Tinjauan Reformasi Birokrasi PDF
Tinjauan Reformasi Birokrasi PDF
Sigit Setiawan2
LATAR BELAKANG
Pengesahan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang
kemudian berlaku efektif per 15 Januari 2014 menandai dimulainya babak
lanjutan pembenahan birokrasi pemerintah Indonesia. Tidak terasa fase pertama
reformasi birokrasi yang diinisiasi melalui penerbitan Perpres nomor 81 tahun
2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 akan berakhir pada
tahun 2014 ini. Masih ada dua fase reformasi birokrasi di depan yang masih
menjadi pekerjaan rumah pemerintah hasil pemilihan umum tahun 2014 dan
2019, yaitu fase kedua (2015-2019) dan fase ketiga (2020-2024).
1
Telah dipublikasikan sebelumnya dalam Warta Fiskal Edisi #1/2014
2
Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral-BKF.
1
UU ASN dikatakan oleh para ahli menjadi tonggak sejarah reformasi
birokrasi Indonesia mengingat UU ASN mengusung prinsip-prinsip New Public
Management (NPM) dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model
Webberian yang diusung UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU ASN tersebut
penggolongan jabatan struktural dan fungsional bagi PNS diubah menjadi jabatan
administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara itu di
luar PNS terdapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (kontrak).
Bila tadi telah disebutkan bahwa pemicu dan pendorong reformasi birokrasi
Indonesia diawali oleh peristiwa ekonomi, maka demikian pula halnya model-
model birokrasi yang ada. Model birokrasi yang dianut oleh banyak negara di
dunia saat ini termasuk Indonesia adalah mengadopsi model birokrasi yang telah
diterapkan di negara-negara demokrasi Anglo-American, yang dipelopori oleh
Inggris, Australia, New Zealand, Amerika Serikat, dan Kanada. Kelahiran model-
model birokrasi sendiri tidak lepas dari peran dan dukungan perkembangan
peristiwa ekonomi, serta teori-teori ekonomi dan administrasi publik.
Tulisan ini akan membahas beberapa isu. Isu pertama adalah perjalanan
evolusi model birokrasi di dunia dalam perspektif ekonomi. Isu selanjutnya adalah
uraian singkat perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia, khususnya di
Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal, yang selanjutnya ditutup
dengan kesimpulan dan rekomendasi singkat.
2
EVOLUSI MODEL BIROKRASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
Sejarah menunjukkan bahwa peristiwa ekonomi, teori-teori ekonomi dan
administrasi publik memiliki andil yang amat besar dalam mendorong evolusi
model birokrasi. Paling tidak terdapat tiga model dalam sejarah tata
pemerintahan dunia, yakni 1) model patronase; 2) model Webberian; dan 3)
model New Public Management (NPM)
Agar proses produksi mobil berlangsung produktif dan efisien serta dapat
menghasilkan produk seragam secara massal, maka Henry Ford menyusun
organisasi dari perusahaan Ford Motor miliknya yang didirikan tahun 1903
berdasarkan prinsip rule of law. Dengan prinsip tersebut, organisasi perusahaan
memiliki penjabaran yang jelas dalam dokumen-dokumen tertulis dan mengikat
secara hukum terhadap hubungan antar hirarki atau level manajemen, antar
manajer dalam perusahaan, dan antar unit organisasi. Wilayah kekuasaan,
3
instruksi atau perintah, dan tanggung jawab dari masing-masing unit organisasi
dan para manajer dalam unit organisasi yang sama memiliki batasan yang jelas
dan mengikat secara hukum.
Pada tahun 1930-an seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog kenamaan
asal Jerman - Max Webber – memformulasikan sistem administrasi pemerintahan
modern di masa itu, suatu model birokrasi yang dikenal dengan sebutan model
Webberian, model birokratis, atau model tradisional. Efisiensi dan produktivitas
yang ditawarkan oleh pola kerja industri pasca revolusi industri mengilhami
Webber untuk mengadopsinya bagi tata laksana pemerintahan. Oleh karenanya
model Webberian ini memiliki kemiripan dengan pola organisasi industri massal
seperti halnya Ford Motor dan industri massal lainnya.
4
Di tengah sisi baik dari model Webberian, berbagai kritik terhadap model
Webberian bermunculan sejak tahun 1970-an dan menemukan momentumnya di
era knowledge-intensive society and economy tahun 1990-an, awal masa yang
ditandai dengan perubahan yang sangat cepat dan membanjirnya informasi
melalui perangkat internet dan telekomunikasi. Model Webberian menjadi
dipandang memiliki struktur yang gemuk, lamban, dan tidak efektif. Dengan
desain struktur birokrasi yang hirarkis, bersifat komando, dan terpusat di
sekelompok elite birokrasi, serta penerapan aturan yang bersifat kaku dan mutlak
menjadikan model Webberian dipandang tidak dapat mengejar ketertinggalannya
dengan dinamika masyarakat dan pasar yang menuntut perubahan secara cepat.
Di era 1900-an pasca Great Depression, salah satu perdebatan para ekonom
adalah terkait isu ‘kegagalan pasar (market failure)’ terhadap teori ekonomi klasik
dan neoklasik. Perdebatan ini berujung pada lahirnya teori Keynes yang
menyebutkan dibutuhkannya peran pemerintah yang lebih besar guna
menstabilkan perekonomian khususnya dalam periode krisis agar ekonomi
kembali pada kondisi normal.
Pada akhir 1960-an para ekonom memperdebatkan isu sebaliknya, yakni isu
‘kegagalan pemerintah (government failure)’ yang turut mendorong gagasan agar
sektor pemerintah dapat lebih dekat ke pasar, lebih tanggap dan lebih
memfokuskan diri pada masyarakat selaku customer dari pemerintah. Kelompok
ekonom ini - berasal dari pendukung revitalisasi teori ekonomi neoklasik, serta
sekolah-sekolah ‘public choice dan new institutional economics’ - berpendapat
pula bahwa sektor swasta lebih unggul dibanding sektor pemerintah dalam hal
efisiensi teknis dan biaya, dan menolak anggapan bahwa pemerintah mengetahui
segalanya yang terjadi di pasar.
5
dorongan atas perilaku individu berasal dari kepentingan pribadi (self-interest).
Walaupun perilaku sebagian besar individu tersebut didasarkan atas
kepeduliannya terhadap sesama orang, motif utama mereka - bisa pemberi
kerja, pegawai, atau konsumen - tetaplah untuk diri sendiri.
Mengubah hirarki agar lebih datar (flat) yang diikuti dengan penyesuaian
sistem informasi dan manajerial. Contoh diagregasi dalam hal ini adalah
penghapusan dan pengalihan jabatan eselon III dan IV yang berorientasi fungsi
dan bukan administrasi menjadi jabatan fungsional yang ditunjang oleh sistem
informasi dan manajerial yang sepadan.
6
Menggantikan pengambilan keputusan berjenjang (hirarki) dengan diversifikasi
sumber-sumber penyedia input dan input antara dalam proses internal
organisasi dan persaingan yang sehat. Contohnya adalah dengan mengurangi
rantai komando dan melakukan pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan
fungsional yang bekerja berdasarkan merit system. Dengan penetapan target
kinerja, akan terdapat beragam output dari para pejabat fungsional yang saling
berkompetisi untuk memperoleh reward dari unit organisasi - baik sebagai tim
maupun perseorangan.
3) Skema remunerasi
Beralih ke sistem insentif kinerja yang spesifik dan berbasis remunerasi (diukur
dengan uang atau ekivalen) sebagaimana telah dibuktikan efektivitasnya pada
sistem insentif bagi para profesional di sektor swasta
Agenda sosialisasi model NPM telah dilakukan sejauh ini dalam skema
‘policy transfer’ dan ‘policy learning’ melalui badan-badan dunia seperti IMF,
World Bank, dan OECD. Beberapa negara maju khususnya negara-negara
demokrasi Anglo-American (terutama Inggris, New Zealand, Amerika Serikat,
Kanada, dan Australia) telah memelopori penerapan model NPM. Di Inggris
penerapan dimulai melalui jargon ‘joined up government’, yang diikuti oleh
Amerika Serikat di era Clinton melalui jargon ‘reinvention of government’. New
Zealand termasuk paling progresif saat ini dan telah menerapkan secara luas
penggunaan kontrak sebagaimana lazimnya di sektor swasta untuk kesepakatan
dua pihak antara badan-badan pemerintah, antara badan pemerintah dan
penyedia swasta, di dalam badan pemerintah itu sendiri, dan dalam unsur
ketenagakerjaan pegawainya. Di Indonesia sendiri penerapan model NPM sudah
terdengar gaungnya melalui penerbitan UU ASN.
7
sebelumnya, suatu struktur birokrasi yang tampak seperti model Webberian,
namun dalam penerapannya lebih dekat kepada model patronase yang
sentralistis. Berbeda dengan era Orde Baru, dalam Orde Reformasi sistem
birokrasi ditata kembali untuk menghilangkan model patronase antara lain
melalui penyusunan tupoksi, indikator kinerja dan job grading. Langkah awal
penataan birokrasi sejauh ini patut diapresiasi dan telah menunjukkan hasil dalam
kestabilan struktur birokrasi. Beberapa sektor pemerintah (termasuk
Kementerian Keuangan) telah berhasil menjadi pelopor reformasi birokrasi yang
ditunjang oleh upaya keras pemberantasan korupsi tiada henti oleh KPK. Namun
harus diakui di sebagian sektor pemerintah pusat dan daerah penegakan prinsip-
prinsip transparansi, stabilitas, dan predictability model Webberian dalam
pengambilan kebijakan belum berjalan mulus.
9
Transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan itu sendiri merupakan
amanat dari KMK Nomor 183 tahun 2013 tentang Kebijakan Strategis
Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025. Dalam KMK tersebut dirumuskan
bahwa strategi bidang organisasi dan tata kelola adalah mewujudkan transformasi
pelaksanaan tugas dan fungsi unit organisasi melalui pengembangan jabatan
fungsional dan penataan jabatan struktural dengan rincian strategi sebagai
berikut:
10
kebijakan telah memiliki landasan hukum dan pedoman teknis menurut
Permenpan-RB Nomor 45 tahun 2013. Di samping itu instansi pembina jabatan
fungsional analis kebijakan telah ditunjuk yakni Lembaga Administrasi Negara
(LAN) berdasarkan Perpres nomor 57 tahun 2013. Di luar itu, terdapat beberapa
jabatan fungsional lain yang bisa saja berada di unit-unit tertentu di BKF, walau
nantinya menginduk ke unit pembina asal. Contohnya antara lain perencana,
perancang peraturan undang-undang, analis kepegawaian, dan pranata
komputer. Hal tersebut semestinya dimungkinkan karena UU ASN disusun
bertujuan untuk menerapkan sistem manajemen pegawai yang berbasis jabatan
- sebagai pengganti sistem manajemen pegawai berbasis karier menurut UU
Pokok-Pokok Pegawai Nomor 8 tahun 1974 dan UU Nomor 43 tahun 1999.
12
REFERENSI
J.S. Shaw. Public Choice Theory, dalam The Concice Encyclopedia of Economics.
Library of Economics and Liberty.
13