SKRIPSI
1306415535
DEPOK
Juli 2019
KATA PENGANTAR
2. Mbak Evida Kartini, selaku dosen pengampu kelas Asia Selatan yang telah
menginspirasi penulis untuk meneliti tentang masyarakat Asia Selatan, khususnya
Kerala, India. Khususnya karena di dalam deck presentasi mbak Evida, semua
masyarakat Asia Selatan jadi terkesan menarik untuk diteliti. Jujur saja, setelah
mengerjakan penelitian ini dengan jungkir balik, saya jadi agak merasa tertipu
dengan kemasan presentasi mbak Evida.
3. Mbak Nuri Soeseno, selaku dosen penguji, yang telah mendedikasikan waktu dan
energi selama dua minggu penuh membimbing dan membantu penulis
menyelesaikan revisi tulisan ini. Referensi buku dan jurnal dari mbak Nuri telah
membantu penulis melakukan perbaikan mendasar dan penting yang membuat
laporan penelitian ini menjadi jauh lebih baik—meskipun masih jauh dari ideal.
Mbak Nuri adalah dosen pengampu mata kuliah Pemikiran Politik Kontemporer
yang telah membuat penulis membaca habis banyak buku filsafat, termasuk The
Democratic Paradox karya Chantal Mouffe dan Liberalism and the Limits of
Justice karya Michael Sandel. Namun, sampai hari ini penulis masih cenderung
liberal hehehe—condong libertarian siiih, dekat ke Mises dan Richard Thaler.
4. Mas Ali Muhyidin, selaku ketua sidang yang juga ikut menguji skripsi ini. Mas
Ali di mata penulis adalah dosen terbaik untuk urusan logika dan rasionalitas. Saat
iv
mengajar, mas Ali akan sering sekali memberikan contoh-contoh pemikiran dan
argumentasi yang beliau sebut “doesn’t make any sense at all”. Antara senang dan
waswas juga penulis saat sidang tidak mendapat komentar itu. Bisa jadi mas Ali
tidak komen begitu karena tulisan penulis tidak seburuk itu atau malah jauh lebih
buruk dari itu, jadi sudah bukan “out of sense” lagi, tapi “out of universe”.
Untungnya mas Ali selalu kasih kesempatan kedua untuk mahasiswanya belajar
lagi dan memperbaiki diri. Inilah alasan utama mas Andrinov kalah pamor dari
mas Ali dalam mata kuliah Politik Lingkungan.
5. Mas Syaiful Bahri, selaku sekretaris sidang yang juga ikut menguji skripsi ini.
Gak nyangka banget sidang penulis akan diuji mas Syaiful. Di kelas aja mas
Syaiful bikin deg-degan, apalagi dalam sidang. Dan ternyata, mas Syaiful tetaplah
mas Syaiful yang sama, di kelas maupun di ruang sidang. Dingin dan muncul
dengan pertanyaan tajam. Ya, khas mas Syaiful. Nevertheless, masukan dan
pertanyaan dari mas Syaiful telah membantu penulis dalam melakukan perbaikan
tulisan ini.
6. Sejumlah orang yang rajin sekali mengingatkan penulis mengerjakan skripsi: Mas
Ade Armando, mas Nur Iman Subono, Edbert Gani Suryahudaya (Politik 2012),
Jasin Fadillah (Politik 2011).
8. Ibu Agnes Vera Widyastuti, ibu penulis yang luar biasa. Janda yang membesarkan
tiga anak perempuan tanpa pendampingan laki-laki sebagai suami. Beliau telah
menghabiskan sebagian besar masa hidupnya untuk membesarkan anak-anaknya
dalam hidup yang bersahaja, dengan komitmen untuk tidak menikah lagi karena
“terlalu berisiko membawa laki-laki asing ke dalam hidup tiga anak perempuan,”
katanya. Perjuangan beliau yang telah membuat penulis percaya bahwa
keberdayaan perempuan itu nyata.
v Universitas Indonesia
ABSTRAK
viii
ABSTRACT
This bachelor thesis discusses the impact of the increase of women’s representation
through reservation in the Panchayati Raj Institution (PRI) to the accommodation of
women’s interests in Kerala, India during 1995-2005. The author explores several
concepts to explain variables involved: the concept of representation and women’s
representation, deliberative democracy (as practiced in PRI), and the concept of women’s
interests (which is categorized into two: practical gender interests and strategic gender
interests). This research is based on the critical mass theory from Rosabeth Moss Kanter
(1977) and Drude Dahlerup (1988). The thesis of this theory is if women’s representation
achieves certain degree of proportion—called “critical mass”, then women will be able
to rise their aspiration and make impact. This research finds that the increase of women’s
descriptive representation has brought impact on bringing women’s interests into
realization (a form of substantive representation), both practical gender interests and
strategic gender interests.
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
x
BAB 3 KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PRI DAN DAMPAKNYA
TERHADAP AKOMODASI KEPENTINGAN PEREMPUAN DI KERALA:
DARI PERWAKILAN DESKRIPTIF KE SUBSTANTIF....................................37
3.1 Profil Kerala ......................................................................................................37
3.1.1 Konteks Sosial-Politik di Kerala ................................................................37
3.1.2 Permasalahan Perempuan di Kerala ...........................................................41
3.2 Keterwakilan Deskriptif Perempuan di PRI Kerala ..........................................50
3.2.1 Peningkatan Keterwakilan Deskriptif Perempuan di PRI Kerala ...............50
3.2.2 Latar Belakang Keterpilihan Perempuan di PRI Kerala .............................51
3.3 Keterwakilan Substantif Perempuan di PRI Kerala ..........................................56
3.3.1 Wujud Akomodasi Kepentingan Perempuan di Kerala ..............................56
3.3.2 Sarpanch Perempuan sebagai Aktor Kunci ................................................66
3.3.3 Keterbatasan dalam Mengakomodasi Kepentingan Gender Strategis ........69
xi Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR BAGAN
DAFTAR GRAFIK
PENDAHULUAN
1
Disingkat PRI. Sebuah badan eksekutif lokal yang terdiri atas tiga lapis desentralisasi. Di lapis
paling atas, yakni tingkat distrik, terdapat Zila Parishad. Kemudian, di lapis berikutnya, yakni
tingkat Blok, terdapat Panchayat Samiti. Terakhir, di tingkat Desa, terdapat Gram Panchayat. Di
masing-masing badan PRI ini terdapat seorang kepala yang disebut Sarpanch, Wakil Sarpanch,
Sekretaris Panchayat, dan para anggota yang disebut Panchas.
2
Jauh sebelum adanya regulasi ini, praktik sejenis PRI sudah banyak dilakukan secara organik di
sejumlah desa di negara bagian tertentu. Praktik tertua dilakukan di sebagian besar desa di Kerala.
Bentuknya adalah pemerintahan desa yang otonom yang secara rutin mengadakan musyawarah
rembuk desa (selengkapnya akan dijelaskan di bab 2). Jadi, amandemen ini menandai kehadiran PRI
secara formal dalam pemerintahan India, tetapi bukan sebagai sesuatu yang sama sekali baru bagi
masyarakat India, khususnya masyarakat Kerala.
1 Universitas Indonesia
2
3
Dalam melakukan alokasi anggaran, PRI memiliki sebuah mekanisme musyawarah warga yang
disebut dengan Gram Sabha. Kegiatan ini dapat dihadiri oleh seluruh warga yang sudah berusia 17
tahun ke atas. Nantinya, aspirasi dari Gram Sabha akan dibahas lagi oleh para Panchas dan pengurus
Panchayat dalam rapat-rapat Panchayat, untuk akhirnya diputuskan sebuah rancangan alokasi
anggaran untuk keperluan warga di bawah wewenang satu Panchayat.
4
Kurang atau sulit mendapatkan akses untuk berpartisipasi sebagai subjek dalam kehidupan publik,
baik di ranah politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
5
Selanjutnya akan disebut SC (Scheduled Caste), yang mencakup sejumlah kasta kelas bawah, yang
berbeda-beda di setiap negara bagian.
6
Selanjutnya akan disebut ST (Scheduled Tribe), yang mencakup sejumlah suku minoritas, yang
berbeda-beda di setiap negara bagian.
7
Artinya, kursi direservasi bukan di tahap pencalonan, melainkan di tahap akhir. Jadi, 33% kursi di
tiga lapis PRI akan selalu direservasi untuk perempuan, meskipun yang terpilih melalui pemilihan
langsung tidak mencapai persentase tersebut. Mekanisme penunjukkan perempuan yang menempati
kursi reservasi tanpa menang pemilihan diserahkan kepada Lok Sabha (parlemen India). Hingga
tulisan ini dibuat, belum ada sanksi khusus yang diberlakukan untuk pelanggaran terhadap ketentuan
kuota. Hal ini menjelaskan fakta adanya negara bagian yang belum berhasil mencapai ambang batas
ini.
3
dalam politik meningkat, dengan menjadi anggota dan pimpinan PRI (Behera,
2011:216).
Dampak dari peningkatkan keterwakilan perempuan ini diteliti oleh Behera
dalam makalahnya yang berjudul “Dalit Women’s Political Empowerment through
Panchayati Raj System in India” (2011). Hasil wawancara dengan beberapa
narasumber lokal menunjukkan bahwa peningkatan keterwakilan ini telah
memberikan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan sumber daya–distribusi
sumber daya negara dilakukan berdasarkan aspirasi yang masuk dari Gram Sabha
(Sunny, 2014:41). Dengan banyaknya bermunculan perempuan di ruang publik,
warga perempuan pun lebih aktif terlibat di Gram Sabha. Pada tahun 2000,
partisipasi perempuan di Gram Sabha mencapai angka 43,4% (tertinggi dalam
sejarah India).
Berdasarkan data dari penelitian Gibson (2012), kuota reservasi perempuan
di PRI (yang kemudian meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik)
memiliki sejumlah signifikansi sebagai berikut. Pertama, membuka peluang yang
lebih besar untuk masuknya perspektif perempuan dalam proses pembuatan
kebijakan pembangunan. Kedua, membangun persepsi positif untuk warga
perempuan pada umumnya untuk merasa pantas terlibat dalam Gram Sabha yang
menentukan distribusi pengadaan barang dan layanan publik di desa mereka.
Ketiga, menciptakan peluang politik bagi pihak-pihak yang termarjinalkan untuk
mengklaim barang dan layanan publik yang hendak disediakan Negara (Gibson,
2012:417).
Sejak adanya amandemen ke-73 dan 74 di India, telah banyak penelitian
yang dilakukan untuk memotret fenomena tersebut dari berbagai sisi. Penulis
tertarik dengan sejumlah penelitian yang menempatkan Kerala sebagai role model
yang dianggap telah berhasil meningkatkan kualitas keterwakilan dan partisipasi
perempuan dengan memanfaatkan amandemen ke-73 dan 74 secara optimal
(Shanker, 2010:6; Thakur, 2010:13-14). Adapun yang dimaksud dengan
keterwakilan dan partisipasi di sini bukan hanya dalam artian persentase kursi yang
diduduki oleh perempuan, melainkan juga bagaimana perempuan terlibat aktif,
hadir, dan bersuara dalam pertemuan-pertemuan Panchayat sebagai pimpinan
maupun anggota Panchayat.
Universitas Indonesia
4
1.2 Permasalahan
PRI telah membuka lokus kekuasaan baru yang kemudian menambah
jumlah orang yang menjadi bagian dari decision making process, tidak terkecuali
perempuan. Masuknya perempuan di arena politik PRI ini didukung pula dengan
keberadaan kuota afirmasi yang diberlakukan sejak Amandemen ke-74 Konstitusi
India, sehingga menjadi menarik apabila relasi PRI dengan isu perempuan dapat
diteliti lebih jauh, terutama apabila dilihat dari komunitas masyarakat yang
dianggap berhasil, dalam konteks ini adalah Kerala. Apakah peningkatan jumlah
perempuan yang masuk ke dalam lokus kekuasaan ini berdampak secara langsung
terhadap akomodasi kepentingan perempuan? Merujuk salah satu notion dari Anne
Phillips, “the Politics of Presence”, kehadiran dipercaya sebagai jalan transformasi
dari “standing as” atau berdiri sebagai perempuan menuju “acting for” atau
bertindak untuk kepentingan perempuan sebagai kelompok.
Apabila melihat hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, tampak bahwa
keberadaan kuota reservasi telah secara nyata dan signifikan meningkatkan
keterwakilan deskriptif perempuan dalam politik. Selain itu, terdapat beberapa
penelitian juga yang menjabarkan adanya perubahan arah kebijakan secara umum
terhadap fokus alokasi anggaran ke arah urusan rumah tangga, seperti sanitasi, air
bersih, dan sumber listrik. Namun, penelitian tersebut kurang menjelaskan secara
mendalam bagaimana perubahan arah kebijakan tersebut dapat terjadi dan
5
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
8
theorists”). Secara gamblang, cara pandang otorisasi dapat dipahami sebagai cara
pandang yang menekankan pada ada tidaknya pemberian otoritas atau wewenang
dari terwakil kepada wakil. Pitkin menjelaskan:
Dengan definisi ini, maka dapat dikatakan bahwa sejak wewenang mewakili
sudah diberikan, segala sesuatu yang dikerjakan seorang wakil dalam
wewenangnya sebagai wakil sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai
tindakan "mewakili" (the act of representing).
Universitas Indonesia
10
menjadikan aspirasi tersebut sebagai landasan dari segala tindakan yang ia ambil
selama bertindak mewakili (act as representative) (Pitkin, 1967:58-59).
Universitas Indonesia
12
terlibat dalam politik. Kedua, kehadiran perempuan dalam institusi politik dapat
sekaligus menghadirkan kepentingan perempuan yang terabaikan sebelumnya.
Ketiga, keterwakilan perempuan menjadi elemen mendasar dalam perwujudan
keadilan antar gender. Keempat, kehadiran perempuan dalam politik akan
meningkatkan kualitas kehidupan politis perempuan (political life). Phillips sendiri
menekankan pada rationale ketiga, sebagaimana tergambar dalam pernyataannya
yang berbunyi:
Universitas Indonesia
14
ikut memilih dalam demokrasi, dan lain sebagainya. Hal-hal ini telah secara nyata
membatasi perempuan dari partisipasi politik (Benhabib, 2002:195). Dalam
meningkatkan partisipasi politik perempuan, pemikir feminis terpecah ke dalam
dua pendekatan, yakni (1) meningkatkan partisipasi perempuan ke dalam institusi
politik formal dan (2) memperluas definisi dari "politik" itu sendiri sehingga
menjangkau berbagai bentuk partisipasi perempuan lainnya di luar institusi politik
formal. Pandangan Phillips, yang menjadi acuan penulis, tergolong dalam
pendekatan pertama.
Universitas Indonesia
16
inductively and arise from the concrete conditions of women’s positioning within
the gender division of labor¾kepentingan yang dibangun secara induktif dan
muncul dari kondisi konkret posisi perempuan dalam pembagian kerja gender”
(Molyneux, 1985:233). Dengan pengertian ini, kepentingan gender praktikal dapat
dipahami sebagai kepentingan perempuan yang konkret, yang riil dalam kondisi
status quo, tanpa mempersoalkan keberadaan pembagian kerja gender tradisional
(ataupun nilai-nilai tradisional seputar gender lainnya). Moleyneux (1985:233)
menambahkan, “…these interests are usually a response to an immediate perceived
need, and they do not generally entail a strategic goal such as women’s
emancipation or gender equality¾kepentingan ini biasanya adalah respons
terhadap kebutuhan urgen dan mereka tidak mengandung tujuan-tujuan strategis
seperti emansipasi perempuan ataupun kesetaraan gender”. Kebutuhan urgen di sini
dapat dimaknai sebagai kebutuhan reguler sehari-hari yang harus terpenuhi.
Moleyneux memberikan contoh kepentingan gender praktikal, yaitu kebutuhan
makan dan air minum. Hal ini menjadi kepentingan perempuan, karena perempuan
berada dalam posisi yang bertanggung jawab menyediakan konsumsi di rumah.
Kepentingan perempuan dalam urusan domestik digambarkan oleh Moleyneux
dengan amat baik dalam pernyataan berikut:
“When government fail to provide basic needs, women withdraw
their support. When the livelihood of their families¾especially their
children¾is threatened, it is women who form the phalanxes of
bread rioters, demonstrators, and petitioners” (Moleyneux,
1985:233).
“...a model for organizing the collective and public exercise of power
in the major institutions of a society on the basis of the principle that
decisions affecting the well-being of a collectivity can be viewed as an
outcome of a procedure of free and reasoned deliberation among
individuals considered as moral and political equals” (Benhabib,
2002:105).
Dari pemaknaan ini, penulis menyimpulkan terdapat tiga elemen yang harus
dipenuhi dalam praktik demokrasi deliberatif, yaitu (1) adanya sebuah
pengorganisasian kekuasaan dan massa dalam sejumlah institusi masyarakat, (2)
kekuasaan (yang terorganisasi) tersebut dapat membuat keputusan yang
menentukan nasib atau kesejahteraan (well-being) dari massa, dan (3) keputusan
tersebut merupakan hasil dari delibrasi yang bebas dan rasional antara individu
(bagian dari massa) yang setara, baik secara moral maupun politis.
Sementara itu, dalam memaknai proses deliberasi itu sendiri, penulis
merujuk kepada pembacaan Mouffe (2000:46-47) terhadap konsep demokrasi
Benhabib. Deliberasi dimaknai oleh Benhabib sebagai proses pembuatan keputusan
yang melibatkan orang secara bebas dan setara. Ada tiga elemen yang harus
dipenuhi untuk terselenggaranya proses deliberasi dengan baik (Mouffe, 2000:47),
yakni (1) partisipasi diselenggarakan dengan norma kesetaraan dan kesamaan
(semua partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bertindak, bertanya,
menginterogasi, mendebat, dan lain sebagainya dalam ruang institusi demokrasi
yang tersedia), (2) semua partisipan memiliki hak untuk mempertanyakan
topik/wacana yang dijadikan bahan pembicaraan/pembahasan, dan (3) semua
partisipan memiliki hak untuk mengajukan argumen terhadap aturan yang berlaku
di dalam penyelenggaraan pembicaraan/pembahasan.
Universitas Indonesia
18
Istilah "critical mass" sendiri dapat dipahami sebagai sebuah ambang massa
kritikal, dimana "massa" bisa diartikan sebagai intensitas yang tergambarkan
dengan kuantitas atau jumlah atau keterwakilan deskriptif dari suatu kelompok
(dalam konteks penelitian ini adalah perempuan; kehadiran kelompok perempuan).
Ambang kritikal di sini menjadi batas minimum massa perempuan dimana apabila
terlewati, maka kemungkinan besar terjadi dampak dari kehadiran perempuan di
dalam sebuah institusi politik (dimana decision making process terjadi).
19
Penulis memahami konsep critical mass dan teori critical mass melalui
tulisan dari Childs & Krook (2008) yang berjudul "Critical Mass Theory and
Women's Political Representation". Childs & Krook (2008:726) menjelaskan
bahwa perdebatan mengenai konsep critical mass pada awalnya mengemuka pasca
terbitnya karya Rosabeth Moss Kanter (1977) dan Drude Dahlerup (1988), dimana
mereka membahas mengenai bagaimana pengalaman kelompok perempuan
menjadi minoritas baik dalam institusi bisnis (korporat) maupun politik. Kanter dan
Dahlerup kemudian menyimpulkan bahwa jika jumlah perempuan meningkat,
maka perempuan akan mendapatkan pengalaman berbeda (akan terjadi perubahan).
Pandangan Kanter dan Dahlerup inilah yang menjadi rujukan teori critical mass
yang penulis gunakan dalam menunjukkan hubungan antara meningkatnya
keterwakilan perempuan dengan terjadinya akomodasi kepentingan perempuan.
Universitas Indonesia
20
critical mass ideal (sebagaimana Kanter dengan angka 35%), namun ia menyatakan
bahwa seiring dengan bertambahnya proporsi perempuan, semakin besar peluang
untuk dampak-dampak dalam enam ranah tadi terealisasikan (Dahlerup, 1988:290
dalam Childs & Krook, 2008:732).
Childs & Krook memberikan catatan dalam hal riset yang sebaiknya
dikembangkan dalam menguji teori critical mass dan menjelaskan hubungan antara
keterwakilan deskriptif dan substantif perempuan (Childs & Krook, 2008:734).
Pertama, pertanyaan dari penelitian sebaiknya diubah dari mempertanyakan kapan
perempuan membuat perbedaan menjadi bagaimana perempuan membuat
perbedaan. Kedua, unit analisis dalam penelitian sebaiknya digeser dari level makro
yang mempertanyakan apa yang telah perempuan (women actors in general)
lakukan ke level mikro yang mempertanyakan secara spesifik yang telah dilakukan
oleh aktor perempuan tertentu (specific woman actor). Di dalam penelitian ini,
penulis mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang menjadi catatan dari Childs &
Krook dengan menggunakan praktik kuota perempuan di PRI Kerala. Penelitian
mengeksplorasi bagaimana perempuan yang masuk dalam PRI membawa
perubahan dan siapa aktor-aktor kuncinya.
1.7 Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur. Penulis
mengambil data-data yang berhubungan dengan penelitian dari berbagai literatur
Universitas Indonesia
22
Keluarnya Amandemen
ke-74 yang Peningkatan Akomodasi
memberlakukan kuota Keterwakilan Kepentingan
Deskriptif Perempuan
reservasi untuk
perempuan di PRI
Seperti yang tampak pada bagan di atas, penelitian ini berangkat dari
institusionalisasi Panchayati Raj yang resmi beroperasi sebagai lembaga
desentralisasi tiga lapis, yakni di tingkat Distrik (Zila Parishad), Blok (Panchayat
Samiti), dan Desa (Gram Panchayat). Lalu, diberlakukannya reservasi kuota 33%
untuk perempuan. Pemberlakuan kuota reservasi tersebut meningkatkan partisipasi
perempuan secara kuantitas keterwakilannya di dalam politik. Penelitian ini akan
23
BAB 4 KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan dan ringkasan jawaban dari
pertanyaan penelitian, serta rekomendasi atau insights dari temuan dari penelitian
yang penulis anggap bermanfaat untuk pengembangan penelitian maupun inovasi
dalam rangka mendorong keterwakilan substantif bagi perempuan (sebagai
kelompok gender marjinal).
Universitas Indonesia
BAB 2
8
Nama yang dipergunakan oleh masyarakat India berbeda-beda di setiap desa yang mempraktikkan,
sehingga penulis mengenalkan istilah Proto PRI untuk memudahkan penyebutan. Kata "proto"
sendiri lazim dipergunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menjadi cikal bakal (origin) atau
ada dalam bentuk yang lebih kuno (primitive) dari sesuatu yang lain.
24
25
9
Tahun 1950 merupakan tahun dimana India baru saja memiliki sebuah landasan hukum yang sah
yang disebut sebagai Konstitusi Republik India Tahun 1950.
Universitas Indonesia
26
Tampak bahwa PRI, sejak masih berbentuk Proto PRI, sudah menjadi
bagian yang penting dalam hidup masyarakat India, bahkan bertumbuh bersama
masyarakat India melewati berbagai bentuk administrasi, dari kolonial Belanda,
Inggris, sampai demokratisasi. Praktik ini bisa dikatakan sudah menjadi tradisi bagi
masyarakat India, sehingga menjadi hal yang wajar apabila pemerintah India
mengadopsikan ke dalam sistem pemerintahan formal. Hal ini sekaligus juga
menjadi jalan konsolidasi bangsa India di zaman kemerdekaan. Pada tahun 1992,
Proto PRI akhirnya diadopsi oleh Pemerintah India menjadi bagian yang sah dalam
sistem pemerintahan India melalui Amandemen Konstitusi India ke-73 dan dinamai
Panchayati Raj Institution (PRI).
Perubahan yang paling mendasar dari Proto PRI ke PRI adalah integrasi
sistem hukum dalam PRI ke dalam sistem hukum India. Konsekuensi dari
keberadaan PRI yang sudah menjadi lembaga negara yang berdiri secara sah
sepenuhnya diakui dalam konstitusi nasional dengan rincian kewenangan, fungsi,
dan tanggung jawabnya adalah PRI pun harus mengakui balik konstitusi nasional
India dan mengakhiri praktik hukum maupun kewenangan yang tidak tertera dalam
konstitusi. Dengan integrasi PRI ke dalam sistem pemerintahan India, PRI dapat
menjadi agen pelaksana kebijakan pusat di titik-titik akar rumput di seluruh India.
Salah satu kebijakan pusat yang kemudian dibawa ke PRI sampai ke seluruh
desa di India adalah Amandemen Konstitusi ke-74 pada tahun 1992 yang memuat
sebuah strategi untuk memberdayakan kelompok-kelompok yang termarjinalkan di
desa-desa untuk bisa ikut terlibat aktif dalam decision making process. Strategi
yang dimaksud adalah kuota reservasi untuk (1) perempuan, (2) kasta bawah (SC),
dan (3) Suku Minoritas (ST). Kuota ini diberlaku sebagai kuota jadi10 dimana untuk
SC dan ST berlaku proporsi yang disesuaikan dengan persentase populasi mereka
di suatu daerah pemilihan PRI (baik untuk Zila Parishad, Panchayat Samiti, maupun
Gram Panchayat) dan untuk perempuan berlaku proporsi baku sebesar 33%.
10
Artinya, kursi direservasi bukan di tahap pencalonan, melainkan di tahap akhir. Jadi, 33% kursi
di tiga lapis PRI akan selalu direservasi untuk perempuan, meskipun yang terpilih melalui pemilihan
langsung tidak mencapai persentase tersebut. Mekanisme penunjukkan perempuan yang menempati
kursi reservasi tanpa menang pemilihan diserahkan kepada Lok Sabha (parlemen India). Hingga
tulisan ini dibuat, belum ada sanksi khusus yang diberlakukan untuk pelanggaran terhadap ketentuan
kuota. Hal ini menjelaskan fakta adanya negara bagian yang belum berhasil mencapai ambang batas
ini.
27
Amandemen ini sekaligus menetapkan secara resmi ketiga lembaga PRI; Zila
Parishad pada level Distrik, Panchayat Samiti pada level Blok, dan Gram Panchayat
pada level Desa, beserta cakupan wewenang, tugas, dan fungsinya. Selain itu,
terdapat pula Komite Perencanaan Distrik, untuk menyiapkan rancangan rencana
pengembangan untuk Distrik (Panchayat Election, 2016). Sampai saat tulisan ini
dibuat, sistem Panchayati Raj Institution sudah ada secara lengkap dan berfungsi
penuh di semua Negara bagian, kecuali Nagaland, Meghalaya, dan Mizoram
(Panchayat Election, 2016).11
11
Sampai saat tulisan ini dibuat, India memiliki 29 Negara bagian dan hanya 3 Negara bagian yang
belum memiliki sistem PRI.
Universitas Indonesia
28
Di tengah perkembangan isu ini, Rajiv Gandhi yang saat itu sedang
berkuasa di India sebagai Perdana Menteri, memandang status perempuan sebagai
isu yang patut diprioritaskan dan setuju untuk membuka kembali rekomendasi
CSWI terkait pemberlakuan kuota dalam pemerintahan lokal. Pemerintahannya
merespons masalah ini dengan mengartikulasikan masalah tersebut dalam National
Perspective Plan (NPP) pada tahun 1988. NPP adalah rencana lima tahunan
12
Lembaga Proto PRI.
Universitas Indonesia
30
Pemerintah India yang dibuat sejak India merdeka pada tahun 1947. Rencana lima
tahun ini dirancang oleh Komisi Perencanaan Nasional yang bertugas merumuskan
secara rinci perencanaan lima tahuan di bawah suatu administrasi pemerintahan,
dimana perencanaan yang dibuat haruslah mengarah pada pemanfaatan sumber
daya alam, sumber daya modal, dan sumber daya manusia yang dimiliki negara
India secara efektif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Planning
Commission Government of India, 2001).
13
Kedua lembaga Parlemen di India, dengan Lok Sabha sebagai lower house dan Rajya Sabha
sebagai upper house.
31
dahulu. Pemerintahan India terbagi ke dalam tiga tingkatan otonomi (lihat bagan
2.1), yaitu (1) Pemerintah Union (berotonom di pusat), (2) Pemerintah Negara
Bagian (berotonom di negara bagian), dan (3) Pemerintah Lokal yang terbagi ke
dalam (a) Nagar Palika (pemerintah kota) dan (b) Panchayati Raj Institution
(pemerintah desa). Posisi PRI berada di bawah cakupan pemerintah lokal untuk
wilayah pedesaan (rural).
Pemerintah union memiliki Presiden, Wakil Presiden, dan Kabinet sebagai
lembaga eksekutif, Lok Sabha (lower house) dan Rajya Sabha (upper house)
sebagai lembaga legislatif, serta Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif.
Pemerintah negara bagian memiliki seorang Gubernur, Menteri Kepala (Chief
Minister), dan Dewan Menteri sebagai lembaga eksekutif, Vidhan Sabha dan
Vidhan Parishad sebagai lembaga legislatif, serta Pengadilan Tinggi sebagai
lembaga yudikatif. Di level paling bawah, ada pemerintah lokal yang terbagi ke
dalam dua wilayah otonomi, yakni wilayah kota dan wilayah desa. Penulis tidak
akan membahas secara mendalam mengenai keseluruhan struktur pemerintah India,
melainkan langsung masuk kepada Panchayati Raj Institution.
Panchayati Raj Institution (PRI) adalah sebuah badan otonom lokal yang
bekerja sebagai sebuah lembaga perwakilan sekaligus eksekutif, dimana semua
anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). PRI terdiri atas tiga
lapis desentralisasi, yakni Zila Parishad yang berada di tingkat Distrik, kemudian
Panchayat Samiti yang berada di tingkat Blok, dan di paling bawah ada Gram
Panchayat yang berotonom di tingkat Desa. Ketiga lembaga ini sama-sama
berperan sebagai lembaga eksekutif dengan cakupan wewenang yang berbeda.
Universitas Indonesia
32
Pemerintah Union
Pemerintah Lokal
Panchayati Raj
Nagar Palika
Institution
14
Reserve Bank of India, Amandemen Konstitusi ke-74 India, www.india.gov.in
33
Elemen Penjelasan
Universitas Indonesia
34
15
Penulis menggunakan istilah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang lazim
dipergunakan untuk merujuk pada fasilitas kesehatan dasar yang mampu melayani kebutuhan
umum, seperti layanan dokter umum, layanan konsultasi kehamilan dan proses persalinan, serta
layanan pertolongan pertama pada kecelakaan.
35
(Mishra, 2016). Di tingkat desa, terdapat sejumlah contoh fungsi wajib Gram
Panchayat dimana fungsi tersebut bergantung pada sumber daya yang ada di desa
tersebut. Fungsi-fungsi tersebut meliputi penanaman pohon di pinggir jalan,
mendirikan pusat pembibitan untuk sapi, mengatur kesejahteraan anak dan
persalinan, mempromosikan pertanian, dan sebagainya.
Menyusun dan
melaksanakan Kepengurusan Gram Panchayat,
Politik Keanggotaan Gram Panchayat, Gram
rencana/program tingkat
desa Sabha.
Universitas Indonesia
36
lembaga Proto PRI di banyak desa) menjadi terformalisasi dan memiliki rincian-
rincian yang jelas (Mishra, 2016). Selain itu, ditambahkan pula amanat dari
amandemen ke-74 untuk menghadirkan suara dari kelompok marjinal secara
proporsional. Ada pula sejumlah wewenang yang tidak tertulis secara langsung,
misalnya wewenang untuk melaksanakan pemilihan penerima manfaat
(beneficiaries) dari program-program yang diturunkan dari pusat maupun
distrik/blok. Kemudian, ada pula sejumlah wewenang khusus, seperti pengadaan
proyek pengelolaan pabrik biogas yang telah diberikan kepada Gram Panchayat di
beberapa negara bagian (Mishra, 2016).
Dengan melihat jangkauan otonomi PRI yang luas dan siginifikan terhadap
isu-isu fundamental kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, tentu saja peluang
untuk mengakomodasi kepentingan perempuan melalui formulasi kebijakan di PRI
sangat besar. Keberadaan kuota yang mendorong lebih banyak perempuan hadir
dalam politik, khususnya melalui kursi-kursi di PRI, membuka kesempatan untuk
perempuan mengartikulasikan kepentingannya lewat pembuatan keputusan di PRI.
Nyaris seluruh fungsi dari PRI bisa berdampak langsung terhadap kesejahteraan
perempuan. Terutama di Gram Panchayat, dalam rangka penyaluran program-
program pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan dari pusat, para Sarpanch dan
Panchas dapat secara khusus menargetkan kelompok masyarakat tertentu, tentu saja
tidak terkecuali perempuan.
BAB III
16
India masih berupa Demokrasi Satu Partai (Single Party Democracy) di bawah kekuasaan
Congress Party.
37 Universitas Indonesia
38
berlatar belakang kasta bawah (SC). Wilayah India selatan, terutama Kerala, jauh
lebih cepat mengadopsi kebijakan afirmasi tersebut dibanding wilayah utara
(Kumar, 1992:294 dalam Thomas, 2006:7). Meskipun awalnya Congress Party
tidak begitu akrab dengan reformasi kasta, namun pasca separasi partai sepeninggal
Nehru pada tahun 1970-an, persaingan melawan partai-partai lain mendorong
Congress Party untuk ikut tenggelam dalam narasi anti diskrminasi, terutama dalam
kaitannya dengan pemberdayaan kasta bawah (SC) dan suku minoritas (ST).
Terdapat sejumlah paket kebijakan yang diberlakukan secara nasional yang
terkait langsung dengan pemberdayaan SC dan ST, antara lain kuota lapangan
kerja, pendidikan, dan beragam kebijakan kesejahteraan lainnya (bantuan langsung,
jaminan kesehatan, dan sebagainya). Jumlah SC dan ST yang mencapai 52%
populasi membuat kebutuhan akan pemberdayaan menjadi niscaya. Dari sinilah
muncul inisiatif untuk memberikan kuota di semua jejaring pemerintah; Pekerjaan
di BUMN (termasuk bank milik negara) dan Insititusi Negara (Kementerian,
Parlemen, dan seterusnya), serta pendidikan di Universitas dan Sekolah Negeri
(Thomas, 2006:11).
Motivasi partai untuk menyediakan kebijakan ramah SCT adalah semata-
mata kebutuhan elektoral (Parikh, 1997 dalam Thomas, 2006:12). Mengutip
Thomas (2004:13), “Political parties also made rational calculations and
supported reservations in order to strengthen their electoral bases” (“Parpol
membuat kalkulasi rasional dan mendukung reservasi dalam rangka memperkuat
basis pemilih mereka”). Selain untuk kepentingan elektoral, kuota juga diperlukan
untuk stabilitas dalam masa pemulihan India pasca separasi Pakistan. Reformasi
gender dimulai jauh lebih belakangan dibanding reformasi kasta yang dengan cepat
ditindak lanjuti oleh berbagai pihak (khususnya karena ada insentif elektoral untuk
partai politik).
Apabila ditelusuri ke belakang, Kerala telah melalui sejumlah tahapan
pembangunan politik yang membuat praktik PRI dan kuota reservasi sudah
memiliki pijakan sosiologis yang cukup solid di tengah masyarakat Kerala.
Sebelum memasuki abad ke-9, terdapat institusi Manram di setiap desa yang telah
memiliki musyawarah sejenis Gram Sabha yang dihadiri oleh para tetua yang
merupakan laki-laki yang dituakan oleh penduduk desa untuk menentukan hal-hal
39
yang menyangkut urusan bersama (urusan publik). Lalu, memasuki abad ke-9
sampai dengan abad ke-12, di era kekuasaan dinasti Chera, mulai terbentuk dewan
lokal yang bernama Munnuttavar, yang juga hanya berisi laki-laki.
Terdapat tiga lapis daerah administratif pada masa itu, yakni Nadus,
Desams, dan Tara. Tara dikelola oleh Panchayat dengan 5 orang kepala yang
semuanya adalah laki-laki dari kasta atas (Chachko, 1993:64-5). Kerala memasuki
era modern pada tahun 1960 dan salah satu perubahan besar dalam politiknya
ditandai dengan diberlakukannya UU Panchayat Kerala. Regulasi ini telah
mengalami evolusi panjang dari UU Panchayat Cochin yang berlaku pada tahun
1914, kemudian UU Panchayat Travancore tahun 1925, UU Panchayat Travancore-
Cochin 1950, dan UU Panchayat Desa Madras 1950. UU Panchayat Kerala 1960
mulai diberlakukan pada 1 Januari 1962 meliputi 922 Panchayat dan memasuki
Pemilu perdana pada tahun 1963 (Chachko, 1993:67). UU Panchayat Kerala yang
diberlakukan pada tahun 1960 dimaksudkan untuk mempersatukan,
mengonsolidasi, sekaligus menyempurnakan segala macam perundangan yang
berkaitan dengan PRI (Chachko, 1993:120).
Dengan melihat sejarah Kerala, dapat diketahui bahwa proses reformasi
gender di Kerala sudah dimulai lebih cepat dari negara bagian lainnya di India. Pada
tahun 1960, Kerala sudah memberlakukan reservasi kursi di Panchayat dengan
format 1 kursi untuk perempuan, 1 kursi untuk SC, dan 1 kursi untuk ST (Biju,
1991:189). Sebelumnya, Panchayat selalu didominasi laki-laki, terutama mereka
yang datang dari kasta atas (Thomas, 2006:20). Kerala mempraktikkan kuota
dengan aturan ini sampai dengan diberlakukannya PRI secara formal dan kuota
perempuan melalui amandemen ke-73 dan 74 Konstitusi India.
Amandemen ke-73 dan 73 ini telah menciptakan 1.583 lowongan kekuasaan
untuk perempuan di tingkat Distrik dengan tambahan 158 kursi Ketua Panchayat
Samiti. Di Kerala, pemilihan PRI pertama diadakan pada tahun 1995, ada 990 Gram
Panchayat dengan jumlah total 19.762 anggota, 6.521 kursi diantaranya direservasi
untuk perempuan. Ada 262 Panchayat Samiti yang terdiri dari 2.543 kursi, dimana
840 kursi diantaranya disediakan untuk perempuan. Di 14 Zila Parishad, 204 dari
600 kursi disediakan untuk perempuan (Local Self Government Department of
Kerala).
Universitas Indonesia
40
lain sebagainya. Selain itu, sebagian besar Panchayat juga memiliki gedung kantor
dan sejumlah pekerja tetap yang bekerja penuh waktu (full time). Kondisi Kerala
dengan modal sosial yang sudah cukup besar ini menjadi menarik untuk diteliti,
untuk melihat bagaimana manfaat dari kebijakan afirmasi di masyarakat yang
progresif.
Universitas Indonesia
42
dimana perempuan sudah banyak menjadi pekerja kerah putih di pemerintahan dan
bank.
Padahal, perempuan di Kerala memiliki literasi yang tergolong tinggi,
bahkan terbaik di India, namun mereka tetap tidak terserap dengan baik oleh pasar
kerja. Lihat tabel 3.1 untuk membaca sebaran literasi di tiap-tiap distrik di Kerala.
Tabel 3.1 Tingkat Literasi Perempuan & Laki-Laki (Berusia 7 Tahun ke Atas) di
Tiap-Tiap Distrik di Kerala (1990 dan 2000)
Distrik 1990 2000
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
(%) (%) (%) (%)
Kasaragod 89 76,3 90,8 79,8
Tabel 3.2 Komponen Gender Development Index Kerala dan India (1990 dan 2000)
India Kerala
Komponen
1985 2000 1985 2000
Usia Harapan Hidup Perempuan 54,7 65,3 71,8 74
Rata-rata Usia Saat Menikah Pertama Kali
18,3 19,5 20 22
untuk Perempuan (tahun)
Angka Kelahiran (per 1.000 populasi) 25,4 27,2 26,4 16
Angka Kematian Bayi (per 1.000 kelahiran) 79 71 41 15,3
Tingkat Literasi Perempuan (%) 29,8 54,2 66 88
Sumber: Laporan Tahunan National State Planning Board dalam Mitra & Singh (2007)
Universitas Indonesia
44
Tabel 3.3 Partisipasi Kerja Perempuan dalam Usia Produktif (15-59 Tahun) di
India dan Sejumlah Negara Bagian (1990)
Wilayah Primer (%) Sekunder (%) Tersier (%) Total (%)
Selama tiga dekade, Kerala termasuk ke dalam daftar negara bagian yang
mengalami penurunan partisipasi kerja perempuan. Namun, penurunan ini tidak
bisa dikatakan istimewa apabila berkaca pada data nasional India yang juga
mengalami tren penurunan yang sama. Hal yang menjadi penting untuk dilihat di
sini adalah bahkan pada dekade terbaik partisipasi kerja perempuan (1970), hanya
27,7% perempuan Kerala yang bekerja dan memiliki sumber penghasilan sendiri.
45
Tabel 3.4 Partisipasi Kerja Perempuan di India dan Sejumlah Negara Bagian (1970,
1980, dan 1990)
Negara 1970 (%) 1980 (%) 1990 (%)
Andhra Pradesh 41,31 25,84 27,01
Bihar 27,11 19,11 15,22
Gujarat 27,89 22,09 17,70
Haryana 23,09 20,02 18,56
Kamataka 32,01 22,12 18,95
Kerala 27,70 21,14 20,58
Maharshtra 38,1 28,15 30,97
Madhya Pradesh 43,99 20,17 22,34
Orissa 26,57 22,88 20,69
Punjab 20,19 18,19 12,26
Rajastan 35,88 25,64 22,32
Tamil Nadu 31,28 25,16 33,57
Uttar Pradesh 18,14 16,1 8,95
West Bengal 19,43 17,74 16,8
India 30,25 22,05 20,70
Sumber: Women Employment Kerala (1970, 1980, 1990)
Dari angka 27,7% itu, sebagian besarnya berkutat di industri primer alias
barang mentah yang memiliki daya multiplikasi pendapatan yang rendah dengan
alokasi energi dan waktu yang besar. Sehingga kondisi perempuan secara ekonomi
sangat tidak berdaya dan tidak mandiri. Permasalahan ini yang kemudian menjelma
menjadi beragam masalah perempuan yang intinya didasari pada
ketidakberdayaannya untuk menjadi subjek yang otonom dan memperjuangkan
otonominya. Berikutnya, penulis akan menyajikan data yang menjelaskan
bagaimana dari proporsi perempuan yang bekerja sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas bila diperbandingkan dengan partisipasi kerja laki-laki (lihat
tabel 3.5).
Universitas Indonesia
46
1950 NA NA NA NA
Universitas Indonesia
48
untuk mendapatkan uang dengan jumlah tertentu atau harta lainnya dari rumah
orang tua perempuan.
Secara resmi, pemberian mahar adalah praktik yang melanggar hukum
(ilegal) di India sejak lebih dari 50 tahun lalu, tetapi praktik itu masih merajalela.
Ribuan perempuan mati terbunuh setiap tahun dalam perselisihan mahar. Ada juga
kasus dimana seorang perempuan harus meminta orang tuanya memberinya cincin
dan gelang emas, lemari pendingin, televisi, tempat tidur, dan pakaian untuk
seluruh keluarga dan kerabat suaminya sebagai mahar nikahnya. Mereka biasanya
akan memenuhi permintaan semacam itu. Namun, perempuan tidak terjamin akan
bebas dari tekanan, intimidasi, dan kekerasan dari keluarga suaminya setelah
menikah (Achin, 2012).
Pengaruh lebih buruk adalah orang tua harus menggunakan seluruh
simpanan mereka untuk mahar anak perempuan dan tidak meninggalkan apa-apa
untuk anak laki-lakinya. Setiap laki-laki yang lahir dalam keluarga disambut
dengan gembira layaknya ‘angsa bertelur emas’ yang akan menghasilkan kekayaan
bagi keluarga melalui mahar yang mereka minta dalam pernikahan. Karena itu,
mereka menginginkan banyak anak laki-laki. Tidak ada akhir dari permintaan harga
bahkan setelah pernikahan, dan jika perempuan terbunuh, laki-lakinya dapat
menikah kembali, untuk mendapatkan mahar. Keluarga yang menimbun harta
mahar, juga cenderung tidak ingin membayar mahar kepada keluarga lain. Karena
ini, mereka akan melakukan aborsi selektif, pembunuhan bayi dan anak perempuan
secara sengaja (Niam, 2013).
Sistem mahar dimana pihak perempuan yang harus membayarkan mahar
sebetulnya tampak seolah-olah bersifat matriarkis, karena hal ini pula Kerala
seringkali dijadikan contoh masyarakat dengan budaya matriarki. Apabila kita
melihat pernikahan dengan kacamata transaksional, dalam kasus Kerala, pihak
perempuan adalah pembeli dan laki-laki adalah barang yang dibeli. Namun pada
kenyataannya, sistem mahar ini tidak membuat perempuan menjadi pihak yang
lebih berkuasa dan berdaya, malah sebaliknya, karena sistem mahar tidak
mengubah konsentrasi pembuatan keputusan yang tetap ada di laki-laki, yaitu
bapak dari calon mempelai perempuan dan laki-laki yang menjadi calon suaminya
(Niam, 2013).
49
Universitas Indonesia
50
Kerala yang masuk ke dalam PRI di Pemilu perdana PRI dengan pemberlakuan
kuota jadi untuk perempuan.
Tabel 3.6 Perbandingan Jumlah Perempuan dan Laki-laki di PRI Kerala (1995-2005)
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala17
17
www.lsgkerala.gov.in
51
Tabel 3.7 Latar Belakang Pendidikan Perempuan di PRI Kerala Tahun 1995
18
www.lsgkerala.gov.in
Universitas Indonesia
52
Tabel 3.8 Latar Belakang Pekerjaan Perempuan di PRI Kerala Tahun 1995
Selain latar belakang dan latar pekerjaan, elemen lain yang penting juga
untuk ditelaah adalah latar belakang partai dari perempuan yang masuk PRI (lihat
tabel 3.8). Dari tabel, diketahui bahwa partai dengan jumlah perempuan terbanyak
adalah Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)). Namun, secara rasio gender,
partai dengan persentase perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki hanyalah
Bharatiya Janata Party (BJP) dengan perbandingan 66,5% perempuan dan 33,5%
laki-laki. Baru kemudian disusul oleh CPI dengan perbandingan 39,3% perempuan
dan 60,7% laki-laki. Dengan melihat latar belakang partai perempuan yang masuk
ke PRI, tidak dapat dinafikkan bahwa corak ideologi yang dominan adalah ideologi
komunis-marxis yang direpresentasikan oleh partai CPI dan CPI(M), dimana total
suara kader mereka apabila digabung, mencakup 60,5% dari keseluruhan kursi PRI
yang diduduki perempuan.
53
Tabel 3.9 Latar Belakang Partai Perempuan dan Laki-Laki di PRI (1995)
Universitas Indonesia
54
60
45
30
15
0
SD SMP SMA SSLC Diploma Pre S1 S2
Degree
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala
62,5
50
37,5
25
12,5
0
IRT Petani Guru Png Sws PNS Wrw
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala
Dalam grafik di atas, terdapat tujuh kategori profesi, yakni (1) IRT: Ibu
Rumah Tangga, (2) Petani, (3) Guru, (4) Png: Pengacara, (5) Sws: Karyawan
swasta, (6) PNS: Pegawai Negeri Sipil, dan (7) Wrw: Wiraswasta (Pengusaha).
Tren yang konsisten di setiap tahun Pemilu adalah profesi IRT yang selalu
mendominasi. Kemudian, disusul oleh profesi petani. Informasi ini menjadi
signifikan nantinya dalam melihat bagaimana latar belakang perempuan anggota
PRI melakukan artikulasi kepentingan perempuan di PRI.
55
Data berikutnya yang juga penting untuk dilihat adalah tren dalam hal latar
belakang partai (lihat grafik 3.3). Di Pemilu perdana tahun 1995, sangat sedikit
partai yang memiliki representasi perempuan mencapai angka 50% atau lebih.
Tetapi, tren ini ternyata berubah di Pemilu berikutnya pada tahun 2000 dan 2005.
Di tahun 2000, Indian Union Muslim League (IUML) duduk di posisi pertama
dengan persentase perempuan berbanding laki-laki di PRI yang tertinggi diantara
partai lain; 50% perempuan dan 50% laki-laki. Disusul oleh CPI(M) dengan 41,6%
perempuan dan CPI dengan 40% perempuan. Sementara itu, secara jumlah, CPI(M)
lagi-lagi menang dengan 4.461 kursi diduduki oleh kader perempuannya. Secara
umum, hampir semua partai mengalami kenaikan persentase representasi
perempuan di tahun 2000, kecuali BJP. Tahun 2005 menjadi puncak kenaikan
representasi perempuan, dimana semua partai 19 memiliki persentase perempuan
melebihi laki-laki.
Grafik 3.3 Persentase Perempuan Per Partai di PRI Kerala, India (1995-2005)
70
60
50
40
30
20
10
0
CPI CPI(M) BJP INC IUML Independen
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala
Mengetahui latar belakang dari perempuan yang masuk ke dalam PRI
adalah hal yang fundamental di dalam menilik permasalahan yang menjadi fokus
penelitian ini, karena ketika bicara mengenai akomodasi kepentingan perempuan,
maka hal itu tidak akan terlepas dari latar situasi yang menjadi keseharian hidupnya
19
Partai yang masuk dalam analisa adalah lima partai terbesar menurut data Pemilu PRI 1995-
2005, ditambah kelompok independen.
Universitas Indonesia
56
Universitas Indonesia
58
Grafik 3.4 Persentase Perempuan Dalam PRI Berdasarkan Jalur Masuk (1995-2005)
Kuota SC/ST
Kuota Perempuan
Non Kuota
0 20 40 60 80 100
Sumber: Olahan sendiri dari situs resmi Local Self-Government Department of Kerala
Salah satu bagian dari program ini yang sangat penting bagi perempuan
adalah dana bantuan langsung bulanan untuk perempuan berusia 60 tahun ke atas
yang tidak memiliki sumber penghidupan, menyelenggarakan pelatihan
keterampilan bagi perempuan usia produktif yang menganggur, serta penyediaan
mikrokredit untuk perempuan yang hendak mendirikan usaha. Berdasarkan data
yang diambil dari 100 Gram Panchayat di dua distrik di Kerala, yakni Wayanad dan
Pathanamthitta, ditemukan perbedaan persetanse serapan anggaran DWCRA di
Gram Panchayat yang dipimpin oleh Sarpanch perempuan dan laki-laki (lihat tabel
3.10 di bawah ini).
Distrik
Sarpanch Mean Dua Distrik
Wayanad Pathanamthitta
Perempuan 45,4% 62,5% 53,9%
Laki-laki 16,7% 40% 28,3%
Sumber: Sanilkumar, 2001
Universitas Indonesia
60
DWCRA bukan satu-satunya program dari pusat (atau dari negara bagian)
yang menargetkan perempuan sebagai beneficiaries. Program lainnya adalah
kebijakan alokasi 10% dari total dana negara bagian yang disalurkan kepada Gram
Panchayat untuk kepentingan perempuan yang dikenal dengan sebutan Women
Component Plan (WCP) sejak tahun 1997. Dalam penyerapan dan penyaluran dana
ini, Gram Panchayat yang dipimpin oleh Sarpanch perempuan lebih punya
kecenderungan untuk melakukan penyerapan anggaran lebih tinggi dibanding yang
dipimpin oleh laki-laki (Nair & Moolakkattu, 2014:249). Pembahasan khusus yang
mendalam mengenai posisi Sarpanch akan penulis jelaskan di sub bab berikutnya.
Dampak lain dari kehadiran perempuan di PRI terungkap dalam studi yang
dilakukan oleh Sekhon (2006). Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa telah terjadi
peningkatan konsentrasi kebijakan PRI sebesar 10-12% (dalam periode 1995-2000)
terhadap kebutuhan rumah tangga. Salah satu kebutuhan rumah tangga yang
penting adalah ketersediaan sanitasi yang layak dan sumber air yang memadai.
Kebutuhan ini penting bagi perempuan yang mayoritas berprofesi sebagai Ibu
Rumah Tangga (IRT). Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan perempuan
semacam ini tergolong dalam kepentingan gender praktikal.
Tabel 3.11 Persentase Rumah Tangga yang Mendapat Akses Terhadap Sanitasi
Layak di Desa dan Kota di Kerala (1995-2005)
Universitas Indonesia
62
Universitas Indonesia
64
Tabel 3.12 Peningkatan Awareness dari Perempuan yang Masuk sebagai Anggota
dan Pimpinan Dalam PRI (1995-2000)
c) Dowry 8.3
e) Lainnya 7.4
Maka dari itu, perubahan sedemikian menjadi penting untuk menjadi batu pijakan
bagi perubahan-perubahan yang lebih strategis di masa depan.
Universitas Indonesia
66
Sarpanch adalah posisi ketua atau pimpinan dari Gram Panchayat yang
berwenang memimpin dan mengarahkan jalannya rapat-rapat Panchayat (Aslop et
al, 2001). Keberadaan perempuan yang mengisi posisi Sarpanch penting dalam
proses membangun keterwakilan substantif—dalam bentuk terakomodasinya
kepentingan perempuan. Para Sarpanch menduduki posisi mereka dengan cara
dipilih langsung oleh anggota Gram Panchayat. Maka dari itu, keberadaan
perempuan sebagai Panchas (anggota PRI) juga berperan membawa perempuan
kepada posisi Sarpanch. Dari sini, tampak bahwa kehadiran perempuan menduduki
posisi strategis ini juga menjadi buah dari masuknya perempuan ke dalam PRI
dalam jumlah yang cukup signifikan, hal ini membuktikan tesis Kanter dan
Dahlerup dalam teori critical mass, bahwa dalam jumlah yang cukup signifikan,
suara perempuan dapat membawa perubahan.
berprofesi sebagai petani. Dirinya sendiri yang juga berprofesi sebagai petani
semakin melihat pentingnya pengadaan sistem irigasi yang lebih baik. Dari sanalah
muncul inisiatifnya untuk mendorong ketiga agenda tersebut, yakni (1) pendidikan
dasar, (2) kesehatan dasar, dan (3) irigasi.
Universitas Indonesia
68
Selain Suja, ada pula kisah dari Prasanna yang sudah sempat disinggung
dalam subbab 3.3.2. Ia juga berasal dari partai CPI(M) dan masuk ke dalam PRI
melalui kuota SC-Perempuan. Ia melakukan sejumlah usaha untuk mendapatkan
lahan dan biaya yang cukup untuk membangun toilet. Toilet adalah permintaan
utama di Panchayat yang dipimpinnya. Perempuan muda dan hamil terpaksa buang
air besar di tambang terbuka pada malam hari, karena ketiadaan toilet yang
memadai, sedangkan sungai berada cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Di
daerah pertambangan itu, banyak laki-laki yang sering berkeliaran pada malam hari.
Akhirnya, perempuan-perempuan yang sedang buang air besar tersebut kerap
mengalami pelecehan dengan disinari oleh laki-laki tadi menggunakan lampu
motor mereka.
Posisi Sarpanch memberikan ruang gerak yang lebih strategis bagi perempuan
untuk lebih efektif dalam mendorong agenda-agenda kepentingan mereka. Oleh
karena itulah, kedudukan perempuan sebagai Sarpanch menjadi salah satu faktor
kunci yang mendorong kemuncul keterwakilan substantif.
Universitas Indonesia
70
Andhra
Jenis Kasus Kerala Punjab Orissa Delhi
Pradesh
Pembunuhan
0,1 0,83 0,73 0,63 0,93
Dowry
Kekerasan
7,33 2,67 3 6,4 0,8
Suami
Kekerasan
Seksual 5,3 0,93 4,4 4,2 4,4
Terhadap
71
Anak
Perempuan
Pelecehan
0,23 0,07 0,5 2,3 1,1
Seksual
Total
Kejahatan
15,2 7,03 13 17 18,3
Terhadap
Perempuan
Sumber: State Crime Records Bureau dalam Aparna & Singh (2007)
Grafik 3.5 Posisi Kerala dan Empat Negara Bagian Lain Berdasarkan Kejahatan
Terhadap Perempuan Menurut Jenis Kasusnya (2005)
Total
Kekerasan Suami
Pemerkosaan
0 5 10 15 20 25 30
Delhi Andhra Pradesh Orissa Punjab Kerala
Sumber: State Crime Records Bureau dalam Aparna & Singh (2007)
Pada grafik, tampak bahwa Kerala menempati peringkat ke-9 di India dalam
hal tingkat kejahatan terhadap perempuan. Lebih buruk lagi, Kerala menduduki
peringkat ke-4 untuk kategori kejahatan kekerasan suami dan kekerasan seksual
Universitas Indonesia
72
pada anak. Hal ini menjadi potret buram bagi Kerala, sebagai negara bagian dengan
track record tingkat literasi perempuan dan Gender Development Index tertinggi di
India, serta keberhasilan penerapan beragam kebijakan afirmasi yang mendorong
perbaikan posisi perempuan di tengah masyarakat sebagai gender subordinat
(kelompok yang termarjinalkan). Selain kematian akibat menjadi korban kejahatan,
perempuan juga kerap menjadi korban bunuh diri akibat berbagai tuntutan sosial
yang tinggi dari masyarakat (Aparna & Singh, 2007:7).
Universitas Indonesia
BAB 4
KESIMPULAN
74
75
20
Ambang ini baru terlampau pada pemilu ke-2 (tahun 2000) dan ke-3 (2005)
Universitas Indonesia
76
Sumber Buku
Annesley, Claire, et al. 2010. Engendering Politics and Policy: The Legacy of New
Labour. The Policy Press.
Aslop, Ruth J., Krishna, Anirudh, & Sjoblom, Disa. 2001. Inclusion and Local
Elected Governments: The Panchayat Raj System in India. World Bank.
Benhabib, Seyla. 2002. The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global
Era. New Jersey: Princeton University Press.
Chachko, Soman. 1993. Grass Roots Leadership and Rural Development: A Case
Study of Leadership in Village Panchayats of Kerala. University of Baroda.
Dwivedi, Ritesh, Poddar, & Krishna, Mohan. 2013. Functioning of Panchayati Raj
Institution in India: A Status Paper.
Gosh, Rangeet. 2008. Structure and Major Function of Panchayati Raj Institution
(PRIs) in India.
77 Universitas Indonesia
78
Mukhopadhyay, Carol Chapnick & Seymour, Susan. 1994. Women, Education and
Family Structure in India. Boulder: Westview Press.
Shah, B. C. & Pandya, J. N. 1989. Revival of Panchayati Raj: Trends and Problems.
Gujarat: Sardal Patel University.
Sumber Jurnal
Childs, Sarah & Krook, Mona Lena. "Critical Mass Theory and Women's Political
Representation" dalam Political Studies Vol. 56 (2008): hlm. 725-736.
Political Studies Association.
Eapen, Miridul & Kodoth, Praveena. “Family Structure, Women’s Education and
Work: Re-Examining the High Status of Women in Kerala” dalam
International Journal of Development (2003): hlm.1-32. International
Development Research Data Centreof Canada.
Kumari, Renu & Singh, Riya Sam. “Study on Participation of Women in Panchayati
Raj Institutions in Bihar” dalam Indian Res. Journal Ext. Edu. Vol. 12, No.2
(2012): hlm.96-100.
Universitas Indonesia
80
Lovenduski, Joni & Norris, Pippa. “Westminster Women: The Politics of Presence”
dalam Political Studies Vol.51 (2003): hlm.84-102. Oxford: Blackwell
Publishing Ltd.
Mishra, Sanjay, & Geeta. 2016. Panchayati Raj Institution in India: Prospects And
Retrospections. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-
JHSS) Volume 21, Issue 3.
Nair, Nisha Velappan & Moolakkattu, John. “Women Component Plan at the
Village Panchayat Level in Kerala: Does it Live Up to its Promise?” dalam
Indian Journal of Gender Studies Vol.21 No.2 (2014): hlm. 247-276.
Sumber Dokumen
Mitra, Aparna & Singh, Pooja. 2007. Human Capital Attainment and Gender
Empowerment: The Kerala Paradox. The Southwestern Social Science
Association Publication.
Radha, B.R.C., (2002). Women in Local Bodies. Discussion Paper. Centre for
Development Studies, Kerala Research Progrmme on Local Level
Development.
Sumber Internet
Mondal, Puja. 2010. Panchayati Raj: Historical Backdrop, Reason, and Functions
of Panchayati Raj. http://www.yourarticlelibrary.com/sociology/panchayati-
rajhistorical-backdrop-reason-and-functions-of-panchayati-raj/32010.
Universitas Indonesia
82
Rao, Bhanupriya. 2017. Krishnaveni’s Story And The Era Of Women Panchayat
Presidents. Diakses melalui archive.indiaspend.com.