Makalah dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak yang
diampu oleh Lucia Endang Hartati, YK, SKp, MN.
Disusun oleh :
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan Rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Makalah yang berjudul Peran Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Toddler ini dibuat untuk memenuhi
tugas terstruktur matakuliah Keperawatan Anak pada Program Studi S-1 Terapan
Keperawatan Semarang Poltekkes Kemenkes Semarang.
Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Lucia Endang Hartati, YK, SKp, MN. selaku dosen pembimbing makalah
sekaligus sebagai dosen Keperawatan Anak.
2. Orang tua dan saudara tercinta yang telah memberikan dukungan secara
moral maupun material.
3. Teman-teman kelas 2A3 yang selalu memberi dukungan dan doanya.
4. Serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun. Atas perhatiannya, kami ucapkan terimakasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
A. Kesimpulan ..................................................................................... 11
B. Saran ..................................................................................... 11
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
7.
2.3.Teori perkembangan menurut Erikson
Erikson (1950, 1968 mengatakan bahwa manusia
lebih berkembang dalam tahap psikososial daripada tahap
psikoseksual. Erikson menekan kan perubahan
perkembangan sepanjang kehidupan manusia, bukan hanya
dalamlima tahun pertama kehidupan.
Tiap tahap terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang
menghadapkan seseorang sebuah krisis yang harus
dihadapi.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep
polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan)
tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia.
Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah
gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau
ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan
dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan
dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani
dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan
itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil
dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan
mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam
perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini
berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau
kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama
masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu
juga dengan potensi kegagalan.
1. Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
Terjadi pada usia 0 sampai 18 bulan
Tingkat pertama teori perkembangan psikososial
Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun
dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan
kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan
kualitas dari pengasuh kepada anak.
Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan
merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang
tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau
menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri
pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam
mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan
ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten
dan tidak dapat di tebak.
2. Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu
(shame and doubt)
Terjadi pada usia 18 bulan sampai 3 tahun
Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial
Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan
berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian
diri.
Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan
penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali
dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda
dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk
mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa
kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan
pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan,
mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa
aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil
akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri
sendiri.
3. Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
Terjadi pada usia 3 sampai 5 tahun.
Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan
kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan
langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih
tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas,
maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan
kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya
peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan
perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif.
Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul
apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa
sangat cemas.
4. Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah
diri)
Terjadi pada usia 6 sampai pubertas.
Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan
perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan
mereka.
Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan
guru membangun peasaan kompeten dan percaya
dengan ketrampilan yang dimilikinya.
Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali
dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan
merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka
untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-
kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju
penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah
dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan
tidak berkompeten dan tidak produktif.
Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab
khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
5. Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs
kebingungan identitas)
Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 sampai 20 tahun
Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan
membangun kepakaan dirinya.
Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka,
bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya (menuju tahap
kedewasaan).
Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan
status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan
romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan
remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang
berbeda dalam suatu peran khusus.
Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan
cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam
kehidupan, identitas positif akan dicapai.
Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika
remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran,
jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka
kebingungan identitas merajalela.
Namun bagi mereka yang menerima dukungan
memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri,
perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul
dalam tahap ini.
Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan
diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan
bingung terhadap diri dan masa depannya.
6. Tahap 6 Intimacy vs isolation (keintiman vs
keterkucilan)
Terjadi selama masa dewasa awal (20an sampai 30an
tahun)
Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap
seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap
berkomitmen dengan orang lain.
Mereka yang berhasil di tahap ini, akan
mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat
penting untuk mengembangkan hubungan yang intim.
Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang
memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki
kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan
dan lebih sering terisolasi secara emosional,
kesendirian dan depresi.
Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa
keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
7. 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an sampai
50an tahun).
Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun
hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan
merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia
dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak
produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
8. Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
Terjadi selama masa akhir dewasa (60 tahun)
Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri
terhadap masa lalu.
Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa
bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak
penyesalan.
Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia
dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang
pernah dialami.
Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat
menghadapi kematian.
Menurut Sigmund Freud, pada fase ini tergolong dalam fase Anal
dimana pusat kesenangan anak pada perilaku menahan faeses bahkan
kadangkala anak bermain-main dengan faesesnya. Anak belajar mengidentifikasi
tentang perbedaan antara dirinya dengan orang lain disekitarnya. Konflik yang
sering terjadi adalah adanya Oedipus complex atau katarsis yaitu dimana
seorang anak laki-laki menyadari bahwa ayahnya lebih kuat dan lebih besar
dibandingkan dirinya.sedangkan pada wanita disebut dengan Elektra complex.
Adapun Piaget bahwa saat ini merupakan Fase Preoperasional dimana sifat
egosentris sangat menonjol. Pada fase ini.sering ditemukan ketidakmampuan
untuk menempatkan diri sendiri ditempat orang lain.
Kohlberg menggolongkan masa ini dalam Fase Konvensional ,Anak mulai belajar
baik dan buruk,benar atau salah melaui budaya sebagai dasar peletakan nilai
moral. Kohlberg menggolongkan fase ini dalam 3 tahap,yaitu Egosentris
,kebaikan seperti apa yang saya mau, tahap berikutnya adalah Oreintasi
hukuman dan ketaatan,baik dan buruk sebagai konsekuensi tindakan, dan
tahapan yang terakhir adalah Inisiatif,Anak menjalankan aturan sebagai sesuatu
yang menyenangkan dirinya..
Perkembangan Seksualitas
yang terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan
dapatmencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.
2.5 Peran Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan Komunikasi Pada Anak Usia
Toddler
Seorang tokoh Filsafat, Karl Gross mengatakan bahwa anak bermain untuk
mempertahankan kehidupannya. Menurut Gross, awalnya kegiatan bermain tidak
memiliki tujuan namun kemudian memiliki tujuan dan sangat berguna untuk
memperoleh dan melatih keterampilan tertentu dan sangat penting fungsinya bagi
mereka pada saat dewasa kelak, contoh, bayi yang menggerak-gerakkan tangan,
jari, kaki dan berceloteh merupakan kegiatan bermain yang bertujuan untuk
mengembangkan fungsi motorik dan bahasa agar dapat digunakan dimasa datang.
Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia
dini karena melalui bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak.
Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial emosional dan kognitif. Bermain
mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui permainan motorik kasar dan
halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar keseimbangan, kelincahan,
koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun dampak jika anak
tumbuh dan berkembang dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan lebih
percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif.
Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial
emosional anak.
Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu
meningkatkan perhatian dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas,
mampu berfikir divergen, melatih ingatan, mengembangkan prespektif, dan
mengembangkan kemampuan berbahasa. Konsep abstrak yang membutuhkan
kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain, dan menyerap dalam hidup
anak sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya dengan baik.
Hospitalisasi adalah masuknya seorang penderita ke dalam Rumah Sakit atau masa
selama di Rumah Sakit itu (Dorland, 1996).
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap orang.Khususnya
hospitalisasi pada anak merupakan stressor baik terhadap anak itu sendiri maupun
terhadap keluarga.Stres pada anak disebabkan karena mereka tidak mengerti mengapa
mereka dirawat atau mengapa mereka terluka.Lingkungan yang asing, kebiasaan-
kebiasaan yang berbeda, perpisahan dengan keluarga merupakan pengalaman yang
dapat mempengaruhi perkembangan anak. Stres akibat Hospitalisasi akan menimbulkan
perasaan tidak nyaman baik pada anak maupun pada keluarga, hal ini akan memacu
anak untuk menggunakan mekanisme koping dalam menangani stress. Jika anak tidak
mampu menangani stress dapat berkembang menjadi krisis.
Beberapa faktor yang menyebabkan stres akibat hospitalisasi pada anak adalah :
4. Lingkungan
Saat dirawat di Rumah Sakit klien akan mengalami lingkungan yang baru bagi dirinya
dan hal ini akan mengakibatkan stress pada anak.
5. Berpisah dengan Keluarga
Klien yang dirawat di Rumah Sakit akan merasa sendiri dan kesepian, jauh dari keluarga
dan suasana rumah yang akrab dan harmonis.
6. Kurang Informasi
Anak akan merasa takut karena dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh perawat
atau dokter. Anak tidak tahu tentang penyakitnya dan kuatir akan akibat yang mungkin
timbul karena penyakitnya.
7. Masalah Pengobatan
Anak takut akan prosedur pengobatan yang akan dilakukan, karena anak merasa bahwa
pengobatan yang akan diberikan itu akan menyakitkan.
Dengan mengerti kebutuhan anak sesuai dengan tahap perkembangannya dan mampu
memenuhi kebutuhan tersebut, perawat dapat mengurangi stress akibat hospitalisasi
dan dapat meningkatkan perkembangan anak kearah yang normal.(Whaley & Wong’s,
1999).
REAKSI KELUARGA TERHADAP ANAK YANG SAKIT DAN DIRAWAT DIRUMAH SAKIT
Seriusnya penyakit baik akut atau kronis mempengaruhi tiap anggota dalam keluarga :
13. Reaksi orang tua
Orang tua akan mengalami stress jika anaknya sakit dan dirawat dirumah sakit.
Kecemasan akan meningkat jika mereka kurang informasi tentang prosedur dan
pengobatan anak serta dampaknya terhadap masa depan anak. Orang tua
bereaksi dengan tidak percaya terutama jika penyakit ananknya secara tiba-tiba dan
serius.
Setelah menyadari tentang keadaan anak, maka mereka akan bereaksi dengan marah
dan merasa bersalah, sering menyalahkan diri karena tidak mampu merawat anak
sehingga anak menjadi sakit
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
Jakarta