Referat Antipsikotik
Referat Antipsikotik
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian
Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgment) terganggu, dn daya tilikan diri (insight) terganggu.
Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF:
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
perilaku yang aneh atau tidak dapat terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF:
gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan prosses berfikir (lambat, terhambat), isi pikiran
yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri (abulia).
Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:
tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
No Nama obat
1 Antipsikotik tipikal :
- Phenothiazine
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
3
1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h
Vial 50 mg/cc
200 mg
4
14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam dua
kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi kedua
(APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D 2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan
Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. 4 Dapat
menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,5
6
INCLUDEPICTURE "http://www.ibibiobase.com/projects/db-drd4/picture
folder/pathway.jpg" \* MERGEFORMATINET
APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala positif seperti
halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah penghentian pemberian
APG I. 4
APG I dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia. Pembagian berdasarkan
potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan pembagian berdasarkan rumus
kimia adalah phenotiazine dan non-phenotiazine.4
Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10 mg. APG I
potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine, trifluoperazine dan thiothixine.
Potensi anti dopaminergik tinggi, kemungkinan efek samping tinggi seperti distonia, akatisia,
dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan darah rendah.4
Potensi sedang bila dosis APG I yang digunakan antara 10- 50 mg. APG I potensi
sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan molindone. Digunakan untuk penderita yang
sulit terhadap toleransi efek samping APG I potensi tinggi dan potensi rendah.4
Potensi rendah bila dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg. APG I potensi
rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine, dan mesoridazine. Mempunyai efek
samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi dan gejala antikolinergik meningkat berupa
mulut kering retensi urine, pandangan kabur dan konstipasi.4
1. Phenotiazine
Rantai Aliphatic: Clorpromazine
Rantai piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine.
Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide
Farmakodinamik: CPZ berefek farmakodinamik sangat luas. Largactil diambil dari kata
large action.6
8
Fatmakokinetik: pada umumnya semua fenotiazin di absorpsi baik bila diberikan per oral
maupun parenteral. Penyebaran luas ke semua jaringan dengan kadar tertinggi di paru-paru,
hati, kelenjar suprarenal dan limpa. Sebgaian fenotiazin mengalami hidroksilasi dan
konjugasi, sebagian lagi diubah menjadi sulfoksid yang kemduian dieksresi bersama feses
dan urin. Setelah pemberian CPZ dosis besar, maka masih ditemukan eksresi CPZ atau
metabolitnya selama 6-12 bulan.5
Dosis: 6,7,
9
- Hipersensitif (allergik).
Dosis : 7
- dosis awal 2 – 3 x 2,5 mg.
- dosis pemeliharaan 3 x 5 – 10 mg.
Efek samping : 7
- Ngantuk, pusing lemas.
- Gangguan ekstra piramidalis.
- Occulogyric crisis.
- Hiperefleksi.
- Kejang-kejang grandmal.
Kontra indikasi : 7
- Depresi SSP.
- Koma.
- Gangguan liver.
- Dyscrasia darah.
- Hipersensitif.
FLUPHENAZINE
Untuk kasus-kasus akut diberikan Flupenazine HCl (anatensol) dalam bentuk tablet
dan injeksi. 4
Dosis :
- 2,5 – 10 mg / hari dengan dosis terbagi.
- Bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sp 20 mg / hari.
10
Untuk kasus-kasus kronis diberikan Flupenazine decanoat (flupenazine dilarutkan
dalam minyak), sebagai long acting anti psychotic (berefek panjang) --- Modecate injeksi(25
mg / amp). 4
Dosis : 4,7
- awal : 12,5 mg / 2 minggu.
- bila efek samping ringan/tidak ada, ditingkatkan 25 mg / 3 – 6 minggu.
PERPHENAZINE (Trifalon)
Indikasi : 7
- Gejala positif Skizofrenia.
- Dalam dosis rendah digunakan untuk nausea, vomitus dan cegukan.
Dosis : 7
- 3 x 4 - 8 mg / hari.
Efek samping : 7
- Sering timbul gangguan ekstra piramidalis.
- Gangguan endokrin, seperti : laktasi meningkat, gnekomasti, menstruasi terganggu,
sukar eyakulasi.
Kontra indikasi : 7
- hipersensitif.
- Koma.
- Depresi berat.
11
- Gangguan liver.
- Gangguan darah.
THIORIDAZINE
Indikasi : 7
- Gejala positif Skizofrenia.
- Depresi dengan agitasi, ansietas dan afek hipotim.
Dosis : 7
- Awal (initial) : 3 x 50 – 100 mg / hari.
- Pemeliharaan (maintenance) : 200 – 800 mg / hari.
Efek samping : 7
- sedasi, mulut kering, gangguan akomodasi, vertigo, hipotensi ortostatik.
- Jarang timbul ganguan ekstra piramidalis.
Kontra indikasi : 7
- Koma.
- Depresi SSP berat.
- Diskrasia darh.
- Hipersensitif.
HALOPERIDOL
Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D 2, lebih lemah antagonis
reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak plasma Haloperidol dalam waktu 2-6 jam
setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah pemberian intramuskular. Waktu
paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan cepat melalui urine dan tinja dan berakhir
dalam 1 minggu setelah pemberian. 4
Secara farmakologi, struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi
butirofenon memperlihatkan banyak sifat farmakologi fenotiazin. Pada orang normal, efek
haloperidol mirip fenotiazin piperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikotik yang kuat
dan efektif untuk fase mania penyakit manik deprsif dan skizofrenia. Efek fenotiazin
piperazin dan butirofenon berbeda secara kuantitatif keran butirofenon selain menghambat
efek dopamin, juga meningkatkan turn over rate nya. 6
12
Secara farmakokinetik, haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya
dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan
masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam
hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Eksresi
haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari sesudah
pemberian dosis tunggal. 6
Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan pemberian 2 atau 3 kali per
hari, kemudian peningkatan dosis disesuaikan dengan gejala yang belum terkontrol, beberapa
kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Pada pasien dengan efek
samping mininal dan belum tercapai respon terapi, dosis obat dapat ditingkatkan sampai dosis
30-40 mg per hari. Setelah pemberian awal perlu dilakukan monitoring efikasi klinis, sedasi
atau efek samping lainnya yang mungkin timbul sehingga dapat dilakukan penyesuaian dosis
atau penggantian dengan antipsikotik lain. 4
Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5-
1,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari. 4
Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan dilepas secara lambat
ke dalam pembuluh darah, sehingga pemberiannya tiap 3-4 minggu perkali, karena waktu
paruhnya panjang. 4
Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam keadaan koma, depresi
SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain, sindrom parkinson, usia lanjut dengan
Parkinson Like Symptomps, wanita menyusui dan sesitif terhadap Haloperidol. 2,4,6,7,8
Interaksi Haloperidol akan menghambat metabolisme antidepresan trisiklik, dapat
mengganggu efek antiparkinson dan levodopa, tekanan intra okuler bola mata dapat terjadi
apabila diberikan bersama dengan antikolinergik. Metabolisme Haloperidol meningkat bila
diberikan bersama dengan carbamazepine. 4
Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis (EPS) seperti parkinson
like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia, hyperreflexia, rigiditas, opistotonus, dan
kadang-kadanga krisi okulogirik. Efek samping yang lain adalah tardive dyskinesia pada
pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian haloperidol tiba-tiba. Efek samping lain
yang ringan seperti sedasi dan autonomik. Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat
terjadi peningkatan berat badan dan penurunan fungsi kognitif. 4,6
PIMOZIDE (Orap)
Indikasi : 5
13
- Gangguan skizofrenia kronik untuk memperbaiki sosialisasi.
Dosis : 2 – 8 mg / hari.
Efek samping : 7
- Jarang timbul gangguan ekstra piramidalis pada dosis terapeutik.
Kontra indikasi : 7
- Koma.
- Hipersensitif.
- Depresi endogen.
- Penyakit parkinson.
14
tablet 0,5 mg ; 3 x 1
injeksi 0,25 mg/amp. ; 3 x 1 amp.
4. Benzodiazepin.
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi anatar serotonin
dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS
lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan
APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2 sedangkan APG II memblok secara
bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini
adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole.
Saat ini antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 2,4
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin.
APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yand dilepas menang daripada yang
dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif
yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena
di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan
APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
15
defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan
gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2
di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2
di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan
APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin
akan menghambat pelepasan dari dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan
antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise.
Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin
menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini
mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis
terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis berasal dari APG I
dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain
efek samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood
sehingga mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik. 4
16
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup
penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam masyarakat. Kualitas
hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek occupational dysfunction, social
dysfunction, instrumental skills deficits, self-care, dan independent living. 4
CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin.
Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain.
Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik
rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-
mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi,
yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 4
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan
terganggu berat selam pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat
rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan
antipsikosis yang lain. Namun, karena clozapin memiliki efek resiko agranulositosis yang
lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yag lain, maka pengunaannya di batasi hanya pada
pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi
clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu. 4,6,10
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada
pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian
obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%), obat ini di metabolisme
hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja (30% melaui kantong empedu dan
50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan
2 kali dalam sehari. 6 Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih
rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D 2 dan tinggi pada reseptor
5HT2A sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Pada
reseptor D4 afinitasnya lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik lainnya, dimana
17
reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah srtiatal. Hal ini lah yang
membedakan clozapine dengan APG I. 4
Dosis : 4,7
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan pemberian
terbagi.
- Dosis maksimal 600 mg / hari.
- Sediaan yang ada di pasaran tablet 25 mg dan 100 mg
RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus kimianya adalah
benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan
efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS.
Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
18
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian
riperidone masih diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang
kecil dihentikan, misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan
perilaku yang di hubungkan dengan demensia. 4
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi
hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif
tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia
Alzheimer. 4
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi
9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne
mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone.
Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperiodne dihambat oleh antidepresan
fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6
dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone
harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat
ini dipercepat bila diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4
sehingga perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin
disebabkan konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 4
Indikasi : 4,7
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).
Dosis : 4,7
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg, ditingkatkan sp 1 –
2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
19
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi
seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan
Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak olanzapine
dicapai dalam waktu 5-6 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian
intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 30 jam (antara 21-54
jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 4
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas
yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1
adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M 1-5) dan serotonin
(5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik.
Metabolisme olanzapine di sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat
pada penderita yang merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan
fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. Afinitas lemah pada sitokrom P450 hati sehingga
pengaruhnya terhadap metabolisme obat lain rendah dan pengaruh obat lain minimal terhadap
konsentrasi olanzapine. 4
Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita usia lanjut.
Cleareance 30% lebih rendah pada wanita dibanding pria, hal ini menyebabkan terjadinya
perbedaan efektivitas dan efek samping anatar wanita dan pria. Sehingga perlu modifikasi
dosis yang lebih rendah pada wanita. Cleareance olanzapine meningkat sekitar 40% pada
perokok dibandingkan yang tidak merokok, sehingga perlu penyesuaian dosis yang lebih
tinggi pada penderita yang merokok. 4
Indikasi : 4,7
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipoler.
20
Dosis : 4,7
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
QUETIAPINE
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga
memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak
sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat
quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi
postural. Dimulai dengan dosis 50 mg per hari selama 4 hari, kemudian dinaikkan menjadi
100 mg selama 4 ahri, kemudian dinaikkan lagi menjadi 300 mg. Sete;ah itu dicari dosis
efektif antara 300-450 mg/hari. Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi
postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 4
21
ZIPRASIDONE
APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di Indonesia.
Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara reseptor 5HT2A dan D2.
Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan 5HT1A, afinitasnya pada reseptor ini sama
atau lebih besar dari afinitas pada reseptor D 2. Afinitas sedang pada reseptor histamin dan α1.
Ziprasidone tidak bekerja pada muskarinik (M1). 4
Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja yang unik karena
menghambat pengambilan kembali (reuptake) neurotransmiter serotonin dan norepineprine di
sinaps. Obat ini efektif digunakan untuk gejala negatif dan penderita yang refrakter dengan
antipsikotik. Obat ini aman diberikan pada penderita usia lanjut. 4
Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi tidak dipangruhi
oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal. Konsentrasi plasma puncak dicapai
dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian oral denga waktu paruh obat rata-rata 5-10 jam,
sehingga pemberiannya 2 kali sehari. Metabolsime ziprasidone melalui hati, sebagian besar
pada isoenzim CYP 3A4 dan sebagian kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja farmakologik
diperkirakan pro-serotonergik dan pro-noradregenik sehingga di prediksi dapat bekerja
sebagai antidepresan dan ansiolitik. Efikasi dari ziprasidone terjadi pada dosis 80-160
mg/hari, untuk pengobatan terhadap gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien
skizofrenia. 4
Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar 40 mg perhari.
Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan makanan. Dosis pemeliharaan
berkisar antara 40-60 mg per hari. 4
Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan kadar prolaktin.
Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah somnolen (14%), peningkatan berat
badan (10%), gangguan pernafasan (8%), EPS (5%), dan bercak-bercak merah di kulit (4%).
Peningkatan berat badan sangat kecil atau dapat dikatan tidak ada, karena bekerja sangat
lemah pada reseptor AH1 walaupun bekerja juga sebagai antagonis pada reseptor 5HT 2c.
Ziprasidone tidak menyebabkan gangguan jantung. 4
ARIPIPRAZOLE
22
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2
dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A. Aripiprazole
bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin
yang sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan
hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara
kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan
hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan
akan berikatan dengan reseptro dopamin. 4
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP
3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan
aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan
aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari.
Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah
pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang
mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah. 4
Indikasi :
- Skizofrenia.
Dosis :
- 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
23
Antipsikosis + anti-anxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy).
Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari
sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.
Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-
related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis
Haloperidol.
Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun disebabkan
gangguan absorpsi.
24
Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin)
lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak
terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu
dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir
efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala
ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 5
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari
sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan “dosis optimal”
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan setiap 2 minggu
“dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup
lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-
metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “Psikosis Reaktif
Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2
minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
25
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound” :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan
mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet
Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson. 5
Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna untuk pasien yang tidak mau
atau sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama kemudian bau
ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15 – 25 % kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ektrapiramidal. 5
II.6 EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Gejala ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek
samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine,
Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan
oleh obat dengan potensial tinggi yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor
muskarinik.1 Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas,
tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia
akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson.
Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot
wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis,
disastria bicara, krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus
26
(melibatkan keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10%
pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis
tinggi yang berpotensi tinggi, seperti haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah
topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan,
penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan
pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti
sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula
mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki
diakibatkan karena kekakuan otot.
Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor
predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu.
27
Sindrom neuroleptik maligna merupakan gabungan dari hipertermia, rigiditas,
dan disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari
penggunaan obat antipsikotik. Sindrom ini pertama kali dikenal tahun 1960 setelah
observasi pasien yang diberikan obat antipsikotik potensial tinggi.
Mekanisme antipsikotik sehingga dapat menyebabkan SNM berhubungan dengan
sifat antagonism obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2
pada hipotalamus, jalur nigrostriatal, dan di medulla spinalis menyebabkan terjadinya
peningkatan rigiditas otot dan tremor berkaitan yang dengan jalur ekstrapiramidal.
Blockade reseptor D2 hipotalamus juga menghasilkan peningkatan titik temperatur
dan gangguan mekanisme pengaturan panas tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di
perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum
sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat berkontribusi
dalam terjadinya hipertermia, rigiditas, dan penghancuran sel otot.
Semua golongan antipsikotik dapat menyebabkan sindrom neuroleptik maligna
baik neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian
SNM lebih sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan
chlorpromazine. Antipsikotik atipikal yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan
secara akurat sebagai golongan neuroleptik juga dapat mengakibatkan sindrom ini.
Contoh obat antipsikotik atipikal yang juga dapat menyebabkan sindrom neuroleptik
maligna (SNM) seperti olanzapine, risperidone, ziprasidone, dan quetiapine.
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian SNM yakni penggunaan
antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis pengobatan,
penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan, dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami SNM juga
memiliki resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM
yang berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat
insidens 0,12% dari pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India
terdapat 0.14%. SNM dapat terjadi kapan pun dari waktu pengobatan dan resiko
kejadian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus
terjadi pada minggu pertama setelah pemberian obat. Angka kematian sekitar 10-20%
dan umumnya resiko kematian meningkat bila pasien telah mengalami nekrosis sel-sel
otot yang menyebabkan rhabdomyolisis.
28
Gambaran gejala klinis SNM dapat berupa :
Disfagia
Resting tremor
Inkontinensia
Delirium yang berkelanjutan pada letargi, stupor hingga koma (level kesadaran
yang fluktuatif)
Tekanan darah yang labil/berubah-ubah
Sesak nafas, takipnea
Agitasi psikomotrik
Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)
Rigiditas
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan SNM memperlihatkan
peningkatan Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot,
peningkatan aminotransferase (aminotransferasi aspartat/GOT dan
aminotransferasealanine/GPT), peningkatan Laktat dehidrogenase (LDH) yang juga
menggambarkan terjadinya nekrosis dan dapat dengan cepat berkembang menjadi
rhabdomyolisis yang memberikan hasil laboratorium hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hiperurisemia, dan hipokalsemia. Selain itu bila terdapat peningkatan kadar
myoglobin dalam darah atau myoglobinuria merupakan tanda terjadinya kegagalan
ginjal. Sementara untuk pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis,
trombositosis, dan tanda-tanda dehidrasi.
d. Efek hormonal
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan peningkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita.
29
Blokade pada traktur tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus
dan kelenjar hipofisis mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrine, yakni
peningkatan pelepasan hormone prolaktin .
Prolaktin serum yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi seksual pada
wanita maupun pria yang dapat bermanifestasi sebagai galaktorrhea, amenorrhea dan
poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,
gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.
31
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +
32
sejenis
perkinsonisme bulan atau
(sindroma
yang dating bertahun-
kelinci)
terlambat) tahun
pengobatan
Setelah
berbulan-
Diskinesia
bulan atau
mulut-wajah; Diduga : Sulit dicegah,
Diskinesia bertahun-
koreoatetosis kelebihan efek pengobatan tidak
tardif tahun
atau distonia dopamin memuaskan
(memburuk
meluas
dengan
penghentian)
A. PERHATIAN KHUSUS
Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya : 5
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan Hipotensi
Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa adrenergic blockade).
Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-adrenaline (Nor-epinephrine) sebagai
“alfa adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat “alfa dan beta
adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic tetap ada dan dapat terjadi
Shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung bangun
setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5-10 menit.
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate (LEVOPHED – Abbot
atau RAIVAS – Dexa Medica atau VASCON – Fahrenheit) ampul 4 mg/4cc dalam
infus 1000 ml dextrose 5% dengan kecepatan infus 2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejalan
Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya dengan tablet
Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas Atropin 0,50-0,75 mg (im).
Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan penurunan dosis secara
bertahap, untuk menentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan obat
antiparkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama dari 3
bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak dianjurkan pemberian
33
“antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi
obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi
manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.
“Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapt diulangi setiap 2 jam,
dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya dalam 6 jam sudah dapat
mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom Psikosis (agitasi, hiperaktivitas
psikomotorm impulsif, menyerang, gaduh-gelisah, perilaku destruktif dll).
Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik),
- Penyakit darah (hemato-toksik),
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang),
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung),
- Febris yang tinggai (thermoregulator di SSP),
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat),
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll),
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin
memburuk).
BAB III
KESIMPULAN
34
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal selain berfungsi untuk
mengobati penyakit psikotik khsusnya skizofrenia, tentunya juga memiliki efek samping
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal: gangguan
pergerakan seperti distonia, bradikinesia, tremor, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi,
peningkatan beratbadan yang sedang, disregulasi tempertur, poikilotermia,
hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada
pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita, hipotensi postural(ortostatik), kuli terbakar,
interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.
35
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p.
173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan
obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis;
p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-
62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how
individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their
treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89
9. Maramis, Willy F. dan Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2. Surabaya
: Airlangga University Press, 2009.
10. Gan Sulistia, Arozal Wawaimuli. Antipsikosis. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.p.161-5
36