah dimulai
sejak 1989. Hasil dari studi ini dipublikasikan dalam laporan berjudul Towards
Equality. Laporan yang dikeluarkan oleh CSWI disertai dengan analisis situasi.
Data dalam penelitian mereka diperkaya dengan berbagai perbincangan tatap muka
dengan para ahli, akademisi, dan pejabat pemerintah.

CSWI mengunjungi tujuh negara bagian India, berinteraksi dengan pejabat


senior di 15-17 departemen di setiap negara bagian (seperti Ketua dan Anggota
Dewan Kesejahteraan Sosial Negara, dan Komisi Negara untuk Perempuan), dan
melakukan kunjungan lapangan ke desa-desa yang mencakup beberapa distrik di
negara bagian. Kelompok perempuan yang ditemui berulang kali menyinggung
reservasi kursi sebagai satu-satunya solusi yang bisa membantu untuk
meningkatkan akses perempuan ke politik di tingkat lokal, negara bagian, dan
nasional. Sejumlah anggota CSWI yang melakukan penelitian lapangan
memasukkan argumen-argumen ini dalam laporan akhir, tetapi mayoritas anggota
CSWI menolak rekomendasi penerapan kuota dengan alasan bahwa hal ini
29

merupakan langkah mundur yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam


konstitusi. Namun demikian, beberapa anggota mengakui bahwa reservasi mungkin
diperlukan di tingkat lokal untuk memastikan kepentingan perempuan pedesaan.
Akhirnya, direkomendasikanlah agar dibentuk sebuah Dewan Perempuan yang
dipilih langsung oleh warga perempuan setempat. Dewan ini harus dibentuk di
setiap desa dan diberi tanggung jawab untuk mengelola program kesejahteraan dan
pembangunan untuk perempuan dan anak-anak sebagai bagian dari program
pemberdayaan perempuan dari pusat (Parween, 2014:99).

Setelah perdebatan mengenai kuota perempuan semakin mengemuka,


sejumlah partai politik pun terdorong untuk meningkatkan proporsi perempuan di
antara kandidat mereka, khususnya partai Bharatiya Janata Party (BJP), Communist
Party of India (CPI), dan Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)). Tetapi,
sebagian besar merespons secara negatif dan oleh karenanya tidak mengambil
tindakan nyata untuk memfasilitasi akses perempuan ke politik. Sementara itu,
sejumlah partai politik yang pro dengan ide tersebut tetap bergerak secara mandiri
memberlakukan kuota perempuan di dalam pemerintahan lokal, yakni Janata Party
(JNP) (yang sejak tahun 2013 bertransformasi menjadi Bharatiya Janata Party
(BJP)) di Karnataka yang memberlakukan reservasi 25% kursi untuk perempuan di
Dewan Panchayat dan Dewan Distrik12 pada tahun 1983, kemudian Telugu Desam
Party (TDP) di Andhra Pradesh yang memberlakukan reservasi 9% kursi untuk
perempuan di perusahaan perkotaan milik pemerintah lokal dan Dewan Distrik,
Blok, dan Desa pada tahun 1990, serta Communist Party of India (Marxist)
(CPI(M)) di Kerala yang memberlakukan reservasi 30% kursi untuk perempuan di
Dewan Distrik pada tahun 1991.

Di tengah perkembangan isu ini, Rajiv Gandhi yang saat itu sedang
berkuasa di India sebagai Perdana Menteri, memandang status perempuan sebagai
isu yang patut diprioritaskan dan setuju untuk membuka kembali rekomendasi
CSWI terkait pemberlakuan kuota dalam pemerintahan lokal. Pemerintahannya
merespons masalah ini dengan mengartikulasikan masalah tersebut dalam National
Perspective Plan (NPP) pada tahun 1988. NPP adalah rencana lima tahunan

12
Lembaga Proto PRI.

Universitas Indonesia
30

Pemerintah India yang dibuat sejak India merdeka pada tahun 1947. Rencana lima
tahun ini dirancang oleh Komisi Perencanaan Nasional yang bertugas merumuskan
secara rinci perencanaan lima tahuan di bawah suatu administrasi pemerintahan,
dimana perencanaan yang dibuat haruslah mengarah pada pemanfaatan sumber
daya alam, sumber daya modal, dan sumber daya manusia yang dimiliki negara
India secara efektif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Planning
Commission Government of India, 2001).

Draft pertama NPP dalam pemerintahan Gandhi memasukkan rekomendasi


30% reservasi kursi untuk perempuan di semua lembaga perwakilan politik yang
dikontestasikan melalui sebuah mekanisme Pemilu, dari mulai PRI sampai ke Lok
Sabha dan Rajya Sabha 13 . Tetapi, draft tersebut ditentang oleh banyak oposisi.
Akhirnya, setelah berkonsultasi dengan kelompok-kelompok perempuan dan sayap
perempuan dari berbagai pihak, pemerintah memutuskan untuk menguji gagasan
tersebut di tingkat lokal terlebih dahulu dan kemudian, setelah perempuan
memperoleh pengalaman dalam politik elektoral, barulah akan diperluas ke tingkat
nasional. Gagasan ini akhirnya berhasil diwujudkan melalui Amandemen
Konstitusi India ke-74 Tahun 1992 (Parween, 2014:100). Dalam pemilihan pertama
setelah undang-undang baru berlaku, ratusan ribu perempuan memasuki lembaga-
lembaga politik, menghancurkan mitos bahwa perempuan India pada dasarnya
tidak tertarik dengan proses politik. Amandemen konstitusi India ke-73 dan ke-74
merupakan tonggak utama untuk memberdayakan perempuan India. Dampak
kebijakan ini telah membuahkan hasil dan telah memberdayakan perempuan,
khususnya secara politik.

2.3 Fungsi PRI dan Ruang untuk Akomodasi Kepentingan Perempuan


Dalam membahas bagaimana dampak peningkatan keterwakilan deskriptif
perempuan di PRI terhadap akomodasi kepentingan perempuan, menjadi penting
untuk memahami posisi PRI di dalam struktur kekuasaan politik negara dan hal apa
saja yang termasuk dalam cakupan wewenangnya. Pertama-tama, penulis akan
menyajikan posisi PRI dalam struktur kelembagaan pemerintahan India terlebih

13
Kedua lembaga Parlemen di India, dengan Lok Sabha sebagai lower house dan Rajya Sabha
sebagai upper house.
31

dahulu. Pemerintahan India terbagi ke dalam tiga tingkatan otonomi (lihat bagan
2.1), yaitu (1) Pemerintah Union (berotonom di pusat), (2) Pemerintah Negara
Bagian (berotonom di negara bagian), dan (3) Pemerintah Lokal yang terbagi ke
dalam (a) Nagar Palika (pemerintah kota) dan (b) Panchayati Raj Institution
(pemerintah desa). Posisi PRI berada di bawah cakupan pemerintah lokal untuk
wilayah pedesaan (rural).
Pemerintah union memiliki Presiden, Wakil Presiden, dan Kabinet sebagai
lembaga eksekutif, Lok Sabha (lower house) dan Rajya Sabha (upper house)
sebagai lembaga legislatif, serta Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif.
Pemerintah negara bagian memiliki seorang Gubernur, Menteri Kepala (Chief
Minister), dan Dewan Menteri sebagai lembaga eksekutif, Vidhan Sabha dan
Vidhan Parishad sebagai lembaga legislatif, serta Pengadilan Tinggi sebagai
lembaga yudikatif. Di level paling bawah, ada pemerintah lokal yang terbagi ke
dalam dua wilayah otonomi, yakni wilayah kota dan wilayah desa. Penulis tidak
akan membahas secara mendalam mengenai keseluruhan struktur pemerintah India,
melainkan langsung masuk kepada Panchayati Raj Institution.
Panchayati Raj Institution (PRI) adalah sebuah badan otonom lokal yang
bekerja sebagai sebuah lembaga perwakilan sekaligus eksekutif, dimana semua
anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). PRI terdiri atas tiga
lapis desentralisasi, yakni Zila Parishad yang berada di tingkat Distrik, kemudian
Panchayat Samiti yang berada di tingkat Blok, dan di paling bawah ada Gram
Panchayat yang berotonom di tingkat Desa. Ketiga lembaga ini sama-sama
berperan sebagai lembaga eksekutif dengan cakupan wewenang yang berbeda.

Universitas Indonesia
32

Bagan 2.1 Struktur Kelembagaan Pemerintahan India

Pemerintah Union

Presiden, Wakil Rajya Sabha &


Mahkamah Agung
Presiden, Kabinet Lok Sabha

Pemerintah Negara Bagian

Gubernur, Vidhan Sabha &


Pengadilan
Menteri Kepala, Vidhan Parishad
Tinggi
& Dewan Menteri

Pemerintah Lokal

Panchayati Raj
Nagar Palika
Institution

Municipal Councils Zila Parishad

Municipal Corporations Panchayat Samiti

Nagar Panchayat Gram Panchayat

Sumber: Olahan sendiri dari berbagai sumber14

Secara umum, PRI dapat dilihat sebagai sebuah lembaga desentralisasi


eksekutif (model desentralisasinya dapat dilihat di tabel 2.1) yang memiliki
wewenang mengatur beberapa urusan berikut (Shah & Pandya, 1989:175-176).
Pertama, konstruksi, perbaikan, dan perawatan jalan publik. Kedua, penerangan
jalan dan tempat umum. Ketiga, pembangunan saluran air dan manajemen limbah

14
Reserve Bank of India, Amandemen Konstitusi ke-74 India, www.india.gov.in
33

rumah tangga. Keempat, manajemen kebersihan jalan dan pengelolaan sampah.


Kelima, pembangunan sanitasi umum dan septic tank. Keenam, pembangunan dan
perawatan pemakaman umum dan lahan pembakaran mayat. Ketujuh,
pembangunan dan perbaikan sumber air bersih (sumur), waduk, bendungan, dan
danau buatan. Kedelapan, mekanisme pencegahan dan pengobatan wabah penyakit,
seperti Malaria dan Demam Berdarah (DBD). Kesembilan, pembatasan
perdagangan yang melibatkan produk berbahaya atau menyinggung masyarakat.
Kesepuluh, pembangunan dan perawatan sistem irigasi. Kesebelas, pendaftaran
kelahiran dan kematian. Kedua belas, pembangunan, perawatan, dan pengelolaan
fasilitas kesehatan umum. Ketiga belas, penyediaan bibit, pupuk, dan pembunuh
hama untuk petani. Keempat belas, pembangunan dan pengelolaan fasilitas
pendidikan umum (Mishra, 2016).

Tabel 2.1 Model Devolusi Kekuasaan dalam Desentralisasi PRI

Elemen Penjelasan

Memberikan ruang-ruang pembuatan keputusan baru


lewat otonomi di level akar rumput (desa), dimana warga
Desentralisasi Politik
desa dapat menentukan formulasi kebijakan dan rencana
pembangunan mereka sendiri di wilayah mereka.

Menempatkan tanggungjawab pelaksanaan administrasi,


Desentralisasi
terkait dengan pendataan sipil dan urusan kependudukan
Administratif
lainnya di tingkat distrik, blok, dan desa.

Memberikan wewenang untuk mengatur penerimaan


(tidak terbatas dari pusat saja) dan pengeluaran (tidak
Desentralisasi Ekonomi
terikat pada rencana/program pusat) kepada pemerintah
lokal di tingkat distrik, blok, dan desa.

Sumber: Mishra, 2016

Wewenang PRI diselenggarakan dengan cara demokrasi deliberatif, dimana


setiap anggota dapat bersuara secara bebas di dalam rapat-rapat Panchayat.
Sebagian besar dari wewenang PRI berada pada level Gram Panchayat. Zila
Parishad memiliki wewenang paling sedikit, yakni hanya mengintegrasikan
rencana tiap-tiap Panchayat Samiti ke dalam satu rencana Distrik dan

Universitas Indonesia
34

mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan dari rencana


mereka. Zila Parishad juga yang mengajukan rencana Distrik tersebut ke
pemerintah negara bagian untuk mendapat persetujuan dan alokasi anggaran.
Sementara itu, wewenang dari Panchayat Samiti adalah membuat dan
melaksanakan rencana (program) untuk level Blok. Biasanya terkait dengan
pembangunan jalan, pengadaan pupuk atau alat-alat pertanian, sistem distribusi air
tanah, pembangunan rumah-rumah penampungan orang miskin, panti jompo, dan
panti asuhan, serta pembangunan fasilitas kesehatan di tingkat Blok yang lebih
lengkap dibandingkan dengan fasilitas kesehatan di tingkat Desa.

Sementara itu, Gram Panchayat menyusun dan melaksanakan rencana


hampir untuk segala urusan terkait kebutuhan hidup dasar, seperti sanitasi dan
septic tank, sumber air rumah tangga, pengelolaan sampah (limbah) rumah tangga,
pengadaan listrik, pembangunan sekolah dasar dan menengah, serta pembangunan
fasilitas kesehatan tingkat pertama 15 . Selain itu, Gram Panchayat juga menjadi
distributor untuk pengadaan barang/jasa ataupun program yang dirancang dan
dilaksanakan oleh Panchayat Samiti (umumnya terkait dengan pengadaan alat atau
bahan-bahan pertanian) maupun rencana atau program dari pemerintah pusat. Dana
untuk seluruh rencana atau program dari PRI didapat dari pemerintah negara
bagian, namun Gram Panchayat dapat mengumpulkan dana secara mandiri dan
mempergunakannya untuk program yang disusun secara mandiri (tidak mengikuti
rancangan dari pusat maupun negara bagian, distrik, atau blok). Wewenang Gram
Panchayat yang banyak ini akan penulis petakan dalam beberapa ranah isu sesuai
dengan kerangka konsep dalam kebijakan sensitif gender yang telah penulis bahas
di bab sebelumnya (pemetaan ini dapat dilihat di Tabel 2.2).
Tampak bahwa sebagian besar wewenang PRI berkaitan dengan sejumlah
kebutuhan dasar masyarakat pada umumnya, seperti sanitasi, pembersihan jalan
umum, irigasi kecil, toilet umum, perawatan kesehatan primer, vaksinasi,
penyediaan air minum, pembangunan sumur umum, elektrifikasi pedesaan,
kesehatan sosial dan pendidikan untuk anak maupun dewasa, dan seterusnya

15
Penulis menggunakan istilah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang lazim
dipergunakan untuk merujuk pada fasilitas kesehatan dasar yang mampu melayani kebutuhan
umum, seperti layanan dokter umum, layanan konsultasi kehamilan dan proses persalinan, serta
layanan pertolongan pertama pada kecelakaan.
35

(Mishra, 2016). Di tingkat desa, terdapat sejumlah contoh fungsi wajib Gram
Panchayat dimana fungsi tersebut bergantung pada sumber daya yang ada di desa
tersebut. Fungsi-fungsi tersebut meliputi penanaman pohon di pinggir jalan,
mendirikan pusat pembibitan untuk sapi, mengatur kesejahteraan anak dan
persalinan, mempromosikan pertanian, dan sebagainya.

Tabel 2.2 Pemetaan Wewenang dan Program yang Dapat Dikembangkan di


Panchayat

Ranah Wewenang Program

Menyusun dan
melaksanakan Kepengurusan Gram Panchayat,
Politik Keanggotaan Gram Panchayat, Gram
rencana/program tingkat
desa Sabha.

Pembangunan fasilitas pendidikan dasar


dan menengah, pembangunan fasilitas
kesehatan, pengadaan listrik dan sumber
Pembangunan infrastruktur
air bersih, pembangunan sanitasi, serta
pembuatan sistem manajemen sampah
dan limbah rumah tangga.

Ekonomi Program pemberdayaan, pelatihan


Pengentasan kemiskinan informal untuk UKM maupun
masyarakat umum.

Pembangunan pertanian, peternakan,


Pengadaan sumber-sumber sistem irigasi, koperasi, dan penciptaan
ekonomi lapangan kerja dengan proyek-proyek
untuk warga desa.

Program khusus untuk kelompok


Sosial- Pemberdayaan kelompok marjinal, termasuk misalnya bisa saja
Budaya marjinal dalam bentuk kuota lapangan kerja pada
saat ada proyek ataupun pelatihan
pengembangan skill.

Sumber: Olahan sendiri dari Mishra, 2016

Melalui amandemen ke-73, fungsi dan wewenang PRI, khususnya Gram


Panchayat (yang selama ini sebagian besarnya telah dipraktikkan oleh lembaga-

Universitas Indonesia
36

lembaga Proto PRI di banyak desa) menjadi terformalisasi dan memiliki rincian-
rincian yang jelas (Mishra, 2016). Selain itu, ditambahkan pula amanat dari
amandemen ke-74 untuk menghadirkan suara dari kelompok marjinal secara
proporsional. Ada pula sejumlah wewenang yang tidak tertulis secara langsung,
misalnya wewenang untuk melaksanakan pemilihan penerima manfaat
(beneficiaries) dari program-program yang diturunkan dari pusat maupun
distrik/blok. Kemudian, ada pula sejumlah wewenang khusus, seperti pengadaan
proyek pengelolaan pabrik biogas yang telah diberikan kepada Gram Panchayat di
beberapa negara bagian (Mishra, 2016).

Dengan melihat jangkauan otonomi PRI yang luas dan siginifikan terhadap
isu-isu fundamental kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, tentu saja peluang
untuk mengakomodasi kepentingan perempuan melalui formulasi kebijakan di PRI
sangat besar. Keberadaan kuota yang mendorong lebih banyak perempuan hadir
dalam politik, khususnya melalui kursi-kursi di PRI, membuka kesempatan untuk
perempuan mengartikulasikan kepentingannya lewat pembuatan keputusan di PRI.
Nyaris seluruh fungsi dari PRI bisa berdampak langsung terhadap kesejahteraan
perempuan. Terutama di Gram Panchayat, dalam rangka penyaluran program-
program pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan dari pusat, para Sarpanch dan
Panchas dapat secara khusus menargetkan kelompok masyarakat tertentu, tentu saja
tidak terkecuali perempuan.
BAB III

KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PRI DAN DAMPAKNYA


TERHADAP AKOMODASI KEPENTINGAN PEREMPUAN DI KERALA:
DARI PERWAKILAN DESKRIPTIF KE SUBSTANTIF

Setelah membahas mengenai pembentukan PRI, penerapan kuota, serta


bagaimana kewenangan di dalam PRI memberikan ruang-ruang untuk terjadinya
artikulasi kepentingan perempuan dalam formulasi kebijakan, di bab ini penulis
akan langsung fokus pada negara bagian yang menjadi subjek penelitian ini, yakni
Kerala. Pertama, penulis akan membahas secara umum latar belakang sosial-politik
masyarakat Kerala, termasuk persoalan yang menyangkut hajat hidup
(kepentingan) perempuan di Kerala, kemudian bagaimana terjadi peningkatan
keterwakilan deskriptif di PRI Kerala sekaligus profil keterpilihan perempuan di
PRI Kerala. Kedua, penulis akan membahas bentuk-bentuk akomodasi kepentingan
perempuan yang menjadi dampak dari meningkatnya keterwakilan deskriptif
perempuan di PRI. Akomodasi ini merupakan pengejawantahan dari perwakilan
substantif. Ketiga, penulis akan menggambarkan keterbatasan keterwakilan
perempuan dengan mengelaborasi sejumlah kepentingan perempuan yang belum
terdampak.

3.1 Profil Kerala


3.1.1 Konteks Sosial-Politik di Kerala
Kerala sebagai suatu bangsa dan negara tumbuh dalam sejarah yang berbeda
dengan negara bagian lain di India. Sejak awal kemerdekaan India, Kerala sudah
menunjukkan gejala progresivitas dalam hal kebijakan-kebijakan yang menyangkut
kesetaraan antar manusia (terutama terkait dengan afirmasi untuk kelompok-
kelompok yang termarjinalkan). Di dalam Konstitusi India Tahun 195016, terdapat
agenda reformasi struktural untuk menghapuskan diskriminasi kasta (Thomas,
2006:6). Titik cerah agenda tersebut baru muncul dua dekade kemudian, saat
diterbitkan Undang-Undang Anti Diskriminasi dalam Penerimaan Kerja dan Di
Lingkungan Kerja Tahun 1970, yang secara khusus melindungi para pekerja yang

16
India masih berupa Demokrasi Satu Partai (Single Party Democracy) di bawah kekuasaan
Congress Party.

37 Universitas Indonesia
38

berlatar belakang kasta bawah (SC). Wilayah India selatan, terutama Kerala, jauh
lebih cepat mengadopsi kebijakan afirmasi tersebut dibanding wilayah utara
(Kumar, 1992:294 dalam Thomas, 2006:7). Meskipun awalnya Congress Party
tidak begitu akrab dengan reformasi kasta, namun pasca separasi partai sepeninggal
Nehru pada tahun 1970-an, persaingan melawan partai-partai lain mendorong
Congress Party untuk ikut tenggelam dalam narasi anti diskrminasi, terutama dalam
kaitannya dengan pemberdayaan kasta bawah (SC) dan suku minoritas (ST).
Terdapat sejumlah paket kebijakan yang diberlakukan secara nasional yang
terkait langsung dengan pemberdayaan SC dan ST, antara lain kuota lapangan
kerja, pendidikan, dan beragam kebijakan kesejahteraan lainnya (bantuan langsung,
jaminan kesehatan, dan sebagainya). Jumlah SC dan ST yang mencapai 52%
populasi membuat kebutuhan akan pemberdayaan menjadi niscaya. Dari sinilah
muncul inisiatif untuk memberikan kuota di semua jejaring pemerintah; Pekerjaan
di BUMN (termasuk bank milik negara) dan Insititusi Negara (Kementerian,
Parlemen, dan seterusnya), serta pendidikan di Universitas dan Sekolah Negeri
(Thomas, 2006:11).
Motivasi partai untuk menyediakan kebijakan ramah SCT adalah semata-
mata kebutuhan elektoral (Parikh, 1997 dalam Thomas, 2006:12). Mengutip
Thomas (2004:13), “Political parties also made rational calculations and
supported reservations in order to strengthen their electoral bases” (“Parpol
membuat kalkulasi rasional dan mendukung reservasi dalam rangka memperkuat
basis pemilih mereka”). Selain untuk kepentingan elektoral, kuota juga diperlukan
untuk stabilitas dalam masa pemulihan India pasca separasi Pakistan. Reformasi
gender dimulai jauh lebih belakangan dibanding reformasi kasta yang dengan cepat
ditindak lanjuti oleh berbagai pihak (khususnya karena ada insentif elektoral untuk
partai politik).
Apabila ditelusuri ke belakang, Kerala telah melalui sejumlah tahapan
pembangunan politik yang membuat praktik PRI dan kuota reservasi sudah
memiliki pijakan sosiologis yang cukup solid di tengah masyarakat Kerala.
Sebelum memasuki abad ke-9, terdapat institusi Manram di setiap desa yang telah
memiliki musyawarah sejenis Gram Sabha yang dihadiri oleh para tetua yang
merupakan laki-laki yang dituakan oleh penduduk desa untuk menentukan hal-hal
39

yang menyangkut urusan bersama (urusan publik). Lalu, memasuki abad ke-9
sampai dengan abad ke-12, di era kekuasaan dinasti Chera, mulai terbentuk dewan
lokal yang bernama Munnuttavar, yang juga hanya berisi laki-laki.
Terdapat tiga lapis daerah administratif pada masa itu, yakni Nadus,
Desams, dan Tara. Tara dikelola oleh Panchayat dengan 5 orang kepala yang
semuanya adalah laki-laki dari kasta atas (Chachko, 1993:64-5). Kerala memasuki
era modern pada tahun 1960 dan salah satu perubahan besar dalam politiknya
ditandai dengan diberlakukannya UU Panchayat Kerala. Regulasi ini telah
mengalami evolusi panjang dari UU Panchayat Cochin yang berlaku pada tahun
1914, kemudian UU Panchayat Travancore tahun 1925, UU Panchayat Travancore-
Cochin 1950, dan UU Panchayat Desa Madras 1950. UU Panchayat Kerala 1960
mulai diberlakukan pada 1 Januari 1962 meliputi 922 Panchayat dan memasuki
Pemilu perdana pada tahun 1963 (Chachko, 1993:67). UU Panchayat Kerala yang
diberlakukan pada tahun 1960 dimaksudkan untuk mempersatukan,
mengonsolidasi, sekaligus menyempurnakan segala macam perundangan yang
berkaitan dengan PRI (Chachko, 1993:120).
Dengan melihat sejarah Kerala, dapat diketahui bahwa proses reformasi
gender di Kerala sudah dimulai lebih cepat dari negara bagian lainnya di India. Pada
tahun 1960, Kerala sudah memberlakukan reservasi kursi di Panchayat dengan
format 1 kursi untuk perempuan, 1 kursi untuk SC, dan 1 kursi untuk ST (Biju,
1991:189). Sebelumnya, Panchayat selalu didominasi laki-laki, terutama mereka
yang datang dari kasta atas (Thomas, 2006:20). Kerala mempraktikkan kuota
dengan aturan ini sampai dengan diberlakukannya PRI secara formal dan kuota
perempuan melalui amandemen ke-73 dan 74 Konstitusi India.
Amandemen ke-73 dan 73 ini telah menciptakan 1.583 lowongan kekuasaan
untuk perempuan di tingkat Distrik dengan tambahan 158 kursi Ketua Panchayat
Samiti. Di Kerala, pemilihan PRI pertama diadakan pada tahun 1995, ada 990 Gram
Panchayat dengan jumlah total 19.762 anggota, 6.521 kursi diantaranya direservasi
untuk perempuan. Ada 262 Panchayat Samiti yang terdiri dari 2.543 kursi, dimana
840 kursi diantaranya disediakan untuk perempuan. Di 14 Zila Parishad, 204 dari
600 kursi disediakan untuk perempuan (Local Self Government Department of
Kerala).

Universitas Indonesia
40

Sejarah praktik Panchayat di Kerala yang jauh lebih dahulu telah


mencatatkan beberapa perubahan nyata dalam hal keterwakilan deskriptif
perempuan dari zaman sebelum diberlakukannya kuota hingga zaman setelah
diberlakukannya kuota. Sebelum adanya reservasi kuota untuk perempuan di PRI,
yang merupakan suatu institusi politik, 90% perempuan yang berada dalam institusi
politik bisa berada di sana semata-mata karena jaringan kekerabatan dari pihak
ayah, saudara laki-laki, atau suaminya. Tanpa itu semua, maka tidak mungkin
perempuan bisa berpolitik.
Dalam salah satu penelitian, banyak anggota dewan perempuan setuju
bahwa suami mereka yang berada dalam politik telah berperan penting dalam
mendapatkan kursi partai untuk ikut serta dalam pemilihan. Sebelum adanya
amandemen ke-74, hanya perempuan dalam masyarakat elite yang menikmati hak
istimewa untuk berpartisipasi dalam politik (Mandol, 2010). Jumlah perempuan
yang terlibat, baik sebagai anggota maupun kepala, di tubuh PRI sepanjang sejarah
berdirinya di Kerala sangat rendah. Misalnya saja data partisipasi perempuan di
Panchayat pada tahun 1979-1980. Dari 12.248 kursi anggota Gram Panchayat,
hanya 9% yang diisi oleh perempuan, dan hanya 506 perempuan yang berhasil
terpilih sebagai Sarpanch.
Konteks sejarah Kerala yang sudah jauh lebih dahulu dalam mengenal
tradisi local bodies ini membuatnya unik dan PRI di sana jauh lebih cepat
berkembang mendahului negara bagian lainnya. Kesadaran politik masyarakatnya
sudah cukup matang akibat praktik musyawarah desa yang berlangsung berabad-
abad. Selain itu, sejak awal terbentuk, rerata populasi penduduk dan pendapatan
ekonomi yang dibawahi satu Panchayat di Kerala juga jauh lebih besar dari yang
ada di negara bagian lain. Kemudian, angka literasi penduduknya juga lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk negara bagian lain (Chachko, 1993:69-70).
Kemapanan PRI di Kerala bisa dilihat dari kondisi perkembangan cara
pengelolaan lembaga-lembaga PRI di sana dalam satu dekade pertama berlakunya
PRI sebagai institusi Negara India yang sah. Di penghujung tahun 2000, Setiap
Panchayat di Kerala sudah memiliki infrastruktur pembangunan ekonominya
sendiri. Mereka mempunyai skema remunerasi untuk pekerja publik dan sejumlah
aset produktif antara lain, pasar, halte bis, tenda perkawinan, area perbelanjaan, dan
41

lain sebagainya. Selain itu, sebagian besar Panchayat juga memiliki gedung kantor
dan sejumlah pekerja tetap yang bekerja penuh waktu (full time). Kondisi Kerala
dengan modal sosial yang sudah cukup besar ini menjadi menarik untuk diteliti,
untuk melihat bagaimana manfaat dari kebijakan afirmasi di masyarakat yang
progresif.

3.1.2 Permasalahan Perempuan di Kerala


Di dalam membaca kepentingan perempuan di Kerala, pengamatan
terhadap permasalahan yang dihadapi oleh perempuan menjadi penting. Nantinya,
akan dapat dilihat juga apakah peningkatan keterwakilan deskriptif perempuan
dapat memunculkan inisiatif pengentasan atau strategi respons terhadap
permasalahan perempuan. Secara politik dan ekonomi (struktural), perempuan
mengalami banyak persoalan. Selain rendahnya keterlibatan perempuan dalam
struktur kekuasaan politik, perempuan juga mengalami subordinasi dalam ekonomi
yang membuat mereka sulit untuk mandiri (Nair, 1998). Pada tahun 1988-1989,
tren sumber pendapatan di Kerala adalah 35,6% dari sektor primer (pertanian,
pertambangan, kehutanan, dan perikanan), 23,5% dari sektor sekunder (industri
pengolahan, seperti manufaktur dan konstruksi), dan 40,3% dari sektor tersier
(jasa). Pada tahun 1981, tingkat partisipasi kerja (WPR) untuk perempuan adalah
16,9% di Kerala. Ini berarti proporsi perempuan yang bekerja tidak sampai 20%
dari seluruh populasi perempuan usia kerja di Kerala.
Angka tersebut jauh berada di bawah negara bagian lainnya; 34,8% di
Andhra Pradesh, 29,3% di Karnataka, 30,9% di Tamil Nadu, dan 22,7% dalam data
rata-rata keseluruhan India. Sebagian besar pekerja utama perempuan di Kerala
bekerja sebagai buruh tani (36,1%), diikuti oleh buruh pabrik (23,7%), dan jasa
(14,8%) (Nair, 1998). Proporsi terbesar pekerja perempuan ada di industri sabut,
mete, dan kerajinan tangan. Tiga industri ini mencakup sekitar 600.000 pekerja
perempuan. Sekitar 100.000 perempuan bekerja di perkebunan. Proporsi ini jauh
melampaui proporsi perempuan yang bekerja di sektor publik atau swasta
dibandingkan kondisi di Negara bagian India selatan lainnya. Pekerjaan
perempuan, di Kerala, berbeda dari kebanyakan Negara bagian India lainnya

Universitas Indonesia
42

dimana perempuan sudah banyak menjadi pekerja kerah putih di pemerintahan dan
bank.
Padahal, perempuan di Kerala memiliki literasi yang tergolong tinggi,
bahkan terbaik di India, namun mereka tetap tidak terserap dengan baik oleh pasar
kerja. Lihat tabel 3.1 untuk membaca sebaran literasi di tiap-tiap distrik di Kerala.

Tabel 3.1 Tingkat Literasi Perempuan & Laki-Laki (Berusia 7 Tahun ke Atas) di
Tiap-Tiap Distrik di Kerala (1990 dan 2000)
Distrik 1990 2000
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
(%) (%) (%) (%)
Kasaragod 89 76,3 90,8 79,8

Kannur 95,5 87,7 96,4 89,6

Wayanad 87,7 77,7 90,3 80,8

Kozhikode 95,6 86,8 96,3 88,9

Malappuram 92,1 84,1 91,5 86

Palakkad 87,2 75,7 89,7 79,3

Thrissur 93,8 86,9 95,5 89,9

Ernakulam 95,4 89,2 95,9 91

Idukki 90,9 83 92,1 85

Alappuzha 96,8 91,1 97,4 94,5

Kottayam 97,5 94 96,4 91,1

Pathanamthitta 95,6 93,3 96,6 93,7

Kollam 94,1 87 94,6 88,6

Thiruvananthapuram 92,8 85,8 92,7 86,3

Rata-rata 93,6 86,2 94,2 88

Sumber: Census of India, 2001


Di semua distrik yang ada di Kerala, sejak tahun 1990, literasi perempuan
telah mencapai di atas 75%. Rata-rata dari semua distrik adalah 86,2%. Kemudian,
angka ini mengalami peningkatan di tahun 2000, dengan literasi tertinggi
43

perempuan mencapai 94,1% di Distrik Alappuzha. Hal ini menunjukkan dengan


jelas betapa tingginya literasi perempuan di Kerala. Perbandingan antara kondisi
Kerala dengan rata-rata di seluruh India dapat dilihat di tabel 3.2 pada bagian
komponen “Tingkat Literasi Perempuan”. Tingkat literasi perempuan di Kerala
pada tahun 2000 mencapai angka 88%, sedangkan rata-rata seluruh negara bagian
lain di India hanya mencapai 54,2%.
Kondisi lainnya, misalnya saja harapan hidup perempuan di Kerala juga
relatif baik dan konsisten mengalami peningkatan sejak sensus tahun 1951 dimana
tingkat kemajuan harapan hidup perempuan melebihi laki-laki (lihat tabel 3.2). Di
tahun 1990, usia harapan hidup untuk mencapai di atas 72 tahun dibandingan
dengan laki-laki yang hanya 67 tahun. Selain itu, Kerala juga memiliki tingkat
melek huruf yang tinggi, baik bagi perempuan maupun laki-laki, terutama jika
dibandingkan dengan rata-rata nasional.

Tabel 3.2 Komponen Gender Development Index Kerala dan India (1990 dan 2000)

India Kerala
Komponen
1985 2000 1985 2000
Usia Harapan Hidup Perempuan 54,7 65,3 71,8 74
Rata-rata Usia Saat Menikah Pertama Kali
18,3 19,5 20 22
untuk Perempuan (tahun)
Angka Kelahiran (per 1.000 populasi) 25,4 27,2 26,4 16
Angka Kematian Bayi (per 1.000 kelahiran) 79 71 41 15,3
Tingkat Literasi Perempuan (%) 29,8 54,2 66 88
Sumber: Laporan Tahunan National State Planning Board dalam Mitra & Singh (2007)

Ternyata, semua keberdayaan yang menjadi indikator Gender Development


Index (GDI) (lihat tabel 3.2) ini tidak berbanding lurus dengan kondisi perempuan
yang tetap termarjinalkan secara struktural (lihat tabel 3.3). Dari tabel 3.3, dapat
dilihat bahwa partisipasi kerja perempuan dalam usia produktif di Kerala pada
tahun 1990 mencapai 20,58%, sehingga Kerala menduduki peringkat ketiga di
keseluruhan India dan Tamilnadu sebagai posisi tertinggi. Rata-rata seluruh India
mencapai 23,09% dan Tamilnadu mencapai 33,57%. Sebagian besarnya masih

Universitas Indonesia
44

terkonsentrasi di industri primer. Persentase partisipasi kerja ini menunjukkan


bahwa sekitar 80% perempuan di Kerala tidak berdaya secara ekonomi karena tidak
memiliki sumber penghasilan. Akhirnya, upah rendah bagi perempuan tidak
terhindarkan, dengan stigma perempuan kurang produktif dan kurang mahir bekerja
(Nair, 1998). Dapat dilihat bahwa permasalahan struktural yang kurang
menguntungkan (disadvantaging) perempuan tampak jelas termanifestasi di
sebaran angkatan kerja Kerala. Kondisi kemajuan pembangunan manusia yang
relatif setara berlaku bagi perempuan maupun laki-laki ternyata tidak serta merta
mengatasi kesenjangan kesempatan struktural antar gender.

Tabel 3.3 Partisipasi Kerja Perempuan dalam Usia Produktif (15-59 Tahun) di
India dan Sejumlah Negara Bagian (1990)
Wilayah Primer (%) Sekunder (%) Tersier (%) Total (%)

Kerala 11,37 4,29 4,92 20,58


India 18,79 2,06 2,24 23,09
Bihar 13,72 0,72 0,78 15,22
Gujarat 14,20 1,25 2,26 17,70
Tamilnadu 26,44 3,95 3,18 33,57
Uttarpradesh 7,42 0,67 0,86 8,95
Sumber: Women Employment Kerala (1990)

Selama tiga dekade, Kerala termasuk ke dalam daftar negara bagian yang
mengalami penurunan partisipasi kerja perempuan. Namun, penurunan ini tidak
bisa dikatakan istimewa apabila berkaca pada data nasional India yang juga
mengalami tren penurunan yang sama. Hal yang menjadi penting untuk dilihat di
sini adalah bahkan pada dekade terbaik partisipasi kerja perempuan (1970), hanya
27,7% perempuan Kerala yang bekerja dan memiliki sumber penghasilan sendiri.
45

Tabel 3.4 Partisipasi Kerja Perempuan di India dan Sejumlah Negara Bagian (1970,
1980, dan 1990)
Negara 1970 (%) 1980 (%) 1990 (%)
Andhra Pradesh 41,31 25,84 27,01
Bihar 27,11 19,11 15,22
Gujarat 27,89 22,09 17,70
Haryana 23,09 20,02 18,56
Kamataka 32,01 22,12 18,95
Kerala 27,70 21,14 20,58
Maharshtra 38,1 28,15 30,97
Madhya Pradesh 43,99 20,17 22,34
Orissa 26,57 22,88 20,69
Punjab 20,19 18,19 12,26
Rajastan 35,88 25,64 22,32
Tamil Nadu 31,28 25,16 33,57
Uttar Pradesh 18,14 16,1 8,95
West Bengal 19,43 17,74 16,8
India 30,25 22,05 20,70
Sumber: Women Employment Kerala (1970, 1980, 1990)

Dari angka 27,7% itu, sebagian besarnya berkutat di industri primer alias
barang mentah yang memiliki daya multiplikasi pendapatan yang rendah dengan
alokasi energi dan waktu yang besar. Sehingga kondisi perempuan secara ekonomi
sangat tidak berdaya dan tidak mandiri. Permasalahan ini yang kemudian menjelma
menjadi beragam masalah perempuan yang intinya didasari pada
ketidakberdayaannya untuk menjadi subjek yang otonom dan memperjuangkan
otonominya. Berikutnya, penulis akan menyajikan data yang menjelaskan
bagaimana dari proporsi perempuan yang bekerja sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas bila diperbandingkan dengan partisipasi kerja laki-laki (lihat
tabel 3.5).

Universitas Indonesia
46

Tabel 3.5 Perbandingan Proporsi Partisipasi Kerja Antar Gender

Tahun Kerala India

Laki-laki (%) Perempuan (%) Laki-laki (%) Perempuan (%)

1910 66,30 32,70 68,10 31,70

1920 69,80 28,90 65,90 33,70

1930 75,10 24,50 66,50 32,60

1940 64,00 35,90 72,20 27,60

1950 NA NA NA NA

1960 80,70 18,30 76,10 23,30

1970 80,20 19,70 71,20 27,90

1980 85,20 14,60 84,70 14,20

1990 81,90 16,80 80,10 19.70

Sumber: Lakshmy, 2002

Data menunjukkan terjadi peningkatan partisipasi kerja laki-laki yang relatif


konsisten baik di Kerala secara khusus maupun di India secara umum. Sedangkan
perempuan lebih banyak mengalami penurunan dibandingkan peningkatan. Namun
demikian, fluktuasi ini tidak menjadi fokus penelitian ini. Yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana perbandingan proporsi kesempatan kerja yang teralokasikan
untuk laki-laki konsisten berkali lipat lebih banyak dari perempuan, lebih tepatnya
dua hingga empat kali lebih banyak, baik di dalam Kerala maupun di level nasional
India. Inilah tantangan struktural perempuan di ranah ekonomi di masa sebelum
berlakunya Amandemen ke-73 Tahun 1992.
Sementara itu, permasalahan perempuan tidak berhenti hanya sampai di
struktural, yakni partisipasinya dalam politik dan ekonomi, melainkan juga sosial
dan budaya (kultural). Sejumlah penelitian yang dirangkum oleh Franke & Chasin
(1989) menyebutkan beberapa permasalahan perempuan yang dipengaruhi oleh
perspektif bias gender yang ada di masyarakat. Permasalahan yang paling banyak
47

ditemukan adalah pemerkosaan. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan, seperti


pemukulan istri dan pembunuhan seorang istri yang diduga tidak setia. Kejadian
semacam ini menjadi berita harian yang dilaporkan di surat kabar.
Bentuk kekerasan lain yang juga cukup umum terjadi di Kerala adalah
kematian perempuan akibat mas kawin atau "dowry death". Terdapat sejumlah
praktik perkawinan dimana mas kawin dituntut oleh pihak keluarga mempelai laki-
laki kepada keluarga mempelai perempuan. Bentuknya bisa bermacam-macam,
antara lain tanah, emas, uang, atau bahan pangan (baik hasil pertanian atau hewan
ternak). Jika keluarga mempelai pria tidak puas dengan mas kawin yang diberikan,
atau memang ingin segera mengumpulkan kekayaan dari mas kawin lainnya,
mereka dapat membatalkan pernikahan.
Akan tetapi, banyak perempuan yang tidak 'seberuntung' itu untuk sekadar
diceraikan atau dibatalkan pernikahannya. Ada banyak kasus dimana sang
mempelai laki-laki dapat mengatur 'kecelakaan' untuk pengantin baru, biasanya di
dapur, dimana dikatakan dia menumpahkan minyak goreng ke dirinya sendiri dan
terbakar. Para saksi mata yang dipanggil untuk menyatakan kejadian ini sebagai
kecelakaan biasanya adalah anggota keluarga mempelai laki-laki. Sedangkan polisi
dan pengadilan akan menerima kesaksian mereka tanpa melakukan penyelidikan
lebih lanjut. Setelah itu, pengantin laki-laki dapat pergi untuk menikah lagi dan
mengumpulkan mas kawin lain (Franke & Chasin, 1989).
Salah satu aspek kuatnya pengaruh budaya patriarki yang mengakar di
Kerala adalah sistem mahar untuk pernikahan. Ranjana Kumari, yang bekerja pada
Pusat Penelitian Sosial di New Delhi selama 30 tahun terakhir bekerja keras
menentang sistem mahar. Pemberian mahar oleh keluarga pengantin perempuan
kepada keluarga pengantin laki-laki menurut sejarahnya adalah untuk memberikan
restu, tetapi telah mengalami pergeseran makna menjadi salah satu sumber dari
permasalahan bagi perempuan (Achin, 2012). Banyak kasus dimana setelah
seorang perempuan pindah rumah bersama suaminya setelah menikah, keluarga
suaminya sering memukulinya. Hal itu terjadi karena keluarga suami menginginkan
mahar yang lebih besar. Keluarga suami seringkali menunjukkan sikap dan
perkataan kepada perempuan bahwa satu-satunya tujuan ia menikahinya adalah

Universitas Indonesia
48

untuk mendapatkan uang dengan jumlah tertentu atau harta lainnya dari rumah
orang tua perempuan.
Secara resmi, pemberian mahar adalah praktik yang melanggar hukum
(ilegal) di India sejak lebih dari 50 tahun lalu, tetapi praktik itu masih merajalela.
Ribuan perempuan mati terbunuh setiap tahun dalam perselisihan mahar. Ada juga
kasus dimana seorang perempuan harus meminta orang tuanya memberinya cincin
dan gelang emas, lemari pendingin, televisi, tempat tidur, dan pakaian untuk
seluruh keluarga dan kerabat suaminya sebagai mahar nikahnya. Mereka biasanya
akan memenuhi permintaan semacam itu. Namun, perempuan tidak terjamin akan
bebas dari tekanan, intimidasi, dan kekerasan dari keluarga suaminya setelah
menikah (Achin, 2012).
Pengaruh lebih buruk adalah orang tua harus menggunakan seluruh
simpanan mereka untuk mahar anak perempuan dan tidak meninggalkan apa-apa
untuk anak laki-lakinya. Setiap laki-laki yang lahir dalam keluarga disambut
dengan gembira layaknya ‘angsa bertelur emas’ yang akan menghasilkan kekayaan
bagi keluarga melalui mahar yang mereka minta dalam pernikahan. Karena itu,
mereka menginginkan banyak anak laki-laki. Tidak ada akhir dari permintaan harga
bahkan setelah pernikahan, dan jika perempuan terbunuh, laki-lakinya dapat
menikah kembali, untuk mendapatkan mahar. Keluarga yang menimbun harta
mahar, juga cenderung tidak ingin membayar mahar kepada keluarga lain. Karena
ini, mereka akan melakukan aborsi selektif, pembunuhan bayi dan anak perempuan
secara sengaja (Niam, 2013).
Sistem mahar dimana pihak perempuan yang harus membayarkan mahar
sebetulnya tampak seolah-olah bersifat matriarkis, karena hal ini pula Kerala
seringkali dijadikan contoh masyarakat dengan budaya matriarki. Apabila kita
melihat pernikahan dengan kacamata transaksional, dalam kasus Kerala, pihak
perempuan adalah pembeli dan laki-laki adalah barang yang dibeli. Namun pada
kenyataannya, sistem mahar ini tidak membuat perempuan menjadi pihak yang
lebih berkuasa dan berdaya, malah sebaliknya, karena sistem mahar tidak
mengubah konsentrasi pembuatan keputusan yang tetap ada di laki-laki, yaitu
bapak dari calon mempelai perempuan dan laki-laki yang menjadi calon suaminya
(Niam, 2013).
49

Organisasi perempuan Kerala berusaha untuk melawan sistem mahar ini.


Mereka telah mengorganisasi gerakan sosial strategis dimana sistem mahar
diserang. Mereka juga mendistribusikan literatur yang menentang mahar dan
berusaha memaksa polisi dan pengadilan untuk melakukan investigasi yang benar
terhadap kematian yang mencurigakan dari perempuan. Namun, budaya ini sudah
sangat berakar dalam masyarakat India, dan mereka tidak mungkin dengan mudah
lenyap sampai perubahan paradigma luar biasa terjadi di tengah masyarakatnya.
Akhirnya, perempuan Kerala, seperti rekan-rekan India lainnya, terus mengalami
opresi sistemik dan tetap mengalami serangan baik yang bersifat seksual maupun
bukan.
Kampanye-kampanye perempuan tidak seharusnya bepergian sendiri,
perempuan harus mengenakan pakaian tertentu, perempuan tidak bisa bebas keluar
rumah di malam hari, terus bergaung tanpa mengurangi sedikitpun potensi bahaya
terhadap perempuan yang terus mengintai dimanapun¾termasuk eksploitasi
seksual di tempat kerja oleh atasan laki-laki. Bahkan kursi bus dipisahkan bagi
perempuan dan laki-laki, dan seorang perempuan tidak bisa merasa bebas untuk
berada di dekat pria, karena takut dampaknya pada reputasinya. Perempuan bisa
dengan mudah dicap murahan atau dicap sebagai perempuan penggoda (Franke &
Chasin; 1989).
Dengan melihat gambaran umum permasalahan yang dihadapi perempuan
di Kerala (dimana sebagian besarnya juga dihadapi oleh perempuan lainnya di
negara bagian lain di India), dapat tergambarkan pentingnya pemberlakuan suatu
kebijakan afirmasi yang bisa menjadi cara untuk level the playing ground bagi
perempuan, karena banyak perempuan memulai hidupnya dari titik yang cukup
jauh tertinggal dari laki-laki. Tanpa adanya intervensi afirmasi, bukan tidak
mungkin perempuan menghabiskan seluruh hidupnya di titik yang sama dan tidak
mendapatkan akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan hidup yang
dinikmati laki-laki. Kehadiran amandemen ke-74 yang memberikan ruang untuk
banyak perempuan masuk ke dalam politik membawa harapan untuk dimulainya
babak baru bagi hadirnya kesetaraan gender di tengah masyarakat India.
Selanjutnya, penulis akan membahas bagaimana potret dari perempuan-perempuan

Universitas Indonesia
50

Kerala yang masuk ke dalam PRI di Pemilu perdana PRI dengan pemberlakuan
kuota jadi untuk perempuan.

3.2 Keterwakilan Deskriptif Perempuan di PRI Kerala

3.2.1 Peningkatan Keterwakilan Deskriptif Perempuan di PRI Kerala

Tahun 1995 menjadi momentum Pemilu Panchayati Raj Institution (PRI)


yang pertama bagi seluruh masyarakat India. Di dalam momen tersebut, kuota
reservasi juga untuk pertama kalinya berlaku secara resmi untuk PRI di semua
negara bagian. Kuota reservasi diberlakukan untuk tiga lapis desentralisasi di
bawah naungan PRI, yakni Zila Parishad, Panchayat Samiti, dan Gram Panchayat.
Kebijakan reservasi ini telah mendongkrak keterwakilan deskriptif perempuan di
Kerala, di mana terjadi kenaikan proporsi perempuan secara konsisten sejak Pemilu
pertama sampai ketiga (sepanjang 1995-2005). Perempuan berhasil melampaui
critical mass pada pemilu kedua (lihat tabel 3.6).

Tabel 3.6 Perbandingan Jumlah Perempuan dan Laki-laki di PRI Kerala (1995-2005)

Gender 1995 % 2000 % 2005 %

Perempuan 6.508 32,9 8.160 40,0 10.952 52,6

Laki-laki 13.254 67,1 12.257 60,0 9.873 47,4

Total 19.762 100,0 20.417 100,0 20.825 100,0

Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala17

Tabel 3.6 memperlihatkan bahwa keterwakilan deskriptif perempuan pada


pemilu PRI pertama di tahun 1995 mencapai 32,9%. Angka ini masih kurang 2,1%
dari ambang critical mass yang diusung oleh Kanter (1977). Namun, di pemilu-
pemilu berikutnya, angka ini mengalami peningkatan secara signifikan, hingga
mencapai puncaknya pada pemilu ketiga tahun 2005, dimana proporsi perempuan
mencapai angka 52,6%. Dalam tiga pemilu tersebut, jelas keterwakilan deskriptif

17
www.lsgkerala.gov.in
51

perempuan meningkat jauh dibandingkan kondisi PRI sebelum diformalisasi


melalui Amandemen ke-73 dan pemberlakuan kuota melalui amandemen ke-74.

Pada masa sebelum amandemen ke-73 dan 74 diberlakukan, sebagaimana


telah penulis jelaskan di bab 2, hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota proto
PRI. Baru pada tahun 1960, ada kuota satu (1) kursi untuk perempuan di dalam
proto PRI di Kerala dengan rata-rata anggota proto PRI adalah sebanyak 15-20
orang. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi perempuan hanya mencapai sekitar 5-
6% saja. Kondisi ini berubah drastis pasca pemberlakuan kuota reservasi kursi,
dimana keterwakilan deskriptif perempuan langsung melonjak konsisten di atas
30%—setidaknya selama satu dekade pertama tahun 1995-2005.

3.2.2 Latar Belakang Keterpilihan Perempuan di PRI Kerala

Setelah mengetahui peningkatan keterwakilan deskriptif perempuan pasca


pemberlakuan kebijakan reservasi, penulis akan menyajikan data latar belakang
pendidikan dan pekerjaan perempuan yang masuk ke dalam PRI Kerala di Pemilu
perdana PRI tahun 1995 (lihat tabel 3.7 dan 3.8). Tabel 3.7 menunjukkan bahwa
latar belakang pendidikan terbanyak adalah mereka yang sempat mengenyam
bangku SMA. Sedangkan dari sisi pekerjaan, sebagaimana tampak pada tabel 3.8,
yang terbanyak adalah mereka yang berlatar belakang sebagai Ibu Rumah Tangga
(IRT).

Tabel 3.7 Latar Belakang Pendidikan Perempuan di PRI Kerala Tahun 1995

Pendidikan Jumlah Persentase (%)


SD 1.194 18,34
SMP 0 0
SMA 1.612 24,77
SSLC 1.134 17,43
Pre Degree 179 2,75
Diploma 776 11,92
S1 1.015 15,59
S2 597 9,17
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala18

18
www.lsgkerala.gov.in

Universitas Indonesia
52

Tabel 3.8 Latar Belakang Pekerjaan Perempuan di PRI Kerala Tahun 1995

Pekerjaan Jumlah Persentase (%)


IRT 3.164 48,62
PNS 299 4,58
Swasta 1.075 16,51
Wiraswasta 60 0,91
Guru 836 12,84
Petani 179 2,75
Pengacara 597 9,17
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala

Selain latar belakang dan latar pekerjaan, elemen lain yang penting juga
untuk ditelaah adalah latar belakang partai dari perempuan yang masuk PRI (lihat
tabel 3.8). Dari tabel, diketahui bahwa partai dengan jumlah perempuan terbanyak
adalah Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)). Namun, secara rasio gender,
partai dengan persentase perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki hanyalah
Bharatiya Janata Party (BJP) dengan perbandingan 66,5% perempuan dan 33,5%
laki-laki. Baru kemudian disusul oleh CPI dengan perbandingan 39,3% perempuan
dan 60,7% laki-laki. Dengan melihat latar belakang partai perempuan yang masuk
ke PRI, tidak dapat dinafikkan bahwa corak ideologi yang dominan adalah ideologi
komunis-marxis yang direpresentasikan oleh partai CPI dan CPI(M), dimana total
suara kader mereka apabila digabung, mencakup 60,5% dari keseluruhan kursi PRI
yang diduduki perempuan.
53

Tabel 3.9 Latar Belakang Partai Perempuan dan Laki-Laki di PRI (1995)

Partai Perempuan % Laki-laki % Total


CPI(M) 3.164 39,3 4.896 60,7 8.060
CPI 776 35,1 1.433 64,9 2.209
BJP 119 66,5 60 33,5 179
INC 1.552 28,6 3.881 71,4 5.433
IUML 537 24,3 1.671 75,7 2.208
Independen 60 25,1 179 74,9 239
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala

Data-data di atas menunjukkan kondisi pola keterwakilan perempuan di


tahun pertama Pemilu PRI dengan kuota reservasi. Berikutnya, penulis akan
menyajikan tren yang terjadi di Pemilu selanjutnya (2000 dan 2005). Sekilas, yang
dapat dilihat dari data latar belakang pendidikan perempuan di PRI dari Pemilu
2000 dan 2005 (lihat grafik 3.1) adalah pergeseran tren pendidikan ke arah yang
lebih praktikal (vocational) yang ditandai dengan melonjaknya persentase
perempuan lulusan SSLC (lulus ujian akhir SMA) dan bawah (SD) yang ditandai
dengan melonjaknya persentase perempuan lulusan SD (Sekolah Dasar).

Sedangkan persentase perempuan dengan latar belakang pendidikan yang


tinggi justru anjlok di tahun 2005. Kemudian, berdasarkan latar belakang pekerjaan
(lihat grafik 3.2), profesi Ibu Rumah Tangga (IRT) konsisten menempati posisi
dominan. Profesi dominan lainnya adalah petani yang menjulang di tahun 2000 dan
2005. Data-data ini nantinya dapat menggambarkan kecenderungan kepentingan
perempuan yang disuarakan, dimana hal ini akan dibahas di subbab selanjutnya.

Universitas Indonesia
54

Grafik 3.1 Persentase Perempuan di PRI Berdasarkan Pendidikan

1995 2000 2005

60
45
30
15
0
SD SMP SMA SSLC Diploma Pre S1 S2
Degree
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala

Grafik 3.2 Persentase Perempuan di PRI Berdasarkan Pekerjaan


1995 2000 2005

62,5

50

37,5

25

12,5

0
IRT Petani Guru Png Sws PNS Wrw
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala

Dalam grafik di atas, terdapat tujuh kategori profesi, yakni (1) IRT: Ibu
Rumah Tangga, (2) Petani, (3) Guru, (4) Png: Pengacara, (5) Sws: Karyawan
swasta, (6) PNS: Pegawai Negeri Sipil, dan (7) Wrw: Wiraswasta (Pengusaha).
Tren yang konsisten di setiap tahun Pemilu adalah profesi IRT yang selalu
mendominasi. Kemudian, disusul oleh profesi petani. Informasi ini menjadi
signifikan nantinya dalam melihat bagaimana latar belakang perempuan anggota
PRI melakukan artikulasi kepentingan perempuan di PRI.
55

Data berikutnya yang juga penting untuk dilihat adalah tren dalam hal latar
belakang partai (lihat grafik 3.3). Di Pemilu perdana tahun 1995, sangat sedikit
partai yang memiliki representasi perempuan mencapai angka 50% atau lebih.
Tetapi, tren ini ternyata berubah di Pemilu berikutnya pada tahun 2000 dan 2005.
Di tahun 2000, Indian Union Muslim League (IUML) duduk di posisi pertama
dengan persentase perempuan berbanding laki-laki di PRI yang tertinggi diantara
partai lain; 50% perempuan dan 50% laki-laki. Disusul oleh CPI(M) dengan 41,6%
perempuan dan CPI dengan 40% perempuan. Sementara itu, secara jumlah, CPI(M)
lagi-lagi menang dengan 4.461 kursi diduduki oleh kader perempuannya. Secara
umum, hampir semua partai mengalami kenaikan persentase representasi
perempuan di tahun 2000, kecuali BJP. Tahun 2005 menjadi puncak kenaikan
representasi perempuan, dimana semua partai 19 memiliki persentase perempuan
melebihi laki-laki.

Grafik 3.3 Persentase Perempuan Per Partai di PRI Kerala, India (1995-2005)

70

60

50

40

30

20

10

0
CPI CPI(M) BJP INC IUML Independen

1995 2000 2005

Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala
Mengetahui latar belakang dari perempuan yang masuk ke dalam PRI
adalah hal yang fundamental di dalam menilik permasalahan yang menjadi fokus
penelitian ini, karena ketika bicara mengenai akomodasi kepentingan perempuan,
maka hal itu tidak akan terlepas dari latar situasi yang menjadi keseharian hidupnya

19
Partai yang masuk dalam analisa adalah lima partai terbesar menurut data Pemilu PRI 1995-
2005, ditambah kelompok independen.

Universitas Indonesia
56

(pekerjaannya), kapasitas wawasannya (pendidikan), dan afiliasi ideologisnya


(partainya). Dari keseluruhan data dapat dilihat bahwa dari latar belakang
pekerjaan, perempuan yang ada di PRI sebagian besar berprofesi sebagai Ibu
Rumah Tangga (IRT), sedangkan dari pendidikan, sebagian besar dari mereka telah
menempuh pendidikan dasar dan menengah. Kemudian, dari latar belakang
partainya, yang dominan adalah dari Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)),
dimana memiliki platform ideologi komunis-marxis. Afiliasi ideologis para
perempuan yang masuk ke PRI bisa jadi berpengaruh juga terhadap bagaimana
perspektif mereka dalam berpartisipasi dalam decision making process, khususnya
dalam menjadi wakil kelompok perempuan yang diharapkan dapat
mengartikulasikan kepentingan perempuan dalam keputusan-keputusan di PRI.

3.3 Keterwakilan Substantif Perempuan di PRI Kerala

3.3.1 Wujud Akomodasi Kepentingan Perempuan di Kerala

Perwujudan komitmen Pemerintah India untuk meningkatkan keterwakilan


perempuan tertuang dalam amanat Amandemen Konstitusi India yang ke-73.
Perubahan ini kemudian oleh Pemerintah Kerala di bawah E. K. Nayanar dari
Communist Party of India (Marxist) (CPI (M)) diadopsi ke dalam amandemen
Undang-Undang Panchayat Kerala pada tahun 1993 (Nair & Moolakkattu,
2014:249). Di dalamnya, diatur pula mengenai reservasi kursi untuk perempuan di
tiga lapis Panchayati Raj Institution (PRI) sebesar 33% di masing-masing lapisan
desentralisasi PRI (Zila Parishad, Panchayat Samiti, dan Gram Panchayat).

Kebijakan reservasi otomatis meningkatkan keterwakilan deskriptif


perempuan dalam politik. Kehadiran perempuan dalam jumlah yang cukup
signifikan dalam politik telah mendobrak dinding marjinalisasi perempuan dan
mengangkat suara-suara mereka yang sebelumnya tidak mendapat tempat di politik.
Fenomena ini memberi dampak selanjutnya, yaitu terjadinya peningkatan
keterwakilan deskriptif perempuan secara konsisten di tahun-tahun berikutnya
(lihat tabel 3.6, hlm.51). Peningkatan jumlah perempuan yang hadir dalam lembaga
57

politik merupakan sebuah tahapan yang diperlukan untuk akomodasi kepentingan


perempuan.

Kehadiran perempuan dibutuhkan dalam ruang dimana berlangsung


decision making process yang turut menentukan nasib perempuan di ruang publik.
Jumlah perempuan yang turut berperan serta dalam proses pengambilan keputusan
meningkat pesat dalam satu dekade sejak kebijakan reservasi kursi bagi perempuan
diterapkan di Kerala. Selain persentase keseluruhan perempuan yang meningkat
dari Pemilu ke Pemilu, yang menjadi penting juga adalah tren peningkatan
perempuan yang masuk ke dalam PRI melalui jalur pemilihan langsung atau jalur
non kuota (lihat grafik 4.1). Hal ini menunjukkan adanya keberdayaan politik yang
lebih baik bagi perempuan setelah mereka diberi kesempatan melalui kebijakan
afirmasi.

Pada tahun 1995, dalam Pemilu perdana setelah kebijakan reservasi


diterapkan, hanya 2,8% dari seluruh perempuan yang masuk PRI yang terpilih
secara langsung tanpa kuota. Sedangkan pada tahun 2000, Pemilu kedua setelah
kebijakan reservasi diterapkan, persentase itu meningkat menjadi 17,7%. Di Pemilu
berikutnya lagi, pada tahun 2005, persentasenya kembali meningkat menjadi
19,1%. Jadi, peningkatan keterwakilan perempuan yang terjadi dengan
diberlakukannya kuota tidak sekadar menghadirkan perempuan, tetapi lewat
kehadiran mereka di sana, mereka telah mendapat kesempatan untuk membangun
modal politiknya, yakni massa pendukung mereka (lihat grafik 3.4, hlm.59).

Data menunjukkan terjadinya peningkatan persentase perempuan yang


terpilih langsung ke dalam PRI, bukan melalui jalur kuota, baik itu kuota
perempuan maupun kuota SC/ST. Hal ini merupakan perwujudan telah
terbangunnya dukungan bagi kehadiran perempuan dalam perpolitikan.

Universitas Indonesia
58

Grafik 3.4 Persentase Perempuan Dalam PRI Berdasarkan Jalur Masuk (1995-2005)

2005 2000 1995

Kuota SC/ST

Kuota Perempuan

Non Kuota

0 20 40 60 80 100

Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala

Kehadiran perempuan di PRI dalam jumlah yang signifikan telah


memberikan kesempatan yang lebih baik untuk mereka menyuarakan kepentingan
mereka. Salah satunya adalah munculnya inisiatif di sejumlah Gram Panchayat di
distrik Vythiri untuk meningkatkan sekolah desa yang sebelumnya hanya sampai
tingkat empat menjadi tingkat tujuh (sekolah menengah pertama) (Datta dan Joshi,
1998, dalam Sekhon, 2006:11). Inisiatif ini muncul dari Sarpanch dan Panchas
perempuan yang memiliki aspirasi untuk meningkatkan akses pendidikan yang
lebih tinggi bagi anak-anak perempuan, karena mereka seringkali tidak
diperbolehkan untuk pergi belajar di desa atau distrik lain selain tempat mereka
tinggal oleh keluarga mereka.

Pendidikan menengah adalah satu-satunya jalur untuk anak-anak


perempuan dapat meraih pendidikan tinggi. Apabila mereka tidak dapat akses
kepada pendidikan menengah, maka dapat dipastikan mereka tidak akan pernah
dapat mengakses pendidikan tinggi. Sementara, faktor pendidikan masih
memegang perananan yang cukup besar dalam menentukan kesempatan ekonomi
(kerja) bagi perempuan. Oleh karena itu, inisiatif ini dapat dilihat sebagai sebuah
bentuk akomodasi kepentingan perempuan dalam bidang ekonomi, dimana dengan
meningkatnya kualitas perempuan melalui pendidikan yang lebih tinggi,
peluangnya untuk meningkatkan taraf hidup dan meraih berbagai kesempatan
ekonomi yang lebih baik menjadi lebih besar.
59

Bentuk akomodasi kepentingan perempuan yang lainnya adalah yang terkait


dengan distribusi manfaat dari program pemerintah pusat. Salah satu dari program
tersebut adalah program Development of Women and Children in Rural Areas
(DWCRA). Program ini merupakan bagian dari paket kebijakan pengentasan
kemiskinan dari pemerintah India yang sudah ada sejak akhir 1980-an, namun baru
mencakup keseluruhan distrik di tiap-tiap negara bagian pada tahun 1995
(Sanilkumar, 2001:3-4).

Salah satu bagian dari program ini yang sangat penting bagi perempuan
adalah dana bantuan langsung bulanan untuk perempuan berusia 60 tahun ke atas
yang tidak memiliki sumber penghidupan, menyelenggarakan pelatihan
keterampilan bagi perempuan usia produktif yang menganggur, serta penyediaan
mikrokredit untuk perempuan yang hendak mendirikan usaha. Berdasarkan data
yang diambil dari 100 Gram Panchayat di dua distrik di Kerala, yakni Wayanad dan
Pathanamthitta, ditemukan perbedaan persetanse serapan anggaran DWCRA di
Gram Panchayat yang dipimpin oleh Sarpanch perempuan dan laki-laki (lihat tabel
3.10 di bawah ini).

Tabel 3.10 Rata-rata Persentase Serapan Anggaran DWCRA di Gram Panchayat


dengan Sarpanch Perempuan dan Laki-laki di Kerala (2000)

Distrik
Sarpanch Mean Dua Distrik
Wayanad Pathanamthitta
Perempuan 45,4% 62,5% 53,9%
Laki-laki 16,7% 40% 28,3%
Sumber: Sanilkumar, 2001

Tabel 3.10 di atas memperlihatkan bahwa rata-rata serapan anggaran


program DWCRA di Gram Panchayat dengan Sarpanch perempuan mencapai
53,9%. Angka tersebut jauh di atas Gram Panchayat dengan Sarpanch laki-laki
yang serapannya hanya mencapai 28.3%. Hasil ini menunjukkan adanya
keterkaitan antara kehadiran perempuan dengan kualitas penyelenggaraan
program-program yang terkait dengan kebutuhan perempuan.

Universitas Indonesia
60

DWCRA bukan satu-satunya program dari pusat (atau dari negara bagian)
yang menargetkan perempuan sebagai beneficiaries. Program lainnya adalah
kebijakan alokasi 10% dari total dana negara bagian yang disalurkan kepada Gram
Panchayat untuk kepentingan perempuan yang dikenal dengan sebutan Women
Component Plan (WCP) sejak tahun 1997. Dalam penyerapan dan penyaluran dana
ini, Gram Panchayat yang dipimpin oleh Sarpanch perempuan lebih punya
kecenderungan untuk melakukan penyerapan anggaran lebih tinggi dibanding yang
dipimpin oleh laki-laki (Nair & Moolakkattu, 2014:249). Pembahasan khusus yang
mendalam mengenai posisi Sarpanch akan penulis jelaskan di sub bab berikutnya.

Dampak lain dari kehadiran perempuan di PRI terungkap dalam studi yang
dilakukan oleh Sekhon (2006). Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa telah terjadi
peningkatan konsentrasi kebijakan PRI sebesar 10-12% (dalam periode 1995-2000)
terhadap kebutuhan rumah tangga. Salah satu kebutuhan rumah tangga yang
penting adalah ketersediaan sanitasi yang layak dan sumber air yang memadai.
Kebutuhan ini penting bagi perempuan yang mayoritas berprofesi sebagai Ibu
Rumah Tangga (IRT). Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan perempuan
semacam ini tergolong dalam kepentingan gender praktikal.

Bentuk-bentuk akomodasi kepentingan gender praktikal seperti di atas bisa


jadi berkorelasi dengan keberadaan IRT sebagai mayoritas perempuan anggota PRI
sebagaimana ditunjukan di subbab sebelumnya (tabel 3.2, hlm.55). Temuan dalam
studi Sekhon ini diperkuat pula oleh data dari laporan tahunan Pemerintah Kerala
Tahun 2005 yang memotret peningkatan akses kepada sanitasi layak untuk rumah
tangga di desa (lihat tabel 3.11), khususnya sepanjang tahun 1995-2000 di wilayah-
wilayah dimana sedang terjadi peningkatan yang signifikan terhadap keterwakilan
perempuan di dalam politik formalisasi PRI dan implementasi kebijakan reservasi.
61

Tabel 3.11 Persentase Rumah Tangga yang Mendapat Akses Terhadap Sanitasi
Layak di Desa dan Kota di Kerala (1995-2005)

Variabel 1995 2000 2005

Rumah Tangga di desa yang Memiliki Akses


44 73.4 81.3
ke Sanitasi Layak
Rumah Tangga di kota yang Memiliki Akses
73 90.0 92.0
ke Sanitasi Layak
Sumber: Laporan Tahunan National State Planning Board of Kerala Tahun 2005

Pembangunan sanitasi yang layak bagian dari program Total Sanitation


Project (TSP) dari pemerintah Kerala. Melalui program ini, pemerintah Kerala
mengalokasikan anggaran khusus untuk mencapai 100% rumah tangga mendapat
akses kepada sanitasi layak. Program ini didelegasikan kepada pemerintah lokal di
tingkat Gram Panchayat. Maka itu, otoritas Gram Panchayatlah yang harus
mempekerjakan buruh bangunan dan tukang yang diperlukan untuk membangun
sanitasi. Di dalam laporan yang penulis jadikan sumber data, tertera penjelasan
bahwa anggota PRI perempuan lebih proaktif dalam mengerjakan proyek ini,
bahkan banyak dari mereka merekrut relawan perempuan untuk membantu dalam
proses pelaksanaan program ini, diantaranya untuk urusan administrasi, pendataan,
keuangan, dan pengadaan konsumsi untuk pekerja proyek (Laporan Tahunan
National State Planning Board of Kerala, 2005:198-201).

Data ini mengkonfirmasi tesis dari penelitian Gibson (2012:412) yang


mengatakan bahwa kehadiran wakil perempuan yang meningkat setelah
diberlakukannya kuota afirmasi mendorong terlaksananya kebijakan-kebijakan
pembangunan yang terkait dengan kebutuhan rumah tangga; seperti sanitasi dan air
bersih. Para anggota PRI perempuan cenderung memprioritaskan isu terkait rumah
tangga dibandingkan anggota PRI laki-laki. Pendapat ini juga diperkuat oleh
temuan dalam survei yang dilakukan oleh Duflo dan Topalova (2004) yang
mencakup 3.760 rumah tangga di 262 Panchayat di Kerala yang dipilih secara acak
(Bilava & Nayak, 2016:8). Dari survei tersebut, ditemukan bagaimana persepsi
masyarakat terhadap anggota dan pengurus Gram Panchayat perempuan
memprioritaskan kebijakan yang terkait dengan kebutuhan rumah tangga. Tindakan

Universitas Indonesia
62

perempuan di PRI yang memprioritaskan kebutuhan dasar rumah tangga


merupakan bentuk akomodasi kepentingan perempuan.

Perempuan-perempuan di PRI hadir mewakili kepentingan sebagian


perempuan-perempuan di Kerala, baik yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga
maupun yang bekerja sebagai petani, yang jumlahnya tidak sedikit juga. Peneliti
lainnya, Jain (2004) menemukan adanya kampanye sistematis di 10 Gram
Panchayat sepanjang tahun 1996-1998 yang dikepalai Sarpanch perempuan terkait
dengan sosialisasi amandemen konstitusi ke-73 yang memberikan peluang lebih
bagi perempuan untuk terlibat di PRI. Para anggota Panchayat perempuan yang ikut
terlibat dalam kampanye ini fokus mendorong kepentingan perempuan ke dalam
PRI dan 90% diantara mereka fokus pada masalah ketersediaan air bersih untuk
kebutuhan rumah tangga, serta untuk ternak dan irigasi pertanian mereka.

Keberadaan perempuan di PRI tidak hanya berdampak pada kebutuhan


langsung bagi rumah tangga, misalnya di Gram Panchayat Chemancheri. Terdapat
sejumlah inisiatif pendidikan dan lingkungan yang digalakkan oleh para anggota
PRI perempuan. Pertama, mereka mengumpulkan relawan anganwadi untuk
kampanye tentang pentingnya pendidikan dan mengalokasikan sebagian dana PRI
untuk mengadakan kelas malam bagi anak-anak keluarga petani yang sepanjang
hari membantu bertani (Sunny, 2014). Inisiatif ini telah meningkatkan angka
partisipasi siswa yang lulus Secondary School Leaving Certificate (SSLC) dari 45%
pada tahun 2000 menjadi 89% pada tahun 2005. Kedua, mereka juga mendorong
terlaksananya proyek Clean Chemancheri yang dibantu oleh anggota
Kudumbashree (sebuah proyek pemberdayaan perempuan pemerintah India), yakni
proyek pengolahan limbah padat. Anggota Kudumbashree dari Panchayat
Chemancheri mengumpulkan sampah dari sekitar 7.000 rumah tangga, kemudian
memilah beberapa ton limbah padat dan mengolahnya. Selain anggota
Kudumbashree, proyek ini juga dibantu oleh sejumlah siswa dari Sekolah
Menengah Atas Thiruvangur. Ketiga, sepanjang tahun 2000-2005, laporan tahunan
Gram Panchayat Chemancheri mencatat adanya pembangunan pusat komputer
yang secara khusus mempekerjakan perempuan dari keluarga miskin untuk
melakukan entri data, pengetikan dan percetakan dokumen, dan pekerjaan
komputer lainnya (Sunny, 2014:43).
63

Sejumlah dampak yang telah penulis elaborasi di atas merupakan


perwujudan akomodasi kepentingan dalam aspek struktural, namun penulis
menemukan pula perwujudan akomodasi kepentingan dalam aspek kultural, salah
satunya terkait persoalan miras (minuman keras). Miras merupakan salah satu
permasalahan sosial yang banyak disoroti oleh perempuan-perempuan anggota
PRI, terutama karena industri ini menargetkan anak-anak dan remaja. Sejumlah
Panchas perempuan mengalakkan gerakan-gerakan anti miras di Panchayat mereka.
Salah seorang perempuan Muslim yang menjadi anggota PRI di wilayah utara
Kerala melakukan kampanye perlawanan terhadap alkohol, pernikahan anak, dan
kekerasan seksual kepada perempuan (Pradeep, 2005). Soma Devi, salah seorang
Panchas perempuan di Thiruvananthapuram, Kerala bercerita tentang perjuangan
para anggota PRI perempuan membawa kepentingan para ibu yang resah akibat
peredaran minuman keras di kalangan anak dan remaja.

"Kami telah berhasil menutup dua thekas (minuman keras) selama


setahun terakhir. Kedua thekas ini berada di panchayat yang
dipimpin oleh perempuan. Para pradhans bersama kami dalam
perjuangan," kata Devi.
(Vijalakshmi, 2015).
Selain persoalan alkohol, seorang Sarpanch perempuan dari Panchayat
Kalanjoor juga angkat suara melawan diskriminasi kasta dalam sengketa tanah
(Rao, 2017). Sarpanch perempuan tersebut bernama Prasanna. Ia merupakan
sarpanch dari Panchayat Kalanjoor, distrik Pathanamthitta antara tahun 1995 dan
2000. Ia menantang opresi kasta dalam sengketa tanah desa (Sunilkumar, 2001). Ia
pun berhasil menang di pengadilan untuk mendapatkan kembali tanah yang
dirampas oleh kasta yang lebih tinggi dan menggunakannya untuk membangun
toilet di Panchayat-nya.

Sementara itu, inisiatif akomodasi kepentingan gender strategis, misalnya


terkait penghapusan tradisi-tradisi yang merugikan perempuan belum tampak
dalam satu dekade pertama masuknya perempuan dalam jumlah yang signifikan ke
dalam politik melalui PRI dan kuota reservasi. Namun, keterlibatan perempuan di
PRI justru membawa dampak bagi diri perempuan yang masuk ke dalam PRI itu
sendiri.

Universitas Indonesia
64

Dalam penelitian Butch (2001), ditemukan bahwa terjadi perubahan sikap


pada diri perempuan yang menjadi pejabat di PRI terhadap isu-isu tertentu yang
memengaruhi hidup mereka—atau kehidupan komunitas yang mereka anggap
penting, terutama keluarga. Butch menjelaskan bahwa perempuan dalam PRI
mengalami banyak peningkatan kesadaran terhadap agensi mereka, dimana mereka
menjadi lebih sadar mengenai isu-isu fundamental seperti pendidikan, pernikahan
anak, dowry, dan beragam bentuk opresi terhadap perempuan maupun berbagai
masalah pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat desa (Buch, 2001).
Perubahan yang dialami oleh perempuan yang masuk ke dalam PRI dalam periode
1995-2000 menunjukkan adanya peningkatan kesadaran akan isu-isu yang
berkaitan dengan kepentingan perempuan (lihat tabel 4.4) (Buch, 2001:189).

Tabel 3.12 Peningkatan Awareness dari Perempuan yang Masuk sebagai Anggota
dan Pimpinan Dalam PRI (1995-2000)

Isu Terkait Kepentingan Perempuan Peningkatan kesadaran


(awareness) (%)

a) Pendidikan anak 27.3

b) Umur pendidikan anak 10.2

c) Dowry 8.3

d) Kewajiban menggunakan ghunghat (kerudung) 12.8

e) Lainnya 7.4

Sumber: Buch, 2001


Dari data pada tabel 4.4, tampak bahwa peningkatan kesadaran yang
tertinggi ada pada isu pendidikan anak-anak. Tingginya tingkat kesadaran akan
pendidikan anak telah diwujudkan dalam kebijakan dan inisiatif-inisiatif yang
terkait dengan pembangunan sekolah yang telah penulis bahas sebelumnya.
Peningkatan kesadaran ini menunjukkan bagaimana kesempatan perempuan untuk
berpolitik telah membawa perubahan dalam diri perempuan, khususnya dalam cara
mereka memandang isu-isu yang relevan dengan kehidupan perempuan. Kesadaran
sedemikian adalah awal dari munculnya inisiatif yang dapat membawa perubahan.
65

Maka dari itu, perubahan sedemikian menjadi penting untuk menjadi batu pijakan
bagi perubahan-perubahan yang lebih strategis di masa depan.

Di dalam wawancara mendalam penelitian Buch (2001), ditemukan bahwa


anggota Panchayat perempuan menjadi lebih menyadari pentingnya anak-anak
perempuan melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Persepsi ini
berbeda dengan persepsi sebelumnya yang memandang hanya laki-laki yang perlu
untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, sementara perempuan tidak perlu
memiliki pendidikan tinggi karena hal tersebut dianggap tidak berguna bagi
kehidupan perempuan yang hanya bergerak di ruang-ruang domestik.

Peningkatan kesadaran ini memunculkan sikap kritis terhadap praktik-


praktik sosial yang menindas perempuan, seperti dowry dan kewajiban mengenakan
ghungat. Sikap kritis ini muncul setelah perempuan mendapat kesempatan untuk
terlibat dalam aktivitas politik di PRI. Mungkin, dengan melakukan dialektika di
dalam pertemuan Panchayat, perempuan mengalami pemberdayaan secara
wawasan akan isu-isu publik. Sayangnya, keterbatasan cakupan wewenang PRI
tampaknya menjadi faktor yang membuat belum munculnya inisiatif yang
membantu perempuan merespons persoalan-persoalan ini (yang mana lebih
mungkin diubah melalui jalur legislatif).

Secara umum, dapat dikatakan bahwa peningkatan keterwakilan deskriptif


perempuan ternyata juga meningkatkan keterwakilan substantifnya. Para
perempuan di PRI bukan sekadar hadir, tetapi juga mengangkat kepentingan
mereka. Kehadiran mereka lebih memungkinkan terakomodasinya kepentingan dan
kebutuhan perempuan. Ruang demokrasi deliberatif dalam rapat-rapat Panchayat
telah berhasil menjadi wadah akomodasi kepentingan perempuan lewat berbagai
inisiatif yang telah penulis bahas di sepanjang subbab ini. Berikutnya, penulis akan
membahas mengenai aktor kunci dalam perwujudan akomodasi kepentingan
perempuan di PRI.

Universitas Indonesia
66

3.3.2 Sarpanch Perempuan sebagai Aktor Kunci

Sarpanch adalah posisi ketua atau pimpinan dari Gram Panchayat yang
berwenang memimpin dan mengarahkan jalannya rapat-rapat Panchayat (Aslop et
al, 2001). Keberadaan perempuan yang mengisi posisi Sarpanch penting dalam
proses membangun keterwakilan substantif—dalam bentuk terakomodasinya
kepentingan perempuan. Para Sarpanch menduduki posisi mereka dengan cara
dipilih langsung oleh anggota Gram Panchayat. Maka dari itu, keberadaan
perempuan sebagai Panchas (anggota PRI) juga berperan membawa perempuan
kepada posisi Sarpanch. Dari sini, tampak bahwa kehadiran perempuan menduduki
posisi strategis ini juga menjadi buah dari masuknya perempuan ke dalam PRI
dalam jumlah yang cukup signifikan, hal ini membuktikan tesis Kanter dan
Dahlerup dalam teori critical mass, bahwa dalam jumlah yang cukup signifikan,
suara perempuan dapat membawa perubahan.

Posisi Sarpanch telah memberikan efek akselerasi terhadap akomodasi


kepentingan perempuan. Sebagian contohnya telah masuk dalam bahasan di subbab
sebelumnya. Di sini, penulis akan menyajikan kisah dari dua Sarpanch perempuan
yang diambil dari penelitian Sanilkumar (2001). Sosok Sarpanch perempuan yang
pertama yang akan penulis angkat adalah Suja James dari Gram Panchayat
Nenmeni, distrik Wayanad, Kerala. Ia merupakan kader dari partai CPI(M) yang
menjadi anggota Gram Panchayat melalui kuota afirmasi untuk perempuan sejak
tahun 1995, kemudian naik menjadi Sarpanch di Zila Parishad Wayanad pada tahun
2000.

Suja memiliki latar belakang pendidikan SSLC (Secondary School Leaving


Certificate) yang berarti telah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
latar belakang profesi sebagai petani. Selama menjabat sebagai Sarpanch, James
telah mendorong terwujudnya sejumlah proyek terkait dengan kebutuhan dasar
rakyatnya, antara lain pembangunan sekolah dasar, sumber irigasi, dan sebuah
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) di wilayah Panchayat Nenmeni
melalui pemanfaatan posisi strategisnya sebagai Sarpanch. Bagi James, kebutuhan
dasar seperti pendidikan dan kesehatan adalah hal yang utama. Selain itu, pada
waktu menjabat sebagai Sarpanch, di desa James banyak perempuan yang
67

berprofesi sebagai petani. Dirinya sendiri yang juga berprofesi sebagai petani
semakin melihat pentingnya pengadaan sistem irigasi yang lebih baik. Dari sanalah
muncul inisiatifnya untuk mendorong ketiga agenda tersebut, yakni (1) pendidikan
dasar, (2) kesehatan dasar, dan (3) irigasi.

Dalam wawancara Sanilkumar dengan Suja, diketahui bahwa ia juga


menaruh perhatian yang serius pada permasalahan banyaknya anak perempuan
yang tidak dapat bersekolah, karena saat itu sekolah dasar terdekat adanya di
Panchayat lain, tidak ada di dalam Nenmeni dan banyak orang tua tidak
mengizinkan anak perempuan mereka keluar dari Panchayat tempat mereka tinggal.
Sedangkan anak laki-laki jauh lebih bebas untuk pergi keluar desanya guna
menempuh pendidikan yang lebih tinggi maupun mencari pekerjaan yang lebih baik
di kota. Melihat persoalan ini, Suja terdorong untuk mengupayakan dibangunnya
sekolah dasar yang lengkap (6 tahun) dan memadai untuk anak-anak di
Panchayatnya. Perjuangannya mewujudkan hal itu tidaklah mudah, bahkan
membutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk bisa merealisasikan agendanya
membangun sekolah.

Suja mengupayakan inisiatifnya ini dengan secara konsisten memasukkan


ketiga isu ini ke dalam agenda rapat Panchayat. Selain itu, ia juga aktif
menggunakan waktu-waktu di luar PRI untuk berbincang dengan para panchas
perempuan yang kebetulan bekerja di rumah sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) atau
sebagai petani seperti dirinya, dimana mereka memiliki waktu luang yang cukup
banyak untuk menyempatkan diri memperbincangkan masalah ini. Suja mengakui
bukanlah hal yang mudah untuk meningkatkan kesadaran anggota PRI terhadap
pentingnya ketiga agenda yang ia perjuangkan itu, terutama karena pada saat itu
pendidikan bagi anak perempuan juga belum terlalu dianggap penting. Tetapi,
seiring berjalannya waktu, dimana kampanye-kampanye mengenai pemerataan
pendidikan dan kesehatan juga digencarkan oleh pemerintah India dan Kerala,
agenda Suja menjadi semakin mudah untuk diterima dan akhirnya diwujudkan.
Pembangunan irigasi adalah yang paling cepat terwujud, yang kemungkinannya
dapat terjadi karena banyaknya orang yang berprofesi sebagai petani di Panchayat
tersebut, terutama perempuan. Dari kisah sukses Suja, tampak bagaimana posisi

Universitas Indonesia
68

Sarpanch dapat menjadi faktor pendorong untuk terjadinya akomodasi kepentingan


perempuan di PRI.

Selain Suja, ada pula kisah dari Prasanna yang sudah sempat disinggung
dalam subbab 3.3.2. Ia juga berasal dari partai CPI(M) dan masuk ke dalam PRI
melalui kuota SC-Perempuan. Ia melakukan sejumlah usaha untuk mendapatkan
lahan dan biaya yang cukup untuk membangun toilet. Toilet adalah permintaan
utama di Panchayat yang dipimpinnya. Perempuan muda dan hamil terpaksa buang
air besar di tambang terbuka pada malam hari, karena ketiadaan toilet yang
memadai, sedangkan sungai berada cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Di
daerah pertambangan itu, banyak laki-laki yang sering berkeliaran pada malam hari.
Akhirnya, perempuan-perempuan yang sedang buang air besar tersebut kerap
mengalami pelecehan dengan disinari oleh laki-laki tadi menggunakan lampu
motor mereka.

"Apa yang bisa saya lakukan? Saya menerima banyak permintaan


dari gadis-gadis kecil untuk membangun toilet. Mereka secara khusus
datang ke kantor panchayat untuk mengajukan permintaan ini. Jadi,
saya benar-benar ingin melakukan sesuatu untuk mereka. Jika
sebagai seorang perempuan saya tidak bisa memahami kebutuhan ini,
lalu siapa yang mau? Itu yang mendorong saya betul-betul
memperjuangkan ini"
(Wawancara Prasanna, dalam Sanilkumar, 2001).
Prasanna datang dari latar belakang pendidikan lulusan Sekolah Dasar (SD)
dan profesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Latar pendidikan yang bahkan tidak
sampai sekolah menengah tidak membuat sosok Sarpanch perempuan serta merta
menjadi tidak efektif. Di tengah masyarakat dengan kebutuhan peradaban yang
masih sangat mendasar, kehadiran sosok Prasanna yang berani melakukan
perlawanan dan dengan jujur memperjuangkan kepentingan perempuan di
Panchayat-nya menjadi signifikan, meskipun kepentingan itu ‘sekadar’ kebutuhan
akan toilet yang memadai. Sebuah masalah yang sangat sederhana dan mendasar,
tapi ternyata membutuhkan sebuah inisiatif strategis dan usaha yang serius dari
seorang wakil dari kelompok yang menjadi korban dari permasalahan itu untuk bisa
mendapatkan solusi. Hal ini semakin menunjukkan signifikansi dari jabatan
Sarpanch sebagai elemen enabler untuk terjadinya akomodasi kepentingan
69

perempuan di PRI yang dalam konsep keterwakilan Pitkin disebut sebagai


“keterwakilan substantif”.

Posisi Sarpanch memberikan ruang gerak yang lebih strategis bagi perempuan
untuk lebih efektif dalam mendorong agenda-agenda kepentingan mereka. Oleh
karena itulah, kedudukan perempuan sebagai Sarpanch menjadi salah satu faktor
kunci yang mendorong kemuncul keterwakilan substantif.

3.3.3 Keterbatasan dalam Mengakomodasi Kepentingan Gender Strategis

Pada bab sebelumnya, penulis telah membahas sejumlah permasalahan


yang dihadapi perempuan di Kerala. Dari segi struktural, terdapat persoalan antara
lain rendahnya keterwakilan politik perempuan dan rendahnya partisipasi
perempuan dalam ekonomi (partisipasi kerja). Dari segi kultural, terdapat banyak
sekali masalah diskriminasi gender yang dialami perempuan akibat budaya
patriarki yang cukup kuat mengakar dalam diri masyarakat. Masalah dari sisi
struktural dan kultural tidak terpisah satu dengan yang lain, bahkan saling
berpengaruh dan punya peluang untuk saling memperbaiki atau malah
memperparah keadaan.
Kondisi struktural perempuan yang membaik dengan adanya peningkatan
keterwakilan perempuan dalam politik dapat membantu mengurangi masalah
struktural lainnya, salah satunya ekonomi, karena perempuan dapat terlibat
langsung dalam formulasi kebijakan terkait pengentasan kemiskinan,
pemberdayaan perempuan yang menganggur atau yang hendak mendirikan usaha,
dan seterusnya. Namun, akses kekuasaan yang ada di PRI ternyata belum
berdampak pada masalah sosial-budaya yang merupakan kepentingan gender
strategis. Salah satu indikator yang dapat menunjukkan hal ini adalah masalah
kejahatan terhadap perempuan (crime against women) yang konstan tidak
mengalami penurunan (lihat tabel 3.13 dan 3.14).

Universitas Indonesia
70

Tabel 3.13 Tingkat Kejahatan Terhadap Perempuan di Kerala, India


(rata-rata per tahun selama 1995-2005)

Jenis Kejahatan Rasio Kasus (per 1000 perempuan)


Pemerkosaan 1,6
Kematian Dowry 1
Kekerasan Suami 7,3
Kekerasan Seksual Terhadap Anak 5,3
Pelecehan Seksual 0,23
Total Kejahatan Terhadap 15,2
Perempuan
Sumber: State Crime Records Bureau dalam Aparna & Singh (2007)

Tabel 3.13 menunjukkan bahwa kejahatan terhadap perempuan didominasi


oleh kasus-kasus yang terkait erat dengan budaya yang tidak berlandaskan prinsip
kesetaraan gender, misalnya saja pembunuhan perempuan yang terkait dowry
(dowry murder). Demikian juga pemerkosaan dan kekerasan suami adalah masalah
yang umum terjadi di tengah masyarakat dengan budaya patriarki yang kuat, yang
membuat perempuan tidak dipandang sebagai subjek yang pantas dihormati
selayaknya manusia dan setara dengan laki-laki. Peningkatan keterwakilan
perempuan dalam politik masih belum memberi dampak positif terhadap isu-isu
dalam keluarga semacam ini, khususnya di Kerala. Isu-isu ini menjadi tantangan
yang harus diselesaikan perempuan-perempuan anggota di PRI, baik di Kerala
maupun negara bagian lainnya di India.

Tabel 3.14 Jumlah Kasus Kejahatan Terhadap Perempuan Per 1.000


perempuan (rata-rata per tahun selama 1995-2005)

Andhra
Jenis Kasus Kerala Punjab Orissa Delhi
Pradesh

Pemerkosaan 1,63 1,17 2,1 1,2 3,17

Pembunuhan
0,1 0,83 0,73 0,63 0,93
Dowry

Kekerasan
7,33 2,67 3 6,4 0,8
Suami

Kekerasan
Seksual 5,3 0,93 4,4 4,2 4,4
Terhadap
71

Anak
Perempuan

Pelecehan
0,23 0,07 0,5 2,3 1,1
Seksual

Total
Kejahatan
15,2 7,03 13 17 18,3
Terhadap
Perempuan

Sumber: State Crime Records Bureau dalam Aparna & Singh (2007)

Tabel 3.14 menunjukkan bagaimana posisi Kerala termasuk buruk,


dibandingkan dengan negara bagian lainnya di India. Kerala menempati posisi
tertinggi diantara empat negara bagian pembanding dalam hal kekerasan suami dan
kekerasan seksual terhadap anak. Selanjutnya, penulis akan menyajikan grafik
peringkat Kerala dan empat negara bagian pembanding dalam skala nasional India
(32 negara bagian) untuk kasus (1) pemerkosaan, (2) kekerasan suami, (3)
kekerasan seksual pada anak, dan (4) total kejahatan terhadap perempuan (lihat
grafik 3.5).

Grafik 3.5 Posisi Kerala dan Empat Negara Bagian Lain Berdasarkan Kejahatan
Terhadap Perempuan Menurut Jenis Kasusnya (2005)

Total

Kekerasan Seksual pada Anak

Kekerasan Suami

Pemerkosaan

0 5 10 15 20 25 30
Delhi Andhra Pradesh Orissa Punjab Kerala
Sumber: State Crime Records Bureau dalam Aparna & Singh (2007)

Pada grafik, tampak bahwa Kerala menempati peringkat ke-9 di India dalam
hal tingkat kejahatan terhadap perempuan. Lebih buruk lagi, Kerala menduduki
peringkat ke-4 untuk kategori kejahatan kekerasan suami dan kekerasan seksual

Universitas Indonesia
72

pada anak. Hal ini menjadi potret buram bagi Kerala, sebagai negara bagian dengan
track record tingkat literasi perempuan dan Gender Development Index tertinggi di
India, serta keberhasilan penerapan beragam kebijakan afirmasi yang mendorong
perbaikan posisi perempuan di tengah masyarakat sebagai gender subordinat
(kelompok yang termarjinalkan). Selain kematian akibat menjadi korban kejahatan,
perempuan juga kerap menjadi korban bunuh diri akibat berbagai tuntutan sosial
yang tinggi dari masyarakat (Aparna & Singh, 2007:7).

Tabel 3.15 menunjukkan persentase bunuh diri dengan perempuan sebagai


korban berdasarkan kategori sebabnya. Terdapat tiga kategori penyebab bunuh diri
dimana persentase perempuan melebihi 50%, artinya melebihi laki-laki yang bunuh
diri untuk sebab yangs sama. Ketiga kategori tersebut adalah (1) kegagalan dalam
ujian, (2) perselingkuhan pasangan (suami), dan (3) kehamilan di luar nikah.
Namun, persentasenya nyaris selalu 100% untuk kategori penyebab kehamilan di
luar nikah. Hal ini sangat bisa diprediksi, karena kehamilan di luar nikah merupakan
hal yang terkutuk bagi sebagian besar masyarakat Kerala dan seperti biasa,
meskipun kehamilan itu sudah pasti dilakukan berdua dengan laki-laki karena
manusia bukan spesies hermafrodit, yang selalu mendapat kecaman dan hujatan
hanyalah pihak perempuan. Akhirnya, setiap kali terjadi kasus kehamilan di luar
nikah, perempuan akan selalu menjadi pihak yang lebih rentan untuk bunuh diri.

3.15 Persentase Kasus Bunuh Diri Perempuan per Kategori Sebab

Persentase Kasus oleh Perempuan (%)


Kategori Sebab
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Gagal dalam Ujian Sekolah 52 57 54 51 59 58 62
Perselingkuhan Pasangan 53 57 51 68 60 56 54
Kehancuran Reputasi Sosial 17 9 19 34 26 37 47
Kehamilan di Luar Nikah 100 97 91 100 90 100 98
Sengketa Dowry 85 100 86 97 94 70 100
Kemiskinan 18 8 34 7 31 22 0
Penyakit Mental 33 32 36 34 34 39 31
Sengketa Harta 23 29 38 31 30 37 29
Penyakit Berat yang
30 31 33 31 32 34 27
Menyiksa
Tidak Punya Pekerjaan 14 13 18 13 18 22 15
Kebangkrutan Ayah/Suami 13 12 12 13 21 22 20
Kematian Orang Terdekat 25 42 49 51 58 43 41
73

Sebab Tidak Diketahui 26 27 27 31 27 29 32


Sebab Lainnya 29 62 37 31 30 19 29
Persentase Perempuan Bunuh
28 30 33 31 31 30 29
Diri (Total)
Sumber: State Crime Records Bureau dalam Aparna & Singh (2007)

Persoalan-persoalan di atas menunjukkan sejumlah kepentingan gender


strategis yang belum terjangkau setelah terjadinya peningkatan keterwakilan
perempuan selama satu dekade pertama berlakunya kebijakan reservasi. Namun
demikian, terakomodasinya satu kepentingan gender strategis, yaitu kemunculan
perempuan-perempuan yang menempati posisi Sarpanch, secara teoritis akan dapat
membuka kemungkinan lebih besar bagi perkembangan keterwakilan substantif
perempuan. Dengan hadirnya perempuan memegang posisi strategis, maka terjadi
akomodasi kepentingan gender praktikal yang cukup masif dan signifikan—
sebagaimana telah penulis bahas pada subbab sebelumnya.

Universitas Indonesia
BAB 4

KESIMPULAN

Institusionalisasi PRI melalui Amandemen Konstitusi India ke-73 Tahun


1992 menghadirkan arena politik baru di tiap-tiap desa di seluruh India. Arena
politik ini kemudian diperlengkapi dengan reservasi kursi bagi kelompok yang
termarjinalkan melalui Amandemen ke-74 Tahun 1992. Kelompok termarjinalkan
tersebut adalah (1) perempuan, (2) kasta bawah (scheduled caste), dan (3) suku
minoritas (scheduled tribe). Kuota yang diberikan untuk perempuan adalah sebesar
33%. Keberadaan reservasi kursi ini telah berhasil mendongkrak keterwakilan
perempuan dalam politik, khususnya di negara bagian Kerala.

Kehadiran perempuan di PRI membawa peluang besar bagi kelompok


perempuan untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Hal ini terutama didukung
dengan praktik demokrasi deliberatif dalam proses pembuatan keputusan di PRI,
dimana anggota PRI dapat menyampaikan pendapat mereka secara bebas dalam
rapat-rapat Panchayat. Dengan demikian, perempuan-perempuan di dalam PRI
memiliki kesempatan menyampaikan aspirasi mereka, sama halnya dengan laki-
laki. Penelitian ini menemukan bahwa peningkatan keterwakilan deskriptif
perempuan telah mendorong terjadinya akomodasi kepentingan perempuan—yang
merupakan bentuk keterwakilan substantif.

Terdapat sejumlah bentuk akomodasi kepentingan perempuan yang terjadi


dalam kurun waktu satu dekade pertama meningkatnya keterwakilan akibat
pemberlakuan kebijakan reservasi (1995-2005). Pertama, terjadi perubahan
prioritas kebijakan di PRI yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar rumah
tangga—antara lain ketersediaan air bersih dan sanitasi yang layak—sebagai
kepentingan gender praktikal perempuan. Kedua, adanya distribusi manfaat yang
lebih baik dalam penyelanggaraan program-program pemberdayaan perempuan
dari pusat. Ketiga, munculnya respons dari perempuan-perempuan di PRI terhadap
masalah sosial, salah satunya masalah minuman keras yang disebut thekas.

74
75

Perempuan di PRI membangun gerakan melawan miras yang meresahkan


perempuan dikarenakan peredarannya cukup kuat diantara anak dan remaja.

Tiga perwujudan akomodasi kepentingan perempuan yang penulis sebutkan


termasuk dalam kategori kepentingan gender praktikal. Namun, terdapat faktor
penting yang mendorong terjadinya akomodasi kepentingan tersebut, yakni
kehadiran Sarpanch perempuan sebagai aktor kunci. Sarpanch, kepala Panchayat,
memiliki wewenang istimewa untuk menentukan agenda dari rapat-rapat
Panchayat. Dengan demikian, perempuan-perempuan yang menduduki posisi
Sarpanch memiliki peluang yang besar untuk mendorong kepentingan mereka
dalam proses pembuatan keputusan. Munculnya perempuan-perempuan yang
duduk pada posisi Sarpanch penulis lihat sebagai suatu bentuk kepentingan gender
strategis, dimana perempuan bergerak dari gender subordinat yang pasif menjadi
setara dengan laki-laki, turut hadir pada posisi strategis dalam politik dan
mendorong insiatif terkait kepentingan perempuan. Oleh karenanya, peningkatan
keterwakilan perempuan telah berdampak pada akomodasi kepentingan
perempuan, baik kepentingan gender praktikal maupun strategis.

Perwujudan akomodasi kepentingan perempuan yang terjadi


mengkonfirmasi tesis dalam teori critical mass dari Kanter dan Dahlerup. Ketika
kehadiran perempuan di politik melampau ambang critical mass (35%)20, maka
perempuan akan mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka dan
membawa perubahan. Dalam tesis Dahlerup, terdapat enam ranah yang menjadi
ruang potensi perubahan saat keterwakilan perempuan melampaui ambang critical
mass (lengkapnya penulis bahas pada subbab 1.6.3, hlm.15). Di dalam penelitian
ini, penulis menemukan perubahan terjadi dalam tiga ranah.

Ketiga ranah tempat terjadinya perubahan tersebut adalah sebagai berikut.


Pertama, ada pada ranah diskursus politik, dimana terjadi redefinisi kepentingan
politik yang memprioritaskan isu-isu kebutuhan rumah tangga. Kedua, ada pada
ranah agenda kebijakan, dimana terjadi distribusi manfaat kebijakan pemberdayaan
yang lebih baik bagi kelompok perempuan sebagai beneficiaries. Ketiga, ada pada
ranah pengaruh dan kekuasaan perempuan, dimana perempuan yang menjabat

20
Ambang ini baru terlampau pada pemilu ke-2 (tahun 2000) dan ke-3 (2005)

Universitas Indonesia
76

sebagai Sarpanch menggunakan posisi strategis mereka untuk mendorong


terjadinya akomodasi kepentingan perempuan dalam PRI.

Meskipun telah terjadi akomodasi kepentingan perempuan dalam berbagai


bentuk akibat peningkatan keterwakilan perempuan, dalam penelitian ditemukan
sejumlah persoalan yang belum mengalami perbaikan berarti selama satu dekade
pertama berlakunya kebijakan reservasi (1995-2005). Persoalan tersebut khususnya
yang melibatkan nilai-nilai tradisional di tengah masyarakat yang patriarkis, antara
lain kekerasan suami, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Namun demikian,
melihat fakta-fakta optimis dari peningkatan keterwakilan perempuan yang telah
penulis jabarkan di sepanjang bab III, bukan tidak mungkin persoalan-persoalan
tersebut dapat diselesaikan di masa depan. Terutama dengan semakin banyaknya
perempuan yang hadir dalam politik, sebagaimana tesis dari Kanter dan Dahlerup,
ada peluang besar untuk terjadi pula perubahan paradigma dan nilai di masyarakat
yang secara gradual dapat menghapuskan persoalan-persoalan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Annesley, Claire, et al. 2010. Engendering Politics and Policy: The Legacy of New
Labour. The Policy Press.

Aparna, Thomas. 2006. Formal and Informal Institutions: Gender and


Participation in the Panchayati Raj. Western Michigan University

Aslop, Ruth J., Krishna, Anirudh, & Sjoblom, Disa. 2001. Inclusion and Local
Elected Governments: The Panchayat Raj System in India. World Bank.

Baviskar, B. S. 2003. A Decade of Women’s Empowerment Through Local


Government in India. New Delhi: Institute of Social Sciences.

Benhabib, Seyla. 2002. The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global
Era. New Jersey: Princeton University Press.

Chachko, Soman. 1993. Grass Roots Leadership and Rural Development: A Case
Study of Leadership in Village Panchayats of Kerala. University of Baroda.

Creswell, John W. Creswell. 2013. Research Design: Pendekatan Kualitatif,


Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dwivedi, Ritesh, Poddar, & Krishna, Mohan. 2013. Functioning of Panchayati Raj
Institution in India: A Status Paper.

Getz, Vicki. 2005. Gateways and Gatekeepers, Empowerment through


Reservation: The Experience of Elected Women Representatives in Kerala,
India Panchayats. Washington State University.

Gosh, Rangeet. 2008. Structure and Major Function of Panchayati Raj Institution
(PRIs) in India.

Kalaramadam, Sreevidya. 2016. Gender, Governance, and Empowerment in India.


London: Routledge.

Mouffe, Chantal. 2000. The Democratic Paradox. New York: Verso.

77 Universitas Indonesia
78

Mukhopadhyay, Carol Chapnick & Seymour, Susan. 1994. Women, Education and
Family Structure in India. Boulder: Westview Press.

Phillips, Anne. 1995. The Politics of Presence: The Political Representation of


Gender, Ethnicity, and Race. New York: Oxford University Press.

Pitkin, Hanna Fenichel. 1967. The Concept of Representation. Berkeley: University


of California Press.

Sanilkumar, P. K. 2001. Emerging Leaders in Panchayati Raj: A Study of Two


Districts in Kerala. New Delhi: Jawaharlal Nehru University Press.

Shah, B. C. & Pandya, J. N. 1989. Revival of Panchayati Raj: Trends and Problems.
Gujarat: Sardal Patel University.

Thakur, Minni. 2010. Women Empowerment through Panchayati Raj Institutions.


New Delhi: Concept Publishing Company Pvt. Ltd.

Sumber Jurnal

Behera, Bhagaban. “Dalit Women’s Political Empowerment through Panchayati


Raj System in India” dalam Voice of Dalit, Vol.4, No.2 (2011): hlm.215-226.
MD Publications Pvt. Ltd.

Bilava, Naraya, & Nayak, N. S. “Empowerment of Women Representatives in


Panchayat Raj Institutions: A Thematic Review” dalam Journal of Politics
& Governance, Vol. 5, No.4 (2016): hlm. 5-18.

Buch, Nirmala. “Women’s Experience in New Panchayats: The Emerging


Leadership of Rural Women” dalam Occasional Paper No.35 (2001): hlm.1-
25. CWDS.

Childs, Sarah & Krook, Mona Lena. "Critical Mass Theory and Women's Political
Representation" dalam Political Studies Vol. 56 (2008): hlm. 725-736.
Political Studies Association.

Cornwall, Andrea. “Unpacking Participation: Models, Meanings, and Practices”


dalam Community Development Journal Vol.43 No.3 (2008): hlm. 269-283.
79

Dominic, Beena. “Women’s Education as a Tool of Social Transformation: A


Historical Study on Kerala Society” dalam International Journal of Scientific
& Engineering Research Vol. 2 No. 10 (2006): hlm. 1-7.

Eapen, Miridul & Kodoth, Praveena. “Family Structure, Women’s Education and
Work: Re-Examining the High Status of Women in Kerala” dalam
International Journal of Development (2003): hlm.1-32. International
Development Research Data Centreof Canada.

Gibson, Christopher. “Making Redistributive Direct Democracy Matter:


Development and Women’s Participation in the Gram Sabhas of Kerala,
India” dalam American Sociological Review Vol.77, No.3 (2012): hlm.409-
434.

Hussain, Shahadat. “Evaluate the Participation Level of Elected Women


Representatives (EWRs) in Panchayati Raj Institutions and Challenges
Faced by them: A Study of Kadwa Block in Katihar of Bihar” dalam Social
Work Chronicle Vol.4, No.1 & 2 (2015): hlm.61-76. New Delhi: IGNOU.

Imai, Katsushi & Sato, Takahiro. “Decentralization, Democracy, and Allocation of


Poverty Alleviation Programmes in Rural India” dalam European Journal of
Development Research Vol. 24 (2012). Jepang: Kobe University.

Karkora, Tejeswar. “Decentralized Governance and Political Empowerment of


Women: Gram Panchayats in Koraput District of Odisha, India” dalam
Rajagiri Journal of Social Development, Vol.7, No.1 (2015): hlm.30-46.
ProQuest.

Kaul, Shashi & Sahni, Shradha. “Study on The Participation of Women in


Panchayati Raj Institution” dalam Studies on Home and Community Science
Vol.3 No.1 (2009): hlm.29-38. Government College for Women Parade.

Kumari, Renu & Singh, Riya Sam. “Study on Participation of Women in Panchayati
Raj Institutions in Bihar” dalam Indian Res. Journal Ext. Edu. Vol. 12, No.2
(2012): hlm.96-100.

Universitas Indonesia
80

Lovenduski, Joni & Norris, Pippa. “Westminster Women: The Politics of Presence”
dalam Political Studies Vol.51 (2003): hlm.84-102. Oxford: Blackwell
Publishing Ltd.

Menon, Nivedita. “Sexuality, Caste, Governmentality: Contests over ‘Gender’ in


India” dalam Feminist Review 91 (2009): hlm.94-112.

Mishra, Sanjay, & Geeta. 2016. Panchayati Raj Institution in India: Prospects And
Retrospections. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-
JHSS) Volume 21, Issue 3.

Molyneux, Maxine. “Mobilization without Emancipation? Women’s Interests, the


State, and Revolution in Nicaragua” dalam Feminist Studies Vol.11 No.2
(1985): hlm.227-254. Feminist Studies Inc.

Nair, Nisha Velappan & Moolakkattu, John. “Women Component Plan at the
Village Panchayat Level in Kerala: Does it Live Up to its Promise?” dalam
Indian Journal of Gender Studies Vol.21 No.2 (2014): hlm. 247-276.

Parayil, Govindan & Sreekumar, T. “Kerala’s Experience of Development and


Change” dalam Journal of Contemporary Asia Vol.33, No.4 (2003):
hlm.465- 492.

Sekhon, J. “Engendering Grassroots Democracy: Research, Training, and


Networking For Women in Local Self-Governance in India” dalam NWSA
Journal, Vol. 18, No.2 (2006): hlm. 101-122.

Sunny, Celine. “Governance at The Grassroots: Innovative Leadership of a Woman


Panchayat President in Kerala” dalam Rajagiri Journal of Social
Development Vol.6, No.1 (2014): hlm.40-48. Rajagiri College of Social
Sciences.

Sharma, Rashmi. “Kerala’s Desentralisation: Idea in Practice” dalam Economic


and Political Weekly (2003): hlm.3832-3851.
81

Sumber Dokumen

Ministry of Women and Child Development Government of India (WCD).


Gendering Human Development Inices: Recasting the Gender Development
Index and Gender Empowerment Measure for India (2009).

Mitra, Aparna & Singh, Pooja. 2007. Human Capital Attainment and Gender
Empowerment: The Kerala Paradox. The Southwestern Social Science
Association Publication.

Radha, B.R.C., (2002). Women in Local Bodies. Discussion Paper. Centre for
Development Studies, Kerala Research Progrmme on Local Level
Development.

Shanker, Richa. 2010. Measurement of Women’s Political Participation at the


Local Level: India Experience. Ministry of Statistics and Program
Implementation.

Shvedova, Nadezhda. “Obstacles to Women in Parliament” dalam Women in


Parliament: Beyond Numbers (2005): hlm.31-50. International Institute for
Democracy and Electoral Assistance.

Sumber Internet

Jain, Therattil. 2004. Political Representation of Women in Panchayati Raj


Institutions: Examining the Indian Experiment with Affirmative Action.
Diakses melalui semanticscholar.org

Mondal, Puja. 2010. Panchayati Raj: Historical Backdrop, Reason, and Functions
of Panchayati Raj. http://www.yourarticlelibrary.com/sociology/panchayati-
rajhistorical-backdrop-reason-and-functions-of-panchayati-raj/32010.

Pooja, Singh. Panchayati Raj Institution: Evolution, Features, Composition,


Powers, Function. 2010. https://www.civilsdaily.com/panchayati-raj-
institutionevolution-features-composition-powers-functions/.

Universitas Indonesia
82

Pradeep, P. R. I. et al. 2005. Downtoearth.org.in. “In-depth: Panchayat’s Working


Womena”. https://www.downtoearth.org.in/indepth/panchayats-
workingwomen-22753, 10 Mei 2019, pukul 12.13 WIB.

Rao, Bhanupriya. 2017. Krishnaveni’s Story And The Era Of Women Panchayat
Presidents. Diakses melalui archive.indiaspend.com.

Unnikrishnan, Hiran. 2015. First Woman to Head a Panchayat. Diakses melalui


https://www.thehindu.com/news/national/kerala/first-woman-to-head-
apanchayat/article7812293.ece pada 11 Mei 2019, pukul 13.53 WIB.

Vijalakshmi, E. 2015. Women Panchayat Presidents are No Rubber-Stamp


Leaders. Diakses melalui
https://www.downtoearth.org.in/coverage/women-panchayatpresidents-are-
no-rubberstamp-leaders-13330 pada 10 Mei 2019, pukul 22.16 WIB.

Anda mungkin juga menyukai