Bab 9 Kejahatan Kerah Putih Pencegahan Dan Penindakan PDF
Bab 9 Kejahatan Kerah Putih Pencegahan Dan Penindakan PDF
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Setelah membaca bab ini diharapkan pembaca akan memahami:
- Pemahaman dan pengenalan akan kejahatan kerah putih
- Tanda – tanda terjadinya kejahatan kerah putih
- Pencegahan kejahatan kerah putih
- Pendeteksian kejahatan kerah putih
- Peran akuntan dalam pendeteksian kejahatan kerah putih
- Implementasi pencegahan dan penindakan kejahatan kerah putih
1. PENDAHULUAN
Istilah kejahatan kerah putih (white collar crime) pertama kali dikemukakan
oleh Edwin H. Sutherland (President of the American Sociological Society) pada
tahun 1939 (Geis, G., and R. F. Meier, 1977). Pada saat itu Sutherland
mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai “kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang yang sangat terhormat dan berstatus sosial tinggi di dalam
pekerjaannya.” Kegiatan kriminal tersebut dapat terjadi di dalam perusahaan,
perdagangan, kalangan profesional, atau kehidupan politik. Association of
Certified Fraud Examiner (ACFE), 2011 dalam Fraud Examiners Manual
menyatakan bahwa istilah kejahatan kerah putih itu disamakan dengan kecurangan
(fraud).
Saat ini kejahatan kerah putih ini sudah merambah di hampir seluruh negara di
dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari perbuatan kejahatan kerah putih.
ACFE, 2012 di dalam Report to the Nations menyatakan bahwa berbagai
kejahatan kerah putih ini telah menimbulkan kerugian di tahun 2011 sebesar US$
3.5 trillion (atau ±Rp. 30.000 triliun). Jumlah yang sangat fantastis. Oleh
karenanya pada bab terakhir dari buku ini perlu para akuntan ataupun mahasiswa
akuntansi memahami seluk beluk tentang kejahatan kerah putih. Bab ini dimulai
dengan menjelaskan tentang pemahaman dan pengenalan akan kejahatan kerah
putih, serta tanda – tanda terjadinya kejahatan kerah putih. Selanjutnya bab ini
akan menguraikan tentang pencegahan dan pendeteksian terhadap kejahatan kerah
putih. Pembahasan selanjutnya tentang peran akuntan dalam pendeteksian
kejahatan kerah putih serta standar akuntansi dan auditing dalam pendeteksian dan
pencegahan kecurangan. Bab ini diakhiri dengan penjelasan tentang implementasi
pencegahan dan penindakan kejahatan kerah putih.
Gambar 9.1
Pohon Kejahatan Kerah Putih (Kecurangan)
Corruption Asset
t Financial Statement
Misappropriation Fraud
Timing Timing
Purchasing Invoice Differences Differences
Schemes Kickbacks
Fictitious Understated
Revenues Revenues
Sales Bid Rigging
Schemes Concealed Overstated
Liabilities & Liabilities &
Expenses Expenses
Improper
Disclosures
Forged
Overstated Endorse False
Unrecorded Write off Non- Falsified False
Expense ment Refunds
Sales Schemes Accomplice Wages Purchasing and
Vendor Receiving
Fictitious Altered
Understated Lapping Commission Expense Payee
Sales Schemes Personal Unconcealed
Schemes
Purchases Larceny
Multiple Authorized
Unconcealed Reimbursements Maker
Penjelasan: (berdasarkan definisi ACFE, 2012)
1) Kejahatan kerah putih dibagi menjadi tiga (3) kelompok, yaitu:
a) Korupsi (Corruption), yaitu skema kejahatan kerah putih, dimana seorang
karyawan secara tidak benar menggunakan pengaruhnya di dalam transaksi
bisnis dengan cara yang melanggar tugasnya kepada atasannya yang secara
langsung atau tidak langsung memperoleh manfaat.
b) Penyalahgunaan Kekayaan (asset misappropriation), yaitu skema kejahatan
kerah putih, dimana seorang karyawan mencuri atau secara tidak benar
menggunakan kekayaan atau sumber daya organisasi.
c) Kecurangan Laporan Keuangan (financial statement fraud), yaitu skema
kejahatan kerah putih, dimana seorang karyawan secara sengaja menimbulkan
salah saji atau menghilangkan informasi yang material di dalam laporan
keuangan organisasi.
• Skema Larceny
Skema larceny ini khususnya persediaan dilakukan setelah kekayaan
tersebut dicatat dalam pembukuan perusahaan. Pencurian persediaan ini
dilakukan dengan tanpa upaya untuk menyembunyikan atau mengubah
catatan atau pembukuan organisasi, semisal dengan cara membuat
dokumen palsu. Skema larceny persediaan ini seringkali dilakukan oleh
karyawan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan persediaan atau
aktiva lainnya serta dilakukan secara gampang. Yang menjadi masalah
adalah bahwa banyak kejadian pencurian ini jarang dilaporkan. Ironisnya
lagi, pencurian tesebut dilakukan oleh karyawan yang dipercaya oleh
atasan dalam organisasi. Hal ini dikarenakan, dengan kepercayaan yang
diperoleh pelaku, pencuri dapat melakukan berbagai akses, sehingga
pencurian yang dilakukannya lama baru diketahui.
Pada saat ini bentuk kejahatan kerah putih yang paling besar merugikan
masyarakat adalah kecurangan laporan keuangan. ACFE, 2012 di dalam Report to
the Nations menyatakan bahwa berbagai kejahatan kerah putih ini telah
menimbulkan kerugian di tahun 2011 sebesar US$ 3.5 trillion (atau ±Rp. 30.000
triliun).
Skema kecurangan laporan keuangan
Kecurangan dalam laporan keuangan lazimnya terdiri dari
• Memperbesar (overstate) aktiva, penjualan, dan laba; serta
• Memperkecil (understate) hutang, biaya, dan kerugian
A.Penjualan Fiktif
Penjualan fiktif melibatkan penjualan barang atau jasa yang tidak terjadi dengan
sebenarnya. Penjualan palsu ini dapat melibatkan pelanggan yang palsu ataupun
pelanggan yang sebenarnya. Misalnya faktur palsu dapat disiapkan (tapi tidak
dikirimkan) untuk pelanggan yang sebenarnya meski barangnya tidak dikirimkan.
Pada awal periode akuntansi berikutnya, dibuat jurnal pembalik atas penjualan
tersebut untuk menyembunyikan kecurangan. Namun konsekuensinya terdapat
penurunan penjualan pada awal periode akuntansi berikutnya. Metode yang lain
adalah dengan cara menggunakan pelanggan yang sebenarnya dan secara artifisial
meningkatkan nilai penjualan yang mencerminkan jumlah dan nilai yang lebih
besar dari nilai yang sebenarnya dijual.
Bila salah satu dari kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka terjadilah pengakuan
pendapatan secara prematur. Contoh – contoh pengakuan pendapatan secara
premature adalah sebagai berikut.
Contoh tidak adanya bukti yang menyakinkan adanya transaksi penjualan
9 Persetujuan dilakukan secara tidak tertulis atau secara lisan;
9 Terdapat kebiasaan memberikan persetujuan lisan tanpa persetujuan tertuli;
9 Terdapat pesanan tertulis tetapi hal ini tergantung pada penjualan kepada
pembeli akhir (seperti penjualan konsinyasi);
9 Terdapat pesanan tertulis tetapi disertai dengan hak untuk mengembalikan;
9 Transaksi dengan pihak yang terkait yang tidak diungkap secara jelas.
1. Penilaian Persediaan
Pada berbagai negara, standar akuntansi menyatakan bahwa persediaan harus
dicatat pada “the lower cost or market value.” Ini artinya persediaan harus dinilai
atas dasar nilai perolehan, terkecuali bila cost nya dinilai lebih tinggi dari nilainya
saat ini. Mencatat nilai persediaan lebih rendah menghasilkan overstatement nilai
aktiva serta menimbulkan penandingan yang keliru antara harga pokok penjualan
dengan pendapatan. Metode lain untuk mencatat nilai persediaan secara tidak
tepat adalah dengan memanipulasi jumlah fisik persediaan, meningkatkan biaya
per unit persediaan, serta memasukkan persediaan secara keliru ke dalam harga
pokok penjualan. Dapat juga dilakukan dengan memasukkan persediaan fiktif
dengan menciptakan dokumen palsu.
3. Kombinasi/Penggabungan Bisnis
Bila perusahaan mengambil alih atau membeli perusahaan yang lain, maka dia
diminta untuk mencatat atas dasar harga perolehannya. Kelebihan atas harga
perolehan tersebut harus dicatat sebagai goodwill. Dikarenakan nilai goodwill ini
sangat relatif, maka penentuan besarnya goodwill ini merupakan sumber untuk
melakukan manipulasi besarnya penilaian aktiva.
2.Penyuapan (bribery)
Banyak penyuapan diketahui atau terdeteksi dari informasi yang diberikan oleh
rekan sejawat atau bawahannya yang jujur. Informasi tersebut dapat juga berasal
dari pemasok yang kemungkinan kalah tender.
Tanda – tanda dari penerima suap adalah:
• Pemboros (big spender). Umumnya penerima suap adalah orang yang boros.
Mereka sering kali membeli dan memakai barang – barang mewah.
• Pengambil hadiah (the gift taker). Seorang pejabat atau eksekutif yang secara
teratur menerima hadiah yang tidak pantas sering kali merupakan seseorang
yang suka menerima suap.
• Pasangan yang “aneh” (the odd couple). Penerima dan pemberi suap sering
kali muncul bersama dalam hubungan persahabatan sosial. Kontak – kontak di
luar yang sering terjadi antara pasangan yang sering tidak muncul di muka
umum ini dapat merupakan tanda adanya hubungan yang bermasalah dari
penerima dan pemberi suap.
• Pelawan aturan (the rule breaker). Ini merupakan ciri yang penting dari
seorang suka menerima suap. Seorang penerima suap seringkali langsung atau
tidak langsung menentang atau mengabaikan prosedur operasional standar
atau aturan agar dia atau pemberi suap dapat melaksanakan kegiatan suap.
• Tukang mengeluh (the complainer). Penerima suap sering kali mengeluh atas
segala hal yang terjadi dalam organisasi atau perusahaan. Keluhan ini
mencakup fasilitas dan gaji, peraturan dan prosedur, serta lain – lain.
• Serakah (greed). Seorang penerima suap sering kali bersikap serakah.
Tanda – tanda dari pemberi suap adalah:
Sebagaimana penerima suap, pemberi suap memiliki ciri – ciri sebagai berikut:
• Pembawa hadiah (the gift bearer). Seorang pemberi suap lazimnya sudah
terbiasa untuk menawarkan hadiah yang tidak benar, serta memberikan
jamuan bisnis yang mewah.
• Faktor reputasi (the reputation factor). Seorang pemberi suap biasanya sudah
diketahui secara umum khususnya di dunia usaha bahwa dia memang
memiliki reputasi sebagai pemberi suap.
• Pemenang tender yang sangat sukses (the too-successful bidder). Seorang
yang secara terus menerus memenangkan tender lazimnya mendapatkan
kemenangan dengan cara memberikan suap.
• Kualitas buruk, harganya mahal (poor quality, higher prices). Pemberi suap
lazimnya mempunyai kegiatan usaha yang kualitas produk/jasanya buruk,
tetapi harganya lebih mahal dibandingkan dengan produk/jasa sejenis.
3. Gratifikasi ilegal ( illegal gratuities)
Lazimnya tanda – tanda dari penerima dan pemberi gratifikasi illegal adalah sama
dengan tanda – tanda penerima dan pemberi suap. Pada skenario gratifikasi ilegal
keputusan untuk melaksanakan penerimaan atau pemberian gratifikasi adalah
demi keuntungan seseorang atau perusahaan tertentu. Sekilas skema pemberian
gratifikasi ilegal ini tidak merugikan keputusan bisnis sepanjang tidak
berpengaruh pada aktivitas usaha. Namun banyak kebijakan etika perusahaan
yang melarang karyawannya untuk menerima hadiah yang tidak tercatat dari para
pemasoknya.
Selain tanda – tanda di atas terdapat pula tanda – tanda yang lain, yaitu:
• Sering tidak puas dengan atasan atau perusahaan;
• Tidak pernah mengambil masa cuti;
• Mempunyai masalah keuangan atau hutang;
• Menunjukkan sifat – sifat dari permasalahan psikologis;
• Secara terus menerus mengeluh tentang atasan atau perusahaan;
• Menunjukkan sifat – sifat perilaku yang dikaitkan dengan egoistis;
• Menolak pindah, promosi, atau tawaran pekerjaan yang lain
Bila dirinci lebih lanjut, tanda – tanda dari penyalahgunaan kekayaan yang
penting, yang dapat dijelaskan adalah sebagai berikut:
• Skimming
Skimming adalah bentuk penyalahgunaan kekayaan yang dilakukan dengan
mengambil kekayaan organisasi sebelum dicatat dalam pembukuan. Tanda –
tanda terjadinya skimming ini antara lain adalah:
o Realisasi pendapatan lebih rendah dari yang diproyeksikan;
o Laba atau laba kotor sebenarnya lebih rendah dari yang diproyeksikan;
o Keluhan pelanggan atas pengiriman pembayaran yang sudah lama,
tetapi tidak diikuti dengan pemberitahuan adanya penerimaan
pembayaran;
o Peningkatan jumlah umur piutang dari pelanggan.
• Cash larceny
Tanda – tanda adanya penyalahgunaan kekayaan dalam bentuk cash larceny
(pencurian uang kas setelah dicatat di pembukuan) adalah:
o Terjadinya penurunan uang kas atau di bank yang tidak lazim atau
tidak dapat dijelaskan;
o Terjadinya perbedaan catatan kas/bank dengan saldo rekening yang
ada di bank, yang tidak lazim, serta tidak dapat dijelaskan oleh staf
pengelola;
o Terjadinya perubahan gaya hidup dari pengelola atau petugas
pencatatan kas atau bank.
• Shell company
Pada shell company, pelaku kecurangan membuat perusahaan fiktif untuk
mengalihan uang perusahaan kepada dirinya sendiri atau kelompoknya. Tanda
– tanda adanya penyalahgunaan dalam bentuk shell company di antaranya
adalah:
o Penggunaan alamat atau kotak pos hanya untuk pemasok tertentu;
o Tidak adanya data kontak yang memadai dengan shell company;
o Alamat pemasok sama dengan alamat tempat tinggal karyawan;
o Tidak adanya Nomor Pokok Wajib Pajak dari shell company;
o Item – item yang dibeli tidak lazim atau “aneh”
• Karyawan Fiktif (Ghost Employee)
Karyawan hantu dibuat oleh pelaku kecurangan dengan menambahkan
karyawan fiktif pada file gaji. Selanjutnya pelaku kecurangan mengelola
pembayaran gaji dari karyawan fiktif tersebut untuk dirinya sendiri atau
kelompoknya. Tanda – tanda adanya karyawan fiktif ini antara lain adalah:
o Peningkatan pengeluaran gaji yang tidak dapat dijelaskan atau tidak
lazim;
o Pembayaran check gaji kepada karyawan yang:
Tidak pernah mengambil cuti;
Tidak pernah absen karena sakit;
Tidak pernah dibebani pajak gaji;
Tidak ada potongan gaji;
Mempunyai alamat yang sama dengan karyawan lain;
Tidak memiliki nomor telepon.
Di samping hal di atas tanda – tanda kecurangan laporan keuangan yang lain
adalah:
• Adanya ancaman terhadap stabilitas keuangan atau kemampuan perusahaan
mendapatkan laba dari kondisi perekonomian, industri, maupun internal
organisasi;
• Tekanan yang berlebihan pada manajemen untuk mencapai target keuangan
yang sangat tinggi;
• Adanya bukti bahwa direksi atau dewan komisaris mempunyai ketergantungan
keuangan secara pribadi pada kinerja organisasi atau perusahaan;
• Adanya transaksi atau hubungan yang rumit dengan pihak ketiga;
• Pemantauan yang tidak efektif dari manajemen ataupun dewan komisaris;
• Struktur organisasi yang kompleks atau tidak stabil;
• Pengawasan internal yang tidak efektif, khususnya atas ketentuan pelaporan;
• Peningkatan laba kotor yang tidak masuk akal, khususnya bila dibandingkan
dengan perusahaan sejenis;
• Terjadinya arus kas operasi yang negatif secara terus menerus;
• Laba yang besarnya tidak biasa, serta besarnya di atas rata – rata laba dari
perusasahaan atau industri sejenis;
• Adanya transaksi – transaksi yang luar biasa dengan pihak yang mempunyai
kaitan dengan organisasi atau perusahaan, khususnya pada akhir tahun fiskal
atau pembukuan;
• Adanya penjualan dalam jumlah besar kepada perusahaan yang substansi atau
pemiliknya tidak diketahui;
• Pertumbuhan yang luar biasa dari anak perusahaan.
1. Tekanan (Pressure)
Kejahatan kerah putih dapat dilakukan untuk menguntungkan diri pribadi
pelakunya atau bagi organisasi tempat dia bekerja. Karyawan yang melakukan
kejahatan kerah putih dengan cara menggelapkan kekayaan organisasi atau
perusahaan, lazimnya dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi pelaku atau
kelompoknya. Sebaliknya kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh manajemen
dengan cara menipu para pemegang saham, investor, atau kreditor dengan cara
memanipulasi laporan keuangan. Kejahatan tersebut selain menguntungkan
organisasi juga menguntungkan pribadi manajemen.
Gambar 9.2
Segitiga Kejahatan Kerah Putih (Fraud Triangle)
Pressure
Tekanan
Kejahatan
Kerah Putih
Opportunity Rationalization
Peluang Pembenaran
Pada bagian ini akan dijelaskan tekanan – tekanan yang memotivasi seseorang
untuk melakukan kejahatan kerah putih. Tekanan ini dapat dikelompokkan
menjadi empat (4) unsur yaitu 1) Tekanan Keuangan; 2) Tekanan Kelemahan
Moral; 3) Tekanan yang Berkaitan dengan Pekerjaan; serta 4) Tekanan Lain.
• Tekanan Keuangan
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa 95% kejahatan kerah putih terjadi
karena tekanan keuangan dan tekanan akibat kelemahan moral (Albrecht, et
all., 2009). Tekanan keuangan yang umum terjadi yang menimbulkan
kejahatan kerah putih adalah:
o Sifat serakah;
o Pola hidup melebihi kemampuan pendapatannya;
o Hutang pribadi yang terlampau besar;
o Kerugian keuangan secara pribadi; serta
o Kebutuhan keuangan yang tidak terduga duga.
2. Peluang (Opportunity)
Selain tekanan, kejahatan kerah putih dapat terjadi kalau terdapat peluang. Paling
sedikit terdapat enam (6) faktor peluang yang memungkinkan seseorang
melakukan kejahatan kerah putih. Faktor – faktor tersebut adalah: 1) Langkanya
pengawasan yang mencegah dan mendeteksi perilaku kejahatan kerah putih; 2)
Ketidak mampuan untuk memutuskan kualitas kinerja; 3) Kegagalan untuk
mendisiplinkan pelaku kejahatan kerah putih; 4) Langkanya akses informasi; 5)
Ketidaktahuan, sikap apatis, atau tidak mampu; 6) Langkanya tindakan
pemeriksaan.
• Langkanya Pengawasan
Tidak adanya pengawasan atau pengendalian dalam suatu organisasi menjadi
penyebab terbesar adanya kejahatan kerah putih. Menurut COSO (Committee
of Sponsoring Organizations) terdapat lima (5) unsur kerangka kerja
pengendalian internal. Dari kelima unsur tersebut yang penting adalah:
i) Lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian ini terdiri dari peran
manajemen dalam pengelolaan usaha, komunikasi yang dilakukan
manajemen, penerimaan karyawan yang benar, struktur organisasi yang
jelas, serta adanya departemen audit internal yang efektif.
ii) Sistem akuntansi. Adanya sistem akuntansi yang baik harus menjamin
bahwa transaksi – transaksi dalam organisasi atau perusahaan dicatat dan
diinformasikan dengan benar.
iii) Aktivitas pengawasan. Pengendalian internal akan berjalan dengan baik
bila dalam organisasi atau perusahaan terdapat kegiatan pengawasan yang
dilaksanakan secara kontinyu. Di samping itu pengawasan harus dilakukan
oleh orang yang benar – benar memiliki kualifikasi untuk itu.
Kejahatan kerah putih sering terjadi bila ketiga unsur tersebut tidak ada atau
tidak dijalankan dengan baik dalam organisasi atau perusahaan.
3.Pembenaran (Rationalization)
Selain tekanan dan peluang, kejahatan kerah putih terjadi bila terdapat
pembenaran atau rasionalisasi atas tindakannya. Hampir semua kejahatan kerah
putih melibatkan unsur pembenaran. Banyak para pelaku kejahatan kerah putih
pada awalnya adalah bukan pelaku berbagai kejahatan yang lain. Oleh karenanya
mereka harus mencari pembenaran atas tindak kejahatan kerah putihnya.
Pembenaran yang umumnya digunakan oleh para pelaku kejahatan kerah putih
adalah:
• Saya melakukan hal ini, karena organisasi mempunyai hutang kepada saya;
• Saya hanya meminjam uang dan saya akan mengembalikannya;
• Tidak ada seorang pun yang dirugikan atas tindakan ini;
• Saya pantas menerima lebih banyak dibandingkan dengan yang saya terima
saat ini;
• Hal ini dilakukan untuk tujuan yang baik;
• Pembukuan diperbaiki begitu perusahaan mengalami kesulitan keuangan;
• Ada yang menderita karena hal ini yaitu integritas dan reputasi saya.
Para pelaku kejahatan kerah putih yang melakukan pembayaran pajak secara tidak
benar sering kali memiliki pembenaran atas tindakannya, sebagai berikut:
• Saya sudah membayar pajak yang lebih besar daripada yang seharusnya;
• Para orang kaya tidak cukup membayar pajak;
• Pemerintah tidak menggunakan uang pajak dengan benar;
• Para birokrat ternyata mengkorup uang rakyat yang dibayar melalui pajak.
Menetapkan harapan yang tepat merupakan sarana yang kuat dalam memotivasi
karyawan untuk berperilaku jujur. Salah satu cara untuk menciptakan dan
mengkomunikasikan harapan yang jelas, yang dapat diterima atau yang tidak dapat
diterima ini adalah dengan memiliki kode etik.
Kebijakan kedua untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif adalah dengan
memiliki kebijakan keterbukaan atau kemudahan melakukan akses. Kebijakan
keterbukaan ini dapat mencegah terjadinya kejahatan kerah putih dengan dua (2) cara,
yaitu: (1) Banyak orang melakukan kejahatan kerah putih karena mereka tidak
mempunyai orang lain untuk berbicara atau berdiskusi; (2) Kebijakan keterbukaan
membuat manajemen dan pihak lain menjadi paham atau menyadari permasalahan,
tekanan, serta pembenaran dari para karyawannya.
Cara ketiga untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif adalah dengan memiliki
kebijakan sumber daya manusia serta operasional yang positif. Ketidak pastian akan
keamanan dan kepastian kerja, manajemen yang tidak memperhatikan kejujuran, gaji
yang tidak cukup, tidak adanya pengakuan akan kinerja karyawan, perasaan adanya
ketidak samaan dalam organisaisi, serta berbagai unsur yang lain merupakan faktor
yang dapat menghambat terciptanya lingkungan kerja yang positif. Oleh karenanya,
adanya kebijakan sumber daya manusia serta operasional yang positif merupakan
bagian penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang positif.
Tabel 9.1
Menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, serta sikap saling membantu
Tabel 9.2
Jenis – Jenis Aktivitas Pengendalian
Jenis Pengendalian Kegiatan Pengendalian
Pengawasan Pencegahan (Preventive Controls) 1. Pemisahan tugas
2. Sistem kewenangan
3. Pengamanan secara fisik
Pengawasan Penindakan (Detective Controls) 1. Pemeriksaan independen
2. Pendokumentasian dan Pencatatan
1. Anomali Akuntansi
Gejala – gejala kejahatan kerah putih dalam bentuk anomali akuntansi pada
umumnya melibatkan permasalahan yang berkaitan dengan dokumen sumber,
pencatatan di buku harian atau jurnal yang salah, serta ketidakakuratan pencatatan
di buku besar atau ledger. Gejala – gejala yang berkaitan dengan dokumen sumber
adalah termasuk dokumen – dokumen seperti check, faktur penjualan, order
pembelian, permintaan pembelian, serta laporan penerimaan barang.
Termasuk dalam anomali akuntansi ini adalah adanya dokumen yang hilang, item
– item yang sudah lama pada rekonsiliasi bank, pembatalan atau pengkreditan
yang sangat berlebihan, nama – nama atau alamat konsumen yang sangat umum,
tanda tangan yang aneh pada dokumen, serta dokumen yang berbentuk fotokopi.
Di samping itu pencatatan atau jurnal yang salah juga merupakan gejala – gejala
dari adanya kejahatan kerah putih. Pencatatan atau penjurnalan yang keliru ini
memungkinkan munculnya penggelapan atas kekayaan organisasi.
Demikian pula ketidakakuratan pencatatan pada buku besar dapat merupakan
petunjuk adanya kejahatan kerah putih. Hal ini ditunjukkan dengan buku besar
yang tidak seimbang antara sisi debet dan sisi kredit. Total neraca saldo tidak
sama dengan jumlah saldo dari masing – masing akun buku besar.
3. Anomali analisis
Gejala – gejala kejahatan kerah putih dari hasil analisis adalah prosedur atau
hubungan yang tidak lazim atau begitu tidak realistis untuk dapat dipercaya. Hal
ini termasuk transaksi atau kejadian yang terjadi pada saat atau tempat yang aneh;
atau termasuk prosedur, kebijakan, atau praktik yang aneh. Gejala – gejala ini
termasuk transaksi dan jumlah yang begitu besar atau begitu kecil yang sering
atau jarang sekali terjadi. Pada dasarnya gejala – gejala analitis ini menunjukkan
adanya sesuatu yang luar biasa. Gejala – gejala ini muncul secara tidak terduga.
Contoh gejala – gejala ini adalah:
• Kelangkaan atau koreksi persediaan yang tidak dapat dijelaskan;
• Penyimpangan dari spesifikasi;
• Barang sisa yang meningkat tajam;
• Terjadi memo debit atau memo kredit yang begitu banyak;
• Peningkatan atau penurunan saldo, rasio, atau hubungan yang begitu besar;
• Ketidaknormalan secara fisik;
• Kekurangan atau kelebihan uang kas;
• Pembebanan dalam jumlah besar yang terlambat dilakukan;
• Keluar masuknya (turnover) pejabat eksekutif yang tinggi;
• Berbagai hubungan laporan keuangan yang aneh.
Gambar 9.3
Signal Perilaku dari Pelaku Kejahatan Kerah Putih
Rasa Bersalah
• Insomenia (sulit tidur);
• Menjadi pemabok;
• Menjadi pecandu narkotik;
• Sulit untuk bersikap santai;
Ketakutan • Cepat marah;
• Menjadi pemalu di antara kawan sekerja;
• Menjadi defensif serta suka berargumen;
• Menjadi agresif dalam menyatakan pendapat;
Stress • Mengakui perbuatannya (kepada ulama atau orang
lain);
• Secara obsesif merenungkan konsekuensi
tindakannya;
Perubahan • Berpikir untuk mencari alasan serta kambing
Perilaku hitam;
• Banyak mengeluarkan keringat.
Gambar 9.4
Model Pendeteksian Kejahatan Kerah Putih
Tahap 2 Tahap 3
Tahap 1 Identifikasi Katalogisasi
Tahap Analitis Pemahaman kemungkinan kemungkinan gejala
Bisnisnya terjadinya kejahatan – gejala kejahatan
kerah putih kerah putih
Tahap 4
Menggunakan Tahap 5 Prosedur
Tahap Teknologi teknologi untuk Menganalisis Pendeteksian
mendapatkan data Hasil secara
tentang gejala - gejala Otomotif
Tahap 6
Tahap Investigasi Melakukan Tindak Lanjut
Investigasi
Gejala - Gejala
Selama tahapan ini, pemeriksa kejahatan kerah putih harus melakukan brainstorm
atau diskusi antar mereka tentang tipe atau pelaku kejahatan kerah putih. Berbagai
kemungkinan kejahatan kerah putih harus dipertimbangkan, dan akhirnya harus
dibuat daftar kemungkinan kejahatan kerah putih serta diidentifikasi atau dipantau
gejala – gejalanya.
6.1 Pendahuluan
ACFE, 2012 di dalam Report to the Nations menyatakan bahwa sebagian
besar kejahatan kerah putih terjadi di departemen akuntansi dari suatu organisasi
atau perusahaan. Berbagai kasus kejahatan kerah putih seperti kasus Enron,
WorldCom dan lain – lain secara langsung atau tidak langsung melibatkan
akuntan, baik akuntan di internal organisasi atau perusahaan maupun akuntan
eksternal yang bertugas sebagai auditor independen. Hal ini menunjukkan bahwa
akuntan cukup berperan baik secara “positif” maupun secara “negatif” dalam
melakukan kejahatan kerah putih.
Peran akuntan dalam ikut serta melakukan kejahatan kerah putih tercermin
dalam survei yang dilakukan oleh Gallup, 2005. Gallup, 2005 melakukan
penelitian untuk memperingkat standar kejujuran dan etika dari dua puluh satu
(21) profesi di USA. Survey dilakukan dengan responden masyarakat di USA
dengan pertanyaan – pertanyaan tentang perilaku dari dua puluh satu profesi.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hanya enam (6) profesi yang
mempunyai peringkat standar tinggi dan sangat tinggi dalam hal kejujuran dan
etika. Secara berurutan yang paling tinggi adalah perawat, selanjutnya adalah
apoteker, dokter, guru, polisi, serta rohaniawan. Profesi akuntan berada pada
peringkat sembilan (9). Posisi peringkat yang paling bawah adalah salesman
mobil serta telemarketer. Gallup, 2005 mencatat bahwa peringkat profesi akuntan
ini semakin menurun, dikarenakan berbagai skandal keuangan yang terjadi pada
awal abad 2000 an, seperti skandal Enron, WorldCom dengan keterlibatan kantor
akuntan publik Arthur Anderson.
Sebenarnya tanggung jawab akuntan, khususnya auditor dalam mendeteksi
kejahatan kerah putih telah diatur. Namun tanggung jawab auditor tersebut tidak
pernah menjadi isu yang jelas dan penting bagi masyarakat, pemerintah, ataupun
bagi auditor itu sendiri. Para pembuat peraturan dan pemerintah telah mencoba
untuk menetapkan tanggung jawab tersebut secara definitif, namun tugas tersebut
tidak mudah. Tanggung jawab para auditor keuangan (internal dan eksternal)
masih diragukan sejauh mana mereka secara legal dan profesional bertanggung
jawab untuk mendeteksi kajahatan kerah putih di saat mereka melakukan audit
keuangan. Hal ini tampak pada Standar Auditing (SA) yang dikeluarkan oleh IAI
Kompartemen Akuntan Publik, 2001. SA seksi 110 menyatakan:
Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk
memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah
saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat
bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan
memadai, namun bukan mutlak bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor tidak
bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh
keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau
kecurangan, yang material terhadap laporan keuangan.
Bila auditor mengetahui adanya contoh dan tanda – tanda kejahatan kerah putih,
maka auditor perlu melakukan langkah – langkah khusus, yaitu:
• Mendapatkan bukti – bukti tambahan;
• Mempertimbangkan dampak pada aspek – aspek yang lain dari audit;
• Mendiskusikan hal – hal dan pendekatan untuk kemungkinan melakukan
investigasi;
• Melakukan konsultasi dengan penasehat hukum.
7. IMPLEMENTASI PENCEGAHAN DAN PENDETEKSIAN KEJAHATAN
KERAH PUTIH
Kejahatan kerah putih saat ini telah menjadi bentuk kejahatan yang semakin
merambah di hampir seluruh negara di dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari
perbuatan kejahatan kerah putih. Selanjutnya kita akan menguraikan dan
membahas implementasi pencegahan dan penindakan kejahatan kerah putih pada
organisasi atau perusahaan. Pembahasan ini berdasarkan riset dan kajian di
berbagai negara yang membahas penelitian serta temuan tentang pencegahan dan
penindakan kejahatan kerah putih.
Schnatterly, K., 2003 menguraikan hasil penelitiannya, bahwa peningkatan
pencegahan dan pendeteksian kejahatan kerah putih dapat meningkatkan nilai
perusahaan. Menurutnya kejahatan kerah putih dapat merugikan perusahaan
sampai 1 – 6% dari nilai penjualan selama satu (1) tahun. Selain tata kelola yang
baik, kejelasan kebijakan dan prosedur, komunikasi antar perusahaan serta
pemberian gaji dan kompensasi kepada manajemen, dewan komisaris, serta para
karyawan lainnya atas dasar kinerja akan mengurangi kemungkinan terjadinya
kejahatan kerah putih.
Bressler, M.S., 2009 menjelaskan bahwa para sosiolog sejak abad ke 19 telah
melakukan penelitian tentang hubungan siklus dunia usaha dengan peningkatan
kejahatan. Menurutnya kamar dagang dan industri USA berpendapat bahwa
kejahatan kerah putih menjadi tiga puluh prosen (30%) kegagalan dalam dunia
usaha. Di samping berbagai variabel yang lain, berbagai resesi perekonomian
justru mempercepat terjadinya kejahatan kerah putih. Tindak pencegahan dan
pendeteksian kejahatan kerah putih merupakan tindakan yang murah untuk
mengurangi terjadinya kejahatan kerah putih.
Kassem R., and A. Higson, 2012 mencoba mengulas serta mengembangkan
model segitiga kejahatan kerah putih (fraud triangle) yang baru. Menurut mereka
kejahatan kerah putih merupakan topik yang menarik perhatian dari para pembuat
peraturan, auditor, serta masyarakat. Para auditor eksternal diminta untuk
mengambil peran yang penting dalam membantu perusahaan untuk mencegah dan
mendeteksi kejahatan kerah putih. Mendeteksi kejahatan kerah putih bukan
merupakan tugas yang mudah serta memerlukan pemahaman tentang hakekat dari
kejahatan kerah putih serta bagaiaman kejahatan tersebut dilakukan. Untuk itu
Kassem R., and A. Higson, 2012 menawarkan model fraud triangle yang baru
yang dapat membantu berbagai pihak, khususnya para auditor untuk memahami
hakekat dari kejahatan kerah putih. Secara ringkas model tersebut digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 9.5
Model Segitiga Kejahatan Kerah Putih Baru
(The New Fraud Triangle)
Motivasi
Kemampu
an Pelaku
Peluang Integritas
Pribadi
Menurut Kassem R., and A. Higson, 2012, dalam the new fraud triangle
kemampuan pelaku kejahatan kerah putih melakukan perbuatannya ditentukan
oleh adanya peluang (opportunity), integritas pribadi, serta motivasi untuk
melakukannya. Bila terdapat tiga (3) unsur ini maka terjadilah kejahatan kerah
putih yang disebut sebagai fraud diamond (permata kejahatan kerah putih).
Kejahatan kerah putih juga terjadi di berbagai negara maju maupun negara
berkembang. Terjadi juga di berbagai negara di Asia. Byington, J.R., and J.A.,
McGee, 2008 melakukan penelitian tentang kejahatan kerah putih di China.
Menurut mereka kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang sudah
sedemikian merasuk di China. Kejahatan kerah putih terjadi tidak hanya di
perusahaan, tetapi juga di pemerintahan. Berbagai hukuman mati dijatuhkan dan
dilaksanakan kepada para pelaku kejatahan kerah putih, namun kejahatan tersebut
masih terus terjadi. Salah satu penyebabnya menurut penulis adalah kurangnya
keterbukaan informasi melalui media dalam mengungkap berbagai kejahatan
kerah putih, khususnya yang dilakukan atau terjadi di pemerintahan.
Byington, J.R., and J.A., McGee, 2011 juga menjelaskan bahwa kejahatan
kerah putih banyak terjadi di Jepang. Pada bulan Maret 2011 terjadi gempa bumi
dan tsunami yang dahsyat di Jepang, serta meledaknya reaktor nuklir. Berbagai
kejadian tersebut mengakibatkan banyak perusahaan di Jepang bangkrut atau
menderita kerugian yang besar. Kejadian tersebut memberikan banyak peluang
bagi perusahaan – perusahaan di USA untuk melakukan investasi di Jepang.
Menurut Byington, J.R., and J.A., McGee, 2011 investasi tersebut bukan tanpa
risiko. Pada tahun 2009 Jepang disebut sebagai sarang kejahatan kerah putih yang
paling utama. Oleh karenanya, penulis ini menyarankan agar para pengusaha
berlaku hati – hati serta memberikan perhatian yang lebih tentang keberadaan
kejahatan kerah putih.
Dengan mengambil objek di Iran Salehi M., and Ali Mansoury, 2009
melakukan penelitian tentang hubungan antara besaran kantor akuntan publik,
regulasi audit, serta pendeteksiaan kejahatan kerah putih. Responden penelitian
yang valid sebanyak 180 partisipan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
akuntan publik di Iran di dalam mendeteksi kejahatan kerah putih ini ditentukan
oleh besarnya kantor akuntan publik tempat mereka bekerja, serta oleh aturan dan
regulasi yang mengawasi para akuntan publik di Iran.
Teguh Danarto, 2010 melakukan penelitian tentang hubungan antara korupsi
dan investasi masyarakat di tingkat perkotaan di Indonesia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hubungan antara korupsi dan investasi masyarakat itu
tergantung pada peringkat indeks korupsi. Jadi di wilayah perkotaan yang
peringkat indeks korupsinya rendah terjadi peningkatan investasi masyarakat.
Sebaliknya pada wilayah perkotaan yang peringkat indeks korupsinya tinggi,
maka investasi masyarakatnya rendah.
8. SIMPULAN
Kejahatan kerah putih (white collar crime) saat ini maupun di waktu yang
akan datang diperkirakan akan semakin meningkat. Selain korupsi, dan
penyalahgunaan kekayaan organisasi, bentuk lain dari kejahatan kerah putih yang
sangat merugikan adalah kecurangan laporan keuangan. Keberadaan laporan
keuangan yang curang ini tidak terlepas dari peran langsung atau tidak langsung
dari akuntan.
Dengan memahami bentuk – bentuk kejahatan kerah putih, berikut rinciannya
serta tanda – tandanya, maka seorang akuntan akan dapat berperan untuk
mencegah maupun mendeteksi terjadinya kejahatan kerah putih. Langkah untuk
mencegah terjadinya kejahatan kerah putih adalah dengan menciptakan budaya
kejujuran, keterbukaan, serta sikap saling membantu dan menghilangkan peluang
terjadinya kejahatan kerah putih.
KASUS:
Even though the effort to eradicate the white collar crime in Indonesia
especially the corruption has been implemented, the index of the corruption of
Indonesia is still low and bad. It means that the effort to eradicate is not successful.
Now the corruption eradication is emphasized in the detection aspect and not in
prevention aspect.
In the future, the eradication of the corruption besides through the detection,
the eradication through the prevention is more important. The prevention of the
corruption needs to be emphasized on education aspects especially the values learning
in higher education. Because of that, the effort and the support of the director general
of higher education of ministry of education and culture to prepare the anti-corruption
learning should be appreciated. However, the important thing is the practice of the
anti-corruption learning implementation and not the theoretical learning. Then, the
effort of the corruption eradication in Indonesia can be effectively done especially in
the prevention aspect.
Pertanyaan:
1. Jelaskan pemahaman Anda tentang pohon kejahatan kerah putih (fraud tree).
Jelaskan pula apa yang dimaksud dengan korupsi, apa pula sub bagian dari
korupsi.
2. Jelaskan pemahaman Anda tentang kecurangan laporan keuangan. Mengapa
kecurangan laporan keuangan menjadi penyebab kerugian yang terbesar dari
kejahatan kerah putih?
3. Jelaskan pemahaman Anda tentang tanda – tanda terjadinya kejahatan kerah putih.
Mengapa pengamatan terhadap faktor pribadi pelaku sangat penting untuk
mengetahui adanya kejahatan kerah putih?
4. Jelaskan pemahaman Anda tentang segitiga kejahatan kerah putih. Elemen atau
unsur apa saja yang memotivasi seseorang untuk melakukan kejahatan kerah
putih.
5. Jelaskan pemahaman Anda tentang cara – cara untuk mencegah kejahatan kerah
putih.
6. Dalam mendeteksi kejahatan kerah putih kita perlu mengenali gejala – gejala atau
simptom – simptom dari kejahatan. Apa saja gejala – gejala tersebut?
1
Artikel ini disajikan secara lengkap pada Lampiran 7 halaman 317
7. Jelaskan pemahaman Anda tentang langkah – langkah proaktif dalam
melaksanakan pendeteksian kejahatan kerah putih.
8. Jelaskan mengapa akuntan perlu dan harus terlibat dalam pendeteksian kejahatan
kerah putih.
9. Jelaskan berbagai hasil penelitian yang membahas tentang pencegahan dan
pendeteksian kejahatan kerah putih. Bagaimana hasil penelitian di Indonesia?
Daftar Pustaka:
Albrecht, W.S., C.C. Albrecht, C.O. Albrecht, and M.F. Zimbelman, 2009. Fraud
Examination 3rd Edition. Mason: South – Western Cengage Learning.
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE), 2011. Fraud Examiners Manual.
Diunduh dari www.acfe.org
------------------------------------------------------------------, 2012. Report to the Nations:
On Occupational Fraud and Abuse. Diunduh dari www.acfe.org
Bressler, M.S., 2009. The Impact of Crime Business: A Model for Prevention,
Detection & Remedy. Journal of Management and Marketing Research, vol 2:
p85 – p96
Byington, J.R., and J.A., McGee, 2011. White Collar Crime in Japan. The Journal of
Corporate Accounting & Finance, Sept/Oct, p39 – p43
----------------------------------------, 2008. Risky Business in China. The Journal of
Corporate Accounting & Finance, January/February, p19 – p24
Deloitte, 2004. Whistle Blower System. Diunduh dari www.deloitee.com
Gallup, 2005. 2005 Gallup Annual Pool. Diunduh dari www.gallup.com
Geis, G., and R. F. Meier, 1977. White-Collar Crime: Offenses in Business, Politics,
and the Professions. New York: The Free Press
Hodgson, G.M., and Shuxia Jiang, 2007. The Economics of Corruption and the
Corruption of Economics: an Institutionalist Perpective. Journal of Economics
Issues, vol XLI no.4, p1043 – p1061
Ikatan Akuntan Indonesia, Kompartemen Akuntan Publik, 2001. Standar Auditing.
Diunduh dari www.iaiglobal.org
Kassem R., and A. Higson, 2012. The New Fraud Triangle Model. Journal of
Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS), vol. 3,
p191 – p195.
Komite Pemberantasan Korupsi, 2001. Undang – Undang no. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diunduh dari www.kpk.go.id
Lux AG and S. Fitiani, 2002. Fighting Internal Crime Before It Happens. Information
Systems Control Journal vol.III, p50 – p51.
Muh. Arief Effendi, 2008. Tanggung jawab akuntan publik dalam pencegahan &
pendeteksian kecurangan pelaporan keuangan. Majalah Akuntansi Indonesia,
Edisi no. 6/Tahun II/Maret.
Salehi M., and Ali Mansoury, 2009. Firm Size, Audit Regulation, and Fraud
Detection: Empirical Evidence from Iran. Management vol 4 no 1., p5 – p 19
Schnatterly, K., 2003. Increasing Firm Value through Detection and Prevention White
Collar Crime. Strategic Management Journal, 24: p587-p614.
Singleton, TW., AJ Singleton, GJ Bologna, and RJ Lindquist, 2006. Fraud Auditing
and Forensic Accounting 3rd Edition. New Jersey, Jhon Wiley & Sons, Inc
Teguh Dartanto, 2010. The Relationship between Corruption and Public Investment at
the Municipalities Level in Indonesia. China – USA Business Review, vol. 9
no.8, p1 – p36
Wilopo, Romanus, 2012. Preventing White Collar Crime through Education: Cases in
Indonesia. This article was presented in National Seminar about The
Prevention of White Collar Crime in STIE Perbanas Surabaya in May 26, 2012