Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MATA KULIAH

AKUNTANSI BIAYA

“BIAYA BAHAN BAKU”

Oleh :
NIKEN ADISTI (C1B018027)
NARIZA NUGRAHENI (C1B018032)
INDAH MAYANG SARI (C1B018072)
MAELANI SAFITRI (C1B018076)
DEVI NANDA BAYTI RAHMA (C1B018095)

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN MANAJEMEN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Akuntansi biaya adalah akuntansi yang membicarakan tentang penentuan harga pokok
(costs) dari “sesuatu produk” yang diproduksi (atau dijual di pasar) baik untuk memenuhi
pesanan dari pemesan maupun untuk menjadi persediaan barang dagangan yang akan dijual.
Akuntansi secara umum merupakan proses pencatatan, penggolongan,, peringkasan dan
penyajian dengan cara-cara tertentu dari transaksi keuangan yang terjadi dalam perusahaan
atau organisasi lain dan penafsiran terhadap hasilnya. Tujuan akhir dari akuntansi biaya
adalah menyediakan informasi tentang biaya untuk manajemen guna membantu mereka di
dalam menglola perusahaan atau departemennya. Biaya-biaya yang dikumpulkan sesuai
dengan golongan atau klasifikasi yang diinginkan, kemudian disajikan dan dianalisa akan
sangat bermanfaan bagi manajemen. Data biaya tersebut akan dpat dimanfaatkan oleh
manajemen untuk berbagai tujuan. Biaya bahan baku merupakan salah satu komponen
penting dari biaya produksi. Masalah yang dihadapi manajemen berkatitan dengan bahan
baku yaitu keterlambatan bahan yang mengganggu proses produksi. Sedangkan bahan baku
yang berlebihan akan mengakibatkan pemborosan pada dana yang tertanam pada persediaan
bahan. Karena dalam penyimpanan bahan baku menimbulkan beban (biaya) penyimpanan.
Pada tahap pengadaan dan penyimpanan bahan baku dari segi akuntansi timbul masalah
penentuan harga pokok bahan baku yang dibeli, sedangkan pada saat pemakaian bahan baku
timbul masalah penentuan harga pokok bahan baku yang dipakai.

B. Rumusan Masalah
Apakah pengertian dari Biaya dan Biaya Bahan Baku?
Apa saja proses-proses yang terjadi dalam kegiatan perusahaan terkait Biaya Bahan Baku?
Bagaimana kalkulasi Biaya Bahan Baku?
Bagaimana pengendalian biaya bahan baku?
Apa Saja Masalah Khusus yang berhubungan dengan bahan baku dan penyelesaiannya?

C. Tujuan Makalah
Mengetahui Pengertian biaya dan biaya bahan baku
Mengetahui Proses proses yang terkait dengan biaya bahan baku
Mengetahui dan mampu menghitung biaya bahan baku
Mengetahui Pengendalian Biaya Bahan Baku
Mengetahui masalah khusus biaya bahan baku dan penyelesaian nya
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Biaya Bahan Baku


Biaya bahan baku (raw material cost) adalah seluruh biaya untuk memperoleh sampai dengan
bahan siap untuk digunakan yang meliputi harga bahan, ongklos angkut, penyimpanan dan
lain-lain. Sebelum dibahas unsur-unsur biaya yang membentuk harga pokok bahan baku yang
dibeli, berikut ini diuraikan sistem pembelian lokal bahan baku.

2.2 Elemen Biaya yang Membentuk Harga Pokok Bahan Baku yang Dibeli

Sistem Pembelian
Sistem pembelian lokal bahan baku terdiri dari prosedur permintaan pembelian, prosedur
order pembelan, prosedur penerimaan barang, prosedur pencatatan penerimaan barang di
gudang, dan prosedur encatatan utang .
• Prosedur Permintaan Pembelian Bahan Baku
Jika persediaan bahan baku yang ada digudang sudah mencapai jumlah tingkat minimum
pemesanan kembali ( reorder point), Bagian gudang kemudian membuat surat permintaan
pembelian (purchase requisition) yang kemudian dikirimkan ke bagian pembelian .
• Prosedur Penerimaan Bahan Baku
Pemasok mengirimkan bahan baku kepada perusahaan sesuai dengan surat order pembelian
yang diterimanya. Bagian Penerimaan yang bertugas menerima barang, mencocokan kualitas,
kuantitas, jenis serta spesifikasi bahan baku yang diterima dari pemasok dengan tembusan surat
order pembelian. Apabila bahan baku yang diterima telah sesuai dengan surat order pembelian,
Bagian Penerimaan membuat laporan penerimaan barang untuk dikirimkan kepada Bagian
Akuntansi.
• Prosedur Pencatatan Penerimaan Bahan Baku di Bagian Gudang
Bagian Penerimaan menyerahkan bahan baku yang diterima dari pemasok kepada Bagian
Gudang. Bagian Gudang menyimpan bahan baku tersebut dan mencatat jumlah bahan baku
yang diterima dalam kartu gudang (stock card).
Kartu Gudang di gunakan oleh Bagian Gudang untuk mencatat mutasi tiap-tiap jenis barang
gudang. Kart gudang hanya berisi informasi kuantitas tiap-tiap jenis barang yang disimpan di
gudang dan tidak berisi informasi mengenai harganya. Catatan kartu guang diawasi bagian
akuntansi yang berupa kartu persediaan.
2.3 Biaya yang Diperhitungkan dalam Harga Pokok Bahan Baku yang Dibeli

Semua biaya yang terjadi untuk memperoleh bahan baku dan untuk menempatkanya dalam
keadaan siap untuk diolah, merupakan unsur harga pokok bahan baku yg dibeli. Oleh karena
itu, harga pokok bahan baku tidak hanya berupa harga yang tercantum dalam faktur pembelian
saja.
Sering kali dalam pembelian bahan baku, perusahaan membayar biaya angkutan untuk
berbagai macam bahan baku yang dibeli. Hal ini menimbulkan masalah mengenai
pengalokasian biaya angkutan tersebut kepada masing” jenis bahan baku yang diangkut.
Perlakuan terhadap biaya angkutan ini dpt dibedakan sbb :
1. Biaya angkutan diperlakukan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli.
2. Biaya angkutan tidak diperlakukan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli,
namun diperlakukan sebagai unsur biaya overhead pabrik.

Biaya angkutan diperlakukan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli
Apabila angkutan diperlakukan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli, maka
alokasi biaya angkutan kepada masing-masing jenis bahan baku yang dibeli dapat didasarkan
pada :
1. Perbandingan kuantintas tiap jenis bahan baku yang dibeli.
Contoh :
Perusahaan membeli 3 macam bahan baku dengan jumlah harga dalam faktur sebesar
Rp500.000. Biaya angkutan yang dibayar untuk ketiga macam bahan baku tersebut adalah
sebesar Rp300.000. Kuantitas masing-masing jenis bahan baku yang tercamtum dalam faktur
adalah bahan baku A=400 kg, bahan baku B=350 kg, bahan baku C=50 kg .
Pembagian biaya angkutan kepada tiap-tiap jenis bahan baku adalah:

Berat
Jenis Harga faktur % Harga
Bahan Baku Pokok Bahan
Kg (i) : 800 Baku
(i) (ii) (ii)xRp 300.000
(iii)

A 400 50,00 Rp 150.000


B 350 43,75 131.000
C 50 6,25 18.750
800 100,00 Rp 300.000
2. Perbandingan harga faktur tiap jenis bahan baku yang dibeli.
Contoh :
Perusahaan membeli 4 macam bahan baku dengan harga faktur tiap-tiap jenis bahan sebagai
berikut : Bahan baku A Rp100.000 , bahan baku B Rp150.000 , bahan baku C Rp225.000 ,
bahan baku D Rp125.000 . Biaya angkutan 4 jenis bahan baku tersebut adalah Rp48.000 . Jika
biaya angkutan tersebut dibagi atas dasar perbandingan harga faktur tiap-tiap jenis bahan baku
tersebut, harga pokok tiap jenis bahan baku akan di bebani dengan tambahan biaya angkutan
sebesar Rp0,08 (48.000/600.000) . Pembagian biaya angkutan sebesar Rp48.000 adalah sbb :
JenisBahan Harga faktur Pembagian Harga
Baku BiayaAngkutan Pokok Bahan
(i) x Rp.0,08 Baku
(i) (ii) (i)+ (ii)
(iii)

A Rp 100.000 Rp 8.000 Rp108.000


B 150.000 12.000 162.000
C 225.000 18.000 243.000
D 125.000 10.000 135.000
Rp600.000 Rp 48.000 Rp648.000

Biaya angkutan dibebankan kepada bahan baku atas dasar tarif ditentukan dimuka

 Pembebanan biaya angkutan kepada bahan baku yang dibeli atas dasar tarif yang
ditentukan di muka
Persediaan Bahan Baku xxx
(Tarif biaya angkuta x dasar pembebanan)
– Biaya Angkutan xxx
 Pencatatan biaya angkutan sesungguhnya dikeluarkan
Biaya Angkutan xxx
Kas xxx

 Apabila akhir periode akuntansi dalam rekening biaya angkutan terdapat selisih biaya
angkutan yang dibebankan atas dasar tarif dengan biaya angkutan yang sesungguhnya
terjadi, yang jumlah nya material, maka selisih tersebut dibagikan ke rekening
persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, persediaan produk jadi, dan
harga pokok penjualan
Persediaan Bahan Baku xxx
Persediaan Brg dalam proses xxx
Persediaan Produk Jadi xxx
Harga Pokok Penjualan xxx
Biaya Angkutan xxx
3. Biaya angkutan diperhitungkan dalam harga pokok bahan baku yang dibeli
berdasarkan tarif yang ditentukan di muka.

Untuk meneyederhanakan perhitungan harga pokok bahan baku, biaya angkutan dibebankan
kepada bahan baku yang dibeli atas dasar tarif yang ditentukan dimuka. Perhitungan tarif
dilakukan dengan menaksir biaya angkutan yang akan dikeluarkan dalam tahun anggaran
tertentu. Taksiran biaya angkutan ini kemudian dibagi dengan dasar yang akan digunakan
untuk mengalokasikan biaya angkutan tersebut . Pada saat pembelian bahan baku, harga faktur
bahan baku harus ditambah dengan biaya angkutan seesar tarif yang telah ditentukan. Biaya
angkutkutan yang sesungguhnya dikeluarkan dicatat dalam rekening Biaya Angkutan.
Contoh :
Biaya angkutan yang diperkirakan akan dikeluarkan dalam tahun 20X1 adalah sebesar
Rp2.500.000 , dan jumlah bahan baku yang diangkut diperkirakan sebanyak 50.000 kg . Jadi
tarif biaya angkut untuk tahun 20X1 adalah sebesar Rp50 per kg bahan baku yang diangkut .
Dalam tahun 20X1 jumlah bahan baku yang dibeli dan alokasi angkutan atas dasar
tarif disajikan sebagai berikut :
Biaya Harga
JenisBahan Berat Harga Faktur Angkutan yg Pokok
Baku Kg dibebankan Bahan Baku
atas Dasar
Tarif
(1) (2) (2) + (3)
(1) x Rp50 (4)
(3)
A 25.000 Rp 5.000.000 Rp1.250.000 Rp 6.250.000
B 15.000 4.500.000 750.000 5.250.000
C 10.000 4.000.000 500.000 4.500.000
Rp13.500.000 Rp2.500.000 Rp
16.000.000

Jika misalnya biaya angkutan yg sesungguhnya dlm tahun 20XI adalah sebesar Rp2.400.000,
maka jurnal yg dibuat dalam tahun 20XI untuk mencatat bahan baku yg dibeli tsb adalah sbb:
(a) Jurnal pembelian bahan baku
Persediaan bahan baku Rp13.500.000
Utang dagang Rp13.500.000
(b) Jurnal pembebanan biaya angkutan atas dasar tarif
Persediaan bahan baku Rp2.500.000
Biaya angkutan Rp2.500.000
(c) Jurnal pencatatan biaya angkutan yg sesungguhnya terjadi
Biaya angkutan Rp2.400.000
Kas Rp2.400.000
(d) Jurnal penutupan saldo rekening biaya angkutan ke rekening harga
pokok penjualan
Biaya angkutan Rp100.000
Harga pokok penjualan Rp100.000

Biaya Angkutan Tidak Diperhitungkan Sebagai Tambahan Harga Pokok Bahan Baku Yang
Dibeli, Tetapi Diperlakukan Sebagai Unsur Biaya Overhead Pabrik . Dengan cara ini, biaya
angkutan tidak diperhitungkan sebagai tambahan harga pokok bahan baku yang dibeli, namun
diperlakukan sebagai unsur biaya Overhead Pabrik. Pada awal tahun anggaran, jumlah biaya
angkutan yang akan dikeluarkan selama satu tahun ditaksir. Jumlah taksiran biaya angkutan ini
diperhitungkan sebagai unsur biaya overhead pabrik dalam penentuan tariff biaya overhead
pabrik. Biaya angkutan yang sesungguhnya dikeluarkan kemudian dicatat dalam debit rekening
Biaya Overhead Pabrik Sesungguhnya.

2.4 Metode Pencatatan Bahan Baku

a) Metode Fisik (Fhysical Inventory Method )


Dalam metode ini pembelian bahan baku yang dicatat sedang mutasi berkurangnya bahan tidak
dicatat untuk mengetahui bahan baku yang diperoleh, harus menghitung persediaan bahan
baku digudang pada akhir periode akuntansi.
b) Metode Mutasi Persediaan ( Perpetual Inventory Method)
Dalam metode ini setiap pembelian dan mutasi bahan baku dicatat secara terus menerus dalam
kartu persediaan.

 Metode Masuk Pertama, Keluar Pertama (Firs-in, Firs-out Method). Metode


masuk pertama, keluar pertama (metode MPKP) menentukan biaya bahan baku dengan
anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan baku yang pertama masuk dalam
gudang, digunakan untuk menentukan harga bahan baku yang pertama kali dipakai.
Contoh :
 Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method). Dalam metode ini,
persediaan bahan baku yang ada di gudang dihitung harga pokok rata-ratanya, dengan
cara membagi total harga pokok dengan jumlah satuannya.
Contoh :

 Metode Masuk Terakhir, Keluar Pertama (Last-in, Firs-out Method). Metode


masuk terakhir, keluar pertama (metode MTKP) menentukan harga pokok bahan baku
yang dipakai dalam produksi dengan anggapan bahwa harga pokok per satuan bahan
baku yang terakhir masuk dalam persediaan gudang, dipakai untuk menentukan harga
pokok bahan baku yang pertama kali dipakai dalam produksi.
Contoh :
 Metode Harga Pasar
Dalam metode ini, semua bahan langsung yang ada dalam persediaan di gudang harganya
sama, yaitu harga pasar atau harga pembelian terakhir. Contoh:
 Metode Biaya Standart. Dalam metode ini bahan baku yang dibeli dicatat dalam kartu
persediaan sebesar harga stadart (stadart price) yaitu harga taksiran yang mencerminkan
harga yang diharapkan akan terjadi di masa yang akan datang. Harga standart
merupakan harga yang diperkirakan untuk tahun anggaran tertentu. Pada saat dipakai,
bahan baku dibebankan kepada produk pada harga standart tersebut.

2.5 Perencanaan dan Pengendalian Bahan

 Penentuan Kuantitas yang akan dibeli dalam Periode Akuntansi tertentu


 Menentukan Kuantitas Bahan yang Dibeli Setiap kali Dilakukan Pembelian
 Menentukan Waktu Pemesanan Kembali
 Menentukan Kuantitas Persediaan Bahan
 Pengawasan Persediaan
2.6 Masalah-masala Khusus yang Berhubungan dengan Bahan Baku

Dalam bagian ini diuraikan akuntansi biaya bahan baku, jika dalam proses produksi terjadi sisa
bahan (scrap materials), produk cacat (defective goods), dan produk rusak (spailed goods).

1. SISA BAHAN (SCRAP MATERIALS)

Di dalam proses produksi, tidak semua bahan baku dapat menjadi bagian produk jadi. Bahan
yang mengalami kerusakan di dalam proses pengerjaannya disebut sisa bahan.

Jika di dalam proses produksi mengalami proses produksi terdapat sisa bahan, masalah yang
timbul adalah bagaimana mamperlakukan hasil penjualan sisa bahan tersebut. Hasil penjualan
sisa bahan dapat diperlakukan sebagai :

1.Pengurang biaya bahan baku yang dipakai dalam pesanan yang menghasilkan sisa bahan
tersebut.

2.Pengurang terhadap biaya overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi

3.Penghasilan di luar usaha (other income)

Pencatatan sisa bahan : Jika jumlah dan nilai sisa bahan relative tinggi, maka diperlukan
pengawasan terhadap persediaan sisa bahan. Pemegang kartu persediaan di Bagian Akuntansi
perlu mencatat mutasi persediaan sisa bahan yang ada di gudang.
Contoh

Diketahui: Sisa bahan 2000kg

Ditaksir laku dijual Rp 5.000/kg

)
Terjual : 1.250 kg ( Rp 6.000/kg
2. PRODUK RUSAK (SPOILED GOODS)

Produk rusak adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang vtelah ditetapkan, yang
secara ekonomis tidak dapat diperbaiki menjadi produk yang baik. Produk rusak berbeda
dengan sisa bahan karena sisa bahan merupakan bahan yang mengalami kerusakan dalam
proses produksi, sehingga belum sempat menjadi produk, sedangkan produk rusak merupakan
produk yang telah menyerap biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik.

1. Apabila penyebab terjadinya produk rusak adalah hal yang bersifat luar biasa, misalnya
sulitnya proses produksi, maka harga pokok produk rusak akan
dibebankan sebagai tambahan harga pokok produk yang baik dalam pesanan yang
bersangkutan. Apabila produk rusak laku dijual, maka hasil penjualan produk rusak akan
diperlakukan sebagai pengurang biaya produksi pesanan yang bersangkutan.
Contoh :
PT Eliona Sari memproduksi atas dasar pesanan. Dalam bulan Januari 20X7 perusahaan
menerima pesanan pembuatan 1.000 satuan produk A .
Untuk memenuhi pesanan tersebut perusahaan memproduksi 1.100 satuan produk A dengan
biaya produksi sbb :
BBB 75.000 , BTKL 175.000 , BOP dibebankan atas dasar tarif sebesar 150% dari BTKL .
Pada saat pesanan selesai dikerjakan 100 satuan produk rusak, yg secara ekonomis tdk dapat
diperbaiki. Produk rusak tersebut diperkirakan laku dijual 350 per satuan.

Jurnal untuk mencatat biaya produksi untuk mengolah 1.100 satuan produk A :
Barang Dlm Proses-BBB 75.000
Barang Dlm Proses-BTKL 175.000
Barang Dlm Proses-BOP 262.000
Persediann Bahan Baku 75.000
Gaji dan Upah 175.000
Biaya Overhead yg dibebankan 262.000

Apabila tidak terdapat produk rusak, maka harga pokok per unit adalah :
Rp512.500/1.100 = Rp 466
Dengan adanya produk rusak 100 unit akan mengakibatkan harga pokok perunitnya menjadi
lebih besar karena harga pokok produk rusak dibebankan pada produk yang baik.
Harga produk A yang baik :
Rp512.500/1000 = Rp 513

Jika produk rusak masih laku dijual, maka hasil penjualan produk rusak dikurangkan dari biaya
produksi yang seluruhnya telah dibebankan kepada produk yang baik.
Pembagian nilai Jual produk sebagai pengurang terhadap tiap-tiap rekening Barang Daam
Proses tersebut, didasarkan pada perbandingan tiap-tiap elemen biaya tersebut dalam harga
pokok rusak disajikan sebagai berikut :
Pembagian nilai jual produk rusak adalah sbb :
Barang Dlm Proses-BBB 75% x 6.800 = 5.100
Barang Dlm Proses-BTKL 75% x 15.900 = 11.925
Barang Dlm Proses-BOP 75% x 23.900 = 17.925 +
Jumlah 34.950*
*Jumlah sesungguhnya 35.000, selisih 50 karena ada pembulatan dlm perhitungan.
Jurnal untuk mencatat nilai jual produk rusak dan pengurangan biaya produksi pesanan
yang bersangkutan :
Persediaan Produk Rusak (100x350) 35.000
Barang Dlm Proses-BBB 5.100
Barang Dlm Proses-BTKL 11.925
Barang Dlm Proses-BOP 17.925
Jurnal pencatatan harga pokok produk jadi adalah sbb :
Persediaan Produk jadi Rp477.500
BDP-BBB Rp69.900
BDP-BTKL Rp163.075
BDP-BOP Rp244.575

Karena produk rusak masih laku dijual seharga Rp35.000maka biaya produksi berkurang
menjadi : Rp477.500 (Rp512.500-Rp35.000), sehingga harga pokokpersatuan produk A yg
baik adalah Rp477,5 atau Rp478 dari (Rp477.500-1000).

2. Jika produk rusak merupakan hal yang normal terjadi dalam proses pengolahan produk, maka
kerugian yang timbul sebagai akibat terjadinya produk rusak dibebankan kepada produk
secara keseluruhan, dengan cara memperhitugkan kerugian tersebut didalam tarif
biaya overhead pabrik. Oleh karena itu, anggaran biaya overhead pabrik yang akan
digunakan untuk menentukan tarif biaya overhead pabrik terdiri dari elemen-elemen
berikut :
Biaya bahan penolong XX
Biaya kerja tak langsung XX
Iaya reparasi dan pemeliharaan XX
Biaya asuransi XX
Biaya overhead pabrik lain XX
Rugi produk rusak (hasil penjualan-harga pokk produk rusak) XX
Biaya oerhead pabrik yg dianggarkan = XX
Tarif BOP = BOP yg dianggarkan / Dasar pembebanan

Contoh :
PT Eliona Sari memproduksi atas dasar pesanan. Karena produk rusak merupakan hal yang
biasa terjadi dalam prses pengolahan produk, maka kerugian adanya produk rusak sudah
diperhitungkan dalam penentuan tarif BOP pada awal tahun. Tarif BOP adalah 160% dari
BTKL.
Pada tahun 20X7, perusahaan menerima pesanan produk B seanyak 2.000 kg . Biaya produksi
yang dikeluarkan untuk mengerjakan pesanan tersebut adalah:
BBB Rp100.000 , BTKL Rp250.000 , BOP Rp400.000 (160%xRp250.000).
Setelah pesanan ini selesai doproduksi, ternyata dari 2.300 kg produk selesai yang dihasilkan
terdapat 300 kg produk rusak, yang diperkirakan masih laku dijual Rp200 per kg .
Jurnal mencatat biaya produksi untuk mengolah pesanan B tersebut adalah :
BDP-BBB 100.000
BDP-BTKL 250.000
BDP-BOP 400.000
Persediaa Bahan Baku 100.000
Gaji dan Upah 250.000
BOP yg dibebankan 400.000

Karena dalam tarif BOP telah diperhitungkan kerugian produk rusak, maka berarti seluruh
produk yang diproduksi akan dibebani dengan kerugian karena adanya produk rusak tersebut.
Oleh karena itu , kerugian yang sesungguhnya timbul dari produk rusak didebitkan dalam
rekening BOP sesungguhnya.
Kerugian karena adanya produk rusak :
Harga pokok produk rusak 300xRp326* = Rp97.800
Nilai jual produk rusak 300xRp200 = Rp60.000
Jadi kerugian produk rusak = Rp37.800

Jurnal pencatatan produk rusak dan kerugianya adalah :


Persediaan Produk Rusak 60.000
BOP Sesungguhnya 37.800
BDP-BBB (300x43) 12.900
BDP-BTKL (300x109) 32.700
BDP-BOP (300x174) 52.200
Jurnal pencatatan produk jadi yang baik adalah sbb :
Persediaan produk jadi 652.000
BDP-BBB 86.000
BDP-BTKL 218.000
BDP-BOP 348.000
3. PRODUK CACAT (DEFECTIVE GOODS)

Produk cacat adalah produk yang tidak memenuhi standart mutu yang telah ditentukan, tetapi
dengan mengeluarkan biaya pengerjaan kembali untuk memperbaikinya, produk tersebut
secara ekonomis dapat disempurnakan lagi menjadi produk yang lebih baik.

Masalah yang timbul dalam produk cacat adalah bagaimana memperlakukan biaya tambahan
untuk mengerjakan kembali (rework cost) produk cacat tersebut. Perlakuan terhadap
pengerjaan kembali produk cacat adalah mirip dengan yang telah dibicarakan dalam produk
rusak(spoiled goods).

Jika produk cacat bukan merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses produksi, tetapi karena
karakteristik pengerjaan pesanan tertentu, maka biaya pengerjaan kembali produk cacat dapat
dibebankan sebagai tambahan biaya produksi pesanan yang bersangkutan.

Jika produk cacat merupakan hal yang biasa terjadi dalam proses pengerjaan produk, maka
baiaya pengerjaan kembali dapat dibebankan kepada seluruh produksi dengan cara
memperhitungkan biaya pengerjaan kembali tersebut ke dalam tariff biaya overhead pabrik.
Biaya pengerjaan kembali produk cacat yang sesungguhnya terjadi di debitkan dalam rekening
biaya overhead pabrik sesungguhnya.

Pencatatan Biaya Pengerjaan Kembali Produk Cacat Jika Biaya Tersebut Dibeankan
kepada Pesanan Tertentu .
Contoh :
PT Rimendi menerima pesanan 100 satuan produk X. Biaya produksi yang dikeluarkan untuk
mengolah produk tersebut adalah :
BBB Rp40.000, BTKL Rp25.000 , BOP 200% dari BTKL .
Setelah pengolahan 100 satuan produk X tersebut selesai, ternyata terdapat 10 satuan produk
cacat tersebut terdiri dari biaya BTKL Rp 5.000 dan BOP pada tarif yang biasa dipakai .
Jurnal pencatatan produksi pesanan tersebut dan biaya pengerjaan kembali produk cacat
tersebut adalah sbb :
Jurnal pencatatan biaya produksi 100 satuan produk X :
BDP-BBB 40.000
BDP-BTKL 25.000
BDP-BOP 50.000
Persediaan Bahan Baku 40.000
Gaji dan Upah 25.000
BOP yg diebankan 50.000
Jurnal pencatatan biaya pengerjaan kembali produk cacat jika biaya tersebut
dibebankan sebagai tamahan biaya produksi pesanan yang bersangkutan :
BDP-Biaya Tenaga Kerja 5.000
BDP-Biaya Overhead pabrik 10.000
Gaji dan Upah 5.000
BOP yang Dibebankan 10.000
Jurnal pencatatan harga pokok produk selesai :
Persediaan Produk Jadi 130.000
BDP-BBB 40.000
BDP-BTKL 30.000
BDP-BOP 60.000

Pencatatan Biaya Pengerjaan Kembali Produk Cacat Jika Biaya Tersebut Dibeankan
kepada Produksi Secara Keseluruhan.
Contoh :
Di dalam proses produksi PT Eliona selalu terjadi produk cacat, yag secara ekonomis masih
dapat diperbaiki dengan cara mengeluarkan biaya pengerjaan kembali. Oleh karena itu, pada
waktu menentukan tarif BOP, di dalam anggaran BOP diperhitungkan ditaksiran biaya
pengerjaan kembali produk cacat yang akan dikeluarkan selama periode anggaran. Tarif BOP
ditentukan sebesar 150% dari BTKL, PT Eliona dalam periode anggaran tersebut menerima
pesanan pembuatan 500 satuan produk Y. Biaya produksi yang dikeluarkan untuk mengolah
produk tersebut adalah:
BBB Rp100.000 , BTKL Rp124.000 . Setelah pengolahan 500 satuan produk Y tersebut
selesai, ternyata terdapat 50 satuan produk cacat. Biaya pengerjaan kembali 50 satuan
produk cacat tersebut terdiri dari : BTKL Rp10.000 , dan BOP pada tarif yang dipakai.
Jurnal pencatatan biaya produksi pesanan tersebut dan biaya pengerjaan kembali produk cacat
adalah sbb :

Jurnal pencatatan biaya produksi 500 satuan produk :


BDP-BBB 100.000
BDP-BTKL 125.000
BDP-BOP 187.000
Persediaan Bahan Baku 100.000
Gaji dan Upah 125.000
BOP yg diebankan 187.000

Jurnal pencatatan biaya pengerjaan kembali produk cacat jika biaya tersebut
dibebankan kepada produk secara keseluruhan :
BOP Sesungguhnya 25.000
Gaji dan Upah 10.000
BOP yang Dibebankan 15.000

Jurnal pencatatan harga pokok produk selesai :


Persediaan Produk Jadi 412.000
BDP-BBB 100.000
BDP-BTKL 125.000
BDP-BOP 187.000
Kesimpulan

Semua biaya yang terjadi untuk memperoleh bahan baku dan untuk menempatkanya dalam
keadaan siap untuk diolah, merupakan unsur harga pokok bahan baku yg dibeli. Oleh karena
itu, harga pokok bahan baku tidak hanya berupa harga yang tercantum dalam faktur pembelian
saja.
Sering kali dalam pembelian bahan baku, perusahaan membayar biaya angkutan untuk
berbagai macam bahan baku yang dibeli. Hal ini menimbulkan masalah mengenai
pengalokasian biaya angkutan tersebut kepada masing” jenis bahan baku yang diangkut.Model
yang paling tepat harus dipilih dalam melakukan peramalan.

Anda mungkin juga menyukai