Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman pisang kapok (Musa acuminatae balbisiana)

Gambar 2.1 Tanaman pisang kapok


2.1.1. Tanaman pisang kepok dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (Berkeping dua)
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa acuminatae balbisiana
(Hariana, 2008)
2.1.2. Morfologi tanaman
Pisang kepok merupakan salah satu buah pisang yang enak dimakan
setelah setelah diolah terlebih dahulu. Pisang kepok memiliki buah yang
sedikit pipih dan kulit yang tebal, jika sudah matang warna kulit buahnya
akan menjadi kuning. Pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang

lebih dikenal adalah pisang kepok putih dan pisang kepok kuning. Warna
buahnya sesuai dengan nama jenis pisangnya, yaitu putih dan kuning.
Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih enak, sehingga lebih
disukai masyarakat (Prabawati dkk, 2008).
Semua jenis buah pisang memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda.
Rata-rata dalam setiap 100 g daging buah pisang mengandung air
sebanyak 70 g, protein 1,2 g, lemak 0,3 g, pati 2,7 g, dan serat 0,5 g. Buah
pisang juga kaya akan potassium, sebanyak 400 mg/100 g. Potassium
merupakan bahan makanan untuk diet karena mengandung nilai kolestrol,
lemak dan garam yang rendah. Pisang kaya akan vitamin C, B6, vitamin
A, thiamin, ribaflavin, dan niacin. Energi yang terkandung dalam setiap
100 g daging buah pisang sebesar 275 kJ 465 kJ (Ashari, 2006).

Prabawati dkk (2008) menyebutkan bahwa kandungan karbohidrat buah pisang


merupakan karbohidrat kompleks tingkat sedang yang tersedia secara bertahap
sehingga dapat menyediakan energi dengan waktu yang tidak terlalu cepat.
Dibandingkan dengan karbohidrat yang ada pada gula pasir dan sirup, karbohidrat dalam
buah pisang menyediakan energi yang sedikit lambat, namun lebih cepat dari pada nasi,
biskuit dan sebagainya.
Pisang kepok banyak dikonsumsi dalam bentuk olahan. Pisang kepok di Filipina lebih
dikenal dengan nama pisang saba, sedangkan di Malaysia dikenal dengan nama pisang
nipah. Bentuk pisang kepok agak pipih sehingga pisang ini sering disebut pisang
gepeng. Berat pisang pertandan bisa mencapai 14 22 kg dengan jumlah sisir 10 16
sisir, setiap sisir 12 20 buah. Apabila sudah matang warna kulitnya kuning
menyeluruh (Satuhu dan Supriyadi, 1992).

2.1.3. Kandungan Kimia


Hampir semua bagian tanaman buah manggis ini menyimpan kandungan,
diantaranya adalah :
Buah pisang mengandung Semua jenis buah pisang memiliki kandungan
gizi yang berbeda-beda. Rata-rata dalam setiap 100 g daging buah pisang
mengandung air sebanyak 70 g, protein 1,2 g, lemak 0,3 g, pati 2,7 g, dan serat
0,5 g. Buah pisang juga kaya akan potassium, sebanyak 400 mg/100 g. Potassium
merupakan bahan makanan untuk diet karena mengandung nilai kolestrol, lemak
dan garam yang rendah. Pisang kaya akan vitamin C, B6, vitamin A, thiamin,

ribaflavin, dan niacin. Energi yang terkandung dalam setiap 100 g daging buah
pisang sebesar 275 kJ 465 kJ (Ashari, 2006).
Tidak hanya buahnya yang bermanfaat, hampir semua bagian tanaman
pisang bermanfaat dapat digunakan sebagai obat. Seperti daun, akar, pelepah,
bonggol, batang, getah
Getah pisang mengandung saponin, tanin, flavonoid, antrakuinon yang
berkhasiat sebagai antibiotik dan analgetik.

2.2. Simplisia
2.2.1. Pengertian
Simplisia adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum
mengalami perubahan proses apa pun, dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa
bahan yang telah dikeringkan (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Simplisia terdiri dari:
a. Simplisia nabati adalah simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian
tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya.
b. Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni.
c. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia berupa bahan pelikan atau mineral
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa
bahan kimia murni.
2.2.2. Tahap-Tahap Pembuatan Simplisia
a) Pengumpulan bahan
Yang perlu diperhatikan adalah umur tanaman atau bagian tanaman pada waktu
panen, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh.
b) Sortasi basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia sehingga tidak ikut terbawa pada proses
selanjutnya yang akan mempengaruhi hasil akhir.
c) Pencucian

Pencucian dilakukan agar menghilangkan tanah dan kotoran lainnya yang melekat
pada bahan simplisia. Sebaiknya air yang digunakan adalah air yang mengalir dan
sumbernya dari air bersih seperti air PAM, air sumur atau mata air.
d) Perajangan
Perajangan tidak harus selalu dilakukan. Pada dasarnya proses ini untuk
mempermudah proses pengeringan. Jika ukuran simplisia cukup kecil tipis, maka
proses ini dapat diabaikan.
e) Pengeringan
Pengeringan dilakukan agar memperoleh simplisia yang tidak mudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengeringan dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan secara buatan. Pengeringan
alami dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari baik secara langsung
maupun ditutupi dengan kain hitam. Sedangkan pengeringan secara buatan
dilakukan dengan oven.
f) Sortasi kering
Tujuan sortasi kering yaitu untuk memisahkan bahan-bahan asing seperti bagian
tanaman yang tidak diinginkan dan kotoran lain yang masih ada dan tertinggal di
simplisia kering.
2.2.3. Pengepakan dan Penyimpanan
Simplisia dapat rusak atau berubah mutunya karena faktor internal dan
eksternal simplisia, seperti:
a. Cahaya, sinar dengan panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan perubahan
kimia pada simplisia, misalnya isomerisasi, polimerisasi, rasemisasi, dan
sebagainya.
b. Oksigen udara, senyawa tertentu dalam simplisia dapat mengalami perubahan
kimia karena pengaruh oksigen udara sehingga terjadi oksidasi. Perubahan ini
dapat mempengaruhi bentuk simplisia, misalnya yang semula cair dapat berubah
menjadi kental atau padat, butir-butir, dan sebagainya.

c. Reaksi kimia internal, reaksi kimia internal dapat terjadi, misalnya reaksi oleh
enzim polimerisasi, otooksidasi, dan sebagainya.
d. Dehidrasi, apabila kelembaban udara lebih rendah dari kadar air simplisia, secara
perlahan-lahan simplisia akan kehilangan sebagian airnya sehingga semakin lama
semakin mengecil (keriput).
e. Penguapan air, simplisia higroskopis seperti agar-agar, bila disimpan dalam wadah
terbuka akan dapat menyerap kelembaban udara sehingga menjadi kempal, basah,
mencair.
f. Pengotoran, penyebab pengotoran simplisia, misalnya dapat berupa debu atau
pasir ekskresi hewan, bahan-bahan asing, dan fragmen wadah.
g. Serangga, pengotoran tidak hanya berupa kotoran serangga, tetapi dapat pula
berupa sisa-sisa metamorphosis, seperti cangkang telur, bekas kepongpong,
bungkus kepongpong, bekas kulit serangga dan sebagainya.
h. Kapang, kerusakan yang terjadi hanya terbatas pada jaringan simplisia, tetapi juga
akan rusak komposisi kandungan kimia. Kapang dapat pula mengeluarkan toksin
yang berbahaya dan mengganggu kesehatan manusia. Simplisia disimpan
ditempat-tempat yang memiliki suhu kamar (15oC-30oC), dapat pula ditempat
sejuk (5oC-15oC), atau tempat dingin (0oC-5oC), tergantung pada sifat dan
ketahanan simplisia. (Goeswin, 2007)

2.3. Ekstraksi
2.3.1. Pengertian
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.


(Farmakope IV, 1995)
Sedangkan ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya
dengan menggunakan pelarut. Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara,
ekstrak yang diperoleh sesudah pemisahan cairan dari resedu tanaman obat
dinamakan micella. Micella ini dapat diubah menjadi bentuk obat siap pakai,
seperti ekstrak cair dan tinktura atau sebagai produk atau bahan antara yang
selanjutnya dapat diproses menjadi ekstrak kering. (Goeswin, 2007)
2.3.2. Pelarut Ekstraksi
a) Pelarut Tunggal
Pelarut berikut dapat digunakan berdasarkan pertimbangan suhu didih agar
mudah diuapkan atau dihilangkan. Untuk menetukan suhu didih atau penguapan
dapat dilakukan dalam keadaan vakum.
Tabel 2.1
Pelarut Tunggal
No.

Jenis Pelarut

Suhu
Didih oC

1.Senyawa hidrokarbon
a) Petroleum eter
b) Bensin
c) N-heksan
d) Benzen
e) Toluen
f) Kloroform
2.Alkohol
a) Metil alkohol
b) Etanol
c) N-propanol
d) Isopropanol
3.
Keton aseton
4.Asam karboksilat
a) Asam asetat
5.Ester
a) Etil asetat

40-60
60-80
68,7
80,10
110,62
61,15
64,5
78,32
91,75
82,40
56,24
117,72
77,14

6.Eter
a) Di-etil eter

34,48

b) Pilihan Pelarut Ekstraksi


Untuk melakukan ekstraksi zat aktif tertentu dari bahan tanaman secara
sempurna, pelarut yang ideal adalah pelarut yang menunjukan selektivitas
maksimal, mempunyai kapasitas terbaik ditinjau dari koefisien saturasi produk
dalam medium, dan kompatibel dengan sifat-sifat bahan yang diekstraksi. Untuk
tiap-tiap tanaman, persyaratan ini harus dicari secara eksperimental karena pilihan
sering bergantung pada stabilitas senyawa yang akan diekstraksi dan juga pada
kemungkinan terjadinya antraksi dengan zat lain yang terdapat dalam proses
pengekstraksian.
Pada umumnya jika kita memilih faktor-faktor tersebut di atas secara
terpisah, dapat dikatakan bahwa alkohol alifatik sama dengan 3 atom karbon
propil, atau campurannya dengan air merupakan pelarut dengan daya ekstraktif
terbesar (tertinggi) untuk semua bahan alam berbobot molekul rendah, seperti
alkaloida, saponin dan flavonoid. Menurut farmakope, etanol merupakan pelarut
pilihan untuk memperoleh ekstrak secara klasik, seperti tinktur, ekstrak cair dan
ekstrak kental yang masih digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi.
Pelarut-pelarut tersebut disamping mempunyai daya ekstraktif yang tinggi, paling
sedikit minimal harus bersifat selektif dan dapat digunakan tidak hanya untuk
ekstraksi klasik (tinktur dan ekstraksi), tetapi dapat pula digunakan untuk
ekstraksi tanaman yang bahan berkhasiat atau zat aktifnya belum diketahui
dengan baik, dan diinginkan ekstrak yang paling lengkap. (Goeswin, 2007)
2.3.3. Jenis-jenis Ekstraksi
a) Ekstraksi Cara Dingin
1) Maserasi

Maserasi berasal dari kata macerare artinya melunakkan. Maserata


adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi
adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam
cairan penyari pada suhu biasa ataupun memakai pemanasan. Ph. Belanda VI
menetapkan suhunya 15oC-25oC. Maserasi juga merupakan proses pendahuluan
untuk pembuatan secara perkolasi. Berapa lama simplisia harus dimaserasi,
tergantung pada keadaannya, biasanya ditentukan pada tiap pembuatan sediaan.
Jika tidak ketentuan lain, biasanya setengah sampai dua jam, sedangkan
menurut Ph. Belanda VI untuk pembuatan ekstrak atau tingtur adalah lima hari.
Sesuai dengan derajat kehalusannya, simplisia dimasukkan ke dalam
wadah tertutup atau botol bermulut lebar bersama cairan penyari, yang
jumlahnya biasanya dilebihkan dari maserat yang diminta selama waktu yang
ditetapkan, dengan sering-sering diaduk, kemudian dikoler (diperkolasi) atau
disaring. Umumnya cara maserasi tidak dipergunakan pada pembuatan sediaan
galenik yang pekat seperti ekstrak karena tidak mungkin tertarik sampai habis,
meskipun ampasnya sudah diperas. Oleh sebab itu, maserasi hanya digunakan
pada pembuatan sediaan galenik yang tidak pekat atau sebagai pengolahan
pendahuluan pada pembuatan secara perkolasi. (Syamsuni, 2006)
2) Perkolasi
Percolare berasal dari kata colare = to strain, artinya menyerkai dan
per = through, artinya menembus. Dengan demikian, perkolasi adalah suatu
cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator yang simplisianya
terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan
menetes secara beraturan sampai memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Cara
perkolasi ini umumnya digunakan untuk pembuatan sediaan galenik yang

pekat, ekstrak, ekstrak cair, oleoresin, dan resin. Pada proses penarikan ini,
cairan penyari akan turun perlahan-lahan dari atas melalui simplisia (berlainan
dengan maserasi yang cairannya tidak mengalir). Perkolasi dengan tekanan
maksudnya adalah cairan penyari diisap keluar dengan memakai alat yang
disebut diacolator.

a.
b.
c.
d.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat perkolasi yaitu :


Mempersiapkan simplisia : derajat kehalusannya
Melembabkan dengan cairan penyari : maserasi pertama
Jenis perkolator yang digunakan dan mempersiapkannya
Cara memasukkan ke dalam perkolator dan lamanya di maserasi dalam

perkolator : maserasi kedua


e. Pengaturan penetesan cairan yang keluar dalam jangka waktu yang
ditetapkan. (Syamsuni, 2006)
Cara perkolasi ada empat macam yaitu cara perkolasi biasa, perkolasi
bertingkat, perkolasi bertekanan, dan perkolasi sinambung.
b) Ekstraksi Cara Panas
1) Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Anonim, 1979). Sebetulnya infusa
adalah air rebusan dari simplisia nabati. Simplisia nabati adalah bagian dari
tanaman atau seluruh tanaman atau eksudat tanaman yang kecuali dinyatakan
lain, simplisia nabati adalah bahan yang telah dikeringkan. Untuk pembuatan
infusa digunakan slat yang disebut panci infus. Simplisia yang dipakai jumlah
dan derajat kehalusannya berbeda, tergantung bagian tanaman yang
digunakannya. Merebus dilakukan selama 15 menit pada suhu air mendidih
yaitu 90oC. Jumlah air yang digunakan untuk infusa perlu penambahan air
imbuhan. Ini karena suatu infusa harus disaring dan simplisia yang dipakai

adalah simplisia yang telah dikeringkan. Umumnya air imbuhan yang dipakai
adalah 2X berat simplisia.
a) Pembuatan infusa secara umum
Simplisia yang telah dihaluskan sesuai dengan derajat kehalusan
yang ditetapkan dicampur dengan air secukupnya dalam sebuah panci.
Kemudian dipanaskan di dalam tangas air selama 15 menit, dihitung mulai
suhu didalam panci mencapai 90oC, sambil seringkali diaduk. Infus diserkai
sewaktu masih panas melalui kain flanel. Untuk mencukupi kekurangan air,
ditambahkan air mendidih melalui ampasnya. Infus simplisia yang
mengandung minyak atsiri harus diserkai sewaktu dingin (Syamsuni, 2006).
b) Pada pembuatan infusa, hal yang harus diperhatikan yaitu :
1. Banyaknya simplisia
2. Derajat halus simplisia
3. Jumlah air untuk menyari
4. Lama pemanasan
5. Cara menyaring
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan
mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh
dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam.
2) Sokletasi
Sokletasi merupakan suatu cara pengekstraksian tumbuhan dengan
memakai alat soklet. Pada cara ini pelarut dan simplisia di tempatkan secara
terpisah. Sokletasi digunakan untuk simplisia dengan khasiat yang relatif stabil
dan tahan terhadap pemanasan. Prinsip sokletasi adalah penyarian secara terus
menerus sehingga penyarian lebih sempurna dengan menggunakan pelarut
yang relatif sedikit. Jika penyarian telah selesai maka pelarutnya diuapkan dan
sisanya adalah zat tersari. Biasanya pelarutnya digunakan adalah pelarut yang
mudah menguap atau mempunyai titik didih yang rendah.
3) Destilasi

Adalah pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau


kemudahan menguap (volatilitas) bahan atau didefinisikan juga teknik
pemisahan kimia yang berdasarkan perbedaan titik didih. Dalam penyulingan,
campuran zat didihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan
kembali kedalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah
akan menguap lebih dahulu. (Voigt,1995).
4) Dekokta
Dekokta adalah suatu proses penyarian menggunakan simplisia dengan
perbandingan dan derajat kehalusan tertentu, cairan penyari air digunakan pada
suhu 90oC-95oC selama 30 menit.
5) Coque
Penyarian dengan cara menggodok tanaman obat atau jamu
menggunakan api langsung. Hasil godokan setelah mendidih dimanfaatkan
sebagai obat secara keseluruhan (termasuk ampas yang digodok), atau hanya
dimanfaatkan cairan hasil godokannya saja tanpa memanfaatkan ampasnya.
Cara ini sering digunakan dalam konsumsi jamu tradisional.
6) Seduhan
Seduhan menggunakan air mendidih, simplisia direndam dalam air
panas selama waktu tertentu (5-10 menit) seperti halnya membuat teh seduhan,
yang dikonsumsi adalah hasil seduhan tersebut. Cara ini masih luas digunakan
untuk konsumsi jamu seduh dan kelompok teh. (Goeswin, 2007)

2.4. Luka Bakar


2.4.1 Definisi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak langsung atau tak
langsung dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi.
2.4.1. Penyebab Luka Bakar

Penyebab luka bakar dapat digolongkan dalam beberapa jenis yaitu: flame
(kobaran api di tubuh), flash (jilatan api ketubuh), scald (terkena air panas), kontak
panas (tersentuh benda panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan kimia dan sun
burn (sengatan matahari).
2.4.2. Klasifikasi Luka Bakar
Penderita luka bakar dapat digolongkan berdasarkan dalamnya jaringan yang
terbakar. Klasifikasi ini selalu dikaitkan dengan luas permukaan tubuh yang terbakar
dan kita kenal sebagai derajat luka bakar. Derajat luka bakar ditentukan oleh
kedalaman jaringan tubuh yang rusak oleh trauma panas dan tergantung oleh dua
faktor yaitu intensitas dan lamanya panas mengenai tubuh dan rambatan panas pada
jaringan, Jaringan yang tidak mampu merambatkan panas akan menderita kerusakan
hebat (nekrosis), sebaliknya jaringan yang dapat meneruskan panas ke jaringan
sekitarnya yang cukup mengandung air akan cepat menurunkan suhu sehingga
kerusakan bisa lebih ringan.
2.4.3. Perubahan Anatomi Patologi pada Kulit
Pada luka bakar terjadi perubahan mikrosirkulasi kulit dan terbentuk edema.
Trauma panas menghasilkan perubahan karakteristik pada daerah yang terbakar,
yaitu zona dengan sel-sel mati sehingga sifatnya irreversible (zona koagulasi) dan
daerah paling luar yang memperlihatkan hiperemia dimana kerusakan sel sangat
minim dan paling dini menunjukan perbaikan (zona hiperemia). Diantara keduanya
terdapat zona statis dengan gangguan pada sel dan sirkulasi darah yang bersifat
sementara. Tetapi zona statis ini sangat potensial untuk menjadi luka yang lebih luas
dan lebih dalam sehingga mengenai seluruh tebal kulit karena kondisi sel-selnya
sangat peka terhadap infeksi dan kekeringan yang menimbulkan kematian.

Dengan penanganan luka bakar yang adekuat akan memberikan kesempatan


kepada pembuluh darah untuk menghilangkan sludging (pengendapan partikel padat
dari cairan) dan hipoksia jaringan tidak berlarut-larut. (Nugroho, 2012).
2.4.4. Fase Penyembuhan Luka
a. Fase Inflamasi
Meupakan awal dari proses penyembuhan luka sampai hari kelima. Proses
peradangan akut terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah cedera, sedangkan
proses epitelisasi mulai terbentuk pada fase ini beberapa jam setelah terjadi luka.
Fase ini mengalami konstriksi dan retraksi diserta hemostatis yang melepaskan
dan mengaktifkan sitokin yang berperan dalam terjadinya kemotaksis retrofil,
makrofag, mast sel, sel endoteleal dan fibroblas. Dan kemudian pada fase ini
terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit dan mengeluarkan mediator inflamasi
TGF Beta 1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.
b. Fase Poliferasi
Fase ini mengikuti fase inflamasi dan berlangsung selama 2-3 minggu.
Pada fase ini terjadi neoangiogenesis membentuk kapiler baru. Fase ini disebut
juga fibroplas menonjol peranannya. Fibroblas mengalami proliferasi dan
berfungsi dengan bantuan vitamin B dan vitamin C serta oksigen dalam
mensintesis kolagen, serat kolagen kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase
ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelisasi.
c. Fase Maturasi
Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses
penyembuhan luka, terjadi proses yang dinamis berupa

remodeling kolagen,

konstraksi luka dan pematangan perut. Fase ini berlangsung 3 minggu sampai 2
tahun. Akhir dari penyembuhan ini dapatkan parut luka yang matang dan
mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal.

2.4.5. Perawatan Luka


Dikenal dua cara merawat luka yaitu perawatan terbuka (exposure method)
dan perawatan tertutup (occlusive dressing method).
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka
yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang.
Kerugiannya bila digunakan obat tertentu, misalnya mitras-argenti, alas tidak
menjadi kotor. Penderita dan keluarga pun merasa kurang enak karena melihat luka
yang tampak kotor.
Perawatan terbuka ini memerlukan ketelatenan dan pengawasan yang ketat
dan aktif. Keadaan luka harus diamati beberapa kali dalam sehari. Cara ini baik
dalam merawat luka bakar yang dangkal. Untuk luka bakar derajat III dengan
eksudasi dan pembentukan pus harus dilakukan pembersihan luka berulang-ulang
untuk menjaga luka tetap kering. Tubuh sebagian yang luka dicuci dengan sabun atau
antiseptik.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang dimaksudkan
untuk menutup luka dari kemungkinan terkontaminasi. Keuntungannya adalah luka
tampak rapih, terlindung dan enak bagi penderita. Hanya diperlukan tenaga dan biaya
yang lebih karena di pakainya banyak pembalut dan antiseptik. Untuk menghindari
kemungkinan kuman untuk berkembang biak, sedapat mungkin luka ditutup kasa
penyerap (tole) setelah dibubuhi dan dikompres dengan antiseptik. Balutan kompres
dibuka beberapa kali sehari. (Nugroho, 2012).
2.5. Salep
2.5.1. Definisi Salep

Menurut Farmakope Indonesia III salep adalah sediaan setengah padat yang
mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya harus larut atau
terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
Dan menurut Farmakope Indonesia IV sediaan setengah padat ditunjukan
untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lender. Salep tidak boleh berbau
tengik. Kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep mengandung obat
keras atau obat narkotik adalah 10%.
Salep harus homogen dan ditentukan dengan cara salep dioleskan pada
sekeping kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukan susunan
yang homogen. (Anief, 2010).
2.5.2. Dasar Salep
Dasar salep dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Dasar salep hidrokarbon yaitu vaselin album, vaselin kuning, campuran vaselin
dengan malam putih, malam kuning, paraffin encer, paraffin padat, jalene, minyak
tumbuh-tumbuhan.
b. Dasar salep serap yaitu dapat menyerap air terdiri antara lain: adeps lanae, lanolin,
unguentum simplex, hydrophilic petrolatum.
c. Dasar salep dapat dicuci dengan air yaitu: dasar salep emulsi tipe A/M seperti
hydrophilic ointment, tipe M/A seperti vanishing cream.
d. Dasar salep yang dapat larut dalam air yaitu terdiri antara lain PEG atau campuran
PEG.
2.5.3. Cara Pembuatan Salep
Aturan umum ialah :

a. Zat yang dapat larut dalam dasar salep, dilarutkan bila perlu dengan pemanasan
rendah.
b. Zat yang tidak cukup larut dalam dasar salep, lebih dulu diserbuk dan diayak
dengan derajat ayakan nomor 100.
Setelah itu serbuk dicampur baik-baik dengan sama berat massa salep. Bila perlu
bahan dasar salep tersebut dilelehkan dulu, setelah itu sisa bahan-bahan yang lain
ditambahkan sedikit demi sedikit sambil digerus dan diaduk hingga homogen.
Untuk mencegah pengkristalan pada waktu pendinginan, seperti cera flava, cera
alba, cetylalcoholum dan paraffinum solidum tidak tersisa dari dasar salep yang
cair atau lunak. Pembuatan salep dengan asam borat tidak diizinkan dibuat dengan
pemanasan.
c. Zat yang mudah larut dalam air dan stabil, serta dasar salep mampu mendukung
atau menyerap air tesebut, dilarutkan dulu dalam air yang tersedia, setelah itu
ditambahkan bagian dasar salep yang lain.
d. Bila dasar salep dibuat dengan peleburan, maka campuran tersebut harus diaduk
sampai dingin.
Pembuatan dasar salep ini dibuat dalam cawan porselin sebagai pengaduk
digunakan batang gelas atau spatel kayu. Massa yang melekat pada dinding cawan
dan spatel atau batang gelas selalu dilepas dengan kertas film. Bahan salep yang
mengandung air tidak ikut dilelehkan tetapi diambil bagian lemaknya, sedangkan
air ditambah setelah massa salep diaduk sampai dingin. Bila bahan-bahan dari
salep mengandung kotoran, maka massa salep yang meleleh perlu dikolir (disaring

dengan kasa). Massa kolatur ditampung dalam mortir yang panas, dan diaduk
sampai dingin. Pada pengkoliran akan terjadi massa yang hilang, maka itu bahan
harus dilebihi 10-20%. (Anief, 2010).
2.5.4. Persyaratan Salep
a. Pemerian, tidak boleh berbau tengik
b. Kadar, kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras atau
obat narkotik, kadar bahan obat adalah 10%.
c. Dasar salep, kecuali dinyatakan lain, sebagian bahan dasar (basis salep) digunakan
vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan
pemakaian salep, dapat dipilih beberapa bahan dasar salep sebagai berikut:
1) Dasar salep senyawa hidrokarbon yaitu vaselin putih, vaselin kuning (vaselin
flavum), malam putih (cera album), malam kuning (cera flavum), atau
campurannya.
2) Dasar salep lemak bulu domba (adeps lanae), campuran 3 bagian kolesterol, 3
bagian stearil alkohol, 8 bagian malam putih dan 86 bagian vaselin putih,
campuran 30 bagian malam kuning dan 70 bagian minyak wijen.
3) Dasar salep yang dapet dicuci dengan air, misalnya PEG atau campurannya.
d. Homogenitas, jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang
cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen.
e. Penandaan, dalam etiket harus tertera obat luar.
2.5.5. Kualitas Dasar Salep

Kualitas dasar salep yang baik adalah:


a. Stabil: tidak terpengaruh oleh suhu dan kelembapan dan selama dipakai harus
bebas dari inkompatibilitas.
b. Lunak: harus halus, dan homogen.
c. Mudah dipakai.
d. Dasar salep yang cocok dapat terdistribusi secara merata. (Syamsuni, 2007).
2.5.6. Pengemasan dan Penyimpanan Salep
Salep biasanya dikemas baik dalam botol atau tube, botol dapat dibuat dari
gelas tidak berwarna, warna hijau, amber atau biru atau buram dan porselen putih.
Botol plastik juga dapat digunakan. Wadah dari gelas buram dan berwarna berguna
untuk salep yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Tube dibuat dari
kaleng atau plastik, beberapa diantaranya diberi tambahan kemasan dengan alat
bantu khusus bila salep akan digunakan untuk dipakai melalui rektum, mata, vagina,
telinga atau hidung. Tube dari salep untuk pemakaian pada mata kebanyakan
dikemas dalam tube kaleng atau plastik kecil dan dapat dilipat yang dapat
menampung sekitar 1/8 oz (sekitar 3,5 g salep). Tube salep untuk pemakaian topikal
lebih sering dari ukuran 5 sampai 30 gram. Botol untuk salep mungkin berbeda-beda
dalam ukuran dari yang kecil ounce sampai 1 pound atau lebih.
Botol salep dapat diisi dalam skala kecil oleh seorang ahli farmasi dengan
mengemas sejumlah salep yang sudah ditimbang kedalam botol dengan memakai
spatula yang fleksibel dan menekannya ke bawah, sejajar melalui tepi botol guna
menghindari kemungkinan terperangkapnya udara di dalam botol. Salep yang dibuat

dengan cara melebur dapat dituangkan langsung kedalam botol salep untuk
dibekukan dalam botol salep ini biasanya tampak sebagai hasil akhir yang bagus.
Salep dalam tube lebih luas pemakaiannya dari pada botol, disebabkan lebih
mudah dan menyenangkan digunakan oleh pasien dan tidak mudah menimbulkan
keracunan. Pengisian dalam tube juga mengurangi tekanan udara dan menghindari
kontaminasi mikroba yang potensial, oleh karena itu akan lebih stabil dan dapat
tahan lama pada pemakaian dibandingkan dengan salep dalam botol. Kebanyakan
salep harus disimpan pada temperatur di bawah 30C untuk mencegah melembek
apalagi dasar salepnya bersifat dapat mencair. (Ansel,H.C, 2008).
2.6. Betadine salep
Menurut ISO volume 48, betadine larutan atau salep mengandung :
Povidon iodine 10%
Indikasi : desinfektan sebelum dan setelah operasi, mencegah timbulnya infeksi pada
luka,pengobatan infeksi kulit, irigasi pada pleuritis dan osteomyelitis, kompres luka
bernanah
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap iodium.
Cara pemakaian : oleskan pada area yang sakit lalu ditutup dengan pembalut steril. Terapi
diulang sampai timbul efek yang diinginkan.
2.7. Uji Stabilitas
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan sifat dan
karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya. Pada saat dibuat (identitas, kekuatan,
dan kemurnian). Dalam batasan yang diinginkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan. Expire date adalah waktu yang tertera pada kemasan yang menunjukan batas
waktu yang diperbolehkannya obat tersebut dikonsumsi karena diharapkan masih memenuhi
spesifikasinya. Jika disimpan dalam wadahnya yang sesuai dengan kondisi penjualan
dipasaran. Uji stabilitas ini bertujuan untuk membuktikan bagaimana mutu zat aktif atau

produk obat berubah seiring waktu, dibawah pengaruh faktor lingkungan seperti temperatur,
kelembaban, dan cahaya.
Metode pengujian stabilitas obat terdiri dari:
a. Uji stabilitas jangka panjang untuk produk baru biasanya pengujian dilakukan pada suhu
kamar yang terkendali (30C 2C dengan kelembaban ruangan 75% 2C) , dengan
rentang waktu pengujian pada bulan 0, 3, 9, 12, 18, 24, 36, 48 dan 60. Biasanya
pengujian dilakukan sampai bulan ke-36, tetapi apabila masih memenuhi syarat pengujian
harus diteruskan sampai bulan ke-60.
b. Uji stabilitas dipercepat untuk produk baru biasanya pengujian dilakukan pada suhu
ekstrim yang terkendali (40C 2C dengan kelembaban ruang 75% 5%). Kecuali
untuk obat yang peka terhadap suhu dilakukan pada suhu ruangan (25C 2C) dengan
kelembaban ruangan (60C 5%) rentang waktu pengujian untuk uji stabilitas dipercepat
dilakukan pada bulan 0, 1, 2, 3 dan 6. Biasanya pengujian pada bulan ke -6 hanya untuk
senyawa obat baru. (Lachman, 1994)

2.8. Hewan Uji Mencit (Mus musculus L.)


Mencit (Mus Musculus L) termasuk mamalia pengerat (rodensia) yang cepat
berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar
serta sifat anatomisnya dan fisiologisnya terkarakteristik dengan baik. Mencit yang sering
digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil perkawinan tikus putih

inbreed maupun outbreed. Dari hasil perkawinan sampai generasi 20 akan dihasilkan
strain-strain murni dari mencit. Adapun klasifikasinya sebagai berikut :
Phylum

: Chordata

Sub phylum : Vertebrata


Class

: Mammalia

Ordo

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Mus

Species

: Mus musculus

Mencit (Mus musculus L) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil, berwarna
putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang untuk pemeliharaan mencit
(Mus musculus L) harus senantiasa bersih, kering dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang
pemeliharan juga harus dijaga kisarannya antara 18oC-19oC serta kelembaban udara antara
30-70%.
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan 18-35 gram,
lama hidupnya 1-2 tahun dapat mencapai 3 tahun. Masa reproduksi mencit betina
berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina maupun jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu.
Lama kebuntingan 19-20 hari. Jumlah anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir
antara 0,5-1,5 gram.
Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan tersebut
memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi, periode
kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak yang banyak serta terdapat keselarasan
pertumbuhan dengan kondisi manusia.

Gambar 2.2 Hewan Uji Mencit


( Mus musculus L )

Anda mungkin juga menyukai