Anda di halaman 1dari 20

JUAL BELI (AL-BAI’U)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadits II

Dosen Pengampu : Dr. Taufik Rahman, M.Ag

Oleh Kelompok (IAT/3-E) :

Ira Riayatul Hotimah (1171030096)

M. Syarif Hidayatullah (1171030143)

Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena atas izin-
Nya lah makalah ini dapat kami selesaikan pada waktunya.

Makalah ini berisi materi mengenai “Al-bai’ (jual beli)”. Dalam makalah ini kami
menyajikan materi tentang jual beli dalam perspektif Alquran dan hadis yang kami harap
dapat bermanfaat untuk sarana berdiskusi dan bahan belajar bersama.

Makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat diperlukan agar makalah ini dapat menjadi lebih baik ke depannya.

Bandung, 12 Desember 2018

Kelompok

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................ 2

Daftar Isi ........................................................................................................................... 3

BAB I : Pendahuluan ....................................................................................................... 4

BAB II : Pembahasan ...................................................................................................... 5

A. Definisi Jual Beli .................................................................................................. 5


B. Dalil Jual Beli ....................................................................................................... 6
C. Rukun dan Syarat Jual Beli ................................................................................ 8
D. Macam-Macam Jual Beli ................................................................................... 10
E. Jual Beli Yang Sah Tapi Dilarang ................................................................... 14
F. Etika Jual Beli ..................................................................................................... 16

BAB III : Penutup ........................................................................................................... 19

Daftar Pustaka ................................................................................................................ 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jual-beli (al-bai’) merupakan salah satu terminology Ilmu Fikih yang ketentuannya
terdapat dalam Alquran dan Sunah, yang dari sudut historis merupakan kelanjutan dari syariat
sebelum ajaran Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. ulama menyandarkan kata
al-bai’ kepada kata al-‘aqd (‘uqud, jamak) sehingga terminology hukum syariat umumnya
menyebut hukum jual-beli (‘aqd al-bai’) yang terdiri atas penjelasan mengenai definisi jual-
beli, pensyariatan dan etikanya.

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan seperti yang
telah disebutkan sebelumnya yaitu Al quran, hadits dan ijma’. Hukum jual beli pada dasarnya
diperbolehkan oleh ajaran Islam. Kebolehan ini berdasarkan kepada firman Allah dalm surat
An-Nisa: 29 “…janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batal
melainkan dengan jalan jual beli, suka sama suka…”

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari jual-beli?
2. Dalil apa sajakah yang menjelaskan tentang kebolehan jual-beli?
3. Ada berapa dan apa saja rukun dan syarat dalam jual-beli?
4. Ada berapa macam dalam jual beli?
5. Bagaimana penjelasan mengenai jual beli yang sah tapi dilarang.
6. Apa saja etika dalam melaksankan transaksi jual-beli?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi dari jual-beli (al-bai’) baik secara bahasa maupun istilah.
2. Untuk mengetahui dalil –dalil yang memperbolehkan dalam jual beli.
3. Untuk mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
melakukan transaksi jual beli.
4. Untuk menjelaskan macam-macam jual beli yang mencangkup dari jual beli yang
diperbolehkan dan jual beli yang diharamkan.
5. Menjelaskan tentang proses jual beli yang sah tapi dilarang yang pernah terjadi
6. Untuk mengetahui etika dalam melakukan jual beli dan dapat mengaplikasik

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Jual - Beli

Kata al-bai’ mencangkup dua pengertian, yaitu jual (al-bai’) dan beli (al-syira’). Adapun
pengertian al-bai’ secara bahasa, yaitu1 :

1. Muqabalah / saling menerima (berasal dari kata qabala yang berarti menerima), yaitu
menerima sesuatu atas sesuatu ynag lain (muqabalat al-syai’ bi syai’).
2. Mubadalah / saling mengganti (berasal dari kata badala yang berart mengganti).
3. Mu’awadhat / pertukaran (berasal dari kata ‘adha yang berarti memberi ganti).

Kata mubadalat dan mu’awadhat cenderung memiliki arti yang sama, yaitu pertukaran.
Penjelasan mengenai arti jual-beli secara bahsa setidaknya menunjukkan tiga hal, yaitu2:

1. secara implisit menunjukkan bahwa akad jual-beli terdapat dua pihak ynag berperan
sebagai penjual dan pembeli.
2. terdapat objek yang dipertukarkan, yaitu barang yang dijual (mabi’) dengan harga
(tsaman).
3. Secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa dalam akad jual-beli terdapat dua
objek, yaitu barang yang dijual (mutsman / matsmun) dan harga (tsaman).

Pengertian jual-beli secara istilah yang dijelaskan Ulama, menunjukkan perbuatan dan akibat
hukum jual-beli, yaitu3 :

1. Shighat akad, yaitu pernyataan atau perbuatan yang berupa penawaran (ijab) dan
penerimaan (qabul).
2. Pemindahan kepemilikan (intiqal al-milkiyyah/ al-tamlikiyyah), yaitu barang yang
dijual (mabi’) berpindah kepemilikannya dari milik penjual menjadi milik pembeli
dan harga (tsaman) berpindah kepemilikannya dari milik pembeli menjadi milik
penjual.

1
Mubarok Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2017) hlm. 2.
2
Mubarok Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2017) hlm. 3.
3
Mubarok Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2017) hlm. 3.

5
3. Al-ta’bid, Ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa kepemilikan objek yang
dipertukarkan (al-tsaman dan al-mutsman) bersifat kekal (abadi) tidak bersifat
sementara.

Musthafa Ahmad al-Zarqa (1999) menyampaikan ikhtiar pakar hukum Islam dalam
menyempurnakan definisi jual-beli sebelumnya. Karena definisi sebelumnya dilengkapi
dengan unsur tamlik dan tamaluk sehingga belum menggambarkan praktek jual-beli secara
utuh akrena karakternya masih sama dengan akad tabarru’ (sosial) yang tidak sejalan dengan
posisi akal jual-beli yaitu, mu’awadhat. Beliau menjelaskan pendapat sejumlah pakar hukum
Islam yang menegaskan bahwa definisi jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan
tujuan iktisab,yaitu upaya pemenuhan kebutuhan dengan cara pertukaran4.

Perniagan harus berupa usaha halal (kasb al-halal), baik dari segi objeknya (dzat) maupun
dari segi prosesnya (lighairih). Diantara dalil yang memerintahkan agar umat Islam
melakukan perniagaan halal adalah :

a. Hadits riwayat Imam al-Thabrani dan al-Dailami dari Ali Ibn Abi Thalib yang
menjelaskan sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa Allah Ta’ala suka melihat
hamba-Nya yang berbisnis (melakukan perniagaan / tijarah) dengan halal.
b. Hadits riwayat Imam al-Thabrani dengan kualitas hasan menurut Ibn Mundzir, dari
Malik Ibn Annas r.a. yang menjelaskan sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa
berusaha / berbisnis (mencari harta) dengan halal adalah wajib hukumnya bagi setiap
muslim. (thalab al-halal wajib ‘ala kulli muslim).
B. Dalil Jual - Beli

Dalil jual-beli berasal dari Alquran, sunah/hadis, dan ijmak. Jual beli merupakan akad yang
bersumber pada Alquran, yaitu:

1. QS. Al-Baqarah 2:282 yang substansinya adalah bahwa Allah SWT. memerintahkan
adanya saksi dalam jual-beli tangguh.
2. QS. Al-Baqarah 2:275
‫ش ْي َطانُ ِمنَ ا ْل َم ِس ۚ َٰذَ ِلكَ ِبأَنَّ ُه ْم َقالُوا إِنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬َّ ‫طهُ ال‬ ُ ‫الر َبا ََل يَقُو ُمونَ إِ ََّل َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخ َّب‬ ِ َ‫الَّ ِذينَ يَأ ْ ُكلُون‬
َّ ‫ف َوأَ ْم ُرهُ ِإلَى‬
‫َّللاِ ۖ َو َم ْن عَا َد‬ َ َ‫سل‬ َ ‫الربَا ۚ فَ َم ْن جَا َءهُ َم ْو ِع َظةٌ ِم ْن َر ِب ِه فَا ْنتَه ََٰى فَلَهُ َما‬ َّ ‫الربَا ۗ َوأ َ َح َّل‬
ِ ‫َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َوح ََّر َم‬ ِ
َ‫َاب النَّ ِار ۖ ُه ْم فِيهَا َخا ِل ُدون‬
ُ ‫صح‬ْ َ ‫فَأُو َٰ َلئِكَ أ‬

4
Mubarok Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2017) hlm. 4.

6
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” substansinya
adalah Allah SWT. menghalalkan jual-beli dan megharamkan riba.

3. QS. Al-Baqarah 2:198


ُ‫شعَ ِر ا ْلح ََر ِام ۖ َوا ْذك ُُروه‬ َّ ‫ت فَا ْذك ُُروا‬
ْ ‫َّللاَ ِع ْن َد ا ْل َم‬ ْ َ‫ض اًل ِم ْن َربِ ُك ْم ۚ فَ ِإذَا أَف‬
ٍ ‫ضت ُ ْم ِم ْن ع ََرفَا‬ ْ َ‫ح أ َ ْن ت َ ْبتَغُوا ف‬ ٌ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا‬
َ ‫ْس‬َ ‫لَي‬
. َ‫َك َما َهدَا ُك ْم َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم ِم ْن قَ ْب ِل ِه لَ ِمنَ الض َِّالين‬

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-
Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat.” substansinya adalah bahwa Allah SWT. membolehkan manusia untuk mencari
rizki dengan bisnis.

4. QS. An-Nisa 4:29

َ‫َّللاَ كَان‬ َ ُ‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َو ََل تَ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬


َّ َّ‫س ُك ْم ۚ إِن‬ ٍ ‫َارةا ع َْن ت َ َر‬ ِ َ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب‬
َ ‫اط ِل إِ ََّل أ َ ْن تَكُونَ تِج‬
.‫ِب ُك ْم َر ِحي اما‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” substansinya tijarah (diantaranya jual-beli) harus dilakukan atas
dasar saling rela/ridha (terhindar dari unsur paksaan)

Diantara hadits yang dijadikan dasar kebolehan jual-beli adalah berikut :

7
‫ عمل الرجل بيده وكل بيع‬: ‫ يا قال‬:‫عن رفاعة بن رافع رضي هللا عنه أن النبي صلى هللا عليه وسلم سئل أي الكسب أطيب؟ قال‬
‫مبرور‬

Dari Rufa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ditanya:”Apakah pekerjaan yang paling baik/afdhol?” Beliau menjawab:”Pekerjaan
seorang laki-laki dengan tangannya sendiri (hasil jerih payah sendiri), dan setiap jual beli
yang mabrur” (Riwayat al-Bazar yang disahkan oleh al-Hakim)
‫اِنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ع َْن ت َ َراض‬

“sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (Riwayat Ibnu Hibban)

Umat Islam telah sepakat (ijma’) tentang kebolehan melakukan jual-beli karena manusia
secara alami memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Jual-beli merupakan bagian dari
peradaban. Ibn Khaldun menjelaskan bahwa dari segi alamiahnya, manusia adalah makhluk
berperadaban (kreatif dan inovatif) dan hidup manusia tegak dalam konteks pemenuhan
kebutuhan, antara lain melalui jual-belli dan penukaran5.

C. Rukun dan Syarat Jual – Beli

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu. Dalam kitab Fikih dijelaskan bahwa
unsur-unsur yang berkedudukan sebagai pembentuk sesuatu juga disebut rukun. Jumhur
Ulama berpendapat bahwa rukun jual-beli terdiri atas :

1. Penjual dan Pembeli


Syaratnya adalah :
a. Berakal,agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa). Keterangannya yaitu hadits diatas suka
sama suka.
c. Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta yang mubadzir itu ditangan walinya.

Firman Allah Ta’ala :

}5{ ‫اَلية‬...‫ار ُزقُو ُه ْم فِيهَا‬ َّ ‫سفَهَا َء أ َ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِي َجعَ َل‬


ْ ‫َّللاُ لَ ُك ْم قِيَا اما َو‬ ُّ ‫َو ََل ت ُؤْ ت ُوا ال‬

5
Mubarok Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2017) hlm.7.

8
“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belom
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) ynag
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu, berilah mereka belanja...”
(Q.S. an-nisa : 5)
d. Baligh (berumur 15 tahun ke atas / dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya.
Adapun bagi anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum cukup umur (cukup
umur) menurut pendapat sebagian Ulama itu diperbolehkan berjual beli barang
yang kecil-kecil. Karena jika tidak diperbolehkan akan menimbulkan kesulitan
dan kesukaran, sedangkan agama Islam selalu memberikan jalan kemudahan.
2. Uang dan benda yang dibeli
Syaratnya adalah :
a. Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan,
sepeprti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.

Sabda Rasulullah Saw. :

َّ َّ‫ َوه َُو بِ َمكَّةَ إِن‬، ِ‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم يَقُو ُل عَا َم ا ْلفَتْح‬
َ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم َع َر‬َ ُ‫َّللاِ رضى هللا عنهما أَنَّه‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع َْن جَابِ ِر ب ِْن‬
، ُ‫سفُن‬ ُ َ‫ أ َ َرأَيْت‬، ِ‫َّللا‬
ُّ ‫ش ُحو َم ا ْل َم ْيت َ ِة فَ ِإ َّنهَا يُ ْط َلى بِهَا ال‬ َّ ‫سو َل‬ ْ َ ‫ير َواأل‬
ُ ‫صنَ ِام َف ِقي َل يَا َر‬ ِ ‫سولَهُ ح ََّر َم بَ ْي َع ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيت َ ِة َوا ْل ِخ ْن ِز‬
ُ ‫َو َر‬
َّ ‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم ِع ْن َد ذَ ِلكَ َقاتَ َل‬
ُ‫َّللا‬ ُ ‫ ث ُ َّم قَا َل َر‬.‫ ه َُو ح ََرا ٌم‬، َ‫ َف َقا َل َل‬.‫اس‬
َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ص ِب ُح ِبهَا ال َّن‬ ْ َ‫ َوي‬، ‫َويُ ْدهَنُ ِبهَا ا ْل ُجلُو ُد‬
ْ َ ‫ست‬
ُ‫ش ُحو َمهَا َج َملُوهُ ث ُ َّم َباعُوهُ َفأ َ َكلُوا ث َ َم َنه‬ َّ َّ‫ ِإن‬، ‫ا ْليَ ُهو َد‬
ُ ‫َّللاَ لَ َّما ح ََّر َم‬

Dari Jabir bin Abdillah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda di Mekah saat penaklukan kota Mekah, “Sesungguhnya, Allah dan Rasul-
Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” Ada yang
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai jual beli lemak bangkai,
mengingat lemak bangkai itu dipakai untuk menambal perahu, meminyaki kulit, dan
dijadikan minyak untuk penerangan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak boleh! Jual beli lemak bangkai itu haram.” Kemudian, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat Yahudi. Sesungguhnya, tatkala
Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjual minyak
dari lemak bangkai tersebut, kemudian mereka memakan hasil penjualannya.” (HR.
Bukhari, no. 2236 dan Muslim, no. 4132)
b. Ada manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
c. Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat
diserahkan kepada pembeli, seprti mejual ikan yang masih dilaut, barang

9
rampasan yang masih berada di tangan orang yang merampasnya, barang yang
dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
َ ‫عن أبي هريرة نَهَى النَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم ع َْن بَي ِْع ا ْل َغ َر ِر‬
Dari Abu Hurairoh. Ia berkata ”Nabi Saw. telah melarang
memperjualbelikan barang yang mengandung tipu daya.” (Riwayat
Muslim dll.)
d. barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya
atau yang mengusahakannya.

Sabda Rasulullah Saw. :

‫ََل بَ ْي َع ا ََِّل فِ ْي َما يُ ْملَك‬


“Tidak sah jual beli selain dari barang yang dimiliki”. (H.R. Abu Daud dan
Tirmidzi)
e. barang tersebut diketahui oleh sipenjual dan si pembeli. Zat, bentuk, kadar
ukuran, dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh
mengecoh.
3. Lafadz ijab dan qabul

Ijab adalah perkataan penjual, misalnya “saya jual barang ini sekian.” Sedangakan Kabul
adalah ucapan si pembeli “saya terima (membeli) dengan harga sekian.”

D. Macam – macam Jual – Beli

Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua
macam, jual beli yang sah menurut hukum dan jual beli yang batal menurut hukum, dari segi
obyek jual beli dan segi pelaku jual beli. Sedangkan ditinjau dari segi benda yang dijadikan
objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqqiyuddin bahwa jual beli dibagi
menjadi tiga bentuk, yaitu:
 Jual beli benda yang terlihat
 Jual beli benda yang hanya disebutkan sifat-sifatnya dalam janji
 jual beli benda yang tidak sah.
Ditinjau dari segi akid (orang yang melakukan akad atau subyek), jual beli terbagi
menjadi tiga bagian, dengan lisan, perantara, dan perbuatan. Akad jual beli yang dilakukan
dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal yang dipandang dalam
akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.

10
Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau surat-menyurat sama
halnya dengan ijab qabul dengan ucapan.6

1. Jual Beli Salām (Bai῾ as-Salām )


Secara Bahasa artinya adalah Salaf, baik ditinjau dari fi’il nya maupun wazan
maknanya.Penamaan akad ini dengan istilah Salām , yang memiliki arti etimologis “segera”
(isti῾jal) karena akad Salām mengharuskan kesegeraan pembayaran (ra῾s al-mal) di majlis
akad. Sedangkan penamaan dengan istilah Salaf, yang memiliki arti estimologis“dahulu”
(sabiq), karena sistem pembayaran akad Salām harus didahulukan dari penerimaan barang
(muslam fih).7

Adapun Salām secara terminologi adalah transaksi terhadap sesuatu yang dijelaskan
sifatnya dalam tanggungan dan dalam suatu tempo dengan harga yang diberikan kontan di
tempat transaksi.8

‫ف فِي‬ ْ َ ‫ " َم ْن أ‬: ‫ فَقَا َل‬،‫ث‬


َ َ‫سل‬ َ ‫سنَتَي ِْن َوالثَّ ًَل‬ ْ ُ‫ َق ِد َم النَّبِ ُّي ا ْل َمدِينَةَ َو ُه ْم ي‬: ‫ َقا َل‬،ُ‫ع ْنه‬
َّ ‫س ِلفُونَ بِالت َّ ْم ِر ال‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫اس َر ِض َي‬
ٍ َّ‫عب‬
َ ‫ع َِن اب ِْن‬
ٍ ُ‫وم إِلَى أَ َج ٍل َم ْعل‬
. " ‫وم‬ ٍ ُ‫ فَ ِفي َك ْي ٍل َم ْعل‬، ٍ‫ش َْيء‬
ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬
Artinya:“Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alyhiَ wa Sallam datang ke Madinah
danَ penduduknya biasaَ meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan duaَ tahun. Lalu
beliau bersabda : "Barangsiapaَmeminjamkan sesuatu maka hendaknya ia meminjamkannya
dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu.”9

 Rukun Akad Salām


a. Shighah
Shighah dalam akad Salām meliputi ijab dan qabul yang menunjukkan makna pembelian
dengan sistem Salām (pesan) dan persetujuan.
b. Aqidain
Aqidain dalam akad Salām meliputi muslim (pembeli) dan muslam alyh (penjual).
c. Ra῾s Al-Mal (harga)
d. Muslam Fih (barang pesanan)

6
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Depok:Raja Grafindo Persada. 2002 Hal 75-77
7
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri:Lirboyo Press. 2016 Hal 86-87
8
Miftahul Khairi,Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, Cet-1,Yogyakarta:Maktabah Al
Hanif,2009,hal.137
9
Sahih Bukhari Bab As-salami fii wazni ma’luum Kitab as-salami Hdist no. 2240

11
 Syarat akad salam
a. penyebutan jenis, bentuk, kadar barang dan sifat muslam fih
b. Hendaknya harga diserah terimakan di tempat pelaksanaan akad.
c. Muslam fih harus ditentukan temponya secara jelas
2. Jual Beli Istisna῾(Bai῾ Al-Istiṣna῾)
Istiṣna῾ adalah bentuk transaksi yang menyerupai jual beli Salām jika ditinjau dari sisi
bahwa obyek (barang) yang dijual belum ada. Dalam istilah fuqaha, Istiṣna῾ didefinisikan
sebagai akad meminta seseorang untuk membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk
tertentu (tanggungan). Maksudnya, akad tersebut merupakan akad membeli sesuatu yang
akan dibuat oleh seseorang. Atau bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu,
sering memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal seperti itu dapat dilakukan
melalui jual beli Istisna, yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli)
dan penjual (pembuat).10
Akad ini menyerupai akad Salām (membeli barang dalam tanggungan dengan harga
kontan), karena akad ini merupakan jual beli barang yang tidak ada saat akad. Akan tetapi,
akad Istiṣna῾memiliki perbedaan dengan akad Salām dari sisi ketidakharusan penyerahan
harga barang (modal) secara kontan, penjelasan masa pembuatan ataupun waktu penyerahan.
 Rukun Bai῾ Istiṣna῾
Rukunnya adalah ijab dan qabul. Hukumnya adalah tetapnya kepemilikan atas penukar
dan barang.11
 Syarat-syarat Bai῾ Istiṣna῾
Para ulama Hanafiyah menentukan tiga syarat bagi keabsahan akad Istiṣna῾ yang jika
salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka akad itu menjadi rusak. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Menjelaskan jenis, tipe, kadar dan bentuk barang yang dipesan, karena barang yang
dipesan merupakan barang dagangan sehingga harus diketahui informasi mengenai
barang itu secara baik.
b. Barang yang dipesan harus barang yang biasa dipesan pembuatannya oleh
masyarakat, seperti perhiasan, sepatu, wadah, alat keprluan hewan, dan alat
transportasi lainnya.
c. Tidak menyebutkan batas waktu tertentu.
10
Fatwa DSN NO: 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istiṣna῾
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz 5, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011. Hal. 103

12
3. Khiyar
4. Qirad
5. Musaqah

Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar
dipeliharanya, dan penghasila yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut
perjanjian keduanya sewaktu akad.

Akad ini diperbolehkan oleh Agama karena banyak orang yang membutuhkannya.
Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedangkan
yang lain tidak memiliki kebun, tetapi sanggup untuk bekerja. Maka dengan adanya peraturan
ini keduanya dapat hidup dengan baik dan masyarakat bertambah makmur.َ

ُ ‫عن ابن عمر أن النبي صلى هللا عليه وسلم عَا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر بِش َْر ِط َما يَ ْخ ُر‬
. ٍ‫ج ِم ْنهَا ِم ْن ث َ َم ٍر ا َ ْو َز ْرع‬

Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjia. Mereka akan diberi
sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan atau hasil pertahun. (H.R. Muslim)

 Rukun Musaqah
a. Baik pemilik kebun maupun tukang kebun, keduanya hendak orang yang sama-sama
berhak ber-tasarruf harta keduanya.
b. Kebun, yaitu semua pohon yang berbuah boleh diparokan, demikian juga hasil
pertahun (palawija) boleh juga diparokan, menurut hadits yang disebutkan diatas.
c. Pekerjaan. Hendaklah ditentukan masanya, misalnya satu tahun atau dua tahun atau
lebih, sekurang-kurangnya yaitu kira-kira menurut kebiasaan kebun itu berbuah.
d. Buah. Hendaklah ditentukan masing-masing bagian antara pemilik kebun dan pekerja,
misalnya seperdua atau sepertiga.
6. Muzara’ah dan mukhabarah

Muzara’ah adalah paroan sawah atau ladang seperdua atau lebih, sedangkan benihnya itu
dari petani (orang yang mengggarap).

Mukhabarah adalah paroan sawah atau ladang seperdua atau lebih, sedangkan benihnya itu
dari yang pnya tanah.

Sebagian Ulama melarang paroan tanah yang semacam ini. Mereka beralasan pada
beberapa hadits yang melarang paroan tersebut. Salah satu haditnya yaitu riwayat Bukhari :

13
‫علَي أَنَّ لَنَا ه ِذ ِه َولَ ُه ْم ه ِذ ِه فَ ُربَّ َما أَ ْخ َر َجتْ ه ِذ ِه َولَ ْم ت ُْخ ِر ْج‬ ِ ‫ع َْن َرافِ ِع ب ِْن َخ ِديْجٍ قال ُكنَّا أ َ ْكث َ َر ْاأل َ ْنص‬
َ ‫َار َح ْق اًل فَ ُك َّنا نُك ِْر ْي ْاَلَ ْر‬
َ ‫ض‬
َ‫ه ِذ ِه َفنَهَانَا ع َْن ذ ِلك‬

Rafi’ bin Khadij berkata, “diantara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah
kami, maka kami persewakan tanah sebagian untuk kami dan sebagian untuk mereka yang
mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak
berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah melarang paroan dengan cara demikian”.

Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh
Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi; mereka mengambil alasan hadits Ibnu Umar :

ُ ‫عن ابن عمر أن النبي صلى هللا عليه وسلم عَا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر ِبش َْر ِط َما يَ ْخ ُر‬
. ٍ‫ج ِم ْن َها ِم ْن ث َ َم ٍر ا َ ْو َز ْرع‬

Dari Ibnu Umar “Sesungguhnya Nabi Saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjia. Mereka akan diberi sebagian dari
penghasilannya, baik dari buah-buahan atau hasil pertahun. (H.R. Muslim)

 Zakat paroan sawah atau ladang

Zakat hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang punya benih. Jadi, pada muzara’ah
yang diwajibkan zakat adalah petani penggarap. Sedangkan pada mukhavarah, zakat
diwajibkan atas yang punya tanah.

E. Jual Beli Yang Sah Tapi Dilarang

Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan apa saja
sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi pokok sebab timbulnya
larangan adalah: 1. Menyakiti si penjual, pembeli atau orang lain; 2. Menyempitkan gerakan
pasaran; 3. Merusak ketentraman umum12.

1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia
tidak menginginkan barang itu, tetapi semata-semata supaya orang lain tidak dapat
membeli barang itu. Dalam hadits diterangkan jual beli yang semacam itu dilarang.
2. Membeli barang yang sudah dibeli oleh orang lain ynag masih dalam masa khiyar.

Sabda Rasulullah Saw. :

ٍ ‫علَى بَيْعِ بَ ْع‬


‫ متفق عليه‬. ‫ض‬ ُ ‫عن أبي هريرة قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َلَيَبْعِ بَ ْع‬
َ ‫ض ُك ْم‬

12
Rasjid Sulaiman, fikih Islam, (Bandung: CV. Sinar Baru. 2009) hlm. 284-286.

14
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah Saw. telah bersabda, ‘janganlah diantara kamu
menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain‘.”Mencegat orang-orang yang datang dari
desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu
mereka belum mengetahui harga pasar.

Sabda Rasulullah Saw.:

ُّ ‫عن ابن عباس قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َلَتَتَلَ ُّق‬
‫ متفق عليه‬. َ‫واالر ْكبَان‬

Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘janganlah kamu mencegat orang-
orang yang akan ke pasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar’.”

Hal ini tidak diperbolehkan karena dapat merugikan orang desa yang datang, dan
mengecewakan gerakan pemasaran karena barang tersebut tidak sampai dipasar.

3. Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal
sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Hal ini dilarang karena dapat
merusak ketentraman umum.

Sabda Rasulullah Saw.:

‫ئ‬ ِ ‫َلَ يَحْ تَ ِك ُر ِإَلَّ َخ‬


ٌ ‫اط‬

“Tidak ada orang yang menahan barang kecuali orang yang durhaka (salah).” (H. R.
Muslim no. 1605)

4. Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh yang
membelinya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫اْلثْ ِم َوا ْلعُد َْوان‬


ِ ْ ‫ع َلى‬ َ َ‫ع َلى ا ْل ِب ِر َوالت َّ ْق َو َٰى ۖ َو ََل تَع‬
َ ‫اونُوا‬ َ ‫اونُوا‬
َ َ‫َوتَع‬

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah: 2)

5. Jual beli yang disertai tipuan. Dalam jual beli itu terdapat unsur tipuan baik dari pihak
pembeli maupun dari penjual, pada barang maupun ukuran dan timbangannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu dia berkata:

15
‫صب َْر ِة َط َع ٍام َفأ َ ْد َخ َل يَ َدهُ فِ ْيهَا فَنَالَتْ أَصَا ِبعُهُ بَلًَلا فَ َقا َل َما َهذَا‬
ُ ‫علَى‬
َ ‫عن أبي هريرة أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم َم َّر‬
َ ‫ش فَلَي‬
.‫ْس ِم ِنى‬ َّ ‫غ‬ َ ‫س ْو َل هللا َقا َل أَفَ ًَل َج َع ْلتَهُ فَ ْو‬
ُ ‫ق ال َّط َع ِام ك َْي َي َرا ُه الن‬
َ ‫اس َم ْن‬ َّ ‫ب ال َّط َع ِام قَا َل أَصَا َبتْهُ ال‬
ُ ‫س َما ُء َيا َر‬ َ ‫َاح‬
ِ ‫َيا ص‬
‫رواه مسلم‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makananَ yang akan
dijual, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau
menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik
makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”Beliau
bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat
melihatnya? Siapa yang menipu maka dia bukan dari umatku (golonganku).”
F. Etika Jual - Beli

Terdapat enam etika jual-beli yang dijelaskan oleh ulama, antara lain13 :

1. Tidak mengandung penipuan dalam memperoleh keuntungan. Seperti yang disebutkan


dalam hadits ;

‫ متفق عليه‬.‫س ْو ِم أ َ ِخ ْي ِه‬


َ ‫علَى‬ ْ ‫س ِم ا ْل ُم‬
َ ‫س ِل ُم‬ ُ َ‫ أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال َلَي‬: ‫حديث أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬

Diriwaytakan dari Abi Hurairoh r.a. dia telah berkata : sesungguhnya Rasulullah Saw. telah
bersabda :”Janganlah seorang muslim menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.”

‫ متفق عليه‬.‫ أن النبي صلى هللا عليه وسلم نَهَى ع َِن ال َّنجْ ِش‬: ‫حديث ابن عمر رضي هللا عنهما‬

“sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang jual beli dengan cara najsyi yaitu pura-pura
membayar dengan harga yang lebih mahal supaya pembeli lain tertipu.”

Hadits diatas menjelaskan bahwa menjual barang yang sudah ditawar oleh pembeli
kemudian dijual lagi kepada orang lain hukumnya haram kecuali kalau pembeli tadi
membatalkan transaksinya. Begitu juga jual beli najsyi yaitu pembeli pura-pura membayar
harga barang lebih mahal dari harga biasa supaya pembeli lain tertipu.

2. Jujur dalam bermu’amalah (shidq al-mu’amalah),

Berlaku jujur dalam jual beli merupakan salah satu sebab datangnya keberkahan. Hal ini
berdasarkan hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

13
Mubarok Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media. 2017)
hlm.7-8.

16
‫ َفا ِْن‬.‫لخيَ ِار َما َل ْم يَتَفَ َّرقَا‬ ِ ‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال اَ ْل َبي َع‬: ‫حديث حكيم بن حزام رضي هللا غنه قال‬
ِ ْ ‫ان ِبا‬
‫ َو ا ِْن َكذَ َبا َو َكت َ َما ُم ِحقَتْ َب َركَةُ َب ْي ِع ِه َما‬.‫ص َدقَا َو َب َّينَا بُ ْو ِركَ َل ُه َما ِف ْي َب ْي ِع ِه َما‬
َ

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam r.a., dia telah berkata : dari Nabi Saw., bahwa beliau
telah bersabda: “Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum
berpisah. Sekiranya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang dijual
belikan, mereka akan mendapat berkat dalam jaul beli mereka. Sekiranya mereka menipu dan
merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang dijual belikan
maka akan terhapus keberkatannya.”ََ(H.R. Bukhari (2079,2082,2108) dan Muslim (1532))

Hadits diatas menjelaskan hendaklah disertai rasa jujur sehingga ada nilai manfaatnya. Juga
menjelaskan kualitas dan kuantitas objek jual-beli secara benar (dengan tidak berdusta dalam
menjelaskan macam, jenis, asal atau sumber)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

. َ‫َيا أ َ ُّيهَا الَّ ِذ ْينَ أ َ َمنُ ْوا اتَّقُ ْوا هللاَ َوك ُْونُ ْوا َم َع الصَّا ِد ِق ْين‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar (jujur).” [Q.S. At-Taubahَ9: 119]

3. Lemah lembut al-samahah dalam ber-mu’amalah. Al-samahah dijelaskan sebagai jual-


beli yang berbanding “lurus” dengan kualitas objek jual-beli. Imam bukhori
meriwayatkan hadits yang menjelaskan sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa
Allah SWT. merahmati orang yang lemah lembut ketika menjual barang, ketika membeli
barang, dan ketika menagih utang. Dan dalam hadits lain disebutkan :
‫شت َ َرى َواِذَا ا ْقتَضَى‬
ْ ‫ َواِذَا ا‬،َ‫س ْم احا اِذَا بَاع‬
َ ‫َر ِح َم هللاُ َر ُجًلا‬
“Semoga Allah merahmati orang yang pemurah ketika menjual, membeli, dan menuntut
haknya.” (H.R.Muslim (2564) )
4. Menghindari sumpah meskipun sumpah perdagangan tersebut adalah benar. Untuk
menghindari sumpah dalam jual-beli, dianjurkan mengucapkan Bismillah pada awal
proses jual-beli. Seperti disebutkan dalam Hadits :
‫لس ْل َع ِة ُم ْم ِحقَةٌ ِل ْلبَ َر َك ِة‬
ِ ‫ف ُمنَ ِفقَةٌ ِل‬
ُ ‫س ِم ْعتُ النبي صلى هللا عليه وسلم يَقُ ْو ُل ا ْلحَ ِل‬
َ : ‫حديث أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dia telah berkata : “aku telah mendengar Rasulullah
Saw. bersabda: ‘sumpah itu penyebab larisnya barang dagangan, tetapi menghapuskan
keberkatannya dalam keuntungannya’.” (H.R. Bukhari (1945) dan Muslim (1606))

17
ُ ‫ف فِي ا ْل َبي ِْع فَ ِإنَّهُ يُنَ ِف‬
ُ ‫ق ث ُ َّم يَ ْم َح‬
‫ق‬ ِ ‫ِإيَّا ُك ْم َو َكثْ َرةَ ا ْل َح ِل‬

“jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya)
dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).” (Riwayat
muslim (1607) dari Abu Qatadah)

Hadits di atas menerangkan bahwa mengobra sumpah di dalam berdagang memang


dapat melariskan barang dagangan, akan tetapi akibatnya akan membangkrutkan usaha. Juga
termasuk sumpah didalamnya adalah sumpah palsu. Karena sumpah yang diobralnya itu
dusta, maka orang akan merasa jera membeli barang dagangannya. Seperti ucapan “demi
Allah aku membelinya dengan harga sekian” atau “demi Allah aku hanya mengambil untung
sekian” dsb. Dalam sebuah hadits Imam Muslim rahimahullah dan Ahlus sunah (penulis
kitab-kitab) meriwatkan dari Abu Dzarr r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda :

ِ ‫س ْلعَتَهُ بِا ْل َح ِل‬


‫ف‬ ْ ‫ أ َ ْل ُم‬: ‫اب أ َ ِل ْي ٌم‬
ُ ‫سبِ ُل َوا ْل َمنَانُ َوا ْل ُم ْن ِف‬
ِ ‫ق‬ ٌ َ‫عذ‬ ُ ‫ثًَلَثَةٌ َلَ يُك َِل ُم ُه ُم هللاُ يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة َوَلَ يَ ْن‬
َ ‫ظ ُر إِلَي ِْه ْم َوَلَ يُ َز ِكي ِْه ْم َولَ ُه ْم‬
ِ ‫ا ْلكَا ِذ‬
‫ب‬

“Ada tiga golongan manusia yang pada hari kiamat nanti tidak akan Allah ajak bicara dan
Allah tidak sudi melihat mereka dan tidak mensucikan mereka (dari dosa-dosa) dan mereka
mendapat adzab yang pedih, yaitu orang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki, orang
yang mengungkit-ngungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan
sumaph dusta.

5. Banyak bersedekah (katsrat al-shadaqah). Imam Turmudzi, Abu Daud, dan Ibn Majah
meriwayatkan hadits dari Qaisy Ibn Abi Ghirzah yang menjelaskan sabda Rasulullah
Saw. bahwa setan dan dosa menyertai jual-beli pedagang diperintahkan untuk bersedekah
sebagai kafarat-nya. Nabi Muhammad Saw. bersabda :

“Wahai para pedagang, sesungguhnya setan dan dosa keduanya hadir dalam jual-beli. Maka
hiasilah jual-beli kalian dengan sedekah.” (HR. Tirmidzi)

6. Penulisan utang disertai saksi. Alasannya adalah QS. Al-Baqarah 2:282 tentang perintah
untuk menulis disertai saksi dalam transaksi yang pembayarannya dilakukan secara
tangguh.

18
Bab III
PENUTUP

D. Kesimpulan

19
Daftar Pustaka

 Al-quran Al-Karim
 Mubarok jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad Jual Beli, Simbiosa
Rekatama M., Bandung, cet.ke-2 2017.
 Mahalli Ahmad Mudjab dan Hasbullah Ahmad Rodli, Hadits-Hadits Muttafaq ‘Alaih
bagian Munakahat dan Mu’amalat, Prenada Media, Jakarta, cet.ke-1, 2004.
 Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, PT Sinar Baru, Bandung, cet.ke-43, 2009.
 Fatwa DSN NO: 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istiṣna῾
 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Juz 5, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2011

 Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, Depok:Raja Grafindo Persada. 2002


 Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, Kediri:Lirboyo Press. 2016
 Miftahul Khairi,Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, Cet-
1,Yogyakarta:Maktabah Al Hanif,2009.

20

Anda mungkin juga menyukai