Modul Qur'an
Modul Qur'an
A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan Konsep Tafsir, takwil, tarjamah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat.
1.2.1. Menganalisis Penerapan Tafsir, takwil, terjamah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat
نَﺎﯾﺑ و مﻠﺳ و ﮫﯾﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ دﻣﺣﻣ ﮫﯾِﺑﻧ ﻰﻠﻋ لَزﻧﻣلا ﷲ بﺎﺗﻛ مَﮭﻓ ﮫِﺑ ﻓرﻌﯾ مﻠﻋ
ﺎﻘِﻓاوﻣ هﺎَرﯾ يذَلا لﻣﺗﺣﻣلا نﺎﻛ اذإ ﮫﻠﻣﺗﺣَﯾ ﻰﻧﻌﻣ ﻰلإ رھﺎظلا هﺎﻧﻌﻣ نﻋ ظﻔﻠلا ﻓرﺻ ﺔﻧﺳلاو
بﺎﺗﻛﻠل
Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang
dikandung oleh lafadz tersebut selama makna yang dimaksud
tersebut dipandang sesuai dengan al qur’an dan al sunnah.
3. Terjemah
Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-
yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan.
Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang
berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua hal. Jika
seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan
memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang
hak dan yang batil,antara benar dan salah. Sedangakan kata mutasyabih
berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal.
Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah
ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat
diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang
mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya diketahui
maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan
membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4
Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam
pembahasan muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada surat ali
Imran (QS 3:7) :
رﺧأو بﺎﺗﻛلا ﻣأ ﻧھ تﺎﻣﻛﺣﻣ تﺎَﯾآ ﮫﻧﻣ بﺎﺗﻛلا كﯾَﻠﻋ لزﻧأ يذلا وھ
ءﺎَﻐﺗﺑا ﮫﻧﻣ َﮫﺑﺎﺷﺗ ﺎﻣ ﻧﻮﻌﺑﺗﯾَﻓ ﻎﯾز مِﮭﺑوﻠﻗ ﻲﻓ نﯾذلا ﺎﻣأَﻓ تﺎﮭﺑﺎﺷﺗﻣ مﻠﻌلا ﻲِﻓ
ﻻِإ َﮫﻠﯾوأﺗ َمﻠﻌﯾ ﺎﻣو ﮫﻠﯾوأﺗ ءﺎَﻐﺗﺑاو َﺔﻧﺗﻔلا بﺎَﺑلﻷا ولوأ ﻻِإ رﻛﱠَذﯾ ﺎﻣو ﺎَﻧّﺑر ﻧﻮﺧﺳارلاو
دﻧﻋ نﻣ لﻛ ِﮫﺑ ﺎ ﻧﻣآ ﻧﻮلوَﻘﯾ
Artinya:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al
qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal.
C. RANGKUMAN
Tafsir menurut istilah adalah sebuah disiplin yang digunakan untuk
memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan
makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Seseorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki
penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan
terhadap bidang ulumu al-Qur’an yang mencakup asbabun nuzul, makiyah
dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst. Selain itu seorang
mufassir harus mengetahui hadist-nabi Saw yang berkaitan dengan ayat-
ayat yang ditafsirkan.
Takwil menurut istilah adalah memalingkan lafadz dari maknanya
yang lahir kepada makna yang dikandung oleh lafadz tersebut selama
makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al qur’an dan al
sunnah. Penjelasan takwil dapat dipahami juga bahwa pada hakekatnya
takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat agar dapat menjelaskan
kandungan al Qur’an, yang berarti juga disebut tafsir.
Karena itu terdapat ulama’ yang memaknai takwil sama dengan
tafsir. Makna takwil dalam teks Alquran dan hadis sejak lama telah
diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi tafsir memahami
Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan
takwil yang benar.
Takwil sering digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat yang
mutasyabihat, ini diperlukan karena akan memudahkan dalam mencerna
dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman
sekarang dan akan datang.
Menurut Abd. ‘Azim al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabih dapat dibagi
tiga macam. Pertama, ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat
mengetahui maksudnya seperti pengetahuan tentang dzat Allah dan hari
kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah swt. Kedua, ayat-ayat
yang setiap orang dapat mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian, seperti Q. S. al-Nisa : 3 “ Dan jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah
wanita-wanita…”. Ketiga, ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya
dapat diketahui oleh para Ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Maksud yang demikian adalah makna- makna yang tinggi yang
memenuhi hat seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid.
Terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa al-Qur’an ke
bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke
beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa
‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan
terjemahan. Pola penerjemahan al Qur’an dibagi menjadi dua; terjemah
lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.
Penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili
seluruh maksud ayat-ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah
kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya,
maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an mampu
menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian
bukan berarti terjemah al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya
terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk melakukan tadabbur
(renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak memiliki
kemampuan bahasa arab secara baik.
D.TUGAS
1. Jelaskan pengertian tafsir dan takwil?
E. TES FORMATIF
1. Disiplin Ilmu Tafsir dapat dipahami sebagai:
a. Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan
menerangkan ulumul qur’an yang terdapat di dalamnya serta menggali
hukum-hukumnya.
b. Ilmu untuk memahami al Qur’an ,menerangkan makna-maknanya serta
menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
c. ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya dan makna
nuzulnya sesuai dengan kemampuan manusia.
d. Ilmu yang menjelaskan al-Qur’an dari segi asbabun nuzulnya, qiraatnya,
nasikh mansuknya isyarat ilmiahnya.
e. Ilmu untuk memahami al Qur’an, menerangkan makna-maknanya serta
menggali pemikiran dari para mufassir.
2. Memberikan makna bakteri yang beterbangan pada lafadz Thoirun disebut :
a. Tafsir
b. Muhkam
c. Mutasyabih
d. Takwil
e. Haakim
3. Memindahkan bahasa al-Qur’an ke bahasa lain agar dapat dibaca orang yang
tidak mengerti sehingga dapat memahami kitab Allah Swt lebih tepat
dipahami sebagai :
a. Tafsir
b. Takwil
c. Terjemah
d. Mutasyabih
e. Muhkam
4. Ayat yang dapat diketahui maknanya dan memiliki satu makna serta
dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain.
a. Terjemah
b. Mutasyabih
c. Takwil
d. Muhkam
e. Mu’jam
5. Ayat yang lafadznya memungkinkan memiliki lebih dari satu makna dan
membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain serta
hakekatnya hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, disebut :
a. Tafsir
b. Mutasyabih
c. Muhkam
d. Takwil
e. Takbir
F. KUNCI JAWABAN
1. B
2. D
3. C
4. D
5. B
1
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hat, 2011),
554.
2
. Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath
Thabaah wa al Nasyr. Hal;37
3
. Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66
4
. Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208
5
. Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an
Menurut Mutazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan,
2003), 209.
6
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91
DAFTAR PUSTAKA
B. URAIAN MATERI
Pada zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau
metode khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan
langsung disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan.
Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui
bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan.
Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara
penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’
di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al
Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al Qur’an
adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist Nabi Saw maupun
atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat
tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’ mufassir yang lain
menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berfikir yang kemudian
dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena itu ditinjau dari
sumbernya, penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur ,
Tafsir bi al-Ra’yi dan Tafsir al Isyari
1. Pendekatan Penafsiran Al Qur’an
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasan-
penjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist
maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al
Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah,
karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw,
atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat
Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan
bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang
dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para
sahabat. Karena itu sumber penafsiran bi-al-Riwayah ini dipandang sebagai
penafsiran terbaik terhadap al-
Qur’an,karenadianggaplebihterjagadarikekeliruandanpenyimpangandalammenafsirk
analQur’an. Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk
menafsirkan ayat al- Qur’an, yaitu;
a) Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain
Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan
dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain.
Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan
Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat.
Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan
(dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al
Hasyr ( QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:
وھ ( مﯾﺣرلا نﻣﺣرلا وھ ةدﺎﮭﺷلاو بﯾَﻐلا مﻻﻋ وھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ يذلا22)وھ ﻻ يذلا
نﺎﺣﺑﺳ رﺑﻛﺗﻣلا رﺎﺑجلا زﯾَزﻌلا نﻣﯾﮭﻣلا نﻣؤﻣلا مﻼﺳلا ﺎﻣﻋ ﺳﻮدﻘلا كﻠﻣلا وھ ﻻِإ َﮫِلإ
ﻮھ ﻲِﻓ ﺎﻣ َﮫل ﺢﺒﺴﯾ ﻰﻨﺴﺤلا ءﺎﻤﺳﻷا َﮫل رﻮﺼﻤلا ئرﺎ َﺒلا ﻖلﺎﺨلا (23) ﻧﻮﻛرﺷﯾ
(24) ﻢﯿﻜﺤلا زﯾَزﻌلا ﻮھﻮ ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻤﺴلا
Artinya :
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah
Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang
Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan
bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).
Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
karya
Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.
(4) ِﻚَﻠﻣ
ِ ِ ﻦﯾﺪﱢلا ِْمﻮَﯾ
Artnya :
Tuhan yang menguasai hari pembalasan.
Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang amat
mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat.
Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling
tnggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai orang yang
percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang menciptakan 'alam
buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tdak percaya kepada Hari Balasan.
Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al- Qur'an. Sepert pada
surat azZumar (SQ 29;28) :
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.
Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:
بﯾجﻋ ءﻲﺷ ا َذھ ﻧﻮِرﻓﺎﻛلا لﺎ ََﻘﻓ مﮭﻧﻣ رذﻧﻣ ﻣھءﺎج ﻧأ اوﺑجﻋ لَﺑ
"Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi
peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafr: "Ini adalah
suatu perkara yang amat aneh. "
Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di dalam
Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hat manusia pada sebuah
'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tdak begitu terkongkong
kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketka itu mereka tdak lagi terpengaruh
kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tdak begitu gelisah untuk
mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia mereka yang
pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketka itu barulah mereka dapat berbuat
amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup menunggu ganjarannya mengikut
bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam Akhirat.
c. Tafsir al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang
berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya
untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat
yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.5 Senada
dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al
Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan
tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir bi al-Isyarah
terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh
lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau
hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna
secara lafazh.6
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah :7
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :
ﻰﻠﻋ اوِظﻓﺎﺣ
َ اوﻣوﻗو ﻰطﺳولا ﻼة ﺻلاو ﺗﺎوَﻠﺻلا نﯾِﺗﻧﺎَﻗ
Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan
Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima
macam shalat sebagai berikut:
ﺐﯿﻐلا مﺎﻘﻣ دﻮﮭﺸﺑ رﺴلا ةﻼﺻ ﺲﻤﺧ ﺗﺎﻮﻠﺼلا ﻧﺈ، ﺐﯾرلا ﻰﻋاود ﻦﻋ ﺎھﺪﻮﻤﺨﺑ ﺲﻔﻨلا ةﻼﺻو، و
ﻒﺸﻜلا راﻮﻧأ ﮫﺘﺒﻗارﻤﺑ ﺐﻠﻘلا ةﻼﺻ، ﻞﺻﻮلا ةﺪھﺎﺸﻤﺑ ﺣﻮرلا ةﻼﺻو، ﺳﺎﻮﺤلا ﻆﻔﺤﺑ نﺪﺒلا ةﻼﺻو
. دوﺪﺤلا ﺔﻣﺎﻗإو
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam
ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan
cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.
Bila dilihat dari terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami
shalat al-wustha cenderung dengan pendekatan sufistik.
Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah
dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi
istri Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka
ketentuan hukumnya dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita
lainnya. Disebutkan bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata.
Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna
membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka
ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaika n, dan makna andaikan itu
tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt.
dalam ayat
yang lain, yaitu:
C. RANGKUMAN
Ditinjau dari sumbernya, penafsirannya dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu:
Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat
beberapa cara untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, yaitu; a. Penafsiran ayat dengan ayat al-
Quran yang lain, b. Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw, c.Penafsirat ayat al
Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.
Tafsir bi al-Ra’yi memiliki kelebihan, yaitu mempunyai ruang lingkup yang
luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara
mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kelemahannya adalah
memungkinkan menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga
memberikan kesan Quran tidak utuh dan tdak konsisten. Di samping itu,
kemungkinan menimbulkan kesan subyektf serta tidak tertutup kemungkinan
masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran
yang berkembang.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an di dalam kitab-kitab tafsir, terdapat
metode yang digunakan, yaitu; 1. Metode Tahlili, yaitu suatu metode dalam menjelaskan
ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata
urutan dengan penjelasan yang terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing
mufassir, 2. Metode Ijmali (Global), yaitu metode yang dalam menjelaskan ayat Al-
Qur’an dilakukan dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa
yang ringkas supaya mudah dipahami, 3. Metode Muqaran, yaitu metode menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan
atau kemiripan tema, membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw,
perkataan sahabat maupun tabi’in dan juga Di samping itu juga mengkaji pendapat para
ulama tafsir kemudian membandingkannya atau antara satu kitab tafsir dengan kitab
tafsir lainnya, bisa juga perbandingan teks lintas kitab samawi, 4. Metode Maudhu’i
(Tematik) adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu
tema tertentu, ini dilakukan agar mampu menjawab kebutuhan zaman , lebih praktis dan
sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis. Namun kekurangannya dapat
membatasi pemahaman terhadap ayat.
D. TUGAS
1. Menurut Anda, di mana letak perbedaan pokok pada pendekatan Tafsir bi al-Ma’tsur
dan Tafsir bi al-Ra’yi ?
2. Carilah contoh penafsiran ayat al Qur’an dengan pendekatan bi al ma’tsur.
3. Jelaskan langkah-langkah menyusun tafsir maudhu’i.
E. TES FORMATIF
1. Ditinjau dari sumber penafsirannya maka terdapat istilah :
a. Tafsir bi al-Ma’tsur,Tafsir bi al-Ra’yi dan tafsir isyari
b. Tafsir ayat dijelaskan dengan ayat al Qur’an yang lain
c. Tafsir Tahlili dan tafsir Ijmali
d. Tafsir maudhu’I dan tafsir muqaran
e. Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.
F.KUNCI JAWABAN
1. A
2. B
3. A
4. D
5. B
1
. Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M.
2
.M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat,
Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds.
Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hat.)
3
. Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali.
(1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248
4
. Avif Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir,
Volume 1 Nomor 1 Juni 2018
5
. Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid II, Cet. Ke-2,
hal. 352
6
. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang: Lentera Hat, 2013, h. 373
7
. Abd Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli
2010
8
. Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419 H), 60
9
. Al-Farmawiy, ‘Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Cet. II , h. 62.
DAFTAR PUSTAKA
A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi
1.1.2. Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan toleransi
.
B. URAIAN MATERI PELAJARAN
1. Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah
sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat
diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan
sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat
sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai
kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang
telah dilakukan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah
bersih dari kotoran. Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang
yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa
menyekutukan-Nya. Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya
sebagai bagian dari riya’ maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas
dapat diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha
Allah semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan
memurnikan niatnya dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri.
Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani
itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal
yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan
kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari
amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya
untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan
kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa
ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa,
merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan
sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai
berikut:
- Surah Ghafir (QS.40: 14)
ﻧﻮرﻔﻜلٱ هرﻛ َﻮلو ﻦﯾﺪلٱ ﮫَل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ ٱ اﻮﻋْدَﭑﻓ
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah
kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.
Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan
(mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari
segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai
keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah
memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan)
penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir
maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai
hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits
yang relevan, diantaranya ialah:
ﺪﻤﺣأ مﺎﻣﻹا لَﺎﻗ رﺑد: ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ رﯿﻤﻧ ﻦﺑ، مﺎﺸھ ﺎ َﻨﺛﺪﺣ- رَﯿﺑزلا ﻦﺑ ةورﻋ ﻦﺑ ﻲﻨﻌﯾ- ﻦﻋ
لَﺎﻗ ﻲﻜﻤلا ﺳرﺪﻣ ﻦﺑ ﻢﻠﺴﻣ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ رﯿَﺑزلا ِﻲﺑأ: ﺪﺒﻋ نﺎﻛ ِﻲﻓ لﻮﻘَﯾ رﯿَﺑزلا ﻦﺑ
ﻢﻠﺴﯾ ﻦﯿﺣ ﻼة ﺻ ﻞﻛ: ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ، َﮫل ﻚﯾرﺷ ﻻ هﺪﺣو، ﺪﻤﺤلا َﮫلو ﻚﻠﻤلا ﮫَل، ﻰﻠﻋ ﻮھﻮ
َ
ﺎِﺑ ﻻِإ ةﻮﻗ ﻻو لﻮﺣ، ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ، هﺎﯾِإ ﻻِإ ﺪﺒَﻌﻧ ﻻو، ﮫَلو ﺔﻤِﻌﻨلا َﮫل رﯾﺪَﻗ ءﻲﺷ ﻞﻛ، ﻻ
ﻞَﻀﻔلا ﻼة ﺻ ﻞﻛ، َﮫلو: ﻦﺴﺤلا ءﺎ َﻨﺜلا، ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ ، لَﺎﻗ "ﻧﻮِرﻓﺎﻜلا هرﻛ ﻮَلو ﻦﯾﺪلا َﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ
Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah
Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa berikut:
ﻻإ َﮫِلإ ﻻ ، َﮫل ﻚﯾرﺷ ﻻ هﺪﺣو، ﺪﻤﺤلا َﮫلو ﻚﻠﻤلا َﮫل، رﯾﺪَﻗ ءﻲﺷ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﻮھﻮ. "ﻻ
ﺎﺑ ﻻِإ ةﻮﻗ ﻻو، ﻻِإ ﮫَِلإ ﻻ هﺎﯾِإ ﻻِإ ﺪﺒَﻌﻧ ﻻو، ﻞَﻀﻔلا َﮫلو ﺔﻤِﻌﻨلا َﮫل، ءﺎ َﻨﺜلا ﮫلو لﻮﺣ
ِﻢﺗﺎﺣ ِﻲﺑأ: ﺢﺻَﺎﻧ ﻦﺑ ﺐﯿﺼﺨلا ﺎ َﻨﺛﺪﺣ ﻊِﯿﺑرلا ﺎَﻨﺛﺪﺣ، ﺢﻻﺻ ﺎ َﻨﺛﺪﺣ- ﻨﻌﯾ
َ يرﻤلا ِﻲ- ﻦﺑ مﺎﺸھ ﻦﻋ
ﻦﺑا لَﺎﻗ
ﺔَﺑﺎجﻹِﺎﺑ نﻮﻮﻨِﻗﻮﻣ ﻢﺘﻧأو، ﻧأ اﻮَﻤﻠﻋاو نﺎﺴﺣ "هﻻ ﻞِﻓﺎﻏ ﺐَﻠﻗ ﻦﻣ ءﺎﻋد ﺐﯿﺠﺘَﺴﯾ ﻻ،
"ﷲ اﻮﻋدا
Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah
Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia)
sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)
Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-
satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan bagi
seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya dengan
segala ketulusan.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan
menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian
penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan
penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu
Katsir ialah sebagai berikut:
ﻮھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ ﻲﺤلا ﻮھ
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65)
Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia
tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang
Maha lahir lagi Maha batin.
ﻮھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ
Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65)
Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.
ﻦﯾﺪلا ﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ هﻮﻋْدَﺎﻓ
maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir:
65)
dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib
disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:
(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu
perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada
lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan
luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan
menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di
setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan
sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia
menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya
Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup
kembali.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki
penafsiran sebagai berikut:
Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh
kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing-
masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia
menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa,
kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan
semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."
Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan
syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari
diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi
rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya
mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.
b. Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan
bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan
“aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan
tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”
musyrik mendustakanmu, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka.
“ ﻢﻜﻠﻤﻋ ﻢﻜﱠ َلو ﻰﻠﻤﻋ ﻰّل ﻞَﻘﻓMaka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan
bagimu
pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya: ﻧﻮِرﻓﺎﻜلا ﺎﱡﮭﯾأﺎَﯾ ﻞﻗ# ﻧﻮﺪﺒﻌﺗ ﺎﻣ ﺪﺒﻋا ﻻ
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa
yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun: 1-2).
Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi
melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi: ﻲلو ﻢﻜﻨﯾد
ﻢﻜَل
“ ﻦﯾدUntukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain
dijelaskan sebagai berikut:
“(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada
lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf
atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua
kondisi tersebut.”
Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna
dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan
bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.”
Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy
berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik,
baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam
upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang
kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami
dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa
menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”.
karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani
dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad, sekiranya
kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami
akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan
peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai
petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah
Saw menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-
terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik
agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin.
Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij)
3. Murah Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah)
memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik
hatikebaikan hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia
dan hangat berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain
dengan memberi secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
ﻦﻜلو ﻢﮭىﺪھ ﻚَﯿﻠﻋ
َ ٱ َ ﺎﻣو ٱ ﮫجو ءﺎ َِﻐﺘﺑٱ ِﻻإ نﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو ﻢﻜﺴﻔﻧ
ﻸﻓ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو ءﺎَﺸﯾ ﻦﻣ يﺪﮭَﯾ ﻮ
ﺲﯿﱠل
(272 :ﻜﯿِلإ فﻮﯾ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻮﻘﻔﻨﺗ )ةرﻘﺒلا
َ نﻮﻤَﻠﻈﺗ ﻻ ﻢﺘﻧأو ﻢ
Artinya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup
sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka
memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu
mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi
mereka. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada
kaum Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-
Thabrani dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat
ini yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang
yang beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Firman-Nya ( )ﻢﻜﺴﻔﻧﻸﻓ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣوsebgaimana dalam Surah Fushishilat
ayat 46 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka
[pahalanya] untuk dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut
cukup banyak di dalam Al-Quran. Firman-Nya ()ﷲ ﮫجو ءﺎﻐﺘﺑا ﻻإ نﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو
Al- Hasari Al-Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin
untuk dirinya sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya
melainkan dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani
mengatakan: “Yakni, jika engkau memberikan sesuatu karena mencari
keridhaan Allah Swt, maka pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini
merupakan makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang
bersedekah dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya
terserah pada-Nya, dan tidak ada masalah baginya, apakah sedekah itu diterima
oleh orang yang baik atau orang yang jahat, orang yang berhak menerima
maupun orang yang tidak berhak menerima. Orang yang bersedekah ini tetap
mendapatkan pahala atas niatnya.
Firman-Nya ( )نﻮﻤﻠﻈﺗ ﻻ ﻢﺘﻧأو ﻢﻜﯿلإ فﻮﯾ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣوyang menjadi sandaran
dalam kalimat ayat sebelumnya adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga
berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu
Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
ﻞجر لﺎﻗ: ﺔَﻗﺪﺼﺑ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا ﻦَﻗﺪﺼﺗﻷ، ﺨﻓ َ ﺔَِﯿﻧاز َﺪﯾ ِﻲﻓ ﺎَﮭﻌضَﻮﻓ ِﮫﺘَﻗﺪﺼِﺑ جر، "سﺎﱠﻨلا ﺢَﺒﺻَأﻓ
ﺔَِﯿﻧاز ﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤلا َﻚل، ﺔَﻗﺪﺼِﺑ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا ﻦَﻗﺪﺼﺗﻷ، ﺨﻓ َ جر:نﻮﺛﺪﺤﺘَﯾ: لَﺎﻘﻓ !ﺔَِﯿﻧاز َﻰﻠﻋ قﺪﺼﺗ
ﻢﮭﱠﻠلا
ِﻲﻨﻏ َﺪﯾ ِﻲﻓ ﺎَﮭﻌضَﻮﻓ، ﺤﺒﺻَأﻓ
َ نﻮﺛﺪﺤﺘَﯾ اﻮ: لﺎ ََﻘﻓ !ﻲﻨﻏ َﻰﻠﻋ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا قﺪﺼﺗ: ﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤلا ﻚَل ﻢﮭﱠﻠلا
ﺔﻗﺪﺼِﺑ ﺔﻠﯿﱠﻠلا ﻦَﻗﺪﺼﺗﻷ، ﻗرﺎﺳ َﺪﯾ ﻲِﻓ ﺎَﮭﻌضَﻮﻓ ﮫِﺘَﻗﺪﺼِﺑ جرﺨﻓ، ﺤﺒﺻَأﻓ َ نﻮﺛﺪﺤﺘَﯾ اﻮ: ﮫِﺘَﻗﺪﺼِﺑ قﺪﺼﺗ
لﺎ ََﻘﻓ !ﻗرﺎﺳ: ﺔَِﯿﻧاز َﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤلا ﻚل ﻢﮭﱠﻠلا، ِﻲﻨﻏ َﻰﻠﻋو، ﻰﻠﻋو َ ﻗرﺎﺳ، ﮫل ﻞﯿَﻘﻓ ِﻲﺗأﻓ: ِﻲﻨﻏ ﺎﻣأ،
ﺎھﺎ َﻧز ﻦﻋ ﺎﮭِﺑ ﻒﻌﺘﺴﺗ ﻧأ ﺎ ﱠﮭﻠ َﻌﻠَﻓ ﺔَِﯿﻧازلا ﺎﻣأو ؛، ﻞَﻌلو
َ ﻰﻠﻋ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا هﺎﻄﻋأ ﺎﻤﻣ ﻖﻔﻮﻨﯿَﻓ ِرﺒﺘﻌَﯾ ِﻲَﻨﻐلا
E. RAMBU-RAMBU JAWABAN
1. Ikhlas dalam beribadah berarti melaksanakan ibadah dan amalan dengan
sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan segala ketulusan dan kemurnian hati
hanya untuk Allah SWT, tanpa menyekutukannya. Artinya, bukan
diperuntukkan pada hal lain selain Allah SWT.
2. Manusia sebagai makhluk Allah yang berkewajiban beribadah hendaknya
menjalankan ajaran Allah dalam bersosialisasi, yaitu menerapkan sikap
toleransi. Hal ini sebagaimana Allah telah ajarkan salah satunya dalam
surat Al Kafirun ayat 6 yang menjelaskan tentang kebebasan beragama.
3. Asbabun nuzul surat Al Kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy berusaha
keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling
cantik, baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau.
Dalam upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai
Muhammad yang kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan
menghina tuhan kami dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat
ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah
Tuhanku lebih dahulu.”. karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah
Subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW berupa
surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan Rasulullah
untuk menolak tawaran mereka.
4. ( ﷲ ﮫجو ءﺎﻐﺘﺑا ﻻإ نﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣوQS. Al Baqarah: 272)
Seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya kecuali untuk mendapatkan
ridha Allah. Dan dengan ridha Allah hatinya merasa mantap bahwa urusan
dunia dan akhirat akan dimudahkan
5. Sifat murah hati atau sedekah yang diniatkan untuk mengharapkan ridha
Allah akan membuat hati pelakunya merasa mantap bahwa Allah akan
menerima sedekahnya. Sehingga hatinya percaya bahwa Allah akan
memberi berkah pada hartanya. Selanjunya iapun akan percaya kepada
kebaikan dan kebajikan dari Allah sebagai balasan kebaikan dan
kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah
F. TES FORMATIF
G. KUNCI JAWABAN
1. C
2. B
3. E
4. A
5. C
DAFTAR PUSTAKA
, Terjemah Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 3. (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002)
Moh Amin, Sepuluh Induk Akhlak Terpuji. (Jakarta: Kalam Mulia, 1997)15
A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan Ayat Al Qur’an tentang konsep integrasi ilmu pengetahuan.
1.2.1. Manganalisis Karakteristik Ulul albab.
B. URAIAN MATERI PELAJARAN
1. Sosok Ulul Albab
Dikisahkan bahwa suatu ketika orang-orang Quraisy datang kepada kaum Yahudi
dan bertanya kepada mereka, apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?” orang-
orang Yahudi itu menjawab “Tongkat dan tangan yang mengeluarkan cahaya putih.”
Selanjutnya orang-orang Quraisy itu mendatangi kaum Nasrani, lalu bertanya kepada
mereka, “apa tanda-tanda yang diperlihatkan Isa?.” Kaum Nasrani menjawab, “ Isa
menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan menghidupkan orang mati.”
Setelah orang-orang Quraisy mendatangi Yahudi dan Nasrani, kemudian mereka
mendatangi Nabi Saw sambil berkata kepada beliau; “Berdoalah kepada Tuhanmu untuk
mengubah bukit shafa menjadi emas untuk kami.” Nabi Saw kemudian berdoa, maka
turunlah firman Allah Q.S Ali Imran 190 ini ;1
( بﺎ َﺑلﻷا ﻲلوﻷ تﺎ َﯾﻵ رﺎﮭﻧلاو لﯾﻠلا فِﻼﺗﺧاو ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻣﺳلا ﻖﻠﺧ ﻲﻓ ﻧِﺈ190) ﻧﻮرﻛذَﯾ نﯾذلا
ﺎﻧﻘَﻓ َكﻧﺎﺣﺑﺳ ﻼطَﺎﺑ اذھ تﻘَﻠﺧ ﺎﻣ ﺎ َﻧﺑر ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻣﺳلا ﻖﻠﺧ ﻲِﻓ ﻧﻮرﻛ َﻔﺗﯾو مِﮭﺑوﻧج ﻰﻠﻋو ادوﻌﻗو ﺎﻣﺎ َﯾِﻗ
Nabi Saw ketika berdiri mengerjakan salat beliau menangis sehingga jenggotnya
basah oleh air mata. Ketika sujud beliau juga menangis hingga air matanya membasahi
tanah kemudian berbaring beliau menangis lagi. Ketika Bilal datang untuk memberitahukan
kepadanya waktu salat subuh, seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang
menyebabkan engkau menangis, padahal Allah telah memberikan ampunan kepadamu
terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Nabi Saw. menjawab,
“Bagaimana aku tidak menangis, malam ini Allah telah menurunkan kepadaku ayat ini:
'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
hari terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab (Ali Imran: 190)." Kemudian Nabi Saw.
bersabda pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak merenungkan
semuanya itu."
Pada Surat Ali Imran 190 ini mengisyaratkan tentang tauhid, keesaan, dan kekuasaan
Allah SWT. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan, pada hakikatnya
ditetapkan dan diatur oleh Allah Yang Mahahidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha
Mengelola segala sesuatu).2
Surat Ali Imran ayat 190-191 menegaskan penciptaan semesta, yaitu langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang adalah sebagai tanda-Nya. Tanda itu mampu diterima
oleh ulul albab, yaitu orang-orang yang selalu berdzikir dan bertafakkur. Berdzikir berarti
senantiasa mengingat Allah dan bertafakkur berarti merenungi dan memikirkan segala
ciptaan Allah Swt yang meliputi langit dan bumi serta segala isinya dan hukum-hukum yang
berlaku di dalamnya.
Dua dimensi yang tidak dipisahkan dalam ayat tersebut sehingga disebut ulul albab
adalah dimensi dzikir (mengingat Allah Swt) dalam kondisi apapun; baik berdiri,duduk
maupun berbaring, di mana setiap orang secara umum memang berada di salah satu dari
tiga kondisi tersebut. Dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan renungan) terhadap
ciptaan Allah Swt yang tersebar di semesta alam ini; penciptaan langit dan bumi serta
pergantian siang dan malam. Dimensi ke dua ini tentu saja bersifat global dengan tidak
merinci bagian-bagian langit dan bagian-bagian bumi serta hukum-hukum alam yang
menjadi sunnatullah, karena menyebut tiga hal tersebut sudah mewakili apapun yang ada
padanya dan bagaimanapun keadaannya dan yang diakibatkannya telah masuk pada
system keberadaan langit, bumi dan perputarannya.
Memikirkan dan merenungkan bagian-bagian kecil dari langit, misalnya; memikirkan
bulan, matahari, planet atau sinarnya, awannya, panasnya dan juga bagian kecil dari bumi;
memikirkan hewannya, tumbuhannya, manusianya atau udaranya, maka perbuatan ini juga
di sebut tafakkur fi khalqissamawati wa al ardhi (merenungkan penciptakan langit dan bumi
). Lebih terperinci lagi bahwa seseorang yang melakukan perenungan melalui berbagai
kajian yang sungguh-sungguh dalam berbagai disiplin ilmu baik social maupun sains pada
hakekatnya sedang melakukan tafakkur.
Kembali pada surat Ali Imran;190 yang menegaskan bahwa dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi ulul
albab. Kata Ulul albab menurut tafsir Ibnu Katsir adalah orang yang memiliki akal yang
sempurna lagi cerdas yang mengerti tentang hakekat dibalik adanya segala sesuatu yang
tampak. Tanda-tanda yang tersebar di semesta adalah tanda adanya Allah Swt, yang
berarti tanda wujud-Nya, keagungan-Nya, kemahabesaran-Nya, kemahaindahan-Nya,
kemahakaryaannya dan kemahasempurnaan-Nya meliputi segala sesuatu.
Namun tanda wujudnya Allah Swt tersebut hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh
orang-orang yang disebut ulul albab, bukan oleh orang lain. Siapakah ulul albab tersebut ?
Seseorang disebut Ulul albab pada ayat tersebut harus memiliki dua syarat, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya; syarat pertama yaitu dimensi dzikir (mengingat Allah Swt)
dalam kondisi apapun. Syarat kedua yaitu dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan
renungan) terhadap ciptaan Allah Swt yang tersebar di semesta. Dua dimensi itu ibarat dua
sisi mata uang pada satu logam yang tidak bisa dipisah-pisahkan, bertafakur tanpa berdzikir
tidaklah di sebut ulul albab, demikian juga sebaliknya.
Seorang ulul albab senantiasa mengingat kepada Allah Swt dan melakukan kajian-
kajian serta renungan terhadap kejadian-kejadian pada ciptaan Allah Swt, sehingga pada
akhirnya dia menemukan hikmah yang agung pada setiap ciptaan Allah Swt. Dia
menemukan sebuah system keserasiaan, keseimbangan dan keharmonisan serta
penjagaan Allah Swt terhadap semesta. Dan pada seorang ululalbab memahami bahwa
segala apa yang Allah ciptakakan memberikan manfaat yang besar terhadap kehidupan dan
tidak ada yang sia-sia.
Dalam konteks saat ini seorang ulul albab memiliki sifat dan sikap seperti
kritis, mau berusaha dan berkreasi untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan
kelestarian kehidupan. Sifat dan sikap tersebut dapat dijelaskan berikut ini 3:
a. Memiliki sikap kritis secra rinci rinci lagi ada tiga cirri utama; yaitu berdzikir,
memikirkan atau mengamati fenomena alam dan berkreasi. Dari uraian tersebut
dapat dipahami bahwa berfikir kritis memiliki tiga tuntutan besar: 1) Berdzikir.
Seorang yang berfikir kritis dan cerdas, ciri pertama adalah selalu berdzikir
kepada Allah swt baik siang dan malam, pada saat berdiri, duduk dan berbaring.
Maknanya tiada waktu tanpa berdzikir, segala waktu diisi dengan dzikir baik
dalam shalat maupun di luar shalat. Berdzikir bukan saja hanya ingat tetapi juga
membaca kitab Allah, memahami isinya, menyebar luaskan dan mengamalkan isi
kandungannya. Membelajari kitab suci dalam rangka memahami , menyebar
luaskan dan menerapkan nilai-nilainya di tengah-tengah masyarakat yang sangat
beragam kebutuhan dan problemanya. 2) Berfikir Kritis. Berfikir kritis berarti
mengamati, meneliti, menyimpulkan dan membuktikan kebenarannya. Mengamati
ayat-ayat Tuhan di alam raya ini baik dalam diri manusia secara perorangan
maupun berkelompok, di samping juga mengamati fenomena alam. Mereka
berfikir tentang ciptaan langit dan bumi. Menurut Muhammad Quthub
sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab bahwa ayat-ayat tersebut
merupakan metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam
terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama
di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang
tersaji dalam alam jagat raya ini. Ayat tersebut bermula dari tafakkur dan berakhir
dengan amal.3 Di samping itu bertafakkur terhadap penciptaan langit bumi, juga
bermakna memikirkan tentang tata kerja alam semesta. Karena kata Khalq
selain berarti penciptaan juga berarti pengaturan dan pengukuran yang cermat.
Pengetahuan yang terakhir ini mengantarkan ilmuan kepada rahasia alam dan
pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan
kemudahan dan manfaat bagi manusia.
b. Berusaha dan berkreasi dapat berarti melakukan upaya-upaya kreatifitas pada
hasil-hasil penemuan ilmiah dan teknologi. Karena itu setelah mereka
menemukan dan memahami suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang
merupakan bagian kecil dari system yang sempurna dari Dzat Yang Maha Karya,
kemudian mereka berkata: Ya Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia
- sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.
Adanya usaha dan kreasi dalam bentuk nyata dari ilmuwan, khususnya
dalam kaitan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut
berarti bahwa mereka harus selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan social
dan semesta alam serta bahwa peran mereka tidak sekedar merumuskan atau
mengarahkan tujuan-tujuan tetapi juga sekaligus memberi contoh pelaksanaan
dan sosialisasinya. Keindahan alam dan keberhasilan sains dan tekhnologi yang
dihasilkan dari proses berfikir dan berdzikir itu memperkuat keimanan kepada
Allah swt dan dalam meningkatkan kepatuhannya kepada Sang Pencipta.
Pemahaman terhadap penciptaan semesta yang agung disertai dengan selalu
berdzikir menimbulkan sebuah kemampuan pada dirinya untuk melihat sebuah tanda
wujudnya Allah Swt, keagungan-Nya dan kemahabesaran-Nya, sehingga terlontar dari
dirinya ucapan subhaanak ( maha suci Engkau ya Allah). Penjelasan seperti ini tergambar
pada ayat 191;
ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ ﻼطَﺎﺑ اذھ ﺖﻘﻠﺧ ﺎﻣ ﺎ َﻨﺑر
َ
Artinya;
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau
Masih belum berhenti di sini, setelah seorang ulul albab mampu melihat tanda
wujudnya Allah Swt dan memahami ciptaan-Nya yang penuh hikmah; serasi, seimbang,
harmonis dan penuh manfaat. Maka seorang ulul albab mengkhawatirkan terjadi suatu
kezhaliman ( pengrusakan) terhadap segala ciptaan Allah Swt dan tata aturan-Nya yang
Maha Indah yang mungkin kezholiman itu dilakukan oleh dirinya maupun orang lain, di
mana kezholiman itu dapat membawa masuk ke dalam api neraka. Karena itu, seorang
ulul albab melanjutkan ucapannya; رﺎﱠﻧلا ﺑﺎ َذﻋ ﺎَﻧَﻘﻓ (maka jagalah kami dari siksa api
neraka).
Sosok ulul albab di atas menggambarkan seorang yang di samping memiliki ilmu
pengetahuan yang tinggi, juga sosok yang selalu dekat dengan Allah Swt. Kedekatan
kepada Tuhannya dan keluasan ilmunya memberikan dampak terhadap kehidupannya
sebagai seorang yang selalu melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kemaslahatan
kehidupan yang sejalan dengan aturan Allah Swt.
Ilmu yang dimiliki oleh seorang ulul albab tidak tersekat oleh batasan-batasan yang
dibuat oleh manusia, yang sekat-sekat tersebut diakibatkan oleh keterbatasan manusia itu
sendiri. Bagi seorang ulul albab ilmu pengetahuan apapun yang berhubungan dengan alam
semesta ini hakekatnya adalah ciptaan-ciptaan Allah Swt yang tunduk kepada sitem aturan
yang telah dibuat-Nya. Sehingga semua ilmu itu hakekatnya hanya satu yaitu ilmu Allah
Swt, dan manusia hanya diberi sedikit ilmu dari Allah Swt.
ﻼﯿﻠَﻗ ﻻِا ﻢﻠﻌلا ﻦﻣ ﻢﺘِﯿﺗوا ﺎﻣو
Adapun berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu social dan sains serta cabang-
cabangnya adalah nama-nama yang dibuat oleh manusia sendiri untuk memudahkan
bidang focus kajian dan bidang keahlian yang ditekuni. Sehingga nama-nama bidang ilmu
tersebut sangatlah bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang perlu
diingat bahwa bidang-bidang ilmu itu secara makro dipahami sebagai satu-kesatuan yang
saling berhubungan, tidak untuk dipisahkan, apalagi dipisahkan dari ciptaan dan system
aturan Allah Swt.
Dapat dipahami juga bahwa Allah Swt yang maha agung memilki ilmu yang maha luas,
di mana untuk mendapatkan pemahaman tentang Allah Swt atau dengan kata lain
memahami tanda ( dalam ayat al qur’an disebut ayat ) diperlukan ilmu Allah, karena itu
belajar suatu ilmu adalah untuk lebih mengetahui tentang Allah Swt dan agar mampu lebih
banyak melakukan kemaslahatan dan kemanfaatan dalam kehdupan sesuai petunjuknya,
sehingga semakin bertambah ilmu seseorang akan menambah juga kedekatannya kepada
Allah Swt dan kebaikannya dalam kehidupan.
Namun, apabila suatu ilmu dipisahkan dari pemiliknya yakni Allah Swt dan berdiri
sendiri, maka dikuatirkan fungsi dari ilmu tersebut akan lepas kendali dan jauh dari aturan
dan tujuan serta manfat dari ilmu tersebut.
ىﺪھ ددَزﯾ ملو ﺎﻣﻠﻋ دادزا نﻣ# ىﺪﻌﺑ ﻻا ِﷲ نﻣ ددَزﯾ مَلBarangsiapa
bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuknya maka hanya akan membuat
semakin jauh dari Allah Swt
ﻧِﺈ ﺎﻤﯿﻈﻋﺎﻤﺛِإ ِﺎﺑ كرﺸﯾ ﻦﻣو ءﺎَﺸﯾ ﻦﻤل ﻚلذ ﻧﻮد ﺎﻣ رﻔَﻐﯾو ِﮫﺑ كرﺸﯾ ﻧأ رﻔَﻐﯾ ﻻ ىرﺘﻓا َﺪﻘَﻓ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
اوﺪﺒَﻌﯿل ﻻِإ اورﻣأ ﺎﻣو ﺔِﻤﯿَﻘلا ﻦﯾد ﻚلذو ةﺎﻛزلا اﻮﺗﺆﯾو ﻼة ﺼلا اﻮﻤﯿﻘﯾو ءﺎَﻔﻨﺣ ﻦﯾﺪلا َﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ
Dan tidaklah mereka diperinta kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.” (Al-Bayyinah : 5)
b. Asas manfaat
Al Qur’an sangat menganjurkan agar segala upaya dan kreasi manusia dilakukan dengan
mempertimbangkan sisi kemanfaatannya.
ضرﻷا ﻲِﻓ ثﻛَﻣﯾﻓ سﺎﻧلا ﻊﻔﻧﯾ ﺎﻣ ﺎﻣأو ءﺎ َﻔج ﺑھَذﯾﻓ َدﺑزلا ﺎﻣَأﻓ
Maka adapun buih itu, akan hilang (sebagai sesuatu yang tak ada harganya),
adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. ( al Ro’d,
13 :17)
لَﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲضر ةرﯾرھ ﻲﺑأ ﻦﻋ: لَﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿَﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لَﺎﻗ: ﻦﺴﺣ ﻦﻣ
(ﮫِﯿﻨﻌَﯾ ﻻ ﺎﻣ ﮫﻛرﺗ ءرﻤلا مﻼِﺳإ ) يذﻣِرﺘلا هﺎور.
Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Di antara tanda
kebaikan Islam seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat baginya.”
c. Asas Kemudahan
Allah Swt Yang Maha Pengasih menginginkan agar manusia dalam
menjalankan tugasnya tidak mengalami kesulitan, karena itu Allah Swt
menganjurkan agar manusia dapat melakukan hal-hal yang dapat memudahkan dan
meringankannya.
اورَﺴﻌﺗ ﻻو اورَﺴﯾ, ﻻو اورَﺸﺑو ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲضر ﺲﻧأ ﻦﻋ لﺎﻗ
اورﻔَﻨﺗ
( ) ﻢﻠﺴﻣ هﺎور
Artinya
Dari Anas r.a berkata: Nabi Saw bersabda; Mudahkanlah, jangan
mempersulit, buatlah senang dan jangan buat mereka berpaling
(meninggalkan)kalian.
d. Asas Keindahan
Ayat-ayat al Qur’an banyak sekali menyampaikan secara tersirat tentang
keindahan, misalnya penciptaan manusia yang dengan sebaik-baik bentuk,
penciptaan binatang , penciptaan langit (badi’ussamaawaati), dst. Keindahan yang
dimaksud oleh al Qur’an bukan hanya indah dari segi lahiriyah yang tampak oleh
mata, namun keindahan yang disertai dengan keseimbangan dan keharmonisan,
keindahan yang seimbang antara yang lahir dan yang bathin.
Nabi Saw bersabda :
.لﺎﻤﺠلا ﺐﺤﯾ ﻞﯿﻤج ﷲ ﻧﺈ، سﺎ َﻨلا ﻂﻤﻏو ﻖﺤلا رَﻄﺑ رﺒﻜلا- ﻢﻠﺴﻣ هﺎور
e. Asas Keadilan
Allah Swt memerintahkan secara tegas diperbagai ayat al Qur’an agar
keadilan selalu ditegakkan diperbagai aspek kehidupan, termasuk bidang
tekhnologi. Penggunaan tekhnologi hendaknya juga dalam rangka penegakan
keadilan.
ﻂﺴﻘِﻻﺑ ﻦﯿﻣاﻮَﻗ اﻮﻧﻮﻛ اﻮﻨﻣآ ﻦﯾذلا ﺎﮭﯾأ َﺎﯾ
D. TUGAS
1. Jelaskan yang dimaksud Ulul albab ?
2. Bagaimana pandangan al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan ?
3. Temukan ayat al Qur’an yang terintegrasi dengan ilmu pengetahuan dan jelaskan.
E. TES FORMATIF
1. Ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan langit dan bumi sebagai tanda bagi
orang benar-benar menggunakan akalnya adalah :
a. S. AL Baqararoh, 191
b. S. Ali Imran, 191
c. S. Al Baqararoh, 190
d. S. Al Nisa’, 94
e. S. Ali Imran, 190
F. KUNCI JAWABAN
1. E
2. E
3. A
4. C
5. B
1
. Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, terj. Lubaabun Nuquul fii
Asbaabin Nuzuul, Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 148 -149
2
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2,… hlm. 370.
3
. Abdul Majid Khon, dkk, Modul Pendalaman Materi Alqur’an Hadis. Fitk Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.Cetakan Pertama, 2018
4
. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Mizan, Bandung, Cetakan Kedua-1989, hal.78-82