Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Bidara (Ziziphus Spina Christi L.) adalah sejenis pohon kecil, penghasil
buah yang tumbuh di daerah Afrika Utara dan tropis serta Asia Barat. Khsusnya di
Indonesia tanaman ini banyak tumbuh di Sumbawa (Nusa Tengara Barat). Bidara
banyak digunakan dalam pengobatan tradisional antara lain daun, buah, biji, akar,
dan batang. Di Sudan ranting digunakan secara eksternal untuk mengobati rematik
dan serangan kalajengking. Selain itu, di Uni Emirat Arab air rebusan dari
daunnya digunakan untuk mengobati rambut rontok (Saied, 2008). Ada banyak
laporan tentang efek medis dari ekstraksi ang berbeda dari berbagai belahan dari
Z. spina-christi. Ekstrak metanol kulit batang mengurangi diare pada tikus (Adzu,
2007) sedangkan ekstrak metanol daun melindungi terhadap hati carcinogenity
pada tikus (Abdel-Wahhab, 2007). Ekstrak butanol daun bidara arab dapat
mengontrol kadar glukosa dapa tikus dengan aman (Abdel-Zaher, 2005). Ekstrak
kulit akar memiliki aktivitas escherichia coli dan Bacillius subtilis (Nazif, 2002).
Ekstrak alkohol dari buah bidara dapat menurunkan kadar glukosa darah pada
anjing (Avizeh, 2010). Dalam pengobatan tradisional Iran, daunnya digunakan
sebagai obat sakit perut, emolien (pencegah kekeringan pada kulit), antiulcer
(pengikat asam lambung), desinfektan, dan anti jamur (Ghannadi, dkk,. 2013).
Menurut Asgarpanah dan Haghighat (2012) sejumlah alkaloid
cyclopeptide dan isoquinoline dan glikosida telah ditemukan dalam sebagian
besar spesies Ziziphus. Daun tanaman ini mengandung asam betulinic dan
ceanothic, berbagai flavoinoid, saponin, erol, tanin, dan triterpenoid. Geranyl
acetate (14,0%), methyl hexadecanoate (10,0 %), metil octadecanoate (9,9 %),
farnesyl acetone C (9,9 %), hexadecanol (9,7 %), dan etil octadecanoate (8,0%)
dikarakterisasi sebagai komponen utama minyak esensial Z. spina-christi.
Penelitian yang dilakukan oleh Safrudin (2018), yaitu analisis senyawa
metabolit sekunder dan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dari
ekstrak daun bidara. Ekstraksi daun bidara dilakukan dengan metode ekstraksi
maserasi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan methanol Proses
ekstraksi menghasilkan rendemen berturut-turut sebesar 0,49%, 0,72%, dan
1.14%. Pada hasil uji fitokimia diketahui ekstrak metanol mengandung senyawa
alkaloid, triterpenoid, saponin, dan tanin; ekstrak etil asetat mengandung senyawa
alkaloid, steroid, dan saponin; dan ekstrak n-heksana mengandung senyawa
alkaloid dan triterpenoid. Sedangkan pada hasil uji antioksidan ekstrak n-heksana
memiliki nilai IC50 211,83 ppm, ekstrak etil asetat memiliki nilai IC50 60,48 ppm,
dan ekstrak metanol memiliki nilai IC50 33,48 ppm. Penelitian yang dilakukan
Putri (2017), yaitu uji aktivitas daun bidara arab sebagai antikanker pada sel
kanker kolon (WiDr) melalui metode MTT (Microculture Tetrazolium) dan
identifikasi senyawa aktif dengan metode LC-MS (Liquid Chromatography-Mass
Spectrometer). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi
maserasi dengan pelarut etanol murni. Proses ekstraksi menghasilkan rendemen
sebesar 15,77% dari berat sampel sebanyak 90 gram. Pada hasil uji fitokimia
ditemukan senyawa alkaloid, flavonoid, steroid, dan triterpenoid. Nilai IC50
ekstrak etanol daun bidara terhadap sel WiDr yang diperoleh adalah 83,459
μg/mL, sedangkan pada sel normal Vero memiliki nilai IC50 yaitu 218,143 μg/mL.
Hal ini menunjukkan ekstrak etanol daun bidara memiliki aktivitas antikanker
yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh Almeer (2018), yaitu ekstrak daun
bidara untuk memperbaiki granuloma hati schistosomiasis, fibrosis dan oxidative
stess melalui pengaturan sinyal fibrinogen pada tikus. Ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan metode maserasi dengan pelarut methanol. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa ekstrak daun bidara memiliki hasil yang baik dari
praziquantel (obat anti-schitosomal), hal ini dikarenakan ekstrak daun bidara
memiliki aktivitas anti-schitosomal, disamping efek antioksidan , anti-inflamasi,
dan antifibrotik.
Penelitian yang dilakukan oleh Motamedi (2014), yaitu studi banding
tentang efek ekstrak alkohol daun bidara pada pertumbuhan dan integritas
struktural bakteri patogen. Ekstraksi menggunakan pelarut metanol dan etanol.
Metode yang digunakan adalah ekstraksi maserasi dengan pengadukan. Hasil
yang diperoleh yaitu ekstrak hidroalkohol daun bidara cocok untuk melawan
bakteri S. aureus yang resistensinya terhadap antibiotik adalah suatu peningkatan
perhumbuhan bakteri patogen. Penelitian yang dilakukan oleh Parsaeyan (2014),
yaitu pengaruh ekstrak daun bidara pada lipid profil, peroksidasi lipid, dan enzim
hati tikus diabetik. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan alat shaker pada
suhu 35 ̊C selama dua hari dengan pelarut ethanol dan kemudian ekstrak yang
telah kering ditambah dengan benzol, kemudian dievaporasi. Hasil yang
diperoleh, pada diabetik tikus ekstrak daun bidara secara signifikan menurunkan
total serum kolesterol, trigliserida, LDL-C (lowdensity-cholesterol), AST
(aspartate aminotranferase) dan ALT (alanine aminotransferase). Serum
malondialdehyde menurun tajam sedangkan HDL-C (high density-cholesterol)
meningkat secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Farmani (2016),
yaitu evaluasi anti proliferative dan induksi apoptosis dalam sel MCF-7 oleh
ekstrak daun bidara. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi
maserasi dengan pelarut ethanol. Hasil yang diperoleh di indikasi bahwa ekstrak
ethanol mempunyai IC50 terendah 0,02 mg/mL, sel yang di induksi ditahan pada
fase G1/S sebagaimana apoptosis setelah perlakuan selama 48 jam.
Metode ekstraksi maserasi merupakan jenis ekstraksi sederhana karena
pengerjaan hanya dilakukan dengan cara merendam bahan siplisia dalam cairan
penyaring. Metode maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang
mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung
zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin,
tiraks, dan lilin (Najib, 2018). Ekstraksi menggunakan gelombang mikro
(Microwave Assisted Extraction (MAE)) merupakan ekstraksi yang memanfaatkan
radiasi gelombang mikro umtuk mempercepat ekstraksi selektif melalui
pemanasan pelarut secara cepat dan efisien. MAE (Microwave Assisted
Extraction) dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas ekstraksi bahan aktif
berbagai jenis rempah-rempah, tanaman herbal, dan buah-buahan. Kelebihan
MAE adalah waktu ekstraksi dan kebutuhan pelarut yang relatif lebih rendah
dibanding ekstraksi konvensional (Widyasanti, 2018). Berdasarkan sumbernya,
antioksidan dapat dibagi menjadi 2 yaitu antioksidan alami dan antioksidan
sintetik. Antioksidan alami merupakan senyawa antioksidan yang terdapat secara
alami dalam tubuh sebagai mekanisme pertahanan tubuh normal maupun berasal
dari asupan luar tubuh. Sedangkan antioksidan sintetik merupakan senyawa yang
disintesis secara kimia. Salah satu sumber senyawa antioksidan adalah tanaman
dengan kandungan senyawa polifenol yang tinggi. Uji antioksidan dapat
digunakan dengan metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrihidazil). DPPH merupakan
senyawa radikal bebas yang stabil sehingga apabila digunakan sebagai pereaksi
dalam uji penangkapan radikal bebas cukup dilarutkan dan bila disimpan dalam
keadaan kering dengan kondisi penyimpanan yang baik dan stabil selama
bertahun-tahun (Tristantini, 2016).
Penelitian yang dilakukan terhadap daun bidara kebanyakan menggunakan
metode ekstraksi maserasi. Mengingat kegunaan ekstrak daun bidara yang sangat
banyak, peneliti ingin menigkatkan produksi ekstrak daun bidara. Menurut
penelitian yang dilakukan Widyasanti (2018), metode ekstraksi gelombang mikro
dapat meningkatkan hasil rendemen ekstrak teh putih dibandingkan dengan
metode ekstraksi maserasi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menggunakan
metode ekstraksi gelombang mikro yang kemudian hasilnya akan dibandingkan
dengan hasil dari metode ekstraksi maserasi.
I.2 Tujuan
1. Membandingkan hasil rendemen yang diperoleh dari metode eksrtaksi
maserasi dengan metode gelombang mikro
2. Mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung dalam minyak atsiri daun
bidara
3. Mengetahui nilai antioksidan dari ekstrak daun bidara

I.4 Manfaat
1. Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat
kandungan ekstrak daun bidara
2. Diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan ekstrak daun bidara untuk
memelihara kesehatan
3. Diharapkan dapat meningkatkan penggunaan ekstrak daun bidara karena
potensi sebagai antioksidan tinggi yang dapat melawan radikal bebas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tumbuhan Bidara (Ziziphus spina-christi L.)


II.1.1 Morfologi
Bidara adalah sejenis pohon kesil yang yang selalu hijau, penghasil buah
yang tumbuh didaerah afrika utara dan tropis serta Asia Barat, Tumbuh di Israel di
lembah-lembah sampai ketinggian 500m. Khususnya di Indonesia tanaman ini
banyak tumbuh di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) (Heyne, 1987). Tanaman ini
berasal dari Timur Tengah dan telah menyebar di wilayah Tropik dan sub tropik,
termasuk Asia Tenggara. Tanaman ini dapat beradaptasi dengan 9 berbagai
kondisi, tetapi tumbuhan ini lebih menyukai udara yang panas dengan curah hujan
berkisar antara 125 mm dan di atas 2000 mm. Suhu maksimum agar dapat tumbuh
dengan baik adalah 37-48°C, dengan suhu minimum 7-13°C. tanaman ini
umumnya ditemukan pada daerah dengan ketinggian 0-1000 m dpl (Dahiru,
2010).

Gambar 2.1 Daun Bidara Arab (Ziziphus spina-christi L.)

II.1.2 Klasifikasi (Adzu, 2007)


Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Rosales
Famili : Rhamnaceae
Genus : Ziziphus
Spesies : Christi
Nama binomial : Ziziphus spina-christi L.

II.1.3 Senyawa Aktif yang Terkandung dalam Tanaman Bidara


Studi mengungkapkan bahwa bidara arab (Ziziphus spina-christie L.)
memiliki beragam senyawa kimia aktif termasuk alkaloid seperti spinanin A,
tannin, sterol seperti β-sitosterol, flavonoid seperti rutin, kuarsetin derivative,
triterpenoid, sapgenin, dan saponin seperti asam betulinik (Godini, 2009).
Kandungan kimia yang berperan sebagai pengobatan dalam tanaman bidara antara
lain alkaloid, fenol, flavonoid, kuercetin, rutin, dan terpenoid (Adzu, 2007).
Komposisi kimia tanaman ini telah diteliti secara luas dan telah diketahui
komposisi kimianya. Konstituen utama dari minyak esensial adalah β-terpineol
(16,4%) dan linalool (11,5%). Hidrokarbon netral dalam bentuk n-pentacosane
adalah (81%). Metil ester yang diisolasi dari daun termasuk metil palmitat, metil
palmitat, metil stearate dan metil mirisat, β-sitosterol, asam oleanolik dan asam
maslinik adalah aglikon utama dari glikosida terdapat dalam daun bidara.
Kandungan gula dalam daun bidara adalah laktosa, glukosa, galaktosa, arabinose,
xilosa dan rhamnosa, dan juga berisi empat glikosida saponin. Kandungan
flavonoid tertinggi ditemukan dalam daun (0,66%). Terdapat kandungan quercetin
3-O-rhamnoglucoside 7-O-rhamnoside yang merupakan senyawa flavonoid utama
pada semua bagian tanaman. Komposisi kima tanaman bidara terbukti sangat
kompleks dan lengkap, selain alkaloid, terdapat zizyphine-F, jubanine-A dan
amphibine-H, sebuah peptide baru alkaloid spinanine-A telah diisolasi dari kulit
batang pohon bidara. Spinanine-A adalah salah satu dari 14 jenis cyclopeptide
alkaloid jenis amphibine-B (Adzu, 2007).
II.1.4 Manfaat Tanaman Bidara
Secara umum, Z. spina-christi L. memiliki banyak kegunaan yang
menguntungkan. Misalnya daun digunakan sebagai pakan untuk hewan dan
ranting-ranting yang digunakan untuk pagar. Kayu yang digunakan untuk
konstruksi dan furniture. Semua bagian tanaman (buah, daun, akar, kulit kayu)
yang digunakan dalam obat tradisional. Untuk itu tanaman ini sering disebut
tanaman serbaguna (Dafni, 2005). Ada banyak kegunaan tradisional untuk Z.
spina-christi L., orang-orang Arab dan Badui telah menggunakan pasta dari
akarnya untuk pengobatan gusi. Orang Badui menggunakan teh dari buahnya
untuk meningkatkan produksi ASI dan untuk mengobati hati (Allan, 2012).
Di Sudan ranting digunakan secara eksternal untuk mengobati rematik dan
serangan kalajengking. Selain itu, di Uni Emirat Arab air rebusan dari daunnya
digunakan untuk mengobati rambut rontok (Saied, 2008). Ada banyak laporan
tentang efek medis dari ekstraksi ang berbeda dari berbagai belahan dari Z. spina-
christi. Ekstrak metanol kulit batang mengurangi diare pada tikus (Adzu, 2003)
sedangkan ekstrak metanol daun melindungi terhadap hati carcinogenity pada
tikus (Wahhab, 2007). Ekstrak butanol daun bidara arab dapat mengontrol kadar
glukosa dapa tikus dengan aman (Zaher, 2005). Ekstrak kulit akar memiliki
aktivitas escherichia coli dan Bacillius subtilis (Nazif, 2002). Ekstrak alkohol dari
buah bidara dapat menurunkan kadar glukosa darah pada anjing. Dalam
pengobatan tradisional Iran, daunnya digunakan sebagai obat sakit perut, emolien
(pencegah kekeringan pada kulit), antiulcer (pengikat asam lambung),
desinfektan, dan anti jamur (Ghannadi, 2013).

II.2 Uraian Ekstraksi


II.2.1 Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses melarutkan komponen-komponen kimia yang
terdapat dalam suatu sampel dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan
komponen yang diinginkan. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan masa
komponen zat padat ke dalam dan perpindahan mulai terjadi pada lapisan
antarmuka, kemudian terdifusi masuk ke dalam pelarut (Dirjen POM, 1986). Dari
hasil ekstraksi diperoleh ekstrak. Ekstrak adalah sediaan cair yang diperoleh
dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan (Dirjen POM, 1995).
II.2.2 Mekanisme Ekstraksi
Umumnya, zat aktif yang terkandung dalam tanaman maupun hewan lebih
larut dalam pelarut organik. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut
sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara zat aktif di dalam sel dan pelarut
organik di luar sel (Dirjen POM, 1986). Larutan dengan konsentrasi tinggi akan
berdifusi keluar sel dan proses ini berulang terus sampai terjadi kesetimbangan
antara konsentrasi zat aktif di dalam sel dan di luar sel. Pada proses ekstraksi
dapat dibedakan menjadi 2 fase yaitu:
a. Fase pembilasan. Pada saat cairan ekstraksi kontak dengan material simplisia
maka sel-sel yang rusak atau tidak utuh lagi akibat operasi penghalusan
langsung bersentuhan dengan bahan pelarut. Dengan demikian komponen sel
yang terdapat di dalamnya lebih mudah diambil atau dibilas. Oleh karena itu,
dalam fase pertama ekstraksi ini, sebagian bahan aktif telah berpindah ke
dalam bahan pelarut. Semakin halus serbuk simplisia, akan semakin optimal
proses pembilasannya.
b. Fase ekstraksi. Membran sel yang mengering, mengkerut di dalam simplisia
mula-mula harus diubah kondisinya sehingga memungkinkan bahan pelarut
masuk kebagian dalam sel. Hal itu terjadi melalui pembengkakan, dimana
membran mengalami pembesaran volume akibat masuknya sejumlah molekul
bahan pelarut. Dengan mengalirnya bahan pelarut ke dalam ruang sel,
protoplasma akan membengkak dan bahan kandungan sel akan terlarut sesuai
dengan tingkat kelarutannya. Bahan kandungan sel akan terus masuk ke
dalam cairan disebelah luar sampai difusi melintasi membran mencapai
keseimbangannya yakni pada saat konsentrasi antara larutan di sebelah dalam
dan sebelah luar sel sama besar (Voigt, 1995).
II.2.3 Maserasi
Maserasi adalah cara penyarian yang sederhana. Meserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif didalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak
keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang
mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu
dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi
larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap
terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan
di dalam sel dengan larutan di luar sel (Dirjen POM, 1986).
Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya :
1. Digesti
Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah,
yaitu pada suhu 40-50oC. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan untuk
simplisia yang zat aktifnya tahan terhada panas. Dengan pemanasan akan
memperoleh keuntungan antara lain:
a. Kekentalan pelarut akan berkurang, yang dapat mengakibatkan
berkurangnya lapisan-lapisan batas.
b. Daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan
tersebut mempunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan.
c. Koefisien difusi berbanding lurus denngan suhu absolut dan berbanding
terbalik dengan kekentalan, hingga kenaikan suhu akan berpengaruh
pada kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat
bila suhu dinaikkan. Jika cairan penyari mudah menguap pada suhu
yang digunakan, maka, perlu dilengkapi dengan pendingin balik,
sehingga cairan penyari yang menguap akan kembali ke dalam bejana.
2. Maserasi dengan mesin pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses
maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
3. Remaserasi
Cairan penyari dibagi 2. Seluruh serbuk simplisia dimaserasi dengan
cairan penyari pertama, sesudah dienap tuangkan dan diperas, ampas
dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua.
4. Maserasi melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan menguasahakan agar cairan penyari
selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir
kembali secara berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan melarutkan
zat aktifnya. Keuntungan cara ini:
a. Aliran cairan penyari mengurangi lapisan batas
b. Cairan penyari akan didistribusikan secara seragam, sehingga akan
memperkecil kepekatan setempat.
c. Waktu yang diperlukan lebih pendek.
5. Maserasi melingkar bertingkat
Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilaksanakan secara
sempurna, karena pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah
terjadi. Masalah ini dapat diatasi dengan maserasi melingkar bertingkat
(Dirjen POM, 1986: 10).
II.3 Uji Fitokimia
Uji fitokimia merupakan pengujian kandungan senyawa-senyawa kimia di
dalam tumbuhan. Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk
metabolit sekunder seperti alkaloid, flvonoid, steroid, tanin, saponin, triterpenoid,
dan lain-lain. Senyawa metabolit sekumder merupakan senyawa kimia yang
umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung
tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny, 2008).
II.3.1 Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-
tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid
mengandung nitrogen yang sering kali terdapat dalm cincin eterosiklik, tetapi ada
yang terdapat dalam struktur alifatiknya, bersifat basa (Lenny, 2008).
Cara untuk mengklasifikasikan alkaloid adalah dengan klasifikasi yang
didasarkan pada jenis tumbuhan dari mana alkaloid ditemukan. Alkaloid dapat
dipisahkan dari sebagian besar komponen tumbuhan berdasarkan sifat basanya.
Oleh karena itu, senyawa golongan ini cenderung sering diisolasi dengan HCl atau
H2SO4 garam ini atau alkaloid bebasnya berbentuk padat membentuk kristal yang
tidak berwarna (Kristanti, 2008).
II.3.2 Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas di alam.
Golongan flvonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 yang
artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin terbesar
tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Pengelompokkan
flavonoid dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus
hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan pada rantai C3, sesuai
struktur kimianya yang termasuk flavonoid yaitu flavonol, flvon, flavanon,
katekin, antosianidin, dan kalkon (Robinson, 1995).
Beberapa kemungkinan lain fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah
sebagai zat pengatur tubuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat mikroba,
antivirus, dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan oleh jaringan
tumbuhan sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi
menghambat fungi yang menyerangnya. Pereaksi yang biasa digunakan untuk
flavonoid adalah HCl pekat yang akan merubah warna sampel menjadi merah atau
jingga jika sampel mengandung flavonoid (Kristanti, 2008).
II.3.3 Tanin
Tanin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang termasuk
golongan flavonoid, mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan
menyamak kulit. Secara kimia tanin dibagi menjadi dua golongan, yaitu tanin
terkondensasi atau katekol dan tanin terhidrolisis atau tanin tanin galat. Tanin
yang direaksikan dengan FeCl3 1% akan menghasilkan perubahan warna menjadi
hjau kebiruan. Beberapa tanin terbukti memiliki aktivitas antioksidan,
menghambat pertumbuhan tumor dan menghambat enzim seperti “reverse”
transkriptase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).
II.3.4 Saponin
Saponin berasal dari bahasa latin sapo yang berarti sabun, karena sifatnya
menyerupai sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukkan yang kuat,
menimbulkan busa jika dikocok dengan air dan pada konsentrasi yang rendah
sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin dalam larutan yang
sangat encer dapat sebagai racun ikan, selain itu saponin juga berpotensi sebagai
antimikroba, dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis hormon steroid. Dua
jenis saponin yang dikenal yaitu glikosida struktur steroid. Aglikonya disebut
sapogenin, diperoleh denan hidrolisis dalam asam atau mengunakan enzim.
Sampel yang mengandung saponin akan menghasilkan busa yang bertahan selama
10 menit apabila direaksikan dengan asam klorida 1 M (Robinson, 1995).
II.3.5 Triterpenoid
Triterpenoid ini paling umum diteemukan di tumbuhan berbiji.
Triterpenoid terdiri dari kerangka dengan 3 siklik 6 yang bergabung dengan siklik
5 atau berupa 4 siklik 6 yang mempunyai gugus pada siklik tertentu (Lenny,
2008). Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida
asetat-H2SO4 pekat) yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan
warna hijau-biru. Adapun penelitian menggunakan ekstrak daun jamblang
mengandung senyawa tritepenoid yang disemprot asam sulfat pekat 10%
didapatkan noda yang berwarna merah-ungu (Harborne, 1987).
II.3.6 Steroid
Steroid merupakan golongan lipid yang diturunkan dari senyawa jenuh
yang dinamakan siklopentanaoperhidrofenantrena, yang meiliki inti dengan 3
cincin sikloheksana terpadu dan 1 cincin siklopentana yang tergabung pada ujung
cincin sikloheksana tersebut. Beberapa turunan steroid yang penting ialah steroid
alkohol atau sterol. Steroid lain antara lain asam-asam empedu, hormone, seks,
(androgen dan estrogen) dan hormon kortikosteroid (Poedjiadi, 1994).
Reaksi warna yang digunakan untuk uji warna pada steroid adalah dengan
Lieberman-Burchard yang menghasilkan warna hijau-biru. Reaksi warna yang
lain pada steroid dilakukan dengan Brieskorn dan Briner (asam klorosulfonat dan
Sesolvan NK) menghasilkan warna coklat (Robinson, 1995).
II.3.7 Kuinon
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar
seperti kromofor dasar pada benzokuinon, yang terdiri dari 2 gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan 2 ikatan rangkap. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi
menjadi 4 kelompok, yaitu benzokuinon (kuinon dengan kromofor yang terdiri
dari 2 gugus karbonil yang berkonjugasi dengan 2 ikatan rangkap karbon-karbon),
naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Harborne, 1987).
Kuinon secara khas berbentuk pigmen warna yang sangat kuat mencakup
seluruh aneka warna yang tampak, namun kuinon hanya ditemukan pada daerah
internal dari tumbuhan dan warnanya tidak tampak pada bagian eksterior
tumbuhan. Beberapa senyawa kuinon dalam pengobatan berfungsi sebagai anti
hepatitis dan anti kanker (Kauffman, 1999).
Reaksi warna yang digunakan untuk uji warna pada kuinon adalah dengan
menambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N. Apabila larutan membentuk
warna merah maka larutan tersebut mengandung kuinon (Djamil, 2009).
II.4 Uji Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau
reduktan. Senyawa ini mampu mengaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi,
dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga dapat didefinisikan
sebagai senyawa yang apabila dalam konsentrasi rendah berada bersama substrat
yang dapat teroksidasi, dapat menunda atau menghambat oksidasi senyawa
tersebut (Sunardi, 2007).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan diklasifikasikan menjadi
dua kategori, yaitu antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus rantai.
Antioksidan pencegah bekerja dengan menghambat pembentukkan reactive
oxygen species (ROS), seperti enzim katalase, peroksidase, superoksida
dismutase, dan transferin. Antioksidan pemutus rantai merupakan senyawa yang
menangkap radikal oksigen kemudian memutus rangkaian rantai reaksi radikal,
contohnya vitamin C, vitamin E, asam urat, bilirubin, polifenol, dan sebagainya.
Antioksidan pemutus rantai memiliki dua jalur reaksi. Jalur pertama merupakan
jalur transfer atom hidrogen dengan mekanisme radikal oksigen menangkap
hidrogen dari antioksidan sehingga terbentuk kompleks antioksidan radikal yang
bersifat stabil. Jalur kedua, antioksidan mendeaktivasi radikal bebas dengan
transfer elektron tunggal. Transfer elektron tunggal sangat dipengaruhi oleh
kestabilan pelarut pada muatan tertentu (Deemer, 2002).
Gugus kromofor dan auksokrom pada radikal bebas DPPH memberikan
absorbansi maksimum pada panjang gelombang 517 nm sehingga menimbulkan
warna ungu. Warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning seiring dengan
penambahan antioksidan yaitu saat elektron tunggal pada DPPH berpasangan
dengan hidrogen dari antioksidan. Hasil dekolorisasi oleh antioksidan setara
dengan jumlah elektron yang tertangkap (Dehpour, 2009).

Gambar 2.8 Reaksi penamgkapan radikal DPPH eleh antioksidan


(AH=Antioksidan, ox=Oksidasi, red=Reduksi)
II. 4 Metode MAE (Microwave Assisted Extraction)
Gelombang mikro adalah gelombang elektromagnetik yang terdiri dari
dua medan tegak lurus yang berosilasi: medan listrik dan medan magnet. Mereka
dapat digunakan sebagai pembawa informasi atau sebagai vektor energi. Aplikasi
kedua ini adalah aksi langsung gelombang pada material yang mampu menyerap
sebagian energi elektromagnetik dan mengubahnya menjadi panas.
Prinsip pemanasan menggunakan energi gelombang mikro didasarkan
pada efek langsung dari gelombang mikro pada molekul material. Transformasi
energi elektro magnetik menjadi energi kalor terjadi melalui dua mekanisme:
konduksi ionik dan rotasi dipol baik pada pelarut maupun sampel. Dalam banyak
aplikasi, kedua mekanisme ini terjadi secara bersamaan, yang secara efektif
mengubah energi gelombang mikro menjadi konduksi onik energi termal
disebabkan oleh migrasi ion elektroforetik ketika medan elektromagnetik
diterapkan.
Resistensi larutan terhadap aliran ion ini dan tumbukan antar molekul
karena arah ion berubah berkali-kali karena tanda perubahan medan akan
menghasilkan gesekan dan, dengan demikian, memanaskan larutan. Lebih lanjut,
migrasi ion terlarut meningkatkan penetrasi pelarut ke dalam matriks dan dengan
demikian memfasilitasi pelarutan senyawa target. Rotasi dipol terkait dengan
pergerakan alternatif molekul polar yang memiliki momen dipol (baik permanen
atau diinduksi oleh medan listrik) yang mencoba untuk sejajar dengan medan
listrik. Saat medan menurun, gangguan termal dipulihkan yang menghasilkan
pelepasan energi termal. Semakin besar momen dipol molekul, semakin kuat
osilasi di bidang gelombang mikro. Rotasi dipol ini mengarah pada gangguan
batas hidrogen lemah. Viskositas medium yang lebih tinggi menurunkan
mekanisme ini dengan mempengaruhi rotasi molekuler.
Dalam kasus ekstraksi sampel tanaman, efek energi gelombang mikro
sangat bergantung pada sifat pelarut dan matriks. Sebagian besar waktu, pelarut
yang dipilih memiliki konstanta dielektrik yang tinggi, sehingga sangat menyerap
energi gelombang mikro. Perlakuan bahan tanaman dengan iradiasi gelombang
mikro selama ekstraksi dapat menghasilkan peningkatan pemulihan metabolit
sekunder dan senyawa aroma. Pemanasan paksa air dalam inti material dapat
menyebabkan penguapan cairan di dalam sel, yang dapat menyebabkan pecahnya
dinding sel dan atau membran plasma. Karena banyak metabolit sekunder
tanaman terjadi secara alami di dinding sel atau sitoplasma, gangguan sel dapat
mempersingkat jalur difusi dan memfasilitasi transfer massa pelarut ke dalam
bahan tanaman dan dari metabolit sekunder ke dalam pelarut, sehingga
memungkinkan ekstraksi yang efektif. Senyawa yang diekstraksi dilarutkan dalam
pelarut sekitarnya yang sesuai untuk memfasilitasi pemisahan dari tanaman yang
tersisa.
Untuk ekstraksi minyak atsiri, gelombang mikro berinteraksi secara
selektif dengan molekul kutub air bebas yang ada di kelenjar, trikoma, atau
masalah vaskular. Pemanasan lokal di dekat atau di atas titik didih air mengarah
ke ekspansi dan pecahnya dinding sel, yang diikuti oleh pembebasan minyak
esensial ke dalam pelarut. Proses ini dapat diterapkan pada bahan tanaman segar
atau ketika sampel kering telah dihidrasi ulang sebelum ekstraksi. Fakta bahwa
zat kimia yang berbeda menyerap energi gelombang mikro ke tingkat yang
berbeda menyiratkan bahwa pemanasan yang diberikan ke media di sekitarnya
akan berbeda dengan zat kimia yang digunakan. Oleh karena itu, untuk sampel
dengan karakteristik struktural yang tidak homogen atau yang mengandung
berbagai spesies kimia dengan sifat dielektrik berbeda yang terdispersi ke dalam
lingkungan yang homogen, dimungkinkan untuk menghasilkan pemanasan
selektif dari beberapa area atau komponen sampel (Rostagno, 2013).
BAB III
METODELOGI PENELITIAN

III.1 Bahan yang Digunakan


Bahan utama yang digunakan adalah daun bidara. Bahan lain yang
digunakan adalah aquadest, ethanol, n-heksana, kloroform, FeCl3 , HCl, H2 SO4
pekat, asam asetat anhidrat, logam magnesium, pereaksi dragendorf, pereaksi
wagner, dan DPPH.
III.2 Alat yang digunakan
1. Neraca analitik
2. Peralatan maserasi
3. Tabung reaksi
4. Rak tabung reaksi
5. Batang pengaduk
6. Pipet tetes
7. Erlenmeyer
8. Kertas saring
9. Gelas ukur
10. Penangas air
11. Corong pemisah
12. Corong kaca
13. Satu set alat distilasi
14. Seperangkat alat ekstraksi gelombang mikro
III.3 Rangkaian alat

Gambar 1. Satu set alat distilasi (Putri, 2019)

Gambar 2. Seperangkat alat ekstraksi gelombang mikro (Kusuma, 2016)


III.4 Variabel dan Kondisi Operasi Penelitian
1. Jenis pelarut : Ethanol
2. Bahan : daun bidara
3. Massa bahan : 180 gram
4. Volume pelarut : 900 mL
5. Kecepatan pengadukan : 150 rpm
6. Suhu : 25, 35, 45, 55, 65 °C
7. Waktu : 30, 60, 90, 120, 150 menit

III.5 Prosedur penelitian


Tahap preparasi sampel
Sampel daun bidara diambil dalam kondisi segar berwarna hijau. Sampel
daun bidara dibersihkan, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di
ruangan terbuka selama 7 hari, setelah kering dipotong kecil-kecil.
Tahap Ekstraksi
sampel yang telah dipreparasi selanjutnya dilakukan tahap ekstraksi.
Langkah awal yang dilakukan yaitu ditimbang serbuk daun bidara sebanyak 90 gr,
dimasukkan ke dalam 3 erlemeyer 500 mL masing-masing 30 gr, lalu diekstraksi
dengan perendaman menggunakan 300 mL pelarut etanol p.a selama 24 jam, dan
dishaker dengan kecepatan 150 rpm. Kemudian disaring dan ampas yang
diperoleh dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama dan dilakukan sebanyak 3
kali pengulangan. Pengulangan kedua dan ketiga menggunakan pelarut sebanyak
250 mL. ketiga filtrate dari 3 erlemeyer digabung menjadi satu dan dipekatkan
dengan rotary evaporator vacuum dengan suhu 60℃ dan dihentikan ketika
ekstrak cukup kental dan ditandai dengan berhentinya penetesan pelarut pada labu
alas bulat. Ekstrak pekat yang diperoleh ditimbang dan di hitung rendemennya
dengan persamaan berikut :
berat ekstrak
Rendemen =
berat sampel
× 100% … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (1)
Ekstrak pekat etanol dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1. Ekstrak pekat etanol ditimbang sebanyak 250 mg sebagai sampel uji
2. Ekstrak pekat etanol ditimbang sebanyak 3 gram, kemudian di partisi
dengan pelarut kloroform dengan cara ditambahkan 50 mL pelarut
kloroform dalam corong pemisah. Lalu kocok selama 15 menit dan
didiamkan beberapa menit hingga terbentuk 2 lapisan. Perlakuan ini
dilakukan sebanyak 2 kali. Hasil fraksi kloroform dikumpulkan menjadi
satu, kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator vacuum.
3. Ekstrak pekat etanol ditimbang sebanyak 3 gr, kemudian dipartisi dengan
pelarut n-heksana dengan cara ditambahkan 50 mL pelarut n-heksana
dalam corong pisah. Lalu dikocok selama 15 menit dan didiamkan
beberapa menit hingga terbentuk 2 lapisan. Perlakuan ini dilakukan
sebanyak 2 kali. Hasil fraksi n-heksana dikumpulkan menjadi satu,
kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator vacuum hingga diperoleh
ekstrak yang cukup kental.
Fraksi n-heksana dan fraksi kloroform masing-masing ditimbang dan dihitung
rendemennya dengan menggunakan persamaan (1).
Tahap Ekstraksi Gelombang Mikro
Mula-mula menimbang daun bidara 100 gram. Masukkan daun bidara
yang telah ditimbang pada labu destilasi tanpapenambahan air pada microwave
distilation. Kemudian memanaskan air pada labu untuk digunakan sebagai steam
generator, proses pemanasan menggunakan heating mantle. Menyalakan pemanas
microwave dan mengatur daya microwave sesuai dengan variable suhu.
Menghitung waktu destilasi meluai tetes pertama keluar dari kondensor. Lalu
menghentikan proses sesuai dengan waktu yang ditentukan. Menampung destilat
dalam corong pemisah, kemudian menampung minyak tersebut pada tabung
reaksi dan disimpan dalam freezer untuk mendapatkan minyak yang bebas dari
kandungan air. Kemudian mengambil minyak yang bebas dari kandungan air
tersebut lalu melakukan analisa terhadap minyak yang dihasilkan .
Tahap Uji Fitokimia
Ekstrak bidara dengan variasi pelarut yang diperoleh dilakukan pengujian
reagen meliputi uji alkaloid, flavonoid, triterpenoid, kuinon, tannin, dan saponin.
Untuk uji alkaloid, larutan ekstrak uji sebanyak 2 mL diuapkan diatas cawan
porselin hingga didapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2
N. larutan yang didapat kemudian dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung
pertama ditambahkan dengan HCl 2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung
kedua ditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga
ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan jingga pada
tabung kedua dan endapan putih kekuningan pada tabung ketiga menunjukkan
adanya alkaloid.
Pada uji flavonoid dilakukan dengan cara sampel dipanaskan dengan
campuran logam magnesium dan HCl 2%, kemudian disaring. Jika menimbulkan
warna merah maka hasilnya positif tetapi jika tidak maka hasilnya negatif.
Pada uji triterpenoid dan steroid, larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan.
Residu yang diperoleh dilarutkan dalam 0,5 mL kloroform, lalu ditambah dengan
0,5 mL asam asetat anhidrat. Selanjutnya, campuran ini ditetesi dengan 2 mL
asam sulfat pekat melalui dinding tabung tersebut. Jika hasil yang diperoleh
berupa cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan dua pelarut, menunjukkan
adanya triterpenoid. Sedangkan jika larutan berubah warna menjadi hijau kebiruan
menunjukkan bahwa sampel juga mengandung steroid.
Pada uji saponin, ekstrak uji dimasukkan de dalam tabung reaksi,
ditambahkan 10 mL air panas, dinginkan dan kemudian dikocok kuat-kuat selama
10 detik. Terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit setinggi
1-10 cm. Pada penambahan HCl 2 N, buih tidak hilang.
Pada uji tanin, larutan ekstrak uji sebanyak 1 mL direaksikan dengan
larutan besi (III) klorida 1%, jika terjadi warna biru tua, biru kehitaman, atau
hitam kehijauan menunjukkan adanya senyawa tannin.
Pada uji kuinon, sebanyak 5 mL larutan ekstrak ditambah natrium
hidroksida 1 N. adanya kuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah
(Putri, 2017).
Tahap Uji Antioksidan Metode DPPH
Sebanyak 50 mg sampel dilarutkan dengan 50 mL metanol (1000 ppm)
sebagai larutan induk. Dari larutan induk 1000 ppm dibuat deret standar dengan
konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, 100 ppm yang masing-masing direaksikan dengan
DPPH. Larutan kemudian diinkubasi selama 30 menit, kemudian serapan diukur
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada λ 517 nm (Safrudin, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Wahhab, M. A. Omara, E. A. Abdel-Galil. M. M. Hassan, N. S. Somaia,


Nada, A. saeed, A. and Elsayed, M. 2007. Ziziphus spina-christi extract
protects against aflatoxin B1-initiated hepatic caceno geneticity. African
journal Trad. CAM. 4(3):248-256.
Abdel-Zaher, A. O. Salim, S. Y. Assaf, m. H. and Abdel-Hady, R. H. 2005.
Antidiabetic Activity and Toxicity of Ziziphus spina-christi Leaves. Journal
of Ethnopharmacology. 101(1):129-138.
Adzu B, Haruna A. K. 2007. Studied on the use of Ziziphus spina-christi against
pain in rats and mice. African Journal Biotechnol. 6(11). 1317-1324.
Allan, Ali, E. A. 2012. Ziziphus spina-christi “Christ’s Thoorn”: In Vitro Callus
and Cell Culture, Qualitative Analysis of Secondary Metabilites and
Bioassay. University Deanship of Higher Studies and Scientific Research.
Almeer, R. S. El-Khardragy, M. F. Abdelhabib, S. and Moneim, A. E. A. 2018.
Ziziphus spina-christi leaf extract ameliorates schistosomiasis liver
granuloma, fibrosis, and oxidative stress through downregulation of
fibrinogenic signaling in mice. Plos ONE. 13(10):1-23.
Asgarpanah, J. and Haghighat E. 2012. Phytochemistry and Pharmacology
properties of Ziziphus spina-christi (L.) Willd. African journal of Pharmacy
and Pharmacology. 6(31):2332-2339.
Avizeh, R. Najafzadeh, H. Pourmahdi, M. and Mirzaee, M. 2010. Effect of
Glibenclamide and Fruit Extract of Ziziphus spina-christi on Alloxan
Induced Diabetic Dogs. International Journal Appl Res Vet Med. 8(2).
Dafni, A. Levy, S. and Lev. E. 2005. The Ethnobotany of Christ’s Thorn Jujube
(Ziziphus spina-christi) in Israel. Journal of Ethnobiology and
Ethnomedicine. 1(8).
Dahiru, End O. O. 2010. Evaluation of The Antioksidan Effects of Ziziphus
mauritiana Lam. Leaf Extracts againt Chronic Ethanol-Induced
Hepatotoxicity In Rat Liver. African Journal Traditional Complementary
Alternative Mediines (CAM). 10.
Deemer, E. K. Ou, B. Huang, D.J. Woodil, M. H. and Flanagan, J. A. 2002.
Analysis of Antioxidant Activities ofCommon Vegetables Employing
Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC) and Ferric Reducing
Antioxidant Power (FRAP) Assays: A comparative Study. Journal Agric.
Food Chem. 50:3122-3128.
Dehpour, A. A., Ebrahimzadeh, M. A., Fazel, N. S., and Mohammad, N. S. 2009.
Antioxidant Activity of Methanol Extract of Ferula Assafoetida and Its
Essential Oil Composition. Grasas Aceites. 60(4):405-412.
Dirjen POM. 1987. Materia Medika Indonesia Jilid V. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Djamil, R. dan Tria A. 2009. Penapisan Fitokimia, Uji BSLT, dan Uji Antioksidan
Ekstrak Metanol beberapa Spesies Papilionacease. ISSN 1693-1831.
7(2):65-71.
Farmani, F. Moein, M. Amanzadeh, A. Kandelous, H. M. Ehsanpour, Z. and
Salimi, M. 2016. Antipoliverative Evaluation and Apoptosis Induction in
MCF-7 Cells by Ziziphus spina-christi Leaf Extracts. Asin Pacific Journal
of Cancer Prevention. 17:315-321.
Ghannadi A, Tavakoli N, dkk. 2013. Volatile constituents of the leaves of
Ziziphus spina-christi (L.) Willd from Bushehr, Iran. Journal Essential Oil
Res. 15(2):191-198.
Godini, A. Kazem, M. Naseri, G. and Badavi, M. 2009. The Effect of Ziziphus
spina-christi Leaf Extract on the Isolated Rat Aorta. Journal Pakistan
Medical Association. 59(8).
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan Terbitam Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung:
Penerbit ITB.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3. Jakarta: Yayasan Arana
Wana Jaya.
Kauffman, P. B., Lj. Cseke. S. Warber., J. A. Duke, H. L. Brielman. 1999. Natural
Products from Plants. Boca Raton: CRC Press.
Kristanti, A. N. dan Aminah, N. S. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Jurusan
Kimia Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Airlangga.
Kusuma, H. S. dan M. Mahfud. 2016. Preliminary study : kinetics of oil extraction
from sandalwood by microwave-assisted hydrodistillation. International
Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education.
Lenny, S. 2008. Uji Bioaktivitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan
Metode Brine Shrimp. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Motamedi, H. Seyyednejad, S. M. Hassanejad, Z. and Dehghani, F. 2014. A
Comparative Study on the Effects of Ziziphus spina-christi Alcoholic
Extracts on Growth and Structural Integrity of Bacterial Pathogens. Iranian
Journal of Pharmaceutical Sciences. 10(2):1-10.
Najib, A. 2018. Ekstraksi Senyawa Bahan Alam. Sleman: Deepublish.
Nazif, N. M. 2002. Phytoconstituens of Ziziphus spina-christi L. Fruits and Their
Antimicrobial Activity. Journal of Food Chem. 76:77-81.
Parsaeyan, N. and Rezvani, M. E. 2014. The Effect of Christ’s Thorn (Ziziphus
Spina Christi) Leaves Extract on Lipid Profile, Lipid Peroxidation and Liver
Enzymes of Diabetic Rats. Iranian Journal of Diabetes and Obesity.
6(4):163-167.
Poedjiadi, A. dan Supriyanti, F. M. T. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI
Press.
Putri, R. A. Z. 2017. “Uji Aktivitas Daun Bidara Arab (Ziziphus spina-christ L.)
sebagai Antikanker pada Sel Kanker Kolon (WiDr) melalui Metode MTT
dan Identifikasi Senyawa Aktif dengan Metode LC-MS”. Jurnal Kimia UIN
Maulana Malik Ibrahim. 1. 9-36.
Putri, K. 2019. Pengertian Destilasi, Prinsip kerja Destilasi, Faktor-Faktor yang
Mempegaruhi Proses Destilasi. (duniakumu.com/pengertian-destilasi-prin
sip-kerja-destilasi-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-proses-destilasi/2/).
Diakses pada tanggal 4 Oktober 2019 pukul 11.00 WIB.
Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan
Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Rostagno, M. A. and Juliana M. P. 2013. Natural Product Extraction: Principles
and Applications (Green Chemistry Series). Orlean : Royal Society of
Chemistry.
Safrudin, N. dan Fitri N. 2018. “Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dan Uji
Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazyl) dari Ekstrak Daun Bidara (Ziziphus spina-christi L.)”. Jurnal
ITEKIMA. 4. 14.
Saied, S. A. Gebauer, J. and Hmmar, K. N. 2008.Ziziphus spina-christi (L.) Wild :
A multipurpose Fruit Tree. Genet Resour Crop Evol, 55:929-937.
Santos-Buelga, C., Gonzalez-Manzano, S., Duenas, M., and Gonzalez-Pramas, A.
M. 2012. Extraction and isolation of phenolic compounds. Vo. 864.
Springer Science. New York.
Sunardi, K. I. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing Wuluh
(Averrhoa blimbi, L.) terhadap 1,1-Diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH).
Seminar Nasional Teknologi. 1-9.
Tristantini, D. Ismawati, A Pradana, B. T. dan Jonathan, J. G. 2016. Pengujian
Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode DPPH pada Daun Tanjung
(Mimusops elengi L). Jurnal Pengembangan Teknologi Kimia untuk
Pengolahan Sumber Daya Alam Indonesia. ISSN 1693-4393. G1:1-7.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Widyasanti, A. Aryadi, H. dan Rohdiana, D. 2018. Pengaruh Perbedaan Lama
Ekstraksi Teh Putih dengan Menggunakan Metode Microwave Assisted
Extraction (MAE). Jurnal Teknologi Pertanian Andalas. 22(2):165-174.

Anda mungkin juga menyukai