Anda di halaman 1dari 66

KEGIATAN BELAJAR I

TAFSIR, TAKWIL, TERJEMAH, AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan Konsep Tafsir, takwil, tarjamah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat.
1.2.1. Menganalisis Penerapan Tafsir, takwil, terjamah, ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat

B. URAIAN MATERI PELAJARAN


1. Tafsir

Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-


tafsiir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga
bermakna al-idhah (menjelaskan),al-bayan(menerangkan), al-kasyf
(mengungkapkan).
Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat, salah satunya
menurut Dr. Shubhis Shaleh yang mendifinisikan tafsir sebagai berikut :

‫نَﺎﯾﺑ و مﻠﺳ و ﮫﯾﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ دﻣﺣﻣ ﮫﯾِﺑﻧ ﻰﻠﻋ لَزﻧﻣلا ﷲ بﺎﺗﻛ مَﮭﻓ ﮫِﺑ ﻓرﻌﯾ مﻠﻋ‬

‫ﮫﻣﻛﺣ و ﮫﻣﺎﻛﺣأ جﺎرِﺧﺗﺳا و ﮫﯾِﻧَﺎﻌﻣ‬


Artinya:
Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta
menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh Ali al-Shabuniy bahwa


tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi
pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan
manusia. Pendapat lain senada disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir
adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan
apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau
tujuannya. Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi tafsir pada hakikatnya
adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan
mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau
dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.
Al Qur’an diturunkan adalah sebagai petunjuk dari Allah Swt sebagai
pencipta bagi segenap manusia; petunjuk hidup di dunia dan petunjuk
untuk mendapat keselamatan dan kebahagiaan di akherat. Petunjuk
tersebut penting dipahami dan dijelaskan kepada manusia. Untuk
menjelaskan isi kandungan al Qur’an dibutuhkan sebuah alat yang disebut
ilmu tafsir, di mana merupakan perangkat yang diperlukan dalam
memahami ayat-ayat pada setiap surat dalam al-Qur’an.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an seorang mufassir dituntut
untuk menjelaskan maksud yang terkandung dari suatu ayat atau
beberapa ayat atau surat di dalam al Qur’an. Maksud dari suatu ayat atau
surat tersebut dapat dipahami dari susunan bahasanya dan lafadz-lafadz
yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengan ayat atau
surat tersebut, yaitu; kapan, di mana, ada peristiwa apa ketika ayat itu
turun, berkenaan dengan apa dan siapa, kondisi masyarakatnya
bagaimana, dan bagaimana penjelasan Nabi Saw terhadap ayat tersebut.
Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ulumu al Qur’an, di
dalamnya membahas tentang asbabun nuzul, makiyah dan madaniyah,
ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst.
Asbabun nuzul yang menjadi latarbelakang turunnya ayat menjadi
salah satu komponen yang sangat penting bagi siapapun yang ingin
memahami Al-Qur’an. Belum dianggap cukup untuk memahami al Qur’an
hanya berbekal bahasa arab saja, apalagi hanya membaca terjemahnya saja.
Di sini artinya memperhatikan asbabun nuzul menjadi suatu hal yang
penting, yang dikuatirkan akan terjadi kesalahan jika memahami al Qur’an
tanpa memperhatikan asbabun nuzul. Al Syathibi menegaskan bahwa
seorang tidak diperkenankan memahami al Qur’an hanya dari sisi teksnya
saja tanpa memperhatikan konteks ayat ketika turun. Namun Demikian
perlu diketahui bahwa tidak seluruh ayat al Qur’an diketemukan asbabun
nuzulnya melalui riwayat.
Memahami makiyah dan madaniyah juga akan membatu seseorang
ketika akan memahami al Qur’an. Terdapat beberapa manfaat dalam
memahami makiyah dan madaniyah, apabila seseorang berupaya
memahami ayat al Qur’an : a) Dapat membantu mempermudah dalam
menjelaskan ayat al-Qur’an, dikarenakan makiyah dan madaniyah terkait
dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu ketika ayat-ayat al Qur’an
diturunkan. b) Melalui gaya bahasa yang berbeda pada ayat makiyah dan
madaniyah akan membatu dalam memahami ayat al Qur’an, sekaligus
memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c) Dengan
memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan
dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw .
Demikian juga penting memahami seluk beluk ilmu qiraat, di mana dimulai
sejak para sahabat membaca qiraat tersebut. Sebagaimana dalam hadist shohih
diceritakan bahwa suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw , Umar bin Khattab
sholat menjadi makmum dan mendengar bacaan Hisyam bin Hakim membaca
Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama
dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw, sehingga hampir saja Umar
menyeretnya ketika dia sedang salat. Namun Umar berusaha bersabar
menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam selesai salat, Umar menarik
selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat kepadamu
denga bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab ; Rasulullah Saw yang
membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar” Sungguh
Rasulullah Saw membacakan padaku Tidak seperti apa yang kamu baca.
Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul, di mana setelah
keduanya membaca surat al Furqan kemudian Rasulullah Swt membenarkan
bacaan keduanya, sambil bersabda “ Seperti itulah bacaan al Qur’an diturunkan.
Dalam hal qiraat tersebut tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan al
qur’an dari segi dialek saja, namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang
mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafadz , sehingga menjadi penting
memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat memahami perbedaan
qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah ; a) Dapat mengetahui adanya
dua hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.
‫نرﮭَﻄﯾ ﻰﺘﺣ ﻦھﻮﺑرﻘﺗ ﻻو‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”
Ayat ini oleh oleh beberapa imam qira’at dibaca ‫ نرﮭﻄﯾ‬. Kata ‫نرﮭَﻄﯾ‬
berarti wanita haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan
bacaan ‫ نرﮭﻄﯾ‬menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh didekati
setelah mereka mandi. Dari dua qira’at ini dapat dipahami bahwa wanita
haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan telah mandi.
Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah
seperti pada surat Al Maidah: 6 dalam kaitannya dengan wudhu:
‫ﻜﻠجرأو ﻢﻜﺳوءِرﺑ اﻮﺤﺴﻣٱو ِﻖﻓارﻤلٱ َﻰِلإ ﻢَﻜﯾﺪﯾأو ﻢﻜھﻮجو اﻮﻠﺴﻏَﭑﻓ ﻦﯿَﺒﻌﻜلٱ‬
َ ‫َﻰِلإ ﻢ‬
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah
kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

Kata ‫(ﻢﻜَﻠجرأو‬wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya sebagian


imam lain membaca dengan mengasrah lam ‫( ﻢﻜﻠجرأو‬wa arjulikum) yang
dari dua qira’at ini dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah
membasuh kaki, tetapi membasuh kaki dapat dirubah dengan
mengusapnya bagi orang yang memakai khufah (semacam sepatu pada
zaman dahulu) bagi orang yang sedang safar.
Pengetahuan seperti itu, tidak mungkin diketahui oleh seseorang
yang tidak mengenal tentang ilmu qira’at. Demikian juga pada sebagaian
lafadz-lafadz lain yang memiliki beberapa qira’at. Karena itu pengetahuan
Ulumu al Qur’an tersebut digunakan seorang mufassir dalam menjelaskan
ayat-ayat al Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari
kemungkinan terjadi kesalahan. Karena itu seseorang mufassir dalam
menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki penguasaan di bidang ulumu
al-Qur’an sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’ tentang syarat-syarat
mufassir, yaitu penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan
penguasaan terhadap ulumu al Qur’an.
2. Takwil
Ta’wil menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-
takwiil yang memiliki makna al-ruju’ atau al’aud yang berart kembali.
Berkaitan dengan kata ini al Qur’an beberapa kali menggunakan kata
takwil dalam menjelaskan maksud dari sebuah pristiwa atau kisah,
misalnya pada kisah Nabi Yusuf as (QS:12;100) dalam menjelaskan
pristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepadanya
dinyatakan dengan kalimat haadzaa takwiilu rukyaaya min qobl qod
ja’ala robbii haqqo…( ini adalah takwil mimpiku sebelumnya, sungguh
Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi kenyataan). Demikian juga
pada surat al Kahf (78) tentang kisah seorang hamba Allah yang diberi
ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as dengan kalimat
sa unabbi uka bitakwiili maalam tastathi’ alaihi sobro (aku akan
menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar
terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam al Qur’an,
maka secara terminologi al Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya
memberikan definisi takwil sebagai berikut:

‫ﺎﻘِﻓاوﻣ هﺎَرﯾ يذَلا لﻣﺗﺣﻣلا نﺎﻛ اذإ ﮫﻠﻣﺗﺣَﯾ ﻰﻧﻌﻣ ﻰلإ رھﺎظلا هﺎﻧﻌﻣ نﻋ ظﻔﻠلا ﻓرﺻ ﺔﻧﺳلاو‬
‫بﺎﺗﻛﻠل‬
Memalingkan lafadz dari maknanya yang lahir kepada makna yang
dikandung oleh lafadz tersebut selama makna yang dimaksud
tersebut dipandang sesuai dengan al qur’an dan al sunnah.

Misalnya dalam memahami kalimat ‫ﺖﯿﻤلا ﻦﻣ ﻲﺤلا جرﺨﯾ‬


(mengeluarkan kehidupan dari yang mati) misalnya, bisa dipahami dalam

penger an ―mengeluarkan seekor ayam yang menetas dari telur. Makna


tersebut adalah tafsir. Tetapi, ia bisa juga dipahami dengan jalan takwil,
yakni ―mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran atau mengeluarkan
yang pandai dari kebodohan.1
Melihat penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada
hakekatnya takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti
juga disebut tafsir. Makna takwil dalam teks Alquran dan hadis sejak lama
telah diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi tafsir
memahami Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga
dengan takwil yang benar.

3. Terjemah

Terjemah diambil dari bahasa arab dari kata tarjamah. Bahasa


arab sendiri memungut kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu
turjuman2. Kata turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan
tarjuman yang berart mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke
bahasa lain.3 Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan dari satu
bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat
dari suatu bahasa ke bahasa lain. Secara etmologi berart juga
‚memindahkan lafal dari suatu bahasa kedalam bahasa lain. Dalam hal
ini sepert memindahkan atau mengartikan ayat-ayat al-Qur’an yang
berbahasa Arab diartikan kedalam bahasa Indonesia.
Adapun secara terminologi didefinisikan sebagai berikut;
‫ء ﺎ َ ﻓ ﻮ ل ا ﻊﻣ‬ ‫ىرﺧا َﺔﻐل ﻦﻣ رﺧا مﻼﻜﺑ ﺔَﻐل ﻰﻓ مﻼﻛ ﻰﻨﻌﻣ ﻦﻋ رﯿﺒﻌﺘلا‬

‫هﺪﺻﺎﻘﻣ و ﮫﯿﻧﺎَﻌﻣ ﻊﯿﻤﺠﺑ‬

Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa


lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan
tersebut.

Ash-Shabuni mendefinisikan terjemah al Qur’an adalah


memindahkan bahasa al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab
kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca
orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab
Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Penerjemahan dibagi menjadi dua; terjemah lafdziyah dan
terjemah tafsiriyah. Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari
satu bahasa ke dalam lafaz- lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian
rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan
dan tertib bahasa pertama. Terjemah tafsiriyah atau terjemah
maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain
tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan
susunan kalimatnya.
Membaca terjemah sebuah ayat al Qur’an dapat membantu
pembaca untuk memahami maksud ayat tersebut, namun demikian
membaca terjemah saja tanpa memahami seluk beluk bahasa al Qur’an
yakni bahasa arab seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat
tersebut kurang sempurna, atau bahkan dikuatirkan terjadi
kesalahpahaman. Kesalahpahaman terhadap pembacaan terjemah secara
umum dapat disebabkan beberapa hal;
a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemah secara tepat
atau utuh ke dalam bahasa lain. Ini dikarenakan setiap bahasa
memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata; anta dan
ant( mudzakkar dan muannats) tidak dapat diterjemah secara utuh
dengan kata kamu, anda atau engkau. Demikian juga misalnya kata
insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah
kata manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang
tepat dan keterbatasan penerjemah dalam penguasaan struktur
bahasa yang digunakan.
c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan
membentuk karakteristik bahasa yang berbeda, misalnya pada bahasa
arab memiliki jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. Pola memiliki dua
jumlah tersebut tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia.
Karena itu apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas,
maka dalam penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu
mewakili seluruh maksud ayat-ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu
adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan
kandungannya, maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an
mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun
demikian bukan berarti terjemah al Qur’an tidak penting, akan tetapi
adanya terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk melakukan
tadabbur (renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak
memiliki kemampuan bahasa arab secara baik. Selain itu, untuk
mengurangi keterbatasan bahasa maka dilakukan terjemah tafsiriyah atau
maknawiyah sebagaimana telah dijelaskan di atas.
4. Muhkamat dan Mutasyabihat.

Kata Muhkam dari segi etimologi berasal dari akar kata hakama-
yahkamu-hukman berarti menetapkan, memutuskan, memisahkan.
Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi ahkama-yuhkimu-ihkaam yang
berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan antara dua hal. Jika
seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan
memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara yang
hak dan yang batil,antara benar dan salah. Sedangakan kata mutasyabih
berasal dari kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaan antara dua hal.
Menurut Manna’ Al-Qaththan secara terminologi muhkam adalah
ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna, dapat
diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedang
mutashâbih adalah ayat yang pada hakekatnya hanya diketahui
maksudnya oleh Allah sendiri, mengandung banyak makna, dan
membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.4
Ayat al-Qur’an yang seringkali digunakan sebagai rujukan dalam
pembahasan muhkamat dan mutasyabihat tercantum pada surat ali
Imran (QS 3:7) :

‫رﺧأو بﺎﺗﻛلا‬ ‫ﻣأ ﻧھ تﺎﻣﻛﺣﻣ تﺎَﯾآ ﮫﻧﻣ بﺎﺗﻛلا كﯾَﻠﻋ لزﻧأ يذلا وھ‬

‫ءﺎَﻐﺗﺑا ﮫﻧﻣ َﮫﺑﺎﺷﺗ ﺎﻣ ﻧﻮﻌﺑﺗﯾَﻓ ﻎﯾز مِﮭﺑوﻠﻗ ﻲﻓ نﯾذلا ﺎﻣأَﻓ تﺎﮭﺑﺎﺷﺗﻣ مﻠﻌلا ﻲِﻓ‬

‫ﻻِإ َﮫﻠﯾوأﺗ َمﻠﻌﯾ ﺎﻣو ﮫﻠﯾوأﺗ ءﺎَﻐﺗﺑاو َﺔﻧﺗﻔلا بﺎَﺑلﻷا ولوأ ﻻِإ رﻛﱠَذﯾ ﺎﻣو ﺎَﻧّﺑر‬ ‫ﻧﻮﺧﺳارلاو‬
‫دﻧﻋ نﻣ لﻛ ِﮫﺑ ﺎ ﻧﻣآ ﻧﻮلوَﻘﯾ‬
Artinya:
Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al
qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-
orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang
yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang
yang berakal.

Ayat Alquran tersebut menimbulkan perbedaan pemahaman


tentang boleh tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihaat itu5. Sebagian
pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihaat bisa ditakwil
seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang
boleh ditakwil itu pun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa
saja yang berhak melakukannya. Karena takwil itu sesuatu yang sulit,
maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan
mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab.
Takwil dapat dilakukan dengan syarat tetap memperhatikan
kaidah kebahasaan dan tidak hanya mengandalkan akal (ra’yu) saja.
Karena dengan takwil akan memudahkan dalam mencerna dan
mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman
sekarang dan akan datang. Menurut Al-Raghib al-Isfahani dalam kitab
Mufrad fii alfaadzi al Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih umum
dari pada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kata dan kosa
katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan
kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir
tidak saja digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya.6
Penggunaan takwil bukan berarti tanpa kaidah dan dasar-dasar
keilmuan dan juga hanya diterapkan teks-teks ayat yang pernah
ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu. Takwil bisa diterima selama
kandungan yang ditentukan untuk memaknai susunan kata dalam suatu
ayat telah dikenal secara luas dalam masyarakat pengguna bahasa Arab
pada masa turunnya Alquran. Walaupun pada periode berikutnya,
maksud kata ―dikenal secara luas bisa dimaknai lain, yakni selama pesan
yang digunakan untuk ayat yang ditakwil itu dipahami dari akar kata
redaksi bahasa ayat itu.
Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata
Thayran (‫ )ارﯿط‬pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang
terambil dari kata thaara – yathiiru berarti terbang kemudian beliau
memahami kata tersebut dengan sejenis virus atau bakteri yang
beterbangan.
Pada ayat yang berbicara tentang dzat Allah yang tercantum pada
surat al Nuur ‫( ضرﻻاو ﺗﺎوﺎﻤﺴلارﻮﻧ ﷲ‬Allah adalah cahaya langit dan bumi)
dengan tujuan agar dzat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini
merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: ‫ﺲﯿل‬
‫ﺊﯿﺷ ﮫﻠﺜﻤﻛ‬... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya) (QS. Asy-
Syura [42]: 11.
Pada penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang
dilakukan Prof. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-
Baqarah/2: 225. Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan
bumi sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir Al - Mizan
menakwilkannya sebagai kedudukan Ilahiyah untuk mengendalikan
semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna
ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat
tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan
bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu
terkontrol dengan baik.Demikian juga makna keluasan yang dimaksud
bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

C. RANGKUMAN
Tafsir menurut istilah adalah sebuah disiplin yang digunakan untuk
memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan menerangkan
makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Seseorang mufassir dalam menafsirkan al Qur’an disyaratkan memiliki
penguasaan bahasa arab beserta cabang-cabangnya dan penguasaan
terhadap bidang ulumu al-Qur’an yang mencakup asbabun nuzul, makiyah
dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh, dst. Selain itu seorang
mufassir harus mengetahui hadist-nabi Saw yang berkaitan dengan ayat-
ayat yang ditafsirkan.
Takwil menurut istilah adalah memalingkan lafadz dari maknanya
yang lahir kepada makna yang dikandung oleh lafadz tersebut selama
makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan al qur’an dan al
sunnah. Penjelasan takwil dapat dipahami juga bahwa pada hakekatnya
takwil dilakukan dalam rangka memahami ayat agar dapat menjelaskan
kandungan al Qur’an, yang berarti juga disebut tafsir.
Karena itu terdapat ulama’ yang memaknai takwil sama dengan
tafsir. Makna takwil dalam teks Alquran dan hadis sejak lama telah
diperdebatkan di kalangan para ulama. Dalam tradisi tafsir memahami
Alquran bisa dilakukan dengan menggunakan tafsir dan juga dengan
takwil yang benar.
Takwil sering digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat yang
mutasyabihat, ini diperlukan karena akan memudahkan dalam mencerna
dan mengamalkan ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman
sekarang dan akan datang.
Menurut Abd. ‘Azim al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabih dapat dibagi
tiga macam. Pertama, ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat
mengetahui maksudnya seperti pengetahuan tentang dzat Allah dan hari
kiamat, hal-hal gaib, hakikat dan sifat-sifat zat Allah swt. Kedua, ayat-ayat
yang setiap orang dapat mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian, seperti Q. S. al-Nisa : 3 “ Dan jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah
wanita-wanita…”. Ketiga, ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya
dapat diketahui oleh para Ulama tertentu dan bukan semua ulama.
Maksud yang demikian adalah makna- makna yang tinggi yang
memenuhi hat seseorang yang jernih jiwanya dan mujahid.
Terjemah al Qur’an adalah memindahkan bahasa al-Qur’an ke
bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab kemudian mencetak terjemah ini ke
beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa
‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan
terjemahan. Pola penerjemahan al Qur’an dibagi menjadi dua; terjemah
lafdziyah dan terjemah tafsiriyah.
Penterjemahan al Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili
seluruh maksud ayat-ayatnya. Apalagi bahwa al Qur’an itu adalah
kalamullah yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya,
maka terasa tidak mungkin sebuah terjemahan al Qur’an mampu
menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian
bukan berarti terjemah al Qur’an tidak penting, akan tetapi adanya
terjemah al-Qur’an sekedar membantu untuk melakukan tadabbur
(renungan) khususnya bagi bangsa ‘ajam (non arab) yang tidak memiliki
kemampuan bahasa arab secara baik.

D.TUGAS
1. Jelaskan pengertian tafsir dan takwil?

2. Jelaskan apa yang dimaksud Muhkam dan Mutasyabih?


3. Bagaimana para mufassir melakukan takwil?

4. Mengapa diperlukan tafsir dan takwil terhadap aat al Qur’an?


5. Apa kelebihan dan kekurangan dari terjemah al Qur’an?

E. TES FORMATIF
1. Disiplin Ilmu Tafsir dapat dipahami sebagai:
a. Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Saw dan
menerangkan ulumul qur’an yang terdapat di dalamnya serta menggali
hukum-hukumnya.
b. Ilmu untuk memahami al Qur’an ,menerangkan makna-maknanya serta
menggali hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
c. ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi pengertiannya dan makna
nuzulnya sesuai dengan kemampuan manusia.
d. Ilmu yang menjelaskan al-Qur’an dari segi asbabun nuzulnya, qiraatnya,
nasikh mansuknya isyarat ilmiahnya.
e. Ilmu untuk memahami al Qur’an, menerangkan makna-maknanya serta
menggali pemikiran dari para mufassir.
2. Memberikan makna bakteri yang beterbangan pada lafadz Thoirun disebut :
a. Tafsir
b. Muhkam
c. Mutasyabih

d. Takwil

e. Haakim
3. Memindahkan bahasa al-Qur’an ke bahasa lain agar dapat dibaca orang yang
tidak mengerti sehingga dapat memahami kitab Allah Swt lebih tepat
dipahami sebagai :
a. Tafsir
b. Takwil
c. Terjemah
d. Mutasyabih
e. Muhkam
4. Ayat yang dapat diketahui maknanya dan memiliki satu makna serta
dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain.
a. Terjemah
b. Mutasyabih

c. Takwil
d. Muhkam

e. Mu’jam
5. Ayat yang lafadznya memungkinkan memiliki lebih dari satu makna dan
membutuhkan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain serta
hakekatnya hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri, disebut :
a. Tafsir

b. Mutasyabih
c. Muhkam

d. Takwil
e. Takbir
F. KUNCI JAWABAN
1. B
2. D
3. C
4. D
5. B

1
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an, Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hat, 2011),
554.
2
. Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul Maarif li ath
Thabaah wa al Nasyr. Hal;37
3
. Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir :66
4
. Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..., 208
5
. Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an
Menurut Mutazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman dan Hamka Hasan (Bandung: Mizan,
2003), 209.
6
. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995), 91

DAFTAR PUSTAKA

Shihab M. Quraish, Membumikan Al Qur’an, Jilid 2, Jakarta: Lentera


Hati, 2011.
Didawi, M (1992). Ilmut Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis:
Darul Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr.
Manzhur, I.( 1300 H) Lisanul Arab. Beirut: Dar Shadir
Manna’ Al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum ..
Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam
Al-Qur‟an Menurut Mutazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman dan
Hamka Hasan (Bandung: Mizan, 2003)
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1995)
Âbâdiy, Abi al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq, `Awn al - Ma`bûd Syarah
Sunan Abû Da wûd , Ed. Khâlid `Abd al-Fattâh Syibl, Beirut : Dâr al-Kutub al`Ilmîyah,
1998, Cet. Ke1
Abduh, Muhammad. al - Man â r , Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.
Abdul Bâqi, Muhammad Fuad al - Mu’jam al - Mufahras li Alfâzh al - Qur’ân ,
Kairo: Dâr al-Hadîts, 1986
KEGIATAN BELAJAR 2
PENDEKATAN DAN METODE PENAFSIRAN AL QUR’AN
A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan Konsep Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir isyari
1.2.1. Menganalisis Klasifiksi dan penerapan Tafsir bi al Ma’tsur, tafsir bi al ra’yi, tafsir
isyari.
1.3.1. Menjelaskan konsep Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.
1.4.1. Menganalisis Penerapan Metode Tahlili, Ijmali, Muqaran, Maudhu’i.

B. URAIAN MATERI
Pada zaman Nabi Saw para sahabat tidak membutuhkan suatu pendekatan atau
metode khusus dalam memahami ayat-ayat al Qur’an, karena segala permasalahan
langsung disampaikan kepada Nabi Saw dan beliau sendiri yang memberikan penjelasan.
Demikian juga pada masa sahabat, mereka adalah orang-orang yang mengetahui
bagaimana al Qur’an diturunkan dan bagaimana Nabi Saw menjelaskan.
Ketika zaman sudah semakin jauh dengan Nabi Saw dan para sahabat, sementara
penjelasan terhadap petunjuk-petunjuk al Qur’an semakin dibutuhkan, maka para ulama’
di bidang tafsir melakukan ijtihadnya masing-masing untuk melakukan penafsiran al
Qur’an. Adapun sumber informasi yang digunakan untuk menjelaskan ayat-ayat al Qur’an
adalah riwayat-riwayat yang dianggap dapat dipercaya baik dari hadist Nabi Saw maupun
atsar. Dalam melakukan ijtihadnya, sebagaian ulama’ menggunakan riwayat-riwayat
tersebut sebagai sumber utama penafsirannya dan sebagaian ulama’ mufassir yang lain
menggunakan riwayat-riwayat tersebut sebagai landasan berfikir yang kemudian
dilakukan ijtihad sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Karena itu ditinjau dari
sumbernya, penafsirannya dibagi menjadi tiga pendekatan, yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur ,
Tafsir bi al-Ra’yi dan Tafsir al Isyari
1. Pendekatan Penafsiran Al Qur’an
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an didasarkan penjelasan-
penjelasan al Qur’an yang diperoleh melalui riwayat-riwayat pada sunnah, hadist
maupun atsar, bahkan sebuah ayat al Qur’an dapat dijelaskan dengan ayat-ayat al
Qur’an yang lain. Karena itu Tafsir bi al-Matsur disebut juga tafsir bi al-Riwayah,
karena didasarkan juga pada periwayatan-periwayatan. Selain hadist Nabi Saw,
atsar sahabat dianggap mampu menjelaskan ayat al Qur’an karena sahabat
Nabi Saw dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an dan
bergaul bersama Nabi Saw, demikian juga para ulama’ di masa tabi’in yang
dianggap juga sebagai orang yang bertemu langsung dan berguru kepada para
sahabat. Karena itu sumber penafsiran bi-al-Riwayah ini dipandang sebagai
penafsiran terbaik terhadap al-
Qur’an,karenadianggaplebihterjagadarikekeliruandanpenyimpangandalammenafsirk
analQur’an. Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat beberapa cara untuk
menafsirkan ayat al- Qur’an, yaitu;
a) Penafsiran ayat dengan ayat al-Quran yang lain
Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan ayat yang lain, baik ayat itu kelanjutan
dari ayat yang ditafsirkan ataupun ayat yang menafsirkan berada di surat yang lain.
Misalnya pada surat al ikhlas ayat pertama yang menjelaskan tentang ketauhidan
Allah Swt, ditafsirkan oleh ayat berikutnya, yaitu ayat kedua, ketiga dan keempat.
Namun ayat pertama surat al Ikhlas tentang ketauhidan ini dapat ditafsirkan
(dijelaskan) lagi oleh ayat yang lain yang berada di surat yang lain. Misalnya surat al
Hasyr ( QS 59;22-24) yang menjelaskan sifat-sifat Allah Swt:

‫وھ‬ ‫( مﯾﺣرلا نﻣﺣرلا وھ ةدﺎﮭﺷلاو بﯾَﻐلا مﻻﻋ وھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ يذلا‬22)‫وھ‬ ‫ﻻ يذلا‬

‫نﺎﺣﺑﺳ رﺑﻛﺗﻣلا رﺎﺑجلا زﯾَزﻌلا نﻣﯾﮭﻣلا نﻣؤﻣلا مﻼﺳلا‬ ‫ﺎﻣﻋ‬ ‫ﺳﻮدﻘلا كﻠﻣلا وھ ﻻِإ َﮫِلإ‬
‫ﻮھ‬ ‫ﻲِﻓ ﺎﻣ َﮫل ﺢﺒﺴﯾ ﻰﻨﺴﺤلا ءﺎﻤﺳﻷا َﮫل رﻮﺼﻤلا ئرﺎ َﺒلا ﻖلﺎﺨلا‬ (23) ‫ﻧﻮﻛرﺷﯾ‬
(24) ‫ﻢﯿﻜﺤلا زﯾَزﻌلا ﻮھﻮ ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻤﺴلا‬
Artinya :
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang(22) Dialah
Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan(23)Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang
Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan
bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(24).

b) Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw


Ayat-ayat al Qur’an lebih banyak bersifat mujmal(global) dan untuk
dipahami tidak bisa berdiri sendiri, karena itu di sinilah fungsi hadits Nabi Saw
sebagai tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya ayat tentang perintah
sholat yang mujmal tidak menjelaskan tatacara sholat (S. al Baqarah (SQ
43;43)

(43) ‫نﯾﻌﻛارلا ﻊﻣ اوﻌﻛراو ةﺎﻛزلا اوﺗآو ةﻼﺻلا اوﻣﯾِﻗأو‬


Artinya
Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan rukuklah bersama orang-orang
yang ruku’

Ayat tersebut kemudian ditafsirkan oleh hadits Nabi Saw;

– ‫ مﻛدﺣأ مَﻛل ﻧّذؤﯾَﻠﻓ‬، ‫مﻛرﺑﻛأ مﻛﻣؤﯾلو‬ ِ ‫ ﻲﻠﺻأ‬، ‫ةﻼﺻلا ﺗرضﺣ اذَﺈﻓ‬


‫ﻲﻧوﻣﺗﯾأر ﺎﻣﻛ اوﻠﺻ‬
( ‫)يرﺎﺧﺑلا هﺎور‬
Artinya:
Sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat, maka apabila telah tiba
waktu sholat hendaklah salah seorang di antara kalian
mengumandangkan adzan dan orang yang lebih tua di antara kalian
menjadi imam. (HR Bukhori)

c) Penafsirat ayat al Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.


Untuk mendapatkan informasi lebih luas perihal maksud-maksud al
Qur’an, setelah memahami sunnah Nabi Saw maka penjelasan para sahabat
juga diperlukan, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang dekat
bersama Nabi Saw dan sangat memahami situasi dan kondisi bagaimana al
Qur’an itu diturunkan.
Contoh tafsir terhadap Surat al Baqarah (QS 2: 3):
....‫ﺐﯿَﻐِﻻﺑ نﻮﻨﻣﺆﯾ ﻦﯾذلا‬
Artinya
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib…
Menurut ibnu abbas sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah
bahwa tafsir dari kata yukminuuna adalah yushoddiquuna (membenarkan). Dan
menurut Makmar yang diriwayatkan dari az Zuhri yang dimaksud yukminuuna adalah
iman yang disertai mengamalkan. Sedangkan menurut Abu Jakfar ar Razi dari Rabi’
bin Anas yang dimaksud dengan yukminuuna adalah yakhsyauna yang berarti takut.1

Contoh Tafsir bi al ma’tsur adalah kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
karya
Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir.

b. Tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir bi al-Dirayah


Al-Ra’yu berarti pikiran atau nalar, karena itu Tafsir bi al-Ra’yi adalah
penafsiran seorang mufassir yang diperoleh melalui hasil penalarannya atau ijtihadnya,
di mana penalaran di sini sebagai sumber utamanya. Seorang mufassir di sini tentu
saja adalah orang yang secara kompetensi keilmuannya telah dianggap telah
memenuhi persyaratan, sebagaimana disebutkan pada syarat-syarat mufassir.
Istlah Tafsir bi al-Ra’y pada dasarnya untuk membedakannya dengan Tafsir
bi al-Ma’tsur, dalam konteks, bahwa bukan berart ketika sahabat melakukan
penafsiran Quran tdak menggunakan nalar. Para sahabat sebenarnya juga
menggunakan nalar dalam memberikan penafsiran, tetapi dalam istilah disiplin
ulum Quran, para sahabat tetap saja tidak dinamai dalam kategori Tafsir bi al-
Ra’yi, sebab, para sahabat memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh generasi
sesudah mereka.2Sebagaimana pendekatan tafsir yang lain, pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Di antara kelebihan pendekatan
Tafsir bi al-Ra’y ini adalah mempunyai ruang lingkup yang luas, dapat
mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara mendalam
dengan melihat dari berbagai aspek. Kendatipun demikian, bukan berart
pendekatan ini tidak mempunyai kelemahan. Kelemahaman pendekatan Tafsir bi
al-Ra’y bisa saja terjadi ketika ketika menjadikan petunjuk ayat yang bersifat
parsial, sehingga memberikan kesan Quran tidak utuh dan tidak konsisten. Di
samping itu, penafsiran dengan pendekatan Tafsir bi al-Ra’y tidak tertutup
kemungkinan menimbulkan kesan subyektf yang dapat memberikan pembenaran
terhadap mazhab atau pemikiran tertentu, serta dengan pendekatan Tafsir bi al-
Ra’y tidak tertutup kemungkinan masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena
kelemahan dalam membatasi pemikiran yang berkembang. 3
Salah seorang mufassir yang tergolong bi al ro’yi adalah Abdul Qosim
Mahmud al Zamakhsari dalam melakukan penafsirannya beliau mengemukakan
pemikirannya akan tetapi didukung dengan dalil-dalil dari riwayat (hadis) atau ayat al-Qur’an,
baik yang berhubungan dengan sabab al-nuzul suatu ayat atau dalam hal penafsiran ayat.
Meskipun demikian, ia tdak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Dengan kata lain, kalau
ada riwayat yang mendukung penafsirannya ia akan mengambilnya dan kalau tdak ada
riwayat, ia akan tetap melakukan penafsirannya. 4
Contoh lain adalah tafsir bi al Ro’yi adalah penafsiran Sayyid Qutub dalam kitab tafsir
Fi Dzilalil Qur’an pada saat menjelaskan Surat al Fathah (SQ 1: 4) sebagai berikut :

(4) ِ‫ﻚَﻠﻣ‬
ِ ِ ‫ﻦﯾﺪﱢلا ِْمﻮَﯾ‬
Artnya :
Tuhan yang menguasai hari pembalasan.

Ini merupakan 'aqidah pokok yang amat besar dan mempunyai kesan yang amat
mendalam dalam seluruh hidup manusia, yaitu 'aqidah pokok mempercayai hari Akhirat.
Kata-kata "yang menguasai atau penguasa" membayangkan darjah kuasa yang paling
tnggi. "Hari Pembalasan" ialah hari penentuan balasan di Akhirat. Ramai orang yang
percaya kepada Uluhiyah Allah dan percaya bahawa Allahlah yang menciptakan 'alam
buana ini bagi pertama kali, namun demikian mereka tdak percaya kepada Hari Balasan.
Keperihalan setengah-setengah mereka telah diceritakan oleh al- Qur'an. Sepert pada
surat azZumar (SQ 29;28) :

‫ﻦلﻮَﻘﯿَل ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻤﺴلا َﻖﻠﺧ ﻦﻣ ﻢﮭﺘﻷﺳ ﻦَِﺌلو‬

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah.
Kemudian dalam surah Qoof (QS . 50:3) menceritakan hal mereka:

‫بﯾجﻋ ءﻲﺷ ا َذھ ﻧﻮِرﻓﺎﻛلا لﺎ ََﻘﻓ مﮭﻧﻣ رذﻧﻣ ﻣھءﺎج ﻧأ اوﺑجﻋ لَﺑ‬

"Bahkan mereka heran kerana mereka telah didatangi seorang Rasul yang memberi
peringatan dari kalangan mereka sendiri, lalu berkatalah orang-orang kafr: "Ini adalah
suatu perkara yang amat aneh. "

Kepercayaan terhadap hari pembalasan merupakan satu lagi 'aqidah pokok di dalam
Islam. Nilai kepercayaan ini ialah ia meletakkan pandangan dan hat manusia pada sebuah
'alam yang lain setelah tamatnya 'alam bumi supaya mereka tdak begitu terkongkong
kepada keperluan-keperluan bumi saja dan ketka itu mereka tdak lagi terpengaruh
kepada keperluan keperluan bumi, juga supaya mereka tdak begitu gelisah untuk
mendapatkan balasan dan ganjaran dari hasil usaha mereka dalam usia mereka yang
pendek dan di 'alam bumi yang terbatas ini dan ketka itu barulah mereka dapat berbuat
amalan-amalan semata-mata kerana Allah dan sanggup menunggu ganjarannya mengikut
bagaimana yang ditentukan Allah sama ada di 'alam bumi ini atau 'alam Akhirat.

Dari contoh penafsiran dengan pendekatan bi al ra’yi di atas menjadi jelas


bahwa mereka tidak meninggalkan riwayat dan bukan semata-mata menafsirkan al
Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Kitab tafsir yang lain misalnya Tafsir bi al-ra’yi
adalah kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi dan Tafsir Anwar at-
Tanzil wa Asrar at-Ta’wil karya al-Baidhawi.

c. Tafsir al Isyari
Menurut bahasa kata isyari berasal dari kata asyaara-yusyiiru-isyaaratan yang
berarti memberi isarat/ tanda, menunjukkan. Sedangkan menurut istilah suatu upaya
untuk menjelaskan kandungan Quran dengan menakwilkan ayat-ayat sesuai isyarat
yang tersirat dengan tanpa mengingkari yang tersurat atau dzahir ayat.5 Senada
dengan definisi tersebut menurut Shubhi al-Shalih adalah menjelaskan kandungan al
Qur’an melaui takwil dengan cara berupaya menggabungkan yang tersurat dan
tersirat.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam tafsir bi al-Isyarah
terdapat upaya penarikan makna ayat didasarkan pada kesan yang ditimbulkan oleh
lafazh ayat, di mana dalam benak para mufassir telah memiliki pencerahan batin atau
hati dan pikiran, hal itu dilakukan tanpa mengabaikan atau membatalkan makna
secara lafazh.6
Adapun syarat-syarat diterimanya tafsir isyari adalah :7
1. Tidak bertentangan dengan makna lahir (pengertian tekstual) al-Qur’an.
2. Penafsirannya didukung atau diperkuat oleh dalil-dalil syar’i lainnya.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara‘ atau rasio.
4. Penafsirannya tidak menganggap bahwa hanya itu saja tafsiran yang dikehendaki
Allah, bukan pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
5. Penafsirannya tidak terlalu jauh sehingga tidak ada hubungannya dengan lafadz.
Misalnya penafsiran al-Alusi terhadap surat Al-Baqarah (QS 2: 238) :

‫ﻰﻠﻋ اوِظﻓﺎﺣ‬
َ ‫اوﻣوﻗو ﻰطﺳولا ﻼة ﺻلاو ﺗﺎوَﻠﺻلا‬ ‫نﯾِﺗﻧﺎَﻗ‬
Peliharalah sholat dan sholat wustho serta tegakkan untuk Allah karena ketaatan

Al Alusi menafsiri shalat al-wustha pada ayat di atas dengan penjelasan lima
macam shalat sebagai berikut:
‫ﺐﯿﻐلا مﺎﻘﻣ دﻮﮭﺸﺑ رﺴلا ةﻼﺻ ﺲﻤﺧ ﺗﺎﻮﻠﺼلا ﻧﺈ‬، ‫ﺐﯾرلا ﻰﻋاود ﻦﻋ ﺎھﺪﻮﻤﺨﺑ ﺲﻔﻨلا ةﻼﺻو‬، ‫و‬

‫ﻒﺸﻜلا راﻮﻧأ ﮫﺘﺒﻗارﻤﺑ ﺐﻠﻘلا ةﻼﺻ‬، ‫ﻞﺻﻮلا ةﺪھﺎﺸﻤﺑ ﺣﻮرلا ةﻼﺻو‬، ‫ﺳﺎﻮﺤلا ﻆﻔﺤﺑ نﺪﺒلا ةﻼﺻو‬

. ‫دوﺪﺤلا ﺔﻣﺎﻗإو‬
Artinya :
Sesungguhnya shalat itu ada lima, yaitu 1) Shalat sirr dengan menyaksikan maqam
ghaib, 2) shalat nafs, yaitu dengan cara memadamkan hal-hal yang dapat
mengundang keragu-raguan, 3) Shalat qalb, dengan senantiasa berada dalam
penantian akan munculnya cahaya kasyf (penyingkapan), 4) shalat ruh dengan
menyaksikan wasl (pengabungan/peyatuan dengan Allah); 5) Shalat badan dengan
cara memelihara panca indera dan menegakkan ketentuanketentuan hukum Allah.
Bila dilihat dari terminologis yang digunakan, maka sebenarnya al-Alusi memahami
shalat al-wustha cenderung dengan pendekatan sufistik.

2. Metode Penafsiran Al Qur’an


a. Metode Tahlili (Analisis)
Metode Tahlili adalah suatu metode dalam menjelaskan ayat al Qur’an dengan
cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan dengan
penjelasan yang cukup terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir
terhadap aspek-aspek yang ingindisampaikan, misalnya menjelaskan ayat disertai aspek
qira’at, asbabu al- nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya, contoh kitab
tafsir yang disusun dengan metode ini adalah kitab Tafsir Jami li Ahkam al-Qur’an karya
al-Qurtubi, kitab Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir
al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir dan kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karya at-Tusturi.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat al
Ahzab ayat 30 :
‫ﺣﺎﻔِﺑ ﻦﻜﻨﻣ تأَﯾ ﻦﻣ ِﻲﺒﻨلا ءﺎﺴِﻧ ﺎَﯾ‬
َ ‫نﺎﻛو ﻦﯿَﻔﻌض ﺑﺎذَﻌلا ﺎَﮭل ﻒﻋﺎﻀﯾ َﺔﻨﯿَﺒﻣ ﺔﺸ‬
‫َﻰﻠﻋ ﻚلذ‬ (30)
‫ ارﯿ َﺴﯾ‬Hai
istri-istri Nabi, siapa -siapa di antaramu ya ng mengerja kan perbuatan keji
yang nyata, nisca ya a ka n dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua ka li
lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.

Allah Swt. berfirman menasihati istri-istri Nabi Saw. yang telah memilih Allah
dan Rasul-Nya serta pahala di negeri akhirat, selanjutnya mereka tetap menjadi
istri Rasulullah Saw. Maka sangatlah sesuai bila diceritakan kepada mereka
ketentuan hukumnya dan keistimewaan mereka yang melebihi wanita-wanita
lainnya. Disebutkan bahwa barang siapa di antara mereka yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata.
Menurut Ibnu Abbas, pengertian perbuatan keji ini ditakwilkan dengan makna
membangkang dan berakhlak buruk. Dan atas dasar hipotesis apa pun, maka
ungkapan ayat ini hanyalah semata-mata andaika n, dan makna andaikan itu
tidak berarti pasti terjadi. Pengertiannya sama dengan firman Allah Swt.
dalam ayat
yang lain, yaitu:

‫ﺤﯿَل ﺖﻛرﺷأ ِﻦﺌل ﻚﻠﺒَﻗ ﻦﻣ ﻦﯾذلا َﻰِلإو ﻚ َﯿِلإ ﻲﺣوأ َﺪﻘَلو‬


َ ‫ﻚﻠﻤﻋ ﻦَﻄﺒ‬

Dan sesungguhnya tela h diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi)


yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya a kan
hapuslah amalanmu. (Az-Zumar: 65)

Seperti yang ada dalam ayat lain yang menyebutkan:


‫نﻮﻠﻤَﻌﯾ اﻮﻧﺎﻛ ﺎﻣ ﻢﮭﻨﻋ ِﻂﺒﺤَل اﻮﻛرﺷأ َﻮلو‬
Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka
amalan yang telah mereka kerjakan. (Al-An'am: 88)

‫ ﻦﯾﺪﺑﺎَﻌلا لﻮأ َﺎﻧأَﻓ ﺪلو ﻦﻤﺣرﻠل نﺎﻛ ِﻧﺈ ﻞﻗ‬Katakanlah, "Jika


benar Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah
(Muhammad) orang yang mula -mula memuliakan (anak itu).” (Az-
Zukhruf: 81)

Dan firman Allah Swt.:


‫ﻮھ َﮫﻧﺎﺤﺒﺳ ءﺎﺸَﯾ ﺎﻣ ﻖﻠﺨَﯾ ﺎﻤﻣ َﻰﻔﻄﺻﻻ اﺪلو‬ ‫دارأ َﻮل رﺎَﮭﻘلا‬ ‫ذﺨﺘﯾ ﻧأ‬
‫ﺪﺣاﻮلا‬
Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa
yang dikehendaki-Nya di anta ra ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya.
Mahasuci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Az-
Zumar: 4)
Mengingat kedudukan istri-istri Nabi Saw. tinggi, maka sesuailah jika ada
seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, dosa itu akan diperberat demi
menjaga kehormatan mereka dan kedudukan mereka yang tinggi. Karena itulah
disebutkan oleh firman-Nya: Hai istri-istri Nabi, siapa -siapa di antaramu
yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan
siksaan kepada mer eka dua kali lipat. (Al-Ahzab: 30)
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna
firman-Nya: niscaya aka n dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua ka li
lipat. (Al-Ahzab: 30) Yakni siksaan di dunia dan akhirat.
Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu AbuNajih, dari Mujahid.

‫َﻰﻠﻋ ﻚلذ نﺎﻛو‬ ‫ ارﯿﺴَﯾ‬Dan


adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. (Al-Ahzab: 30)
Maksudnya, teramat mudah dan gampang.

b. Metode Ijmali (Global)


Metode ijmali adalah metode dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa yang ringkas supaya mudah
dipahami. Di sini mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat tanpa menguraikan
panjang lebar, seperti kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-
Mahalli dan Tafsir Al-Qur’an al-Adzim karya Muhammad Farid Wajdi, at-Tafsir al-Wasit
terbitan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah.
Berikut adalah contoh penafsiran dalam kitab Tafsir Jalalai :
، (‫ﺔﻣﺎﯿﻘلا مﻮﯾ ﻮھﻮ ءازﺠلا يأ )ﻦﯾﺪلا مﻮﯾ ﻚﻠﻣ‬ (‫ﮫﻠھﻷ رﯿﺨلا ةدارإ ﻲھﻮ ﺔﻤﺣرلا يذ يأ )ﻢﯿﺣرلا ﻦﻤﺣرلا‬
{‫أرﻗ ﻦﻣو } مﻮﯿلا ﻚﻠﻤلا ﻦﻤل{ ﻞﯿلﺪﺑ ﻰﻻﻌﺗ ﻻإ ﺪﺣﻷ ﮫﯿﻓ ارھﺎظ ﻚﻠﻣ ﻻ ﮫﻧﻷ رﻛذﻻﺑ ﺺﺧو ﺔﻔﺻ ﮫﻋﻮﻗو }ﻚﻻﻣ‬
‫ﺢﺼﻓ }ﺐﻧذلا رﻓﺎﻐﻛ{ ﺎﻤئاد ﻚلذﺑ فﻮﺻﻮﻣ ﻮھ وأ ﺔﻣﺎﯿﻘلا مﻮﯾ ﻲﻓ ﮫﻠﻛرﻣﻷا ﻚﻻﻣ هﺎﻨﻌﻤﻓ‬
(‫ةدﺎﺒﻌلا ﻰﻠﻋ ﺔﻧﻮﻌﻤلا ﺐﻠﻄﻧو هرﯿﻏو ﺪﯿﺣﻮﺗ ﻦﻣ ةدﺎﺒﻌﻻﺑ ﻚﺼﺨﻧ يأ )ﻦﯿﻌﺘﺴﻧ كﺎﯾإو ﺪﺒﻌﻧ كﺎﯾإ‬ ‫ﺔﻓرﻌﻤل‬
، ‫ ﮫﯿلإ ﺎﻧﺪﺷرأ يأ )ﻢﯿﻘﺘﺴﻤلا طﺎرﺼلا ﺎﻧﺪھﺎ( ﺎھرﯿﻏو ﺔﺘﻜﻧو‬. ‫ ﮫﻨﻣ لﺪﺒﯾو‬: (‫ﺔﯾاﺪﮭﻻﺑ )ﻢﮭﯿﻠﻋ ﺖﻤﻌﻧأ ﻦﯾذلا طﺎرﺻ‬
‫ بﺂﻤلاو‬، ‫ىرﺎﺼﻨلا ﻢھﻮ )ﻦﯿﻻﻀلا( رﯿﻏ )ﻻو( دﻮﮭﯿلا ﻢھﻮ )ﻢﮭﯿﻠﻋ بﻮﻀﻐﻤلا رﯿﻏ( ﮫﺘﻠﺼﺑ ﻦﯾذلا ﻦﻣ لﺪﺒﯾو ﷲ ﻰﻠﺻو‬
‫ﻊجرﻤلا ﮫﯿلإو ﺑﺎﻮﺼﻻﺑ ﻢﻠﻋأ ﷲو ىرﺎﺼﻧ ﻻو ادﻮﮭﯾ اﻮﺴﯿل ﻦﯾﺪﺘﮭﻤلا ﻧأ ةدﺎﻓإ لﺪﺒلا‬
‫ اﺪﺑأ ﺎﻤئاد ارﯿﺜﻛ ﺎﻤﯿﻠﺴﺗ ﻢﻠﺳو ﮫﺒﺤﺻو ﮫلآ ﻰﻠﻋو ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻧﺪﯿﺳ ﻰﻠﻋ رﯿﺜﻛ ﻦﺑا‬، ‫ ﻞﯿﻛﻮلا ﻢﻌﻧو ﷲ ﺎﻨﺒﺴﺣو‬، ‫ﻻو لﻮﺣ ﻻو‬
‫ ﻼﺻأ ﻖﺤلا ﻰلإ‬. ‫ ﻢﯿﻈﻌلا ﻲﻠﻌلا ﺎﺑ ﻻإ ةﻮﻗراد‬. [‫رﯿﺴﻔﺗ رﺼﺘﺨﻣ ﻲﻓ درو ﻒﻄلأ رﯿﺴﻔﺗ ﻲﺳﻮﻜﻧرلا دﻮﻤﺤﻣ ﺦﯿﺸلا ﻦﻋو‬
‫اوﺪﺘﮭﯾ ﻢﻠﻓ ﻦﯿﻻﻀلا ﺎﻣأ هﻮﻔﻻﺧو ﻖﺤلا اﻮﻓرﻋ ﻦﯾذلا ﻢھ ﻢﮭﯿﻠﻋ بﻮﻀﻐﻤلا ﻧأ هﺪﺎﻔﻣ ]ﺚﯾﺪﺤلا‬
Dalam penafsiran di atas tampak sekali dismpaikan secara singkat dan global,
misalnya kata ar rahman dan arrahiim dijelaskan dengan yang memiliki rahmat yaitu yang
berkehendak memberikan kebaikan kepada yang berhak mendapatkannya. Kemudian
berganti kepada ayat berikutnya.

c. Metode Muqaran (Komparatif)


Metode Muqaran adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan atau kemiripan tema namun
redaksinya berbeda, atau memiliki kemiripan redaksi tapi maknanya berbeda, atau
membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw, perkataan sahabat maupun
tabi’in. Di samping itu juga mengkaji pendapat para ulama tafsir kemudian
membandingkannya atau bisa berupa membandingkan antara satu kitab tafsir dengan
kitab tafsir lainnya agar diketahui identitas corak kitab tafsir tersebut. Tafsir Muqarin juga
bisa berupa perbandingan teks lintas kitab samawi (seperti Al Qur’an dengan Injil/Bibel,
Taurat atau Zabur).8
d. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode Maudhu’i adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
mengambil suatu tema tertentu. Metode ini kelebihannya mampu menjawab kebutuhan
zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, praktis dan sistematis
serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, membuat
pemahaman menjadi utuh. Namun kekurangannya seringkali dalam memenggal ayat
yang memilki permasalahan yang berbeda sehingga membatasi pemahaman ayat.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang mufassir ketika
melakukan proses penafsiran metode maudhu’i adalah;9
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas.
Permasalahn yang dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh kehidupan
masyarakat yang berarti bahwa seorang mufassir harus memiliki pengetahuan yang
memadai tentang masyarakat.
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang
asbab nuzulnya dan ilmu-ilmu lain yang mendukungnya.
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masingmasing (terkait erat
dengan ilmu munasabat).
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (membuat out line).
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang
‘amm (umum) dengan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang
apada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya dapat bertemu dalam satu muara
tanpa perbedaan dan pemaksaan.

C. RANGKUMAN
Ditinjau dari sumbernya, penafsirannya dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu:
Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Pada pendekatan tafsir bi al-ma’sur terdapat
beberapa cara untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, yaitu; a. Penafsiran ayat dengan ayat al-
Quran yang lain, b. Penafsirat ayat al Qur’an dengan hadits Nabi Saw, c.Penafsirat ayat al
Qur’an dengan keterangan sahabat-sahabat Nabi saw.
Tafsir bi al-Ra’yi memiliki kelebihan, yaitu mempunyai ruang lingkup yang
luas, dapat mengapresiasi berbagai ide dan melihat dan memahami Quran secara
mendalam dengan melihat dari berbagai aspek. Kelemahannya adalah
memungkinkan menjadikan petunjuk ayat yang bersifat parsial, sehingga
memberikan kesan Quran tidak utuh dan tdak konsisten. Di samping itu,
kemungkinan menimbulkan kesan subyektf serta tidak tertutup kemungkinan
masuknya cerita-cerita isra’iliyat karena kelemahan dalam membatasi pemikiran
yang berkembang.
Dalam melakukan penafsiran al Qur’an di dalam kitab-kitab tafsir, terdapat
metode yang digunakan, yaitu; 1. Metode Tahlili, yaitu suatu metode dalam menjelaskan
ayat al Qur’an dengan cara menguraikan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata
urutan dengan penjelasan yang terperinci sesuai dengan kecenderungan masing-masing
mufassir, 2. Metode Ijmali (Global), yaitu metode yang dalam menjelaskan ayat Al-
Qur’an dilakukan dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan bahasa
yang ringkas supaya mudah dipahami, 3. Metode Muqaran, yaitu metode menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan membandingkan dengan ayat lain yang memiliki kedekatan
atau kemiripan tema, membandingkannya dengan penjelasan teks hadis Nabi Saw,
perkataan sahabat maupun tabi’in dan juga Di samping itu juga mengkaji pendapat para
ulama tafsir kemudian membandingkannya atau antara satu kitab tafsir dengan kitab
tafsir lainnya, bisa juga perbandingan teks lintas kitab samawi, 4. Metode Maudhu’i
(Tematik) adalah metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengambil suatu
tema tertentu, ini dilakukan agar mampu menjawab kebutuhan zaman , lebih praktis dan
sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis. Namun kekurangannya dapat
membatasi pemahaman terhadap ayat.

D. TUGAS
1. Menurut Anda, di mana letak perbedaan pokok pada pendekatan Tafsir bi al-Ma’tsur
dan Tafsir bi al-Ra’yi ?
2. Carilah contoh penafsiran ayat al Qur’an dengan pendekatan bi al ma’tsur.
3. Jelaskan langkah-langkah menyusun tafsir maudhu’i.

E. TES FORMATIF
1. Ditinjau dari sumber penafsirannya maka terdapat istilah :
a. Tafsir bi al-Ma’tsur,Tafsir bi al-Ra’yi dan tafsir isyari
b. Tafsir ayat dijelaskan dengan ayat al Qur’an yang lain
c. Tafsir Tahlili dan tafsir Ijmali
d. Tafsir maudhu’I dan tafsir muqaran
e. Tafsir bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.

2. Ketika seorang mufassir menjelaskan makna kata dengan mengambil pendapat


sahabat Ibnu Abbas tentang yukminuuna dimaknai yushoddiquuna (membenarkan),
maka pendekatan yang dilakukan adalah :
a. Ijmali
b. bi al-Ma’tsur
c. Tahlili
d. bi al-Ra’yi.
e. Al isyari
3. Kitab tafsir terkemuka Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi merupakan salah
satu contoh kitab tafsir :
a. Tafsir bi al Ra’yi
b. Tafsir Ijmali
c. Tafsir bi al-Ma’tsur
d. Tafsir Maudhu’i
e. Al Isyari
4. Suatu metode yang memiliki kelemahan yaitu seringkali melakukan pemenggalan ayat
dikarenakan memilki permasalahan yang berbeda sehingga menyebabkan
pemahaman ayat berkurang, kelemahan ini dimiliki oleh :
a. Tafsir Tahlili
b. Tafsir Ijmali
c. Tafsir bi al-Ma’tsur
d. Tafsir Maudhu’i
e. Al Isyari
5. Suatu metode menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengkaji pendapat para
ulama tafsir kemudian membandingkannya atau antara satu kitab tafsir dengan kitab
tafsir lainnya, termasuk metode :
a. bi al-Ma’tsur dan Tafsir bi al-Ra’yi.
b. Tafsir Muqaran
c. Tafsir Tahlili
d. Tafsir Maudhu’i
e. Tafsir Ijmali

F.KUNCI JAWABAN
1. A
2. B
3. A
4. D
5. B
1
. Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M.
2
.M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 363 Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat,
Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds.
Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hat.)
3
. Muhammad Ali Ash-Shabuniy, Studi Ilmu al-Qur’an… Ash-Shabuniy, Muhammad Ali.
(1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa, Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248
4
. Avif Alfiyah. Kajian Kitab Al Kasyaf Karya Zamakhsyari , Al Furqan: Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir,
Volume 1 Nomor 1 Juni 2018
5
. Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (ttp., tp., 1396H./1976M), Jilid II, Cet. Ke-2,
hal. 352
6
. M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat al-Qur’an; Editor Abd. SyakurDj., Tangerang: Lentera Hat, 2013, h. 373
7
. Abd Wahid : Tafsir Isyari dalam Pandangan Imam Ghazali. JURNAL USHULUDDIN Vol. XVI No. 2, Juli
2010
8
. Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu , (Maktabah al-Tawbah, 1419 H), 60
9
. Al-Farmawiy, ‘Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Cet. II , h. 62.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawiy, ‘Abd al-Hayy. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Cet. II


al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun, 1396H./1976M Jilid II, Cet. Ke-2
Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. (1999). Studi Ilmu al-Qur’an, alih Bahasa,
Aminudin, Bandung: PustakaSetia., hal. 248
Fahd Ar Rumi, Buhuth fi Usul Al - Tafsir wa Manahijuhu. Maktabah al-Tawbah, 1419 H
Ibnu Katsir. Tafsir al Qur’ani al Adzim, jilid 1 hal 43. Darul Kutub al Ilmiyah 2006 M.
Shihab, M. Quraish. (2013). Kaidah Tafsir Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an. eds.
Abd.SyakurDj. Tangerang: Lentera Hat.)
Wahid,abd. Tafsir isyari dalam pandangan imam ghazali. Jurnal ushuluddin vol. Xvi no. 2,
juli 2010
Suratman, Junizar. Pendekatan Penanfisran al-Qur’an yang Didasarkan pada Instrumen
Riwayat, Nalar, dan Isyarat Batin. Jurnal Intizar, Vol. 20, No. 1, 2014. IAIN Imam Bonjol
Sumatera Barat, Indonesia
KEGIATAN BELAJAR III
SIFAT TERPUJI DI DALAM AL QUR’AN

A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan penafsiran konsep Ikhlas, murah hati dan toleransi
1.1.2. Menganalisis Penafsiran ayat ayat tentang Ikhlas, murah hati dan toleransi
.
B. URAIAN MATERI PELAJARAN
1. Ikhlas
Salah satu contoh sifat terpuji yang telah termaktub dalam al Qur’an ialah
sifat ikhlas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas dapat
diartikan sebagai hati yang bersih atau hati yang tulus. Ikhlas merupakan
sebuah pangkal dan puncak dari segala tujuan. Dalam kata ikhlas terdapat
sebuah kondisi di mana seseorang dapat mengosongkan diri dari berbagai
kehendak dan keinginan yang dimiliki serta mengabaikan segala amal yang
telah dilakukan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa ikhlas menurut bahasa ialah
bersih dari kotoran. Sehingga seorang yang memiliki keikhlasan ialah orang
yang benar-benar menyembah hanya kepada Allah semata dengan tanpa
menyekutukan-Nya. Dalam hal ini ia tidak menjadikan agama dan amalannya
sebagai bagian dari riya’ maupun sum’ah. Sedangkan menurut istilah, ikhlas
dapat diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hanya mengharap ridha
Allah semata dalam menjalankan ibadah ataupun dalam beramal dan
memurnikan niatnya dari hal-hal yang dapat merusak niat itu sendiri.
Ikhlas dapat dirasakan pada hati nurani manusia, yang dalam hati nurani
itu pulalah tempat niat berada. Adanya niat ialah sebagai sebuah pengikat amal
yang di sana amal seseorang dipertaruhkan. Bagi mereka yang mengabaikan
kemurnian niatnya, maka ia harus bersiap untuk mendapatkan kesia-siaan dari
amalnya. Karena ikhlas ialah melakukan amalan dengan niat yang murni hanya
untuk meraih Ridla Allah semata, sehingga ia tidak lagi mengharap balasan
kecuali ridla Allah SWT. Pada kondisi ini, seseorang tidak lagi memiliki rasa
ingin dihargai, ingin diterima, ingin memperoleh pujian, merasa istimewa,
merasa lebih dan lain sebagainya. Berkenaan dengan pentingnya pemupukan
sifat ikhlas tersebut, Allah telah bersabda dalam beberapa firman-Nya sebagai
berikut:
- Surah Ghafir (QS.40: 14)
‫ﻧﻮرﻔﻜلٱ هرﻛ َﻮلو ﻦﯾﺪلٱ ﮫَل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ ٱ اﻮﻋْدَﭑﻓ‬
Artinya:
Maka sembahlah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ibadah
kepadaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Berdasarkan tafsir Jalalain, disebutka bahwa maksud dari memurnikan
(mengikhlaskan) ibadah kepada-Nya ialah memurnikan agama Allah dari
segala macam kemusyrikan, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai
keikhlasan ibadah kalian kepada Allah SWT.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Allah telah
memerintahkan kepada manusia untuk memurnikan (mengikhlaskan)
penyembahan dan doanya hanya kepada Allah meskipun orang-orang kafir
maupun orang-orang musyrik memiliki pendapat yang berbeda mengenai
hal ini. Penjelasan ini kemudian diperkuat dengan adanya beberapa hadits
yang relevan, diantaranya ialah:

‫ﺪﻤﺣأ مﺎﻣﻹا لَﺎﻗ رﺑد‬: ‫ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ‬ ‫رﯿﻤﻧ ﻦﺑ‬، ‫ مﺎﺸھ ﺎ َﻨﺛﺪﺣ‬- ‫رَﯿﺑزلا ﻦﺑ ةورﻋ ﻦﺑ ﻲﻨﻌﯾ‬- ‫ﻦﻋ‬

‫لَﺎﻗ ﻲﻜﻤلا ﺳرﺪﻣ ﻦﺑ ﻢﻠﺴﻣ ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ رﯿَﺑزلا ِﻲﺑأ‬: ‫ﺪﺒﻋ نﺎﻛ‬ ‫ِﻲﻓ لﻮﻘَﯾ رﯿَﺑزلا ﻦﺑ‬

‫ﻢﻠﺴﯾ ﻦﯿﺣ ﻼة ﺻ ﻞﻛ‬: ‫ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ‬، ‫َﮫل ﻚﯾرﺷ ﻻ هﺪﺣو‬، ‫ﺪﻤﺤلا َﮫلو ﻚﻠﻤلا ﮫَل‬، ‫ﻰﻠﻋ ﻮھﻮ‬
َ

‫ ﺎِﺑ ﻻِإ ةﻮﻗ ﻻو لﻮﺣ‬، ‫ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ‬، ‫هﺎﯾِإ ﻻِإ ﺪﺒَﻌﻧ ﻻو‬، ‫ﮫَلو ﺔﻤِﻌﻨلا َﮫل‬ ‫رﯾﺪَﻗ ءﻲﺷ ﻞﻛ‬، ‫ﻻ‬

‫ﻞَﻀﻔلا ﻼة ﺻ ﻞﻛ‬، ‫َﮫلو‬: ‫ﻦﺴﺤلا ءﺎ َﻨﺜلا‬، ‫ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ‬ ، ‫لَﺎﻗ "ﻧﻮِرﻓﺎﻜلا هرﻛ ﻮَلو ﻦﯾﺪلا َﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ‬

‫لﻮﺳر نﺎﻛو‬ ‫ﻰﻠﺻ‬ ‫رﺑد ﻦﮭِﺑ ﻞﻠﮭﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ‬


Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Namir, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Urwah ibnuz
Zubair), dari Abuz Zubair alias Muhammad ibnu Muslim seorang guru di
Mekah yang mengatakan bahwa Abdullah ibnuz Zubair selalu
mengucapkan doa berikut seusai dalam salatnya, yaitu: Tidak ada Tuhan
selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagiNya kerajaan dan bagi-
Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan
tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain
Allah, dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, milik-Nyalah semua
nikmat, karunia, dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah,
(kami nyatakan ini dengan) memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya,
sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya). Lalu Ibnuz Zubair
mengatakan bahwa Rasulullah Saw selalu mengucapkan doa tersebut
setiap usai salatnya.

Di dalam kitab sahih disebutkan dari Ibnu Zubair r.a., bahwa Rasulullah
Saw. setiap usai mengerjakan salat fardunya mengucapkan doa berikut:
‫ﻻإ َﮫِلإ ﻻ‬ ، ‫َﮫل ﻚﯾرﺷ ﻻ هﺪﺣو‬، ‫ﺪﻤﺤلا َﮫلو ﻚﻠﻤلا َﮫل‬، ‫رﯾﺪَﻗ ءﻲﺷ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﻮھﻮ‬. ‫"ﻻ‬

‫ ﺎﺑ ﻻِإ ةﻮﻗ ﻻو‬، ‫ﻻِإ ﮫَِلإ ﻻ‬ ‫هﺎﯾِإ ﻻِإ ﺪﺒَﻌﻧ ﻻو‬، ‫ﻞَﻀﻔلا َﮫلو ﺔﻤِﻌﻨلا َﮫل‬، ‫ءﺎ َﻨﺜلا ﮫلو‬ ‫لﻮﺣ‬

"‫ﻦﺴﺤلا‬، ‫ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ‬ ‫ﻧﻮِرﻓﺎﻜلا هرﻛ ﻮلو ﻦﯾﺪلا َﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ‬


Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya
kerajaan dan bagi-Nya segala puji, dan adalah Dia Mahakuasa atas
segala sesuatu. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan kami tidak
menyembah selain hanya kepada-Nya. Bagi-Nya semua nikmat, karunia,
dan pujian yang baik. Tidak ada Tuhan selain Allah (dengan) memurnikan
ketaatan kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai (nya).

‫ِﻢﺗﺎﺣ ِﻲﺑأ‬: ‫ﺢﺻَﺎﻧ ﻦﺑ ﺐﯿﺼﺨلا ﺎ َﻨﺛﺪﺣ ﻊِﯿﺑرلا ﺎَﻨﺛﺪﺣ‬، ‫ ﺢﻻﺻ ﺎ َﻨﺛﺪﺣ‬- ‫ﻨﻌﯾ‬
َ ‫يرﻤلا ِﻲ‬- ‫ﻦﺑ مﺎﺸھ ﻦﻋ‬
‫ﻦﺑا لَﺎﻗ‬

‫ا ﻦﻋ‬:‫ةرﯾرھ ﻲﺑأ ﻦﻋ ﻦﯾرﯿﺳ ﻦﺑ‬، ‫ﻲضر‬ ‫ﮫﻨﻋ‬، ‫ﻰﱠﱠﱠﻠﺻ ِﻲﱠﺒﻨلا ﻦﻋ‬


‫ﱠﱠ‬ ‫لَﺎﻗ ﱠﻢﻠﺳو ﮫَﯿﻠﻋ‬

‫ﺔَﺑﺎجﻹِﺎﺑ نﻮﻮﻨِﻗﻮﻣ ﻢﺘﻧأو‬، ‫ﻧأ اﻮَﻤﻠﻋاو‬ ‫نﺎﺴﺣ "هﻻ ﻞِﻓﺎﻏ ﺐَﻠﻗ ﻦﻣ ءﺎﻋد ﺐﯿﺠﺘَﺴﯾ ﻻ‬،
‫"ﷲ اﻮﻋدا‬

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi',


telah menceritakan kepada kami Al-Khasib ibnu Nasih, telah menceritakan
kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), dari Hisyam ibnu Hassan, dari Ibnu
Sirin, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Berdoalah kepada Allah Swt., sedangkan kalian merasa yakin akan
diperkenankan. Dan ketahuilah bahwa Allah Swt. tidak memperkenankan
doa dari orang yang hatinya lalai lagi tidak khusyuk.

Berdasarkan beberapa penafsiran di atas, dapat difahami bahwa islam


telah mengajarkan konsep keikhlasan melalui firman Allah yang menjelaskan
tentang pentingnya kemurnian hati, niat dan amalan hanya mengharap ridla
Allah SWT. Dengan hadirnya keikhlasan dalam menjalankan setiap amalan,
maka seorang tidak akan lagi menghiraukan apapun yang mungkin akan
mempengaruhi keikhlasannya tersebut, seperti tanggapan, komentar mapun
tindakan orang lain yang mungkin tidak menyukainya.
- Surat Gahfir SQ 40: 65
Ayat yang menjelaskan tentang pentingnya sifat ikhlas yang kedua ialah
ayat ke 65 pada Surah Ghafir yang berbunyi:
‫ﺪﻤﺤلٱ ﻦﯾﺪلٱ ﮫَل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ هﻮﻋْدَﭑﻓ ﻮھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ ﻰﺤلٱ‬ ‫ﻦﯿﻤَﻠﻌلٱ ﺑر‬
‫ﻮھ‬
Artinya: Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam kitab Tafsir Jalalain, ayat ini ditafsirkan dengan makna: (Dialah
Yang hidup kekal tiada Tuhan melainkan Dia, maka serulah Dia)
sembahlah Dia (dengan memurnikan ibadah kepada-Nya) dari
kemusyrikan. (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.)
Berdasarkan teks di atas, dapat ditafsirkan bahwa Allah merupakan satu-
satunya Dzat yang Abadi, sehingga sudah menjadi sebuah keharusan bagi
seluruh makhluk untuk menyembah dan berdoa hanya kepada-Nya dengan
segala ketulusan.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Selanjutnya, ayat ini juga dibahas dalam tafsir ibnu katsir dengan
menafsirkan beberapa penggal ayat terlebih dahulu, barulah kemudian
penafsiran ayat secara keseluruhan. Adapun penafsiran berdasarkan
penggalan ayat 65 Surah Ghafir yang tercantum dalam kitab Tafsir Ibnu
Katsir ialah sebagai berikut:
‫ﻮھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ ﻲﺤلا ﻮھ‬
Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
Dia. (Ghafir: 65)

Yakni Dialah Yang Hidup sejak zaman azali dan selama-lamanya, Dia
tetap dan tetap Hidup, Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang
Maha lahir lagi Maha batin.
‫ﻮھ ﻻِإ َﮫِلإ ﻻ‬
Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. (Ghafir: 65)
Yaitu tiada tandingan dan tiada saingan bagi-Nya.
‫ﻦﯾﺪلا ﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ هﻮﻋْدَﺎﻓ‬
maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. (Ghafir:
65)
dengan mengesakan-Nya dan mengakui bahwa tiada Tuhan yang wajib
disembah selain Dia, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Berdasarkan penafsiran ini, beberapa ulama’ menyebutkan bahwa


dalam mengucapkan kalimat “Tiada Tuhan (yang waib disembah) selain
Allah” hendaklah seseorang tersebut mengikutinya dengan kalimat
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. Beberapa ulama’ tersebut
diantaranya ialah Ibnu Jarir dan Abu Usamah. Hal ini sejalan dengan
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan
Imam Nasai melalui Hisyam Ibnu Urwah, Hajjaj ibnu Abu Usman dan
Musa ibnu Uqbah; ketiga-tiganya dari Abuz Zubair, dari Abdullah ibnuz
Zubair yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. selalu
mengucapkan doa berikut seusai tiap salatnya, yaitu:
«‫ﻻِإ ﮫَِلإ‬ ‫ﮫل ﻚﯾرﺷ ﻻ هﺪﺣو‬
‫“ »ﻻ‬Tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu
bagi-Nya”
Berdasarkan penafsiran dari ayat di atas, dapat difahami bahwa keikhlasan
dalam beribadah dan beramal berarti memurnikan ibadah dan amalan kita
hanya untuk Allah semata, dengan meng-Esakan-Nya dan tanpa
menyekutukannya.

- Surat Al A’raf ayat 29


Ayat ketiga yang menjelaskan tentang keikhlasan ialah ayat ke 29 surah Al
A’raf yang berbunyi:
‫ﻧﻮدﻮﻌﺗ ﻢﻛأﺪَﺑ ﺎﻤﻛ ﻦﯾﺪلا ﮫَل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ هﻮﻋْداو ﺪﺠﺴﻣ ﻞﻛ ﺪﻨﻋ ﻢﻜھﻮجو اﻮﻤﯿِﻗأو ﻂﺴﻘِﻻﺑ ِّﻲﺑر رﻣأ‬
‫ﻞﻗ‬
Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepada-Nya)".

- Kajian Tafsir
a. Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, ayat di atas ditafsirkan sebagai berikut:
(Katakanlah, "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan") yaitu
perbuatan yang adil. (Dan luruskanlah) diathafkan secara makna kepada
lafal bil qisthi, yang artinya, Ia berkata, "Berlaku adillah kamu dan
luruskanlah dirimu." Atau diathafkan kepada lafal sebelumnya dengan
menyimpan taqdir yakni: Hadapkanlah dirimu (mukamu) kepada Allah (di
setiap salatmu) ikhlaslah kamu kepada-Nya di dalam sujudmu (dan
sembahlah Allah) beribadahlah kepada-Nya (dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya) bersih dari kemusyrikan. (Sebagaimana Dia
menciptakanmu pada permulaan) yang sebelumnya kamu bukanlah
merupakan sesuatu (demikian pulalah akan kembali kepada-Nya) artinya
Dia akan mengembalikan kamu pada hari kiamat dalam keadaan hidup
kembali.

Berdasarkan penafsiran di atas, kata “mengikhlaskan ketaan kepada-Nya”


diartikan sebagai kondisi di mana seorang hamba hendaknya hanya
menujukan ibadahnya untuk Allah semata dan bukan untuk yang lainnya.
Memurnikan ibadah hanya kepada Allah bukan kepada yang lainnya.

b. Tafsir Al Mishbah
Dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab, ayat di atas memiliki
penafsiran sebagai berikut:
Terangkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah. Katakanlah,
"Tuhanku menyuruh berlaku adil dan tidak berlaku keji. Dia menyuruh
kalian beribadah hanya kepada-Nya di setiap waktu dan tempat. Dan Dia
juga menyuruh kalian ikhlas dalam beribadah kepada-Nya. Masing-
masing kalian akan kembali kepada- Nya setelah mati. Seperti halnya Dia
menciptakan kalian dengan mudah di saat kalian tidak memiliki apa- apa,
kalian akan dikembalikan kepada-Nya dengan mudah pula, meninggalkan
semua nikmat yang ada di sekeliling kalian."

c. Tafsir Ibnu Katsir


Dalam tafsir ibnu katsir, pada penggalan ayat 29 surat Al A’raf yang
berbunyi:
‫ﻂﺴﻘِﻻﺑ ِّﻲﺑر رﻣأ‬
‫ ﻞﻗ‬Yang berarti: Katakanlah “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”
ini ditafsirkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dan
berada pada jalan yang lurus dalam segala perkara.

Selanjutnya, pada potongan ayat 29 yang kedua, yang berbunyi:


‫ﻦﯾﺪلا ﮫَل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ هﻮﻋْداو ﺪﺠﺴﻣ ﻞﻛ ﺪﻨﻋ ﻢﻜھﻮجو‬
‫اﻮﻤﯿِﻗأو‬
Yang berarti: “Dan (katakanlah), "Luruskanlah muka (diri) kalian di
setiap salat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kalian
kepada-Nya”,
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir potongan ayat ini ditafsirkan dengan
penjelasan sebagai berikut:
“Allah memerintahkan kalian agar beristiqamah dalam menyembah-Nya,
yaitu dengan mengikuti para rasul yang diperkuat dengan mukjizat-
mukjizat dalam menyampaikan apa yang mereka terima dari Allah dan
syariat-syariat yang mereka datangkan. Allah memerintahkan kepada
kalian untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena
sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan bila di dalam
amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan
secara benar lagi sesuai dengan tuntutan syariat, dan hendaknya amal
dikerjakan dengan ikhlas karena Allah bersih dari syirik.”

Selanjutnya, potongan ayat 29 yang terakhir yang berbunyi:


‫ﻧﻮدﻮﻌﺗ ﻢﻛأَﺪﺑ ﺎﻤﻛ‬
Yang berarti: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pula) kalian akan kembali (kepada-Nya)

Makna penggalan ayat ini masih diperselisihkan. Menurut Ibnu Abu


Nujaih melalui riwayatnya dari Mujahid menyebutkan bahwa makna
firman-Nya: Sebagaimana Dia telah menciptakan kalian pada permulaan
(demikian pulalah) kalian akan kembali (kepada-Nya). (Al-A'raf: 29)
ialah, kelak Allah akan menghidupkan kalian sesudah kalian mati. Adapun
menurut Al-Hasan Al-Basri, penggalan ayat di atas memiliki makna
“sebagaimana Dia menciptakan kalian pada permulaan di dunia ini,
demikian pula kalian akan kembali kepada-Nya kelak di hari kiamat
dalam keadaan hidup”. Selanjutnya Qatadah mengatakan bahwa Firman
Allah tersebut dimaknai dengan penjelasan bahwa “Allah memulai
penciptaan-Nya, maka Dia menciptakan mereka. Sebelum itu mereka tidak
ada, kemudian mereka mati, lalu Allah mengembalikan mereka dalam
keadaan hidup”. Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan bahwa
penggalan ayat tersebut memiliki makna bahwa “barang siapa yang sejak
semula diciptakan oleh Allah dalam keadaan celaka, maka ia akan
menjadi orang seperti yang ditakdirkan-Nya semula sejak permulaan
kejadiannya, sekalipun ia mengamalkan amalan ahli kebahagiaan (ahli
surga). Barang siapa yang sejak semula ditakdirkan bahagia oleh Allah,
maka ia akan dikembalikan kepada apa yang telah ditakdirkan untuknya
sejak semula, sekalipun ia mengamalkan amalan orang-orang yang celaka
(penghuni neraka). Sebagaimana para ahli sihir mengamalkan amalan
orang-orang yang celaka, maka pada akhirnya ia pasti akan menjadi
orang seperti yang ditakdirkan untuknya sejak semula.” As Saddi
mengatakan, bahwa makna dari penggalan ayat tersebut ialah
“sebagaimana Kami menciptakan kalian; sebagian dari kalian ada yang
mendapat petunjuk, dan sebagian yang lain ada yang disesatkan. Maka
demikian pulalah kelak kalian dikembalikan, dan demikian pulalah
keadaannya sewaktu kalian dilahirkan dari perut ibu-ibu kalian.”

Secara umum, kata ikhlas dalam ayat ini dikaitkan secara erat dengan
syarat diterimanya sebuah amalan oleh Allah SWT. Syarat dari
diterimanya sebuah amal ibadah ialah ibadah tersebut telah memenuhi
rukun-rukunnya serta dilaksanakan dengan penuh keikhlasan hanya
mengharap ridla Allah semata, tanpa penyekutuan sedikitpun.

- Surat Az Zumar Ayat 11


Ayat keempat ialah ayat ke 11 pada surat Az Zumar yang berbunyi:
‫ﺪﺒﻋأ ﻧأ ترﻣأ ِّﻲﻧِإ‬ ‫ﻦﯾﺪلا ﮫَل ﺎﺼﻠﺨﻣ‬
‫ ﻞﻗ‬Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama.
a. Tafsir Jalalain
Dalam tafsir Jalalain, dijelaskan bahwa penafsiran dari memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama ialah murni dari
perbuatan syirik.

b. Tafsir Al Mishbah
Dalam tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tersebut dijelaskan
bahwa penafsiran ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan
“aku diperintahkan untuk meyembah Allah dengan penuh ikhlas dan
tulus murni, tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau pamrih”

c. Tafsir Ibnu Katsir


Dalam tafsir ibnu katsir, dijelaskan bahwa pemaknaan atau penafsiran
atas ayat di atas ialah sebuah perintah untuk mengatakan bahwa
“sesungguhnya aku hanya diperintahkan untuk memurnikan ibadah
hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya”

Berdasarkan penjelasan beberapa tafsir di atas, dapat difahami betapa


pentingnya esensi keikhlasan dalam beribadah. Manusia sebagai hamba yang
berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah, hendaknya
dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan penuh kesadaran dan
kemurnian hati. Sehingga ibadah dan amalan dapat diterima oleh Allah SWT.
Sebagaimana Allah telah berfirman:
‫ﻧﻮﺪﺒَﻌﯿل ﻻِإ ﺲﻧﻹاو ﻦﺠلا ﺖَﻘﻠﺧ‬
‫ ﺎﻣو‬Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
2. Toleransi
Toleransi secara bahasa berasal dari Bahasa Inggris “Tolerance” yang
berarti membiarkan. Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat atau sikap
toleran, mendiamkan membiarkan. Dalam bahasa Arab kata toleransi
(mengutip kamus Al-Munawir disebut dengan istilah tasamuh yang berarti
sikap membiarkan atau lapang dada). Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi)
adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk
menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam meskipun
tidak sependapat.
Toleransi menurut istilah berarti menghargai, membolehkan membiarkan
pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang
lain atau yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Misalnya agama,
ideologi dan ras.
Firman-Nya, ‫ ﮫِﺑ ﻦﻣﺆﯾ ﻦﻣ ﻢﮭﻨﻣ و‬Di antara mereka ada orang-orang
yang beriman kepada Al-Qur’an, dan seterusnya. Maksudnya, di antara mereka
yang kamu diutus kepada mereka, hai Muhammad, ada yang beriman dengan
Al- Qur’an ini, dia mengikutimu dan mengambil manfaat dengan apa yang
kamu diutus dengannnya. ‫“ ﮫ ﱠﱠِ ﺑﻦﻣﺆﯾ ﻻ ﻦ ﱠﱠ ﻣﻢﮭﻨﻣو‬Dan di antaranya ada (pula)
orang- orang yang tidak beriman kepadannya.” Bahkan dia mati dalam
keadaan seperti itu dan dibangkitkan dalam keadaan seperti itu pula.
‫ﱡﱠﱠرو‬
‫ﻚﺑ‬‫“ ﻦﯾﺪﺴﻔﻤِﻻﺑ َﻢﻠﻋا ﱠﱠ‬Dan Rabbmu lebih mengetahui tentang orang-orang
yang berbuat kerusakan.” Maksudnya, Allah lebih mengetahui siapa yang
berhak mendapat petunjuk, maka Allah memberinya petunjuk. Dan siapa yang
berhak mendapatkan kesesatan, maka Allah menyesatkannya. Allahlah yang
Maha Adil yang tidak berbuat zalim, akan tetapi Allah Memberi masing-
masing sesuai haknya, Maha Suci Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha
Bersih, tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad SAW: “Jika orang-orang

musyrik mendustakanmu, maka berlepas dirilah dari mereka dan amal mereka.

‫“ ﻢﻜﻠﻤﻋ ﻢﻜﱠ َلو ﻰﻠﻤﻋ ﻰّل ﻞَﻘﻓ‬Maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan
bagimu
pekerjaanmu.“ sebagaimana firman-Nya: ‫ ﻧﻮِرﻓﺎﻜلا ﺎﱡﮭﯾأﺎَﯾ ﻞﻗ‬# ‫ﻧﻮﺪﺒﻌﺗ ﺎﻣ ﺪﺒﻋا ﻻ‬
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan beribadah kepada apa
yang kamu ibadahi,” (hingga akhir). (QS. Al-Kafiruun: 1-2).
Lebih lanjut Allah mengajarkan manusia tentang pentingnya toleransi
melalui firman-Nya dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi: ‫ﻲلو ﻢﻜﻨﯾد‬
‫ﻢﻜَل‬
‫“ ﻦﯾد‬Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Dalam kitab tafsir Jalalain
dijelaskan sebagai berikut:
“(Untuk kalianlah agama kalian) yaitu agama kemusyrikan (dan
untukkulah agamaku") yakni agama Islam. Ayat ini diturunkan sebelum Nabi
saw. diperintahkan untuk memerangi mereka. Ya’ Idhafah yang terdapat pada
lafal ini tidak disebutkan oleh ahli qiraat sab'ah, baik dalam keadaan Waqaf
atau pun Washal. Akan tetapi Imam Ya'qub menyebutkannya dalam kedua
kondisi tersebut.”
Adapun menurut Quraish Shihab dalam Tafsirnya, ia menjelaskan makna
dari ayat tersebut ialah ” Bagi kalian agama kalian yang kalian yakini, dan
bagiku agamaku yang Allah perkenankan untukku.”
Adapun asbabun nuzul surat Al kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy
berusaha keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling cantik,
baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau. Dalam
upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai Muhammad yang
kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan menghina tuhan kami
dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat ini, aku belum bisa
menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah Tuhanku lebih dahulu.”.
karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah Subhanahu wata’ala menurunkan
wahyu kepada Rasulullah SAW berupa surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini,
Allah menunjukkan Rasulullah untuk menolak tawaran mereka. (HR. Thabrani
dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy
mengajukan tawaran kepada Rasulullah SAW, “Wahai Muhammad, sekiranya
kamu tidak keberatan mengikuti agama kami selama satu tahun, maka kami
akan berbalik mengikuti agamamu selama satu tahun pula.” Beradasarkan
peristiwa inipun kemudian Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW, yaitu surah Al-Kafirun sebagai
petunjuk jawaban yang harus diberikan Rasulullah. Selanjutnya Rasulullah
Saw menyampaikan jawaban berdasarkan wahyu Allah tersebut secara terang-
terangan dengan kalimat: “selamanya tidak akan bertemu dalam satu titik
agama kufur dengan agama Islam yang hak”. (HR. Abdurrazak dari Wahbin.
Dan Ibnu Mundzir meriwayatkan bersumber dari Juraij)

3. Murah Hati
Dalam kamus besar bahasa Indonesia murah hati adalah suka (mudah)
memberi; tidak pelit; penyayang dan pengasih; suka menolong; baik
hatikebaikan hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Sifat hati yang mulia
dan hangat berupa kesdiaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain
dengan memberi secara limpah, dengan tangan terbuka, tanpa ditahan-tahan.
‫ﻦﻜلو ﻢﮭىﺪھ ﻚَﯿﻠﻋ‬
َ ‫ٱ‬ َ ‫ﺎﻣو ٱ ﮫجو ءﺎ َِﻐﺘﺑٱ ِﻻإ نﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو ﻢﻜﺴﻔﻧ‬
‫ﻸﻓ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو ءﺎَﺸﯾ ﻦﻣ يﺪﮭَﯾ‬ ‫ﻮ‬
‫ﺲﯿﱠل‬
(272 :‫ﻜﯿِلإ فﻮﯾ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻮﻘﻔﻨﺗ )ةرﻘﺒلا‬
َ ‫نﻮﻤَﻠﻈﺗ ﻻ ﻢﺘﻧأو ﻢ‬
Artinya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan
sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup
sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”
Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa ada orang-orang yang tidak suka
memberikan sedekah kepada keturunan mereka dari kalangan musyrik, lalu
mereka menanyakan hal itu, hingga diberikan rukhshah (keringanan) bagi
mereka. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan memberi sedekah kepada
kaum Musyrikin.” (Diriwayatkan oleh An-Nasai, Al-Hakim, Al-Bazzar, Ath-
Thabrani dan lain-lain, yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Asbabun Nuzul riwayat lainnya adalah: “Bahwa Nabi Saw melarang
umatnya bersedekah kecuali untuk kaum Muslimin. Setelah itu turunlah ayat
ini yang beliau diperintahkan Allah Swt untuk memberi sedekah kepada orang
yang beragama apapun, yang datang meminta kepadanya.” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas)
Firman-Nya (‫ )ﻢﻜﺴﻔﻧﻸﻓ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو‬sebgaimana dalam Surah Fushishilat
ayat 46 yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka
[pahalanya] untuk dirinya sendiri.” Dan yang semisal dengan hal tersebut
cukup banyak di dalam Al-Quran. Firman-Nya (‫)ﷲ ﮫجو ءﺎﻐﺘﺑا ﻻإ نﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو‬
Al- Hasari Al-Bashri mengatakan, “Yaitu nafkah yang diberikan orang mukmin
untuk dirinya sendiri. Dan seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya
melainkan dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala. Atha’ Al-Khurasani
mengatakan: “Yakni, jika engkau memberikan sesuatu karena mencari
keridhaan Allah Swt, maka pahala amal itu bukanlah urusanmu.” Ini
merupakan makna yang bagus. Maksudnya adalah bahwa jika seseorang
bersedekah dalam rangka mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka pahalanya
terserah pada-Nya, dan tidak ada masalah baginya, apakah sedekah itu diterima
oleh orang yang baik atau orang yang jahat, orang yang berhak menerima
maupun orang yang tidak berhak menerima. Orang yang bersedekah ini tetap
mendapatkan pahala atas niatnya.
Firman-Nya ( ‫ )نﻮﻤﻠﻈﺗ ﻻ ﻢﺘﻧأو ﻢﻜﯿلإ فﻮﯾ رﯿﺧ ﻦﻣ اﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو‬yang menjadi sandaran
dalam kalimat ayat sebelumnya adalah kelanjutan kalimat ayat ini. Juga
berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dalam sahihain, melalui jalan Abu
Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia menceritakan, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
‫ﻞجر لﺎﻗ‬: ‫ﺔَﻗﺪﺼﺑ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا ﻦَﻗﺪﺼﺗﻷ‬، ‫ﺨﻓ‬ َ ‫ﺔَِﯿﻧاز َﺪﯾ ِﻲﻓ ﺎَﮭﻌضَﻮﻓ ِﮫﺘَﻗﺪﺼِﺑ جر‬، ‫"سﺎﱠﻨلا ﺢَﺒﺻَأﻓ‬
‫ﺔَِﯿﻧاز ﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤلا َﻚل‬، ‫ﺔَﻗﺪﺼِﺑ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا ﻦَﻗﺪﺼﺗﻷ‬، ‫ﺨﻓ‬ َ ‫ جر‬:‫نﻮﺛﺪﺤﺘَﯾ‬: ‫لَﺎﻘﻓ !ﺔَِﯿﻧاز َﻰﻠﻋ قﺪﺼﺗ‬
‫ﻢﮭﱠﻠلا‬
‫ِﻲﻨﻏ َﺪﯾ ِﻲﻓ ﺎَﮭﻌضَﻮﻓ‬، ‫ﺤﺒﺻَأﻓ‬
َ ‫نﻮﺛﺪﺤﺘَﯾ اﻮ‬: ‫لﺎ ََﻘﻓ !ﻲﻨﻏ َﻰﻠﻋ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا قﺪﺼﺗ‬: ‫ﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤلا ﻚَل ﻢﮭﱠﻠلا‬
‫ﺔﻗﺪﺼِﺑ ﺔﻠﯿﱠﻠلا ﻦَﻗﺪﺼﺗﻷ‬، ‫ﻗرﺎﺳ َﺪﯾ ﻲِﻓ ﺎَﮭﻌضَﻮﻓ ﮫِﺘَﻗﺪﺼِﺑ جرﺨﻓ‬، ‫ﺤﺒﺻَأﻓ‬ َ ‫نﻮﺛﺪﺤﺘَﯾ اﻮ‬: ‫ﮫِﺘَﻗﺪﺼِﺑ قﺪﺼﺗ‬
‫لﺎ ََﻘﻓ !ﻗرﺎﺳ‬: ‫ﺔَِﯿﻧاز َﻰﻠﻋ ﺪﻤﺤلا ﻚل ﻢﮭﱠﻠلا‬، ‫ِﻲﻨﻏ َﻰﻠﻋو‬، ‫ﻰﻠﻋو‬ َ ‫ﻗرﺎﺳ‬، ‫ﮫل ﻞﯿَﻘﻓ ِﻲﺗأﻓ‬: ‫ِﻲﻨﻏ ﺎﻣأ‬،
‫ﺎھﺎ َﻧز ﻦﻋ ﺎﮭِﺑ ﻒﻌﺘﺴﺗ ﻧأ ﺎ ﱠﮭﻠ َﻌﻠَﻓ ﺔَِﯿﻧازلا ﺎﻣأو ؛‬، ‫ﻞَﻌلو‬
َ ‫ﻰﻠﻋ ﺔَﻠﯿﱠﻠلا هﺎﻄﻋأ ﺎﻤﻣ ﻖﻔﻮﻨﯿَﻓ ِرﺒﺘﻌَﯾ ِﻲَﻨﻐلا‬

‫ ﺖَﻠِﺒﻗ َْﺪَﻘﻓ ﻚﺘَﻗﺪﺻ "ِﮫَﺘﻗرﺳ ﻦﻋ ﺎﮭِﺑ ﻒﻌﺘَﺴﯾ ﻧأ ﻗرﺎﺴلا ﻞََﻌلو‬،


Artinya: “Ada seseorang berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada
malam ini.’ Kemudian ia pergi dengan membawa sedekah, lalu sedekah itu
jatuh ke tangan seorang pezina, maka pada pagi harinya, orang-orang pun
membicarakan: ‘Seorang pezina diberi sedekah.’ Kemudian ia berucap: ‘Ya
Allah, segala puji hanya untuk-Mu atas (sedekah) kepada seorang pezina.’
Selanjutnya orang itu berkata: ‘Aku akan mengeluarkan sedekah pada malam
ini.’ Kemudian sedekah itu jatuh ke tangan orang kaya. Dan pada pagi
harinya, orang-orang membicarakan: ‘Tadi malam ada orang kaya yang
diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu
atas (segala sedekah) kepada orang kaya. Dan pada malam ini aku akan
mengeluarkan sedekah.’ Maka ia pun keluar dan sedekah itu jatuh ke tangan
seorang pencuri. Dan pada pagi harinya, orang-orang pun membicarakan:
‘Tadi malam seorang pencuri diberi sedekah.’ Maka orang itu pun berucap:
‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu atas (sedekah) kepada pezina, orang kaya, dan
pencuri.’ Kemudian ia didatangi (oleh malaikat) dan dikatakan kepadanya:
“Sedekahmu telah diterima. Adapun si pezina itu semoga ia menjaga diri dari
zina. Dan semoga orang kaya akan mengambil pelajaran sehingga ia mau
menginfakkan apa yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Dan semoga
si pencuri itu menjaga diri dari perbuatan mencurinya.” (HR. Al-Bukhari 1421
dan Muslim 1022).
Sayyid Quthub dalam tafsirnya fi Zilalil Qur’an menjelaskan bahwa kita
memperhatikan juga dalam konteks ayat ini tentang keadaan orang-orang
mukmin ketika menafkahkan hartanya, jangan kamu membelanjakan sesuatu
melainkan karena mencari keridhaan Allah. Inilah keadaan orang-orang
mukmin, bukan yang lainnya. Dia tidak menginfakkan hartanya melainkan
mencari keridhaan Allah, bukan karena mengikuti hawa nafsu dan bukan pula
karena tujuan-tujuan lain. Ia menginfakkan hartanya ukan bermaksud untuk
mengungguli orang lain dan menyombongi mereka. Ia tidak melakukan infak
melainkan semata-mata mencari keridhaan Alah, tulus ikhlas karena Allah.
Karena itu hatinya merasa mantap bahwa Allah akan menerima sedekahnya;
hatinya percaya bahwa Allah akan memberi berkah pada hartanya; ia percaya
kepada kebaikan dan kebajikan dari Allah sebagai balasan kebaikan dan
kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah. Karena anugerah Allah di bumi,
maka ia meningkat kedudukannya, menjadi suci dan bersih. Sedangkan,
karunia akhirat sesudah itu semua adalah sangat utama.
C. RANGKUMAN
Al Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai pedoman hidup umat
manusia. Salah satu hal yang dibahas dalam al qur’an ialah mengenai
pentingnya kepemilikan sifat-sifat terpuji dalam menjalankan ibadah sebagai
hamba-nya. Beberapa contoh sifat terpuji yang termaktub dalam Al Qur’an
ialah ikhlas, toleransi dan murah hati. Ikhlas dapat diartikan sebagai kondisi di
mana seorang hamba hanya mengharap Ridla Allah semata dalam
menjalankan ibadah ataupun dalam beramal. Di samping itu ikhlas juga
merupakan kondisi di mana seorang hamba memurnikan niatnya dari hal-hal
yang dapat merusak niat itu sendiri. Hal ini secara tidak langsung berkaitan
erat dengan diterima tidaknya sebuah amal ibadah seorang hamba. Karena di
antara syarat diterimanya suatu amal ibadah ialah terpenuhinya rukun-rukun
amal tersebut, dan terpenuhinya kemurnian niat si pelaku.
D. TUGAS
1. Jelaskan pemahamanmu mengenai konsep ikhlas berdasarkan kajian tafsir
yang telah Anda pelajari!
2. Jelaskan tafsir tentang sikap toleransi yang telah Anda pelajari!
3. Jelaskan asbabun nuzul dari ayat yang menjelaskan tentang toleransi!
4. Tuliskan satu ayat tentang sikap murah hati dan jelaskan artinya
berdasarkan tafsir yang telah kamu pelajari!
5. Berikan penjelasanmu mengenai pentingnya sifat murah hati bagi seorang
muslim berdasarkan tafsir ayat-ayat yang kamu pelajari!

E. RAMBU-RAMBU JAWABAN
1. Ikhlas dalam beribadah berarti melaksanakan ibadah dan amalan dengan
sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan segala ketulusan dan kemurnian hati
hanya untuk Allah SWT, tanpa menyekutukannya. Artinya, bukan
diperuntukkan pada hal lain selain Allah SWT.
2. Manusia sebagai makhluk Allah yang berkewajiban beribadah hendaknya
menjalankan ajaran Allah dalam bersosialisasi, yaitu menerapkan sikap
toleransi. Hal ini sebagaimana Allah telah ajarkan salah satunya dalam
surat Al Kafirun ayat 6 yang menjelaskan tentang kebebasan beragama.
3. Asbabun nuzul surat Al Kafirun ialah adanya kaum kafir Quraisy berusaha
keras membujuk dan mempengaruhi Rasulullah saw. untuk mengikuti
ajaran mereka. Kaum kafir Quraish menawarkan harta yang melimpah
sehingga Rasulullah dapat menjadi orang terkaya di Makkah. Selain itu,
Rasulullah juga dijanjikan hendak dikawinkan dengan wanita paling
cantik, baik yang gadis maupun yang sudah janda, sesuai kehendak beliau.
Dalam upaya ini, kaum kafir Quraish mengatakan, “Inilah wahai
Muhammad yang kami sediakan untukmu, agar kamu tidak memaki dan
menghina tuhan kami dalam satu tahun!” Rasulullahpun menjawab, “Saat
ini, aku belum bisa menjawab. Aku akan menunggu wahyu dari Allah
Tuhanku lebih dahulu.”. karena terjadinya peristiwa ini, maka Allah
Subhanahu wata’ala menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW berupa
surah Al-Kafirun. Melalui wahyu ini, Allah menunjukkan Rasulullah
untuk menolak tawaran mereka.
4. ‫( ﷲ ﮫجو ءﺎﻐﺘﺑا ﻻإ نﻮﻘﻔﻨﺗ ﺎﻣو‬QS. Al Baqarah: 272)
Seorang mukmin tidak menafkahkan hartanya kecuali untuk mendapatkan
ridha Allah. Dan dengan ridha Allah hatinya merasa mantap bahwa urusan
dunia dan akhirat akan dimudahkan
5. Sifat murah hati atau sedekah yang diniatkan untuk mengharapkan ridha
Allah akan membuat hati pelakunya merasa mantap bahwa Allah akan
menerima sedekahnya. Sehingga hatinya percaya bahwa Allah akan
memberi berkah pada hartanya. Selanjunya iapun akan percaya kepada
kebaikan dan kebajikan dari Allah sebagai balasan kebaikan dan
kebajikannya kepada hamba-hambanya Allah

F. TES FORMATIF

1. Menurut bahasa, ikhlas berarti...


a. Murni
b. Tulus
c. Bersih
d. Suci
e. Lurus

2. Penjelasan tentang pentingnya keikhlasan dalam beribadah yang dapat


berpengaruh pada diterimanya suatu amal ibadah terdapat pada ayat...
a. QS. Al Ikhlas ayat 3
b. QS. Al A’raf ayat 29
c. QS. Adz Dzariyyat ayat 11
d. QS. Ghafir ayat 5
e. QS. Az Zumar ayat 15

3. Quraish Shihab menafsirkan keikhlasan sebagai sebuah kondisi di mana


seseorang melakukan ibadah dan amalan tanpa ada kesyirikan dan riya’ atau
pamrih di dalamnya. Hal ini merupakan penafsiran Quraish Shihab untuk
ayat...
a. QS. Al Ikhlas ayat 3
b. QS. Al A’raf ayat 29
c. QS. Adz Dzariyyat ayat 11
d. QS. Ghafir ayat 5
e. QS. Az Zumar ayat 11

4. Disunahhkan bagi umat muslim untuk bersedekah. Kepada siapa umat


muslim diperbolehkan bersdekah berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 272?
a. Siapa saja
b. Orang yang membutuhkan
c. Orang miskin
d. Orang fakir
e. Anak yatim
5. Bagaimana sikap kita umat Islam terhadap umat beragama lain?
a. Mengikutinya
b. Mengajaknya mengikuti agama kita
c. Menghargainya
d. Mengabaikannya
e. Mencemoohnya

G. KUNCI JAWABAN
1. C
2. B
3. E
4. A
5. C
DAFTAR PUSTAKA

-----------------. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di


kbbi.kemdikbud.go.id/entri/religius. Diakses 7 Mei 2019

Al Asyqar, U. Sulayman, Ikhlas: Memurnikan Niat, Meraih Rahmat.


(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001) 63

Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Terjemah Tafsir


Ibnu Katsir Jilid 8. (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002)

, Terjemah Tafsir
Ibnu Katsir Jilid 3. (Bandung: Sinar Baru al-Gensindo, 2002)

Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan As Suyuti, Tafsir Jalalain. Terj. Bahrun


Abubakar. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007)

M. Abdul Ghoffar dkk, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir jilid 3 (Bogor:


Pustaka Imam Asy-Syafi’i)541

Moh Fauzi, Akidah Akhlak. (Sidoarjo: Media Ilmu, 2008)26

Moh Amin, Sepuluh Induk Akhlak Terpuji. (Jakarta: Kalam Mulia, 1997)15

Sayyid Qutub, Fi Zhilalil Qur’an terj (Jakarta: Gema Insani, 2006)370

Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan


Keserasian alQur'an jilid 5. (Jakarta, Lentera Hati, 2001)
KEGIATAN BELAJAR IV

INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN DI DALAM AL QUR’AN

A. INDIKATOR KOMPETENSI
1.1.1. Menjelaskan Ayat Al Qur’an tentang konsep integrasi ilmu pengetahuan.
1.2.1. Manganalisis Karakteristik Ulul albab.
B. URAIAN MATERI PELAJARAN
1. Sosok Ulul Albab
Dikisahkan bahwa suatu ketika orang-orang Quraisy datang kepada kaum Yahudi
dan bertanya kepada mereka, apa tanda-tanda yang dibawa Musa kepada kalian?” orang-
orang Yahudi itu menjawab “Tongkat dan tangan yang mengeluarkan cahaya putih.”
Selanjutnya orang-orang Quraisy itu mendatangi kaum Nasrani, lalu bertanya kepada
mereka, “apa tanda-tanda yang diperlihatkan Isa?.” Kaum Nasrani menjawab, “ Isa
menyembuhkan orang yang buta, orang yang sakit kusta dan menghidupkan orang mati.”
Setelah orang-orang Quraisy mendatangi Yahudi dan Nasrani, kemudian mereka
mendatangi Nabi Saw sambil berkata kepada beliau; “Berdoalah kepada Tuhanmu untuk
mengubah bukit shafa menjadi emas untuk kami.” Nabi Saw kemudian berdoa, maka
turunlah firman Allah Q.S Ali Imran 190 ini ;1

‫( بﺎ َﺑلﻷا ﻲلوﻷ تﺎ َﯾﻵ رﺎﮭﻧلاو لﯾﻠلا فِﻼﺗﺧاو ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻣﺳلا ﻖﻠﺧ ﻲﻓ ﻧِﺈ‬190) ‫ﻧﻮرﻛذَﯾ نﯾذلا‬
‫ﺎﻧﻘَﻓ َكﻧﺎﺣﺑﺳ ﻼطَﺎﺑ اذھ تﻘَﻠﺧ ﺎﻣ ﺎ َﻧﺑر ضرﻷاو ﺗﺎوﺎﻣﺳلا ﻖﻠﺧ ﻲِﻓ ﻧﻮرﻛ َﻔﺗﯾو مِﮭﺑوﻧج ﻰﻠﻋو ادوﻌﻗو ﺎﻣﺎ َﯾِﻗ‬

(191) ‫رﺎﻧلا ﺑﺎذﻋ‬


Artinya : “
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (190). (yaitu) orang-orang yang
mengingat atau berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka (191)

Nabi Saw ketika berdiri mengerjakan salat beliau menangis sehingga jenggotnya
basah oleh air mata. Ketika sujud beliau juga menangis hingga air matanya membasahi
tanah kemudian berbaring beliau menangis lagi. Ketika Bilal datang untuk memberitahukan
kepadanya waktu salat subuh, seraya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang
menyebabkan engkau menangis, padahal Allah telah memberikan ampunan kepadamu
terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Nabi Saw. menjawab,
“Bagaimana aku tidak menangis, malam ini Allah telah menurunkan kepadaku ayat ini:
'Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
hari terdapat tanda-tanda bagi para ulul albab (Ali Imran: 190)." Kemudian Nabi Saw.
bersabda pula, 'Celakalah bagi orang yang membacanya, lalu ia tidak merenungkan
semuanya itu."
Pada Surat Ali Imran 190 ini mengisyaratkan tentang tauhid, keesaan, dan kekuasaan
Allah SWT. Hukum-hukum alam yang melahirkan kebiasaan-kebiasaan, pada hakikatnya
ditetapkan dan diatur oleh Allah Yang Mahahidup lagi Qayyum (Maha Menguasai dan Maha
Mengelola segala sesuatu).2
Surat Ali Imran ayat 190-191 menegaskan penciptaan semesta, yaitu langit dan bumi
serta pergantian malam dan siang adalah sebagai tanda-Nya. Tanda itu mampu diterima
oleh ulul albab, yaitu orang-orang yang selalu berdzikir dan bertafakkur. Berdzikir berarti
senantiasa mengingat Allah dan bertafakkur berarti merenungi dan memikirkan segala
ciptaan Allah Swt yang meliputi langit dan bumi serta segala isinya dan hukum-hukum yang
berlaku di dalamnya.
Dua dimensi yang tidak dipisahkan dalam ayat tersebut sehingga disebut ulul albab
adalah dimensi dzikir (mengingat Allah Swt) dalam kondisi apapun; baik berdiri,duduk
maupun berbaring, di mana setiap orang secara umum memang berada di salah satu dari
tiga kondisi tersebut. Dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan renungan) terhadap
ciptaan Allah Swt yang tersebar di semesta alam ini; penciptaan langit dan bumi serta
pergantian siang dan malam. Dimensi ke dua ini tentu saja bersifat global dengan tidak
merinci bagian-bagian langit dan bagian-bagian bumi serta hukum-hukum alam yang
menjadi sunnatullah, karena menyebut tiga hal tersebut sudah mewakili apapun yang ada
padanya dan bagaimanapun keadaannya dan yang diakibatkannya telah masuk pada
system keberadaan langit, bumi dan perputarannya.
Memikirkan dan merenungkan bagian-bagian kecil dari langit, misalnya; memikirkan
bulan, matahari, planet atau sinarnya, awannya, panasnya dan juga bagian kecil dari bumi;
memikirkan hewannya, tumbuhannya, manusianya atau udaranya, maka perbuatan ini juga
di sebut tafakkur fi khalqissamawati wa al ardhi (merenungkan penciptakan langit dan bumi
). Lebih terperinci lagi bahwa seseorang yang melakukan perenungan melalui berbagai
kajian yang sungguh-sungguh dalam berbagai disiplin ilmu baik social maupun sains pada
hakekatnya sedang melakukan tafakkur.
Kembali pada surat Ali Imran;190 yang menegaskan bahwa dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi ulul
albab. Kata Ulul albab menurut tafsir Ibnu Katsir adalah orang yang memiliki akal yang
sempurna lagi cerdas yang mengerti tentang hakekat dibalik adanya segala sesuatu yang
tampak. Tanda-tanda yang tersebar di semesta adalah tanda adanya Allah Swt, yang
berarti tanda wujud-Nya, keagungan-Nya, kemahabesaran-Nya, kemahaindahan-Nya,
kemahakaryaannya dan kemahasempurnaan-Nya meliputi segala sesuatu.
Namun tanda wujudnya Allah Swt tersebut hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh
orang-orang yang disebut ulul albab, bukan oleh orang lain. Siapakah ulul albab tersebut ?
Seseorang disebut Ulul albab pada ayat tersebut harus memiliki dua syarat, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya; syarat pertama yaitu dimensi dzikir (mengingat Allah Swt)
dalam kondisi apapun. Syarat kedua yaitu dimensi kedua adalah bertafakkur (melakukan
renungan) terhadap ciptaan Allah Swt yang tersebar di semesta. Dua dimensi itu ibarat dua
sisi mata uang pada satu logam yang tidak bisa dipisah-pisahkan, bertafakur tanpa berdzikir
tidaklah di sebut ulul albab, demikian juga sebaliknya.
Seorang ulul albab senantiasa mengingat kepada Allah Swt dan melakukan kajian-
kajian serta renungan terhadap kejadian-kejadian pada ciptaan Allah Swt, sehingga pada
akhirnya dia menemukan hikmah yang agung pada setiap ciptaan Allah Swt. Dia
menemukan sebuah system keserasiaan, keseimbangan dan keharmonisan serta
penjagaan Allah Swt terhadap semesta. Dan pada seorang ululalbab memahami bahwa
segala apa yang Allah ciptakakan memberikan manfaat yang besar terhadap kehidupan dan
tidak ada yang sia-sia.
Dalam konteks saat ini seorang ulul albab memiliki sifat dan sikap seperti
kritis, mau berusaha dan berkreasi untuk kemanfaatan, kemaslahatan dan
kelestarian kehidupan. Sifat dan sikap tersebut dapat dijelaskan berikut ini 3:
a. Memiliki sikap kritis secra rinci rinci lagi ada tiga cirri utama; yaitu berdzikir,
memikirkan atau mengamati fenomena alam dan berkreasi. Dari uraian tersebut
dapat dipahami bahwa berfikir kritis memiliki tiga tuntutan besar: 1) Berdzikir.
Seorang yang berfikir kritis dan cerdas, ciri pertama adalah selalu berdzikir
kepada Allah swt baik siang dan malam, pada saat berdiri, duduk dan berbaring.
Maknanya tiada waktu tanpa berdzikir, segala waktu diisi dengan dzikir baik
dalam shalat maupun di luar shalat. Berdzikir bukan saja hanya ingat tetapi juga
membaca kitab Allah, memahami isinya, menyebar luaskan dan mengamalkan isi
kandungannya. Membelajari kitab suci dalam rangka memahami , menyebar
luaskan dan menerapkan nilai-nilainya di tengah-tengah masyarakat yang sangat
beragam kebutuhan dan problemanya. 2) Berfikir Kritis. Berfikir kritis berarti
mengamati, meneliti, menyimpulkan dan membuktikan kebenarannya. Mengamati
ayat-ayat Tuhan di alam raya ini baik dalam diri manusia secara perorangan
maupun berkelompok, di samping juga mengamati fenomena alam. Mereka
berfikir tentang ciptaan langit dan bumi. Menurut Muhammad Quthub
sebagaimana dikutip oleh M Quraish Shihab bahwa ayat-ayat tersebut
merupakan metode yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam
terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama
di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang
tersaji dalam alam jagat raya ini. Ayat tersebut bermula dari tafakkur dan berakhir
dengan amal.3 Di samping itu bertafakkur terhadap penciptaan langit bumi, juga
bermakna memikirkan tentang tata kerja alam semesta. Karena kata Khalq
selain berarti penciptaan juga berarti pengaturan dan pengukuran yang cermat.
Pengetahuan yang terakhir ini mengantarkan ilmuan kepada rahasia alam dan
pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan
kemudahan dan manfaat bagi manusia.
b. Berusaha dan berkreasi dapat berarti melakukan upaya-upaya kreatifitas pada
hasil-hasil penemuan ilmiah dan teknologi. Karena itu setelah mereka
menemukan dan memahami suatu ilmu pengetahuan dan teknologi yang
merupakan bagian kecil dari system yang sempurna dari Dzat Yang Maha Karya,
kemudian mereka berkata: Ya Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia
- sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.
Adanya usaha dan kreasi dalam bentuk nyata dari ilmuwan, khususnya
dalam kaitan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut
berarti bahwa mereka harus selalu peka terhadap kenyataan-kenyataan social
dan semesta alam serta bahwa peran mereka tidak sekedar merumuskan atau
mengarahkan tujuan-tujuan tetapi juga sekaligus memberi contoh pelaksanaan
dan sosialisasinya. Keindahan alam dan keberhasilan sains dan tekhnologi yang
dihasilkan dari proses berfikir dan berdzikir itu memperkuat keimanan kepada
Allah swt dan dalam meningkatkan kepatuhannya kepada Sang Pencipta.
Pemahaman terhadap penciptaan semesta yang agung disertai dengan selalu
berdzikir menimbulkan sebuah kemampuan pada dirinya untuk melihat sebuah tanda
wujudnya Allah Swt, keagungan-Nya dan kemahabesaran-Nya, sehingga terlontar dari
dirinya ucapan subhaanak ( maha suci Engkau ya Allah). Penjelasan seperti ini tergambar
pada ayat 191;
‫ﻚﻧﺎﺤﺒﺳ ﻼطَﺎﺑ اذھ ﺖﻘﻠﺧ ﺎﻣ ﺎ َﻨﺑر‬
َ
Artinya;
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau

Masih belum berhenti di sini, setelah seorang ulul albab mampu melihat tanda
wujudnya Allah Swt dan memahami ciptaan-Nya yang penuh hikmah; serasi, seimbang,
harmonis dan penuh manfaat. Maka seorang ulul albab mengkhawatirkan terjadi suatu
kezhaliman ( pengrusakan) terhadap segala ciptaan Allah Swt dan tata aturan-Nya yang
Maha Indah yang mungkin kezholiman itu dilakukan oleh dirinya maupun orang lain, di
mana kezholiman itu dapat membawa masuk ke dalam api neraka. Karena itu, seorang
ulul albab melanjutkan ucapannya; ‫رﺎﱠﻧلا ﺑﺎ َذﻋ ﺎَﻧَﻘﻓ‬ (maka jagalah kami dari siksa api
neraka).

Sosok ulul albab di atas menggambarkan seorang yang di samping memiliki ilmu
pengetahuan yang tinggi, juga sosok yang selalu dekat dengan Allah Swt. Kedekatan
kepada Tuhannya dan keluasan ilmunya memberikan dampak terhadap kehidupannya
sebagai seorang yang selalu melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi kemaslahatan
kehidupan yang sejalan dengan aturan Allah Swt.
Ilmu yang dimiliki oleh seorang ulul albab tidak tersekat oleh batasan-batasan yang
dibuat oleh manusia, yang sekat-sekat tersebut diakibatkan oleh keterbatasan manusia itu
sendiri. Bagi seorang ulul albab ilmu pengetahuan apapun yang berhubungan dengan alam
semesta ini hakekatnya adalah ciptaan-ciptaan Allah Swt yang tunduk kepada sitem aturan
yang telah dibuat-Nya. Sehingga semua ilmu itu hakekatnya hanya satu yaitu ilmu Allah
Swt, dan manusia hanya diberi sedikit ilmu dari Allah Swt.
‫ﻼﯿﻠَﻗ ﻻِا ﻢﻠﻌلا ﻦﻣ ﻢﺘِﯿﺗوا ﺎﻣو‬
Adapun berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti ilmu social dan sains serta cabang-
cabangnya adalah nama-nama yang dibuat oleh manusia sendiri untuk memudahkan
bidang focus kajian dan bidang keahlian yang ditekuni. Sehingga nama-nama bidang ilmu
tersebut sangatlah bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Namun yang perlu
diingat bahwa bidang-bidang ilmu itu secara makro dipahami sebagai satu-kesatuan yang
saling berhubungan, tidak untuk dipisahkan, apalagi dipisahkan dari ciptaan dan system
aturan Allah Swt.
Dapat dipahami juga bahwa Allah Swt yang maha agung memilki ilmu yang maha luas,
di mana untuk mendapatkan pemahaman tentang Allah Swt atau dengan kata lain
memahami tanda ( dalam ayat al qur’an disebut ayat ) diperlukan ilmu Allah, karena itu
belajar suatu ilmu adalah untuk lebih mengetahui tentang Allah Swt dan agar mampu lebih
banyak melakukan kemaslahatan dan kemanfaatan dalam kehdupan sesuai petunjuknya,
sehingga semakin bertambah ilmu seseorang akan menambah juga kedekatannya kepada
Allah Swt dan kebaikannya dalam kehidupan.
Namun, apabila suatu ilmu dipisahkan dari pemiliknya yakni Allah Swt dan berdiri
sendiri, maka dikuatirkan fungsi dari ilmu tersebut akan lepas kendali dan jauh dari aturan
dan tujuan serta manfat dari ilmu tersebut.
‫ ىﺪھ ددَزﯾ ملو ﺎﻣﻠﻋ دادزا نﻣ‬# ‫ ىﺪﻌﺑ ﻻا ِﷲ نﻣ ددَزﯾ مَل‬Barangsiapa
bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuknya maka hanya akan membuat
semakin jauh dari Allah Swt

2. Integrasi Ilmu Pengetahuan


Al Qur’an adalah petunjuk bagi manusia untuk menjalani kehidupan di dunia dan
memberi informasi tentang kehidupan di akherat. Petunjuk tentang menjalin hubungan
dengan Allah (hablun minallah) yang menciptakannya dan hubungan dengan sesama
manusia (hablun minannas) serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya agar dijaga
dan dilestarikan.
Sebelum kajian ilmu social dan sains berkembang pesat, al Qur’an telah memberikan
informasi yang sangat luas dan benar bagaimana seharusnya berinteraksi sesama manusia
( social interaction), demikian juga sebelum sains berkembang al Qur’an telah begitu dalam
membicarakan semesta alam.
Dalam hal interaksi social misalnya al Qur’an sebagai petunjuk tidak hanya
membicarakan pola-pola interaksinya saja, namun telah mengatur secara tepat bagaimana
seharusnya interaksi social itu dapat berjalan seimbang, adil dan tidak terjadi kedzoliman,
agar kehidupan ini terjaga dan sesuai dengan tujuan penciptaannya. Karena itu petunjuk
tentang bagaimana interaksi social sangat banyak sekali, misalnya; ayat-ayat tentang
perdagangan, hutang piutang, pernikahan, kepemimpinan, keadilan, perceraian, perjanjian,
kepemilikan, komunikasi dan sebagainya.
Demikian juga al Qur’an memberikan informasi yang sangat luas tentang sains, mulai
membahas penciptaan alam semesta, tata surya, hewan, tumbuhan, hujan, angin dan
sebagainya. Namun, pembicaraan sains dalam al Qur’an bukan hanya terbatas pada aspek
sains itu saja, tetapi pasti dikaitkan dengan aspek yang lain, misalnya; agar manusia
mengenal tuhannya, agar manusia mau bersyukur, menjaga kelestariannya, agar mau
berfikir, agar manusia selalu beramal sholeh, dst.
Al Qur’an membicarakan semesta alam; langit, bumi, hewan, tumbuhan yang semua
diciptakan untuk manusia maka manusia diperintahkan untuk menjaga, mengelola dan
memanfaatkannya dengan baik . Mengenai cara dan tekhnik mengelola atau
memanfaatkannya diserahkan kepada manusia sendiri. Karena itu al Qur’an tidak
membicarakan secara spesifik bagaimana cara mengelola dan alat apa yang digunakannya,
demikian itu supaya manusia berfikir karena sudah diberi potensi akal untuk dikembangkan
afala ta’qilun (tidakkah kalian menggunakan akal), ini artinya manusia diperintah untuk
mengembangkan tekhnologi. Manusia dapat mengembangkan tekhnologi apapun dalam
rangka mendukung dan menunjang proses kekhalifahannya di muka bumi. Namun al Qur’an
memberikan rambu-rambu atau asas-asas yang dapat dijadikan sebagai petunjuk
melaksanakannya, agar tidak menyalahi dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt. Adapun
asas-asas tersebut adalah a)asas tauhid, artinya tidak diperkenankan segala sains dan
tekhnologi berdampak kepada penyekutuan terhadap Allah Swt (syirik). b) Asas manfaat, c)
Asas kemudahan, d) asas keindahan, dan e) asas keadilan;
a. Asas Tauhid
Di dalam al Qur’an tidaklah diperkenankan segala apapun berdampak kepada
penyekutuan terhadap Allah Swt dan sehala apaun yang dilakukan semata-mata
karena mengabdi kepada Allah Swt secara tulus.

‫ﻧِﺈ ﺎﻤﯿﻈﻋﺎﻤﺛِإ‬ ‫ِﺎﺑ كرﺸﯾ ﻦﻣو ءﺎَﺸﯾ ﻦﻤل ﻚلذ ﻧﻮد ﺎﻣ رﻔَﻐﯾو ِﮫﺑ كرﺸﯾ ﻧأ رﻔَﻐﯾ ﻻ‬ ‫ىرﺘﻓا َﺪﻘَﻓ‬

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

‫اوﺪﺒَﻌﯿل ﻻِإ اورﻣأ ﺎﻣو‬ ‫ﺔِﻤﯿَﻘلا ﻦﯾد ﻚلذو ةﺎﻛزلا اﻮﺗﺆﯾو ﻼة ﺼلا اﻮﻤﯿﻘﯾو ءﺎَﻔﻨﺣ ﻦﯾﺪلا َﮫل ﻦﯿﺼﻠﺨﻣ‬

Dan tidaklah mereka diperinta kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

b. Asas manfaat
Al Qur’an sangat menganjurkan agar segala upaya dan kreasi manusia dilakukan dengan
mempertimbangkan sisi kemanfaatannya.

‫ضرﻷا ﻲِﻓ ثﻛَﻣﯾﻓ سﺎﻧلا ﻊﻔﻧﯾ ﺎﻣ ﺎﻣأو ءﺎ َﻔج ﺑھَذﯾﻓ َدﺑزلا ﺎﻣَأﻓ‬

Maka adapun buih itu, akan hilang (sebagai sesuatu yang tak ada harganya),
adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. ( al Ro’d,
13 :17)

Nabi Saw menjelaskan :

‫لَﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲضر ةرﯾرھ ﻲﺑأ ﻦﻋ‬: ‫لَﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿَﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لَﺎﻗ‬: ‫ﻦﺴﺣ ﻦﻣ‬
(‫ﮫِﯿﻨﻌَﯾ ﻻ ﺎﻣ ﮫﻛرﺗ ءرﻤلا مﻼِﺳإ ) يذﻣِرﺘلا هﺎور‬.

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Di antara tanda
kebaikan Islam seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat baginya.”

c. Asas Kemudahan
Allah Swt Yang Maha Pengasih menginginkan agar manusia dalam
menjalankan tugasnya tidak mengalami kesulitan, karena itu Allah Swt
menganjurkan agar manusia dapat melakukan hal-hal yang dapat memudahkan dan
meringankannya.

‫ﺪﯾرﯾ‬ ‫رﺴﻌلا ﻢِﻜﺑ ﺪﯾرﯾ ﻻو رﺴﯿلا ﻢﻜِﺑ‬

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran


bagimu” (QS. Al Baqarah, 2: 185).
‫ﺪﯾرﯾ‬ ‫ﺎﻔﯿﻌض نﺎﺴﻧﻹا ﻖﻠﺧو ﻢﻜﻨﻋ ﻒﻔﺨﯾ ﻧأ‬

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan


bersifat lemah.” (QS. An Nisa’, 4: 28).

‫اورَﺴﻌﺗ ﻻو اورَﺴﯾ‬, ‫ﻻو اورَﺸﺑو‬ ‫ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لﺎﻗ‬ ‫ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲضر ﺲﻧأ ﻦﻋ لﺎﻗ‬
‫اورﻔَﻨﺗ‬
( ‫) ﻢﻠﺴﻣ هﺎور‬

Artinya
Dari Anas r.a berkata: Nabi Saw bersabda; Mudahkanlah, jangan
mempersulit, buatlah senang dan jangan buat mereka berpaling
(meninggalkan)kalian.

d. Asas Keindahan
Ayat-ayat al Qur’an banyak sekali menyampaikan secara tersirat tentang
keindahan, misalnya penciptaan manusia yang dengan sebaik-baik bentuk,
penciptaan binatang , penciptaan langit (badi’ussamaawaati), dst. Keindahan yang
dimaksud oleh al Qur’an bukan hanya indah dari segi lahiriyah yang tampak oleh
mata, namun keindahan yang disertai dengan keseimbangan dan keharmonisan,
keindahan yang seimbang antara yang lahir dan yang bathin.
Nabi Saw bersabda :

.‫لﺎﻤﺠلا ﺐﺤﯾ ﻞﯿﻤج ﷲ ﻧﺈ‬، ‫ سﺎ َﻨلا ﻂﻤﻏو ﻖﺤلا رَﻄﺑ رﺒﻜلا‬- ‫ﻢﻠﺴﻣ هﺎور‬

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan


mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain.

e. Asas Keadilan
Allah Swt memerintahkan secara tegas diperbagai ayat al Qur’an agar
keadilan selalu ditegakkan diperbagai aspek kehidupan, termasuk bidang
tekhnologi. Penggunaan tekhnologi hendaknya juga dalam rangka penegakan
keadilan.
‫ﻂﺴﻘِﻻﺑ ﻦﯿﻣاﻮَﻗ اﻮﻧﻮﻛ اﻮﻨﻣآ ﻦﯾذلا ﺎﮭﯾأ َﺎﯾ‬

Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan (Q.S


An-Nisa: 135)
C. RANGKUMAN
Mengingatkan pentingnya integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme
atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi
lain. Dikhotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek -aspek
kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap
ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi
umat pada umumnya. Implikasi lain dari dikhotomi keilmuan terhadap kerangka filsafat
keilmuan Islam adalah berkembangnya pemikiran yang mempertentangkan antara rasio dan
wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.
Di kalangan umat Islam berkembang pemikiran bahwa wahyu adalah sumber utama
ilmu sembari mendiskriminasikan fungsi dan peran rasio sebagai sumber ilmu. Di kalangan
umat Islam juga berkembang suatu kesadaran untuk menjadikan ayat-ayat qauliyah sebagai
objek kajian pokok, tetapi mengabaikan ayat-ayat kauniyah yang justru menyimpan begitu
banyak misteri dan mengandung khazanah keilmuan yang kaya. 4
Fitrah manusia itu sendiri adalah searah dengan petunjuk-petunjuk yang disampaikan
oleh firman Allah Swt. Ayat-ayat al-Qur’an memberikan petunjuk kepada akal dan hati
manusia untuk memahami fenomena-fenomena alam dengan berbagai aspeknya, agar
manusia benar-benar meyakini kepada Allah Swt. Seperti yang terdapat pada surat Ali
Imran: 190, yang menjelaskan tentang penciptaan langit dan bumi. Fenomena-fenomena
alam dengan berbagai aspeknya itu kemudian dikaji melalui berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Dari sini tampak sekali bahwa ayat-ayat al-Qur’an sangat terkait dengan ilmu
pengetahuan, yang berarti juga bahwa keduanya benar-benar terintegrasi.
Pada saat ilmu pengetahuan telah terintegrasi maka nilai manfaat kepada
pemahaman dan pengamalan ajaran al Qur’an diharapkan akan semakin bertambah, dan al
Qur’an benar-benar akan menjadi rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam. Ilmu
pengetahuan tidak akan terpisahkan oleh nilai-nilai tuntunan al Qur’an sehingga kajian dan
implementasi ilmu pengetahuan menjadi bagian ibadah kepada Allah Swt.

D. TUGAS
1. Jelaskan yang dimaksud Ulul albab ?
2. Bagaimana pandangan al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan ?
3. Temukan ayat al Qur’an yang terintegrasi dengan ilmu pengetahuan dan jelaskan.
E. TES FORMATIF

1. Ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan langit dan bumi sebagai tanda bagi
orang benar-benar menggunakan akalnya adalah :
a. S. AL Baqararoh, 191
b. S. Ali Imran, 191
c. S. Al Baqararoh, 190
d. S. Al Nisa’, 94
e. S. Ali Imran, 190

2. Indikator seorang ulul albab tercantum pada :


a. S. Al Baqararoh, 190
b. S. Al Baqararoh, 190
c. S. Al Maidah, 190
d. S. Al An’am, 79
e. S. Ali Imran, 191
3. Berikut adalah sifat dan sikap yang ditunjukkan oleh seorang ulul albab kecuali :
a. Dalam keadaan berdiri kemudian berdzikir
b. Merenungi segala ciptaan Allah Swt
c. Mohon perlindungan dari siksa api neraka
d. Menyucikan asma Allah
e. Berusaha melakukan hal yang bermanfaat
4. Orang yang memiliki akal yang sempurna lagi cerdas yang mengerti tentang hakekat
dibalik adanya segala sesuatu yang tampak adalah pengertian Ulul albab menurut :
a. Quraisy Syihab
b. Sayyid Husen Nasr
c. Ibnu Katsir
d. At Thobari
e. Jalaluddin al Rumi
5. Seorang ulul albab merupakan sosok yang selalu memikirkan ciptaan Allah Swt yang
penuh hikmah, karena dia memiliki sikap-sikap berikut, kecuali:
a. Selalu menjaga keharmonisan dalam kehidupan
b. Menyadari bahwa dirinya memiliki pengetahuan yang luas.
c. Melakukan yang bermanfaat
d. Menghindari kedzoliman
e. Memiliki prinsip tauhid

F. KUNCI JAWABAN
1. E
2. E
3. A
4. C
5. B

1
. Jalaluddin as-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, terj. Lubaabun Nuquul fii
Asbaabin Nuzuul, Tim Abdul Hayyie, (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 148 -149
2
. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 2,… hlm. 370.
3
. Abdul Majid Khon, dkk, Modul Pendalaman Materi Alqur’an Hadis. Fitk Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.Cetakan Pertama, 2018
4
. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Mizan, Bandung, Cetakan Kedua-1989, hal.78-82

Anda mungkin juga menyukai