Anda di halaman 1dari 95

ATLAS

Kromatografi Lapis Tipis


Tumbuhan Obat Indonesia
Volume 1
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis
Tumbuhan Obat Indonesia
Volume 1

Editor:
Mohamad Rafi
Rudi Heryanto
Dewi Anggraini Septaningsih

Penerbit IPB Press


IPB Science Techno Park,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/1.2017
Judul Buku:
Atlas Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia
Editor:
Mohamad Rafi, Rudi Heryanto, Dewi Anggraini Septiningsih
Penyunting Tipografi:
Atika Mayang Sari
Desain Sampul:
Maudy Hardiyanti
Penata Isi:
Andreas Levi Aladin
Korektor:
Dwi M Nastiti
Jumlah Halaman:
78 + 18 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Januari 2017

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
IPB Science Techno Park
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-602-440-023-1

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2017, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh


isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya Buku Atlas Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan
Obat Indonesia Volume 1 dapat diterbitkan. Buku ini diterbitkan sebagai
salah satu sumbangsih Pusat Studi Biofarmaka Tropika Institut Pertanian
Bogor (Trop BRC-IPB) bagi pengembangan metode standardisasi tumbuhan
obat Indonesia dalam kerangka jaminan keamanan, kualitas, dan khasiat
obat herbal Indonesia.
Buku ini membahas konsep standardisasi tumbuhan obat, penggunaan
kromatografi lapis tipis (KLT) sebagai salah satu teknik analisis kimia
untuk kepentingan kendali mutu bahan baku obat herbal, dan contoh-
contoh metode analisis sidik jari KLT beberapa tumbuhan obat yang
telah dikembangkan di Trop BRC-IPB. Kami berharap dengan terbitnya
buku ini, sidik jari KLT dapat didorong menjadi salah satu cara dalam
melakukan kendali mutu bahan baku tumbuhan obat untuk berbagai
kepentingan. Bahan baku bermutu menjamin dihasilkannya produk obat
herbal Indonesia dengan mutu yang baik dan konsisten sehingga mampu
bersaing dalam pasar lokal maupun internasional.
Trop BRC-IPB mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu terbitnya Buku Atlas Kromatografi Lapis Tipis
Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 terutama kepada para penulis,
Ditjen Kelembagaan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi -
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi melalui program Pusat
Unggulan Ipteks Perguruan Tinggi, dan Divisi Kimia Analitik Departemen
Kimia FMIPA IPB yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian
pengembangan metode analisis sidik jari KLT tumbuhan obat Indonesia
bersama dengan Trop BRC-IPB. Semoga buku ini menjadi penyokong
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

pengembangan standardisasi bahan baku tumbuhan obat Indonesia,


sehingga pada akhirnya peningkatan kualitas bahan baku untuk produksi
obat herbal di industri obat herbal yang ada di Indonesia dapat tercapai.

Bogor, November 2016


Dr. Irmanida Batubara, S.Si, M.Si
Kepala Pusat Studi Biofarmaka Tropika IPB

vi
Editorial

Melalui pemberitaan resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan


Republik Indonesia ataupun media lainnya banyak sekali kita mendengar
adanya produk obat herbal palsu. Produk tersebut dikatakan palsu
diantaranya karena menggunakan bahan baku yang tidak sesuai sehingga
dapat berakibat negatif bagi kesehatan konsumen. Bentuk ketidak
sesuaian yang ada salah satunya adalah penggunaan bahan baku yang
tidak autentik. Keautentikan bahan baku ini menjadi hal yang penting
karena umumnya pemalsuan terjadi dalam rangka menekan biaya
produksi ataupun meningkatkan penampilan yang menarik. Diperlukan
upaya menyeluruh untuk menangani isu terkait keamanan obat herbal ini.
Standardisasi hulu ke hilir dalam pengembangan obat herbal merupakan
upaya yang dapat memberikan jaminan keamanan, khasiat, dan kualitas
yang baik bagi masyarakat Indonesia. Adapun komponen penting dalam
proses standardisasi adalah tersedianya metode kendali mutu, suatu
metode analisis yang teliti, tepat, dan handal.
Saat ini, metode analisis yang digunakan untuk tujuan identifikasi dan
autentikasi bahan baku produk obat herbal didasarkan pada pengukuran
konsentrasi dari satu atau segolongan komponen kimia yang dikenal
memiliki aktivitas farmakologi tertentu pada obat herbal tersebut.
Namun, pendekatan ini tidak dapat memberikan gambaran menyeluruh
akan kualitas suatu bahan/obat herbal karena pada prinsipnya mutu,
keamanan dan khasiat bahan/obat herbal ditentukan oleh sifatnya yang
multikomponen. Oleh karena itu, diperlukan metode kendali mutu yang
yang sesuai dengan karakter multikomponen dari bahan baku/obat
herbal. Metode dengan pendekatan analisis sidik jari dapat memberikan
informasi semua atau kelas komponen kimia untuk evaluasi bahan baku/
obat herbal. Analisis sidik jari termasuk ke dalam analisis metabolomik
telah banyak dikembangkan untuk kendali mutu bahan baku obat herbal.
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Cara ini berfokus pada kemiripan maupun ketidakmiripan antar bahan baku
yang berasal dari spesies tumbuhan yang berdekatan maupun memiliki
kemiripan bentuk. Profil sidik jari ini dapat diperoleh menggunakan
berbagai teknik analisis seperti kromatografi lapis tipis (KLT). Berdasarkan
hal ini maka kami berinisiatif mengembangkan metode analisis sidik jari
beberapa tumbuhan obat Indonesia menggunakan KLT. Hasilnya coba
kami tuangkan dalam buku ini.
Buku Atlas Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia
Volume 1 ini kami terbitkan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
akan metode analisis untuk kendali mutu bahan baku obat herbal yang
handal. Dalam buku ini kami memaparkan sidik jari KLT 6 tumbuhan obat
Indonesia yaitu jahe, temulawak, meniran, pegagan, sambiloto, dan kumis
kucing. Kami berharap buku ini akan terbit pula untuk volume selanjutnya
dengan sidik jari KLT tumbuhan obat Indonesia lainnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
menjadi kontributor dalam penulisan maupun pelaksanaan penelitian
untuk isi buku ini. Teruntuk (Almarhumah) Prof. Dr. Ir. Latifah Kosim
Darusman, MS dan (Almarhum) Drs. Edy Djauhari Purwakusumah, M.Si
kami haturkan terima kasih atas segala curahan ilmu dan ide dalam hal
standardisasi obat herbal Indonesia dan juga inisiasi penerbitan buku
ini. Materi buku ini dihasilkan dari penelitian yang didanai oleh Hibah
Kompetitif Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi. Semoga
dengan adanya buku ini memberi manfaat bagi pemangku kepentingan
dan juga menjadi langkah pengembangan berikutnya dalam proses
standardisasi obat herbal di Indonesia.
Bogor, November 2016
Editor

viii
Kontributor

Rudi Heryanto, Departemen Kimia FMIPA dan Pusat Studi Biofarmaka


Tropika LPPM Institut Pertanian Bogor
Latifah Kosim Darusman, Departemen Kimia FMIPA dan Pusat Studi
Biofarmaka Tropika LPPM Institut Pertanian Bogor
Wulan Tri Wahyuni, Departemen Kimia FMIPA dan Pusat Studi Biofarmaka
Tropika LPPM Institut Pertanian Bogor
Mohamad Rafi, Departemen Kimia FMIPA dan Pusat Studi Biofarmaka
Tropika LPPM Institut Pertanian Bogor
Dewi Anggraini Septaningsih, Pusat Studi Biofarmaka Tropika LPPM
Institut Pertanian Bogor
Antonio Kautsar, Pusat Studi Biofarmaka Tropika LPPM Institut Pertanian
Bogor
Akrom Efendi, Departemen Biokimia FMIPA Institut Pertanian Bogor
Edy Djauhari Purwakusumah, Departemen Biokimia FMIPA dan Pusat
Studi Biofarmaka Tropika LPPM Institut Pertanian Bogor
Aditya Utama Fatahillah, Departemen Kimia FMIPA Institut Pertanian
Bogor
Innaya Shofa, Departemen Biokimia FMIPA Institut Pertanian Bogor
Bismillahirrohmanirrohim
Dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Dengan ini Kami persembahkan karya ini untuk
(Almarhumah) Prof. Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS (1953–2016)
(Almarhum) Drs. Edy Djauhari Purwakusumah, MSi (1963–2015)
Terima kasih banyak untuk semua ilmu, didikan, dan pengalaman
yang sangat berarti bagi kami semua di Pusat Studi Biofarmaka Tropika,
LPPM IPB.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................... v
Editorial.................................................................................................... vii
Kontributor................................................................................................ ix
Daftar Isi.................................................................................................. xiii
Daftar Gambar.......................................................................................... xv
Daftar Tabel.............................................................................................xvii
BAB 1 Karakteristik Keragaan Kimiawi Tumbuhan Obat......................... 1
BAB 2 Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas............................... 7
BAB 3 Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi
Lapis Tipis................................................................................... 21
BAB 4 Sidik jari Kromatografi Lapis Tipis.............................................. 37
Jahe............................................................................................ 37
Temulawak................................................................................. 42
Meniran...................................................................................... 47
Pegagan...................................................................................... 53
Sambiloto................................................................................... 60
Kumis Kucing.............................................................................. 65
DAFTAR GAMBAR

No Halaman
1 Tiga isu kunci yang menjadi parameter prioritas dalam setiap tahapan
pengembangan obat herbal...........................................................................7
2 Keterkaitan antara proses pengembangan obat herbal dan kriteria 3K
yang dihubungkan dengan standardisasi sebagai strategi
pencapainnya.................................................................................................9
3 Kerangka pikir penjaminan kualitas obat herbal. GAP: Good agricultural
practice, GACP: Good agricultural and collection practice, GPAIP:
Good plant authentication and identification practice, GMP:
Good manufacturing practice. Aflatoksin/mikotoksin,
logam berat, pestisida, dan pemalsuan........................................................10
4 Berbagai metode yang tesedia untuk kendali mutu tumbuhan obat
dan obat herbal............................................................................................18
5 Tahapan dalam analisis sidik jari KLT............................................................28
6 Macam-macam tipe bilik kromatografi lapis tipis: flat bottom (a),
dan twin trough (b) . ....................................................................................31
7 Derivatisasi pita senyawa pada temulawak dengan pewarna fast blue
(a): jahe dengan vanilin (b); dan anisaldehida (c); pegagan
dengan Lieberman Burchard........................................................................32
8 Dokumentasi sidik jari KLT daun jati belanda (fase diam: silika gel F254,
fase gerak: heksana-etil asetat (60:40)) di bawah sinar UV 254 nm (a),
UV 366 nm (b), sinar tampak (c), dan derivatisasi menggunakan
vanilinpada sinar tampak (d)........................................................................33
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

9 Sidik jari KLT dari beberapa variasi tanaman yang memiliki kemiripan
morfologi (1 = bandotan, 2 = dandang gendis, 3 = sinensetin,
4 = kumis kucing, 5 = teh-tehan)..................................................................34
10 Rimpang jahe................................................................................................37
11 Sidik jari KLT jahe menggunakan pereaksi anisaldehida untuk pendeteksi
pita yang dilihat di bawah (b) sinar tampak. Tanpa menggunakan
pereaksi anisaldehida dilihat di bawah (a) UV 254 nm................................40
12 Tanaman temulawak (a) rimpang temulawak (b)........................................42
13 Sidik jari KLT temulawak menggunakan pereaksi anisaldehida untuk
pendeteksi pita yang dilihat di bawah sinar tampak....................................44
14 Meniran........................................................................................................47
15 Sidik jari KLT dengan pereaksi pendeteksi anisaldehida dilihat pad asinar
tampak (a) daun meniran dan petai cina serta (b) herba meniran
dan daun petai cina......................................................................................51
16 Pegagan........................................................................................................53
17 Sidik jari KLT pegagan menggunakan pereaksi Liebermann Burchard
untuk pendeteksi pita yang dilihat di bawah (a) UV 366 nm
(b) sinar tapak...............................................................................................56
18 Sambiloto.....................................................................................................60
19 Sidik jari KLT sambiloto dengan deteksi (a) uv 254 nm dan
(b) disemprot menggunakan pereaksi anisaldehida dilihat
di bawah sinar tampak.................................................................................63
20 Kumis kucing................................................................................................65
21 Sidik jari KLT pemisahan kumis kucing dari beberapa daerah 1 = kumis
kucing putih dari Bandung, 2 = kumis kucing ungu dari Bandung,
3 = Bogor, 4 = sinensetin, 5 = kumis kucing putih Jember,
6 = kumis kucing putih Pekalongan,
7 = kumis kucing putih Tuban.......................................................................68
22 Sidik jari KLT pemisahan kumis kucing dengan sinar UV 254 nm (a),
sinar UV 366 nm (b), dan pereaksi natural product di bawah
sinar UV 366 nm (C)......................................................................................69

xvi
DAFTAR TABEL

No Halaman
1 Parameter standardisasi tumbuhan obat dan produk obat herbal..............11
2 Keuntungan KLT............................................................................................25
3 Fase gerak yang umum digunakan dalam pemisahan golongan senyawa
umum pada tumbuhan obat dengan silika gel sebagai fase diam...............30
Bab 1
Karakteristik Keragaan Kimiawi Tumbuhan Obat
R Heryanto dan LK Darusman

T umbuhan (obat) telah menjadi bagian integral dari farmakoterapi


sepanjang sejarah manusia. Bersama dengan bahan hayati yang lain,
tumbuhan obat memiliki peran penting sebagai sumber berharga untuk
penemuan molekul bioaktif dari sejak permulaan pendekatan penemuan
obat rasional digunakan pada abad ke-19. Newman & Cragg (2016)
melakukan ulasan tentang sumber dari obat baru yang telah diizinkan
untuk digunakan dalam pengobatan penyakit manusia. Ulasan dilakukan
untuk data obat sepanjang 34 tahun dari 1981 sampai 2014. Hasil ulasan
menunjukkan bahwa hampir 52% entitas kimia obat baru bersumber
dari bahan alam, baik itu merupakan bahan alam langsung, turunannya,
maupun terinspirasi dari bahan alam. Hal ini memberikan penekanan
bahwa bahan alam yang bersumber dari tumbuhan obat atau bahan
hayati lainnya terus memainkan peran yang sangat signifikan dalam
proses penemuan dan pengembangan obat.
Terlepas dari dampaknya terhadap penemuan obat, bahkan jauh
sebelum itu, tumbuhan obat memainkan peran penting untuk perawatan
kesehatan manusia sebagai dasar dari obat-obatan herbal, sering disebut
sebagai fitofarmaseutikal atau obat botani. Obat herbal merupakan
bagian integral dari sistem pengobatan tradisional di seluruh dunia.
Diperkirakan bahwa 70% dari populasi dunia tidak memiliki akses ke
obat-obatan konvensional dan karena itu bergantung pada pengobatan
tradisional termasuk penggunaan obat-obatan herbal sebagai sumber
utama dalam perawatan kesehatan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), obat-obatan herbal didefinisikan sebagai material atau preparat
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

turunan tanaman dengan fungsi terapetik atau memberikan manfaat


untuk kesehatan manusia yang mengandung baik bahan-bahan mentah
atau olahan dari satu atau lebih tanaman.
Traditional Chinese medicine, ayurveda, dan unani termasuk di
antara sistem pengobatan tradisional yang dikenal banyak menggunakan
tumbuhan obat sebagai bagian dalam proses pengobatannya. Tentunya
tidak terlupa adalah jamu sebagai obat herbal yang digunakan untuk
penyembuhan penyakit dan pemelihara kesehatan. Jamu yang beredar
di kalangan masyarakat Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga
golongan yaitu jamu, ekstrak terstandar, dan fitofarmaka yang saat ini
penamaannya sedang dirumuskan untuk diganti menjadi jamu empiris,
jamu ekstrak terstandar, dan jamu fitofarmaka. Jamu merupakan obat
herbal yang disediakan secara tradisional dengan mengacu pada resep
peninggalan leluhur. Jenis ini tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai
dengan uji klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris dan bukti bahwa
ramuan tersebut aman. Ekstrak terstandar berasal dari ekstrak tumbuhan
yang diketahui bahan aktifnya atau senyawa penciri dan mempunyai
khasiat yang telah diuji secara preklinis dan uji toksisitas subkronis.
Sementara itu, fitofarmaka adalah ekstrak yang telah memenuhi syarat
untuk ekstrak terstandar dilengkapi dengan uji klinis. Dari semua sistem
pengobatan tradisional yang memanfaatkan tanaman obat, terdapat satu
karakteristik yang sama yaitu menggunakan pola pembedaan sindrom
yang kompleks sebagai alat diagnosis yang diikuti dengan pengobatan
menggunakan formula obat yang juga kompleks.

Paradigma Pengembangan Obat Herbal dari Tumbuhan


Obat
Tumbuhan obat, sebagaimana diulas oleh Newman & Cragg (2016)
telah banyak berperan sebagai sumber dalam penemuan obat yang
dikembangkan dengan basis ide ‘one-drug-one-target lock-and-key model’.
Metode pengembangan obat ini yang menekankan kesederhanaan kimiawi
dengan mencari komponen aktif dalam tumbuhan (single chemical entity)
telah menghasilkan banyak opsi untuk pengobatan penyakit. Namun
demikian, beberapa riset terkini menunjukkan adanya keterbatasan dalam
pendekatan tersebut, terutama untuk penyakit-penyakit yang kejadian

2
Bab 1
Karakteristik Keragaan Kimiawi Tumbuhan Obat

dan gerak maju berkembangnya karena multifaktor dan multipatologis,


seperti untuk penyakit-penyakit degeneratif diabetes, kardiovaskular,
dan kanker. Kemudian, saat ini berkembang suatu ide bahwa obat yang
mengandung molekul-molekul kimia berkemampuan menginterferensi
secara simultan multitarget, boleh jadi lebih efektif dibanding obat ‘single
target’. Paradigma penemuan obat berasas pada “multi-component drugs
for multiple targets”.
Obat herbal biasanya tersusun oleh beberapa tumbuhan obat
sehingga bisa berarti merupakan representasi dari kumpulan senyawa
kimia. Dengan demikian, secara inheren obat herbal dapat memenuhi
kriteria sebagai obat multikomponen untuk multitarget. Dalam prinsip ini,
senyawa kimia yang berasal dari beberapa tumbuhan berinteraksi satu
sama lain, saling memoderasi atau beroposisi, atau saling meningkatkan
kinerjanya dalam cara aditif atau dengan kata lain suatu aksi sinergistik.
Sinergi dapat diartikan ketika kombinasi dari zat memberikan efek
yang lebih besar dibanding kontribusi dari individual penyusunnya. Riset
sinergi di bidang fitomedisin telah memantapkan dirinya sebagai suatu
aktivitas kunci dalam proses pengembangan obat herbal. Salah satu tujuan
utama dari penelitian ini adalah untuk menemukan alasan saintifik untuk
keunggulan terapi ekstrak obat herbal dibandingkan dengan konstituen
tunggalnya. Eksplorasi yang dilakukan oleh Yang et al. (2014) dari berbagai
penelitian terkait obat herbal memperlihatkan bahwa mekanisme yang
mendasari kerja terapetik sinergistik adalah 1) agen yang berbeda
meregulasi target yang sama atau berbeda dalam beragam lintasan,
dan berkerja sama dalam cara agonistik, cara sinergistik; 2) mengatur
enzim dan pengangkut yang terlibat pada metabolisme hati dan usus
untuk meningkatkan bioavalibilitas obat oral; 3) mengatasi mekanisme
resistensi obat dari mikrob atau sel kanker; dan 4) menghilangkan efek
merusak dan meningkatkan potensi farmakologis dari ‘agen’ atau melalui
interaksi obat-obat.

Keragaan Kimiawi Tumbuhan Obat


Konsep sinergistik mensyaratkan bahwa aktivititas biologi tumbuhan
obat tidak dapat hanya diatributkan pada satu senyawa aktif saja, tetapi
merupakan hasil interaksi dari berbagai konstituen kimiawi tumbuhan

3
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

yang saling bekerja sama menghasilkan efek klinik yang teramati sehingga
memandang hal tersebut maka pengetahuan terkait bagaimana karakter
keragaman kimiawi dalam tumbuhan obat menjadi penting.
Dari sudut pandang tumbuhan obat, efek medisinal yang
menguntungkan dari penggunaan material tumbuhan biasanya dihasilkan
dari kombinasi metabolit sekunder yang ada dalam tumbuhan tersebut.
Berbeda dengan metabolit primer seperti karbohidrat, lipid, protein,
heme, klorofil, dan asam nukleat yang umum untuk semua tanaman dan
terlibat dalam proses metabolisme utama membangun dan memelihara
sel-sel tumbuhan, metabolit sekunder seringkali unik untuk spesies atau
kelompok tumbuhan tertentu.
Metabolit sekunder dihasilkan oleh tumbuhan untuk berbagai peran
penting dalam aspek ekofisiologinya. Metabolit sekunder digunakan
untuk peran defensif terhadap herbivora, serangan patogen, kompetisi
antar tumbuhan, dan atraktan terhadap organisme bermanfaat seperti
penyerbuk atau simbion. Metabolit sekunder juga memiliki peran potensial
pada tingkat sel tumbuhan sebagai pengatur tumbuh, modulator ekspresi
gen, dan tansduksi sinyal.
Senyawa metabolit sekunder biasanya diklasifikasikan menurut jalur
biosintesisnya. Tiga kelompok besar metabolit sekunder adalah fenolat,
terpena dan steroid, serta alkaloid. Di dalam tumbuhan, kelompok
senyawa kimia ini dibentuk dan diuraikan melalui proses metabolisme
yang didasari oleh kemampuan genetik dan perubahan kesetimbangan
dinamik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Oleh karena itu, jenis,
kandungan, dan proporsi dari senyawaan metabolit sekunder dalam suatu
tumbuhan obat akan bervariasi bergantung pada potensi genetik yang
dimilikinya dan faktor abiotik dan biotik di mana tumbuhan tersebut hidup.
Figueiredo et al. (2008) menjelaskan bahwa keberadaan, rendemen, dan
komposisi senyawa volatil dalam minyak atsiri dipengaruhi oleh banyak
aspek di antaranya oleh variasi fisiologis, kondisi lingkungan, variasi
geografis, serta faktor genetik dan evolusi.

Tantangan dalam Penilaian Kualitas Tumbuhan Obat


Mengingat bahwa variabilitas fitokimia merupakan karakter yang
melekat pada setiap bahan herbal, serta banyaknya faktor eksternal yang

4
Bab 1
Karakteristik Keragaan Kimiawi Tumbuhan Obat

memengaruhi profil metabolit sekunder dari tumbuhan obat selama


pertumbuhan, panen, dan pengolahan pascapanen maka harus disadari
bahwa akan terdapat variasi konsentrasi konstituen bioaktif dari batch ke
batch atas bahan baku tumbuhan obat yang digunakan ataupun produk
obat herbal yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan
obat herbal perlu untuk memastikan kualitas yang tepat mulai dari bahan
baku yang digunakan dan sejauh mungkin pemastian kualitas juga terjadi
pada semua tingkatan manufaktur. Dengan kata lain diperlukan adanya
proses standardisasi dari hulu ke hilir.
Dikarenakan campuran fitokimia yang kompleks adalah sifat bahan
baku tumbuhan obat dan produk obat herbal, menstandardisasi keduanya
bukanlah tugas yang mudah. Demikian pula halnya dalam mempersiapkan
perangkat kendali mutu yang dapat memotret kekompleksan fitokimia
terebut. Hal ini adalah tantangan yang unik. Saat ini metode kendali mutu
yang umum digunakan adalah melakukan evaluasi bahan baku dengan
menganalisis suatu senyawa penanda atau senyawa aktifnya. Namun,
cara ini tidak memberikan gambaran yang lengkap tentang kualitas
multikomponen bahan baku dan produk herbal. Oleh karena itu, metode-
metode kendali mutu yang berlandaskan aspek multikomponen perlu
dikembangkan. Metode-metode yang berlandaskan pada pengenalan pola
seperti sidik jari spektroskopi atau kromatografi dapat menjadi alternatif
untuk memastikan kualitas dari bahan baku dan produk obat herbal.

Daftar Pustaka
Figueiredo AC, Barroso JG, Pedro LG, Scheffer JJC. 2008. Factors affecting
secondary metabolite production in plants: Volatile components
and essential oils. Flavour and Fragrance Journal. 23 (4): 213–226.
Newman DJ, Cragg GM. 2016. Natural products as sources of new drugs
from 1981 to 2014. Journal of Natural Products. 79 (3): 629–661.
Yang Y, Zhang Z, Li S, Ye X, Li X, He K. 2014. Synergy effects of herb extracts:
Pharmacokinetics and pharmacodynamic basis. Fitoterapia 92:
133–147

5
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas
WT Wahyuni dan R Heryanto

Standardisasi Hulu ke Hilir Obat Herbal


B erbeda dengan konsumsi pangan pada umumnya yang lebih
menitikberatkan pada penggunaan metabolit primer seperti protein,
karbohidrat, dan lipid, konsumsi obat herbal mengedepankan pada
pemanfaatan metabolit sekunder yang telah dikenal memiliki fungsi
pengobatan. Adanya fungsi pengobatan menyebabkan obat herbal
menuntut beberapa persyaratan seperti kepastian metabolit sekunder
apa yang terkandung di dalamnya, bagaimana profil metabolit tersebut,
dan seberapa aman produk tersebut untuk dikonsumsi. Berkaitan dengan
hal tersebut, kita mengenal tiga isu kunci yang menjadi parameter dalam
proses pengembangan obat herbal, yaitu kualitas, keamanan, dan khasiat
(3K) (Gambar 1)

Kualitas

Prod
duk
Khasiat Keam
manan

Gambar 1 Tiga isu kunci yang menjadi parameter prioritas dalam setiap
tahapan pengembangan obat herbal
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Kualitas obat herbal menggambarkan tingkat/ukuran baik buruknya


produk tersebut. Tantangan dalam menjaga kualitas obat herbal meliputi
tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal meliputi kompleksitas
jenis metabolit sekunder yang dikandung dan ketidakseragaman
kandungan/kadar metabolit sekunder. Sementara tantangan eksternal
mencakup kontaminasi (logam berat, pestisida, mikroba, dan mikotoksin),
pemalsuan bahan baku, dan kesalahan identifikasi bahan baku (Li et al.
2012). Kualitas obat herbal bergantung pada tumbuhan obat penyusunnya
dan proses pengolahannya. Sementara kualitas tumbuhan obat secara
keseluruhan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pergantian musim,
waktu panen, dan pengolahan pascapanen.
Penjaminan keamanan merupakan hal yang sangat penting dalam
pengembangan obat herbal. Secara umum obat herbal dianggap aman
karena telah digunakan secara turun-temurun. Namun demikian
keamanan obat herbal perlu selalu dievaluasi untuk menghindari adanya
kemungkinan kontaminasi, pemalsuan bahan baku, dan dosis konsumsi
yang tidak tepat. Evaluasi terhadap keamanan suatu obat herbal dapat
dilakukan melalui serangkaian uji untuk memastikan produk aman dari
kontaminasi logam berat, pestisida, mikroba, dan mikotoksin, uji toksisitas,
dan uji penentuan dosis.
Khasiat diartikan sebagai kemampuan produk obat herbal dalam
memperbaiki kesehatan (IUPAC 2008). Sekalipun banyak obat herbal yang
beredar berasal dari ramuan yang digunakan sejak zaman nenek moyang,
namun hal tersebut tidak serta-merta menjamin khasiatnya. Berbeda
dengan obat modern yang khasiatnya fokus terhadap satu penyakit
tertentu berdasarkan specific etiopathological entities, obat herbal
memiliki pendekatan menyeluruh meliputi khasiat untuk kesehatan fisik,
mental, dan sosial. Khasiat suatu obat herbal dapat dievaluasi melalui
serangkaian proses uji mulai dari uji in vitro, in vivo, hingga uji klinis.

Pendekatan Apa yang Digunakan untuk Mencapai 3K pada


Setiap Tahapan Pengembangan Obat Herbal?
Upaya memenuhi tiga isu kunci dalam pengembangan obat herbal
memerlukan strategi dan pendekatan yang tepat dan menyeluruh.
Standardisasi merupakan strategi yang tepat dalam menjamin kualitas,

8
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas

khasiat, dan keamanan obat herbal. Standardisasi perlu dilakukan secara


menyeluruh mencakup aspek bahan baku, proses produksi, dan produk
obat herbal (Gambar 2).
Standardisasi merupakan suatu sistem untuk meyakinkan bahwa
setiap paket obat yang dijual memiliki jumlah yang tepat dan akan
menginduksikan efek terapetiknya (Chaudury 1992). Standardisasi
merujuk pada kumpulan informasi dan kendali yang diperlukan untuk
memproduksi material dengan keajegan yang cukup. Hal ini dicapai melalui
minimalisasi variasi internal dari komposisi bahan alam melalui penerapan
jaminan mutu pada proses pertanian dan manufaktur (American Herbal
Product Association). Sementara itu, standardisasi menurut guidance
on the quality of herbal medicinal products ialah upaya menyesuaikan/
memastikan sediaan obat herbal memiliki kadar tertentu/akurat dari
senyawa atau sekelompok senyawa dengan aktivitas terapeutik yang
diketahui.

Prose
es
Bahan Baku Produ
uk standardisaasi

Gambar 2 Keterkaitan antara proses pengembangan obat herbal dan


kriteria 3K yang dihubungkan dengan standardisasi sebagai
strategi pencapainnya

1. Parameter Standardisasi Obat Herbal


Standardisasi dapat dilakukan meliputi parameter autentikasi bahan
baku, pemeriksaan parameter fisik, evaluasi sidik jari, maupun senyawa
penanda dengan teknik kromatografi atau spektroskopi, pengujian
mikrobiologi, residu pestisida, residu logam berat, hingga pengujian
bioaktivitas (Tabel 1). Parameter standardisasi tersebut umumnya
diterapkan terhadap bahan baku (tumbuhan obat) dan produk obat
herbal yang dihasilkan. Sementara itu, standardisasi terhadap proses
dapat dilakukan dengan menerapkan good practices yang meliputi

9
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Good Agricultural and Collection Practices (GACP), Good Manufacturing


Practices (GMP), Good Plant Authentication and Identification Practice
(GPAIP), dan Good Supply Practices (GSP) (Zhang et al. 2012). Gambar
3 memberikan ilustrasi mengenai kerangka fikir penjaminan 3K produk
obat herbal.

Kendali Mutu
M

Bahan baku
b Prose
es Produ
uk

GAP, GACP
P, GMP

Koleksi/ Mannufaktur Mannufaktur


Rantai Suplaai
kultivasi Bahan Baku prod
duk jadi

GACP cGMP Audit cG


GMP
vendor

GPAIP GP
PAIP Profil A
Audit
fitokimia veendor

Prrofil
Profil
gennom Prrofil
kontaminan**
fitokkimia
Pro
ofil
fitokkimia P
Profil
kontaaminan*
Prrofil
kontaminan*

Gambar 3 Kerangka fikir penjaminan kualitas obat herbal. GAP: good


agricultural practices, GACP: good agricultural and collection
practice, GPAIP: good plant authentication and identification
practice, GMP: good manufacturing practice. *Aflatoksin/
mikotoksin, logam berat, pestisida, dan pemalsuan.

10
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas

Bioaktivitas merupakan parameter kualitas produk obat herbal


terpenting yang perlu dipastikan. Pengujian bioaktivitas terdiri atas
langkah yang kompleks meliputi pengujian secara in vitro, in vivo,
hingga uji klinis. Bioaktivitas suatu obat herbal merupakan kontribusi
dari konstituen metabolit sekunder yang terdapat di dalamnya. Obat
herbal dapat dipandang sebagai sistem multikomponen yang terdiri atas
beberapa konstituen kimia yang masing-masing memberikan konstribusi
terhadap bioaktivitasnya. Keajegan komposisi dan kadar konstituen
kimia sangatlah penting dalam menjaga konsistensi bioaktivitasnya.
Oleh karena itu, monitoring terhadap konstituen kimia yang terkandung
dalam tumbuhan obat penyusun obat herbal maupun produk obat herbal
(baik dengan teknik kromatografi maupun spektroskopi) lazim dijadikan
pendekatan untuk memeriksa bioaktivitasnya.

Tabel 1 Parameter standardisasi tumbuhan obat dan produk obat herbal


Parameter
No Penjelasan
standardisasi
1 Autentikasi Merupakan langkah awal yang dilakukan terhadap
tanaman obat yang digunakan sebagai bahan baku
obat herbal. Autentikasi dilakukan untuk memastikan
identitas spesies tanaman herbal dan verifikasi botani
nama latinnya. Proses autentikasi meliputi pemeriksaan
taksonomi serta studi makroskopik dan mikroskopik
tanaman. Laporan autentikasi harus memuat dan disertai
bagian tanaman, asal lokasi, identitas botani seperti
phytomophology, microskopial, analisis histologi, dan
identitas taksonomi.
2 Parameter Uji terhadap parameter fisik meliputi; uji organoleptik
Fisik (karakter sensori: rasa, kenampakan, bau, tekstur),
viskositas, kadar air, pH, kadar abu, sedimentasi,
kerapuhan, kekerasan, kemampuan mengalir, waktu
hancur.

11
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Tabel 1 Parameter standardisasi tumbuhan obat dan produk obat


herbal (lanjutan)
Parameter
No Penjelasan
standardisasi
3 Evaluasi Teknik standardisasi yang mutakhir dengan menggunakan
Kromatografi spektroskopi: UV–vis, resonansi magnet inti (NMR), dan
dan inframerah dekat (NIR), teknik kromatografi: kromatografi
Spektroskopi lapis tipis (KLT), kromatografi lapis tipis kinerja tinggi
(KLT-KT), kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) telah
dikembangkan. Memberikan informasi kuantitatif dan
semikuantitatif dari senyawa aktif utama maupun
senyawa penanda (marker).

Teknik spektroskopi dan kromatografi juga digunakan


untuk analisis sidik jari yang memegang peran penting
pada kontrol kualitas obat herbal.
4 Parameter Kontaminan mikrobiologi dapat diukur berdasarkan
Mikrobiologi metode yang dicantumkan dalam farmakope herbal.
Analisis mikroba meliputi analisis kandungan E. coli dan
kapang, total viable aerobic count, total enteriobacteria,
dan analisis aflatoxin.
5 Analisis Pestisida yang perlu dianalisis ialah pestisida yang
Residu residunya banyak ditemukan seperti DDT, BHC, aldrin, dan
Pestisida taxofena. Ambang batas residu pestisida telah ditentukan
oleh World Health Organization (WHO) dan Food and
Agricultural Organization (FAO).
6 Analisis Logam yang toksik seperti Cu, Zn, Mn, Fe, terutama Cd,
Logam Berat As, Pb, dan Hg harus dianalisis.
Sumber: Mosihuzzaman & Choudhary (2008)

2. Aspek Praktis dalam Standardisasi Obat Herbal


Telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya bahwa standardisasi
mencakup beberapa parameter yang perlu diterapkan terhadap tumbuhan
obat penyusun obat herbal, proses pengolahan/produksi, hingga produk
obat herbal. Menurut Govindaraghavan & Sucher (2015), secara teknis
untuk menjamin proses standardisasi berjalan dengan baik diperlukan
adanya penjaminan kualitas yang meliputi:

12
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas

a. Autentikasi dengan Sistem Klasik terhadap Tumbuhan Obat dan


Penerapan Good Practices
Autentikasi tumbuhan obat yang digunakan untuk obat herbal
merupakan aspek yang sangat penting dalam menjaga kualitas, keamanan,
dan khasiatnya (3K). Dalam sistem autentikasi klasik, tumbuhan obat
digambarkan, dijelaskan, dan diautentikasi berdasarkan karakter
perbanyakan vegetatif, fenotipe bunga, dan buahnya. Karakter morfologi
dari seluruh bagian tumbuhan diperlukan dalam sistem autentikasi klasik.
Good authentication and identification practice (GAIP) merupakan hal yang
penting diterapkan dalam autentikasi tumbuhan obat. Tahap awal dalam
GAIP berisi pedoman operasional baku mengenai pembuatan voucher
specimen. Baik tanaman obat yang dikultivasi maupun yang tumbuh
obat yang tumbuh liar, voucher spesimennya harus terdiri atas seluruh
biomassa atau bagian tanaman karena akan menggambarkan autentikasi
spesies. Voucher specimen memuat informasi nomor identifikasi, waktu
koleksi, nama pengoleksi, habitat tumbuh, koordinat geografis tempat
tumbuh, ukuran populasi, sifat tanaman segar meliputi (warna, aroma,
ukuran tanaman), serta nama kultivarnya. Voucher specimen dapat
dibandingkan dengan reference voucher yang disimpan di herbarium
untuk mengonfirmasi identitasnya.
Idealnya autentikasi dilakukan terhadap seluruh tumbuhan obat
yang digunakan dalam setiap batch produksi produk obat herbal. Namun
pada praktiknya, bahan baku obat herbal tidak selalu diperoleh dari
sumber yang menerapkan kultivasi terstruktur. Bahan baku obat herbal
seringkali diperoleh dari pengepul yang mengumpulkan tumbuhan obat
yang tumbuh secara alami tanpa dikultivasi terstruktur. Bahan baku yang
diperoleh dengan cara mengepul dijual di pasaran dalam bentuk yang
telah disortasi (bukan tanaman utuh, hanya bagian yang digunakan untuk
bahan baku produk obat herbal) dan dalam keadaan kering tanpa diketahui
asal tumbuhnya sehingga autentikasi sangat sulit dilakukan. Bagian yang
krusial dalam memberikan informasi autentikasi seperti bentuk, tipe, dan
ukuran bunga, buah, dan daun seringkali tidak diperoleh pada bahan baku
yang telah dikeringkan dan disortasi. Para pengepul perlu diberi panduan
cara mengepul yang sesuai berupa Good Collecting Practices (GCP). GCP

13
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

dapat berisi panduan mengenai identifikasi tanaman, wilayah/tempat


yang disarankan, waktu/musim yang disarankan, serta peralatan dan cara
pengepulan.
Di sisi lain, kualitas tumbuhan obat dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain tempat tumbuh, perubahan iklim, waktu panen, dan proses
pascapanen. Sekalipun penampakan secara fisik sangat identik, namun
tanaman obat yang ditanam pada tempat, iklim, dan musim yang berbeda
serta perlakuan pascapanen yang berbeda memiliki kemungkinan memiliki
kandungan komponen kimia (jenis dan kadar) yang berbeda. Oleh karena
itu, penerapan Good Agriculture and Collecting Practices (GACP) perlu
diterapkan untuk menjamin konsistensi 3K.

b. Karakterisasi Makroskopik, Mikroskopik, dan Parameter Fisik Tumbuhan


Obat
Karakter makroskopik dari bagian tertentu tumbuhan obat yang telah
dikeringkan merupakan data penting dalam proses autentikasi. Sebagian
besar farmakope dan monograf tanaman obat menyajikan informasi
morfologi dan anatomi dari bagian tertentu tumbuhan obat (yang
digunakan untuk pembuatan obat herbal) seperti daun pegagan, rimpang
temulawak, dan sebagainya. Di samping informasi makroskopik, pada
farmakope dan monograf juga diberikan informasi karakter mikroskopik
berupa identifikasi senyawa penciri beserta protokol pengujiannya, tipe
sel, tipe pembuluh, dan karakter mikroskopik lain yang diperiksa dengan
bantuan mikroskop. Pemeriksaan makroskopik maupun mikroskopik ini
secara praktis tidak selalu dilakukan oleh industri obat herbal karena
memerlukan beberapa tahapan proses cukup panjang.
Pengujian terhadap sifat fisik tumbuhan obat dan produk obat herbal
merupakan salah satu parameter standardisasi untuk menjamin kualitas
tumbuhan obat dan obat herbal. Pengujian parameter fisik tersebut
meliputi uji organoleptik (karakter sensori: rasa, kenampakan, bau,
tekstur), viskositas, kadar air, pH, kadar abu, sedimentasi, kerapuhan,
kekerasan, kemampuan mengalir, dan waktu hancur. Secara praktis,
industri dan pelaku usaha seringkali hanya melakukan pengujian terhadap
parameter fisik tertentu yang dinilai paling relevan dengan bahan baku
dan produk obat herbal yang diproduksinya.

14
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas

c. Profil Fitokimia (Sidik jari) untuk Identifikasi dan Karakterisasi Tumbuhan


Obat dan Obat Herbal
Pemeriksaan kandungan metabolit sekunder tumbuhan obat
(baik yang dikultivasi maupun dikepul) merupakan salah satu metode
penjaminan identitas dan kualitasnya. Profil fitokimia (sidik jari) yang
dimiliki oleh suatu spesies menggambarkan seluruh konstituen fitokimia
dalam suatu sampel yang terdeteksi oleh metode analisis sidik jari. Sidik
jari suatu sampel bersifat khas dan menggambarkan identitasnya. Profil
fitokimia suatu tumbuhan obat dapat digunakan untuk proses identifikasi
tumbuhan obat juga untuk menghindari pemalsuan atau pencampuran
simplisia dari tanaman yang mirip (misal simplisia daun meniran dicampur
dengan daun petai cina. Profil fitokimia dari bagian daun, batang, bunga,
dan buah suatu tanaman obat tertentu akan berbeda sehingga dapat
digunakan untuk mengontrol terjadinya pencampuran. Sidik jari juga
dapat digunakan untuk tumbuhan obat yang dipanen dari daerah yang
berbeda maupun waktu panen berbeda.

d. Pemeriksaan Keberadaan Kontaminan dalam Tumbuhan Obat


Tumbuhan obat yang digunakan dalam pembuatan obat herbal harus
dipastikan bebas dari kontaminan seperti logam berat, residu pestisida,
dan aflatoksi/mikotoksin. Logam berat dapat bersumber dari proses
kultivasi (tanah yang tercemar logam berat) maupun proses pascapanen.
Keberadaan logam berat (seperti Pb, Hg, Cd, As) dapat ditentukan dengan
menggunakan teknik spektroskopi serapan atom (AAS), spektroskopi
plasma gandeng induktif (ICP), dan analisis aktivasi neutron (NAA). Batas
toleransi keberadaan logam berat dalam simplisia tumbuhan obat maupun
obat herbal telah ditentukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) dan
diadopsi oleh masing-masing negara dalam dokumen monograf maupun
farmakope masing-masing. Di Indonesia, batas toleransi logam berat
dalam obat tradisional ditentukan berdasarkan peraturan kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 12 Tahun 2014.
Cemaran berupa residu pestisida dapat ditemukan dalam tumbuhan
obat yang dikultivasi dengan praktik yang tidak sesuai GAP. Residu
pestisida yang mengontaminasi tumbuhan obat dapat berupa kelompok
senyawa organoklorin, organofosfat, karbamat, ditiokarbamat, dan

15
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

lainnya. Keberadaan cemaran residu pestisida dalam tumbuhan obat


dapat dianalisis dengan teknik kromatografi.
Aflatoksin dan mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang
diproduksi oleh fungi dari spesies Aspergillus, Penicillium, Fusarium, dan
Alternaria. Aflatoksin dan mikotoksin bersifat karsinogenik (menyebabkan
kanker), neurotoksik (beracun pada jaringan saraf), teratogenik
(menyebabkan kerusakan genetik sehingga terjadi kecacatan pada bayi),
dan immunotoksik (kegagalan fungsi sistem imun). Tumbuhan obat dapat
saja terkontaminasi fungi penghasil aflatoksin/mikotoksin, terutama bila
tidak mengikuti prinsip GAP, GACP, dan pengolahan pascapanen yang
baik. Untuk memastikan keamanan dari tumbuhan obat, perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap keberadaan aflatoksin tersebut. Batas toleransi
aflatoksin dalam obat tradisional ditentukan berdasarkan peraturan
kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. 12
Tahun 2014.

3. Kendali Mutu sebagai Perangkat Utama dalam Proses


Standardisasi
Khasiat dan keamanan dari obat herbal berkorelasi langsung
dengan kualitas dan komponen kimia (umumnya metabolit sekunder)
dari tumbuhan obat yang digunakan. Konsistensi kualitas, khasiat, dan
keamanan obat herbal berhubungan erat dengan konsistensi profil
komponen kimia (metabolit sekunder) yang dikandungnya. Tujuan dari
kendali mutu ialah menjamin keamanan dan khasiat produk obat herbal.
Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk kendali mutu,
yaitu 1) berbasis senyawa penanda (senyawa marker) dan 2) berbasis
sidik jari (fingerprint).
Senyawa marker idealnya merupakan senyawa yang memberikan
efek terapeutik. Namun pada kenyataannya komponen yang memberikan
efek terapeutik belum seluruhnya dapat dielusidasi sehingga kriteria
lain dijadikan acuan dalam memilih senyawa marker. Pada dasarnya
senyawa marker merupakan senyawa yang dapat digunakan pada proses
evaluasi, standardisasi, dan pemeriksaan keamanan suatu obat herbal.
Terdapat beberapa pendapat yang mengklasifikasikan senyawa marker,
salah satu di antaranya yang dikemukakan oleh Li et al. 2008, klasifikasi

16
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas

senyawa marker meliputi 1) Komponen terapetik (memiliki efek terapi


langsung), 2) Komponen bioaktif (bersama-sama dengan komponen lain
berkontribusi terhadap efek terapi), 3) Komponen sinergistik (bekerja
sinergi untuk memperkuat bioaktivitas atau mengatur efek terapi), 4)
Komponen spesifik (komponen khas dan unik dari suatu tumbuhan obat),
5) Komponen utama (terdapat dalam jumlah melimpah, aktivitas biologis
belum tentu diketahui), 6) Komponen korelatif (memiliki hubungan dekat,
dapat berupa precursor, produk, metabolit dari suatu reaksi kimia maupun
reaksi enzimatis), 7) Komponen toksik (memiliki efek toksik), serta 8)
Komponen umum/lazim pada spesies, genus atau famili tertentu.
Pemeriksaan terhadap senyawa marker baik secara kualitatif maupun
kuantitatif menjadi salah satu pendekatan untuk kendali mutu tumbuhan
obat dan obat herbal. Komponen terapetik dan bioaktif dapat digunakan
untuk mengontrol khasiat, komponen toksik digunakan untuk memastikan
aspek keamanan, komponen utama dapat digunakan untuk memeriksa
stabilitas dari tumbuhan obat dan obat herbal. Berdasarkan uraian
tersebut dapat diketahui bahwa untuk kendali mutu yang mencakup
aspek khasiat, keamanan, dan kualitas secara komprehensif, pendekatan
dengan satu senyawa marker tidaklah memadai. Dalam hal ini kendali
mutu berbasis sidik jari atau fingerprint merupakan pendekatan yang
tepat. Sidik jari merupakan profil yang khas dan memberikan gambaran
profil fitokimia yang menyeluruh (multiple chemical markers) tumbuhan
obat maupun obat herbal.
Telah diketahui bahwa bahan tumbuhan obat dan obat herbal
merupakan sistem multikomponen. Khasiat, keamanan, dan kualitasnya
ditentukan oleh multikomponen yang dikandungnya secara bersama-
sama. Oleh karena itu, pendekatan sidik jari yang mampu menggambarkan
profil multikomponen yang dikandungnya merupakan pendekatan yang
tepat untuk kendali mutu tumbuhan obat dan obat herbal.

4. Metode Kendali Mutu dalam Standardisasi Obat Herbal


Berbagai metode dapat digunakan untuk kendali mutu berbasis sidik
jari. Metode yang paling banyak digunakan tergolong ke dalam teknik
kromatografi, spektroskopi, dan tandem kromatografi-spektroskopi
(Gambar 4). Selain teknik tersebut, elektroforesis kapiler juga merupakan

17
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

teknik yang dapat digunakan untuk analisis sidik jari namun penggunaannya
untuk sidik jari tumbuhan obat dan obat herbal tidak seluas teknik
kromatografi dan spektroskopi.
Teknik Spektroskopi yang digunakan untuk analisis sidik jari antara
lain spektroskopi resonansi magnet inti (NMR), spektroskopi massa, dan
infra merah. Teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisis
sidik jari meliputi kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi lapis tipis
kinerja tinggi (KLT-KT), kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC), dan
kromatografi gas (GC). Deteksi dengan lampu UV dalam pembuatan profil
fitokimia dengan teknik KLT dan HPTLC, detektor larik dioda (PDA) dan
spektroskopi massa (MS) digunakan bersama dengan teknik HPLC maupun
GC. Sementara itu, teknik tandem yang digunakan meliputi gabungan
kromatografi cair, kromatografi gas, maupun elektroforesis kapiler yang
ditandem dengan spektroskopi massa.

Jeniis
Instrum
men

TTeknik
Kromatografi Spektroskopi
Tandem

KC N
NMR KC-MS

KG MS KG-MS

KLT IR CE-MS

U
UV-Vis

Gambar 4 Berbagai metode yang tesedia untuk kendali mutu tumbuhan


obat dan obat herbal

18
Bab 2
Standardisasi untuk Obat Herbal Berkualitas

Di antara teknik tersebut, kromatografi lapis tipis dengan deteksi


menggunakan lampu UV maupun maupun natural product reagent banyak
dilakukan karena merupakan teknik yang sederhana. Bab 4 pada buku ini
akan membahas aplikasi penggunaan sidik jari KLT untuk pemeriksaan
profil tumbuhan obat.

Daftar Pustaka
Govindaraghavan S, Sucher NJ. 2015. Quality assessment of medicinal
herbs and their extracts: criteria and prerequisites for consistent
safety and efficacy of herbal medicines. Epilepsy and Behavior 52:
363–371.
[IUPAC] International Union of Pure and Applied Chemistry. 2008.
Mosihuzzaman M, Choudhary MI. Protocols on safety, efficacy,
standardization, and documentation of herbal medicine. Pure and
Applied Chemistry 80(10): 2195–2230.
Li S, Han Q, Qiao C, Song J, Cheng CL, Xu H. 2008. Chemical markers for the
quality control of herbal medicines: an overview. Chinese Medicine
3(7): 1–16.
[WHO] World Health Organization. 2008. WHO guidelines for assessing
quality of herbal medicines with reference to contaminants and
residues. Geneva (CH): WHO
Zhang J, Wider B, Shang H, Li X, Ernst E. 2012. Quality of herbal medicines:
challenges and solutions. Complementary Therapies in Medicine 20:
100–106. doi:10.1016/j.ctim.2011.09.004.

19
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis
M Rafi dan DA Septaningsih

T umbuhan obat dapat mengandung puluhan hingga ratusan senyawa


kimia dengan struktur yang beragam. Senyawa kimia inilah yang
bertanggung jawab dalam aktivitas biologis tertentu sehingga digunakan
untuk standardisasi kualitas agar khasiat dan keamanannya terjamin.
Standardisasi ini akan dapat tercapai salah satunya yaitu dengan memiliki
metode analisis yang handal, teliti, dan akurat untuk evaluasi kualitas
tumbuhan obat mulai dari bahan baku hingga produk obat herbalnya.
Konsistensi kualitas, khasiat, dan keamanan ini menjadi suatu hal yang
harus dipenuhi dalam produksi obat herbal. Dalam pandangan analitis,
konsistensi ini terutama kualitas akan dapat diketahui melalui analisis
kimia baik secara kualitatif yang dapat memberikan informasi mengenai
identitas maupun kuantitatif yang dapat mengukur kadar senyawa kimia
aktif maupun mayornya. Analisis sidik jari dapat digunakan sebagai
salah satu pendekatan dalam mengembangkan metode analisis untuk
standardisasi bahan baku dan produk obat herbal. Pendekatan jenis ini
akan mengevaluasi keseluruhan komponen kimia dalam suatu sampel
yang dapat terdeteksi oleh suatu instrumen analitik. Cara ini telah menjadi
pilihan dan telah digunakan dalam farmakope herbal di beberapa negara
termasuk Indonesia.
Analisis sidik jari merupakan suatu cara yang dapat digunakan dalam
penapisan menyeluruh komposisi dan jumlah senyawa kimia suatu sampel
dalam bentuk spektrum, kromatogram, atau grafik lain yang diperoleh
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

dari suatu teknik analisis. Pola sidik jari dari suatu tumbuhan dapat
memberikan informasi mengenai komponen kimia berupa kromatogram
yang merupakan penciri dari tanaman tersebut dan mengklasifikasi
suatu sampel berdasarkan bukti dari senyawa bioaktif yang saling
berkaitan (Zhao et al. 2008). Analisis sidik jari merupakan metode yang
efektif untuk mengontrol dan evaluasi kualitas bahan baku dan produk
akhirnya. Analisis ini juga mampu mengontrol stabilitas kualitas karena
mampu menunjukkan komposisi komponen kimia secara keseluruhan
beserta konsentrasi relatifnya. Pengembangan metode analisis sidik jari
melibatkan dua hal penting, yaitu bagaimana memperoleh informasi
yang lebih efektif dan stabil, dan bagaimana mengevaluasi kesamaannya
dengan metode kemometrik (Liang et al. 2009). Analisis sidik jari telah
diterima oleh World Health Organization (WHO) sebagai suatu metodologi
untuk mengontrol kualitas sampel tanaman (Ciesla 2012).
Salah satu teknik analisis yang banyak digunakan untuk pengembangan
metode identifikasi dan autentifikasi tumbuhan obat menggunakan
pendekatan analisis sidik jari yaitu kromatografi seperti, kromatografi lapis
tipis (KLT), kromatografi gas, kromatografi cair kinerja tinggi, dan jenis
kromatografi lainnya. Kromatografi lapis tipis menjadi pilihan yang atraktif
untuk analisis sidik jari tumbuhan obat karena memiliki keunggulan seperti
sederhana, biaya rendah, kapasitas sampel yang besar, dan hasil yang cepat
(Vermaak et al. 2009). Kromatografi lapis tipis dapat memberikan resolusi
pemisahan yang baik sehingga memungkinkan identifikasi simultan dari
berbagai zat dalam sekali elusi. Profil sidik jari KLT dapat digunakan untuk
mengetahui kesamaan atau ketidaksamaan dan untuk mengetahui ada
atau tidak adanya suatu senyawa fitokimia tertentu sehingga dapat pula
digunakan untuk metode deteksi adanya pemalsuan bahan tumbuhan
obat yang digunakan dalam suatu produk obat herbal. Analisis sidik
jari menggunakan KLT telah banyak digunakan untuk identifikasi dan
autentikasi tumbuhan obat seperti deteksi pemalsuan pada black cohosh
(Ankli et al. 2008), standardisasi formula Ayurveda Haridra Kadra (Rout et
al. 2008), diskriminasi kunyit, temulawak, dan bangle (Rafi et al. 2011),
kendali mutu formulasi TCM Cangzhu Xianglian San (Li et al. 2010), studi
metabolomis empat obat herbal TCM (Ogegbo et al. 2012), dan identifikasi
propolis asal Tiongkok (Tang et al. 2014).

22
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis termasuk ke dalam tipe kromatografi planar
merupakan teknik analisis yang banyak digunakan untuk memisahkan
campuran senyawa kimia berdasarkan distribusinya di antara dua fase,
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam merupakan bahan pelapis pada
lempeng KLT yang biasanya terbuat dari bubuk silika, alumunium oksida,
atau selulosa. Fase gerak merupakan pelarut tunggal atau campuran yang
menyebabkan ekstrak mengalami pemisahan. Fase gerak berinteraksi
dengan fase diam melalui daya kapilaritas yang memungkinkan terjadinya
pemisahan beragam komponen berdasarkan kelarutan dan retensinya
dalam fase diam dan fase gerak. Pemisahan dicapai melalui kompetisi
antara molekul sampel dan fase gerak untuk berikatan atau berinteraksi
dengan fase diam (Lade et al. 2014). Setiap senyawa kimia tersebut akan
bergerak dengan laju tertentu dan tingkat pergerakannya dinyatakan
sebagai faktor retardasi (Rf). Faktor retardasi adalah perbandingan jarak
yang ditempuh fase gerak mulai dari garis awal hingga akhir dengan jarak
pergerakan senyawa kimia yang telah terpisah. Senyawa yang mempunyai
afinitas yang besar terhadap fase gerak atau afinitas yang lebih kecil
terhadap fase diam akan bergerak lebih cepat daripada senyawa yang
mempunyai afinitas sebaliknya (Striegel & Hill 1997).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pemisahan
maupun penunjang lainnya dari teknik KLT di antaranya fase diam, aplikasi
cuplikan, fase gerak, bejana kromatografi, dan derivatisasi (pewarnaan).
Ukuran partikel fase diam berperan penting dalam pemisahan karena
semakin kecil dan seragam akan meningkatkan daya pemisahan. Fase
diam yang paling umum digunakan dalam KLT adalah silika gel baik dalam
bentuk silika maupun turunannya karena silika mempunyai kekuatan
pemisahan yang sangat baik. Aplikasi sampel dapat dilakukan secara
manual maupun automatik. Untuk mendapatkan resolusi yang optimum
maka aplikasi sampel baik berupa bercak atau pita dengan ukuran sekecil
mungkin sehingga untuk mengatasi volume cuplikan saat aplikasi maka
penggunaan aplikasi sampel automatik lebih disukai. Pemilihan fase gerak
sangat penting dalam KLT karena menentukan pula keterpisahan senyawa.
Fase gerak dipilih berdasarkan fase diam yang akan digunakan dan struktur
komponen yang akan dipisahkan. Berbagai macam bejana kromatografi

23
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

dapat digunakan, disesuaikan dengan metode yang ada. Derivatisasi


(pewarnaan) sangat diperlukan untuk memunculkan komponen yang
telah dipisahkan dan untuk memberikan hasil yang spesifik pada analisis
sidik jari KLT (Koll et al. 2003).

Aplikasi Kromatografi Lapis Tipis untuk Kendali Mutu


Tumbuhan Obat
Seperti yang telah kita ketahui secara luas bahwa senyawa kimia
dalam tumbuhan obat sangat banyak jumlahnya dan kompleks secara
struktur kimianya. Senyawa kimia yang berperan dalam aktivitas biologis
tertentu dari suatu tumbuhan obat umumnya tidak hanya berasal
dari satu senyawa saja seperti halnya obat sintetik. Oleh karena itu,
pendekatan analitik yang digunakan dalam kendali mutu tumbuhan obat
agak berbeda dengan obat sintetik. Pendekatan yang umum digunakan
yaitu pendekatan kuantitatif satu atau lebih senyawa bioaktifnya yang
disebut sebagai analisis senyawa penciri dan pendekatan sidik jari dengan
konsep dapat mendeteksi sebanyak mungkin senyawa-senyawa yang ada
dalam suatu tumbuhan obat. Pendekatan sidik jari memiliki beberapa
kelebihan seperti dapat menjelaskan kekompleksan senyawa yang ada di
dalam suatu sampel karena bertujuan menampilkan sebanyak mungkin
senyawa yang terdeteksi. Pendekatan sidik jari dari keseluruhan senyawa
yang dikandung oleh obat herbal dapat menjadi cara dalam menentukan
kualitas dan stabilitas obat herbal mulai dari bahan baku hingga produk
akhirnya. Kromatografi lapis tipis dapat menjadi pilihan yang atraktif
untuk tujuan tersebut dengan berbagai keuntungan seperti yang tertera
pada Tabel 2.

24
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

Tabel 2 Keuntungan KLT


Keuntungan KLT
Waktu analisis • Waktu yang diperlukan untuk pemisahan pada KLT
relatif lebih cepat dibandingkan dengan kromatografi
kolom.

• Dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak


secara paralel dalam satu waktu yang bersamaan.
Kemudahan • Mudah untuk pelaksanaan multideteksi tanpa
deteksi mengulang pemisahannya.
Hasil pemisahan • Hasil visualisasi KLT adalah salah satu metode
sebagai gambar kromatografi yang menawarkan pilihan menyajikan
hasilnya sebagai foto kromatogram. Sebuah
kromatogram dapat dilihat sebagai urutan gelap,
berwarna, atau zona fluoresens pada pelat, dan dapat
dengan mudah didokumentasikan sebagai gambar.
Sidik jari • Sidik jari KLT dapat dioptimumkan untuk senyawa
target tertentu dan juga menjadi identitas khas suatu
tumbuhan obat.
Daya • Terlihat seperti kelemahan untuk KLT, namun
keterpisahannya perbedaan kecil signifikan dapat membedakan
rendah antara sampel sebagai akibat dari keragaman sampel
sehingga lebih mudah dalam menentukan diterimanya
untuk kendali mutu.
Lainnya • Biaya yang efektif, konsumsi fase gerak yang sedikit
dan menyediakan informasi sidik jari dengan atau
tanpa senyawa standar.

• Resolusi yang tinggi dan pemisahan yang baik sehingga


analisis kuantitatif dapat akurat.
Sumber: Schibli & Reich (2005)

25
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Kendali mutu obat herbal mulai dari bahan baku hingga produk
akhirnya merupakan tugas analitik yang menantang karena obat herbal
dengan senyawa kimia yang dikandungnya dapat dianggap sebagai bahan
aktifnya terlepas apakah senyawa yang menimbulkan aktivitas biologis
tertentu diketahui atau tidaknya (Koll et al. 2003). Teknik KLT telah umum
digunakan dalam berbagai farmakope herbal di seluruh dunia untuk
tujuan identifikasi tumbuhan obat. Selain untuk tujuan identifikasi, KLT
telah pula digunakan untuk kendali konsistensi produksi antarkelompok
untuk mengetahui stabilitas selama proses produksinya.

Identifikasi Tumbuhan Obat


Identifikasi tumbuhan obat merupakan aplikasi yang paling banyak
digunakan dari KLT. Identitas suatu tumbuhan obat dapat diketahui
dengan membandingkannya menggunakan suatu pembanding standar
pada pelat KLT yang sama. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari
KLT yaitu dapat digunakan untuk beberapa sampel pada satu waktu
dan pelat KLT yang sama. Pelaksanaan yang bersamaan ini sangat baik
untuk menghindari adanya dampak lingkungan seperti udara (oksigen),
faktor iklim (suhu, kelembapan), cahaya, uap, dan tekanan yang dapat
mengganggu proses pemisahan jika dilakukan pada pelat yang berbeda.
Hasil dari analisis sidik jari KLT berupa gambaran visual pemisahan senyawa
kimia yang dikandungnya. Visualisasi pemisahan senyawa kimia ini dapat
dilakukan dengan berbagai macam pendeteksi, baik menggunakan sinar
tampak maupun UV 254 atau 366 nm. Pendeteksian dengan pewarna
spesifik untuk golongan senyawa tertentu juga dapat digunakan untuk
menggambarkan komposisi senyawa yang dikandung suatu tumbuhan
obat. Evaluasi yang dilakukan untuk tujuan identifikasi ini berupa
jumlah, warna, urutan, dan posisi relatif dari suatu pita. Selain itu juga
dibandingkan dengan senyawa penciri maupun sampel tumbuhan yang
berkerabat dekat untuk lebih menunjukkan hasil identifikasi yang akurat.
Metode sidik jari KLT yang dikembangkan bersifat spesifik sehingga hanya
tumbuhan yang sesuai dengan spesifikasi akan menghasilkan sidik jari
yang dapat dibedakan secara signifikan dengan jenis tumbuhan lainnya.

26
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

Standardisasi Produksi Obat Herbal


Standardisasi produk obat herbal mulai dari bahan baku hingga
produk akhirnya menjadi hal yang harus diperhatikan untuk konsistensi
kualitas, khasiat, dan keamanan obat herbal. Analisis sidik jari KLT sering
digunakan untuk tujuan tersebut seperti pengecekan bahan baku yang
digunakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, menentukan
kondisi ekstraksi yang tepat untuk standardisasi ekstrak, dan untuk
deteksi perubahan atau degradasi bahan selama proses formulasi
obat herbal. Dalam produksi obat herbal yang baik sangatlah penting
untuk mendokumentasikan mulai dari penerimaan bahan baku hingga
proses konversinya menjadi obat herbal dengan komposisi produk
antarkelompok yang tetap konsisten. Evaluasi yang dilakukan dari sidik
jari KLT untuk tujuan tersebut, yaitu membandingkan jumlah, urutan, dan
intensitas relatif pita dari bahan baku hingga produk akhirnya dan juga
antarkelompoknya. Pengujian stabilitas mulai dari bahan baku hingga
produk akhir juga harus dilakukan dalam produksi obat herbal untuk
menjamin tidak ada perubahan komposisi senyawa kimia pada ekstrak
atau produk akhirnya. Selama pengujian pita-pita yang dihasilkan tidak
berubah pada rentang waktu yang telah ditentukan dan jika terdapat
degradasi maka akan terdeteksi (Schibli & Reich 2005).

Tahapan dalam Analisis Sidik Jari KLT


Analisis sidik jari KLT telah umum digunakan untuk proses identifikasi
maupun autentikasi bahan baku obat herbal. Berbagai metode referensi
telah tersedia dalam buku farmakope herbal di berbagai negara termasuk
Indonesia. Farmakope Herbal Indonesia telah memuat KLT sebagai
salah satu teknik analisis identifikasi tumbuhan obat akan tetapi belum
mencakup secara keseluruhan tumbuhan obat di Indonesia. Oleh
karena itu, pengembangan metode sidik jari KLT terus dilakukan untuk
tumbuhan-tumbuhan obat lainnya. Dalam penggunaannya, terdapat
beberapa tahapan dalam menggunakan analisis sidik jari KLT untuk kendali
mutu bahan baku dan produk obat herbal. Tahapan-tahapan ini yaitu
preparasi sampel dan peralatan KLT (fase diam dan fase gerak), aplikasi
sampel, pengembangan pelat KLT, derivatisasi pita, dan dokumentasinya
(Gambar 5).

27
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Preparasi Sampel

Peralatan KLT

Aplikasi sampel

Pengembangan pelat KLT

Derivatisasi pita

Dokumentasi

Gambar 5 Tahapan dalam analisis sidik jari KLT

Preparasi sampel
Pemilihan teknik ekstraksi dan pelarut yang digunakan untuk
mengekstrak bergantung pada tujuan analisis yang diinginkan. Hal ini
dikarenakan perbedaan kelarutan maupun karakteristik lainnya dari
komponen kimia yang akan diekstrak dari suatu tumbuhan obat. Suatu
tumbuhan obat yang banyak mengandung komponen atsiri akan cocok
jika diekstraksi dengan teknik distilasi. Komponen kimia dalam tumbuhan
obat juga bervariasi sehingga pemilihan pelarut pengekstrak menjadi
penting untuk dapat mengekstrak secara optimum komponen kimianya
terutama untuk tujuan kuantitatif.

28
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

Peralatan KLT
Pemilihan fase diam
Sebagian besar jenis fase diam yang digunakan pada kromatografi
kolom dapat digunakan pada KLT. Fase diam yang umum digunakan
seperti silika gel, aluminium oksida, selulosa dan juga silika gel yang
sudah dimodifikasi seperti amino-, cyano-, diol-, reverse phase- (RP2,
RP8, RP18) bonded silica. Hal lainnya kita dapat memilih jenis fase diam
KLT konvensional atau KLT-kinerja tinggi (KLT-KT). Tidak ada alasan
umum bahwa KLT-KT haruslah menjadi pilihan utama karena kedua jenis
KLT ini baik konvensional maupun kinerja tinggi dapat menghasilkan
pemisahan dan ketersalinan yang baik. Pelat KLT-KT memiliki harga
yang lebih mahal dibanding dengan KLT konvensional tetapi digantikan
dengan penghematan biaya pelarut dan waktu analisis. KLT konvensional
memerlukan waktu analisis sekitar 30 menit hingga satu jam sedangkan
pada kondisi yang sama KLT-KT hanya memerlukan 5 sampai 20 menit
saja.

Pemilihan fase gerak


Fase gerak merupakan salah satu faktor penting dalam pemisahan
pada KLT karena akan membawa analat melewati fase diam. Fase gerak
dipilih berdasarkan material adsorben yang digunakan sebagai fase diam
dan struktur kimia dari analat yang akan dipisahkan. Pada KLT biasanya
menggunakan silika gel sebagai fase diamnya yang menggunakan sistem
kromatografi adsorpsi. Tidak seperti kromatografi fase terbalik yang
menggunakan sedikit air atau pelarut organik, fase normal pada silika gel
memiliki keuntungan fase gerak yang lebih bervariatif. Umumnya fase
gerak yang digunakan adalah yang memiliki ketoksikan yang rendah untuk
mengurangi masalah pencemaran lingkungan. Pelarut yang digunakan
dapat berupa eluen tunggal maupun campuran. Eluen campuran umumnya
digunakan untuk meningkakan pemisahan analat dalam sampel. Beberapa
fase gerak berikut dapat digunakan untuk memisahkan golongan senyawa
kimia yang umum terdapat di tumbuhan obat (Tabel 3).

29
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Tabel 3 Fase gerak yang umum digunakan dalam pemisahan golongan


senyawa umum pada tumbuhan obat dengan silika gel sebagai
fase diam
Senyawa Fase gerak
Alkaloid Toluena : etil asetat : dietilamin (7:2:1)

Toluena : etil asetat : amonium (7:2:1)


Flavonoid Etil asetat : asam format : asam asetat : air (100:11:11:26)

Etil asetat : asam format : air dengan berbagai perbandingan


Saponin Kloroform : metanol : air (70:30:4)

Asam asetat : air : 1-butanol (1:4:5)

Amonia : air : etanol : etil asetat (1:9:25:65)


Tanin Etil asetat : asam format: air dengan berbagai perbandingan,
tidak atau dengan asam asetat

Toluena : etil asetat (98:2)

Etil asetat : asam asetat : eter : heksana (4:2:2:2)


Minyak atsiri Etil asetat atau metanol dengan toluena atau heksana dengan
berbagai perbandingan

Diklorometana murni
Sumber: Schibii & Reich (2005)

Aplikasi sampel
Menempatkan sampel pada pelat KLT merupakan salah satu aspek
paling kritis secara teknis pada KLT terutama bila bertujuan untuk analisis
kuantitatif. Terdapat dua cara dalam mengaplikasikan sampel pada pelat
KLT yaitu cara spot dan pita yang masing-masing memiliki beberapa
keuntungan. Kelebihan untuk bentuk pita yaitu resolusi yang lebih baik,
distribusi sampel yang merata, lebih fleksibel dalam memuat sampel,
dsb. Sementara untuk bentuk spot kelebihannya yaitu tidak memerlukan
automatisasi, murah, dan hemat waktu. Untuk aplikasi sampel berupa
pita saat ini tersedia aplikator baik manual maupun yang automatis.

30
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

Pengembangan pelat KLT


Pengembangan pelat KLT dapat dilakukan dengan berbagai tipe bilik
KLT seperti flat bottom, twin trough, ataupun bilik untuk pengembangan
horizontal (Gambar 6). Sebelum dilakukan pengembangan, umumnya
dilakukan penjenuhan bilik kromatografi yang bertujuan untuk
melancarkan gerak eluen dan komponen selama elusi. Tanpa adanya
penjenuhan dapat menurunkan ketersalinan dan menyebabkan bidang
pelarut menjadi melengkung. Tipe dan bentuk bilik kromatografi harus
spesifik untuk metode tertentu. Pelat KLT diletakan di depan batas bilik
kromatografi dengan fase diam menghadap ke dalam bilik kromatografi.
Panjang jarak pengembangan tidak memengaruhi pemisahan, tetapi pita-
pita yang dihasilkan lebih menyebar.

Gambar 6 Macam-macam tipe bilik kromatografi lapis tipis: flat bottom


(a), dan twin trough (b)

Derivatisasi
Perlakuan derivatisasi pada pelat setelah proses kromatografi
merupakan keuntungan lebih dari KLT. Dalam kendali mutu dan uji
stabilitas pada tumbuhan obat, derivatisasi menjadi penting dalam banyak
kasus untuk visualisasi analat maupun sidik jarinya karena pada proses
ini beberapa senyawa akan tampak dengan pereaksi spesifiknya (Gambar
7). Beberapa pereaksi yang dapat digunakan untuk analisis bahan baku
tumbuhan obat maupun produknya seperti asam sulfat, anisaldehida,
vanillin, fast blue, natural product reagent, dragendorf, uap ammonia,
ninhidrin, dan sebagainya. Jika memungkinkan, pereaksi yang memiliki
potensi toksik yang rendah lebih disukai. Derivatisasi dapat dilakukan

31
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

dengan pencelupan atau penyemprotan pelat KLT. Proses derivatisasi


terkadang memerlukan proses pengeringan dengan waktu tertentu atau
pemanasan untuk menghasilkan deteksi yang optimum.

a b c d

Gambar 7 Derivatisasi pita senyawa pada temulawak dengan pewarna


fast blue (a); jahe dengan vanilin (b); dan anisaldehida (c);
pegagan dengan Lieberman Burchard (d)

Dokumentasi
Berdasarkan tujuan analisisnya, evaluasi visual pemisahan pada KLT
dapat menggunakan beberapa cara. Untuk proses identifikasi biasanya
menggunakan tampilan dari kromatogram dan perbandingannya dengan
bahan acuan tumbuhan (botanical reference material) atau senyawa
pencirinya. Pendeteksian yang paling umum dilakukan di bawah sinar UV
pada panjang gelombang 254 dan 366 nm maupun sinar tampak (Gambar
8). Jika pada pelat KLT dilakukan derivatisasi senyawa menggunakan
pereaksi pendeteksinya maka dokumentasi dapat dilakukan sebelum
dan sesudah derivatisasi. Sistem dokumentasi secara digital mulai
banyak digunakan untuk mengarsipkan kromatogram KLT karena mudah
digunakan, diedit, disimpan, dan diolah fotonya.
Densitometer dapat pula digunakan untuk mendeteksi pita/spot
hasil pemisahan pada KLT untuk meningkatkan sensitivitas terutama
dalam untuk analisis semikuantitaif dan kuantitatif senyawa penciri. Nilai
absorbans atau fluoresens dari pita/spot hasil pemisahan selanjutnya

32
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

diukur lalu dibandingkan nilainya dengan senyawa standar yang telah


diketahui konsentrasinya. Densitometer dapat digunakan sebelum atau
setelah derivatisasi.

a b c d

Gambar 8 Dokumentasi sidik jari KLT daun jati belanda (fase diam: silika
T
gel F254, fase gerak: heksana-etil asetat (60 : 40)) di bawah sinar
UV 254 nm (a), UV 366 nm (b), sinar tampak (c), dan derivatisasi
menggunakan vanilin pada sinar tampak (d)

Validasi Metode Sidik jari KLT


Setelah kita memperoleh kondisi optimum sidik jari KLT maka
validasi metode harus dilakukan. Validasi metode merupakan proses
berulang yang biasanya dihubungkan dengan pengembangan dan
pengoptimuman metode analisis untuk tujuan mengevaluasi parameter
kinerja analitik agar metode yang dihasilkan absah. Validasi dimulai
dengan mendefinisikan tujuan analisis dan dilanjutkan pemilihan metode
meliputi optimasi atau pengembangan metode yang tepat, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Tahap selanjutnya yang disebut prevalidasi

33
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

dilakukan untuk menguji kekonsistenan dengan memeriksa stabilitas


analat, pemeriksaan selektivitas metode serta menguji ketahanan dan
ketersalinannya. Setelah semua parameter validasi disusun, dilakukan,
dan didokumentasikan sebagai protokol validasi, data dievaluasi dan
dibandingkan dengan kriteria keterterimaannya. Jika kriteria semua
diterima, maka metode tersebut dinyatakan absah/valid. Validasi metode
dapat dilakukan dengan beberapa produk komersial untuk diinvestigasi
variasi bahan alam setiap spesies (Gambar 9) dan deteksi perbedaan sidik
jari yang cocok untuk pengujian pada campuran (Ankli et al. 2008). Detail
dalam validasi metode analisis sidik jari KLT tertulis pada tulisan Reich et
al. (2008) dalam Journal of AOAC International dan buku tentang KLT-KT
oleh Reich & Schibli (2006).

Gambar 9 Sidik jari KLT dari beberapa variasi tanaman yang memiliki
kemiripan morfologi (1 = bandotan, 2 = dandang gendis, 3 =
sinensetin, 4 = kumis kucing, 5 = teh-tehan)

34
Bab 3
Kendali Mutu Tumbuhan Obat Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis

Daftar Pustaka
Ankli A, Reich E, Steiner M. 2008. Rapid high-performance thin-layer
chromatographic method for detection of 5% adulteration of black
cohosh with Cimicifuga foetida, C. heracleifolia, C. dahurica, or C.
americana. Journal of AOAC International. 91: 1257–1264.
Ciesla L. 2012. Biological fingerprinting of herbal samples by means of
liquid chromatography. Chromatography Research International.
2012: 1–9.
Koll K, Reich E, Blatter A, Veit M. 2003. Validation of standardized high-
performance thin layer chromatographic methods for quality control
and stability testing of herbals. Journal of AOAC International. 86:
909–915.
Lade BD, Patil AS, Paikrao HM, Kale AS, Hire KK. 2014. A comprehensive
working, principles and applications of thin layer chromatography.
Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical
Sciences. 5: 486–503
Li Z, Merfort I, Reich E. 2010. High-performance thin layer chromatography
for quality control of multicomponent herbal drugs: example of
cangzhu xianglian san. Journal of AOAC International. 93: 1390–
1398.
Liang XM, Jin Y, Wang YP, Jin GW, Fu Q, Xiao YS. 2009. Qualitative and
quantitative analysis in quality control of traditional Chinese
medicines. Journal of Chromatography A. 1216: 2033–2044.
Ogegbo OL, Eyob S, Parmar S, Wang ZT, Bligh SWA. 2012. Metabolomics of
four TCM herbal products: application of HPTLC analysis. Analytical
Methods. 4: 2522–2527.
Rafi M, Rohaeti E, Miftahudin A, Darusman LK. 2011. Differentiation of
Curcuma longa, Curcuma xanthorriza and Zingiber cassumunar by
thin layer chromatography fingerprint analysis. Indonesia Journal of
Chemistry. 11: 71–74.
Reich E, Schibli A. 2006. High-Performance Thin Layer Chromatography for
the Analysis of Medicinal Plants. New York (USA): Thieme Medical
Publishers, Inc.

35
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Reich E, Schibi A, Debatt A. 2008. Validation of high-performance thin


layer chromatograpic methods for the identification of botanicals in
a cGMP environment. Journal of AOAC International. 91: 13–20.
Rout KK, Parida S, Mishra SK. 2008. Standardization of the ayurvedic
formulation haridra khanda using high-performance thin-layer
chromatography-densitometry. Journal of AOAC International. 91:
1162–1168.
Schibli A, Reich E. 2005. Modern TLC: A key technique for identification
and quality control of botanicals and dietary supplements. Journal
of Planar Chromatography. 18: 34–38.
Striegel MF, Hill J. 1997. Thin-Layer Chromatography for Binding Media
Analysis. Los Angeles (USA): The Getty Coservation Institute.
Tang TX, Guo WY, Xu Y, Zhang SM, Xu XJ, Wang DM, Zhao ZM, Zhu LP,
Yang DP. 2014. Thin-layer chromatographic identification of Chinese
propolis using chemometric fingerprinting. Phytochemical Analysis.
25: 266–272.
Vermaak I, Hamman JH, Viljoen AM. 2010. High performance thin layer
chromatography as a method to authenticate Hoodia gordonii raw
material and products. South African Journal of Botany. 76: 119–
124.
Zhao L, Chaoyu H, Zhen S, Bingren X, Linghua M.2008. Fingerprint
analysis of Psoralea corylifolia L by HPLC and LC-MS. Journal of
Chromatography B. 821: 67

36
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Jahe
(Zingiber officinale Rosc.)
A Kautsar, M Rafi

Deskripsi tanaman
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan berbentuk herba perenial,
berbatang semu karena berasal dari kumpulan pelepah daun yang saling
membungkus. Tingginya antara 15–100 cm, rimpang terdapat di bawah
batang semu, bergerombol. Rimpangnya tebal dan kuat, bercabang
dengan ukuran diameter antara 1,5–2,5 cm (Gambar 10). Warna rimpang
kuning pucat tertutup oleh lapisan sisik. Berdasarkan aroma, warna,
bentuk, dan besarnya rimpang dikenal tiga jenis jahe yakni jahe besar
yang sering disebut jahe gajah, jahe kecil, atau yang lebih sering dikenal
dengan jahe emprit dan jahe merah yang lebih sering dikenal dengan jahe
sunti.

Gambar 10 Rimpang jahe


ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Kandungan Senyawa Kimia


Jahe telah diketahui memiliki senyawa kimia yang terdiri dari gingerol,
zingeron, dan shogaol. Selain itu, terdapat minyak atsiri dan oleoresin.
Komponen utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton
yang dikenal sebagai gingerol. Selain itu, terdapat senyawa kimia lainnya,
yaitu 1,8-sineol, 10-dehidroginger-dion, 10-ginger-dion, 6-ginger-dion,
6-gingerol, arginina, α-asam linolenat asam aspartat, β-sitosterol, asam
kaprilat, farnesal, farnesena, dan farnesol.

Aktivitas Farmakologi
Jahe merupakan salah satu tumbuhan obat yang efektif dalam
mengobati beberapa penyakit, antara lain untuk mengobati penyakit
rematik, asma, stroke, sakit gigi, diabetes, sakit otot, tenggorokan, kram,
hipertensi, mual, demam, dan infeksi (Ali et al. 2008; Wang & Wang
2005; Tapsell et al. 2006). Jahe secara farmakologis telah teruji sebagai
antioksidan (Jelled et al. 2015), sebagai antiinflammatori dan inhibitor
xanthine oxidase (Nile & Park 2015), sebagai nutrasetikal dalam makanan
dan antialergi (Semwal et al. 2015), sebagai antibakteri (Mesomo et al.
2015), dan sebagai antikanker (Shukla & Singh 2007).

Analisis Sidik Jari KLT


Prosedur
Preparasi sampel : Sebanyak 200 mg simplisia sampel ditambahkan
10 mL metanol dan disonikasi selama 30 menit.
Selanjutnya campuran disaring dan filtrat
digunakan sebagai larutan uji.
Preparasi standar : Larutan standar 6-gingerol dibuat dengan
konsentrasi 200 ppm dalam metanol.
Preparasi : Larutan pendeteksi dibuat dengan
pendeteksi mencampurkan 0.5 mL anisaldehida, 10 mL
asam asetat glasial, 5 mL asam sulfat pekat dan
85 mL metanol.
Pelat KLT : Pelat KLT silika gel 60 F254

38
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Aplikasi sampel : Sampel dan standar diaplikasikan pada pelat


KLT dalam bentuk pita dengan lebar 8 mm, jarak
antar pita 4 mm, 10 mm dari sisi bawah dan 15
mm dari sisi kiri dan kanan pelat. Jumlah sampel
dan standar yang diaplikasikan sebanyak 15 µL
dan 3 µL
Sistem kromatografi
Tipe bejana : Twin Through Chamber
Penjenuhan : 30 menit
Larutan : Etil Asetat : n-heksana : kloroform (2:6:2)
pengembang
Jarak : 80 mm dari posisi aplikasi sampel
pengembangan
Derivatisasi : Pelat dicelupkan ke dalam larutan pendeteksi
bercak dan dikeringkan dalam oven 105oC selama
15 menit.
Dokumentasi : Dokumentasi dilakukan di bawah UV 254 nm dan
sinar tampak

Hasil
Gambar 11 di bawah ini menunjukkan sidik jari KLT jahe dengan
lengkuas merah dan lengkuas putih yang memiliki bentuk yang hampir
mirip dengan jahe.

39
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

1 2 3 4 1 2 3 4
(a) (b)
Keterangan
Lajur Sampel
1 6-gingerol
2 Zingiber officinale Rosc.
3 Alpinia galanga
4 Alpinia purpurata K. Schum

Gambar 11 Sidik jari KLT jahe menggunakan pereaksi anisaldehida untuk


pendeteksi pita yang dilihat di bawah (b) sinar tampak.
Tanpa menggunakan pereaksi anisaldehida dilihat di bawah
(a) UV 254 nm

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan membandingkan hasil Sidik
jari KLT pembanding untuk jahe (Gambar 11). Tambahan pita dengan
intensitas lemah mungkin dapat terjadi. Deteksi menggunakan pereaksi
anisaldehida, sampel jahe akan memperlihatkan pita berwarna ungu (Rf ~
0.26) yang merupakan pita 6-gingerol.
Metode ini dapat digunakan untuk identifikasi jahe dari sampel lain
yaitu lengkuas merah dan lengkuas putih. Pita 6-gingerol terlihat jelas
pada jahe dan tidak terdeteksi pada lengkuas merah dan lengkuas putih.

40
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Daftar Pustaka
Ali BH, Blunden G, Tanira MO, Nemmar A. 2008. Some phytochemical,
pharmacological and toxicological properties of ginger (Zingiber
officinale Roscoe): A review of recent research. Food and Chemical
Toxicology. 46 : 409–420.
Jelled A, Fernandes A, Barros L, Chahdoura H, Achour L, Ferreira ICFR,
Cheikh HB. 2015. Chemical and antioxidant parameters of dried
forms of ginger rhizomes. Industrial Crops and Products. 77: 30–35.
Nile SH, Park SW. 2015. Chromatographic analysis, antioxidant, anti-
inflammatory, and xanthine oxidase inhibitory activities of ginger
extracts and its reference compounds. Industrial Crops and Products.
70: 238–244.
Semwal RB, Semwal DK, Combrick S, Viljoen AM. 2015. Gingerols
and Shogaols: Important nutraceutical principles form ginger.
Phytochemistry. 117: 554–568.
Mesomo MC, Corazza ML, Ndiaye PM, Santa ORD, Cardozo L, Scheer AdP.
2013. Supercritical CO2 extracts and essential oil of ginger (Zingiber
officinale R.): Chemical composition and antibacterial activity. The
Journal of Supercritical Fluids. 80: 44–49.
Shukla Y, Singh M. 2007. Cancer preventive properties of ginger: A brief
review. Food and Chemical Toxicology. 45: 683–690.
Tapsell LC, I Hemphill, L Cobiac, CS Patch, DR Sullivan, M Fenech, S
Roodenrys, JB Keogh, PM Clifton, PG Williams, VA Fazio, KE Inge.
2006. Health benefits of herbs and spices: the past, the present, the
future. Medical Journal of Australia. 185 (Suppl. 4): S4–S24.
Wang WH, Wang ZM. 2005. Studies of commonly used traditional
medicine-ginger. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi. 30: 1569–1573.

41
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
A Kautsar, M Rafi

Deskripsi Tanaman
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tumbuhan
rumpun berbatang semu dengan ciri daun tunggal lebar dan panjang,
warna daun hijau atau coklat keunguan, dan di atas tulang terdapat garis
berwarna kecoklatan, tiap batang umumnya mempunyai daun 2–9 helai
dengan bentuk lanset memanjang, panjang daun 31–84 cm dan lebar 10–
18 cm, serta panjang tangkai daun termasuk helaian 43–80 cm (Gambar
12). Bunga tersusun secara lateral atau menyamping dengan tangkai
ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9–23 cm dan lebar 4–6
cm. Kelopak bunga berwarna hijau muda, panjang 8–13 mm, sedangkan
mahkota bunganya berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm
berwarna putih kemerahan atau kuning. Rimpang bagian luar berwarna
kuning muda, sedangkan rimpang bagian dalamnya berwarna kuning
kejinggaan sampai cokelat kejinggaan. Aroma rimpang yang khas dengan
rasa pahit dan agak pedas.

a b
Gambar 12 Tanaman temulawak (a) rimpang temulawak (b)

42
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Kandungan Senyawa Kimia


Temulawak memiliki kandungan kimia yang beragam. Komponen-
komponen yang terkandung dapat digolongkan menjadi 2 golongan,
yaitu minyak atsiri dan golongan kurkuminoid. Terdapat 4 senyawa
seskuiterpenoid, yaitu α-kurkumena, ar-turmeron, dan xanthorhizol.
Sementara untuk senyawa kurkuminoid terbagi dalam 3 senyawa, yaitu
kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin.

Aktivitas Farmakologi
Temulawak memiliki efek farmakologis yang sangat banyak, antara
lain senyawa kurkuminoid sebagai antioksidan (Masuda et al. 1992),
sebagai inhibitor tyrosinase dan antioksidan (Batubara et al.2015), sebagai
antimikroba (Mary et al. 2012), sebagai antimetastatik (Choi et al. 2004),
sebagai inhibitor tumor necrosis (Chan 1995), dan lain sebagainya.

Analis Sidik Jari KLT


Prosedur
Preparasi sampel : Sebanyak 200 mg simplisia sampel rimpang
temulawak ditambahkan 10 mL metanol dan
disonikasi selama 30 menit. Selanjutnya campuran
disaring dan filtrat digunakan sebagai larutan uji.
Preparasi standar : Larutan standar kurkuminoid dibuat dengan
konsentrasi 200 µg/mL dalam metanol. Larutan
standar xanthorrizol dibuat dengan konsentrasi
200 µg/mL dalam metanol.
Preparasi : Pereaksi vanillin dibuat dengan mencampurkan
pendeteksi 1.25 gram vanillin dan 250 µL asam sulfat pekat ke
dalam labu takar 25 mL. Kemudian dilarutkan dan
ditera metanol.
Pelat KLT : Pelat KLT silika gel 60 F254

43
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Aplikasi sampel : Sampel dan standar diaplikasikan pada pelat KLT


dalam bentuk pita dengan lebar 8 mm, jarak antar
pita 4 mm, 10 mm dari sisi bawah dan 15 mm
dari sisi kiri dan kanan pelat. Jumlah sampel dan
standar yang diaplikasikan sebanyak 15 µL dan 3
µL
Sistem kromatografi
Tipe bejana : Twin Through Chamber
Penjenuhan : 30 menit
Larutan : Diklorometana : kloroform (2:8)
pengembang
Jarak : 80 mm dari posisi aplikasi sampel
pengembangan
Derivatisasi : Pelat dicelupkan ke dalam larutan pendeteksi
bercak dan dikeringkan dalam oven 1050C selama
15 menit.
Dokumentasi : Dokumentasi dilakukan di bawah sinar tampak

Hasil
Gambar 13 di bawah ini menunjukkan sidik jari KLT temulawak
dengan kunyit (Curcuma longa Linn), bangle (Zingiber cassumunar), dan
temu mangga (Curcuma mangga Val) yang memiliki bentuk dan warna
yang hampir mirip dengan temulawak.

44
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

1 2 3 4 5 6
Keterangan
Lajur Sampel
1 Xanthorhizol
2 Kurkuminoid
3 Curcuma xanthorrhiza Roxb.
4 Curcuma longa Linn.
5 Zingiber cassumunar
6 Curcuma mangga Val.

Gambar 13 Sidik jari KLT temulawak menggunakan pereaksi anisaldehida


untuk pendeteksi pita yang dilihat di bawah sinar tampak

Identifikasi
Identifikasi temulawak dilakukan dengan membandingkan
kromatogram temulawak dan senyawa standar yang digunakan. Sidik
jari temulawak memperlihatkan adanya xanthorizol, kurkumin, dan
demetoksikurkumin dengan Rf masing-masing adalah 0.70; 0.30; dan
0.12. Senyawa penanda pada temulawak adalah xanthorizol.
Metode spesifik untuk membedakan temulawak dengan sampel
lain dalam 1 famili (kunyit, bangle, dan temu mangga). Setiap sampel
mempunyai sidik jari yang berbeda. Pendeteksian dengan pewarna
vanilin akan menampakan spot biru yang merupakan xanthorizol sebagai
senyawa penanda temulawak yang tidak terlihat pada sampel lainnya.

45
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Pustaka
Batubara I, Julita I, Darusman LK, Muddathir AM, Mitsunaga T. 2015.
Flower bracts of Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza) for skin care:
Anti-acne and whitening agents. Procedia Chemistry. 14: 216–224.
Choi MA, Kim SH, Chung WY, Hwang JK, Park KK. 2004. Xanthorrhizol a
natural sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza has an anti-
metastatic potential in experimental mouse lung metastasis model.
Biochemical and Biophysical Research Communications. 326(1):
210–217.
Chan MM. 1995. Inhibition of tumor necrosis factor by curcumin a
phytochemical. Biochemical Pharmacology. 49(11): 1551–1556.
Phattanawasin P, Sotanaphun U, Sriphong L. 2009. Validated
TLC-image analysis method for simultaneous quantification of
curcuminoids in Curcuma longa. Chromatographia. 69: 397–400.
Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000. Antibacterial activity of xanthorrhizol
from Curcuma xanthorrhiza against oral pathogens. Fitoterapia.
71(3): 321–323.
Hwang JK. 2004. Xanthorrizol: a potential antibacterial agent from Curcuma
xanthorrhiza against Streptococcus mutans. Planta Medica. 66:
196–197.
Kim JE, Kim HE, Hwang JK, Lee HJ, Kwon HK, Kim BI. 2008. Antibacterial
characteristic of Curcuma xanthorrhiza extract on Streptococcus
mutans biofilm. The Journal of Microbiology. 46(2): 228–232.
Mary HPA, Susheela GK, Jayasree S, Nizzy AM, Rajagopal B, Jeeva S.
2012. Phytochemical characterization and antimicrobial activity
of Curcuma xanthorrhiza Roxb. Asian Pacific Journal of Tropical
Biomedicine. 2(2): S637–S640.
Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatani N.1992. Antioxidative curcuminoids
from rhizomes of Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry. 31(10):
3645–3647.

46
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Meniran Hijau
(Phyllanthus niruri)
A Efendi, ED Purwakusumah, M Rafi

Deskripsi Tanaman
Meniran hijau (Phyllanthus niruri) merupakan tumbuhan liar yang
berasal dari Asia Tropik yang tersebar di seluruh Asia, termasuk Indonesia
(Kardinan & Kusuma 2004). Tumbuhan ini kerap dianggap sebagai gulma
dan banyak ditemukan di ladang dan tanah berbatu. Meniran hijau
memiliki batang berbentuk bulat, basah, dan tingginya dapat mencapai
80 cm. Daun bersirip genap dan setiap satu tangkai daun terdiri dari daun
mejamuk yang mempunyai ukuran kecil dan berbentuk lonjong (Gambar
14). Bunga terdapat pada ketiak daun menghadap ke arah bawah.

Gambar 14 Meniran

Kandungan Senyawa Kimia


Meniran hijau mengandung berbagai macam senyawa kimia yang
termasuk ke dalam golongan senyawa alkaloid, benzenoid, kumarin,
flavonoid, lignin, lipid, sterol, tanin, dan terpenoid (Gunawan 2008).
Alkaloid yang terdapat pada meniran seperti 4-metoksi-nor-sekurinina

47
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

dan nirurina. Senyawa lignan seperti filantin dan hipofilantin telah


dikenal sebagai senyawa penciri untuk tumbuhan ini. Nirantin, nirtetralin,
filtetralin, isolintretalin, nirurisida, dan nirfilin. Untuk senyawa flavonoid
yang terkandung dalam meniran seperti nirurin, rutin, fisetinglukosida,
astragalin, kuersetin, kuersitirin, isokuersitirin, katekin, dan epikatekin.
Lipid yang dikandung oleh meniran yang berhasil diidentifikasi yaitu asam
risinoleat. Estradiol, β-sitosterol, dan isopropyl-24-kolesterol merupakan
jenis sterol yang terkandung dalam meniran. Geraniin dan korilagin, suatu
jenis tanin yang berhasil diidentifikasi pada meniran. Triterpena berikut
ada di dalam meniran seperti lupeol, lupeol asetat, filantenol, filantenon,
dan filanteol (Calixto et al. 1998).

Aktivitas Farmakologi
Meniran hijau merupakan salah satu tumbuhan obat yang efektif
mengobati beragam penyakit, di antaranya batu ginjal atau empedu,
infeksi saluran pernafasan atas, diabetes, diare, malaria atau demam,
radang ginjal, epilepsi atau ayan, influenza, hepatitis, gonorhoea, dan TBC
(Kardinan & Kusuma 2004). Herba meniran telah terbukti mempunyai
berbagai efek farmakologis, antara lain sebagai hepatoprotektif (Harish
et al. 2006; Munjrekar et al. 2008), antidiabetes (Okoli et al. 2011),
antioksidan (Harish et al. 2006), imunomodulator (Jose et al. 2014),
antihiperurisemia (Murugaiyah & Chan 2009), antimikroba (Mathur
2012), dan lain sebagainya.

Analisis Sidik Jari KLT


Prosedur
Preparasi sampel : Sebanyak 1 g simplisia sampel ditambahkan 10
mL metanol dan disonikasi selama 30 menit.
Selanjutnya campuran disaring dan filtrat
digunakan sebagai larutan uji.
Preparasi standar : Larutan standar filantin dan hipofilantin dibuat
dengan konsentrasi 5 ppm dalam metanol.

48
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Preparasi : Larutan pendeteksi dibuat dengan mencampurkan


pendeteksi 0.5 mL anisaldehida, 10 mL asam asetat glasial, 5
mL asam sulfat pekat dan 85 mL metanol.
Pelat KLT : Pelat KLT silika gel 60 F254
Aplikasi sampel : Sampel dan standar diaplikasikan pada pelat KLT
dalam bentuk pita dengan lebar 7 mm, jarak antar
pita 5 mm, 10 mm dari sisi bawah dan 15 mm
dari sisi kiri dan kanan pelat. Jumlah sampel dan
standar yang diaplikasikan sebanyak 15 µL.
Sistem kromatografi
Tipe bejana : Twin Through Chamber
Penjenuhan : 30 menit
Larutan : Kloroform-diklorometana (9:1)
pengembang
Jarak : 85 mm dari posisi aplikasi sampel
pengembangan
Derivatisasi : Pelat dicelupkan ke dalam larutan pendeteksi
bercak dan dikeringkan dalam oven 1050C selama
15 menit.
Dokumentasi : Dokumentasi dilakukan di bawah sinar tampak

Hasil
Gambar 15 menunjukkan sidik jari KLT meniran dan daun petai cina
yang memiliki bentuk daun yang mirip dengan meniran.

49
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

(a)

(b)

50
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Keterangan
Lajur Sampel
1 Herba P. niruri (Gunung Kidul, Yogyakarta)
2 Herba P. debilis (Cianjur, Jawa Barat)
3 Daun Leucaena leucocephala (Bogor, Jawa Barat)
4 Daun Leucaena leucocephala (Boyolali, Jawa Tengah)
5 Daun Leucaena leucocephala (Sukabumi, Jawa Barat)
6 (a) filantin (b) hipofilantin
7 Herba P. niruri (Bogor, Jawa Barat)
8 Herba P. niruri (Ponorogo, Jawa Timur)
9 Herba P. niruri (Kendal, Jawa Tengah)
10 Herba P. urinaria (Cianjur, Jawa Barat)
11 Herba P. urinaria (Cianjur, Jawa Barat)
Gambar 15 Sidik jari KLT dengan pereaksi pendeteksi anisaldehida di
lihat pada sinar tampak (a) daun meniran dan petai cina
serta (b) herba meniran dan daun petai cina

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan membandingkan hasil dengan
Sidik jari KLT pembanding untuk meniran hijau (Gambar 15). Tambahan
pita dengan intensitas lemah mungkin dapat terjadi. Dengan menggunakan
pereaksi anisaldehida yang dilihat pada sinar tampak, sampel meniran
hijau akan memperlihatkan pita berwarna abu-abu gelap yang jelas (Rf
~ 0.37) yang merupakan pita hipofilantin. Selain itu juga terdapat pita
berwarna biru pias (Rf ~ 0.28) yang merupakan pita filantin.
Metode ini dapat digunakan untuk identifikasi meniran hijau (P.
niruri) setelah dibandingkan dengan profil pemisahan tumbuhan yang
berkerabat dekat (P. urinaria dan P. debilis) maupun yang mirip bentuk
daunnya yaitu L. leucocephala. Pita hipofilantin lebih jelas terlihat pada P.
niruri dibandingkan dengan P. urinaria dan P. debilis, sedangkan pada L.
leucocephala tidak terdapat pita hipofilantin. Selain itu, pita filantin hanya
dapat terlihat sebagai pita berwarna biru pias pada meniran hijau.

51
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Pustaka
Ahmeda A, Ismail Z, Gabriel A. 2005. Antioxidants properties of Phyllanthus
niruri extracts. Malaysian Journal of Science. 24(1): 195–200.
Calixto JB, Santos AR, Cechinel Filho V, Yunes RA. 1998. A review of the
plants of the genus Phyllanthus: their chemistry, pharmacology, and
therapeutic potential. Medical Research Review. 18: 225–258.
Gunawan I, Bawa I, Sutrisnayanti N. 2008. Isolasi dan identifikasi senyawa
terpenoid yang aktif antibakteri pada herba meniran (Phyllanthus
niruri Linn). Jurnal Kimia. 12: 31–39.
Harish R, Shivanandappa T. 2006. Antioxidant activity and hepatoprotective
potential of Phyllanthus niruri. Food Chemistry. 95: 180–185.
Jose J, Sudhakaran S, Kumar S, Jayaraman S, Jayadevi V. 2014. Study
of in vitro immunomodulatory effect of flavonoid isolated from
Phyllanthus niruri on human blood lymphocytes and evaluation of
its antioxidant potential. International Joutnal of Pharmacognosy
and Phytochemical Research. 6(2): 284–289.
Kardinan A, Kusuma FR. 2004. Meniran Penambah Daya Tahan Tubuh
Alami. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka
Munjrekar AP, Jisha V, Bag PP, Adhikary B, Pai MM, Hegde A, Nandini M.
2008. Effect of Phyllanthus niruri Linn. treatment on liver, kidney
and testes in CCl4 induced hepatotoxic rats. Indian Journal of
Experimental Biology. 46: 514–520.
Murugaiyah V, Chan KL. 2009. Mechanism of antihyperuricemics effect
of Phyllanthus niruri L. and its lignin constituents. Journal of
Ethnopharmacology. 124(2): 233–239.
Okoli CO, Obidike IC, Ezike AC, Akah PA, Salawu OA. 2011. Studies on the
possible mechanisms of antidiabetic activity of extract of aerial parts
of Phyllanthus niruri. Pharmaceutical Biology. 49: 248–255.

52
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Pegagan
(Centella asiatica)
AU Fatahillah, W T Wahyuni, M Rafi

Deskripsi Tanaman
Pegagan (Centella asiatica)
merupakan tumbuhan dengan
penyebaran yang sangat luas,
terutama daerah tropis seperti
Indonesia. Tumbuhan ini tumbuh
subur pada ketinggian 100–2.500
m di atas permukaan laut, di
daerah terbuka dan di tempat yang
lembap atau terlindung, seperti
Gambar 16 Pegagan pematang sawah, tegalan, dan di
bawah pohon (Mora & Fernando
2012). Pegagan merupakan herba tahunan, tanpa batang tetapi dengan
rimpang pendek dan stolon-stolon yang merayap dengan panjang sekitar
10–80 cm. Daunnya tunggal yang tersusun dalam roset yang terdiri dari
2–10 daun, kadang-kadang agak berambut, tangkai daun panjang sampai
50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar, dan bundar dengan garis tengah
1–7 cm, pinggir daun beringgit sampai beringgit-bergerigi, terutama ke
arah pangkal daun (Gambar 16). Perbungaan berupa payung tunggal atau
3–5 bersama-sama keluar dari ketiak daun kelopak, gagang perbungaan
5–50 mm, lebih pendek dari tangkai daun. Bunga umumnya 3, yang
ditengah duduk, yang disamping bergagang pendek, daun pelindung 2,
panjang 3–4 mm, bentuk bundar telur, tajuk berwarna merah lembayung,
panjang 1–1,5 mm, dan lebar sampai 0,75 mm. Buah pipih, lebar lebih
kurang 7 mm, dan tinggi lebih kurang 3 mm, berlekuk dua, jelas berusuk,
berwarna kuning kecokelatan, serta berdinding agak tebal (Backer & van
den Brink Jr 1963).

53
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Kandungan Senyawa Kimia


Pegagan telah diketahui memiliki senyawa kimia dari berbagai macam
kelas senyawa dengan yang utama yaitu terpena. Triterpena termasuk
ke dalam kelas mayor pada pegagan. Senyawa utama yang termasuk
ke dalam kelas triterpena tersebut yaitu asiatikosida, madekasosida,
asam asiatat, dan asam madekasat (Schaneberg et al. 2002; Hashim
et al. 2011). Triterpena lainnya yang berhasil diidentifikasi pada
pegagan yaitu asam madasiatat, asam betulinat, asam thankunat, asam
isothankunat, asam brahmat, centellin, centellisin, asiatisin, bayogenin,
asam terminolat, asam 3β,6β,23-trihidroksiolean-12-en-28-oat, asam
3β,6β,23-trihidroksiurs-12-en-28-oat, asam 3-O-[α-L-arabinofuranosil]
2α,3β,6β,23-α tetrahidroksiurs-12-en-28-oat, centellasapogenol A,
centellasaponin A-D, asam ursolat, asam pomolat, asam 3-epimaslinat,
23-O-asetilmadekasosida, dan 23-O-asetilasiatikosida B (Brinkhaus et al.
2000; Orhan 2012).
Selain itu pegagan juga mengandung senyawa golongan flavonoid
seperti kuersetin, kaempferol, patuletin, rutin, apigenin, kastiliferol,
kastilisetin, dan mirisetin (Brinkhaus et al. 2000; Orhan 2012). Senyawa
lainnya yang juga berhasil diidentifikasi pada pegagan yaitu sterol seperti
sitosterol dan stigmasetrol (Srivastava & Shukla 1996; Rumalla et al.
2010), serta kastasteron (Sondhi et al. 2010), maupun asam fenolat
seperti asam rosmarinat (Yoshida et al. 2005), turunan asam kuinat, dan
asam klorogenat (Subban et al. 2008)

Aktivitas Farmakologi
Secara tradisional pegagan digunakan untuk mengobati batuk, susah
tidur, tuberkulosa, peluruh air seni, kencing darah, sariawan, demam,
nafsu makan berkurang, luka kulit, pembengkakan hati, campak, bisul,
mimisan, amandel, radang tenggorokan, bronkhitis, tekanan darah tinggi,
wasir, keracunan, cacingan, sakit perut, epilepsi, kesuburan wanita,
keputihan, antitumor, pegal linu, asma, lepra, demam, dan penambah
darah (Nooryati 2007; BPOM 2010).
Aktivitas biologis pegagan telah banyak dilaporkan, seperti antioksidan
(Jayashree et al. 2003), efek pelindung tukak lambung (Cheng et al. 2003),

54
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

mencegah kerusakan kulit (Sommerfeld 2007), antiinflamasi (Li et al.


2009), antitumor (Pittella et al. 2009), dapat meningkatkan memori dan
fungsi saraf (Soumyanath et al. 2011), hepatoprotektif (Pingale 2008),
antikonvulsan (Sudha et al. 2002), imunostimulan (Wang et al. 2003),
kardioprotektif (Gnanapragasam et al. 2004), dan antibakteri (Zaidan et
al. 2005).

Analisis Sidik Jari KLT


Prosedur
Preparasi sampel : Sebanyak 1 g simplisia sampel ditambahkan 10
ml metanol dan disonikasi selama 30 menit.
Selanjutnya campuran disaring dan filtrat
digunakan sebagai larutan uji.
Preparasi standar : Larutan standar asiatikosida dibuat dengan
konsentrasi 1200 µg/mL dalam metanol.
Preparasi pendeteksi : Pereaksi Liebermann-Burchard dibuat dengan
mencampurkan 1 mL asam sulfat pekat dan 20
mL anhidrida asetat ke dalam 79 mL kloroform
Pelat KLT : Pelat KLT silika gel 60 F254
Aplikasi sampel : Sampel dan standar diaplikasikan pada pelat
KLT dalam bentuk pita dengan lebar 6 mm,
jarak antar pita 5 mm, 10 mm dari sisi bawah,
sisi kiri dan kanan pelat. Jumlah sampel dan
standar yang diaplikasikan sebanyak 8 µL dan
3.3 µL
Sistem kromatografi
Tipe bejana : Twin Through Chamber
Penjenuhan : 30 menit
Larutan pengembang : Kloroform-metanol-asam asetat (6.4: 3.5: 0.1)
Jarak pengembangan : 80 mm dari posisi aplikasi sampel
Derivatisasi : Pelat dicelupkan ke dalam larutan pendeteksi
bercak dan dikeringkan dalam oven dengan
suhu 100oC selama 20 menit
Dokumentasi : Dokumentasi dilakukan di bawah sinar UV 366
nm

55
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Hasil
Gambar 17 menunjukkan sidik jari KLT pegagan dengan daun
antanan air (Hydrocotyle verticillata) dan semanggi gunung (Hydrocotyle
sibthorpioides) yang memiliki bentuk daun hampir mirip dengan
pegagan.

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7
(a) (b)
Keterangan
Lajur Sampel
1 C. asiatica
2 H. verticillata
3 H. sibthorpioide
4 asiatikosida
5 C. asiatica (umur tanaman 3 bulan)
6 C. asiatica (umur tanaman 4 bulan)
7 C. asiatica (umur tanaman 5 bulan)

Gambar 17 Sidik jari KLT pegagan menggunakan pereaksi Liebermann


Burchard untuk pendeteksi pita yang dilihat di bawah (a) UV
366 nm (b) sinar tampak

56
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan membandingkan hasil dengan
sidik jari KLT pembanding untuk pegagan (Gambar 17). Tambahan pita
dengan intensitas lemah mungkin dapat terjadi. Dengan menggunakan
pereaksi Lieberman Burchard sampel pegagan akan memperlihatkan pita
berwarna biru terang (UV 366 nm) dan abu-abu yang pias (Rf ~ 0.51) yang
merupakan pita asiatikosida.
Metode ini dapat digunakan untuk identifikasi pegagan setelah
dibandingkan dengan profil pemisahan tumbuhan yang berkerabat dekat
yaitu antanan air dan semanggi gunung. Pita asiatikosida terlihat jelas pada
pegagan dan tidak terdeteksi pada antanan air dan semanggi gunung.

Pustaka
Backer CA, van den Brink B. 1963. Flora of Java (Spermatophytes only)
Volume II. Groningen: P Nordhoff.
[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2010. Pegagan (Centella
asiatica (L) Urban). Jakarta: Direktorat Obat Asli Indonesia BPOM
RI.
Brinkhaus B, Lindner M, Schuppan D, Hahn EG. 2000. Chemical,
pharmacological and clinical profile of the East Asian medicinal
plant Centella asiatica. Phytomedicine. 7(5): 427–448.
Cheng CL, Guo JS, Luk J, Koo MWL. 2004. The healing effects of Centella
extract and asiaticoside on acetic acid induced gastric ulcers in rats.
Life Sciences. 74: 2237–2249.
Gnanapragasam A, Kumar Ebenezar K, Sathish V, Govindaraju P, Devaki
T. 2004. Protective effect of Centella asiatica on antioxidant tissue
defense system against adriamycin induced cardiomyopathy in rats.
Life Sciences. 76(5): 585–597.
Hashim P, Sidek H, Helme M, Sabery A, Palanisamy UD, Ilham M. 2011.
Triterpene composition and bioactivities of Centella asiatica.
Molecules. 16: 1310–1322.
Jayashree G, Muraleedhara GK, Sudarslal S, Jacob VB. 2003. Antioxidant
activity of Centella asiatica on lymphoma-bearing mice. Fitoterapia.
74: 431–434.

57
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Li H, Gong X, Zhang L, Zhang Z, Luo F, Zhou Q, Chen J, Wan J. 2009.


Madecassoside attenuates inflammatory response on collagen-
induced arthritis in DBA/1 mice. Phytomedicine. 16: 538–546.
Mora E, Fernando A. 2012. Optimasi ekstraksi triterpenoid total pegagan
[Centella asiatica (Linn.) Urban] yang tumbuh di Riau. Jurnal
Penelitian Farmasi Indonesia. 1(1): 11–16.
Nooryati. 2007. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jakarta (ID):
Sunda Kelapa Pustaka.
Orhan IE. 2012. Centella asiatica (L.) Urban: from traditional medicine to
modern medicine with neuroprotective potential. Evidence Based
Complementary Alternative Medicines Article ID 946259.
Rumalla CS, Ali Z, Weerasooriya AD, Smillie TJ, Khan IA. 2010. Two new
triterpene glycosides from Centella asiatica. Planta Medica. 76(10):
1018–1021.
Pittella F, Dutra RC, Junior DD, Lopes MTP, Barbosa NR. 2009. Antioxidant
and cytotoxic activities of Centella asiatica (L) Urb. International
Journal of Molecular Sciences. 10: 3713–3721.
Pingale SS. 2008. Evaluation of effect of Centella asiatica on CCl4 induced
rat liver damage. Pharmacology Online. 3: 537–543.
Schaneberg BT, Mikell JR, Bedir E, Khan IA. 2002. An improved HPLC
method for quantitative determination of six triterpenes in Centella
asiatica extracts and commercial products. Pharmazie. 58: 381–
384.
Sommerfeld B. 2007. Randomised, placebo-controlled, double-blind,
split-face study on the clinical efficacy of tricutanR on skin firmness.
Phytomedicine. 14: 711–715.
Sondhi N, Bhardwaj R, Kaur S, Chandel M, Kumar N, Singh B. 2010. Inhibition
of H2O2-induced DNA damage in single cell gel electrophoresis
assay (comet assay) by castasterone isolated from leaves of Centella
asiatica. Health. 2(6): 595–602.
Soumyanath A, Zhong YP, Henson E, Wadsworth T, Bishop J, Gold BG,
Quinn JF. Centella asiatica extract improves behavioral deficits in
a mouse model of alzheimer’s disease: investigation of a possible
mechanism of action. International Journal of Alzheimer’s Disease.
Article ID 381974.

58
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Srivastava R, Shukla YN. 1996. Some chemical constituents from Centella


asiatica. Indian Drugs. 33(5): 233–234.
Subban R, Veerakumar A, Manimaran R, Hashim KM, Balachandran I.
2008. Two new flavonoids from Centella asiatica (Linn.). Journal of
Natural Medicines. 62(3): 369–373.
Sudha S, Kumaresan S, Amit A, David J, Venkataraman BV. 2002.
Anticonvulsant activity of different extracts of Centella asiatica and
Bacopa monnieri in animals. Journal of Natural Remedies. 2(1): 33–
41.
Yoshida M, Fuchigami M, Nagao T, Okabe H,  Matsunaga K,  Takata
J,  Karube Y,  Tsuchihashi R,  Kinjo J,  Mihashi K,  Fujioka T. 2005.
Antiproliferative constituents from umbelliferae plants VII. Active
triterpenes and rosmarinic acid from Centella asiatica. Biological
and Pharmaceutical Bulletin. 28(1): 173–175.
Wang XS, Dong Q, Zuo JP, Fang JN. 2003. Structure and potential
immunological activity of a pectin from Centella asiatica (L.) Urban.
Carbohydrate Research. 338(22): 2393–2402.
Zaidan MR, Noor Rain A, Badrul AR, Adlin A, Norazah A, Zakiah I. 2005. In
vitro screening of five local medicinal plants for antibacterial activity
using disc diffusion method. Tropical Biomedicine. 22(2): 165–170.

59
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Sambiloto
(Andrographis paniculata)
I Shofa, ED Purwakusumah, M Rafi

Deskripsi Tanaman
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dapat ditemukan di
berbagai negara karena tanaman ini dapat tumbuh di semua jenis tanah.
Sambiloto (Gambar 18) dapat tumbuh mencapai ketinggian 60–70 cm.
Batangnya berkayu dan memiliki banyak cabang (monopodial). Daunnya
tunggal saling berhadapan silang dengan pangkal dan ujung yang runcing,
tepi daun rata dan permukaannya halus, berwarna hijau. Panjang daunnya
sekitar 2–8 cm dan lebarnya 1–3 cm. Bunganya berbibir berwarna putih
keunguan dan berbentuk tabung kecil (Subramanian et al. 2008).

Gambar 18 Sambiloto

Kandungan Senyawa Kimia


Kandungan senyawa bioaktif pada sambiloto termasuk dalam kelas
diterpenoid lakton dan flavonoid (Widyawati 2007). Komponen utama
dari sambiloto yaitu andrografolida dan turunannya. Selain itu, dalam
sambiloto juga terdapat alkaloid, polifenol, dan saponin (Mahendra
2005).

60
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Aktivitas Farmakologi
Di Indonesia, herba sambiloto telah digunakan untuk pengobatan
demam, sebagai tonik, dan mengobati gatal-gatal pada kulit (BPOM
2006). Tumbuhan ini mempunyai aktivitas biologis yang luas seperti yang
telah dilaporkan oleh beberapa hasil penelitian yaitu antibakteri (Singha
et al. 2003), antiinflamasi (Sheeja et al. 2006), antioksidan, antioedema,
analgesik (Lin et al. 2009), antidiare (Gupta et al. 1993), antivirus (Wiart
et al. 2005), antimalaria (Zein et al. 2013), antikanker (Kumar et al. 2004),
antihiperglikemik (Reyes et al. 2006), hepatoprotektor (Kapil et al. 1993),
dan imunostimulan (Kumar et al. 2004).

Analisis Sidik Jari KLT


Prosedur
Preparasi sampel : Sebanyak 1 g simplisia sampel ditambahkan
10 mL metanol dan disonikasi selama 30
menit. Selanjutnya campuran disaring
dan filtrat digunakan sebagai larutan uji.
Preparasi standar : Larutan standar andrografolida dibuat dengan
konsentrasi 1.000 µg/mL dalam metanol.
Preparasi pendeteksi : Sejumlah 10 mL asam sulfat pekat ditambahkan
pada campuran 170 mL metanol dan 20 mL asam
asetat glasial, kemudian campuran tersebut
ditambahkan dengan 1 mL anisaldehida.
Pelat KLT : Pelat KLT silika gel 60 F254
Aplikasi sampel : Sejumlah 15 μL larutan sampel dan standar
diaplikasikan pada pelat KLT dalam bentuk pita
dengan lebar 8 mm dengan jarak antar pita 5 mm,
10 mm dari sisi bawah, dan 5 mm dari sisi atas pelat.
Sistem kromatografi

Tipe bejana : Twin trough chamber


Penjenuhan : 30 menit
Larutan pengembang : Kloroform-metanol (9.5: 0.5)
Jarak pengembangan : 80 mm dari posisi aplikasi sampel

61
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Derivatisasi : Pelat disemprot dengan larutan anisaldehida


untuk mendeteksi bercak dan dikeringkan
dalam oven 105 0C selama 10 menit.
Dokumentasi : UV 254 nm (pelat tanpa larutan pendeteksi)

Di bawah sinar tampak (pelat yang disemprot


dengan larutan pendeteksi)

Hasil
Gambar 19 di bawah ini menunjukkan sidik jari KLT daun, batang, dan
akar sambiloto.

(a)

(b)
Lajur Sampel
1 Andrografolida
2 Daun sambiloto (Bogor, Jawa Barat)
3 Batang sambiloto (Bogor, Jawa Barat)
4 Akar sambiloto (Bogor, Jawa Barat)
5 Daun sambiloto (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta)

62
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Lajur Sampel
6 Batang sambiloto (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta)
7 Akar sambiloto (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta)
8 Daun sambiloto (Solo, Jawa Tengah)
9 Batang sambiloto (Solo, Jawa Tengah)
10 Akar sambiloto (Solo, Jawa Tengah)
11 Daun sambiloto (Sukoharjo, Jawa Tengah)
12 Batang sambiloto (Sukoharjo, Jawa Tengah)
13 Akar sambiloto (Sukoharjo, Jawa Tengah)
14 Daun sambiloto (Boyolali, Jawa Tengah)
15 Batang sambiloto (Boyolali, Jawa Tengah)
16 Akar sambiloto (Boyolali, Jawa Tengah)

Gambar 19 Sidik jari KLT sambiloto dengan deteksi (a) UV 254 nm dan
(b) disemprot menggunakan pereaksi anisaldehida dilihat di
bawah sinar tampak

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan membandingkan hasil dengan sidik
jari KLT pembanding untuk sambiloto (Gambar 19). Tambahan pita dengan
intensitas lemah mungkin dapat terjadi. Deteksi menggunakan UV 254 nm
maupun pereaksi anisaldehida, sampel sambiloto akan memperlihatkan
pita berwarna hitam (UV 254 nm) dan ungu gelap (anisaldehida) (Rf ~ 0.1)
yang merupakan pita andrografolida.

Pustaka
[BPOM-RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
(2006). Serial Data Terkini Tumbuhan Obat: Sambiloto. Andrographis
paniculata (Burm. F.) Ness. Jakarta: BPOM RI.
Gupta S, Yadava JNS, Tandon JS. 1993. Antisecretory (antidiarrhoeal)
activity of Indian medicinal plants against Escherichia coli
enterotoxin-induced secretion in rabbit and guinea pig ileal loop
models. Pharmaceutical Biology. 31: 198–204.
Kapil A, Koul IB, Banerjee SK, Gupta BD. 1993. Antihepatotoxic effects

63
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

of major diterpenoid constituents of Andrographis paniculata.


Biochemical Pharmacology. 46: 182–185.
Kumar RA, Sridevi K, Kumar NV, Nanduri S, Rajagopal S. 2004. Anticancer
and immunostimulatory compounds from Andrographis paniculata.
Journal of Ethnopharmacology. 92: 291–295.
Lin FL, Wu SJ, Lee SC, Ng LT. 2009. Antioxidant, antioedema and analgesic
activities of Andrographis paniculata extracts and their active
constituent andrographolide. Phytoteraphy Research. 23: 958–964.
Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Reyes BA, Bautista ND, Tanquilut NC, Anunciado RV, Leung AB, Sanchez
GC,  Magtoto RL,  Castronuevo P,  Tsukamura H, Maeda, KI. 2006.
Antidiabetic potentials of Momordica charantia and Andrographis
paniculata and their effects on estrous cyclicity of alloxan-induced
diabetic rats. Journal of Ethnopharmacology. 105: 196–200.
Singha PK, Roy S, Dey S. 2003. Antimicrobial activity of Andrographis
paniculata. Journal of Ethnopharmacology. 74: 692–694.
Sheeja K, Shihab PK, Kuttan G. 2006. Antioxidant and antiinflammatory
activities of the plant Andrographis paniculata Nees.
Immunopharmacology and Immunotoxicology. 28: 129–140.
Subramanian R, Azmawi MZ, Sadikun A. 2008. In vitro a-glucosidase and
a-amylase enzyme inhibitory effects of Andrographis paniculata
extract and andrografolid. Acta Biochimica Polonica. 55: 391–398.
Wiart C, Kumar K, Yusof MY, Hamimah H, Fauzi ZM, Sulaiman M. 2005.
Antiviral properties of ent-labdane diterpenes of Andrographis
paniculata Nees. inhibitors of herpes simplex virus type I.
Phytotherapy Research.19: 1069–1070.
Widyawati T. 2007. Aspek farmakologi sambiloto (Andrographis paniculata
Nees). Majalah Kedokteran Nusantara. 40: 216–222.
Zein U, Fitri LE, Saragih A. 2013. Comparative study of antimalarial effect
of sambiloto (Andrographis paniculata) extract, chloroquine and
artemisinin and their combination against Plasmodium falciparum
in vitro. Acta Medica Indonesiana. 45: 38–43.

64
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Kumis Kucing
(Ortosiphon stamineus)
D.A. Septaningsih, E.D. Purwakusumah, M. Rafi

Deskripsi Tanaman
Tanaman kumis kucing dapat ditemukan pada daerah yang teduh tidak
telalu kering. Kumis kucing (Gambar 20) mempunyai ciri semak pendek
dengan ketinggian 0.3–1 m. Batang kumis kucing memiliki bulu halus dan
agak berkayu. Daun tanaman ini berbentuk bundar, sedikit lonjong dan
memanjang 2–4 cm dengan tepi daun bergerigi dan berbulu halus, serta
ujung dan pangkalnya meruncing. Bunga tersusun dalam bentuk tandan
dalam jumlah banyak, berwarna putih atau keunguan. Buahnya keras,
memanjang serta berkerut halus.

Gambar 20 Kumis kucing

Kandungan Senyawa Kimia


Kandungan senyawa pada kucing kucing termasuk dalam golongan
polimetoksilat flavonoid, fenilpropanoid (turunan asam kafeat), terpenoid
(terutama diterpena dan triterpena), steroid, saponin, glikosida, dan
karbohidrat (Maltured et al. 1989). Flavonoid yang terdapat pada
ekstrak daun O. stamineus adalah eupatorin, 3’-hidroksi-5,6,7,4’-

65
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

tetrametoksiflavon, termasuk sinensetin yang telah diketahui sebagai


senyawa penciri dari kumis kucing (Akowuah et al. 2004; Loon et al. 2005)
Senyawa siphonol dari jenis terpenoid ditemukan dalam kumis kucing
dari Indonesia, selain senyawa orthosiphol (Takeda et al. 1993). Olah et
al. (2003) menunjukan kandungan senyawa asam kafeat, asam sikorat,
asam rosmarinat sebagai golongan fenilpropanoid pada kumis kucing.

Aktivitas Farmakologi
Kumis kucing telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
sebagai pengobatan radang ginjal, batu ginjal, albuminuria, kencing manis,
rematik, menurunkan kadar gula, dan syphilis. Kumis kucing memiliki
aktivitas biologis sebagai formula untuk penyembuhan diabetes (Mohamed
et al. 2011), diuretik (peluruh urin), antihipertensi (Matsubara et al. 1999;
Ohashi et al. 2000), antiinflamasi (Hsu et al. 2010), antioksidan (Pratiwi et
al. 2010), antibakteri (Ho et al. 2010), kardioprotektif (Maheshwari et al.
2011), antiangiogenik, dan antitumor (Ahamed et al. 2012).

Analisis Sidik Jari KLT


Prosedur
Preparasi sampel : Sebanyak 0.5 g simplisia sampel ditambahkan
10 mL metanol dan disonikasi selama 30
menit. Selanjutnya campuran disaring
dan filtrat digunakan sebagai larutan uji.
Preparasi standar : Larutan standar sinensetin dibuat dengan
konsentrasi 200 ppm dalam metanol.
Preparasi : Larutan pendeteksi A dibuat dengan
pendeteksi melarutkan 0.1 g Asam difenilboronat
amino etil ester dalam 20 mL etil asetat.

Larutan pendeteksi B dibuat dengan


melarutkan 1 g Polietilena glikol 400
(macrogol) dengan 20 mL diklorometana.
Pelat KLT : Pelat KLT silika gel 60 F254

66
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Aplikasi sampel : Sampel dan standar diaplikasikan pada pelat


KLT dalam bentuk pita dengan lebar 8 mm,
jarak antarpita 4 mm, 10 mm dari sisi bawah,
serta 10 mm dari sisi kiri dan kanan pelat.

Jumlah sampel dan standar yang


diaplikasikan sebanyak 15 µL dan 3 µL
Sistem
kromatografi
Tipe bejana : Twin Trough Chamber
Penjenuhan : 30 menit
Larutan : kloroform: heksana : etil asetat (1:2:2)
pengembang
Jarak : 80 mm dari posisi aplikasi sampel
pengembangan
Derivatisasi : Pelat dipanaskan dalam oven 105 oC selama
3 menit kemudian dalam keadaan panas
dicelupkan ke dalam larutan pendeteksi A
dikeringkan dalam suhu kamar. Setelah kering
pelat dicelupkan pada larutan pendeteksi B.
Dokumentasi : Dokumentasi dilakukan di bawah UV 254 nm, 366 nm,
dan sinar tampak

67
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Hasil
Gambar 21 menunjukkan sidik jari KLT kumis kucing dari beberapa daerah
dan Gambar 22 menunjukan sidik jari KLT kumis kucing dengan bandotan,
dandang gendis dan teh tehan yang memiliki bentuk daun yang hampir mirip
dengan kumis kucing.

1 2 3 4 5 6 7
Gambar 21 Sidik jari KLT pemisahan kumis kucing dari beberapa daerah
(1 = kumis kucing putih dari Bandung, 2 = kumis kucing ungu
dari Bandung, 3 = Bogor, 4 = sinensetin, 5 = kumis kucing
putih dari Jember, 6 = kumis kucing putih dari Pekalongan, 7
= kumis kucing putih dari Tuban)

68
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

Lajur Sampel Rf
1 Bandotan (Ageratum conyzoides) -
2 Dandang gendis (Clinacanthus nutans L.) -
3 Sinensetin 0.29
4 Kumis Kucing (Ortosiphon stamineus) 0.29
5 Teh-tehan (Duranta Erecta) -

Gambar 22 Sidik jari KLT pemisahan kumis kucing dengan sinar UV 254
nm (a), sinar UV 366 nm (b), dan pereaksi natural product di
bawah sinar UV 366 nm (c)

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan membandingkan sidik jari KLT
kumis kucing dengan pembanding standar sinensetin (Gambar 20). Pita
yang dapat membedakan senyawa sinensetin dengan senyawa lain adalah
pita warna biru (Rf ~ 0.29) yang dihasilkan di bawah UV 254 nm. Warna
biru yang lebih cerah dihasilkan pada UV 366 nm.
Profil pemisahan kumis kucing yang berasal dari beberapa daerah
menunjukan hasil yang tidak berbeda signifikan. Perbedaan yang terlihat
adalah dari intensitas warna pita yang dihasilkan. Tambahan pita dengan
intensitas lemah mungkin dapat terjadi. Sampel kumis kucing dari daerah
Pekalongan dan Tuban memiliki intensitas warna untuk senyawa sinensetin
yang lebih rendah. Hal ini dapat menduga kandungan sinensetinnya lebih
kecil dibandingkan dari daerah lainnya.

69
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Deteksi Senyawa Palsu


Metode spesifik dilakukan untuk membedakan kumis kucing dengan
sampel lain yang memiliki bentuk daun yang hampir sama (bandotan,
dandang gendis dan teh-tehan). Setiap sampel mempunyai sidik jari yang
berbeda (Gambar 21). Tanaman bandotan menunjukan pita yang yang
sama seperti standar sinensetin dan kumis kucing (Rf ~ 0.29) dengan
pendeteksi natural produk di bawah UV 366 nm. Namun pada UV 254
nm menegaskan pita tersebut tidak terlihat sehingga senyawa sinensetin
hanya dimiliki pada kumis kucing dan sebagai penciri dalam membedakan
dengan sampel yang lain.

Pustaka
Ahamed MBK, Aisha AFA, Nassar ZD, Siddiqui JM, Ismail Z, Omari SMS,
Parish CR, Majid AMSA. 2012. Cat’s whiskers tea (Orthosiphon
stamineus) extract inhibits growt of colon tumor in nude mice
and angiogenesis in endothelial cells via suppressing VEGFR
phosphorylation. Nutrition and Cancer. 64: 89–99.
Akowuah GA, Zhari I, Norhayati I, Sadikun A, Khamsah SM. 2004.
Sinensetin, eupatorin, 3’-hydroxyl-5,6, 7, 4’-tetramethoxyflavone
and rosmarinic acid contents and antioxidative effect of Orthosiphon
stamineus from Malaysia. Food Chemistry. 87: 559–566.
Ho CH, Noryati I, Sulaiman SF, Rosma A. 2010. In vitro antibacterial and
antioxidant activities of Orthosiphon stamineus Benth. extracts
against food-borne bacteria. Food Chemistry. 122: 1168.
Hsu CL, Hong BH, Yu YS, Yen GC. 2010. Antioxidant and Anti-Inflammatory
Effects of Orthosiphon aristatus and Its Bioactive Compounds.
Journal of Agricultural and Food Chemistry. 58 (4): 2150–2156.
Loon YH, Wong, JW, Yap SP, Yuen, KH. 2005. Determination of flavonoids
from Orthosiphon stamineus in plasma using a simple HPLC method
with ultraviolet detection. Journal of Chromatography. 816: 161–
166.

70
Bab 4
Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis

Maheshwari C, Umadevi M, Anudeepa J, Ramya R, Narayanan RV. 2011.


Cardioprotective Effect of Orthosiphon stamineus on Isoproterenol
Induced Myocardial Infarction in Rat. International Journal of
Pharmacy and Technology. 3: 2896–2904.
Malterud KE, Hanche-Olsen IM, Smith-Kielland I. 1989. Flavonoids from
Orthosiphon spicatus. Planta Medica. 55: 569–570.
Matsubara T, Bohgaki T, Watarai M, Suzuki H, Ohashi K, Shibuya H.
1999. Antihypertensive actions of methylripariochromene A from
Orthosiphon aristatus, an Indonesian traditional medicinal plant.
Biological and Pharmaceutical Bulletin. 22(10): 1083–1088.
Mohamed EA, Mohamed AJ, Asmawi MZ, Sadikun A, Ebrika OS, Yam MF.
2011. Antihyperglycemic Effect of Orthosiphon Stamineus Benth
Leaves Extract and Its Bioassay-Guided Fractions. Molecules. (16):
3787–3801.
Ohashi K, Bahgaki T, Shibuya H. 2000. Antihypertensive Substance in
the leaves of Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) in Java Island.
Yakugaku Zasshi Journal Pharmaceutical Society. 120(5) : 474–482.
Olah NK, Radu L, Mogosan C, Hanganu D, Gocan S. 2003.Phytochemicals
and pharmacological studies on OrthosiphonstamineusBenth
(Lamiacece) hydroalcoholic extract. Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Analysis. 33: 117–123.
Pratiwi P, Surezy M, Cahyono B. 2010. Total Fenolat dan Flavonoid dari
ekstrak dan fraksi daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus
B.) Jawa Tengah serta aktivitas antioksidan. Jurnal Sains dan
Matematika. 18: 140–148.
Takeda Y, Matsumoto T, Terao H, Shingu T, Futatsuishi Y, Nohara T,
Kajimoto T. 1993. Orthosiphol D And E, Minor Diterpenes From
Orthosiphon-stamineus. Phytochemistry. 33(2): 411–415.

71
Indeks

A D
Afinitas 23 dandang gendis 34, 68, 69, 70
aktivitas 3, 9, 17, 21, 24, 26, 38, 43, Densitometer 32, 33
48, 54, 61, 66, 71
Derivatisasi 23, 24, 27, 28, 31, 32,
andrografolid 64 33, 39, 44, 49, 55, 62, 67
Andrographis paniculata 60, 63, deskripsi tanaman 37, 42, 47, 53,
64 60, 65
Anisaldehida 31, 32, 38, 40, 45, 49, Diklorometana 30, 44, 49, 66
51, 61, 62, 63
Diskriminasi 22
Asam asetat 30, 38, 49, 55, 61
Dokumentasi 28, 32, 33, 39, 44, 49,
Asam sulfat 31, 38, 43, 49, 55, 61 55, 62, 67
asiatikosida 54, 55, 56, 57

E
B Eluen 29, 31
bandotan 34, 68, 69, 70 Elusi 22, 31
Bejana 23, 39, 44, 49, 55, 61, 67 Etil asetat 30, 33, 39, 66, 67
Bioaktif 1, 5, 17, 22, 60
Biologis 17, 21, 24, 26, 54, 61, 66 F
Farmakologi 38, 43, 48, 54, 61, 64,
C 66

Centella asiatica 53, 57, 58, 59 Fase diam 23, 27, 29, 30, 31, 33

Curcuma Xanthorrhiza Roxb. 45, Fase gerak 23, 25, 27, 29, 30, 33
46 fast blue 31, 32
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

filantin 48, 51 Kendali mutu 5, 16, 17, 18, 21, 22,


Fitofarmaka 2 23, 24, 25, 26, 27, 29, 31, 33,
35
Fitokimia 4, 5, 10, 15, 17, 18, 22
Keragaan 1, 3, 5
Formulasi 22, 27
Ketersalinan 29, 31
Khasiat 3, 7, 8, 9, 16, 17, 21, 27
G Kimiawi 1, 2, 3, 4, 5
GACP 10, 14, 16
Kloroform 30, 39, 44, 49, 55, 61,
GAP 10, 15, 16 67
Gingerol 38, 40 KLT 12, 18, 19, 22, 23, 24, 25, 26,
GMP 10 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34,
38, 39, 40, 43, 44, 45, 48, 49,
GPAIP 10
51, 55, 56, 57, 61, 62, 63, 66,
67, 68, 69
H KLT-KT 12, 18, 29, 34
Heksana 30, 33, 39, 67 Konsistensi 11, 14, 16, 21, 26, 27
Herbal 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, Kromatografi 5, 9, 11, 12, 16, 17,
12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 18, 22, 23, 25, 29, 31, 39, 44,
21, 22, 24, 26, 27, 35 49, 61, 67,
hipofilantin 48, 51 Kromatografi lapis tipis 2, 4, 8, 10,
12, 14, 16, 18, 19, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
J 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
Jahe 32, 37, 38, 39, 40 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
Jarak 23, 31, 39, 44, 49, 55, 61, 67 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
Jati belanda 33 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71
Kualitas 4, 5, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14,
K 16, 17, 21, 22, 24, 27
Keamanan 7, 8, 9, 13, 16, 17, 21, Kumis kucing 34, 65, 66, 68, 69, 70,
27 71
kurkuminoid 43, 45

74
Indeks

L Pemalsuan 8, 10, 15, 22


Pemisahan 22, 23, 25, 26, 29, 30,
Liebermann-Burchard 55
31, 32, 51, 57, 68, 69
pendeteksi 26, 38, 39, 40, 43, 44,
M 45, 49, 51, 55, 56, 61, 62, 66,
67, 70
Meniran 15, 47, 48, 49, 51, 52
produk 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
Metabolomis 22
16, 17, 21, 22, 24, 26, 27, 34,
Metanol 30, 38, 43, 48, 49, 55, 61, 70
66
Penapisan 21
Mutu 5, 9, 10, 16, 17, 18, 21, 22,
Penciri 2, 14, 22, 24, 26, 32, 48, 66,
23, 24, 25, 26, 27, 29, 31, 33,
70
35
Pendeteksi 26, 38, 39, 40, 43, 44,
morfologi 13, 14, 34
45, 49, 51, 55, 56, 61, 62, 66,
67, 70
N petai cina 15, 49, 51
natural product 19, 31, 69 Phyllanthus niruri 47, 52
O Pita 23, 26, 27, 28, 30, 32, 39, 40,
Obat 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 44, 45, 49, 51, 55, 56, 57, 61,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 63, 67, 69, 70
22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
30, 31, 33, 35, 36, 38, 48, 57,
58, 63, 64
R
Resolusi 22, 23, 25, 30
Ortosiphon stamineus 65, 69

P S
Sambiloto 60, 61, 62, 63, 64
Pegagan 14, 32, 53, 54, 56, 57, 58
Senyawa 2, 3, 4, 5, 9, 12, 14, 15, 16,
Pelarut 23, 28, 29, 31
17, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
pelat 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 29, 30, 31, 32, 33, 38, 43, 45,
38, 39, 43, 44, 49, 55, 61, 62, 47, 48, 52, 54, 60, 65, 66, 69,
66, 67 70

75
ATLAS
Kromatografi Lapis Tipis Tumbuhan Obat Indonesia

Sidik jari 5, 9, 12, 15, 16, 17, 18, 19,


21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 33,
U
34, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, UV 12, 18, 19, 26, 32, 33, 39, 40,
45, 47, 48, 49, 51, 53, 55, 56, 55, 56, 57, 62, 63, 67, 69, 70
57, 59, 61, 62, 63, 65, 66, 67,
68, 69, 70, 71
Silika 23, 29, 30, 33, 38, 43, 49, 55,
V
61, 66 Validasi 33, 34

Simplisia 15, 38, 43, 48, 55, 61, 66 Vanilin 32, 33, 45

Sinensetin 34, 66, 68, 69, 70


Spektroskopi 5, 9, 11, 12, 15, 17, X
18 Xanthorizol 45
Spesies 4, 11, 13, 15, 16, 17, 34
Spot 30, 32, 45 Z
stabilitas 17, 22, 24, 26, 27, 31, 34
Zingiber officinale Rosc. 40
Standardisasi 5, 7, 8, 9, 11, 12, 13,
Zona 25
14, 15, 16, 17, 19, 21, 22, 27

T
TCM 22, 35
Teh-tehan 34, 69, 70
Temulawak 14, 22, 32, 42, 43, 44,
45, 46
Terapetik 2, 3, 17
tumbuhan 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28,
29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36,
38, 40, 42, 44, 46, 47, 48, 50,
51, 52, 53, 54, 56, 57, 58, 60,
61, 62, 63, 64, 66, 68, 70
twin trough chamber 61, 67

76

Anda mungkin juga menyukai