BAB IV
METODOLOGI PELAKSANAAN
PEKERJAAN
4.1 Umum
Bendungan Tapin merupakan bendungan yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia
sebagai upaya dari mendukung prioritas pembangunan dalam hal ketahanan air dan
kedaulatan pangan. Pembangunan 65 (Enam Puluh Lima) bendungan dimaksudkan
untuk mewujudkan ketahanan air pada daerah – daerah yang memerlukan
peningkatan ketersediaan air untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan air baku,
irigasi dan PLTA.
Bendungan Tapin merupakan merupakan salah satu proyek strategis pemerintah
untuk mengatasi permasalahan ketersediaan air di Kabupaten Tapin Provinsi
Kalimantan selatan. Bendungan ini diharapkan memiliki peranan penting dalam
suplai air baku (air minum dan irigasi) dan pengendalian banjir di Kabupaten Tapin.
Pelaksanaan pembangunan Bendungan Tapin ini perlu didukung dengan kegiatan
pembuatan desain penataan kawasan bendungan sebagai bagian dari usaha untuk
memberikan informasi atau gambaran terkait DED Penataaan kawasan bendungan
sebagai bagian dari usaha untuk memberikan informasi atau gambaran terkait DED
Penataan Kawasan Bendungan yang akan disajikan dalam bentuk visual dan maket
untuk menjadi materi untuk ekspose kepada masyarakat umum dan pihak – pihak
terakit.
4.2 Pendekatan Operasional
Untuk pelaksanaan Pekerjaan ‘’ DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin ” ini, akan
melibatkan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan ruang
lingkup pekerjaan dan sesuai dengan ketetapan personil pada Kerangka Acuan Kerja.
Untuk memperlancar tugas, pelaksanaan pekerjaan akan didukung oleh fasilitas
penunjang berupa peralatan yang memadai dan sistem kerja yang seefisien mungkin.
4.3 Pendekatan Umum
Untuk memenuhi maksud dan tujuan seperti yang tercantum dalam Kerangka Acuan
Kerja serta dapat mendukung proses studi sehingga didapatkan suatu hasil yang
optimal maka konsultan mencoba menguraikan pendekatan umum tentang hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pekerjaan ini, antara lain :
a. Dalam melaksanakan pekerjaan “DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin” ini
akan didasari dengan pola berpikir teknologi pengairan yang yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jendral Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum dan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Standar yang digunakan untuk penggambaran peta
mengacu pada KP.07 Standar Penggambaran.
BAB IV – halaman : 1
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 2
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Secara sistematis pendekatan teknis serta aktivitas yang akan dilakukan untuk
“DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin”, dapat dilihat pada Bagan Alir
Pelaksanaan Pekerjaan.
BAB IV – halaman : 3
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 4
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 5
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Mencari dan menetapkan jalan masuk dan jalan kerja yang paling
baik serta melakukan observasi visual lokasi studi.
Membuat perencanaan lokasi titik referensi pengukuran (BM),
sebagai titik dasar untuk koordinat dan elevasi.
b. Identifikasi Pemasangan Bench Mark (BM) dan Control Point (CP)
Sebagai titik pengikatan dalam pengukuran topografi perlu dibuat
Bench Mark (BM) dibantu dengan Control Point (CP) yang di pasang
secara teratur dan mewakili kawasan secara merata. Kedua jenis titik
ikat ini mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk menyimpan data
koordinat, baik koordinat (X,Y) maupun elevasi (Z).
Setelah posisi pemasangan BM ditentukan berdasarkan hasil orientasi
dan konsultasi dengan direksi lapangan, selanjutnya akan dilakukan
pemasangan BM sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
Pemasangan BM di lapangan sebagai titik-titik tetap yang diketahui
koordinatnya dalam sistem koordinat peta yang telah dibuat dengan
referensi dari BM yang telah ada dan terpasang dilapangan,
maksudnya sebagai data yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan terkait.
Pemasangan BM dan CP akan dilakukan secara bersamaan pada
waktu pemasangan patok-patok untuk pengukuran poligon, sehingga
BM tersebut langsung terukur pada waktu pengukuran sudut dan
waterpass. BM akan dibuat dan bahan campuran beton dengan ukuran
20 x 20 x 100 cm (memakai tulangan), bagian yang di atas tanah
setinggi 25 cm sedangkan yang tertanam sedalam 75 cm.
Mengingat fungsinya tersebut maka patok-patok beton ini diusahakan
ditanam pada kondisi tanah yang stabil dan aman. Kedua jenis titik
ikat ini akan diberi nomenklatur atau kode, untuk memudahkan
pembacaan peta yang dihasilkan. Disamping itu perlu pula dibuat
deskripsi dari kedua jenis titik ikat yang memuat sketsa lokasi dimana
titik ikat tersebut dipasang dan dilengkapi dengan nilai koordinat
maupun elevasinya.
Ukuran BM, CP dan Patok Kayu yang dipasang adàlah :
Benchmark (BM) ukuran 20x20x100 cm.
Control Point (CP) ukuran 10x10x80 cm.
Tiap BM dipasang baut di atasnya dan diberi tanda silang sebagai
titik X, Y, Z nya Sedangkan identifikasi nomor dibuat pada
permukaan salah satu sisinya.
BM dipasang sedemikian rupa sehingga bagian yang muncul di atas
tanah setinggi ± 25 cm.
Patok kayu dibuat dari bahan yang kuat ditanam sedalam 30 cm,
dicat merah dan dipasang paku di atasnya serta diberi kode dan
nomor yang teratur sesuai petunjuk Direksi.
CP dipasang agar kelihatan satu sama lainnya dengan BM karena
akan digunakan untuk titik target pengamatan azimuth matahari
BAB IV – halaman : 6
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Pen kuningan
Ø6 cm
20
25
Nomor titik
10
100
65
Dicor beton
75
20
Beton 1:2:3
15
10
20
Pasir dipadatkan
20
40
BAB IV – halaman : 7
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
d1
d2
A 1 d3
jarak AB = d1 + d2 + d3
2 B
BAB IV – halaman : 8
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
AB
β B
AC
A
C
BAB IV – halaman : 9
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Matahari
T M
M
T
P1
P2 (target)
BAB IV – halaman : 10
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Slag 2
Slag 1
m2
m1
Bidang referensi
D D
BAB IV – halaman : 11
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 12
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 13
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 14
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 15
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
P
12
β1
A1 23
βA B
P dPA d12 d23
dA1
A 2
Azimuth dimana :
5 2
Awal N = banyak titik poligon
sudut ukuran = jumlah sudut
4 3
BAB IV – halaman : 16
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
U
1 Sudut luar (β), maka syarat
geometrisnya
Azimuth 2 sudut ukuran = (N-2).180
5 Awal
N = banyak titik poligon
sudut ukuran = jumlah sudut
4 3
BAB IV – halaman : 17
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 18
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Hitungan beda tinggi (∆H) dari tempat berdiri alat ke titik detail
dihitung dengan rumus :
1) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu setinggi alat
maka, beda tinggi (∆H) = 0,5 . DM . Sin 2Z
2) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu tidak setinggi
alat maka, beda tinggi (∆H) = 0,5 . DM . Sin 2Z + TA - BT
Hitungan elevasi titik-titik detail selanjutnya dapat dihitung
berdasarkan elevasi acuan awal dan akhir yang diketahui dari
tinggi tiap patok poligon / waterpass
5. Penggambaran (Plotting Data)
Untuk proses penggambaran pada hasil pengukuran, terlebih
dahulu disiapkan data-data berupa :
BAB IV – halaman : 19
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 20
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 21
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 22
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 23
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 24
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
S 0 0
k
Sk Yi Y dengan k = 1,2,3,...,n
i 1
n
Y Y
2
i
S i 1
S
k
k
D 2y
Dy n
nilai statistik Q dan R
Q= maks S k ; 0 k n
R= maks S
k - min S k
0kn 0kn
Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Q/n dan
R/n. Hasil yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan
R/n syarat, jika lebih kecil maka data masih dalam batasan konsisten.
X
i =1
i
X=
n
dengan :
X= nilai rata-rata
Xi = nilai varian ke i
n = banyaknya data
BAB IV – halaman : 25
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Standar Deviasi
X
n
2
i -X
i=l
Sd =
n -1
dengan:
Sd = standar deviasi
X = nilai rata-rata
Xi = nilai varian ke i
n = banyaknya data
Koefisien Skewness
n
n
(n -1) (n - 2) i = l
(Xi - X) 3
Cs =
Sd 3
dengan :
Cs = Koefisien Skewness
Sd = Standar Deviasi
X = Nilai Rata-Rata
Xi = Nilai Varian ke i
n = Banyaknya Data
Koefisien Kurtosis
n
n2 Xi - X4
i=l
Ck =
(n - 1) (n - 2) (n - 3) Sd 4
dengan :
Ck = Koeffisien Kortusis
Sd = Standar Deviasi
X = Nilai Rata-Rata
Xi = Nilai Varian ke i
n = Banyaknya Data
Untuk menentukan metode yang sesuai, maka terlebih dahulu harus
dihitung besarnya parameter statistik yaitu koefisien kemencengan
(skewness) atau Cs, dan koefisien kepuncakan (kurtosis) atau Ck.
Persyaratan statistik dari beberapa distribusi, sebagai berikut :
Distribusi Normal
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama
dengan nol (Cs 0 atau -0.05 < Cs < 0.05) dengan nilai kurtosis (Ck) =
2.7 < Cs < 3.0.
Distribusi Gumbel
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetisnya (skewness) Cs 1,1396 dan
nilai kurtosisnya Ck 5,4002.
Distribusi Log Pearson Tipe III
Tidak mempunyai sifat khas yang dapat dipergunakan untuk
memperkirakan jenis distribusi ini.
BAB IV – halaman : 26
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
- 0.05 < Cs < 0.05 0.998 < 1.1395 tidak ada batasan
tidak memenuhi tidak memenuhi memenuhi
2.7 < Ck < 3.3 3.701 < 5.4 tidak ada batasan
tidak memenuhi tidak memenuhi memenuhi
Sumber : Harto, 1993:245
Log X
i=l
i
Log X =
n
Standar Deviasi :
log X
n
2
i log X
Sd i 1
n 1
Koefisien Skewness :
n
n ( log X - log X i )3
i= l
Cs =
(n - 1) (n - 2) . ( Sd ') 3
dengan :
Log X = nilai rata-rata
Log Xi = nilai varian ke i
n = banyaknya data
Sd = standar deviasi
Cs = koefisien Skewness
Sehingga nilai X bagi setiap tingkat probabilitas dapat dihitung dari
persamaan:
Log Xt = log X + G . Sd
Distribusi frekuensi kumulatip akan tergambar sebagai garis lurus pada
kertas log-normal jika koefisien asimetri Cs = 0.
Harga-harga G dapat diambil dari tabel hubungan antara koefisien
skewness dengan kala ulang. Nilai Xt didapat dari anti log dari log Xt.
BAB IV – halaman : 27
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
100 m
P = (%)
n+1
dengan :
P = Probabilitas (%)
M = nomor urut data dari seri yang telah disusun
N = banyaknya data
c) Plot distribusi empiris maupun distribusi teoritis pada kertas grafik
probabilitas yang sesuai
d) Kemudian cari harga mutlak perbedaan maksimum antara distribusi
empiris (P empiris) dengan distribusi teoritis
(P teoritis) = Δ maksimum P teoritis – P empiris
Apabila nilai Δ ≤ Δ kritis sesuai harga kritis Smirnov - Kolmogorof
maka distribusi teoritisnya dapat diterima dan bila terjadi sebaliknya
maka distribusi teoritisnya tidak dapat diterima.
Uji Vertikal dengan Chi Square
Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal
apakah distribusi pengamatan dapat diterima oleh distribusi teoritis.
Perhitungannya dengan menggunakan persamaan (Shahin, 1976 : 186) :
K
(EF OF)2
(X 2 ) Hit
i 1 EF
n
EF
K
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus (Harto, 181 : 80) :
K = 1 + 3,22 log n
BAB IV – halaman : 28
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
dengan :
OF = nilai yang diamati (observed frequency)
EF = nilai yang diharapkan (expected frequency)
k = jumlah kelas distribusi
n = banyaknya data
Urutan pemeriksaan kesesuaian distribusi ini adalah sebagai berikut :
a) Data pengamatan diurutkan dari nilai terbesar ke nilai terkecil atau
sebaliknya
b) Data pengamatan dikelompokkan menjadi beberapa kelas interval
”k”
c) Mencatat setiap frekuensi data pengamatan pada setiap kelas interval
d) Menghitung frekuensi kejadian yang diharapkan ”e”
e) Menghitung nilai X2
f) Menetapkan nilai derajad kebebasan Dk
g) Menetapkan besar tingkat kepercayaan (confidence level, misal 95%)
h) Mencari X2 kritis dari tabel harga kritis Chi – Square
i) Membandingkan X2 hitungan dengan X2 kritis,
bila X2 hitungan < X2 kritis, berarti metode distribusi yang diperiksa
dapat diterima.
BAB IV – halaman : 29
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 30
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
artinya data yang tercatat secara kumulatif selama 24 jam. Sebaran hujan
di Indonesia berkisar antara 6 – 12 jam. Frekuensi sebaran hujan yang
sering terjadi di Indonesia adalah 7 jam.
2. Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada
kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh didaerah
tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah :
Keadaan hujan
Luas dan bentuk daerah aliran
Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
Daya infiltrasi dan perlokasi tanah
Kebasahan tanah
Suhu udara dan angin serta evaporasi dan
Tata guna tanah.
Koefisien pengaliran seperti yang disajikan pada tabel berikut,
didasarkan dengan suatu pertimbangan bahwa koefisien tersebut sangat
tergantung pada faktor-faktor fisik. Kemudian Dr. Kawakami
menyusun sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk sungai-
sungai tertentu, koefisien itu tidak tetap, tetapi berbeda-beda tergantung
dari curah hujan.
R'
f = 1 - ─── = 1 - f'
Rt
dimana :
f = koefisien pengaliran
f' = laju kehilangan = R’/Rst
Rt = jumlah curah hujan (mm)
R' = kehilangan curah hujan
s = tetapan
Berdasarkan jabaran rumus tersebut diatas, maka tetapan nilai koefisien
pengaliran, seperti terlihat pada tabel dibawah
Tabel 4. 6 Angka Tetapan Pengaliran Daerah Aliran Sungai
Kondisi DAS Angka Pengaliran
Pegunungan curam 0,75 - 0,90
Pegunungan Tersier 0,70 - 0,80
Tanah berelief berat dan berhutan kayu 0,50 - 0,75
Dataran pertanian 0,45 - 0,60
Dataran sawah baku 0,70 - 0,80
Sungai dipegunungan 0,75 - 0,85
Sungai di dataran rendah 0,45 - 0,75
Sungai besar yang sebagian alirannya berada di
0,50 - 0,75
dataran rendah
Sumber: (Hidrologi Teknik, CD. Soemarto)
BAB IV – halaman : 31
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 32
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
2. Tenggang waktu dari titik berat sampai titik berat hidrograf (time
lag).
3. Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph)
4. Luas daerah pengaliran
5. Panjang alur sungai utama terpanjang (length of the longest channel).
Nakayasu dari Jepang telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa
sungai di Jepang. Ia membuat rumus satuan sintetis dari hasil
penyelidikannya. Rumus yang dihasilkannya adalah sebagai berikut
(Soemarto, 1999: 100):
A.R0
Qp
3,6.(0,3.Tp T0,3 )
dengan :
Qp = Debit puncak banjir (m3/det)
Ro = Hujan satuan (mm)
Tp = Tenggang waktu permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak
sampai 30% dari debit puncak
A = Luas daerah pengaliran sampai outlet
Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai
berikut :
Tp = tg + 0,8 tr
T0,3 = tg
T r = 0,5 tg sampai tg
tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir
(jam). tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
- Sungai dengan panjang alur L 15 km : tg = 0,4 + 0,058 L
- Sungai dengan panjang alur L 15 km : tg =0,21 L0,7
dengan :
tr = Satuan Waktu hujan (jam)
= Parameter hidrograf, untuk
= 2 (Pada daerah pengaliran biasa)
= 1,5 (Pada bagian naik hydrograf lambat, dan turun cepat)
= 3 (Pada bagian naik hydrograf cepat, turun lambat)
BAB IV – halaman : 33
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
i
tr
tg
0.8 tr
(m3/dt/mm)
Lengkung Naik
Q Qp Lengkung Turun
0,32Qp
0,3.Qp
t (jam)
Tp T0,3 1,5T0,3
dengan :
Qk = Debit Banjir pada jam ke - k
Ui = Ordinat hidrograf satuan (I = 1, 2, 3 ...... .n)
Pn = Hujan netto dalam waktu yang berurutan (n = 1,2,..n)
Bf =Aliran dasar (base flow)
BAB IV – halaman : 34
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Ro
V
1
A
dengan :
∑∆V = total volume tampungan hidrograf satuan (m3)
Qn, Qn+1 = unit hidrograf satuan (n = 1,2,..n) (m3/dt)
∆t = interval waktu unit hidrograf (dt)
Ro = hujan netto (mm)
A = luas daerah pengaliran (km2)
b) Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I
Dalam metode ini dibutuhkan parameter-parameter DPS sebagai data
masukannya. Parameter-parameter tersebut dapat diukur dengan
mudah dari peta topografi yang merupakan parameter DPS yang secara
hidrologi mudah dijelaskan pengaruhnya terhadap hidrograf.
Tabel 4. 8 Parameter Hidrograf Satuan GAMA – 1
No Parameter Satuan
1 Jumlah pangsa sungai tingkat 1
2 Jumlah pangsa sungai semua tingkat
3 Panjang pangsa sungai tingkat 1 km
4 Panjang pangsa sungai semua tingkat km
5 Jumlah pertemuan sungai (JN)
6 Luas Daerah Tangkapan Air (A) km2
7 Luas DTA hulu (AU) km2
8 Panjang sungai utama (L) km
9 0.75 L km
10 0.25 L km
11 Kemiringan sungai rata-rata (S)
12 Faktor sumber (SF)
13 Frekuensi sumber (SN)
14 Kerapatan jaringan kuras (D) km/km2
15 B. 0.75 L (Wu) km
16 B. 0.25 L (WI) km
17 Faktor lebar (WF)
18 Perbandingan AU dan A (RUA)
19 RUA x WF = SIM
BAB IV – halaman : 35
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
B. Analisa Hidrolika
I. Pengertian Penelusuran Banjir (Flood Routing)
Penelusuran banjir adalah metode peramalan besarnya debit banjir
(hidrograf) pada suatu titik (ruas), melalui alur tampungan (waduk) atau
melalui alur sungai yang diperoleh dari hasil pengukuran besarnya debit
banjir (hidrograf) dari titik (ruas) lainnya.
Sebagai ilustrasi pemahaman tentang penelusuran banjir, digambarkan di
bawah ini
W B
L=20
Keterangan gambar:
A = Titik pengukuran debit masukan pada hulu sungai
W = Waduk
B = Titik pengukuran debit keluaran pada hilir sungai
L = Jarak titik A dan titik B (= 20Km)
BAB IV – halaman : 36
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
80
70
60
Debit (m3/det)
50
40 Inflow Pengukuran
30 Outflow hitungan
20 Outflow Pengukuran
10
0
0 5 10 15 20
Waktu (Jam)
BAB IV – halaman : 37
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 38
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Tampun
Tampun
Tampun gan
gan
gan
Dasar Sungai
Gambar 4. 14 Profil Muka Air Selama Lewatnya Suatu Gelombang
Banjir
BAB IV – halaman : 39
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
S = k.Qo + K.X(Qi-Qo)
Atau
S = K[X.Qi+(1-X)Qo] .......................................................... (B2-2)
dengan:
S = Besarnya tampungan (storage) dalam bagian memanjang palung
sungai yang ditinjau (m3)
K = Konstanta tampungan yaitu rasio tampungan terhadap debit
(detik,jam)
X = Faktor berat relatif (penimbang) yang nilainya berada antara 0 dan
0,50 (tidak berdimensi).
K dan X ditentukan oleh hidrograf debit masuk dan debit keluar yang
masing-masing diamati pada saat yang bersamaan, sehingga hanya
berlaku untuk bagian memanjang palung sungai yang ditinjau. Faktor X
merupakan faktor penimbang (Weight) yang besarnya berkisar antara 0
dan 1, biasanya lebih kecil dari 0,5 dan dalam banyak hal besarnya kira-
kira sama dengan 0,3 serta tidak berdimensi.
Akumulasi dari S dan X.Qi + (1-X) Qo yang dihitung, kemudian
diplotkan dan biasanya menghasilkan kurva-kurva yang berbentuk
berbelok-belok (loop). Dari berbagai nilai X, nilai X yang terbaik ialah
yang menyebabkan datanya tergambar paling mendekati suatu kurve
yang bernilai tunggal atau garis lurus. Metode Muskingum
menganggap bahwa kurve ini berupa garis lurus yang bergradien K.
S
K=
X.Qi (1 X)Qo
Sesudah mengetahui nilai K dan X, penelusuran dilakukan dengan
empat titik kisi (grids points) pada bidang (X,t) seperti gambar 4.3.
Persamaan penelusuran yang digunakan dalam metode Muskingum
bisa dinyatakan sebagai berikut:
QiJ+1 + 1 = Co.QiJ + C1QiJ+1+ C2QiJ+1+1+C3
BAB IV – halaman : 40
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
atau
QJn+1 + 1 = Co.Qin + C1QJn+1+ C2Qin + 1 + QL ........................ (4.3)
dengan :
QiJ = Aliran masuk (inflow) pada permulaan waktu ∆t (m3/dt)
QiJ+1 = Aliran masuk (inflow) pada akhir waktu ∆t (m3/dt)
Q i+1
J = Aliran keluar (outflow) pada permulaan waktu ∆t (m3/dt)
QJ+1i+1 = Aliran keluar (Outflow) pada akhir waktu ∆t (m3/dt)
C0,C1,dan C2 = Konstanta (tidak berdimensi)
C3 = Konstanta (m3/det) yaitu akibat aliran menyamping
(lateral flow).
Semua konstanta C dihitung dari nilai-nilai X, K, ∆t, sebagai berikut:
K.X 0,5t
C0 =
K K.X 0,5t
K.X 0,5t
C1 =
K K.X 0,5t
K K.X 0,5t
C2 = ...................................... (B2-4)
K K.X 0,5t
C0 + C1 + C2 = 1
dengan:
∆t = Periode penelusuran (detik atau jam)
X = Panjang jangkauan dari palung sungai yang ditinjau (m)
K = Konstanta tampungan yaitu rasio tampungan terhadap debit
(detik.jam).
BAB IV – halaman : 41
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Mulai
DATA
DEBIT INFLOW
COBA x
Y = XI+(1-X)Q
K = tgө = S/XI+(1-X)Q
K.X - 0,5∆t
C0 = -
K - K.X+0,5∆t
K.X + 0,5∆t
C1 =
K - K.X+0,5∆t
K - X.X - 0,5∆t
C2 =
K - K.X + 0,5∆t
Co + C1 + C2 = 1
GAMBAR HIDROGRAF
SELESAI
BAB IV – halaman : 42
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Qi Qo
Tingkat Waktu J+3
∆t ∆X J+2
J+1
J
i i+1
BAB IV – halaman : 43
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 44
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
dQ
Vw
dA
i,J
Q
q ....................................................................... (4.10)
B
i,J
dengan:
Q = Debit (m3/det)
A = Luas aliran (m2)
B = Lebar puncak (m)
∆
t
∆
X
Gambar 4. 17 Bidang Perhitungan untuk Metode Muskingum
Parameter Variabel
BAB IV – halaman : 45
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 46
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Y Q = f(X-Ct1)
1 Ct1 1’
2 2’
Ct1
3’
Q = f(x) 3 Ct1
BAB IV – halaman : 47
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 48
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
dengan:
Im = Masukan rata-rata (m3/det)
O1 = Keluaran pada permulaan periode (m3/det)
t = Periode penelusuran (det/jam)
Ts = Time of storage (jam)
Kts
=
Qn
3 x.B 0, 4
Kts = x ...................................................................................... (B2-22)
5 k 0,6So 0,3
dengan:
K = 1/n, koefisien Manning
B = Lebar permukaan air (m)
∆x = Pertambahan jarak (m/Km)
n = Faktor penampang
hasil keluaran O2 yang diperoleh dari penelusuran pertama diambil
sebagai keluaran O1 untuk periode penelusuran selanjutnya.
BAB IV – halaman : 49
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
PEMBACAAN FEILSCAL
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0 5 10 15 20
BAB IV – halaman : 50
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
PEMBACAAN FEILSCAL
Tinggi Muka
Tinggi Muka Air Discharge Air Discharge
Jam (m) (m3/det) Jam (m) (m3/det)
0 0.15 0.52 13 2.43 58.81
1 0.31 1.78 14 2.25 51.6
2 0.52 4.28 15 1.98 41.52
3 0.82 9.28 16 1.75 33.66
4 1.08 14.82 17 1.58 28.29
5 1.28 19.78 18 1.37 22.2
6 1.52 26.49 19 1.18 17.22
7 1.76 33.99 20 1.075 14.7
8 2.05 44.05 21 0.94 11.7
9 2.26 51.99 22 0.86 10.06
10 2.38 56.77 23 0.75 7.97
11 2.47 60.47 24 0.72 7.44
12 2.5 61.72
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0 5 10 15 20
BAB IV – halaman : 51
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 52
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 53
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Q Q
X Inflow Outflow Y
0.1 m3/det m3/det
12.51 14.70 14.48
11.39 11.70 11.67
9.34 10.06 9.99
8.23 7.97 8.00
7.87 7.44 7.48
250
200
S (m3/det)
150
100
50
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)
BAB IV – halaman : 54
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Q Q
X Inflow Outflow Y
0.25 m3/det m3/det
23.50 41.52 37.02
21.22 33.66 30.55
18.78 28.29 25.91
16.25 22.20 20.71
14.68 17.22 16.59
12.51 14.70 14.15
11.39 11.70 11.62
9.34 10.06 9.88
8.23 7.97 8.04
7.87 7.44 7.55
250
200
S (m3/det)
150
100
50
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)
BAB IV – halaman : 55
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Q Q
X Inflow Outflow Y
0.3 m3/det m3/det
62.01 51.99 55.00
52.30 56.77 55.43
42.11 60.47 54.96
35.33 61.72 53.80
30.80 58.81 50.41
26.28 51.60 44.00
23.50 41.52 36.11
21.22 33.66 29.93
18.78 28.29 25.44
16.25 22.20 20.42
14.68 17.22 16.46
12.51 14.70 14.04
11.39 11.70 11.61
9.34 10.06 9.84
8.23 7.97 8.05
7.87 7.44 7.57
250
200
S (m3/det)
150
100
50
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)
BAB IV – halaman : 56
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Q
X Inflow Outflow Y
0.35 m3/det m3/det
38.40 14.82 23.07
54.49 19.78 31.93
70.12 26.49 41.76
77.46 33.99 49.20
72.74 44.05 54.09
62.01 51.99 55.50
52.30 56.77 55.20
42.11 60.47 54.04
35.33 61.72 52.48
30.80 58.81 49.01
26.28 51.60 42.74
23.50 41.52 35.21
21.22 33.66 29.30
18.78 28.29 24.96
16.25 22.20 20.12
14.68 17.22 16.34
12.51 14.70 13.93
11.39 11.70 11.59
9.34 10.06 9.81
8.23 7.97 8.06
7.87 7.44 7.59
250
200
S (m3/det)
150
100
50
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)
Pada nilai yang tepat untuk X sama dengan 0.3635 harga K didapat
sebesar 4,793 jam, Co = -0.350, C1 = 0.631, C2 = 0.718 dengan kecepatan
BAB IV – halaman : 57
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
rata-rata (V) 1,159 m/det, dengan delta ∆t = 1jam. Dari hasil kesesuaian
parameter tersebut didapat debit outflow hitungan sama dengan debit
outflow pengukuran yaitu sebesar 61,72 m3/det. Analisis
perhitungannya dapat dilihat pada tabel berikut:
BAB IV – halaman : 58
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
80
70
60
Debit (m3/det)
50
40 Inflow Pengukuran
30 Outflow hitungan
20 Outflow Pengukuran
10
0
0 5 10 15 20
Waktu (Jam)
5. Pada bentangan sun gai 20 Km, dari hasil kesesuaian parameter yang
dilakukan dihasilkan debit outflow hitungan yang memiliki nilai sama
dengan debit outflow pengukuran, harga tersebut berada pada harga x
= 0,3635 dengan K = 4,739 jam; Co = -0,350; C1 = 0,631; C2 = 0,718
sehingga C = 1 dengan ∆t = 1 jam. Hasil rekapitulasi seperti pada tabel
di bawah:
BAB IV – halaman : 59
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
= Kecepatan aliran
V (m/det)
So = Kelandaian sungai
dengan :
Q = Debit banjir rencana (m3/det)
n = Koefisien kekasaran Manning (m.det)
R = A/P = Jari-jari hidrolis
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah (m)
S = Kemiringan dasar saluran
Dalam menentukan kekasaran manning yang sesuai untuk berbagai
kondisi sangat bervariasi dan tergantung pada berbagai faktor. Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kekasaran baik pada saluran batuan
maupun alam adalah (Van Te Chow, 1997:92) :
~ Tumbuhan
~ Kekasaran permukaan
~ Trase saluran
~ Pengendapan dan gerusan
~ Ukuran dan bentuk butiran
~ Kedalaman air dan debit
~ Ketidak teraturan saluran
~ Hambatan
~ Taraf air dan debit
Bila debit terlalu besar, air banjir dapat melimpas ke tebing sungai dan
sebagaian aliran akan mengairi dataran banjir. Nilai n pada bantaran
banjir biasanya lebih besar daripada di saluran dan besarnya tergantung
pada kondisi permukaan dan tumbuhannya.
Saluran besar (lebar atas pada taraf banjir > 100 ft), nilai n lebih kecil
dari saluran kecil dengan perincian yang sama, sebab tebing
memberikan hambatan efektif yang lebih kecil.
BAB IV – halaman : 60
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 61
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 62
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
h
h
Sungai
Sungai
BAB IV – halaman : 63
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
(Q) = A x v
Keterangan :
Q = Debit (m3/s)
A = luas penampang (m2)
v = kecepatan aliran (m/s)
Dengan Menggunakan Current Meter
Pengukuran kecepatan dengan menggunakan current meter (alat ukur
arus) dilakukan dengan cara merawas, dari jembatan, dengan
menggunakan perahu, dengan menggunakan winch cable way dan
dengan menggunakan cable car.
BAB IV – halaman : 64
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 65
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 66
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
c. Sisi jembatan
1. Pengukuran debit dari sisi jembatan adalah pengukuran dilakukan
dari sisi jembatan bagian hilir aliran dan sebaiknya jembatan yang
digunakan tidak terdapat pilar. Peralatan yang digunakan adalah
bridge crane, sounding reel, tagline, dan 1 set current meter + pemberat
yang beratnya tergantung dari kecepatan aliran. Petugas pengukur
minimal terdiri dari 3 orang, 2 orang petugasmengoperasikan bridge
crane dan peralatan pengukur dan 1 orang petugas mencatat data
pengukuran.
2. Pengukuran dari sisi jembatan dilakukan apabila pada lokasi
pos terdapat fasilitas jembatan, dengan kondisi kedalaman
air lebih dari 2 m dan kecepatan airnya cukup deras
sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran
dengan menggunakan perahu.
BAB IV – halaman : 67
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 68
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 69
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 70
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 71
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Tahapan Pengukuran
1. tentukan lokasi pengukuran
2. ukur penampang basah di hulu dan di hilir dengan jarak antara
dua penampang tersebut L
3. tuangkan larutan zat kimia secara terus menerus di hulu dari
penampang basah hulu
4. ukur konsentrasi di penampang hulu dan penampang hilir hingga
puncak konsentrasi sampai normal dengan alat electric conductivity
5. hitung waktu antara puncak konsentrasi di penampang hulu dan
penampang hilir (T)
Pada metode ini larutan zat kimia dapat pula diganti dengan
menggunakan zat warna. Perjalanan zat warna dari penampang hulu ke
penampang hilir dapat diamati secara manual.
Dengan Menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler)
ADCP adalah alat pengukur arus dimana kecepatan arus air dapat
terpantau dalam 3 dimensi pada suatu penampang melintang sungai
dengan menggunakan efek dari doppler pada gelombang supersonic. Alat
ini dipasang di perahu dan akan mengukur air di sungai secara cepat
bila perahu melalui suatu penampang sungai.
BAB IV – halaman : 72
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 73
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 74
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Keterangan gambar:
A adalah pengambil contoh terbuat dari polietilen
B adalah handle (tipe teleskopi yang terbuat dari aluminium atau
stanlestil
Gambar 4. 37 Contoh alat pengambil contoh sederhana
gayung bertangkai panjang
Keterangan gambar:
A adalah pengait
B1 adalah tuas posisi tertutup
B2 adalah tuas posisi terbuka
C1 adalah tutup gelas botol contoh posisi tertutup
C2 adalah tutup gelas botol contoh posisi terbuka
D adalah tali penggantung
E adalah rangka metal botol contoh
BAB IV – halaman : 75
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 76
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 77
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 78
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 79
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 80
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 81
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
2. Indeks Pencemaran
Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S.,
mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa
pencemar yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini
dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang
digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif
terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974).
Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas
Air (Water Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan
untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk
beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian
dari suatu sungai.
Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini
dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat
menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta
melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi
penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. IP
mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang
independent dan bermakna.
Prosedur Penggunaan Metode Indeks Pencemaran
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang
dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang
diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi
pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah
Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi
dari Ci/Lij.
PIj = f (C1/L1j, C2/L2j,…,Ci/Lij)
Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang
diakibatkan oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak
mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik,
karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu Baku
Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter,
maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi atau
disisihkan, kalau badan air digunakan untuk peruntukan (j).
Jika parameter ini adalah parameter yang bermakna bagi
BAB IV – halaman : 82
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
PI j
Ci / Lij 2 M Ci / Lij 2
2
Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat
ketercemaran dengan dapat atau tidaknya sungai dipakai
BAB IV – halaman : 83
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
im ij
BAB IV – halaman : 84
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
PI j
Ci / Lij 2 M Ci / Lij 2 R
2
BAB IV – halaman : 85
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 86
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Beri nama pada Field baru sesuai nama hasil uji tes kualitas
air, dan masukkan nilai hasil uji test sesuai titik sample.
BAB IV – halaman : 87
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 88
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 89
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Klik Extent lalu pada Set the Extent to pilih ”the rectangular
extent of batas Air Grawan”
4. Analisa Sedimentasi
Analisis Laju Erosi
Laju erosi dari suatu bidang lahan adalah merupakan hasil interaksi
antara hujan yang jatuh pada lahan tersebut, sifat tanah, bentuk lahan,
cara pengolahan tanah dan tanaman. Metode yang digunakan untuk
menghitung besarnya erosi adalah metode USLE (Universal Soil Loss
BAB IV – halaman : 90
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 91
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 92
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 93
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 94
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 95
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 96
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Pasal 17
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk
melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat
mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk.
Pasal 18
Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian
danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi
fisik danau/waduk antara 50 - 100 meter dari titik pasang tertinggi ke
arah darat
BAB IV – halaman : 97
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
b. Painting-scenery
Di atas kanvas alami, harmonisasi natural scenery dan man made
scenery seolah melukiskan sket goresan kontur, bukit, lembah dan sungai
yang menyatu dengan abstraksi titik-titik dan barisan pepohonan tua
yang magis. Komposisinya menggubah panorama dalam kerangka
ruang yang dibatasi horison air, pegunungan yang mengitarinya dan
langit yang menaunginya.
c. Tropical Garden
Tropical Garden, adalah tatanan lanskap yang natural dalam suatu
bentang alam yang luas. Pepohonan ditata secara repetitif yang abstrak
dalam suatu keteraturan dalam suatu bentang alam yang didominasi oleh
hamparan rerumputan/lawn dan naungan kanopi pepohonan yang
menciptakan keteduhan alami.
d. Alami – Natural
Tatanan lanskap yang natural dibuat sealami mungkin. Karakter dan
komposisi lanskap maupun topografi dibiarkan tumbuh alami, meskipun
berkesan liar. Kesan liar ini diharapkan mampu memvisualisasikan
karakter lanskap yang alami/natural scenery. Potensi elemen-elemen
Green Belt Waduk dapat direpresentasikan melalui kreativitas proses
penggalian, perancangan dan pengemasan potensi alam yang
signifikan agar tercipta kenyamanan publik/public easement di ruang
publik. Elemen natural Green Belt Waduk meliputi:
1. Potensi Green belt waduk yang perlu dikembangkan sekaligus
dikonservasi
2. Representasi amenitas pada elemen Green Belt Waduk dapat
disuguhkan sebagai kemasan paket edukasi dan wisata yang
signifikan seperti berikut :
Secara pengalaman dieproleh suasana keheningan/quietness
Pemandangan waduk yang signifikan
Desa/Village yang natural
Bening,riak dan gelombang air waduk
Rerimbunan pepohonan
Birunya langit
Keteduhan/bayangan/shading
Lorong/koridor sungai yang hening, natural dan artistic.
BAB IV – halaman : 98
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
BAB IV – halaman : 99
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan
Tabel 4.22 Contoh tanaman untuk sabuk hijau tahan penggenangan air
Lama Jenis Tanaman
Genangan Nama Lokal
(hari) Nama Latin
0 – 10 Sungkai, Jati Seberang Peronema canescens
Jati Tectona grandis
Dahat Tectona hamiltoniana
10 – 20 Salam Eugeniu polyantha
Lantana Merah, Lantana camara
Balsa
Tembelekan Orchoma lagopus
Cendana India Santaum album
Suren Toona sureni
Gopasa Vitex gopassus
20 – 30 Kesumba Keling, Pacar Bixa orellana
Kemlandingan
Keling Leucaena glauca
30 – 40 Kayu Palele Castanopsis javanica
Trengguli, Golden Shower Cassia fistula
Sumber: Soerianagara dan Indrawan (1988)
4. Ecotourism
Ecotourism atau ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan ke
area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan
dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Berikut adalah prinsip – prinsip pengembangan ekowisata yaitu :
Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas
wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan
penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam
dan budaya setempat.
Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan
masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi.
Pendapatan lansung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan
yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola
kawasan pelestarian dapat menerima lansung penghasilan atau
pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat
dipergunakan secara lansung untuk membina, melestarikan dan
meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak
dalam pengembangan ekowisata, demikian juga dalam
pengawasan diharapkan berperan aktif.
Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap
ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong
masyarakat menjaga kelestraian alam.
Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya
pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas
harus terjaga keharmonisannya dengan alam. Apabila ada
upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisat
ekologis.
Menghindari penggunaan minyak , mengkoservasi flora dan
fauna serta keaslian budaya masyarakat.
Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam
mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya
dukung kawasan buatan.
5. Bufferzone
Didalam UU No 5 Tahun 1990 pada penjelasan Pasal 8 ayat 1 menyatakan
bahwa :
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara
menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan.
Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan
pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi perlindungan dan
pelestariannya tetap terjamin. Wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan ini meliputi antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai,
areal tepi sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi
Keterangan :
Zona P: Zona Perlindungan
Zona A: Zona Pertanian
Zona A-P: Zona Pertanian dengan Perlindungan
Sub Zona Am-P: Zona Utama Pertanian dan Perlindungan
Sub Zona Aw-P: Zona Utama Tepi Genangan Waduk dan Perlindungan
Zona S: Zona Permukiman
c. Outbound
Merupakan saran penambah wawasan pengetahuan yang didapat dari
serangkaian pengalaman berpetualang sehingga dapat memacu semangat
dan kreatifitas seseorang. Tujuan outbound secara umum untuk
menumbuhkan rasa percaya dalam berkomunikasi, dan menimbulkan
adanya saling pengertian, sehingga terciptanya saling percaya antar
sesama. Contoh : Flying fox
d. Wisata Air
Ada berbagai jenis permainan – permainan air yang banyak diminati
pengunjung seperti : Banana boat,bola air, jet sky, sepeda air, perahu dll
Mushola
Mushola merupakan tempat ibadah umat islam. Mushola merupakan
bangunan yang sangat penting dalam perancangan bangunan,dikarenakan
mayoritas orang Indonesia memeluk agama Islam. Maka dari itu setiap
perancangan perlu adanya mushoa agar pengunjung bisa tetap beribadah.
Parkir
Parkir merupakan salah satu bangunan yang sangat penting karena
pengunjung kebanyakan membawa kendaraan. Kendaraan yang sering
dibawa adalah sepeda motor, mobil dan bus.