Anda di halaman 1dari 118

DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

BAB IV
METODOLOGI PELAKSANAAN
PEKERJAAN
4.1 Umum
Bendungan Tapin merupakan bendungan yang dibangun oleh Pemerintah Indonesia
sebagai upaya dari mendukung prioritas pembangunan dalam hal ketahanan air dan
kedaulatan pangan. Pembangunan 65 (Enam Puluh Lima) bendungan dimaksudkan
untuk mewujudkan ketahanan air pada daerah – daerah yang memerlukan
peningkatan ketersediaan air untuk berbagai keperluan seperti kebutuhan air baku,
irigasi dan PLTA.
Bendungan Tapin merupakan merupakan salah satu proyek strategis pemerintah
untuk mengatasi permasalahan ketersediaan air di Kabupaten Tapin Provinsi
Kalimantan selatan. Bendungan ini diharapkan memiliki peranan penting dalam
suplai air baku (air minum dan irigasi) dan pengendalian banjir di Kabupaten Tapin.
Pelaksanaan pembangunan Bendungan Tapin ini perlu didukung dengan kegiatan
pembuatan desain penataan kawasan bendungan sebagai bagian dari usaha untuk
memberikan informasi atau gambaran terkait DED Penataaan kawasan bendungan
sebagai bagian dari usaha untuk memberikan informasi atau gambaran terkait DED
Penataan Kawasan Bendungan yang akan disajikan dalam bentuk visual dan maket
untuk menjadi materi untuk ekspose kepada masyarakat umum dan pihak – pihak
terakit.
4.2 Pendekatan Operasional
Untuk pelaksanaan Pekerjaan ‘’ DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin ” ini, akan
melibatkan tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan ruang
lingkup pekerjaan dan sesuai dengan ketetapan personil pada Kerangka Acuan Kerja.
Untuk memperlancar tugas, pelaksanaan pekerjaan akan didukung oleh fasilitas
penunjang berupa peralatan yang memadai dan sistem kerja yang seefisien mungkin.
4.3 Pendekatan Umum
Untuk memenuhi maksud dan tujuan seperti yang tercantum dalam Kerangka Acuan
Kerja serta dapat mendukung proses studi sehingga didapatkan suatu hasil yang
optimal maka konsultan mencoba menguraikan pendekatan umum tentang hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pekerjaan ini, antara lain :
a. Dalam melaksanakan pekerjaan “DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin” ini
akan didasari dengan pola berpikir teknologi pengairan yang yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jendral Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum dan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Standar yang digunakan untuk penggambaran peta
mengacu pada KP.07 Standar Penggambaran.

BAB IV – halaman : 1
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

b. Agar memperoleh hasil yang sebaik-baiknya mutlak diperlukan tenaga-tenaga


ahli yang berpengalaman di bidangnya. Tenaga-tenaga ahli tersebut harus
terkoordinasi dalam satu tim kerja yang baik, sehingga masing-masing dapat
memberikan masukan-masukan yang diperlukan sesuai dengan analisanya. Oleh
karena itu Konsultan akan mengerahkan tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman
serta berdedikasi tinggi.
c. Pemahaman terhadap pekerjaan secara mendetail
Pemahaman pekerjaan yang akan dilakukan dengan sedetail-detailnya sangat
diperlukan untuk memperoleh hasil pekerjaan yang teliti dan dapat mendukung
kelancaran pekerjaan. Oleh karena itu tenaga-tenaga pelaksana pekerjaan harus
benar-benar memahami situasi, kondisi dan lokasi pekerjaan.
d. Konsultan akan mengikuti standar perencanaan yang dikeluarkan oleh
Direktorat Jendral Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum dan Standar
Nasional Indonesia (SNI). Setiap penyimpangan dari standar tersebut akan
dibicarakan dan dibahas terlebih dahulu sebelum disetujui secara tertulis oleh
Direksi.
e. Perlu adanya organisasi pelaksanaan yang sederhana dan efisien agar dapat
memudahkan koordinasi masukan-masukan dari setiap disiplin ilmu dan
hubungan kerja personil.
f. Sistem Pelaksanaan
Dalam rangka melaksanakan pekerjaan ini diperlukan suatu program kerja yang
sistematis dan terarah agar kelancaran pelaksanaan pekerjaan dapat terjamin.

4.4 Pendekatan Teknis


Selain dengan menggunakan pendekatan umum dilakukan pula pendekatan secara
teknis yang meliputi :
a). Standard dan Peraturan Teknis
Pedoman, kriteria dan standar yang dipakai dalam menyelesaikan pekerjaan
ini adalah yang berlaku di Indonesia pada umumnya. Untuk pekerjaan yang
dimaksud ini dipakai kriteria dan standar Perencanaan Bangunan Pengairan
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.
b). Sistematika Pelaksanaan Pekerjaan
Sistematika pelaksanaan pekerjaan meliputi beberapa tahapan secara umum,
yaitu :
Tahap 1 : Pekerjaan Persiapan
Tahap 2 : Pekerjaaan Survey
Tahap 3 : Analisa Teknis
Tahap 4 : Pelaksanaan DED Penataan Kawasan Bendungan
Tahap 5 : Penyusunan Laporan
Tahap 6 : Pelaporan
Tahap 7 : Diskusi dan Presentasi

BAB IV – halaman : 2
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Secara sistematis pendekatan teknis serta aktivitas yang akan dilakukan untuk
“DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin”, dapat dilihat pada Bagan Alir
Pelaksanaan Pekerjaan.

Gambar 4. 1 Bagan Alir Pelaksanaan Pekerjaan

BAB IV – halaman : 3
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

4.5 Metode Pelaksanaan Pekerjaan


Dalam melaksanakan pekerjaan ini mulai dari pekerjaan Persiapan, Survey,
Perencanaan sampai dengan Penyusunan Laporan diperlukan metode
pelaksanaan yang baik dan terarah.
4.5.1 Pekerjaan Persiapan
Sebelum tim konsultan memulai kegiatannya, akan dilakukan beberapa
kegiatan yang berupa inventarisasi kelengkapan kerja, sebagai bahan
persiapan tim dalam melakukan aktivitasnya.
Kegiatan tersebut antara lain :
a. Melakukan penyusunan tim dan Jadwal Pelaksanaan Penyelesaian
Proyek. Dalam proses penyusunan jadual penyelesaian proyek, tim
konsultan berpegang pada Kerangka Acuan Teknis tentang waktu
yang disediakan.
b. Usaha-usaha untuk memperoleh perijinan yang berhubungan dengan
pekerjaan dan kantor.
c. Penyediaan blanko-blanko dan material lain yang diperlukan.
d. Menyediakan sarana akomodasi dan transportasi untuk pelaksanaan
dan pengawasan yang diperlukan.

A. Pekerjaan Peninjauan Lapangan dan Pengumpulan Data


I. Persiapan, Mobilisasi Tenaga & Alat Kerja
a. Menyediakan sarana prasarana dan transportasi untuk
keperluan kantor.
b. Penyediaan blanko-blanko dan material lain yang diperlukan.
c. Melakukan penyusunan jadual penugasan personil dan jadual
pelaksanaan penyelesaian pekerjaan. Dalam proses penyusunan
jadual penyelesaian pekerjaan, tim konsultan berpegang pada
kerangka acuan teknis tentang waktu yang disediakan.
II. Ijin Survey, Pengumpulan Data, Peta dan Lokasi Survey Lapangan
a. Mempersiapkan kelengkapan administrasi untuk perijinan
kegiatan survey yang berhubungan dengan pekerjaan dan
kantor.
b. Pekerjaan ini terdiri dari kegiatan pengumpulan sekunder. Jenis
data sekunder yang diperlukan untuk mendukung kegiatan ini
antara lain :
 Data klimatologi dan data hujan.
Data hujan dan klimatologi akan digunakan untuk analisa
debit banjir dan debit aliran rendah untuk memperkirakan
transportasi sedimen selama kurun waktu tertentu. Data
klimatologi dan data hujan bisa diperoleh dari Dinas
Pengairan Setempat atau Badan Meteorologi dan Geofisika.

BAB IV – halaman : 4
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

 Peta geologi regional


Peta ini menggambarkan usia dan nama batuan dan tanah
yang akan digunakan untuk menentukan formasi khusus
tentang jenis/lapisan tanah yang membentuk daerah studi.
Peta ini diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum
Departemen Pertambangan dan Energi.
 Peta topografi (Skala 1 : 25.000)
Peta ini diperlukan untuk menganalisis dan mengukur luas
daerah pengaliran sungai (DPS), luas daerah genangan waduk
dan menentukan orde sungai dari DPS yang ditinjau dan
melakukan perhitungan kerapatan jaringan sungai (drainage
density).
 Data-data lain seperti peta situasi (eksisting) dari pihak
pemberi kerja dan data-data penunjang lainnya.
III. Peninjauan Lapangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain :
a. Mempelajari kondisi dan situasi daerah kerja serta secara tidak
langsung juga melaporkan diri kepada Pemerintah daerah
setempat.
b. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk
mendapatkan masukan dalam rangka menyusun rencana tindak
darurat misalnya daerah evakuasi banjir dan lain-lain.
c. Mencari dan menetapkan jalan masuk dan jalan kerja yang
paling baik serta melakukan observasi visual lokasi bahan
bangunan yang akan dipergunakan.

4.5.2 Kegiatan Survey dan Investigasi


Kegiatan ini berupa;
1. Persiapan Penyusunan Jadwal dan Lokasi Survei Lapangan.
2. Survey Topografi
3. Survey Hidrologi
4. Survey Pengambilan Sampel Kualitas Air
5. Survey Geologi
6. Survey Landscape

4.5.3 Analisa Teknis


Kegiatan ini meliputi;
1. Pekerjaan Topografi
a. Persiapan, Penyusunan Jadwal Kegiatan Lapangan
 Maksud kegiatan lapangan adalah untuk mempelajari kondisi dan
situasi daerah kerja, mendapatkan masukan-masukan dalam rangka
menyusun program kerja.

BAB IV – halaman : 5
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

 Mencari dan menetapkan jalan masuk dan jalan kerja yang paling
baik serta melakukan observasi visual lokasi studi.
 Membuat perencanaan lokasi titik referensi pengukuran (BM),
sebagai titik dasar untuk koordinat dan elevasi.
b. Identifikasi Pemasangan Bench Mark (BM) dan Control Point (CP)
Sebagai titik pengikatan dalam pengukuran topografi perlu dibuat
Bench Mark (BM) dibantu dengan Control Point (CP) yang di pasang
secara teratur dan mewakili kawasan secara merata. Kedua jenis titik
ikat ini mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk menyimpan data
koordinat, baik koordinat (X,Y) maupun elevasi (Z).
Setelah posisi pemasangan BM ditentukan berdasarkan hasil orientasi
dan konsultasi dengan direksi lapangan, selanjutnya akan dilakukan
pemasangan BM sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
Pemasangan BM di lapangan sebagai titik-titik tetap yang diketahui
koordinatnya dalam sistem koordinat peta yang telah dibuat dengan
referensi dari BM yang telah ada dan terpasang dilapangan,
maksudnya sebagai data yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan terkait.
Pemasangan BM dan CP akan dilakukan secara bersamaan pada
waktu pemasangan patok-patok untuk pengukuran poligon, sehingga
BM tersebut langsung terukur pada waktu pengukuran sudut dan
waterpass. BM akan dibuat dan bahan campuran beton dengan ukuran
20 x 20 x 100 cm (memakai tulangan), bagian yang di atas tanah
setinggi 25 cm sedangkan yang tertanam sedalam 75 cm.
Mengingat fungsinya tersebut maka patok-patok beton ini diusahakan
ditanam pada kondisi tanah yang stabil dan aman. Kedua jenis titik
ikat ini akan diberi nomenklatur atau kode, untuk memudahkan
pembacaan peta yang dihasilkan. Disamping itu perlu pula dibuat
deskripsi dari kedua jenis titik ikat yang memuat sketsa lokasi dimana
titik ikat tersebut dipasang dan dilengkapi dengan nilai koordinat
maupun elevasinya.
 Ukuran BM, CP dan Patok Kayu yang dipasang adàlah :
 Benchmark (BM) ukuran 20x20x100 cm.
 Control Point (CP) ukuran 10x10x80 cm.
 Tiap BM dipasang baut di atasnya dan diberi tanda silang sebagai
titik X, Y, Z nya Sedangkan identifikasi nomor dibuat pada
permukaan salah satu sisinya.
 BM dipasang sedemikian rupa sehingga bagian yang muncul di atas
tanah setinggi ± 25 cm.
 Patok kayu dibuat dari bahan yang kuat ditanam sedalam 30 cm,
dicat merah dan dipasang paku di atasnya serta diberi kode dan
nomor yang teratur sesuai petunjuk Direksi.
 CP dipasang agar kelihatan satu sama lainnya dengan BM karena
akan digunakan untuk titik target pengamatan azimuth matahari

BAB IV – halaman : 6
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dan untuk memudahkan pengecekan sudut jurusan pada titik


tersebut.
 Setiap BM dan CP, harus di beri nomor kode yang teratur sesuai
petunjuk Direksi.

Pen kuningan
Ø6 cm
20

Pelat marmer 12 x 12 Pipa pralon PVC Ø 6 cm

25
Nomor titik

Tulangan tiang Ø10


Dicor beton
Sengkang Ø5-15

10
100

65

Dicor beton

75
20
Beton 1:2:3
15

10

20

Pasir dipadatkan
20

40

Bench Mark Control Point


(BM) (CP)

Gambar 4. 2 Deskripsi BM dan CP

Spesifikasi pemasangan BM dan CP:


1. Ditempatkan pada tempat yang aman dan stabil serta posisinya
ditentukan melalui pengukuran dari titik-titik poligon atau
dipasang pada titik-titik poligon.
2. Konstruksi BM dan CP yang sudah dipasang dilengkapi dengan
bukti photo berwarna dan sketsa lokasi lengkap dengan jarak titik-
titik detail tetap yang ada sekitar pilar tersebut, ini guna
memudahkan pencarian lokasi BM di kemudian hari
3. Sistem penomoran BM harus seragam dan berurutan dengan nomor
yang sudah ada dan harus mendapat persetujuan Direksi Pekerjaan.
4. Titik Referensi dan proyeksi yang dipakai harus sama dengan titik
referensi pengukuran standard (maximum 5 km adalah panjang
pengikatan). Jika tidak ada titik referensi, maka dapat dipakai titik
referensi lokal dengan persetujuan Direksi Pekerjaan.

BAB IV – halaman : 7
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

c. Pengukuran Poligon Utama


Sebelum digunakan semua alat dan perlengkapan pengukuran harus
dicek dan diperiksa oleh direksi untuk mendapatkan persetujuan.
Pengukuran poligon terdiri dari pengukuran poligon utama dan
cabang (jika ada), sedangkan untuk detail lapangan biasanya
dilakukan pengukuran poligon raai. Poligon utama adalah suatu
jaringan titik-titik dilapangan yang ditentukan melalui pengukuran
dengan tingkat ketelitian yang tinggi dan digunakan sebagai kerangka
dasar pengukuran situasi areal secara keseluruhan, untuk itu
pelaksanaan pengukurannya harus dilakukan secara cermat dan teliti.
1. Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan survey ini adalah :
 1 unit Theodolite T2
 1 buah pita ukur baja 50 m
 1 set bak ukur.
2. Metode Pelaksanaan
Dalam rangka penyelenggaraan kerangka dasar peta, dalam hal ini
kerangka dasar horisontal / posisi horisontal (X,Y) digunakan
metode poligon. Dalam pengukuran poligon ada dua unsur penting
yang perlu diperhatikan yaitu jarak dan sudut jurusan yang akan
diuraikan dalam penjelasan di bawah ini.
Dalam pembuatan titik dalam jaringan pengukuran poligon, titik-
titik poligon tersebut berjarak sekitar 50 meter.
a. Pengukuran Jarak
Pada pelaksanaan pekerjaan, pengukuran jarak dilakukan dengan
menggunakan pita ukur 100 m. Tingkat ketelitian hasil pengukuran
jarak dengan menggunakan pita ukur, sangat bergantung kepada :
 Cara pengukuran itu sendiri.
 Keadaan permukaan tanah.
Khusus untuk pengukuran jarak pada daerah yang miring
dilakukan dengan cara seperti yang digambarkan pada gambar di
bawah ini.

d1
d2

A 1 d3

jarak AB = d1 + d2 + d3
2 B

Gambar 4. 3 Pengukuran Jarak pada Daerah Miring

Untuk meningkatkan ketelitian pengukuran jarak, juga dilakukan


pengukuran jarak optis hasil pembacaan rambu ukur sebagai
koreksi.

BAB IV – halaman : 8
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

b. Pengukuran Sudut Jurusan


Sudut jurusan sisi-sisi poligon yaitu besarnya bacaan lingkaran
horisontal alat ukur sudut pada waktu pembacaan ke suatu titik.
Besarnya sudut jurusan ditentukan berdasarkan hasil pengukuran
sudut mendatar di samping titik poligon. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

AB
β B

AC

A
C

Gambar 4. 4 Pengukuran Sudut Jurusan


Berdasarkan gambar di atas, besarnya sudut β :
  AC  AB
dimana :
β = sudut mendatar
AC = bacaan skala horisontal ke target kiri
AB = bacaan skala horisontal ke target kanan.
Pembacaan sudut jurusan dilakukan dalam posisi teropong biasa
dan luar biasa. Spesifikasi teknis pengukuran poligon adalah
sebagai berikut:
 jarak antara titik-titik poligon adalah  50 meter
 alat ukur sudut yang digunakan Theodolite T2
 alat ukur jarak yang digunakan pita ukur 100 meter
 jumlah seri pengukuran sudut 4 seri (B1, B2, LB1, LB2)
 selisih sudut antara dua pembacaan  5” (lima detik)
 ketelitian jarak linear (K1)
c. Pengamatan Azimuth Astronomis
Disamping untuk mengetahui arah / azimuth awal, pengamatan
matahari dilakukan untuk tujuan sebagai berikut :
 Sebagai koreksi azimuth guna menghilangkan kesalahan
akumulatif pada sudut-sudut terukur dalam jaringan poligon.
 Untuk menentukan arah / azimuth titik-titik kontrol / poligon
yang tidak terlihat satu dengan yang lainnya.
 Penentuan sumbu X untuk koordinat bidang datar pada
pekerjaan pengukuran yang bersifat lokal / koordinat lokal.

BAB IV – halaman : 9
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Metodologi pengamatan azimuth astronomis diilustrasikan pada


gambar di bawah ini.
Dengan memperhatikan metoda pengamatan azimuth astronomis
pada gambar tersebut, maka azimuth target (T) adalah :
T  M  
atau
   M   T   M 
dimana :
T = azimuth ke target
M = azimuth pusat matahari
T = bacaan jurusan mendatar ke target
M = bacaan jurusan mendatar ke matahari
β = sudut mendatar antara jurusan ke matahari dengan jurusan
ke target.
Pengukuran azimuth matahari dilakukan pada jalur poligon utama
terhadap patok terdekat dengan titik pengamatan pada salah satu
patok yang lain.

Matahari
T M
M

T

P1

P2 (target)

Gambar 4. 5 Pengamatan Azimuth Astronomis


d. Pengukuran Sipat Datar
Kerangka dasar vertikal diperoleh dengan melakukan pengukuran
sipat datar pada titik-titik jalur poligon. Jalur pengukuran
dilakukan tertutup (loop), yaitu pengukuran dimulai dan diakhiri
pada titik yang sama. Pengukuran beda tinggi dilakukan double
stand dan pergi pulang. Seluruh ketinggian di traverse net (titik-
titik kerangka pengukuran) telah diikatkan terhadap BM.
Penentuan posisi vertikal titik-titik kerangka dasar dilakukan
dengan melakukan pengukuran beda tinggi antara dua titik
terhadap bidang referensi seperti yang diilustrasikan pada Gambar
2.8.

BAB IV – halaman : 10
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Spesifikasi teknis pengukuran sipat datar adalah sebagai berikut :


 Jalur pengukuran dibagi menjadi beberapa seksi
 Tiap seksi dibagi menjadi slag yang genap
 Setiap pindah slag rambu muka menjadi rambu belakang dan
rambu belakang menjadi rambu muka.

Slag 2
Slag 1
m2
m1

Bidang referensi

D D

Gambar 4. 6 Pengukuran Sipat Datar

 Pengukuran dilakukan double stand pergi pulang pembacaan


rambu lengkap benang atas, benang tengah dan benang bawah.
 Selisih pembacaan stand 1 dengan stand 2 lebih kecil atau sama
dengan 2 mm.
 Jarak rambu ke alat maksimum 75 mm.
 Setiap awal dan akhir pengukuran dilakukan pengecekan garis
bidik.
 Toleransi salah penutup beda tinggi (T) ditentukan dengan
rumus berikut :
T  8 D mm
Dimana D = jarak antara 2 titik kerangka dasar vertikal dalam
satuan km. Hasil pengukuran lapangan terhadap kerangka dasar
vertikal diolah dengan menggunakan spreadsheet sebagaimana
kerangka horisontalnya. Dari hasil pengelolaan tersebut didapatkan
data ketinggian relatif pada titik-titik patok terhadap bench mark
acuan.
e. Pengukuran Levelling
Pengukuran levelling dimaksudkan untuk menentukan ketinggian
titik-titik poligon dan ketinggian patok poligon, BM, dan patok
poligon cabang, sehingga dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
 Levelling Poligon Utama
 Levelling Poligon Cabang.

Levelling Poligon Utama


Pengukuran levelling poligon utama harus dilaksanakan dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

BAB IV – halaman : 11
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

a. Pengukuran levelling poligon harus dilakukan dengan


menggunakan alat Waterpass automatis seperti Wild NAK.2
atau Ni.2 atau yang sederajat ketelitiannya.
b. Pengukuran levelling harus dilakukan dengan sistem
pengukuran “double-stand” atau sistem “pulang pergi”.
c. Pembacaan rambu ukur selalu dilakukan bacaan tiga benang
teropong (benang atas, benang tengah, dan benang bawah),
dengan rambu yang dipasang tegak lurus dilengkapi dengan
nivo rambu.
d. Bacaan skala rambu harus dilakukan pada interval skala antara
0,5 meter sampai dengan 2,5 meter untuk rambu panjang 3,0
meter.
e. Pengukuran levelling harus dilakukan dengan jarak ke depan
sama dengan jarak ke belakang pada setiap slag, atau jumlah
jarak ke depan sama dengan jumlah jarak ke belakang pada
setiap seksi pengukuran.
f. Selama pelaksanaan pengukuran tempat berdiri rambu ukur
harus digunakan rambu yang terbuat dari plat besi.
g. Pengukuran levelling harus dilakukan dengan jarak antara alat
dan rambu maksimal 50,0 m.
h. Pengukuran levelling poligon utama, disamping harus
melewati semua titik poligon, tapi juga harus melewati semua
BM yang dipasang, maupun BM lainnya yang ada.
i. Ketelitian pengukuran levelling ditentukan < 6D mm dimana
D adalah jumlah jarak sisi-sisi poligon dalam km.
Levelling Poligon Cabang
Pengukuran levelling poligon cabang adalah pengukuran levelling
pada jalur titik-titik poligon cabang, harus dilaksanakan dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pengukuran levelling poligon harus dilakukan dengan
menggunakan alat Waterpass semi automatis atau waterpass
biasa seperti Shokisa B.2 Wild NAK.1 atau yang sedejat
ketelitiannya.
b. Pengukuran levelling harus dilakukan dengan sistem
pengukuran “double-stand” atau sistem “pulang pergi”.
c. Pembacaan rambu ukur harus selalu dilakukan bacaan tiga
benang teropong (benang atas, benang tengah, benang bawah),
dengan rambu yang dipasang tegak lurus dilengkapi dengan
nivo rambu.
d. Bacaan skala rambu harus dilakukan pada interval skala antara
0,5 meter sampai dengan 2,5 meter untuk rambu panjang 3,0
meter.

BAB IV – halaman : 12
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

e. Pengukuran levelling harus dilakukan dengan jarak ke depan


sama dengan jarak ke belakang pada setiap slag, atau jumlah
jarak ke depan sama dengan jumlah jarak ke belakang pada
setiap seksi pengukuran.
f. Pengukuran levelling harus dilakukan dengan jarak antara alat
dan rambu maksimal 50,0 m.
g. Pengukuran levelling poligon sekunder harus melewati semua
titik poligon cabang dan harus diikatkan kepada titik-titik
poligon utama yang ada.
h. Ketelitian pengukuran levelling ditentukan < 10D mm dimana
D adalah jumlah jarak sisi-sisi poligon dalam Km.
f. Pengukuran Situasi Detail
Pengukuran detail situasi dimaksudkan untuk mendapatkan data
posisi planimetris maupun ketinggian dari semua titik-titik di
lapangan, baik itu titik-titik yang mewakili keadaan topografi
kemiringan tanah maupun detail alam maupun detail bangunan
eksisting yang ada.
Penentuan situasi dilakukan untuk mengambil data rinci lapangan,
baik obyek alam maupun bangunan-bangunan, jembatan, jalan dan
sebagainya. Obyek-obyek yang diukur kemudian dihitung harga
koordinatnya (X,Y,Z). untuk selanjutnya garis kontur untuk
masing-masing ketinggian dapat ditentukan dengan cara
interpolasi.
Situasi diukur berdasarkan jaringan kerangka horisontal dan
vertikal yang dipasang dengan melakukan pengukuran keliling
serta pengukuran di dalam daerah survei. Bila perlu jalur poligon
dapat ditarik lagi dari kerangka utama dan cabang untuk mengisi
detail planimetris berikut spot height yang cukup, sehingga
diperoleh penggambaran kontur yang lebih menghasilkan
informasi ketinggian yang memadai.
Dalam pelaksanaan pengukuran situasi detail dilakukan dengan
kriteria sebagai berikut :
1. Peralatan yang digunakan :
Peralatan yang digunakan untuk kegiatan survey ini adalah :
 Theodolite T0
 Pita baja 50 meter
 Bak ukur.
2. Metoda Pelaksanaan
Pengukuran situasi rinci dilakukan dengan cara tachimetri
dengan menggunakan alat ukur Theodolith Kompas (T0).
Dengan cara ini diperoleh data-data sebagai berikut :
 Azimuth magnetis.

BAB IV – halaman : 13
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

 Pembacaan benang diafragma (atas, tengah, bawah).


 Sudut zenith atau sudut miring.
 Tinggi alat ukur.
 Pengukuran situasi detail dilakukan menggunakan sistem raai
atau lajur-lajur arah utara-selatan atau arah barat-timur,
dimana jarak antara lajur adalah maksimal 30,0 m.
 Pengukuran situasi dilakukan dengan menggunakan
Theodolit T0 atau lebih tinggi derajat ketelitiannya dengan
sistem tachimetri, dan harus selalu diikatkan kepada titik-titik
poligon utama atau sekunder yang terdekat.
 Pengukuran situasi detail meliputi semua tinggi rendah tanah
pada areal coverage lengkap semua detail bangunan eksisting
yang ada, maupun titik-titik poligon utama atau sekunder
yang terdekat.
g. Pengolahan Data.
Pengolahan data survey topografi meliputi beberapa jenis hitungan,
antara lain adalah :
 Hitungan azimuth matahari
 Hitungan poligon (koordinat)
 Waterpass (tinggi)
 Hitungan situasi (tinggi titik detail).
Pehitungan pendahuluan poligon dan sipat datar dilakukan di
lapangan secara konvensional dan perhitungan definitif dilakukan
di kantor. Perhitungan pendahuluan tersebut dilakukan di
lapangan dengan maksud apabila terjadi kesalahan pengukuran
bisa langsung diatasi dan diukur kembali.
1. Hitungan Azimuth Matahari
Azimuth pengamatan matahari dihitung dengan metode tinggi
matahari. Hitungan pengamatan matahari dilakukan secara
konvensional menggunakan formulir hitungan matahari dan
deklinasi didapatkan dari tabel deklinasi matahari tahun
terakhir. Lintang tempat pengamatan berdasarkan interpolasi
dari peta rupa bumi skala 1 : 50.000
Azimuth ke matahari dapat dihitung dengan rumus persamaan
segitiga astronomi. Dengan segi tiga bola dapat dihitung
besarnya azimuth, yaitu dengan rumus trigonometri sebagai
berikut :
Sin   Sin Q . Sin h
Cos A 
Cos  . Cos h
dimana :
A = azimuth matahari
Q = lintang pengamatan (dari peta topografi)
 = deklinasi matahari (dari almanak matahari)

BAB IV – halaman : 14
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

h = sudut miring ke matahari (dari hasil pengukuran).


 Perhitungan sudut tegak (sudut miring / zenith)
Sudut tegak yang digunakan dalam hitungan diberi koreksi
sebagai berikut, salah indeks (i) dari alat ukur, koreksi ini
diperoleh melalui pengecekan alat ukur atau kalibrasi alat
 Koreksi refraksi (r)
Rumus menghitung besarnya koreksi refraksi digunakan:
R  rm . cp . ct
dimana :
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760
mm.Hg, temperatur 0OC dan kelembaban nisbi 60%.
Harga rm dapat dicari dari Tabel VI pada Buku
Almanak Matahari
p
cp = , dengan p adalah tekanan udara dalam
760
mm.Hg. Bila tekanan udara tidak diukur, tetapi
tinggi tempat pengamatan diketahui dari dari peta
topografi, maka harga cp dapat dicari dari Tabel
VIIa Almanak Matahari
283
ct = , dengan t adalah temperatur udara dalam
273  t 
0OC. (harga ct dapat dicari dari Tabel VIII pada
Buku Almanak Matahari)
p  pH . Cos hn atau
p  pH . Sin Z n
 Koreksi paralaks (p), besarnya kareksi paralaks adalah :
 pH adalah koreksi paralaks terbesar, berkisar antara 8,66” –
8,95”, rata-ratanya 8,8”
 Koreksi terhadap pusat matahari (1/2 d)
 Dicari berdasarkan letak posisi kwadran yang diamati.
2. Hitungan Poligon
Pelaksanaan perhitungan poligon pendahuluan dilaksanakan di
lapangan, supaya bila terjadi kesalahan pengukuran bisa
langsung diperbaiki dan perhitungan definitif dengan
menggunakan komputer dilakukan di kantor
Syarat-syarat supaya poligon dapat dihitung, maka data yang
harus diketahui adalah :
 Sudut jurusan awal / azimuth awal dapat dihitung dari
koordinat 2 (dua) buah titik tetap atau dari pengamatan
matahari.
 Sudut mendatar antara 2 sisi pada tiap titik poligon (β).

BAB IV – halaman : 15
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

P
12
β1
A1 23
βA B
P dPA d12 d23
dA1

A 2

Gambar 4. 7 Pengukuran Poligon

 Perhitungan sudut horisontal didapat dari bacaan sudut biasa


(β) ke belakang dikurangi sudut (β) ke muka dan bacaan
sudut luar biasa (Lβ) ke muka. Sudut yang didapat adalah
harga sudut rata-rata dari pembacaan (β) dan (Lβ).
 Jarak mendatar antara titik-titik poligon (d).
 Menentukan titik awal.
 Yang akan dijadikan titik awal adalah titik referensi yang
telah diketahui koordinatnya dan kondisi dinilai cukup stabil.
Bila tidak terdapat, akan dibuat referensi lokal UTM
berdasarkan peta rupa bumi berpedoman kepada bangunan
yang ada dengan persetujuan Direksi.
Tahapan hitungan polygon tertutup setelah data yang
diperlukan diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Bila yang dihitung sudut dalam (β), maka syarat


geometrisnya adalah seperti berikut :
U 2.
1
sudut ukuran = (N-2).180

Azimuth dimana :
5 2
Awal N = banyak titik poligon
sudut ukuran = jumlah sudut

4 3

Gambar 4. 8 Bentuk Geometris Poligon Tertutup Dengan


Sudut Dalam

BAB IV – halaman : 16
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

U
1 Sudut luar (β), maka syarat
geometrisnya
Azimuth 2 sudut ukuran = (N-2).180
5 Awal
N = banyak titik poligon
sudut ukuran = jumlah sudut
4 3

Gambar 4. 9 Bentuk Geometris Poligon Tertutup Dengan


Sudut Luar

1. Jika jumlah sudut tidak sama dengan (N-2).180 atau tidak


sama dengan (N+2).180, maka ada kesalahan penutup
sudut sebesar f dan hitungan harus dikoreksi
2. Batasan salah penutup sudut maksimum adalah 10N
3. Sudut mendatar yang benar dihitung dengan rumus :
f
  ukuran 
N
4. Menghitung sudut jurusan yang benar dengan rumus :
N   awal    180 O
5. Menghitung selisih absis dan ordinat tiap sisi dengan rumus
:
Selisih absis, ∆X = d . Sin 
Selisih ordinat, ∆Y = d . Cos 
6. Syarat geometris selisih absis dan ordinat adalah :
Jumlah d . Sin  = 0 atau ∆X = 0
Jumlah d . Cos  = 0 atau ∆Y = 0
7. Bila tidak sama dengan nol, berarti ada kesalahan penutup
absis (fx) dan ordinat (fy), sehingga hitungan selisih absis
dan ordinat yang benar :
 d   d 
x  x    . fx y  y    . fy
 d   d 

8. Menghitung koordinat yang benar :


X  X   X'
Y  Y   Y'
9. Untuk mengetahui kesalahan linear poligon didapat dengan
rumus :
fx 2  fy 2
SL 
d

BAB IV – halaman : 17
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Dengan batasan ketelitian linier untuk poligon utama 


1/5.000.
3. Hitungan Sipat Datar
Perhitungan pendahuluan untuk memperoleh unsur beda tinggi
pada jalur-jalur yang menghubungkan titik-titik simpul
dilaksanakan di lapangan, sehingga bila terjadi kesalahan
pengukuran bisa diulang kembali, dan perhitungan definitif
dilakukan di kantor.
Syarat-syarat supaya sipat datar kring tertutup dapat dihitung
adalah :
 Ada beda tinggi (∆h)
 Ada jarak
 Ada referensi awal (elevasi titik tetap terdahulu).

Tahapan hitungan sipat datar sebagai berikut :


a) Beda tinggi antara dua titik didapat dari bacaan benag
tengah belakang (BTb) dikurangi bacaan benang muka
(BTm) atau beda tinggi.
h  BTb  BTm
b) Untuk mengontrol pembacaan benang tengah (BT) dan
untuk memperoleh jarak optis, dibaca dengan benang atas
(BA), benang bawah (BB), dengan kontrol ukuran : BT = ½
(BA – BB), sedangkan jarak optis dihitung dengan rumus :
d  c . BA  BB 
atau
d  100 . BA  BB 
sehingga jarak tiap slag didapat yaitu jarak muka ditambah
jarak ke belakang atau D = Dm + Db
c) Dari hasil perhitungan beda tinggi tersebut pada masing-
masing kring tertutup dilakukan perhitungan jumlah beda
tinggi,  ∆hi = 0, dengan I = 1 sampai n, sehingga diperoleh
kesalahan penutup beda tinggi di tiap-tiap kring.
d) Untuk mengetahui apakah salah penutup sudah memenuhi
toleransi yang diinginkan, dipakai rumus :
T   10 d
dimana :
T = toleransi
10 = angka yang menyatakan tingkat ketelitian (mm)
d = jarak total pengukuran (Km).
e) Dari salah penutup beda tinggi tiap kring, koreksi dapat
dibagikan ke beda tinggi tiap seksi dengan cara
konvensional, tanda koreksi (+ atau -) adalah kebalikan dari
tanda salah penutup.

BAB IV – halaman : 18
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

f) Elevasi titik-titik pada tiap-tiap seksi diantara titik-titik


simpul tersebut diperoleh dari perhitungan secara
konvensional atau perataan sederhana dengan acuan pada
elevasi titik-titik simpul.
4. Hitungan Titik Detail
Perhitungan titik detail menggunakan metode tachimetri.
Sebagaimana telah diterangkan di atas pada pengukuran
tachimetri unsur yang didapat dari pengukuran situasi detail
yaitu :
 Tinggi alat ukur terhadap patok diukur (TA)
 Tinggi patok diukur (TP)
 Pembacaan sudut vertikal (h) atau sudut zenit (z)
 Pembacaan benang lengkap (BA, BT, BB)
Dari unsur data-data tersebut di atas dapat dihitung :
 Jarak optis atau jarak miring, yaitu DM = C (BB – BB) atau DM
= 100 (BB - BA)
 Jarak mendatar, yaitu D = DM . Cos 2Z atau D = DM . Sin 2h

Hitungan beda tinggi (∆H) dari tempat berdiri alat ke titik detail
dihitung dengan rumus :
1) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu setinggi alat
maka, beda tinggi (∆H) = 0,5 . DM . Sin 2Z
2) Bila bacaan benang tengah (BT) pada rambu tidak setinggi
alat maka, beda tinggi (∆H) = 0,5 . DM . Sin 2Z + TA - BT
Hitungan elevasi titik-titik detail selanjutnya dapat dihitung
berdasarkan elevasi acuan awal dan akhir yang diketahui dari
tinggi tiap patok poligon / waterpass
5. Penggambaran (Plotting Data)
Untuk proses penggambaran pada hasil pengukuran, terlebih
dahulu disiapkan data-data berupa :

 Koordinat dan ketinggian seluruh titik CP/BM


 Koordinat dan ketinggian seluruh titik poligon
 Koordinat dan ketinggian seluruh titik cross dan detail beserta
keterangannya.
Dari data hasil hitungan sementara di lapangan disusun dan
dipilah menurut jenis pengukuran dan nomor patoknya,
kemudian dimasukkan ke dalam komputer seperti susunan data
ukur aslinya. Setelah dihitung untuk masing-masing pengukuran
dengan metoda hitungan sesuai jenis pengukurannya (misalnya ;
poligon dengan metoda Leastquares/Bowditch, cross section
dengan metoda Tachimetri) dengan program sederhana dari
Excel atau program Autodesk Land Development atau program
pemetaan lain seperti Surfer, maka data tersebut digabungkan

BAB IV – halaman : 19
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

menjadi satu file sehingga titik-titik pengukuran lapangan


mempunyai koordinat ( x , Y ) dan ketinggian ( Z ), yang diberi
deskripsi (keterangan) dan nomor baris. File ini masih dalam
program Excel, tetapi susunannya sudah PENZD (Point, East (X),
North (Y), Z (Height), dan Description). Kemudian dari data
Excel ini (*.xls) dirubah menjadi data dengan ekstension *.csv
atau *.prn atan ekstension *.dat lainnya, untuk dibaca dalam
program Softdesk. Memasuki program Softdesk data tadi dibaca
dan diimpor menjadi file gambar *.dwg.
Selanjutnya diproses sesuai prosedur kerja dari software
tersebut, diantaranya pembuatan surface (project) data base dari
gambar yang dikerjakan dengan membuat garis triangulasi antar
titik-titik yang ada. Grading atau create kontur yaitu pembuatan
atau pemunculan garis kontur sesuai dengan spesifikasi yang
diminta. Untuk memunculkan kontur terlebih dahulu dilakukan
pengisian permukaan (surface pada menu COGO  surface)
setelah dilakukan maka regen (memunculkan) garis-garis
triangulasi, garis tersebut menunjukan adanya hubungan untuk
menginterpolasi garis kontur dari titik ke titik.
Untuk memunculkan kontur dikerjakan melalui menu Countur
dan memilih garis kontur mayor (setiap 10 meter) dan minor
(setiap 2,5 meter). Sedangkan intensitas kehalusan garis kontur
dapat dipilih antara 0 s/d 10, setelah dipilih angka yang cocok,
kontur dimunculkan melalui menu Regen.
Setelah terbentuk garis-garis kontur selanjutnya adalah
pekerjaan pengeditan antara lain:
- Memisah masing-masing obyek / tema dalam gambar
menjadi layar layer
- Mengedit garis-garis yang akan membedakan bentuk garis
kontur, seperti
 Garis Pinggir Jalan
 Garis Pinggir Sungai
- Membuat label grid angka genap
- Membuat notasi grid pada label grid tersebut
- Membuat text untuk nama kampung, nama sungai, arah jalan
- Merubah ukuran font (mis : font elevasi, nama kampung,
angka grid, dll)
- Membuat arah utara
- Memperbaiki kontur yang tidak sesuai dengan keadaan
dengan cara :

BAB IV – halaman : 20
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

 Menghapus garis triangulasi antara titik ke titik


 Menghapus angka ketinggian yang tidak sesuai
 Mengubah angka ketinggian sehingga menjadi angka yang
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
- Membuat format skala yang sesuai untuk dicetak
- Meletakkan simbol-simbol (buatan manusia maupun alam)
sesuai keadaan sebenarnya.
Karena adanya pengeditan tersebut maka untuk memunculkan
kembali kontur dalam format yang telah diedit dilakukan
pengisian kembali permukaan (surface) dan kembali dilakukan
regen/create kontur, hal tersebut dapat dilakukan berkali-kali
sehingga tampilan gambar layak untuk dicetak dan disetujui
pihak direksi dan siap untuk dilakukan pekerjaan selanjutnya
oleh tim perencana.

BAB IV – halaman : 21
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 10 Bagan Alir Pekerjaan Pengukuran Dan Pemetaan

4.5.4 Pekerjaan Analisis Kondisi Hidrologi dan Hidrolika


A. Analisa Hidrologi
I. Identifikasi Kondisi Hidrologi
Identifikasi kondisi hidrologi yang dimaksud disini mencakup seluruh
aspek hidrologi untuk keperluan study antara lain kondisi karakteristik
daerah aliran sungai (DAS), karakteristik hujan wilayah, kondisi
klimatologi daerah dan lain-lain. Karena parameter hidrologi banyak
berhubungan dengan alam sehingga banyak sekali perkiraan atau asumsi
teknis yang digunakan dalam proses analisis. Untuk ini, angka-angka hasil
perhitungan hidrologi perlu diuji dengan menggunakan data-data banjir-

BAB IV – halaman : 22
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

banjir besar dari pencatatan-pencatatan atau pengamatan-pengamatan


setempat.
Data-data debit banjir besar yang pernah terjadi, dapat diperoleh dari
tanda-tanda adanya genangan-genangan tertinggi yang pernah terjadi,
yang terdapat;antara lain pada jembatan-jembatan, pada bangunan-
bangunan di tepi sungai yang biasanya ditandai oleh petugas-petugas
penjagaan banjir setempat. Survey data-data banjir besar ini disarankan
pula untuk dilakukan di sungai-sungai yang berdekatan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan data
hidrologi khususnya data-data banjir besar yang pernah terjadi antara lain:
(1) Analisis kondisi meteorologi
Apabila data-data hidrologi dan meteorologi daerah pengaliran daerah
studi sangat terbatas, sedang data-data di daerah pengaliran sungai di
sekitarnya cukup banyak, maka dengan memperbandingkan kondisi
meteorologi, geologi dan topografinya, akan dapat diperkirakan
tingkat persamaan debit banjir yang mungkin terjadi pada daerah-
daerah pengaliran tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya masih
banyak faktor-faktor lain yang kondisinya mungkin tidak sama,
sehingga akan menghasilkan estimasi yang kurang teliti, karenanya
hasil-hasil perhitungan yang bagaimanapun kasarnya, sangat
diperlukan sebagai bahan pertimbangan.
(2) Identifikasi Kondisi Daerah Pengaliran Sungai
Biasanya pada sungai-sungai yang kecil atau anak-anak sungai jarang
sekali dilakukan pengukuran dan pencatatan-pencatatan data, baik
untuk memperoleh data meteorologi maupun untuk memperoleh
data-data hidrologi. Dalam kondisi yang demikian maka cara yang
dapat dilakukan untuk menetapkan debit banjir-rencana biasanya
dengan menggunakan tanda-tanda banjir yang pernah terjadi.
II. Kriteria Desain Data Hidrologi
Dalam proses analisa hidrologi khususnya untuk perencanaan bangunan
air mutlak diperlukan data hidrologi sebagai parameter desain. Data
hidrologi yang tersedia juga harus memenuhi syarat desain artinya sudah
memenuhi standar yang disyaratkan untuk setiap analisa yang akan
dilakukan. Syarat desain yang digunakan yaitu mengacu pada Buku
Panduan Perencanaan Bendungan Urugan dari Direktorat Jenderal
Pengairan/Direktorat Jenderal Pengembangan Perdesaan/Direktorat
Jenderal Sumber Daya Air. Secara detail desain kriteria untuk ketersediaan
data hidrologi adalah sebagai berikut :

Tabel 4. 1 Data Hidrologi Yang Diperlukan


Parameter Desain Jenis Dan Panjang Data Metoda Yang Digunakan
1. Ketersediaan Air - Debit bulanan atau Langsung simulasi neraca
harian > 10 th air waduk

BAB IV – halaman : 23
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Parameter Desain Jenis Dan Panjang Data Metoda Yang Digunakan


- Debit bulanan atau Model hubungan hujan dan
harian < 10 th debit
Parameter Desain Jenis Dan Panjang Data Metoda Yang Digunakan

- Debit bulan atau Analisis Wilayah


harian tidak ada
2. Banjir Desain 2 ~ - Debit banjir > 20 th Analisis frekuensi (Debit
1000 banjir puncak untuk desain
bangunan pengelak)

3. Banjir - Curah hujan harian - Analisis frekuensi curah


Maksimum maksimum > 20 th hujan
Boleh Jadi - Karakteristik DPS - Unit hidrograf sintetik
(BMB/PMF)
- Curah hujan harian - Analisis regional
maksimum 10 ~ 20 th
4. Curah Hujan - Curah hujan (harian - Storm maximization
Maksimum maksimum tahunan) > - Storm transposition
Boleh Jadi 20 tahun - Metode Statistik
(CMB/PMP)
- Curah hujan harian - Analisis Regional
maksimum < 20 tahun
Sumber : Buku Pedoman, Volume II – Analisis Hidrologi

III. Kalibrasi Data Hidrologi


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam mendeskripsikan
karakteristik hidrologi suatu wilayah lebih didominasi oleh faktor alam
sehingga banyak sekali asumsi teknis yang digunakan untuk justifikasi
hasil analisa. Oleh sebab itu kebenaran dari data-data tersebut harus
terlebih dahulu dikalibrasi, baik dengan cara membanding-bandingkan
dengan data-data lainnya, ataupun dengan mengadakan analisa-analisa
perhitungan empiris dan jika perlu dengan melakukan peninjauan
setempat.
IV. Analisa Curah Hujan Rencana
Proses perhitungan dan analisa curah hujan rencana dilakukan melalui
beberapa tahapan yang dijelaskan pada sub bab di bawah ini.
(1) Uji Konsistensi Data
Sebelum data hujan dipakai terlebih dahulu harus melewati pengujian
untuk kekonsistenan data tersebut. Metode yang digunakan adalah
metode RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) (Buishand,1982).

BAB IV – halaman : 24
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Pengujian konsistensi dengan menggunakan data dari stasiun itu sendiri


yaitu pengujian dengan komulatif penyimpangan terhadap nilai rata-
rata dibagi dengan akar komulatif rerata penyimpangan kuadrat
terhadap nilai reratanya, lebih jelas lagi bisa dilihat pada rumus
dibawah:

S 0  0
k
Sk   Yi Y dengan k = 1,2,3,...,n
i 1
n

 Y  Y
2
 i
S i 1
S
k 
k
D 2y 
Dy n
nilai statistik Q dan R

Q= maks  S k  ; 0 k  n
R= maks S 
k - min S k
0kn 0kn
Dengan melihat nilai statistik diatas maka dapat dicari nilai Q/n dan
R/n. Hasil yang di dapat dibandingkan dengan nilai Q/n syarat dan
R/n syarat, jika lebih kecil maka data masih dalam batasan konsisten.

Tabel 4. 2 Nilai Q/n0.5 dan R/n0.5


Q/n0.5 R/n0.5
n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38
20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60
30 1.12 1.24 1.48 1.40 1.50 1.70
40 1.31 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78
100 1.17 1.29 1.55 1.50 1.62 1.85
Sumber: Sri Harto, 18; 1983

(2) Pemilihan Metode Perhitungan Curah Hujan Rencana


Pada daerah studi, pemilihan metode perhitungan hujan rancangan
ditetapkan berdasarkan parameter dasar statistiknya. Berikut
perhitungan parameter dasar statistik, sebagai berikut :
Nilai Rata-Rata
n

X
i =1
i

X=
n
dengan :
X= nilai rata-rata
Xi = nilai varian ke i
n = banyaknya data

BAB IV – halaman : 25
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Standar Deviasi

 X 
n
2
i -X
i=l
Sd =
n -1
dengan:
Sd = standar deviasi
X = nilai rata-rata
Xi = nilai varian ke i
n = banyaknya data
Koefisien Skewness
n
n

(n -1) (n - 2) i = l
(Xi - X) 3
Cs =
Sd 3
dengan :
Cs = Koefisien Skewness
Sd = Standar Deviasi
X = Nilai Rata-Rata
Xi = Nilai Varian ke i
n = Banyaknya Data
Koefisien Kurtosis
n
n2  Xi - X4
i=l
Ck =
(n - 1) (n - 2) (n - 3) Sd 4

dengan :
Ck = Koeffisien Kortusis
Sd = Standar Deviasi
X = Nilai Rata-Rata
Xi = Nilai Varian ke i
n = Banyaknya Data
Untuk menentukan metode yang sesuai, maka terlebih dahulu harus
dihitung besarnya parameter statistik yaitu koefisien kemencengan
(skewness) atau Cs, dan koefisien kepuncakan (kurtosis) atau Ck.
Persyaratan statistik dari beberapa distribusi, sebagai berikut :
Distribusi Normal
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama
dengan nol (Cs  0 atau -0.05 < Cs < 0.05) dengan nilai kurtosis (Ck) =
2.7 < Cs < 3.0.
Distribusi Gumbel
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetisnya (skewness) Cs  1,1396 dan
nilai kurtosisnya Ck  5,4002.
Distribusi Log Pearson Tipe III
Tidak mempunyai sifat khas yang dapat dipergunakan untuk
memperkirakan jenis distribusi ini.

BAB IV – halaman : 26
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Tabel 4. 3 Syarat Pengujian Agihan Data Untuk Menggunakan Distribusi


Frekuensi
Distribusi Normal Distribusi Gumbel
- 0.05 < Cs < 0.05 Cs > 1.1395 Distribusi Log Pearson
2.7 < Ck < 3.3 Ck > 5.4

- 0.05 < Cs < 0.05 0.998 < 1.1395 tidak ada batasan
tidak memenuhi tidak memenuhi memenuhi

2.7 < Ck < 3.3 3.701 < 5.4 tidak ada batasan
tidak memenuhi tidak memenuhi memenuhi
Sumber : Harto, 1993:245

(3) Metode Log Pearson Type III


Persamaan distribusi Log Pearson Tipe III, adalah sebagai berikut (C.D.
Soemarto, 1987 : 243) :
Mengubah data hujan sebanyak n buah X1, X2, .... Xi menjadi log X1, X2,
..... log Xi.

Nilai Rata – rata :


n

 Log X
i=l
i

Log X =
n

Standar Deviasi :

 log X 
n
2
i  log X
Sd  i 1

n 1

Koefisien Skewness :
n
n  ( log X - log X i )3
i= l
Cs =
(n - 1) (n - 2) . ( Sd ') 3
dengan :
Log X = nilai rata-rata
Log Xi = nilai varian ke i
n = banyaknya data
Sd = standar deviasi
Cs = koefisien Skewness
Sehingga nilai X bagi setiap tingkat probabilitas dapat dihitung dari
persamaan:
Log Xt = log X + G . Sd
Distribusi frekuensi kumulatip akan tergambar sebagai garis lurus pada
kertas log-normal jika koefisien asimetri Cs = 0.
Harga-harga G dapat diambil dari tabel hubungan antara koefisien
skewness dengan kala ulang. Nilai Xt didapat dari anti log dari log Xt.

BAB IV – halaman : 27
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

(4) Pemeriksaan Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi


Pemeriksaan uji kesesuaian distribusi ini dimaksudkan untuk
mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi frekwensi. Dengan
pemeriksaan uji ini akan diketahui :
a. Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang
diharapkan atau yang diperoleh secara teoritis.
b. Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak).
Uji Horisontal Smirnov – Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut uji
kecocokan non parametrik (non parametrik test), karena
pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu, maka
uji ini digunakan pada daerah studi.
Prosedurnya adalah :
a) Data curah hujan maksimum harian rerata tiap tahun disusun
dari besar ke kecil
b) Probabilitas dihitung dengan persamaan Weibull sebagai
berikut :

100 m
P =  (%)
n+1
dengan :
P = Probabilitas (%)
M = nomor urut data dari seri yang telah disusun
N = banyaknya data
c) Plot distribusi empiris maupun distribusi teoritis pada kertas grafik
probabilitas yang sesuai
d) Kemudian cari harga mutlak perbedaan maksimum antara distribusi
empiris (P empiris) dengan distribusi teoritis
(P teoritis) = Δ maksimum P teoritis – P empiris
Apabila nilai Δ ≤ Δ kritis sesuai harga kritis Smirnov - Kolmogorof
maka distribusi teoritisnya dapat diterima dan bila terjadi sebaliknya
maka distribusi teoritisnya tidak dapat diterima.
Uji Vertikal dengan Chi Square
Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal
apakah distribusi pengamatan dapat diterima oleh distribusi teoritis.
Perhitungannya dengan menggunakan persamaan (Shahin, 1976 : 186) :
K
(EF  OF)2
(X 2 ) Hit  
i 1 EF
n
EF 
K
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus (Harto, 181 : 80) :
K = 1 + 3,22 log n

BAB IV – halaman : 28
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dengan :
OF = nilai yang diamati (observed frequency)
EF = nilai yang diharapkan (expected frequency)
k = jumlah kelas distribusi
n = banyaknya data
Urutan pemeriksaan kesesuaian distribusi ini adalah sebagai berikut :
a) Data pengamatan diurutkan dari nilai terbesar ke nilai terkecil atau
sebaliknya
b) Data pengamatan dikelompokkan menjadi beberapa kelas interval
”k”
c) Mencatat setiap frekuensi data pengamatan pada setiap kelas interval
d) Menghitung frekuensi kejadian yang diharapkan ”e”
e) Menghitung nilai X2
f) Menetapkan nilai derajad kebebasan Dk
g) Menetapkan besar tingkat kepercayaan (confidence level, misal 95%)
h) Mencari X2 kritis dari tabel harga kritis Chi – Square
i) Membandingkan X2 hitungan dengan X2 kritis,
bila X2 hitungan < X2 kritis, berarti metode distribusi yang diperiksa
dapat diterima.

Tabel 4. 4 Nilai Kritis untuk uji Smirnov Kolmogorof



N
0.2 0.1 0.05 0.01
5 0.45 0.51 0.56 0.67
10 0.32 0.37 0.41 0.49
15 0.27 0.30 0.34 0.40
20 0.23 0.26 0.29 0.36
25 0.21 0.24 0.27 0.32
30 0.19 0.22 0.24 0.29
35 0.18 0.20 0.23 0.27
40 0.17 0.19 0.21 0.25
45 0.16 0.18 0.2 0.24
50 0.15 0.17 0.19 0.23
N>50 1,07/(N0,5) 1,22/(N0,5) 1,36/(N0,5) 1,63/(N0,5)

Sumber : Bonnier dalam Soewarno, 1995:199

BAB IV – halaman : 29
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Tabel 4. 5 Nilai Kritis untuk Uji Chi Square


dk  derajat kepercayaan
0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005
1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879
2 0.0100 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.210 10.597
3 0.0717 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838
4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277 14.860
5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.750

6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548


7 0.989 1.239 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.278
8 1.344 1.646 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.955
9 1.735 2.088 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589
10 2.156 2.558 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188

11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.920 24.725 26.757


12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.217 28.300
13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.819
14 4.075 4.660 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319
15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.801

16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.845 32.000 34.267


17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.718
18 6.265 7.015 8.231 9.390 28.869 31.526 34.805 37.156
19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.582
20 7.434 8.260 9.591 10.851 31.410 34.170 37.566 39.997

21 8.034 8.897 10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401


22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.796
23 9.260 10.196 11.689 13.091 36.172 38.076 41.638 44.181
24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.980 45.558
25 10.520 11.524 13.120 14.611 37.652 40.646 44.314 46.928

26 11.160 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642 48.290


27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.963 49.645
28 12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 50.993
29 13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.588 52.336
30 13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 50.892 53.672

V. Perhitungan Debit Banjir (Run Off)


Aliran permukaan (surface run off) adalah bagian dari hujan yang mengalir
dipermukaan tanah selama dan setelah hujan. Air hujan yang jatuh ke
bumi sebagian akibat akan meresap ke dalam tanah dan sebagian lagi
mengalir dipermukaan tanah. Aliran inilah yang disebut dengan aliran
permukaan itu.
Dalam studi ini konsultan menganalisis debit banjir rancangan dengan
metode sebagai berikut :
1. Metode HSS Nakayasu
2. Metode HSS Gama-1
3. Metode SCS with Curve Number
Verifikasi dilakukan dengan menganalisis volume air yang diterima
oleh keseluruhan DAS dengan memperhitungan hujan satuan yang
diterima pada tiap satuan luas pada DAS tersebut.

VI. Parameter Debit Banjir


1. Distribusi Hujan
Untuk mentransformasi curah hujan rancangan menjadi debit banjir
rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan
yang tersedia pada suatu stasiun meteorologi adalah data hujan harian,

BAB IV – halaman : 30
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

artinya data yang tercatat secara kumulatif selama 24 jam. Sebaran hujan
di Indonesia berkisar antara 6 – 12 jam. Frekuensi sebaran hujan yang
sering terjadi di Indonesia adalah 7 jam.
2. Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada
kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh didaerah
tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah :
 Keadaan hujan
 Luas dan bentuk daerah aliran
 Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
 Daya infiltrasi dan perlokasi tanah
 Kebasahan tanah
 Suhu udara dan angin serta evaporasi dan
 Tata guna tanah.
Koefisien pengaliran seperti yang disajikan pada tabel berikut,
didasarkan dengan suatu pertimbangan bahwa koefisien tersebut sangat
tergantung pada faktor-faktor fisik. Kemudian Dr. Kawakami
menyusun sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk sungai-
sungai tertentu, koefisien itu tidak tetap, tetapi berbeda-beda tergantung
dari curah hujan.
R'
f = 1 - ─── = 1 - f'
Rt
dimana :
f = koefisien pengaliran
f' = laju kehilangan = R’/Rst
Rt = jumlah curah hujan (mm)
R' = kehilangan curah hujan
s = tetapan
Berdasarkan jabaran rumus tersebut diatas, maka tetapan nilai koefisien
pengaliran, seperti terlihat pada tabel dibawah
Tabel 4. 6 Angka Tetapan Pengaliran Daerah Aliran Sungai
Kondisi DAS Angka Pengaliran
Pegunungan curam 0,75 - 0,90
Pegunungan Tersier 0,70 - 0,80
Tanah berelief berat dan berhutan kayu 0,50 - 0,75
Dataran pertanian 0,45 - 0,60
Dataran sawah baku 0,70 - 0,80
Sungai dipegunungan 0,75 - 0,85
Sungai di dataran rendah 0,45 - 0,75
Sungai besar yang sebagian alirannya berada di
0,50 - 0,75
dataran rendah
Sumber: (Hidrologi Teknik, CD. Soemarto)

BAB IV – halaman : 31
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Tabel 4. 7 Koefisien Limpasan (Koefisien Pengaliran)


Daerah Kondisi Sungai Curah Hujan Koefisien Pengaliran
Hulu f = 1 - 15,7/Rt^(3/4)
Tengah sungai biasa f = 1 - 5,65/Rt^(3/4)
Tengah sungai di zone f = 1 - 7,2/Rt^(3/4)
lava
Tengah Rt > 200 mm f = 1 - 3,14/Rt^(3/4)
Hilir Rt < 200 mm f = 1 - 6,6/Rt^(3/4)

3. Hujan Netto (Efektif)


Hujan netto adalah bagian hujan total yang menghasilkan limpasan
langsung (direct run-off). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan
permukaan (surface run-off) dan interflow (air yang masuk ke dalam
lapisan tipis dibawah permukaan tanah dengan permeabilitas rendah,
yang keluar lagi ditempat yang lebih rendah dan berubah menjadi
limpasan permukaan). Dengan menganggap bahwa proses tranformasi
hujan menjadi limpasan langsung mengikuti proses linier dan tidak
berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai
berikut :
Rn = C x R
dengan:
Rn = hujan netto (efektif)
C = koefisien limpasan
R = intensitas curah hujan

VII. Hidrograf Satuan Sintetik


Ada beberapa jenis hidrograf satuan yang lazim digunakan antara lain
metode SCS, Gama, Nakayasu, Snyder dan Clark. Didalam SK-SNI-18-
1989-F disarankan untuk menggunakan metode SCS dan Gama I. Untuk
analisa ini pihak Konsultan melakukannya dengan menggunakan 3 (tiga)
metode yaitu Metode HSS Nakayasu, HSS SCS dan HSS Gamma I. Dari
beberapa alternatif metode tersebut nantinya metode yang menghasilkan
debit puncak terbesar yang digunakan sebagai debit banjir desain.
a) Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Untuk menentukan hidrograf satuan daerah pengaliran sungai yang
tidak terpasang stasiun AWLR (Automatik Water Level Recorder), dapat
digunakan hidrograf sintetis “Nakayasu” (buku hidrologi untuk
pengairan).
Parameter yang mempengaruhi unit hidrograf adalah :
1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf
(time to peak magnitude).

BAB IV – halaman : 32
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

2. Tenggang waktu dari titik berat sampai titik berat hidrograf (time
lag).
3. Tenggang waktu hidrograf (time base of hydrograph)
4. Luas daerah pengaliran
5. Panjang alur sungai utama terpanjang (length of the longest channel).
Nakayasu dari Jepang telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa
sungai di Jepang. Ia membuat rumus satuan sintetis dari hasil
penyelidikannya. Rumus yang dihasilkannya adalah sebagai berikut
(Soemarto, 1999: 100):
A.R0
Qp 
3,6.(0,3.Tp  T0,3 )
dengan :
Qp = Debit puncak banjir (m3/det)
Ro = Hujan satuan (mm)
Tp = Tenggang waktu permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari puncak
sampai 30% dari debit puncak
A = Luas daerah pengaliran sampai outlet
Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai
berikut :
Tp = tg + 0,8 tr
T0,3 =  tg
T r = 0,5 tg sampai tg
tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir
(jam). tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
- Sungai dengan panjang alur L  15 km : tg = 0,4 + 0,058 L
- Sungai dengan panjang alur L  15 km : tg =0,21 L0,7
dengan :
tr = Satuan Waktu hujan (jam)
 = Parameter hidrograf, untuk
 = 2 (Pada daerah pengaliran biasa)
 = 1,5 (Pada bagian naik hydrograf lambat, dan turun cepat)
 = 3 (Pada bagian naik hydrograf cepat, turun lambat)

BAB IV – halaman : 33
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

i
tr

tg
0.8 tr

(m3/dt/mm)
Lengkung Naik

Q Qp Lengkung Turun

0,32Qp
0,3.Qp

t (jam)

Tp T0,3 1,5T0,3

Gambar 4. 11 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu


Sumber : Soemarto, 1999 : 102

1. Pada waktu naik : 0 < t < Tp


t 2 ,4
Qp  ( ) Qp
Tp
dengan :
Q(t) = Limpasan sebelum mencari debit puncak (m3)
T = Waktu (jam)
2. Pada kurva turun (decreasing limb)
a. Selang nilai : 0  t  (Tp+T0,3)
( t  Tp)
T 0 ,3
Q( t )  Qp . 0,3
b. Selang nilai :
(Tp+T0,3)  t  (Tp+T0,3+1,5T0,3)
( t  T p  0,5 T 0 ,3 )
1,5T0 ,3
Q(t )  Qp  0,3
c. Selang nilai : t > (Tp + T0,3 + 1,5 T0,3)
 t Tp 1,5T0 , 3 
 
 2, 0.T 
Q(t) = Qp . 0,3  0,3 

Hidrograf banjir dihitung dengan persamaan sebagai berikut :


n
Qk  U
i 1
i . Pn  (i 1)

dengan :
Qk = Debit Banjir pada jam ke - k
Ui = Ordinat hidrograf satuan (I = 1, 2, 3 ...... .n)
Pn = Hujan netto dalam waktu yang berurutan (n = 1,2,..n)
Bf =Aliran dasar (base flow)

BAB IV – halaman : 34
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Sebagai kontrol untuk hidrograf satuan sintetis Nakayasu, nilai total


volume tampungan hidrograf dibanding luas daerah pengaliran yang
menghasilkan hujan netto dengan nilai sama dengan 1 (satu).
Persamaan control hidrograf adalah sebagai berikut:
n
 Qn1  Qn 
 V   
n 1 2
.t

Ro 
 V
1
A
dengan :
∑∆V = total volume tampungan hidrograf satuan (m3)
Qn, Qn+1 = unit hidrograf satuan (n = 1,2,..n) (m3/dt)
∆t = interval waktu unit hidrograf (dt)
Ro = hujan netto (mm)
A = luas daerah pengaliran (km2)
b) Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I
Dalam metode ini dibutuhkan parameter-parameter DPS sebagai data
masukannya. Parameter-parameter tersebut dapat diukur dengan
mudah dari peta topografi yang merupakan parameter DPS yang secara
hidrologi mudah dijelaskan pengaruhnya terhadap hidrograf.
Tabel 4. 8 Parameter Hidrograf Satuan GAMA – 1
No Parameter Satuan
1 Jumlah pangsa sungai tingkat 1
2 Jumlah pangsa sungai semua tingkat
3 Panjang pangsa sungai tingkat 1 km
4 Panjang pangsa sungai semua tingkat km
5 Jumlah pertemuan sungai (JN)
6 Luas Daerah Tangkapan Air (A) km2
7 Luas DTA hulu (AU) km2
8 Panjang sungai utama (L) km
9 0.75 L km
10 0.25 L km
11 Kemiringan sungai rata-rata (S)
12 Faktor sumber (SF)
13 Frekuensi sumber (SN)
14 Kerapatan jaringan kuras (D) km/km2
15 B. 0.75 L (Wu) km
16 B. 0.25 L (WI) km
17 Faktor lebar (WF)
18 Perbandingan AU dan A (RUA)
19 RUA x WF = SIM

BAB IV – halaman : 35
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetis Gama I :


1. Waktu Puncak
TR = 0,43 (L / 100. SF)3 + 1,0665 SIM + 1,2775
2. Debit Puncak
QP = 0,1836 A0,5886 JN0,2381 TR-0.4008
3. Waktu Dasar
TB = 27,4132 TR0,1457 S-0,0956 SN0,7344 RUA0,2574
4. Koefisien Tampungan
K = 0,5617 A0.1798 S-0.1446 SF-1.0897 D0.0452
5. Phi Indeks (F)
F = 10,4903 - 3,859.10-6 . A2 + 1,6985 . 10-13 (A/SN)4
6. Base Flow
QB = 0,4751. A0,6444 . D0,943
7. Kurva naik (0<t<tp)
Qt=t*(Qp/Tr)
8. Kurva turun (tp<t<tr)
Qt=Qp*(exp^(-(t-tr)/k))

B. Analisa Hidrolika
I. Pengertian Penelusuran Banjir (Flood Routing)
Penelusuran banjir adalah metode peramalan besarnya debit banjir
(hidrograf) pada suatu titik (ruas), melalui alur tampungan (waduk) atau
melalui alur sungai yang diperoleh dari hasil pengukuran besarnya debit
banjir (hidrograf) dari titik (ruas) lainnya.
Sebagai ilustrasi pemahaman tentang penelusuran banjir, digambarkan di
bawah ini

W B

L=20

Gambar 4. 12 Ilustrasi Titik – Titik Pengukuran Debit Sungai

Keterangan gambar:
A = Titik pengukuran debit masukan pada hulu sungai
W = Waduk
B = Titik pengukuran debit keluaran pada hilir sungai
L = Jarak titik A dan titik B (= 20Km)

BAB IV – halaman : 36
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

80
70
60

Debit (m3/det)
50
40 Inflow Pengukuran

30 Outflow hitungan

20 Outflow Pengukuran
10
0
0 5 10 15 20
Waktu (Jam)

Gambar 4. 13 Ilustrasi Hidrograf Hasil Penelusuran Banjir Melalui


Sungai

II. Kegunaan (manfaat) Penelusuran Banjir (Flood Routing)


Manfaat penelusuran banjir, menurut Sumarto (1987) adalah:
1. Peramalan banjir jangka pendek.
2. Perhitungan hidrograf satuan pada berbagai titik sepanjang sungai dari
hidrograf satuan di sungai tersebut.
3. Peramalan terhadap kelakuan sungai setelah terjadi perubahan keadaan
palung sungai (misalnya karena adanya pembangunan bendungan atau
pembuatan tanggul).
4. Derivasi hidrograf sintetik.
III. Penelusuran Banjir Melalui Sungai
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa penelusuran banjir dapat dilakukan
melalui waduk atau sungai. Penelusuran hidrograf banjir melewati waduk
dengan keluaran air dari waduk berupa buangan air melalui bangunan
pelimpah adalah salah satu aspek hidrologi dan hidrolika yang penting.
Rumus dasar yang digunakan adalah rumus kontinuitas yang mengatakan
bahwa perubahan volume air tampungan pada waduk sama dengan selisih
antara inflow (masukan) dan outflow (keluaran). Pada tulisan ini
penelusuran banjir lewat waduk tidak dibahas secara rinci. Pembahasan
dititik beratkan pada penelusuran banjir lewat sungai.
Sungai merupakan suatu aliran terbuka dengan ukuran geometri berubah
dengan waktu, tergantung pada debit, material dasar dan tebing, serta
jumlah dan jenis sedimen yang terangkut oleh aliran. Pengaruh debit dan
angkutan sedimen yang tidak selalu tetap dapat mengakibatkan sedimen
transpor berhenti. Hal tersebut terjadi sepanjang alur sungai, akhirnya
erosi dan endapan dapat mempengaruhi morphologi sungai dan perlahan-
lahan berpengaruh pada kestabilan sistem. Perubahan geometri sungai
sangat berpengaruh pada hidrolika aliran dan selanjutnya dapat
mengganggu bangunan-bangunan yang ada di sungai.
Penelusuran banjir di sungai serta penerapan metode tertentu untuk
menganalisis banjir, terkadang memiliki hasil yang tidak sama. Hal ini

BAB IV – halaman : 37
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

disebabkan setiap metode mempunyai asumsi yang berbeda, namun yang


paling penting adalah dilakukannya kalibrasi untuk setiap metode
penelusuran banjir agar metode tersebut dapat digunakan dengan akurat.
IV. Metode Penelusuran Banjir Melalui Sungai
4.1 Metode Muskingum
Metode-metode penelusuran banjir yang mengacu pada prinsip hidrologi
hanya didasarkan pada persamaan kontinuitas, metode ini mengabaikan
pengaruh dinamik pada suatu gelombang banjir. Oleh karena itu metode
penelusuran banjir yang didasarkan prinsip hidrolika lebih baik hasilnya.
Analisis Cunge (1969) menunjukkan, bahwa penelusuran Muskingum yang
berdasarkan prinsip hidrologi, merupakan suatu teknik penelusuran
tampungan yang bisa ditingkatkan untuk melibatkan pengaruh dinamik
sampai tingkat tertentu dengan pemilihan parameter-parameter yang tepat.
Penelusuran aliran sungai yang telah dikembangkan oleh metode
Muskingum diperoleh hasil yang cukup baik. Namun dalam menentukan
parameter penelusurannya diperlukan data hidrgograf masukan dan
keluaran. Cunge mengembangkan metode ini, sehingga dalam
menentukan parameter penelusurannya hanya dibutuhkan satu data
hidrograf aliran di hulu. Dengan melakukan penelusuran model
Muskingum-Cunge non linier, dan menetapkan nilai parameter
penelusuran yang berubah menurut besarnya debit masukan,
menunjukkan bahwa debit maksimum keluaran dengan nilai parameter
penelusuran yang konstan dan penelusuran non linier kenaikan
hidrografnya nampak lebih terjal dan penurunannya lebih landai.
Seperti telah disebutkan, bahwa metode-metode tersebut hanya didasarkan
pada pertimbangan kontinuitas yang menyamakan tingkat perubahan
tampungan, dengan perbedaan antara debit masuk dan debit keluar di
daerah palung sungai yang ditinjau, sehingga persamaan dasarnya adalah:
ds
 Qi  Q0  Q1 .......................................................................... (B2-1)
dt
dengan:
Qi = Debit yang masuk ke dalam permulaan bagian memanjang
palung sungai yang ditinjau (m3/det)
Q0 = Debit yang keluar dari akhir bagian memanjang palung sungai
yang ditinjau (m3/det)
Q1 = Debit menyamping (akibat aliran menyamping/lateral flow),
(m3/det)

Persamaan B2-1 tampak sederhana, tetapi sulit untuk dipecahkan, dalam


perencanaan tersebut ada dua bilangan yang tidak diketahui, yakni Q0 dan
S (karena dalam masalah penelusuran banjir, aliran masuk Q1 dan Q2
diharapkan diketahui). Oleh karena itu aliran keluar Qo merupakan
variabel yang harus dipecahkan dengan persamaan differensial tersebut,
dan S harus diganti dengan meyatakan sebagai fungsi dari variable-

BAB IV – halaman : 38
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

variabel yang diketahui. Ini akan memungkinkan dicapainya suatu


pemecahan untuk debit keluar (outflow), apabila debit masuk (inflow)
diketahui.
Penelusuran banjir metode Muskingum hanya berlaku pada kondisi
sebagai berikut:
1. Tidak ada anak sungai yang masuk kedalam bagian memanjang
palung sungai yang ditinjau.
2. Penambahan atau kehilangan air oleh curah hujan, aliran masuk dan
evaporasi, kesemuanya diabaikan.
Untuk merumuskan persamaan kontinuitas, waktu (t) harus dibagi
menjadi periode (∆t) yang lebih kecil, yang dinamakan periode
penelusuran (routing period). Periode penelusuran ini harus dibuat lebih
kecil dari waktu tempuh dalam bagian memanjang sungai, sehingga
selama periode penelusuran ∆t, puncak banjir tidak dapat menutupi bagian
memanjang sungai secara menyeluruh.
Parameter Muskingum ialah koefisien tampungan (K) dan parameter berat
relatif (X). Dalam analisis penelusuran banjir metode Muskingum
dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Menggunakan K dan X yang diperboleh secara konvensional dengan
menarik kurva versus aliran yang berhimpitan.
2. Menghitung K dan X menggunakan persamaan (4.7 ) dan (4.9).
3. Menghitung nilai K dan X seperti cara ke dua dengan persyaratan
mengijinkan nilai tersebut berubah menurut debit.

4.2 Metode Muskingum Konvensional (MK)


Metode ini dikembangkan oleh G.T.M.C Carty dan pakar lainnya
sehubungan dengan kajian mengenai proyek Pengendalian Banjir Daerah
Muskingum oleh U.S. Army Corp of Enggineer pada tahun 1934-1935.
Metode ini meliputi konsep tampungan yang berbentuk prisma dan segi
tiga (Wedge) seperti pada gambar di bawah: (R.S. Varshey,1979).
Tampun
Tampun gan Tampun
gan gan

Tampun
Tampun
Tampun gan
gan
gan

Dasar Sungai
Gambar 4. 14 Profil Muka Air Selama Lewatnya Suatu Gelombang
Banjir

BAB IV – halaman : 39
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Volume tampungan dapat dihubungkan secara tepat dengan aliran


masuk dan keluar dengan sebuah persamaan linier yang sederhana,
apabila aliran masuk dan keluar besarnya sama ,maka akan terjadi
aliran tetap. Selama bergeraknya banjir, aliran masuk akan melebihi
aliran keluar, sehingga membentuk tampungan berupa baji, dan disebut
tampungan baji (Wedge Storage). Sebaliknya, selama pengosongan,
aliran keluar melebihi aliran masuk yang menyebabkan terbentuknya
tampungan baji negatif. Segitiga itu bisa dihubungkan dengan
perbedaan antara nilai seketika aliran masuk dan keluar, . pada gambar
tampungan segitiga bisa dinyatakan dengan K x (Qi – Qo). Sebagai
tambahan, tampungan yang berbentuk prisma, atau tampungan
prismatik, dinyatakan oleh K.Qo. Tampungan total adalah:

S = k.Qo + K.X(Qi-Qo)
Atau
S = K[X.Qi+(1-X)Qo] .......................................................... (B2-2)

dengan:
S = Besarnya tampungan (storage) dalam bagian memanjang palung
sungai yang ditinjau (m3)
K = Konstanta tampungan yaitu rasio tampungan terhadap debit
(detik,jam)
X = Faktor berat relatif (penimbang) yang nilainya berada antara 0 dan
0,50 (tidak berdimensi).
K dan X ditentukan oleh hidrograf debit masuk dan debit keluar yang
masing-masing diamati pada saat yang bersamaan, sehingga hanya
berlaku untuk bagian memanjang palung sungai yang ditinjau. Faktor X
merupakan faktor penimbang (Weight) yang besarnya berkisar antara 0
dan 1, biasanya lebih kecil dari 0,5 dan dalam banyak hal besarnya kira-
kira sama dengan 0,3 serta tidak berdimensi.
Akumulasi dari S dan X.Qi + (1-X) Qo yang dihitung, kemudian
diplotkan dan biasanya menghasilkan kurva-kurva yang berbentuk
berbelok-belok (loop). Dari berbagai nilai X, nilai X yang terbaik ialah
yang menyebabkan datanya tergambar paling mendekati suatu kurve
yang bernilai tunggal atau garis lurus. Metode Muskingum
menganggap bahwa kurve ini berupa garis lurus yang bergradien K.
S
K=
X.Qi  (1  X)Qo
Sesudah mengetahui nilai K dan X, penelusuran dilakukan dengan
empat titik kisi (grids points) pada bidang (X,t) seperti gambar 4.3.
Persamaan penelusuran yang digunakan dalam metode Muskingum
bisa dinyatakan sebagai berikut:
QiJ+1 + 1 = Co.QiJ + C1QiJ+1+ C2QiJ+1+1+C3

BAB IV – halaman : 40
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

atau
QJn+1 + 1 = Co.Qin + C1QJn+1+ C2Qin + 1 + QL ........................ (4.3)
dengan :
QiJ = Aliran masuk (inflow) pada permulaan waktu ∆t (m3/dt)
QiJ+1 = Aliran masuk (inflow) pada akhir waktu ∆t (m3/dt)
Q i+1
J = Aliran keluar (outflow) pada permulaan waktu ∆t (m3/dt)
QJ+1i+1 = Aliran keluar (Outflow) pada akhir waktu ∆t (m3/dt)
C0,C1,dan C2 = Konstanta (tidak berdimensi)
C3 = Konstanta (m3/det) yaitu akibat aliran menyamping
(lateral flow).
Semua konstanta C dihitung dari nilai-nilai X, K, ∆t, sebagai berikut:
K.X  0,5t
C0 = 
K  K.X  0,5t
K.X  0,5t
C1 =
K  K.X  0,5t
K  K.X  0,5t
C2 = ...................................... (B2-4)
K  K.X  0,5t
C0 + C1 + C2 = 1
dengan:
∆t = Periode penelusuran (detik atau jam)
X = Panjang jangkauan dari palung sungai yang ditinjau (m)
K = Konstanta tampungan yaitu rasio tampungan terhadap debit
(detik.jam).

BAB IV – halaman : 41
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Mulai

DATA
DEBIT INFLOW

MENGHITUNG NILAI AKUMULASI TAMPUNGAN


S = (Qi - Qo) X ∆t

COBA x

HITUNG DEBIT (Q)


Q = X.Q 1 + (1 - X)Qo

Grafik Hubungan S&Y

Y = XI+(1-X)Q

K = tgө = S/XI+(1-X)Q

K.X - 0,5∆t
C0 = -
K - K.X+0,5∆t
K.X + 0,5∆t
C1 =
K - K.X+0,5∆t
K - X.X - 0,5∆t
C2 =
K - K.X + 0,5∆t
Co + C1 + C2 = 1

PENELUSURAN DEBIT BANJIR


Qi J+ +1 = Co.Qi J+C1.Qi J+ +C2.Qi J+ +1+C3
atau
Qj n+ +1=Co.Qi n +C1.Qi n +C1Qj n+ +C2Qi n +1+ QL

GAMBAR HIDROGRAF

SELESAI

Gambar 4. 15 Bagan Alir Proses Penelusuran Banjir Metode Muskingum Konvensional


(MK)

BAB IV – halaman : 42
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

4.3 Metode Muskingum Parameter Konstan (MPK)


Metode Muskingum pada dasarnya menganggap bahwa hubungan
tahapan debit (stage discharge) adalah satu ke satu (one to one). Anggapan
seperti ini memungkinkan gelombang banjir melewati daerah jangkauan
sebagaimana adanya dan tidak boleh ada pengurangan aliran puncak,
tetapi metode Muskingum ternyata memberikan pengurangan
gelombang.
Cunge (1969), menjelaskan kontradiksi ini dengan menyanggah bahwa
rumus Muskingum bisa diturunkan secara langsung dari satu pola beda
hingga (finite difference) yang menggantikan differensial parsial dalam
persamaan asalnya. Apabila S diganti dengan persamaan (B2-2.),
persamaan kontinuitas menjadi:
d d(Qo)
KX (Qi)  K(1  X)  Qi  Qo  q1 .......................(B2-5)
dt dt

Qi Qo
Tingkat Waktu J+3
∆t ∆X J+2
J+1
J

i i+1

Gambar 4. 16 Jaringan Segi Empat dari Titik-Titik untuk Metode


Muskingum Parameter Konstan

Sesuai dengan gambar maka persamaan (4.5) menjadi:


1 1
KX (Qi J 1  Q iJ )  K(1  X) (Q iJ 1  1  Q iJ  1)
Δt Δt
1
 (Q iJ 1  Q iJ  Q iJ 1  1  Q iJ  1)qe X (B2-6)
2
qe diabaikan dan menetapkan K sebagai berikut:
ΔX
K (B2-7)
Vw
Vw adalah rata-rata kecepatan banjir, menunjukkan bahwa persamaan
(4.6) juga merupakan gambaran selisih dari persamaan gelombang
kinematik.
Q Q
 Vw  0 (4.8)
t X

BAB IV – halaman : 43
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Persamaan (B2-6) sebagai pendekatan orde ke dua untuk persamaan


koneksi difusi linier, Cunge menurunkan parameter relatif sebagai
berikut:
1 q
X (1  )
2 So.Vw. Δo
atau
1 Q
X (1  ) (4.9)
2 So . Vw . ΔX . B
dengan:
∆X = Panjang jangkauan dari palung sungai yang ditinjau (m)
Vw = Kecepatan rata-rata gelombang banjir (m/det)
Q = Debit rata-rata maksimum (m3/det)
B = Lebar puncak rata-rata maksimum (m)
So = Kemiringan dasar palung sungai yang ditinjau
Cunge tidak hanya memberikan dasar teoritis ke rumus Muskingum,
tetapi juga mampu menentukan koefisien-koefisiennya dari
karakteristik sungai tersebut. Untuk memecahkan masalah penelusuran
banjir dengan metode Muskingum-Cunge, kecepatan gelombang banjir
harus didapatkan, dimana faktor ini berubah-ubah tidak hanya dengan
Q (detik), tetapi juga dengan penampang melintang dan bukan
merupakan konstanta. Dengan menganggap koefisien K sebagai
konstanta, maka untuk menentukan K adalah dengan merata-rata
kecepatan gelombang banjir maksimum di bagian hulu dan hilir dari
palung sungai yang ditinjau. Pendekatan yang sama untuk memilih Q
dan B untuk menghitung parameter relatif X, seperti rumus (B2-7) dan
(B2-9).
Setelah harga K dan X didapat maka harga-harga C dapat dihitung
dengan persamaan (B2-4) dan penelusuran banjir dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (B2-3).

4.4 Metode Muskingum Parameter Variabel (MPV)


Ponce dan Yevjevich menyajikan metode Muskingum-Cunge dengan
parameter variabel. Metode MPV merupakan suatu pendekatan yang
secara fisik lebih realistis dimana menganggap parameter K dan X
berubah-ubah dalam waktu dan ruang sesuai dengan variabilitas aliran.
(Victor Miguel Ponce, 1978).
Mengacu pada bidang perhitungan (computational cell), seperti pada
gambar 4.4 yang terdiri dari empat titik kisi (grid point), biasanya ∆t dan
∆X ditentukan, serta So ditetapkan untuk tiap bidang perhitungan,
karena itu perlu didapatkan kecepatan banjir (Vw) dan debit persatuan
lebar (q) untuk tiap bidang perhitungan. Nilai Vw dan q pada titik kisi
(i,j) ditentukan seperti pada persamaan 4.10.

BAB IV – halaman : 44
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dQ
Vw 
dA
i,J
Q
q ....................................................................... (4.10)
B
i,J

dengan:
Q = Debit (m3/det)
A = Luas aliran (m2)
B = Lebar puncak (m)


t


X
Gambar 4. 17 Bidang Perhitungan untuk Metode Muskingum
Parameter Variabel

Ponce dan Yevjevich menentukan Vw dan q dengan cara sebagai


berikut:
1. Langsung dengan mempergunakan rata-rata dua titik dari nilai di
titik-titik kisi (i,J) dan (i+1,J).
2. Langsung dengan mempergunakan rata-rata tiga titik dari nilai-nilai
di titik-titik kisi (i,J), (i+1,J) dan (i,J+1).
3. Dengan cara iterasi, mempergunakan perhitungan rata-rata empat
titik. Untuk meningkatkan konvergensi, nilai-nilai di (i+1, J+1) yang
diperoleh dengan metode rata-rata tiga titik dipergunakan sebagai
percobaan pertama iterasi.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan parameter variabel,
memperhitungkan ketidak linieran (non linierty) kejadian banjir dan
metode rata-rata dua titik memberikan puncak yang tidak hanya lebih
tetapi juga tercapai suatu beda waktu (time lag) yang lebih lama. Metode
rata-rata dua titik juga menunjukkan kehilangan massa yang cukup
besar.
Setelah harga K dan X didapat, maka untuk menghitung harga-harga C
menggunakan persamaan (B2-4). Untuk menghitung banjir
menggunakan perasamaan (B2-3).

BAB IV – halaman : 45
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

4.5 Metode Kinematik


Model kinematik didasarkan pada persamaan kontinuitas dan
persamaan dinamik pada kondisi aliran tetap (steady uniform).
Penjalaran gelombang banjir dengan model ini disebut gelombang
kinematik dan penelusuran banjir dengan metode ini disebut
penelusuran secara kinematik. Persamaan yang digunakan dalam
menelusuri banjir dengan metode kinematik seperti pada persamaan B2-
11.
Q A
  q ........................................................................... (B2-11)
X t
dengan;
A = Luas penampang basah (m2)
Q = Debit aliran (m3/det)
q = Debit aliran samping (m3/det)
X = Jarak sepanjang saluran (m)
t = Waktu (detik)
Persamaan momentum yang digunakan dalam aliran tetap adalah Q =
Qn. Qn adalah fungsi dari kedalaman aliran Y, dan A adalah luasan
penampang basah, dimana A juga merupakan kedalaman aliran, maka
dinyatakan dengan persamaan B2-12 sebagai berikut:
Q = Q(A) ........................................................................... (B2-12)
A = A(Q)
karena A dan Q adalah fungsi dari X dan t, maka persamaan B2-12
menjadi seperti persamaan B2-13:
Q = Q(x,t) ......................................................................... (B2-13)
A = A(x,t)
maka persamaan di atas dapat ditulis dengan dalil rantai sebagai
berikut:
A A Q Q dA
  ...................................................... (B2-14)
t Q t t dQ
dengan mendistribusikan persamaan B2-14 ke persamaan (B2-11) dan
dQ
dikalikan dengan maka diperoleh:
dA
Q dQ Q
  0 ................................................................. (B2-15)
t dA x
Q Q
c  0 ...................................................................... (B2-16)
t x
dengan :
dQ
c
dA

Model persamaan 4.16 di atas disebut persamaan kinematik, bahwa nilai


c mempunyai dimensi dan L/T menyatakan cepat rambat gelombang.

BAB IV – halaman : 46
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Persamaan 4.16 di atas merupakan persamaan diferensial parsial orde 1


dengan Q sebagai variabel tak bebas dan X,t variabel bebasnya. Hal ini
menjelaskan sebuah peristiwa pergerakan gelombang banjir yang
menyatakan sebagai Q. Jika c bernilai konstan, maka persamaan di atas
adalah menjadi linier. Penyelesaian persamaan linier ini dengan dalil
d’Alembret memberikan hasil sebagai berikut: Q = ∫(x-c.t)
Penyelesaian di atas diasumsikan bahwa turunan parsial dari f terhadap
x dan t ada nilainya. Pada saat t = 0, Q = f(x) adalah kondisi awal yang
menyatakan variasi debit Q terhadap jarak x. Penyelesaian pada saat t =
1 adalah f = (x – c.t1), dan pada saat t = 1 adalah f = (x – c.t2). Jika
diasumsikan gerakan pengpengukuran pada kecepatan c ke arah hilir
maka diperoleh bentuk kurva hidrograf sebagai f(x), sehingga
didapatkan hasil yang sama dengan menggeser sistem koordinat
sedemikian hingga   x  ct , sehingga Q  f () dan bebas terhadap
waktu t.
Diketahui bahwa hidrograf banjir merambat dalam arah positif sumbu x
dengan kecepatan c. Bentuk hidrograf adalah sama dan puncak
hidrograf tidak berkurang. Hal ini dapat terjadi karena nilai c konstan,
dQ
jika  konstan , maka persamaan model kinematik menjadi linier,
dA
sehingga bentuk hidrograf dan puncaknya berubah, akibat ketidak
linieran tersebut. Perubahan bentuk gelombang banjir ini tergantung
pada variasi nilai c terhadap Q.
Penyelesaian bentuk kinematik tersebut di atas dapat diselesaikan
secara analitik maupun numerik. Pada penyelesaian numerik biasanya
puncak dan bentuk hidrograf banjir berubah akibat penjalarannya.
Perubahan ini murni diakibatkan oleh karakteristik metode numerik
yang digunakan dan tidak menyatakan proses aktual. Pengurangan
puncak hidrograf banjir ini disebut proses disipasi, sedangkan proses
perubahan bentuk disebut dengan dispersi. Kombinasi antara bentuk
dan puncak hidrograf juga dapat diakibatkan oleh nilai bilangan
Courant, Cn = c.∆t/∆x.

Y Q = f(X-Ct1)
1 Ct1 1’

2 2’
Ct1
3’
Q = f(x) 3 Ct1

Gambar 4. 18 Proses Perambatan Gelombang Air dengan Metode


Kinematik

BAB IV – halaman : 47
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Dalam penyelesaiannya digunakan penyelesaian model kinematik


dengan cara numerik-eksplisit yaitu skema Lax, dan diselesaikan
dengan menggunakan program exell.

4.6 Metode Stream Flow Synthetic and Reservoir Regulation (SSARR)


Perhitungan debit aliran dari curah hujan suatu daerah aliran sungai
dengan model matematik telah banyak dikembangkan oleh beberapa
ahli hidrologi, dan salah satu rainfall-runoff model yang telah banyak
diterapkan pada sungai-sungai di Indonesia adalah model SSARR.
Dasar perhitungan model SSARR adalah penelusuran yang diturunkan
dari hukum kontinuitas persamaan tampungan Dr. Tawatchai T. seperti
persamaan B2-17 di bawah:
 I 1 I 2   O 1  O 2 
 t   t  S 2  S 1 ...................................... (B2-17)
 2   2 
I1 dan I2 menunjukkan awal dan akhir periode t, dengan:
I = masukan (m3/det)
O = keluaran (m3/det)
S = tampungan (m3/det)
dalam bentuk diferensial, masukan rata-rata Im dapat dinyatakan
sebagai:
Im = Om + ds/dt .................................................................... (B2-18)
Untuk danau alam (natural lake) atau satu penggal sungai (channel reach),
lebar tampungan dapat diabaikan dibandingkan dengan tampungan
prismatik, sehingga tampungan tersebut hanya sebagai fungsi dari
keluaran dengan Ts sebagai faktor pembanding:
S = Ts.O .................................................................................... (B2-19)
turunan terhadap t:
ds do
 Ts
dt dt
dimasukkan ke dalam persamaan (B2-18), diperoleh:
d0
Im = Om + Ts dan
dt
d0 Im  Om
 ........................................................................ (B2-20)
dt Ts
Persamaan (B2-20) adalah bentuk dasar dari persamaan tampungan
yang digunakan dalam penelusuran banjir di sungai.
Persamaan matematik dari penelusuran tampungan untuk satu bagian
periode tertentu menggunakan persamaan (B2-21).
 Im O1 
O 2  O1   
 Ts  0,5t 
 Im O1 
O2    t  O1 .......................................................... (B2-21)
 Ts  0,5t 

BAB IV – halaman : 48
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dengan:
Im = Masukan rata-rata (m3/det)
O1 = Keluaran pada permulaan periode (m3/det)
t = Periode penelusuran (det/jam)
Ts = Time of storage (jam)
Kts
=
Qn
3 x.B 0, 4
Kts = x ...................................................................................... (B2-22)
5 k 0,6So 0,3
dengan:
K = 1/n, koefisien Manning
B = Lebar permukaan air (m)
∆x = Pertambahan jarak (m/Km)
n = Faktor penampang
hasil keluaran O2 yang diperoleh dari penelusuran pertama diambil
sebagai keluaran O1 untuk periode penelusuran selanjutnya.

V. Aplikasi Metode Muskingum


Dalam tulisan ini, dari berbagai metode penelusuran banjir melalui
sungai, dicontohkan hanya untuk metode Muskingum konvensional.
Aplikasi metode Muskingum diambil dari Salehudin (2003), untuk
penelusuran banjir sungai Babak yang terletak dalam satuan wilayah
sungai (sub SWS) sungai Dodokan Lombok Barat. Lokasi Automatic
Water Level Recorder (AWLR) sungai Babak bagian hulu di hilir
bendungan Pengga, tepatnya ± 500m dari lokasi bendungan terletak di
desa Gebong dan AWLR bagian hilir di desa Perampuan.
Elevasi AWLR bagian hulu berada pada ketinggian 75,29m (dpl) dan
elevasi AWLR bagian hilir berada pada ketinggian 2,68m (dpl).
5.1 Data Sungai Babak
Hasil observasi lapangan dan hasil data sekunder, diperoleh
persamaan empiris yang digunakan untuk menghitung besarnya
debit banjir yang terjadi di sungai Babak sebagai berikut:
 Debit Inflow (Q) = 5,80 x (H + 0,2)2,50
 Debit Outflow (Q) = 13,00 x (H + 0,00)1,70
 Lebar rata-rata penampang sungai dari hulu ke hilir (B) =
20,458Q0,0647
 Kelandaian sungai (So) = 0,0036
 Kecepatan aliran banjir rata-rata (Vr) = 1,159 m/det
 Jarak AWLR hulu dengan AWLR hilir (L) = 20 Km
 Waktu pengukuran setiap 1 jam selama 24 jam
 selain data-data tersebut di atas diperoleh juga data
ketinggian air sebagai berikut:

BAB IV – halaman : 49
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

PEMBACAAN FEILSCAL

DAS : Babak Tanggal :2


NAMA SUNGAI : Babak BULAN : Desember
NAMA TEMPAT : Babak-Gebong TAHUN : 2001

Tabel 4.9 Data Debit Inflow Pengukuran Sungai Babak

Tinggi Muka Tinggi Muka


Air Debit Air Debit
Jam (m) (m3/det) Jam (m) (m3/det)
0 0.23 0.7 13 1.75 30.8
1 0.56 2.92 14 1.63 26.28
2 1.22 13.94 15 1.55 23.5
3 1.59 24.86 16 1.48 21.22
4 1.93 38.4 17 1.4 18.78
5 2.25 54.49 18 1.31 16.25
6 2.51 70.12 19 1.25 14.68
7 2.62 77.46 20 1.16 12.51
8 2.55 72.74 21 1.11 11.39
9 2.38 62.01 22 1.01 9.34
10 2.21 52.3 23 0.95 8.23
11 2.01 42.11 24 0.93 7.87
12 1.86 35.33

90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
0 5 10 15 20

Gambar 4. 19 Hidrograf Aliran Inflow Pengukuran Sungai Babak

BAB IV – halaman : 50
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

PEMBACAAN FEILSCAL

DAS : Babak Tanggal :2


NAMA SUNGAI : Babak BULAN : Desember
NAMA TEMPAT : Babak-Perampuan TAHUN : 2001

Tabel 4.10 Data Debit Outflow Pengukuran Sungai Babak

Tinggi Muka
Tinggi Muka Air Discharge Air Discharge
Jam (m) (m3/det) Jam (m) (m3/det)
0 0.15 0.52 13 2.43 58.81
1 0.31 1.78 14 2.25 51.6
2 0.52 4.28 15 1.98 41.52
3 0.82 9.28 16 1.75 33.66
4 1.08 14.82 17 1.58 28.29
5 1.28 19.78 18 1.37 22.2
6 1.52 26.49 19 1.18 17.22
7 1.76 33.99 20 1.075 14.7
8 2.05 44.05 21 0.94 11.7
9 2.26 51.99 22 0.86 10.06
10 2.38 56.77 23 0.75 7.97
11 2.47 60.47 24 0.72 7.44
12 2.5 61.72

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
0 5 10 15 20

Gambar 4. 20 Hidrograf Aliran Outflow Pengukuran Sungai Babak

5.2 Perhitungan Metode Muskingum Konvensional.


Perhitungan metode Muskingum konvensional dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Memasukkan data debit inflow dan outflow hasil pengukuran sungai
Babak

BAB IV – halaman : 51
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Tabel 4. 11 Hasil Pengukuran Debit Inflow dan Debit Outflow


Sungai Babak
Waktu Debit Debit Waktu Debit Debit
t Inflow Outflow t Inflow Outflow
Jam m3/det m3/det Jam m3/det m3/det
0 0.7 0.52 13 30.8 58.81
1 2.92 1.78 14 26.28 51.6
2 13.94 4.28 15 23.5 41.52
3 24.86 9.28 16 21.22 33.66
4 38.4 14.82 17 18.78 28.29
5 54.49 19.78 18 16.25 22.2
6 70.12 26.49 19 14.68 17.22
7 77.46 33.99 20 12.51 14.7
8 72.74 44.05 21 11.39 11.7
9 62.01 51.99 22 9.34 10.06
10 52.3 56.77 23 8.23 7.97
11 42.11 60.47 24 7.87 7.44
12 35.33 61.72 25 0.00 0.00

2. Menghitung nilai akumulasi tampungan (Sakumulasi)


S = (Qi – Qo) x ∆t
Tabel 4. 12 Perhitungan Nilai Akumulasi Tampungan (S)
Berdasarkan Pengukuran Debit Inflow dan Outflow Sungai Babak.
t Qi Qo S = (Qi-Qo)x∆t Srata-rata Sakumulatif
jam m3/det m3/det m3/det m3/det m3/det
0 0.70 0.52 0.18 0.00 0
1 2.92 1.78 1.14 0.66 1
2 13.94 4.28 9.66 5.40 6
3 24.86 9.28 15.58 12.62 19
4 38.40 14.82 23.58 19.58 38
5 54.49 19.78 34.71 29.15 67
6 70.12 26.49 43.63 39.17 107
7 77.46 33.99 43.47 43.55 150
8 72.74 44.05 28.69 36.08 186
9 62.01 51.99 10.02 19.36 206
10 52.30 56.77 -4.47 2.78 208
11 42.11 60.47 -18.36 -11.42 197
12 35.33 61.72 -26.39 -22.38 175
13 30.80 58.81 -28.01 -27.20 147
14 26.28 51.60 -25.32 -26.67 121
15 23.50 41.52 -18.02 -21.67 99
16 21.22 33.66 -12.44 -15.23 84
17 18.78 28.29 -9.51 -10.98 73

BAB IV – halaman : 52
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

t Qi Qo S = (Qi-Qo)x∆t Srata-rata Sakumulatif


jam m3/det m3/det m3/det m3/det m3/det
18 16.25 22.20 -5.95 -7.73 65
19 14.68 17.22 -2.54 -4.25 61
20 12.51 14.70 -2.19 -2.37 58
21 11.39 11.70 -0.31 -1.25 57
22 9.34 10.06 -0.72 -0.52 57
23 8.23 7.97 0.26 -0.23 56
24 7.87 7.44 0.43 0.35 57
25 0.00 0.00 0.00 0.22 57

3. Memasukkan harga x dengan coba-coba mulai dari 0,1 sampai dengan


0,35 pada Y = x.Qi + (1-x).Qo. kemudian dibuat grafik hubungan nilai
tampungan (S) dengan debit (Y) sampai loop hampir membentuk garis
lurus. Pada harga x mulai dari 0,1 sampai dengan x sama dengan 0,25
loop yang terbentuk masih berbentuk parabola, sehingga pada nilai
tersebut tidak akan pernah ditemukan hasil debit hitungan yang sama
dengan debit keluaran hasil pengukuran.

Tabel 4. 13 Perhitungan Y = x.Qi + (1-x).Qo dengan x = 0,1


Q Q
X Inflow Outflow Y
0.1 m /det
3 m /det
3

0.70 0.52 0.54


2.92 1.78 1.89
13.94 4.28 5.24
24.86 9.28 10.84
38.40 14.82 17.18
54.49 19.78 23.25
70.12 26.49 30.85
77.46 33.99 38.33
72.74 44.05 46.92
62.01 51.99 52.99
52.30 56.77 56.32
42.11 60.47 58.63
35.33 61.72 59.08
30.80 58.81 56.01
26.28 51.60 49.07
23.50 41.52 39.72
21.22 33.66 32.42
18.78 28.29 27.34
16.25 22.20 21.61
14.68 17.22 16.97

BAB IV – halaman : 53
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Q Q
X Inflow Outflow Y
0.1 m3/det m3/det
12.51 14.70 14.48
11.39 11.70 11.67
9.34 10.06 9.99
8.23 7.97 8.00
7.87 7.44 7.48

250

200
S (m3/det)

150

100

50

0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)

Gambar 4. 21 Grafik Hubungan Nilai Tampungan (S) dengan Debit


(Y), x = 0,1

Tabel 4. 14 Perhitungan Y = x.Qi + (1-x).Qo dengan x = 0,25


Q Q
X Inflow Outflow Y
0.25 m /det m /det
3 3

0.70 0.52 0.56


2.92 1.78 2.06
13.94 4.28 6.69
24.86 9.28 13.17
38.40 14.82 20.17
54.49 19.78 28.46
70.12 26.49 37.40
77.46 33.99 44.85
72.74 44.05 51.22
62.01 51.99 54.50
52.30 56.77 55.65
42.11 60.47 55.88
35.33 61.72 55.12
30.80 58.81 51.81
26.28 51.60 45.27

BAB IV – halaman : 54
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Q Q
X Inflow Outflow Y
0.25 m3/det m3/det
23.50 41.52 37.02
21.22 33.66 30.55
18.78 28.29 25.91
16.25 22.20 20.71
14.68 17.22 16.59
12.51 14.70 14.15
11.39 11.70 11.62
9.34 10.06 9.88
8.23 7.97 8.04
7.87 7.44 7.55

250

200
S (m3/det)

150

100

50

0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)

Tabel 4. 22 Grafik Hubungan Nilai Tampungan (S) dengan Debit (Y),


x = 0,25

Tabel 4. 15 Perhitungan Y = x.Qi + (1-x).Qo dengan x = 0,3


Q Q
X Inflow Outflow Y
0.3 m /det m /det
3 3

0.70 0.52 0.57


2.92 1.78 2.12
13.94 4.28 7.17
24.86 9.28 13.95
38.40 14.82 21.89
54.49 19.78 30.19
70.12 26.49 39.58
77.46 33.99 47.03
72.74 44.05 52.65

BAB IV – halaman : 55
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Q Q
X Inflow Outflow Y
0.3 m3/det m3/det
62.01 51.99 55.00
52.30 56.77 55.43
42.11 60.47 54.96
35.33 61.72 53.80
30.80 58.81 50.41
26.28 51.60 44.00
23.50 41.52 36.11
21.22 33.66 29.93
18.78 28.29 25.44
16.25 22.20 20.42
14.68 17.22 16.46
12.51 14.70 14.04
11.39 11.70 11.61
9.34 10.06 9.84
8.23 7.97 8.05
7.87 7.44 7.57

250

200
S (m3/det)

150

100

50

0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)

Gambar 4. 23 Grafik Hubungan Nilai Tampungan (S) dengan Debit


(Y), x = 0,3

Tabel 4.16 Perhitungan Y = x.Qi + (1-x).Qo dengan x = 0,35


Q
X Inflow Outflow Y
0.35 m /det m /det
3 3

0.70 0.52 0.58


2.92 1.78 2.18
13.94 4.28 7.66
24.86 9.28 14.73

BAB IV – halaman : 56
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Q
X Inflow Outflow Y
0.35 m3/det m3/det
38.40 14.82 23.07
54.49 19.78 31.93
70.12 26.49 41.76
77.46 33.99 49.20
72.74 44.05 54.09
62.01 51.99 55.50
52.30 56.77 55.20
42.11 60.47 54.04
35.33 61.72 52.48
30.80 58.81 49.01
26.28 51.60 42.74
23.50 41.52 35.21
21.22 33.66 29.30
18.78 28.29 24.96
16.25 22.20 20.12
14.68 17.22 16.34
12.51 14.70 13.93
11.39 11.70 11.59
9.34 10.06 9.81
8.23 7.97 8.06
7.87 7.44 7.59

250

200
S (m3/det)

150

100

50

0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Y = XI + (1-X)Q (m3/det)

Gambar 4. 24 Grafik Hubungan Nilai Tampungan (S) dengan Debit


(Y), x = 0,35
S S
4. Menghitung nilai koefisien tampungan K = = .
X.Qi  (1  X)Qo Y

Pada nilai yang tepat untuk X sama dengan 0.3635 harga K didapat
sebesar 4,793 jam, Co = -0.350, C1 = 0.631, C2 = 0.718 dengan kecepatan

BAB IV – halaman : 57
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

rata-rata (V) 1,159 m/det, dengan delta ∆t = 1jam. Dari hasil kesesuaian
parameter tersebut didapat debit outflow hitungan sama dengan debit
outflow pengukuran yaitu sebesar 61,72 m3/det. Analisis
perhitungannya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. 17 Perhitungan Debit Outflow Sungai Babak dengan x = 0,3635


Waktu Inflow 1 2 3 1+2+3 4
Outflow Outflow
t(jam) (m3/det) Co*I2 C1*I1 C2*O1 Hitungan Pengukuran
(m3/det) (m3/det)
0 0.7 - - - 0 0.52
1 2.92 -1.022 0.444 0 -0.578 1.78
2 13.94 -4.876 1.844 -0.415 -3.447 4.28
3 24.86 -8.699 8.801 -2.476 -2.374 9.28
4 38.4 -13.437 15.701 -1.706 0.558 14.82
5 54.49 -19.066 24.252 0.401 5.587 19.78
6 70.12 -24.534 34.412 4.014 13.892 26.49
7 77.46 -27.1 44.281 9.98 27.161 33.99
8 72.74 -25.449 48.912 19.512 42.975 44.05
9 62.01 -21.696 45.933 30.873 55.11 51.99
10 52.3 -18.297 39.16 39.59 60.453 56.77
11 42.11 -14.734 33.024 43.428 61.718 60.47
12 35.33 -12.36 26.593 44.338 58.571 61.72
13 30.8 -10.775 22.308 42.077 53.61 58.81
14 26.28 -9.193 19.448 38.513 48.768 51.6
15 23.5 -8.221 16.593 35.034 43.406 41.52
16 21.22 -7.424 14.838 31.182 38.596 33.66
17 18.78 -6.571 13.399 27.728 34.556 28.29
18 16.25 -5.686 11.86 24.824 30.998 22.2
19 14.68 -5.138 10.262 22.269 27.393 17.22
20 12.51 -4.377 9.273 19.679 24.575 14.7
21 11.39 -3.986 7.9 17.654 21.568 11.7
22 9.34 -3.268 7.194 15.495 19.421 10.06
23 8.23 -2.878 5.899 13.952 16.973 7.97
24 7.87 -2.754 5.194 12.193 14.633 7.44
k = 4,793 Jam C0 = -0.350
x = 0,3635 C1 = 0.631
∆t = 1 Jam C2 = 0.718
C0 + C1 + C2 =
L = 20 Km 1
= 1,159 Outflow Outflow
V m/det Hitungan Pengukuran
61.718 61.722

BAB IV – halaman : 58
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

80
70
60

Debit (m3/det)
50
40 Inflow Pengukuran

30 Outflow hitungan

20 Outflow Pengukuran
10
0
0 5 10 15 20
Waktu (Jam)

Gambar 4. 25 Hidrograf Banjir Pengukuran dan Banjir Hitungan Sungai Babak


Metode Muskingum Konvensional

5. Pada bentangan sun gai 20 Km, dari hasil kesesuaian parameter yang
dilakukan dihasilkan debit outflow hitungan yang memiliki nilai sama
dengan debit outflow pengukuran, harga tersebut berada pada harga x
= 0,3635 dengan K = 4,739 jam; Co = -0,350; C1 = 0,631; C2 = 0,718
sehingga C = 1 dengan ∆t = 1 jam. Hasil rekapitulasi seperti pada tabel
di bawah:

Tabel 4. 18 Rekap Hasil Kesesuaian Parameter Penelusuran Banjir Berdasarkan


Analisis Perhitungan di Sungai Babak Metode Muskingum Konvensional
Penggalan Parameter Sungai Q Outflow Q Outflow
Metode Sungai X K V So Hitungan Pengukuran

Km (Jam) (m/det) (m3/det) (m3/det)

0.25 1.159 0.0036 61.443

0.255 1.159 0.0036 61.613


Muskingum Konvensional

0.258 3.595 1.159 0.0036 61.715 61.72

0.26 1.159 0.0036 61.784


L = 20
0.3 1.159 0.0036 58.675

0.35 1.159 0.0036 61.039

0.36 1.159 0.0036 61.541

0.3635 4.739 1.159 0.0036 61.719 61.72

Keterangan X = Faktor berat relatif/penimbang


= Nilai konstanta tampungan
K (jam)

BAB IV – halaman : 59
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

= Kecepatan aliran
V (m/det)
So = Kelandaian sungai

a.) Koefisien Kekasaran Manning


Penampang sungai yang direncanakan berbentuk trapesium
berdasarkan debit banjir maksimum yang terjadi. Bentuk penampang
dihitung dengan persamaan yang dikembangkan oleh Manning sebagai
berikut (Van Te Chow, 1997:92) :
1 2 3 12
Q R S .A
n

dengan :
Q = Debit banjir rencana (m3/det)
n = Koefisien kekasaran Manning (m.det)
R = A/P = Jari-jari hidrolis
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah (m)
S = Kemiringan dasar saluran
Dalam menentukan kekasaran manning yang sesuai untuk berbagai
kondisi sangat bervariasi dan tergantung pada berbagai faktor. Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kekasaran baik pada saluran batuan
maupun alam adalah (Van Te Chow, 1997:92) :
~ Tumbuhan
~ Kekasaran permukaan
~ Trase saluran
~ Pengendapan dan gerusan
~ Ukuran dan bentuk butiran
~ Kedalaman air dan debit
~ Ketidak teraturan saluran
~ Hambatan
~ Taraf air dan debit
Bila debit terlalu besar, air banjir dapat melimpas ke tebing sungai dan
sebagaian aliran akan mengairi dataran banjir. Nilai n pada bantaran
banjir biasanya lebih besar daripada di saluran dan besarnya tergantung
pada kondisi permukaan dan tumbuhannya.
Saluran besar (lebar atas pada taraf banjir > 100 ft), nilai n lebih kecil
dari saluran kecil dengan perincian yang sama, sebab tebing
memberikan hambatan efektif yang lebih kecil.

BAB IV – halaman : 60
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Tabel 4. 19 Angka koefisien kekasaran Manning


Tipe saluran Minimum Normal Maksimum
- Penampang beraturan tanpa 0.025 0.040 0.060
batu besar/belukar
- Penampang tidak beraturan 0.035 0.060 0.100
dan kasar
Sumber : Van Te Chow, 1997:102

b.) Kecepatan Aliran


Kecepatan yang diijinkan dalam saluran tergantung pada bahan yang
digunakan dan sifat-sifat hidrolisnya. Saluran pada umumnya dibagi
menjadi dua macam, yaitu saluran tahan erosi dan saluran tidak tahan
erosi.
1. Saluran tahan erosi
Berupa saluran yang telah diberi lapisan atau saluran yang bahannya
merupakan rakitan pabrik, kecepatan yang diijinkan adalah
kecepatan minimum, yaitu kecepatan terendah yang tidak
menyebabkan terjadinya sedimentasi  biasanya antara 0.80 – 0.90
m/det.
2. Saluran tidak tahan erosi
Berupa saluran tanah yang biasanya peka terhadap erosi, kecepatan
aliran didasarkan pada kecepatan maksimum yang diijinkan, yaitu
kecepatan maksimum rata-rata yang tidak mengakibatkan gerusan
pada dinding saluran.
Dengan menganggap aliran yang terjadi adalah aliran seragam
(uniform flow), maka persamaan yang digunakan adalah persamaan
manning untuk menghitung penampang pada satu titik kontrol (R
Raju, 1986:38):
1 2 3 12
V  R S
n
A
R
P
A  H ( B  z.H )  untuk penampang trapesium

P  B  2 H 1  z 2  untuk penampang trapesium


dengan :
V = Kecepatan aliran (m/det)
R = Jari-jari hidrolis (m)
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah (m)
H = Kedalaman air (m)
B = Lebar dasar sungai (m)
N = Koefisien kekasaran Manning (dari tabel)

BAB IV – halaman : 61
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

c.) Kemiringan Dasar


Kemiringan dasar saluran biasanya dipengaruhi oleh keadaan topografi
daerah setempat. Pada kenyataannya dasar sungai tidak selalu tetap,
sehingga penentuan kemiringan dasar sungai sebaiknya direncanakan
mendekati kemiringan yang sebenarnya, karena kondisi inilah yang
stabil.
d.) Pasang Surut
Untuk memenuhi tuntutan teknis dalam analisis perencanaan kapasitas
sungai pada suatu sungai yang terpengaruh oleh pasang surut, maka
perlu diketahui tinggi pasang surut pada tempat-tempat tertentu dari
suatu sungai yang akan dijadikan outlet. Pada daerah studi sungai yang
sangat berpengaruh dan perlu diamati.
Data pegamatan tinggi pasang surut muka air dilakukan pada waktu
bulan purnama yang diperkirakan terjadi pasang surut terbesar, selama
15 hari dengan selang waktu satu jam.
e.) Pengelolaan Debit Banjir di Daerah Yang Terpe- ngaruh Pasang Surut
Hidrotopografi didefinisikan sebagai ketinggian relatif dari permukaan
lahan terhadap taraf muka air pasang surut di saluran terdekat.
Gerak muka air pasang surut di sungai mengalami redaman manakala
memasuki jaringan saluran. Posisi hidrotopografi dari suatu lahan
tergantung dari berbagai faktor yaitu ( Anonim, 1992:6)
1. Muka air pasang surut di sungai
2. Redaman fluktuasi pasang surut di jaringan saluran
3. Kondisi permukaan lahan karena pengaruh penurunan (subsidence)
penataan muka tanah dan pembuatan jaringan.
Hidrotopografi bukan merupakan kondisi yang konstan berhubung
faktor-faktor yang mempengaruhinya bersifat kurang permanen.

f.) Muka Aliran Yang Terbendung


Jika aliran suatu sungai atau saluran terbendung atau tertahan oleh
sesuatu (disini kasusnya adalah terbendung oleh aliran sungai utama
pada daerah pertemuan), maka aliran sungai tersebut akan mengalami
kenaikan muka air di bagian hulunya. Garis muka air yang mengalami
kenaikan akibat pembendungan tersebut akan membentuk suatu
lengkung (backwater curve).
Naiknya muka air karena pembendungan itu bisa menyebabkan
meluapnya muka air ke luar palung sungai dan menyebabkan
kerusakan-kerusakan di daerah sekitarnya.
Untuk pembendungan yang relatif kecil (sampai dengan 10% dari tinggi
air semula), maka lengkung muka air yang terbendung dapat didekati
dengan persamaan (Subarkah, 1980:210) :
Z L  Z 0 .e 3 IL / hn
dimana :

BAB IV – halaman : 62
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

ZL = Naiknya muka air di suatu tempat sejauh L meter dari


tempat pembendungan (m)
Z0 = Naiknya muka air di tempat pembendungan (m)
h = Tinggi muka air semula (m)
I = Kemiringan dasar sungai
e = 2,72
tanggul Muka aliran yang tertatahan

h
h

Sungai

Sungai

Gambar 4. 26 Ilustrasi kenaikan muka air sungai akibat pembendungan


aliran

g.) Aplikasi Software untuk Analisis Hidrolika


Untuk mendukung proses analisis hidrolika sungai akan digunakan
salah satu dari dua buah program aplikasi (software) yaitu HEC-RAS.
Aplikasi program ini digunakan dengan maksud agar ketelitian
pembacaan dan analsis bisa lebih terjaga (untuk mereduksi faktor
“human error’ menjadi seminimal mungkin) dan sekaligus mengikuti
trend di abad informasi ini.

4.5.5 Pekerjaan Uji Kualitas Air


A) Pengukuran Debit
Debit aliran sungai (Q) adalah jumlah air yang mengalir melalui
tampang lintang sungai tiap satu satuan waktu, yang biasanya
dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik. Di suatu lokasi sungai
dapat diperkirakan dengan cara sebagai berikut :
1. Pengukuran di lapangan
2. Berdasarkan data debit dari stasiun di dekatnya
3. Berdasarkan data hujan
4. Berdasarkan pembangkitan data debit
Pengukuran debit di lapangan dapat dilakukan dengan membuat
stasiun pengamatan atau dengan mengukur debit di bangunan air
seperti bendungan dan peluap.
Sering di suatu lokasi yang akan dibangun bangunan air tidak terdapat
pencatatan debit sungai dalam waktu panjang. Dalam keadaan
tersebut terpaksa debit diperkirakan berdasar :
1. Debit di lokasi lain pada sungai yang sama
2. Debit di lokasi lain pada sungai di sekitarnya

BAB IV – halaman : 63
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

3. Debit pada sungai lain yang berjauhan tetapi memiliki


karakteristik yang sama.
Debit di suatu lokasi yang ditinjau dapat juga diperkirakan berdasar
data hujan, misalnya dalam analisis hubungan hujan –limpasan dan
analisis hidrograf. Debit aliran di sungai berasal dari hujan yang jatuh
di DAS, sehingga dengan mengetahui kedalaman hujan dan
kehilangan air seperti penguapan dan infiltrasi akan dapat
diperkirakan debit aliran.

(Q) = A x v

Keterangan :
Q = Debit (m3/s)
A = luas penampang (m2)
v = kecepatan aliran (m/s)
Dengan Menggunakan Current Meter
Pengukuran kecepatan dengan menggunakan current meter (alat ukur
arus) dilakukan dengan cara merawas, dari jembatan, dengan
menggunakan perahu, dengan menggunakan winch cable way dan
dengan menggunakan cable car.

Gambar 4. 27 Pengukuran Debit dengan Current Meter

Tahapan pengukuran dengan menggunakan current meter adalah


sebagai berikut:
1. Siapkan peralatan yang akan digunakan untuk pengukuran yaitu:
 1 (satu) set alat ukur arus atau current meter lengkap
 2 (dua) buah alat penduga kedalaman (stang/stick) panjang
masing-masing 1 m
 Kartu Pengukuran
 Alat Tulis
 Alat pengambilan sample air
 Botol tempat sample air
 Peralatan penunjang lainnya seperti topi, sepatu lapangan dll.

BAB IV – halaman : 64
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

2. Bentangkan kabel pada lokasi yang memenuhi persyaratan dan


posisi tegak lurus dengan arah arus air dan tidak melendut
Tentukan titik pengukuran dengan jarak antar vertikal ± 1/20 dari
lebar sungai dan jarak minimum = 0.50 m
3. Berikan tanda pada masing-masing titik
4. Baca ketinggian muka air pada pelskal
5. Tulis semua informasi/keterangan yang ada pada kartu
pengukuran seperti nama sungai dan tempat, tanggal pengukuran,
nama petugas dll.
6. Catat jumlah putaran baling – baling selama interval waktu yang
telah ditentukan (40 – 70 detik), apabila arus air lambat waktu yang
digunakan lebih lama (misal 70 detik), apabila arus air cepat waktu
yang digunakan lebih pendek (misal 40 detik)
7. Hitung kecepatan arus dari jumlah putaran yang didapat dengan
menggunakan rumus baling – balingtergantung dari alat bantu
yang digunakan (tongkat penduga dan berat bandul)
8. Hitung kecepatan (v) rata-rata pada setiap vertikal dengan rumus:
 Apabilapengukuran dilakukan pada 1 titik (0.5 atau 0.6 d) contoh
(vertikal 2) maka v rata – rata = v pada titik tersebut
 Apabilapengukuran dilakukan pada 2 titik (0.2 dan 0.8 d) contoh
(vertikal 3) maka v rata – rata = (v0.2 + v0.8) / 2
 Apabilapengukuran dilakukan pada 3 titik (0.2 – 0.8 d dan 0.6 d)
contoh (vertikal 4) maka v rata – rata = [{(v0.2 + v0.8) / 2} + (v0.5 atau
v0.6 )] / 2
9. Hitung luas sub/bagian penampang melintang
10. Hitung debit pada setiap sub/bagian penampang melintang
11. Ulangi kegiatan pada butir 10 sampai dengan butir 12 untuk
seluruh sub bagian penampang
12. Hitung debit total (Q total)
13. Debit total dihitung dengan cara menjumlahkan debit dari seluruh
debit pada sub/ bagian penampang Q (total) = q1 + q2 + q3 + … +
qn
14. Hitung luas seluruh penampang melintang (A)
Luas seluruh penampang melintang dihitung dengan cara
menjumlahkan seluruh luas pada sub/bagian penampang
dengan:
A = a1 + a2 + a3 + … + an
15. Hitung kecepatan rata-rata seluruh penampang melintang (V)
Kecepatan rata-rata seluruh penampang melintang = debit total /
luas seluruh penampang melintang atau V = Q total / A
16. Catat waktu dan tinggi muka air pada pelskal segera setelah
pengukuran selesai pada kartu pengukuran.
17. Catat hasil perhitungan butir 14 sampai dengan 16 pada kartu
pengukuran.

BAB IV – halaman : 65
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Pengukuran debit dengan menggunakan current meter dapat dilakukan


dengan beberapa metode diantaranya:
a. Merawas
Pengukuran dengan merawas dilakukan apabila kedalaman air tidak
lebih dari 1,2 m dan kecepatan air lebih kecil dari 1 m/detik, apabila
kedalaman dan kecepatan arus air lebih dari kriteria tersebut maka
pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu
pengukuran yang lain.
Pengukuran debit dengan cara merawas adalah petugas pengukur
langsung masuk ke dalam badan air. Petugas pengukur minimal
terdiri dari 2 orang, 1 orang petugasmengoperasikan peralatan dan 1
orang petugas mencatat data pengukuran. Dalam pelaksanaannya
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. dilakukan pada lokasi sebatas pengukur mampu merawas
2. posisi berdiri pengukur harus berada di hilir alat ukur arus dan
tidak boleh menyebabkan berubahnya garis aliran pada jalur
vertikal yang diukur
3. letakkan tongkat penduga tegak lurus pada jarak antara 2,5 – 7,5 cm
di hilir kabel baja yang telah dibentangkan
4. hindari berdiri dalam air apabila akan mengakibatkan penyempitan
penampang melintang
5. apabila posisi current meter (arah aliran) tidak tegak lurus terhadap
penampang melintang sungai, maka besarnya sudut penyimpangan
perlu dicatat untuk menghitung koreksi kecepatan di vertikalnya.

Gambar 4. 28 Metode Merawas


b. Perahu
Pengukuran debit menggunakan perahu adalah petugas pengukur
menggunakan sarana perahu sebagai alat bantu pengukuran. Petugas
pengukur minimal terdiri dari 3 orang, 1 orang petugas memegang

BAB IV – halaman : 66
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dan menggeser perahu, 1 orang petugasmengoperasikan peralatan dan


1 orang petugas mencatat data pengukuran.
Petugas pelaksanaan pengukuran dengan menggunakan perahu perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. dilakukan apabila tidak memungkinkan pengukuran dengan cara
merawas
2. alat ukur arus dilengkapi dengan alat penggulung kabel (sounding reel)
dan pemberat yang disesuaikan dengan kondisi aliran (kedalaman dan
kecepatan)
3. posisi alat ukur harus berada di depan perahu
4. kabel yang digunakan untuk mengukur lebar sungai (tagline) harus
terpisah dari kabel yang digunakan untuk menggantungkan perahu
5. apabila lebar sungai lebih dari 100 m, atau sungai digunakan untuk
transportasi air maka kabel penggantung perahu tidak dapat
digunakan. Pengaturan posisi perahu diatur dengan menggunakan
sextant meter agar lintasan pengukuran tetap berada pada satu jalur
sehingga lebar sungai sesuai dengan lebar sungai sesungguhnya.
Metode ini disebut metode sudut (angular method). Selain metode ini
dapat juga digunakan metode perahu bergerak.

Gambar 4. 29 Metode Perahu

c. Sisi jembatan
1. Pengukuran debit dari sisi jembatan adalah pengukuran dilakukan
dari sisi jembatan bagian hilir aliran dan sebaiknya jembatan yang
digunakan tidak terdapat pilar. Peralatan yang digunakan adalah
bridge crane, sounding reel, tagline, dan 1 set current meter + pemberat
yang beratnya tergantung dari kecepatan aliran. Petugas pengukur
minimal terdiri dari 3 orang, 2 orang petugasmengoperasikan bridge
crane dan peralatan pengukur dan 1 orang petugas mencatat data
pengukuran.
2. Pengukuran dari sisi jembatan dilakukan apabila pada lokasi
pos terdapat fasilitas jembatan, dengan kondisi kedalaman
air lebih dari 2 m dan kecepatan airnya cukup deras
sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran
dengan menggunakan perahu.

BAB IV – halaman : 67
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 30 Metode Jembatan

d. Cable Car (Kereta Gantung)


Cable car adalah alat bantu pengukuran berupa kereta gantung yang
digantungkan pada kabel utama yang juga berfungsi sebagai alat ukur
lebar sungai, dilengkapi dengan tempat duduk petugas pengukur dan
dudukan sounding reel. Peralatan yang digunakan adalah current meter
lengkap dengan ekor panjang dan pemberat yang disesuaikan dengan
kondisi kecepatan dan kedalaman aliran. Petugas pengukur terdiri
dari 2 orang, 1 orang petugasmengoperasikan peralatan dan 1 orang
petugas mencatat data pengukuran.
Apabila pengukuran dilakukan dengan kabel penggantung dan posisi
kabel penduga tidak tegak lurus terhadap muka air, maka kedalaman
air harus dikoreksi dengan besarnya sudut penyimpangan.

Gambar 4. 31 Metode Kereta Gantung

e. Winch Cable Way


Pengukuran debit dengan menggunakan winch cable way dilakukan
dari pinggir sungai dengan menggunakan peralatan winch cable way.

BAB IV – halaman : 68
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Petugas pengukur minimal terdiri dari 2 orang, 1 orang


petugasmengoperasikan peralatan dan 1 orang petugas mencatat data
pengukuran.
Lokasi penempatan winch cable way harus memenuhi persyaratan
teknis seperti halnya tempat pengukuran dengan metode lainnya.
Persyaratan tersebut antara lain pada bagian alur sungai yang lurus,
aliran laminar dan merata, dll.
Peralatan winch cable way yang terdiri dari:
1. Kabel pengukur lebar sungai
2. Kabel pengukur kedalaman air juga berfungsi sebagai kabel
penghantar listrik untuk menghitung jumlah putaran dan juga
berfungsi sebagai penggantung current meter + pemberat yang
disesuaikan dengan kondisi aliran (kedalaman dan kecepatan)
3. Kabel utama (main cable) yang berfungsi sebagai penggantung
semua peralatan yang digunakan. Kabel utama diikatkan pada
dua buah tiang yang dipasang pada kedua tebing sungai, dan
salah satu tiangnya digunakan untuk menempatkan pengerek
(winch)
4. Pengerek (winch) yang berfungsi untuk menggulung kabel
pengukur lebar sungai dan kabel pengukur kedalaman air. Winch
dapat terdiri dari 2 (double drum winch) atau hanya terdiri dari 1
winch (single drum winch)

Gambar 4. 32 Metode Winch Cable

Dengan Menggunakan Pelampung


Pengukuran debit menggunakan alat pelampung pada prinsipnya
sama dengan metode konvensional, hanya saja kecepatan aliran diukur
dengan menggunakan pelampung.
Metode pengukuran debit dengan menggunakan pelampung biasa
digunakan pada saat banjir dimana pengukuran dengan cara

BAB IV – halaman : 69
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

konvensional tidak mungkin dilaksanakan karena faktor peralatan dan


keselamatan tim pengukur.
 Lokasi Pengukuran
Pengukuran debit dengan pelampung perlu memperhatikan syarat-
syarat lokasi sebagai berikut :
1. Syarat lokasi pengukuran seperti pada metode konvensional
2. Kondisi aliran sedang banjir dan tidak melimpah
3. Geometri alur dan badan sungai stabil
4. Jarak antara penampang hulu dan hilir minimal 3 kali lebar
sungai pada kondisi banjir
 Peralatan Pengukuran
1. alat pengukur jarak
2. alat pelampung
3. alat pengukur waktu (stop watch)
4. alat penyipat ruang (theodolith)
 Pengukuran Penampang Melintang
Pengukuran penampang basah dapat dilakukan pada saat
sungai tidak sedang banjir yaitu sesudah atau sebelum banjir.
Pengukuran paling sedikit 2 penampang melintang yaitu di
hulu dan di hilir yang merupakan titik awal dan titik akhir
lintasan penampang. Luas penampang basah sungai didapat
dengan cara merata-rata luas kedua penampang basah yang
telah diukur.
 Tahapan Pengukuran
 Persiapan
1. Pilih lokasi pengukuran
2. Siapkan pelampung
3. Siapkan peralatan untuk mengukur jarak antara dua
penampang
4. Siapkan peralatan untuk menentukan posisi lintasan
pelampung
5. Siapkan peralatan untuk memberi aba-aba
6. Siapkan alat pencatat waktu
7. Siapkan alat tulis
 Pelaksanaan Pengukuran
1. Lakukan pembacaaan tinggi muka air pada pos duga air di
awal pengukuran
2. Letakan alat penyipat ruang di tengah-tengah antara
penampang hulu & hilir
3. Ukur jarak antara penampang hulu dan penampang hilir
4. Lepaskan pelampung kira-kira 10 meter di hulu penampang
hulu

BAB IV – halaman : 70
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

5. Ukur sudut azimuth posisi pelampung pada saat pelampung


melalui penampang hulu dan penampang hilir. Pada saat itu
juga catat waktunya
6. Ulangi pekerjaan (d) dan (e) sampai pelampung terakhir
7. Catat tinggi muka air pada akhir pengukuran
 Perhitungan Debit
1. Gambar penampang basah di hulu dan hilir
2. Gambar lintasan pelampung
3. Hitung panjang tiap lintasan pelampung
4. Hitung kecepatan aliran permukaan tiap pelampung, untuk
mendapatkan kecepatan aliran sebenarnya maka kecepatan aliran
permukaan tiap pelampung harus dikalikan dengan koreksi yang
besarnya berkisar antara 0.7 dan 0.8 tergantung dari panjang
pelampung dan proses lintasan pelampung
5. Gambar grafik kecepatan aliran
6. Tentukan bagian penampang basah
7. Tentukan nilai kecepatan aliran pada setiap batas bagian
penampang
8. Hitung kecepatan rata-rata pada setiap bagian penampang basah
9. Hitung luas bagian penampang basah
10. Hitung debit untuk setiap bagian penampang basah
11. Hitung debit total
12. Hitung tinggi muka air rata-rata

Gambar 4. 33 Metode Pelampung

Dengan Menggunakan Larutan


Debit aliran dapat diukur dengan menggunakan larutan zat kimia.
Metode larutan ini baik digunakan pada lokasi pengukuran yang
alur sungainya dangkal, aliran relatif turbulens dan kecepatan
aliran cukup tinggi. Larutan zat kimia yang biasa digunakan
adalah Sodium Chlorida (NaCl) atau yang biasa kita kenal dengan
garam dapur.

BAB IV – halaman : 71
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 34 Metode Larutan

 Tahapan Pengukuran
1. tentukan lokasi pengukuran
2. ukur penampang basah di hulu dan di hilir dengan jarak antara
dua penampang tersebut L
3. tuangkan larutan zat kimia secara terus menerus di hulu dari
penampang basah hulu
4. ukur konsentrasi di penampang hulu dan penampang hilir hingga
puncak konsentrasi sampai normal dengan alat electric conductivity
5. hitung waktu antara puncak konsentrasi di penampang hulu dan
penampang hilir (T)
Pada metode ini larutan zat kimia dapat pula diganti dengan
menggunakan zat warna. Perjalanan zat warna dari penampang hulu ke
penampang hilir dapat diamati secara manual.
Dengan Menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler)
ADCP adalah alat pengukur arus dimana kecepatan arus air dapat
terpantau dalam 3 dimensi pada suatu penampang melintang sungai
dengan menggunakan efek dari doppler pada gelombang supersonic. Alat
ini dipasang di perahu dan akan mengukur air di sungai secara cepat
bila perahu melalui suatu penampang sungai.

Gambar 4.35 Metode ADCP

Cara bekerjanya peralatan ADCP adalah air sungai yang mengandung


larutan sedimen, tanaman, kayu, dll. merupakan media untuk
memantulkan gelombang supersonic didalam air secara tegak lurus
dalam 2 arah yang dikirim oleh peralatan ADCP. Dengan menghitung

BAB IV – halaman : 72
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

data sistim transmisi, distribusi kecepatan arus 3 dimensi pada tampang


aliran dapat diketahui. Profil kecepatan arus digunakan untuk
mengintegrasikan arah aliran vertikal dan susunan keepatan arus
terhadap tampang horizontal sungai dan digunakan untuk menghitung
debit aliran.
Keuntungan dan kerugian menggunakan peralaran ADCP ini :
 Pengukuran kecepatan dapat dilakukan secara cepat
 Distribusi kecepatan arus secara 3 dimensi dapat teramati
 Kondisi kecepatan aliran, dan debit dapat langsung diketahui
 Pada kondisi dimana banyak kayu besar yang terbawa dapat
menghantam alat ADCP
 Pengukuran sulit untuk dilakukan pada malam hari dan sungai yang
berkelok-kelok
 Komunikasi antara perahu radio kontrol dan kontrol transmisi radio
maksimum berjarak 1000 meter

Dengan Menggunakan Bangunan Hidraulik


Debit aliran dihitung dengan menggunakan rumus hidrolika dimana
koefisiennya dapat ditentukan dari hasil kalibrasi di laboratorium
dengan model tes atau dapat dilakukan pengukuran debit dengan
current meter pada berbagai elevasi muka air untuk mencari
koefisiennya.

Gambar 4.36 Metode Bangunan Hidraulik

Metode Kemiringan Luas (Slope Are Method)


Metode ini meliputi perhitungan debit banjir pada saluran terbuka atau
sungai dengan menggunakan karakteristik penampang yang
representatif, kemiringan muka air, dan koefisien kekasaran.
Metode Kemiringan Luas digunakan untuk menentukan debit secara
tidak langsung dari suatu ruas saluran, biasanya setelah banjir terjadi
dengan menggunakan tanda bekas banjir dan karakteristik fisik
penampang melintang ruas saluran tersebut.

BAB IV – halaman : 73
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Survei lapangan dilakukan untuk menentukan jarak antara dan elevasi


tanda bekas banjir dan menetapkan penampang sungai.Data itu
selanjutnya digunakan menghitung beda tinggi muka air diantara dua
penampang melintang yang berdekatan dan untuk menetapkan sifat-
sifat tertentu dari penampang tersebut. Informasi tersebut digunakan
bersama dengan nilai n Manning untuk menghitung debit.
Metode Darcy-Weisbach
Metode ini meliputi perhitungan debit banjir pada saluran terbuka atau
sungai yang dasarnya berbatu-batu dengan menggunakan karakteristik
penampang yang representatif, kemiringan muka air, dan koefisien
resistensi Darcy-Weisbach.
Metode Darcy-Weisbach digunakan untuk menentukan debit banjir cara
tidak langsung dari suatu ruas sungai, biasanya setelah banjir terjadi
dengan menggunakan tanda bekas banjir dan karakteristik fisik
penampang melintang ruas sungai tersebut. Persamaan Darcy-Weisbach
yang digunakan untuk menghitung debit (Q).
B) Pengambilan Contoh Air
Berdasarkan SNI 6989.57:2008 tentang Air dan air limbah – Bagian 57:
Metode pengambilan contoh air permukaan berikut hal-hal yang perlu
di pertimbangkan dalam pengambilan contoh air permukaan.
A. Macam peralatan yang diperlukan antara lain:
a. alat pengambil contoh;
b. alat ukur parameter lapangan;
c. alat penyaring; dan
d. alat penyimpan contoh.
B. Alat pengambil contoh
1. Persyaratan alat pengambil contoh
Alat pengambil contoh harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
terbuat dari bahan yang tidak mempengaruhi sifat contoh;
mudah dicuci dari bekas contoh sebelumnya;
contoh mudah dipindahkan ke dalam wadah penampung
tanpa ada sisa bahan tersuspensi di dalamnya;
mudah dan aman di bawa;
kapasitas alat tergantung dari tujuan pengujian.
2. Jenis alat pengambil contoh
a. Alat pengambil contoh sederhana
Alat pengambil contoh sederhana dapat berupa ember plastik
yang dilengkapi dengan tali, gayung plastik yang bertangkai
panjang.
Catatan: Dalam praktiknya, alat sederhana ini paling sering
digunakan dan dipakai untuk mengambil air permukaan atau
air sungai kecil yang relatif dangkal.

BAB IV – halaman : 74
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Keterangan gambar:
A adalah pengambil contoh terbuat dari polietilen
B adalah handle (tipe teleskopi yang terbuat dari aluminium atau
stanlestil
Gambar 4. 37 Contoh alat pengambil contoh sederhana
gayung bertangkai panjang

Gambar B.2- 36 Contoh alat pengambil air botol biasa secara


langsung

Keterangan gambar:
A adalah pengait
B1 adalah tuas posisi tertutup
B2 adalah tuas posisi terbuka
C1 adalah tutup gelas botol contoh posisi tertutup
C2 adalah tutup gelas botol contoh posisi terbuka
D adalah tali penggantung
E adalah rangka metal botol contoh

Gambar 4. 38 Contoh Alat Pengambil Air Botol Biasa Dengan Pemberat

b. Alat pengambil contoh pada kedalaman tertentu


Alat pengambil contoh untuk kedalaman tertentu atau point
sampler digunakan untuk mengambil contoh air pada
kedalaman yang telah ditentukan pada sungai yang relatif
dalam, danau atau waduk. Ada dua tipe point sampler yaitu
tipe vertikal dan horisontal (lihat Gambar B.2-13 dan B.2-14).

BAB IV – halaman : 75
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 39 Contoh Alat Pengambil Contoh Air Point Sampler


Tipe Vertikal

Gambar 4. 40 Contoh Alat Pengambil Contoh Air Point Sampler


Tipe Horizontal

c. Alat pengambil contoh gabungan kedalaman


Alat pengambil contoh gabungan kedalaman digunakan untuk
mengambil contoh air pada sungai yang dalam, dimana contoh
yang diperoleh merupakan gabungan contoh air mulai dari
permukaan sampai ke dasarnya (lihat Gambar B.2-15).

Gambar 4. 41 Contoh Alat Pengambil Contoh Air Gabungan


Kedalaman
d. Alat pengambil contoh otomatis
Alat pengambil contoh jenis ini digunakan untuk mengambil
contoh air dalam rentang waktu tertentu secara otomatis.
Contoh yang diperoleh ini merupakan contoh gabungan selama
periode tertentu (lihat Gambar B.2-16).

BAB IV – halaman : 76
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 42 Contoh Alat Pengambil Contoh Otomatis

C. Alat pengukur parameter lapangan


Peralatan yang perlu dibawa antara lain:
- DO meter atau peralatan untuk metode Winkler;
- pH meter;
- termometer;
- turbidimeter;
- konduktimeter dan
- 1 set alat pengukur debit.
Catatan: Alat lapangan sebelum digunakan, perlu dilakukan
kalibrasi.
D. Alat Pendingin
Alat ini dapat menyimpan contoh pada 4 °C ± 2 °C, digunakan untuk
menyimpan contoh untuk pengujian sifat fisika dan kimia.
E. Alat Ekstraksi (Corong Pemisah)
Corong pemisah terbuat dari bahan gelas atau teflon yang tembus
pandang dan mudah memisahkan fase pelarut dari contoh.
F. Alat Penyaring
Alat ini dilengkapi dengan pompa isap atau pompa tekan serta dapat
menahan saringan yang mempunyai ukuran pori 0,45 μm.
G. Wadah Contoh
1. Persyaratan wadah contoh
Wadah yang digunakan untuk menyimpan contoh harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 terbuat dari bahan gelas atau plastik Poli Etilen (PE) atau Poli
Propilen (PP) atau Teflon (Poli Tetra Fluoro Etilen, PTFE);
 dapat ditutup dengan kuat dan rapat;
 bersih dan bebas kontaminan;
 tidak mudah pecah;
 tidak berinteraksi dengan contoh.
2. Persiapan wadah contoh
Lakukan langkah-langkah persiapan wadah contoh, sebagai
berikut:

BAB IV – halaman : 77
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

a) untuk menghindari kontaminasi contoh di lapangan, seluruh


wadah contoh harus benar- benar dibersihkan di
laboratorium sebelum dilakukan pengambilan contoh.
b) wadah yang disiapkan jumlahnya harus selalu dilebihkan
dari yang dibutuhkan, untuk jaminan mutu, pengendalian
mutu dan cadangan.
c) jenis wadah contoh dan tingkat pembersihan yang
diperlukan tergantung dari jenis contoh yang akan diambil,
sebagai berikut:
2.1 Wadah contoh untuk pengujian senyawa organik yang
mudah menguap (Volatile Organic Compound, VOC)
Siapkan wadah contoh untuk senyawa organik yang mudah
menguap, dengan langkah kerja sebagai berikut:
cuci gelas vial, tutup dan septum dengan deterjen. Bilas
dengan air biasa, kemudian bilas dengan air bebas analit;
bilas dengan metanol berkualitas analisis dan dikeringkan;
setelah satu jam, keluarkan vial dan dinginkan dalam posisi
terbalik di atas lembaran aluminium foil;
setelah dingin, tutup vial menggunakan tutup yang
berseptum.
Catatan 1: Saat pencucian wadah contoh, hindari penggunaan
sarung tangan plastik atau karet dan sikat.
Catatan 2: Untuk beberapa senyawa organik yang mudah
menguap yang peka cahaya seperti senyawa yang
mengandung brom, beberapa jenis pestisida, senyawa organik
poli-inti (Poli Aromatik Hidrokarbon, PAH), harus digunakan
botol berwarna coklat.
2.2 Wadah contoh untuk pengujian senyawa organik yang dapat
diekstraksi
Siapkan wadah contoh untuk senyawa organik yang dapat
diekstraksi, dengan langkah kerja sebagai berikut:
a. cuci botol gelas dan tutup dengan deterjen. Bilas dengan
air biasa, kemudian bilas dengan air bebas analit;
b. masukkan 10 mL aseton berkualitas analisis ke dalam
botol dan rapatkan tutupnya, kocok botol dengan baik
agar aseton tersebar merata dipermukaan dalam botol
serta mengenai lining teflon dalam tutup;
c. buka tutup botol dan buang aseton. Biarkan botol
mengering dan kemudian kencangkan tutup botol agar
tidak terjadi kontaminasi baru.
2.3 Wadah contoh untuk pengujian logam total dan terlarut
Siapkan wadah contoh untuk pengujian logam total dan
terlarut, dengan langkah kerja sebagai berikut:

BAB IV – halaman : 78
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

cuci botol gelas atau plastik dan tutupnya dengan deterjen


kemudian bilas dengan air bersih;
bilas dengan asam nitrat (HNO3) 1:1, kemudian bilas
lagi dengan air bebas analit sebanyak 3 kali dan
biarkan mengering, setelah kering tutup botol dengan
rapat.
2.4 Wadah contoh untuk pengujian KOB, KOK dan nutrien
Siapkan wadah contoh untuk pengujian KOB, KOK dan
nutrien, dengan langkah kerja sebagai berikut:
a. cuci botol dan tutup dengan deterjen bebas fosfat
kemudian bilas dengan air bersih;
b. cuci botol dengan asam klorida (HCl) 1:1 dan bilas lagi
dengan air bebas analit sebanyak 3 kali dan biarkan
mengering, setelah kering tutup botol dengan rapat.
2.5 Wadah contoh untuk pengujian anorganik non-logam
Siapkan wadah contoh untuk pengujian anorganik non-
logam, dengan langkah kerja sebagai berikut:
o cuci botol dan tutup dengan deterjen, bilas dengan air
bersih kemudian bilas dengan air bebas analit sebanyak
3 kali dan biarkan hingga mengering;
o setelah kering tutup botol dengan rapat.
H. Pencucian wadah contoh
Lakukan pencucian wadah contoh sebagai berikut:
- Wadah contoh harus dicuci dengan deterjen dan disikat
untuk menghilangkan partikel yang menempel di
permukaan;
- Bilas wadah contoh dengan air bersih hingga seluruh
deterjen hilang;
- Bila wadah contoh terbuat dari bahan non logam, maka
cuci dengan asam HNO3 1:1, kemudian dibilas dengan air
bebas analit;
- Biarkan wadah contoh mengering di udara terbuka;
- Wadah contoh yang telah dibersihkan diberi label bersih-
siap untuk pengambilan contoh.
I. Volume Dan Pengawetan Contoh
Berikut Volume dan cara pengawetan contoh yang diambil untuk
keperluan pemeriksaan lapangan dan bergantung jenis
pemeriksaan yang diperlukan.
J. Lokasi dan Titik Pengambilan Contoh
 Lokasi Pemantauan Kualitas Air
Lokasi pemantauan kualitas air pada umumnya dilakukan pada:
a. Sumber air alamiah, yaitu pada lokasi yang belum atau
sedikit terjadi pencemaran (titik 1, lihat Gambar B.2-17).

BAB IV – halaman : 79
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

b. Sumber air tercemar, yaitu pada lokasi yang telah


menerima limbah (titik 4, lihat Gambar B.2-17).
c. Sumber air yang dimanfaatkan, yaitu pada lokasi
tempat penyadapan sumber air tersebut. (titik 2 dan 3,
lihat Gambar B.2-17).
d. Lokasi masuknya air ke waduk atau danau (titik 5, lihat
Gambar B.2-17).
Catatan: Untuk informasi yang lebih rinci, maka pengambilan
contoh tidak boleh secara komposit.

Gambar 4. 43 Contoh Lokasi Pengambilan Air

C) Metode Penentuan Mutu Kualitas Air


1. Metode Storet
Metode STORET merupakan salah satu metode untuk
menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan
metode STORET ini dapat diketahui parameter-parameter yang
telah memenuhi atau melampaui baku mutu air.
Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara
data kualitas air dengan baku mutu yang disesuaikan dengan
peruntukannya guna menentukan status mutu air.
Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan
menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (Environmental
Protection Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air
dalam empat kelas, yaitu:
(1) Kelas A : Baik Sekali, Skor = 0 Memenuhi baku mutu
(2) Kelas B : Baik, Skor = -1 s/d -10 Cemar ringan
(3) Kelas C : Sedang, Skor = -11 s/d -30 Cemar sedang
(4) Kelas D : Buruk, Skor ≥ - 31 Cemar berat
 Prosedur Penggunaan STORET
Penentuan status mutu air dengan menggunakan
metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:

BAB IV – halaman : 80
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

a. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit


air secara periodik sehingga membentuk data dari
waktu ke waktu (time series data).
b. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-
masing parameter air dengan nilai baku yang
sesuai dengan kelas air.
c. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu
air (hasil pengukuran ≤ baku mutu) maka diberi
nilai 0.
d. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku
mutu air (hasil pengukuran> baku mutu), maka
diberi skor:
Tabel 4.20 Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status
Mutu Air
Jumlah Contoh Parameter
1) Nilai Fisika Kimia Biologi
<10 Maksimum -1 -2 -3
Minimum -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
≥ 10 Maksimum -2 -4 -6
Minimum -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18

Catatan: 1) jumlah parameter yang digunakan untuk penentuan


status mutu air.

Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan


ditentukan status mutu dari jumlah skor yang didapat
dengan menggunakan sistem nilai.
Nilai indeks STRORET yang mendekati nol
menggambarkan semakin baik kualitas air yang diamati.
Perincian sistem pemberian nilai bagi setiap nilai minimum,
maksimum dan rata-rata masing-masing parameter fisika,
kima dan biologi berdasarkan jumlah parameter yang
digunakan. Indeks STORET memiliki kelebihan dan
kekurangan dibandingkan dengan indeks kualitas air
lainnya.
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.115
Tahun 2003, kelebihan indeks STORET adalah dapat
menggabungkan banyak data parameter kualitas air
sehingga gambaran mengenai kualitas air akan lebih
komprehensif dan tidak terpaku pada parameter-

BAB IV – halaman : 81
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

paramater tertentu. Kekurangan yang dimiliki adalah


tidak adanya jumlah parameter tetap yang harus digunakan.
Semakin banyak parameter kualitas air yang digunakan
dalam perhitungan indeks STORET, maka akan semakin
tepat gambaran kualitas air yang didapat.

2. Indeks Pencemaran
Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S.,
mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa
pencemar yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini
dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang
digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif
terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974).
Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas
Air (Water Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan
untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk
beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian
dari suatu sungai.
Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini
dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat
menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta
melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi
penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. IP
mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang
independent dan bermakna.
 Prosedur Penggunaan Metode Indeks Pencemaran
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang
dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang
diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi
pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah
Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi
dari Ci/Lij.
PIj = f (C1/L1j, C2/L2j,…,Ci/Lij)
Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang
diakibatkan oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak
mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik,
karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi suatu Baku
Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter,
maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi atau
disisihkan, kalau badan air digunakan untuk peruntukan (j).
Jika parameter ini adalah parameter yang bermakna bagi

BAB IV – halaman : 82
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

peruntukan, maka pengolahan mutlak harus dilakukan bagi air


itu.
Pada model IP digunakan berbagai parameter kualitas air,
maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari
keseluruhan nilai Ci/Lij sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi
nilai ini tidak akan bermakna jika salah satu nilai Ci/Lij bernilai
lebih besar dari 1. Jadi indeks ini harus mencakup nilai Ci/Lij
yang maksimum
PIj = f {(Ci/Lij)R,(Ci/Lij)M}
Dengan (Ci/Kij)R : nilai Ci/ Lij rata-rata
(Ci/Lij)M : nilai Ci/Lij maksimum
Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis
maka PIj merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M
dalam bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu tersebut.

Gambar 4. 44 Pernyataan Indeks Untuk Suatu Peruntukan (j)

Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika


nilai (Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih besar dari 1,0. Jika
nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin
besar, maka tingkat pencemaran suatu badan air akan makin
besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij
diusulkan sebagai faktor yang memiliki makna untuk
menyatakan tingkat pencemaran.

PI j  m Ci / Lij 2 M  Ci / Lij 2 R
Dimana m = factor penyeimbang
Keadaan kritik digunakan untuk menghitung nilai m
PIj = 1,0 jika nilai maksimum Ci/Lij = 1,0 dan nilai rata-rata
Ci/Lij = 1,0 maka
1,0  m 12  12

m  1 / 2 , maka persamaan akan menjadi

PI j 
Ci / Lij 2 M  Ci / Lij 2
2
Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat
ketercemaran dengan dapat atau tidaknya sungai dipakai

BAB IV – halaman : 83
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-


parameter tertentu.
Evaluasi terhadap nilai PI adalah:
0 ≤ PIj ≤ 1,0  memenuhi baku mutu (kondisi baik)
1,0 < PIj ≤ 5,0  cemar ringan
5,0 < PIj ≤ 10  cemar sedang
PIj > 10  cemar berat
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang
dicantumkan dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air (j), dan
Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang
diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi
pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah
Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi
dari Ci/Lij. Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara :
Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah
maka kualitas air akan membaik.
Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki
rentang.
Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi
pengambilan cuplikan.
Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan
tingkat pencemaran meningkat, misalkan DO. Tentukan nilai
teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim
merupakan nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil
pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan,
yaitu :

Ci / Lij baru  Cim  CCihasilpengu


L
kuran

im ij

Jika nilai baku Lij memiliki rentang


Untuk Ci ≤ Lij rata-rata

C  L   rata
Ci / Lij baru  L  i ij rata


ij min imum Lij rata rata 
Untuk Ci > Lij rata-rata

Ci / Lij baru  L 


C  L 
i ij rata rata 
ij maksimum  Lij rata rata
Keraguan timbul jika dua nilai Ci/Lij) berdekatan dengan nilai
acuan 1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan
yang sangat besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam
contoh ini tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara
untuk mengatasi kesulitan ini adalah:
Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini
lebih kecil dari 1,0.

BAB IV – halaman : 84
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil


pengukuran lebih besar dari 1,0.
(Ci/Lij)baru = 1,0 + P.log(Ci/Lij)hasil pengukuran P adalah
konstanta dan nilainya ditentukan dengan bebas dan
disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan
atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu
peruntukan (biasanya digunakan nilai 5).
Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari
keseluruhan Ci/Lij ((C=/Lij)R dan (Ci/Lij)M).
Tentukan harga PIj

PI j 
Ci / Lij 2 M  Ci / Lij 2 R
2

 Kualitas Air Metode Indeks Pencemaran


Sama halnya dengan penentuan status mutu air dengan
menggunakan metoda STORET, metode Indeks Pencemaran
juga ditentukan dengan memperhatikan paramater yang terdiri
dari parameter fisika, parameter kimia, dan parameter biologi
dan dibagi berdasarkan peruntukannya. Dengan evaluasi mutu
pencemaran didasarkan sesuai Tabel 2. 34. di bawah ini maka
dapat diperoleh Status Mutu Kualitas Air Metode Indeks
Pencemaran pada daerah genangan.

Tabel 4.21 Evaluasi Mutu Air Metode Indeks Pencemaran


Rentang Nilai Indeks Kategori
0 ≤ IP ≤ 1 Memenuhi Baku Mutu (baik)
1 ≤ IP ≤ 5 cemar ringan
5 ≤ IP ≤ 10 cemar sedang
IP > 10 cemar berat

3. Pembuatan Peta Sebaran Kualitas Air pada Program ArcGIS


Peta sebaran kualitas air dibuat dengan programArcGIS 10.3.
dengan menggunakan tool Kriging.
Langkah-langkah pembuatan peta indeks kekeringan pada
program ArcGIS 10.3 dengan metode Kriging adalah sebagai
berikut :
Buka program ArcMap, kemudian pilih lembar kerja baru.
Tambahkan file batas genangan Grawan dan titik sample pada
layer.

BAB IV – halaman : 85
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Aktifkan extensions Geostatistical Analyst dengan cara pilih


Tools pada Menu Bar → Extensions → beri tanda pada
Geostatistical Analyst → Close.

Aktifkan Start Editing pada Editor Toolbars yang terdapat pada


Tools

BAB IV – halaman : 86
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Masukkan nilai hasil uji kualitas airdengan cara :


Klik kanan pada layer pos hujan dan pilih Open Attribute Table

Pilih Add Field pada Options

Beri nama pada Field baru sesuai nama hasil uji tes kualitas
air, dan masukkan nilai hasil uji test sesuai titik sample.

BAB IV – halaman : 87
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Untuk membuat peta sebaran kualitas air pada genangan


Grawan dilakukan sebagi berikut :
Klik Geostatistical Analyst lalu pilih Geostatistical Wizard

Klik Geostatistical Wizard, kemudian pada Methods pilih


Kriging, pada Input data titik sample dan pada Attribute pilih
sesuai nama field yang telah dimasukkan nilai kualitas air.

Klik Finish, lalu OK

BAB IV – halaman : 88
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Untuk melakukan Overlay peta hasil indeks kekeringan


sesuai gambar DAS adalah dengan klik kanan pada Layers
lalu pilih Properties

Klik Data Frame lalu pilih Enable pada Clip to shape

Setelah memilih Enable lalu klik specify Shape → pilih Outline


of Features → pada Layers pilih ”batas Air Grawan” → OK →
Apply →OK

Langkah selanjutnya untuk melakukan overlay peta hasil


indeks kekeringan adalah dengan klik kanan pada Ordinary
Kriging lalu pilih Properties

BAB IV – halaman : 89
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Klik Extent lalu pada Set the Extent to pilih ”the rectangular
extent of batas Air Grawan”

Klik Apply →OK

4. Analisa Sedimentasi
 Analisis Laju Erosi
Laju erosi dari suatu bidang lahan adalah merupakan hasil interaksi
antara hujan yang jatuh pada lahan tersebut, sifat tanah, bentuk lahan,
cara pengolahan tanah dan tanaman. Metode yang digunakan untuk
menghitung besarnya erosi adalah metode USLE (Universal Soil Loss

BAB IV – halaman : 90
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Equiation) yang dikembangkan oleh Wischeimer dan Smith (1958).


Adapun persamaan umum dari metode tersebut adalah sebagai berikut :
A= R x K x L x S x C x P
dengan :
A= Jumlah tanah yang hilang (ton/Ha)
R= Indeks erosivitas hujan
K= Indeks erodibilitas tanah
L= Faktor panjang lereng
S= Faktor Kemiringan Lahan
C= Faktor Tanaman
P= Faktor Pengelolaan
 Indeks Erosivitas Hujan
Nilai indeks erosivitas hujan ini adalah untuk menilai kemampuan
potensial hujan untuk mengerosikan tanah. Dalam hal ini Wishmeier dan
Smith (1960) menerangkan bahwa dari hasil analisa ternyata besarnya
erosi pada tanah tanpa tanaman berkorelasi tinggi dengan hasil kali dua
macam sifat hujan, yaitu total energi kinetik (E) dan intensitas hujan
maksimum selama 30 menit (I30). Rumus yang digunakan adalah :
R = (EI30)n
EI30 = 6,199 (Rb x 1,211) (N – 0,474) (Rm x 0,526)
dimana :
EI30 = Indeks erosivitas rata-rata perbulan
R = Indeks erosivitas pertahun
Rb = Curah hujan bulanan rata-rata (cm)
N = Jumlah hari hujan rata-rata perbulan (hari)
Rm = Curah hujan harian maksimum rata-rata perbulan (cm)
 Indeks Erodibilitas Tanah
Indeks erodibilitas tanah disebut juga indeks kepekaan erosi tanah yang
didefinisikan sebagai laju kehilangan tanah tahunan dalam satuan berat
persatuan luas tanah per indeks erosivitas hujan. Parameter-parameter
untuk menduga nilai K adalah sebagai berikut :
- Persen debu (2 - 3 mikron) + persen pasir sangat halus (5 - 100
mikron)
- Persen pasir
- Persen bahan organik
- Struktur tanah
- Permeabilitas tanah
Selanjutnya parameter-parameter tersebut dimasukan dalam sebuah
nomogram dan untuk memudahkan perhitungan nomograf tersebut
dibuat rumus sebagai berikut :
K = [2,713 M1,14 (104) (12-a) + 3,25(b-2) + 2,5(c-3)]/100
dimana :
K = Faktor erodibilitas tanah

BAB IV – halaman : 91
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

M = Parameter ukuran butir


a= Prosentase bahan organik
b= Kode struktur tanah
c= Kode permeabilitas tanah
 Faktor Lereng
Karkateristik lereng akan sangat mempengaruhi besarnya erosi yang
terjadi, hal ini terkait dengan energi yang menyebabkan terjadinya erosi
itu sendiri. Karakteristik lereng yang dimaksud adalah
 Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng berpengaruh pada kecepatan dan volume limpasan
permukaan. Semakin tinggi kemiringan lereng akan semakin cepat laju
limpasan permukaan yang terjadi. Dengan semakin tinggi kemiringan
lereng maka waktu untuk infiltrasi air kedalam tanah menjadi sedikit,
dengan demikian volume erosi menjadi lebih besar.
 Panjang Lereng
Panjang lereng berpengaruh kepada energi untuk terjadinya erosi.
Panjang lereng ini akan mempengaruhi volume limpasan permukaan
sehingga mempengaruhi kemampuan untuk mengerosi tanah.
Dalam perhitungan besarnya erosi yang terjadi, faktor LS biasanya a
panjang dan kemiringan lereng dalam keadaan baku yaitu panjang 22
meter dan kemiringan 30%. Namun bila keadaan lereng di lapangan
tidak dalam keadaan baku, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
Untuk S < 20% :
√𝐿
𝐿𝑆 = − {0,136 + 0,00975 𝑆 + 0,0193 𝑆 2 }
100
Untuk S > 20% :
0,6 14
𝐿𝑆 = (𝐿⁄22,1) × (𝑆⁄9)
𝐿 = 0,5 × 𝐷
𝐷 = 1,35 ∙ 𝑑 + 0,26 ∙ 𝑆 + 2,8
𝐿
𝐷 = 𝑐⁄𝐴
dengan :
L = Panjang Lereng (m)
S = Kemiringan (%)
D = Kerapatan drainase sebenarnya
d = Kerapatan drainase
Lc = Panjang seluruh alur sungai (km)
A = Luas DAS (km2)
 Faktor Tanaman dan Pengelolaan Tanah (CP)
Faktor tanaman (C) adalah perbandingan erosi dari lahan yang ditanami
suatu jenis tanaman dengan erosi dari plot control. Kemampuan
tanaman untuk menutup tanah dalam menekan laju erosi akan
mempengaruhi besar kecilnya faktor tanaman. Faktor pengelolaan (P)

BAB IV – halaman : 92
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

adalah perbandingan erosi dari lahan/tanah yang disertai pengelolaan


dengan besarnya erosi dari lahan dari tanah tanpa pengelolaan. Dalam
perhitungan selanjutnya faktor tanaman (C) dan faktor pengelolaan (P)
disatukan atau dikalikan langsung sehingga menjadi faktor CP. Nilai CP
ini didapat dari peta tata guna lahan dari daerah studi yang dimaksud.
Di bawah ini diberikan nilai faktor-faktor CP beberapa tanaman.
 Perhitungan Laju Erosi
Setelah diperoleh nilai R, K, LS dan CP maka perhitungan erosi dengan
metode USLE sudah bisa dilakukan
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑟𝑜𝑠𝑖
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝐸𝑟𝑜𝑠𝑖 = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑢𝑏 𝐷𝐴𝑆

 Pendugaan Laju Sedimen


Sedimen yang diendapkan pada suatu tempat pada suatu batang sungai
atau pada suatu kawasan akan menyebabkan terjadinya pendangkalan
pada dasar sungai dan pengendapan pada suatu kawasan. Hal ini akan
membawa pengaruh yang tidak menguntungkan pada alur sungai
selanjutnya. Untuk itu diperlukan pendugaan terhadap sedimen yang
akan ada atau yang akan terjadi. Pendugaan Laju sedimentasi di sungai
secara empiris perlu dicek dengan hasil analisis laboratorium sampel
sedimen yang diambil pada saat survei hidrometri.

4.6 Pelaksanaan DED Penataan Kawasan Bendungan


4.6.1 Konsep Perancangan Makro dan Mikro (Landscape)
Landscape bendungan merupakan wajah dari karakter lahan atau tapak yang
terbentuk pada lingkungan, baik yang terbentuk dari elemen lansekap alamiah
seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah,
maupun yang terbentuk dari elemen lansekap buatan manusia yang
disesuaikan dengan kondisi lahannya, yang berfungsi untuk menciptakan
lingkungan jalan yang indah, nyaman dan memenuhi fungsi keamanan.
Tata hijau kawasan perencanaan dirancang merupakan kesatuan perpaduan
rancangan lanskap/landscape dan tata air/waterscape potensi air waduk untuk
Taman Public yang beramenitas. Secara kreatif dirancang pula suayu upaya
untuk mengintegrasikan eksisting daerah hijau dan dengan rencana tata hijau
kawasan yang baru. Selain sebagai penegas dan pengarah struktur ruang
kawasan peranan penting tata hijau lain bagi kawasan perencanaan adalah :
d. Ruang hijau yang rekreatif untuk bermain, berdiskusi dan beristirahat
e. Fasilitas Olahraga (jogging track)
f. Peneduh yang asri bagi jalan – jalan utama kawasan, daerah parker dan
merupakan koridor alam bagi pengendara dan pedestrian.
g. Penegas ruang kawasan dan jalur kendaraan dan pendestrian di tapak
h. Penegas hijau pada batas kawasan perencanaan terhadap kawasan
sekitarnya (greenbelt)
i. Pemersatu ruang – ruang kawasan

BAB IV – halaman : 93
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

j. Paru-paru kawasan sekaligus sebagai kawasan lindung hijau bagi


habitatnya.
Landskap/Landscape dibagi menjadi dua yaitu :
a. Landskap/Landscape Ex-Situ
 Jenis tanaman yang digunakan harus kontekstual dan tidak
menimbulkan dampak jelek terhadap kualitas lingkungan hidup
sekitarnya.
 Jenis tanaman yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan
karakter lama atau otentisitasnya.
 Dipilih jenis tanaman yang berkarakter, langka, menarik,bermanfaat
untuk pendidikan,pelestraian dan rekreasi.
 Dipilih sebagian jenis tanaman yang dapat mendatangkan habitat
yang ramah lingkungan.
b. Landskap/Landscape dan Fauna Insitu
 Tanaman produksi dan signifikan eksisting dari segi jenis,
bentuk,karakter maupun fungsi perlu diusahakan untuk pelestarian
lingkungan.
 Pohon dan tanaman yang signifikan secara historis dan budaya
harus dikembangkan dan bila rasa perlu dapat ditambahkan pagar
pengaman untuk melindunginya dari gangguan eksternal sekaligus
sebagai memperkuat fungsinya sebagai batas wilayah suatu waduk.
 Menempatkan jenis tanaman yang dapat mengundang habitat yang
ramah lingkungan
 Mengembangkan tanaman yang bersifat endemik
Teori Landskap mempunyai 5 (lima) elemen dasar untuk komposisi yaitu :
1. Bentuk muka Tanah/Landform
2. Tumbuhan/vegetation
3. Air/Water
4. Perkerasan/Paving
5. Konstruksi/Structure
Dalam merancanag landskap perlu mengetahui kondisi iklim yang ada,
sehingga dapat menentukan jenis tanaman yang sesuai dengan iklimnya.
Penataan landskap juga berpengarh terhadap ekositem yang ada didalamnya.
Fungsi utama landscape adalah sebagai berikut ;
1. Transportation, taman dapat menjadi bagian dari pejalan kaki dan
bersepeda dengan pembeda antara taman dan perkerasan.
2. Hubungan manusia, taman dapat memiliki fungsi penting dalam
hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi
3. System alam. Taman dapat membantu konservasi habitat. Namun
ukuranya yang kecil membatasi fungsi ekologis.

BAB IV – halaman : 94
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

4.6.2 Konsep Perencanaan Green belt


A. Kajian Batas Sempadan Waduk
Sempadan sungai (riparian zone) adalah zona penyangga antara ekosistem
perairan (sungai) dan daratan. Zona ini umumnya didominasi oleh
tetumbuhan dan/atau lahan basah. Tetumbuhan tersebut berupa rumput,
semak ataupun pepohonan sepanjang tepi kiri dan/atau kanan sungai.
Sempadan sungai yang demikian itu sesungguhnya secara alami akan
terbentuk sendiri, sebagai zona transisi antara ekosistem daratan dan
ekosistem perairan (sungai). Namun karena ketidak pahaman tentang
fungsinya yang sangat penting, umumnya di perkotaan, sempadan tersebut
menjadi hilang didesak oleh peruntukan lain.
Sempadan sungai yang cukup lebar dengan banyak kehidupan tetumbuhan
(flora) dan binatang (fauna) di dalamnya merupakan cerminan tata guna
lahan yang sehat pada suatu wilayah. Keberadaan banyak jenis spesies flora
dan fauna merupakan asset keanekaragaman hayati yang penting bagi
keberlangsungan kehidupan manusia dan alam dalam jangka panjang.
Maksud dan tujuan dari penetapan garis sempadan sungai yaitu:
 Penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upaya agar
kegiatan perlindungan, penggunaan dan pengendalian atas sumber daya
yang ada pada sungai termasuk danau dan waduk dapat dilaksanakan
sesuai dengan tujuannya.
 Penetapan garis sempadan sungai bertujuan :
a) Agar fungsi sungai termasuk danau dan waduk tidak terganggu oleh
aktifitas yang berkembang disekitarnya.
b) Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat
sumber daya yang ada di sungai dapat membrikan hasil secara
optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai.
c) Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat
dibatasi.
Dasar hukum dari penetapan garis sempadan sungai yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2010 Tentang
Bendungan
 Pasal 97 ayat (4)
Pemanfaatan ruang pada daerah sempadan waduk hanya dapat
dilakukan untuk:
a. kegiatan penelitian;
b. kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan; dan/atau
c. upaya mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk.
 Pasal 97 ayat (5)
Penggunaan ruang di daerah sempadan waduk dilakukan dengan
memperhatikan:
a. fungsi waduk agar tidak terganggu oleh aktivitas yang
b. berkembang di sekitarnya;
c. kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setiap daerah; dan

BAB IV – halaman : 95
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

d. daya rusak air waduk terhadap lingkungannya.


 Pasal 97 ayat (6)
Pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan daerah sempadan waduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan berdasarkan izin dari
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
setelah mendapat rekomendasi dari unit pelaksana teknis yang
membidangi sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
 Pasal 101 ayat (1)
Garis sempadan waduk ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan dari
Pengelola bendungan.
 Pasal 101 ayat (2)
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada
kriteria penetapan garis sempadan waduk.
 Pasal 101 ayat (3)
Kriteria penetapan garis sempadan waduk sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. karakteristik waduk, dimensi waduk, morfologi waduk, dan ekologi
waduk;
b. operasi dan pemeliharaan bendungan beserta waduknya; dan
c. tinggi jagaan bendungan.
 Pasal 101 ayat (4)
Ketentuan mengenai tata cara penetapan garis sempadan waduk dan
pemanfaatan daerah sempadan waduk termasuk sabuk hijau waduk
diatur dengan peraturan Menteri.
 Pasal 102 ayat (1)
Dalam rangka mempertahankan fungsi daerah sempadan waduk,
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
menyelenggarakan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan
pengaturan daerah sempadan waduk.
 Pasal 102 ayat (2)
Dalam hal Pemilik bendungan merupakan badan usaha, penyelenggaraan
pengawasan dan pemantauan pengaturan daerah sempadan waduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemilik bendungan.
2. Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan
Lindung
 Pasal 16
Kriteria sempadan sungai adalah:
a. Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50
meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman.
b. Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang
diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 - 15
meter.

BAB IV – halaman : 96
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

 Pasal 17
Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk
melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat
mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk.
 Pasal 18
Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian
danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi
fisik danau/waduk antara 50 - 100 meter dari titik pasang tertinggi ke
arah darat

Gambar 4. 45 Penataan Kawasan Greenbelt pada Badan Air

B. Konsep Perancangan Lanskap Greenbelt pada Bendungan


Konsep perancangan Landskap Greenbelt bendungan dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Pictures-Vista-View
Pictures adalah konsep penataan lanskap yang ingin
mengartikulasikan atau memaknai suatu obyek alam dalan suatu ruang
terbuka yang natural. Elemen-elemen lanskap dan alam seolah
divisualisasikan dalam suatu gambar di suatu kanvas. Ruang yang
merupakan bentang alam adalah kanvas, sedangkan pegunungan, langit
dan danau adalah kerangka pembatas ruang atau background dari suatu
karakter obyek alam yang ingin ditonjolkan sebagai nodes atau landmark
dalam ruang alami tersebut. Barisan nodes pepohonan pun akan
membentuk elemen linier yang dapat berperan sebagai background dari
suatu obyek alam yang ingin ditonjolkan. Obyek utama dapat berupa
pohon tua, tanaman langka, tanaman berkarakter atau pun bongkahan
batu alam, bahkan suatu pulau. Air Waduk Batujai dapat dimanfaatkan
sebagai latar belakang kawasan yang dikembangkan. View ke arah danau
merupakan hamparan air yang luas dan memberikan kesan kebebasan ber
ekspresi bagi pengunuung yang nantinya memanfaatkan kawasan
tersebut.

BAB IV – halaman : 97
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

b. Painting-scenery
Di atas kanvas alami, harmonisasi natural scenery dan man made
scenery seolah melukiskan sket goresan kontur, bukit, lembah dan sungai
yang menyatu dengan abstraksi titik-titik dan barisan pepohonan tua
yang magis. Komposisinya menggubah panorama dalam kerangka
ruang yang dibatasi horison air, pegunungan yang mengitarinya dan
langit yang menaunginya.
c. Tropical Garden
Tropical Garden, adalah tatanan lanskap yang natural dalam suatu
bentang alam yang luas. Pepohonan ditata secara repetitif yang abstrak
dalam suatu keteraturan dalam suatu bentang alam yang didominasi oleh
hamparan rerumputan/lawn dan naungan kanopi pepohonan yang
menciptakan keteduhan alami.
d. Alami – Natural
Tatanan lanskap yang natural dibuat sealami mungkin. Karakter dan
komposisi lanskap maupun topografi dibiarkan tumbuh alami, meskipun
berkesan liar. Kesan liar ini diharapkan mampu memvisualisasikan
karakter lanskap yang alami/natural scenery. Potensi elemen-elemen
Green Belt Waduk dapat direpresentasikan melalui kreativitas proses
penggalian, perancangan dan pengemasan potensi alam yang
signifikan agar tercipta kenyamanan publik/public easement di ruang
publik. Elemen natural Green Belt Waduk meliputi:
1. Potensi Green belt waduk yang perlu dikembangkan sekaligus
dikonservasi
2. Representasi amenitas pada elemen Green Belt Waduk dapat
disuguhkan sebagai kemasan paket edukasi dan wisata yang
signifikan seperti berikut :
Secara pengalaman dieproleh suasana keheningan/quietness
Pemandangan waduk yang signifikan
Desa/Village yang natural
Bening,riak dan gelombang air waduk
Rerimbunan pepohonan
Birunya langit
Keteduhan/bayangan/shading
Lorong/koridor sungai yang hening, natural dan artistic.

e. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Green Belt Bendungan


Pemilihan jenis-jenis tumbuhan Lombok Tengah khususnya di sekitar
Green Belt Batujai (yang berhabitat di dataran rendah dan daerah pasang
surut), dapat direncanakan untuk membentuk keanekaragaman jenis
tumbuhan khas Lombok. Pada tahap-tahap awal, kegiatan pemilihan
jenis-jenis tumbuhan (eksplorasi flora) dapat difokuskan di daerah pasang
surut pada sistem Waduk Batujai, dan pada dataran rendah di sekitarnya.

BAB IV – halaman : 98
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Selanjutnya pemilihan dapat difokuskan pada kawasan pasang surut dan


dataran rendah lainnya. Setelah itu, secara bertahap pemilihan tumbuhan
dilanjutkan ke zonasi kawasan yang dipilih untuk direncanakan guna
kegiatan masyarakat
f. Konservasi Potensi Alam Waduk
Potensi alam yang perlu dipertahankan antara lain, pohon, vegetasi,
tanaman darat-air, tebing/bibir waduk, sungai, kontur, flora/fauna dan
view dengan mengindahkan hal-hal spesifik seperti berikut:
Bentuk kontur,tepian waduk sangat ditekankan agar tercipta suatu
kawasan, kawasan pembelajaran dan atau kawasan rekreasi yang
berkarakter.
Pohon eksisting diprioritas pada pohon buah – buahan yang
produksi dan bermanfaat mengundang fauna, bentuk memiliki
karakter yang signifikan dan usianya sudah tergolong maksimal.

Berikut adalah contoh ilustrasi Konsep Perancangan Lanskap Bendungan


Batujai di Lombok :

Gambar 4. 46 Contoh Ilustrasi Konsep Perancangan Lanskap Bendungan

BAB IV – halaman : 99
DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Dalam perancangan lanskap suatu bendungan, perlu memperhatikan 2 (dua) kriteria


pemilihan, yaitu softscape dan hardscape.
1. Kriteria Pemilihan Softscape (Vegetasi)
Kriteria Pemilihan Vegetasi adalah sebagai berikut :
a. Peredam kebisingan; untuk fungsi ini dipilih penanaman dengan vegetasi
berdaun rapat. Pemilihan vegetasi berdaun rapat berukuran relatif besar dan
tebal dapat meredam kebisingan lebih baik.
b. Ameliorasi iklim mikro; tumbuhan berukuran tinggi dengan luasan area
yang cukup dapat mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh
radiasi energy matahari.
c. Penapis cahaya silau; peletakan tanaman yang diatur sedemikian rupa
sehingga dapat mengurangi dan menyerap cahaya.
d. Mengatasi penggenangan.

Tabel 4.22 Contoh tanaman untuk sabuk hijau tahan penggenangan air
Lama Jenis Tanaman
Genangan Nama Lokal
(hari) Nama Latin
0 – 10 Sungkai, Jati Seberang Peronema canescens
Jati Tectona grandis
Dahat Tectona hamiltoniana
10 – 20 Salam Eugeniu polyantha
Lantana Merah, Lantana camara
Balsa
Tembelekan Orchoma lagopus
Cendana India Santaum album
Suren Toona sureni
Gopasa Vitex gopassus
20 – 30 Kesumba Keling, Pacar Bixa orellana
Kemlandingan
Keling Leucaena glauca
30 – 40 Kayu Palele Castanopsis javanica
Trengguli, Golden Shower Cassia fistula
Sumber: Soerianagara dan Indrawan (1988)

e. Penahan angin ; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi sebagai


penahan angina perlu diperhitungkan beberapa factor yang meliputi
panjang jalur, lebar jalur.
f. Mengatasi instrusi air laut; tanaman yang dipilih adalah daya
evapotranpirasinya rendah. Pada daerah payau dapat dipilih pohon Mahoni
(Switenia Mahagoni) dan Asam Landi (Phichecolobium Dulce).
g. Penyerap dan penepis bau; jalur pepohonan yang rapat dan tinggi dapat
melokalisir bau dan menyerap bau. Beberapa spesies tanaman seperti
cemapak (Michaelia Campaca), Kenanga (Cananga odorota), Tanjung
(Mimosop elengi) adalah tanaman yang dapat mengeluarkan bau harum.
h. Mengamankan pantai dan membentuk daratan; sabuk hijau ini dapat berupa
formasi hutan mangrove, yang telah terbukti dapat meredam ombak dan
membantu proses pengendapan lumpur dipantai.

BAB IV – halaman : 100


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

i. Mengatasi penggurunan; sabuk hijau berupa jalur pepohonan yang tinggi


lebar dan panjang, yang terletak di bagian yang mengarah ke hembusan
angin, dapat melindungi daerah dari hembusan angin yang membawa serta
pasir.

Gambar 4. 47 Contoh Hasil Penggambaran Landskap Softscape Bendungan

2. Kriteria Pemilihan Hardscape


Kawasan RTH Green Belt Bendungan dirancangkan dengan jalur pergerakan yang
nyaman bagi pejalan kaki dan didesainkan bagi jalur pejalan kaki/street design
melalui pendekatan konsep desain.
Jalur Pejalan Kaki Alam (Natural Corridor)
Kawasan RTH Greenbelt bendungan, perlu dirancangkan jalur pergerakan
yang nyaman bagi pejalan kaki dan didesainkan jalur pejalan kaki yang
menarik mulai pendekatan konsep desain.
Jalur bersama Pejalan Kaki dan Kendaran ( Lane Way)
Kawasan RTH Green Belt dikembangkan dengan konsep pedestrian yang
natural dengan material – material pendukung yang nyaman dan artistik yang
memiliki kualitas pedestrian environtment yang nyaman dan urban
environtment yang koheren. Bahan dari pedestrian dipilih yang dapat
menyerap air sehingga dapat mendukung konservasi sumber daya air.
Jalur Khusus Pejalan Kaki (Street for People)
Mengembalikan fungsi jalan sebagai street as locus solus of communication,
yaitu street dianggap sebagai tempat yang bermakna dan berkarakter untuk
mengembalikan jalan sebagai ruang milik publik. Jalan adalah tempat ruang
sosial/komunikasi sekaligus untuk mengakses ke kawasan wisata danau

BAB IV – halaman : 101


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dimana kenyamanan publik khususnya bagi pedestrian menjadi prioritas


utama.

Gambar 4. 48 Contoh Hasil Penggambaran Landskap Hardscape Bendungan

C. Komponen pada Sabuk Hijau (Greenbelt)


Kawasan Sabuk Hijau (Green belt) merupakan kawasan yang direncanakan
disekeliling waduk yang berfungsi untuk mencegah erosi pada lereng
(sempadan) waduk, menjaga stabilitas tanah, sebagai kawasan yang
memisahkan waduk dengan lahan disekelilingnya dan menambah usia guna
waduk.
Pohon sebagai penyusun sabuk hijau (green belt) berfungsi untuk menghalangi
jatuhnya air hujan sehingga mengurangi erosi percik, menghambat aliran
permukaan, memperbanyak aliran infiltrasi dan mencegah evaporasi berlebih.
Kemampuan vegetasi untuk menahan erosi dipengaruhi oleh semua komponen
pohon dari daun sampai akar secara individu dan bersama-sama salam suatu
kelompok vegetasi disuatu kawasan hutan. Tipologi tanaman yang mempunyai
tajuk rapat mampu menurunkan energy kinetik hujan sehingga mampu
menekan kehilangan tanah akibat erosi. Semakin lengkap strata dan jenis
vegetasi maka makin besar kemampuannya menahan erosi.
Pengaruh jenis tanaman terhadap aliran permukaan dipengaruhi oleh beberapa
factor antara lain :
a. Tingkat pertumbuhan tanaman
b. Ketinggian tanaman
c. Keadaan daun tanaman
d. Kerapatan tanaman
e. Sistem perakaran
Akar tumbuh – tumbuhan mampu mengikat dan mencengkeram tanah
sehingga memperkuat stabilitas lereng. Ketebalan masa daun yang jatuh akan

BAB IV – halaman : 102


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

menghalangi aliran permukaan dan memecah diameter butir hujan. Berikut


adalah komponen - komponen yang berada dilingkungan Greenbelt :
2. Arboretum
Secara filosofi “Arbor” berarti pohon dan “retum” berarti tempat atau
ruang. Arboretum adalah suatu tempat atau area yang luas untuk
pertumbuhan tanaman yang efektif dari semua jenis tanaman yang
berbeda seperti pohon hias, semak-semak, tanaman rambat dan tanaman
lain yang dapat tumbuh pada sebuah area dengan memperhatikan
pemeliharaannya, pelebelan yang teapt dan teori yang tepat.
Beberapa fungsi Arboretums secara umum adalah sebagai berikut :
Untuk memperlihatkan semua bagian yang indah dengan
dilengkapi hiasan permanen diantara tanaman berkayu pada
sebuah area
Menginformasikan pengetahuan mengenai tanaman kepada
public
Menyediakan laboratorium sebagai pembelajran mengenai botani
dan holtikultura.
Menambah produktivitas, ekonomi dan keindahan area dengan
cara pengelolaan dan perawatn khusu untuk tanaman yang sulit
berkembang
Fungsi arboretum dalam kawasan bendungan adalah menambah daya
tarik wisata untuk berkunjung sekitar bendungan, karean keanekaragaman
hayati yang ditanam disekitar kawasan greenbelt.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa rancangan arboretum harus memiliki
ciri khas yang mudah diingat pengunjung, kelengkapan ornament sebagai
keindahan, memperlihatkan varietas baru dari daerah lain sebagai
pengetahuan, adanya laboratoriu untuk penelitian, meningkatkan fungsi
tanaman hias, serta penyediaan lokasi hiburan.
3. Agroforestry
Agrofoersty merupakan system penggunaan lahan secara terpadu yang
mengkombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian/hewan yang
dilakukan baik secara bersama – sama atau bergilir dengan tujuan untuk
menghasilkan penggunaan lahan yang optimal yang berkelanjutan.
Agroforesty dikelompokkan menajdi dua system, yaitu system
agroforestry sederhana dan system agroforestry kompleks. Perbedaan
kedua system tersebut yaitu :
 Sistem Agroforestry Sederhana
Sistem Agroforestry sederhana merupakan perpaduan satu jenis
tanaman tahunan dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim.
Jenis pohon yang ditanam pada lahan tersebut merupakan tanaman
yang bernilai ekonomi tinggi seperti pohon karet (Havea
braziliansis), kelapa (cocus nucefera), cengkeh (Syzygium
aromaticum), dan jati (Tectona grandis). Ada juga tanaman yang
ditanam merupakan tanaman yang bernilai ekonomi rendah seperti

BAB IV – halaman : 103


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

dadap (is Eruthina, sp), lamtoro (Leucaena leucaphala), kaliandra


(Calliandra haematocephalla). Tanaman musiman yang biasa
ditanam yaitu padi, jagung, palawija, sayur mayor atau jenis tanaman
lain seperti pisang, kopi, matoa, dan kakao.
Berikut adalah contoh jenis tanaman dan pemanfaaatannya :
1. Lamtoro ( Leucaena Leucocaphela)
Habitus : pohon atau perdu, tinggi hingga 20 m; meski
kebanyakan hanya sekitar 10 m. Percabangan rendah,
banyak, dengan pepagan kecoklatan atau keabu-abuan,
berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-ranting bulat
torak, dengan ujung yang berambut rapat
(Jawa, Sumatera )
Manfaat : Sejak lama dimanfaatkan sebagai pohon peneduh,
pencegah erosi, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Di
tanah – tanah yang cukup subur, lamtoro tumbuh dengan
cepat dan dapat mencapai ukuran dengan tinggi 13-18 m.

Gambar 4. 49 Jenis Tanaman Lamtoro (Leucaena Leucaphala)

2. Melinjo (Gnetum Genemon)


Habitus : adalah suatu spesies tanaman tahunan berbiji terbuka
(Gymnospermae) berbentuk pohon berumah dua yang
selalu hijau dan berbatang lurus, tinggi mencapai 5-10 m.
tajuknya berbentuk pyramid atau kerucut lansing. Batang
lurus kokoh dengan kulit abu – abu. (Sebaran Jawa,
Sumatera dan Sulawesi).
Manfaat : Melinjo jarang dibudayakan secara intensif. Kayunya
dapat dipakai sebagai bahan papan. Daun mudanya
dapat digunakan sebagai bahan sayur. Pohon melinjo
yang memiliki perakaran yang kuat baik ditanam untuk
pemulihan kembali lahan kritis/rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah.

BAB IV – halaman : 104


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 50 Daun, bunga dan buah Melinjo


3. Karet ( Hevea brasilinsis )
Habitus : bentuk pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. batang
pohon biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan
yang tinggi. Dibeberapa kebun karet ada kecondongan
arah tumbuh tanaman kearah utara. Batang tanaman ini
mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks.

Gambar 4.51 Pohon Karet ( Hevea brasilinsis )

4. Jati ( Tectona Grandis )


Habitus : Pohon besar yang menggugurkan daun. Pada kondisi baik,
tinggi dapat mencapai 30 - 40 m .Pada habitat kering,
pertumbuhan menjadi terhambat, cabang lebih banyak,
melebar dan membentuk semak. Pada tapak bagus, batang

BAB IV – halaman : 105


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

bebas cabang 15 – 20m atau lebih. Daun lebar, panjang 25-


50m, lebar 15 – 35 cm, letak daun bersilangan, elips atau
bulat telur.
Manfaat : mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-
sel kayunya, sehingga awet digunakan ditempat terbuka,
sebagai bahan baku pembuatan kapal. Pohon jati berfungsi
untuk menahan erosi.

Gambar 4. 52 Pohon Jati ( Tectona Grandis)

 Sistem Agroforestry Kompleks


Sistem agroforestry kompleks merupakan suatu system pertanian
menetap yang berisi banyak tanaman berbasis pohon yang ditanam
dan dirawat oleh penduduk setempat dengan pola tanam dan
ekosistem seperti kawasan hutan.
System ini mecakup sejumlah besar komponen pepohonan, perdu,
tanaman semusim/rumput. Penampakan fisik atau dinamika
didalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik primer
maupun sekunder.
Beberapa ciri – ciri penting agroforestry yaitu :
 Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman/ hewan
atau lebih, yang mana satu diantaranya merupakan tumbuhan
berkayu (pohon)
 Sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun pengelolaannya
 Adanya system interaksi selalu lebih dari satu tahun
pengelolaannya
 Adanya interaksi (baik aspek ekologi maupun ekonomi) antara
tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
 Transfer silang antara pohon dengan tanaman
 Banyak macam keluaran

BAB IV – halaman : 106


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

4. Ecotourism
Ecotourism atau ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan ke
area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan
dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Berikut adalah prinsip – prinsip pengembangan ekowisata yaitu :
Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas
wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan
penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam
dan budaya setempat.
Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan
masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi.
Pendapatan lansung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan
yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola
kawasan pelestarian dapat menerima lansung penghasilan atau
pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat
dipergunakan secara lansung untuk membina, melestarikan dan
meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak
dalam pengembangan ekowisata, demikian juga dalam
pengawasan diharapkan berperan aktif.
Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap
ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong
masyarakat menjaga kelestraian alam.
Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya
pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas
harus terjaga keharmonisannya dengan alam. Apabila ada
upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisat
ekologis.
Menghindari penggunaan minyak , mengkoservasi flora dan
fauna serta keaslian budaya masyarakat.
Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam
mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya
dukung kawasan buatan.
5. Bufferzone
Didalam UU No 5 Tahun 1990 pada penjelasan Pasal 8 ayat 1 menyatakan
bahwa :
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara
menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan.
Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan
pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi perlindungan dan
pelestariannya tetap terjamin. Wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan ini meliputi antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai,
areal tepi sungai, daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi

BAB IV – halaman : 107


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

eksklusif Indonesia, daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi


berat.
Pemanfaatan areal atau wilayah tersebut tetap pada subyek yang diberi
hak, tetapi pemanfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan
Pemerintah. Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan, perlu diadakan penelitian dan
inventarisasi, baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan maupun
yang akan ditetapkan.
Kawasan penyangga (Buffer zone) berfungsi untuk melindungi kawasan
konservasi terhadap gangguan dari luar dan melindungi kawasan
konservasi terhadap gangguan kawasan pemukiman.

D. Penataan Kawasan Secara Vegetatif


Metode konservasi kawasan hulu dalam rangka mengurangi atau mencegah
sedimen ke waduk dapat ditempuh dengan penanganan struktural maupun
non-struktural. Penanganan struktural termasuk pembangunan tampungan
sedimen, bangunan terjunan untuk mengurangi erosi alur, perlindungan tebing
untuk mengurangi erosi tebing, serta bangunan pengendali dasar sungai untuk
menstabilkan elevasi dasar sungai. Penanganan non struktural mencakup
perbaikan daerah tangkapan dengan perbaikan tanaman penutup dan rotasi
tanaman untuk menekan laju erosi serta dengan pengaturan tanaman untuk
menahan angkutan sedimen.
D1. Zonase Tataguna Lahan dan Deskripsi Penanganan Kawasan Hulu
Untuk memudahkan pengontrolan laju erosi permukaan yang terjadi
dikawasan hulu maka kawasan hulu perlu dikelompokkan menjadi zona –
zona penanganan seperti disajikan pada tabel berikut :
Tabel 4.3 Zona Tataguna Lahan

BAB IV – halaman : 108


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Keterangan :
Zona P: Zona Perlindungan
Zona A: Zona Pertanian
Zona A-P: Zona Pertanian dengan Perlindungan
Sub Zona Am-P: Zona Utama Pertanian dan Perlindungan
Sub Zona Aw-P: Zona Utama Tepi Genangan Waduk dan Perlindungan
Zona S: Zona Permukiman

D2. Zonase Tataguna Lahan dan Deskripsi Penanganan Kawasan Hulu


Usaha pengelolaan lahan dikawasan hulu perlu disertai dengan kegiatan
pengelolaan tanah dan tanaman dengan :
a. Pola tanam ganda (multiple cropping), dapat berupa sistem tumpang
sari jika tanaman tersebut ditanam pada waktu bersamaan dan salah
satu dianggap sebagai tanaman utama. Jika diantara tanaman tersebut
tidak ada yang dijadikan tanaman utama, maka tanaman kedua
ditanam tidak bersamaan dengan tanaman pertama,tetapi sebelum
tanaman pertama. Sistem ini disebut sistem tumpang gilir atau sistem
campuran. Tanaman yang diusahakan antara lain : ubi kayung dengan
jagung, kacang tanah dengan kedelai, jagung dengan kacang tanah.
Pola tanam ini dapat memperkecil laju kerusakan tanah baik karena
penurunan kandungan bahan organik maupun karena erosi.
b. Poal tanam berjajar (Strip Copping), dengan tanaman tahunan
misalnya: Lamtoro,Giricidae ditanam dalam barisan diantara tanaman
pangan. Berfungsi untuk menekan laju erosi juga dapat meningkatkan
produktivitas tanah.
c. Pemberian mulsa, yaitu sisa-sisa tanaman yang dikembalikan lagi ke
tanah, misalnya jerami padi, jerami jagung dan lainnya. Mulsa sangat
efektif guna pengolahan tanah. Mulsa dapat menurunkan penguapan
dan memperkecil fluktuasi temperatur tanah. Mulsa sebagai bahan
organik setelah mengalami pelapukan juga dapat membantu
pembentukan dan pemantapan struktur tanah dan akar tanaman.
d. Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan kemantapan agregat
tanah, sekaligus untuk meningkatkan kesuburan tanah, sehingga
memperkecil limpasan permukaan dan laju erosi

BAB IV – halaman : 109


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 53 Zonasi Kemiringan dan Penanganan Erosi

E. Penataan Kawasan untuk Wisata


Menurut UU No 9 tahun 1990 pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan wisata termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata, serta usaha –
usaha yang terkait dibidang tersebut. Pariwisata meliputi, semua kegiatan yang
berhubungan dengan perjalanan wisata, pengusahaan objek dan daya tarik wisata,
seperti kawasan taman wisata, taman rekreasi, peninggalan – peninggalan sejarah,
museum dan waduk.
Sementara itu, berdasarkan PP No 18 Tahun 1994 pasal 1 menyatakan bahwa
wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang
dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati keunikan dan
keindahan alam taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Sumber daya yang dimaksud adalah sumberdaya alam yang berpotensi serta
mempunyai daya tarik wisatawan.

E1. Tinjauan Arsitektural


Tinjauan arsitektural merupakan tinjauan yang mengarah pada desain
bangunan maupun landskap bangunan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kebutuhan dan standart yang diperlukan nantinyan dalam merancang dengan
baik. Ada beberapa tinjauan arsitektural diantaranya peraturan standart
dalam pembangunan kawasan wisata disekitar waduk sebagai berikut :
a. KDB darat dan laut = maksimal 40%
b. KLB didarat dan laut = maksimal 2 atau ketinggian maksimal 4 lantai
c. GSB depan bangunan setiap unit bangunan = ½ dari jalan di depan
bangunan. Dimanfaatkan sebagai taman.
d. GSB samping bangunan tiap unit bangunan resort = minimal 5 meter
e. GSB belakan bangunan tiap unit resort minimal 5 meter.

BAB IV – halaman : 110


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

E2. Fungsi Rekreasi


Fungsi rekreasi dalam pembahasan ini sangat menunjang kebutuhan untuk
merancang Objek Wisata Waduk. Rekreasi berfungsi memberikan rekreasi
bagi seseorang unutuk memenuhi keinginan dan menyenangkan hati
seseorang. Adapun kebutuhan untuk memenuhi fungsi rekreasi sebagai
berikut :
a. Permainan
Permainan adalah segala kegiatan yang memerlukan pemikiran,
kelincahan intelektual pencapaian terhadap target tertentu. Permainan
memiliki sifat sebagai berikut :
 Permainan dimotivasi secara personel, karna memberi rasa kepuasan
 Pemain lebih asyikdengan aktivitas permainan (sifatnya spontan)
dari pada tujuannya
 Aktiviats permainan dapat bersifat non literal
 Permainan bersifat bebas dari aturan-aturan yang dipaksakan dari
luar dan aturan-aturan yang didapat dari pemainnya.
 Pemainnya memerlukan keterlibatan aktif dari pihak pemainnya
b. Kolam Renang
Kolam renang adalah suatu kontruksi buatan yang dirancang untuk diisi
dengan air dan digunakan untuk berenang, menyelam dan aktivitas
lainnya.

Gambar 4. 54 Standart Kolam Renang

c. Outbound
Merupakan saran penambah wawasan pengetahuan yang didapat dari
serangkaian pengalaman berpetualang sehingga dapat memacu semangat
dan kreatifitas seseorang. Tujuan outbound secara umum untuk
menumbuhkan rasa percaya dalam berkomunikasi, dan menimbulkan
adanya saling pengertian, sehingga terciptanya saling percaya antar
sesama. Contoh : Flying fox
d. Wisata Air
Ada berbagai jenis permainan – permainan air yang banyak diminati
pengunjung seperti : Banana boat,bola air, jet sky, sepeda air, perahu dll

BAB IV – halaman : 111


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

E3. Fungsi Konservasi


Fungsi konservasi untuk mengembangkan potensi – potensi yang ada serta
menambah pengetahuan dan kepedulian masyarakat. Konservasi juga sebagai
sarana untuk mengembangkan wisata sendiri maupun kawasan dengan
metode pembelajaran yang menyenangkan dan rekreasi. Contoh konservasi
yang dapat dilakukan di lingkungan waduk adalah budidaya ikan, green
house dll.

E4. Fungsi Edukasi


Fungsi edukasi pada Objek Wisata Bendungan untuk memberikan banyak
manfaat dan pembelajaran setelah berkunjung di Objek Wisata Bendungan.
Edukasi yang dapat diberikan yaitu : untuk pengunjung dapat peduli
terhadap lingkungan yang selama ini diabaikan oeh mereka. Pengunjung juga
akan merasa terlatih dengan sendirinya terhadap kepedulian mereka terutama
terhadap lingkungan. Dengan desain yang menarik dan mengajak
pengunjung untuk lebih peduli terhadap lingkungan.
a. Galeri
Merupakan suatu kegiatan penyajian karya seni untuk dikomunikasikan
sehingga dapat diapresiasi oleh masyarakat luas. Galeri juga dapat
digunakan sebagai ruang pameran yang memamerkan potensi – potensi
atau karya yang dihasilkan dari lingkungan sekitar.
b. Ruang Serbaguna
Merupakan ruangan yang sangat luas untuk melakukan berbagai aktifitas
besar seperti pameran, rapat, pesta dan amsih banyak kegiatan yang lain.
Ruang serbaguna sangat bermanfaat jika diletakkan diarea bendungan
karena dapat meningkatkan pengunjung yang ada dengan melihat view
yang indah dari objek wisata waduk/bendungan.
E5. Fungsi Pengelola
Pengelola yang ada disediakan temapt untuk mereka dapat memantau
perkembangan dan mengelola tempat tersebut dengan baik tanpa berada jauh
dari tempat tersebut. Pengelola juga memberikan tempat untuk mereka
bekerja agar saat mereka bekerja mereka dapat bekerja lebih nyaman dan
lebih konsentrasi. Pengunjung juga bisa saling bertukar pikiran dengan
pengeloal agar mengetahui keluhan – keluhan pengunjung.
a. Kantor
Merupakan tempat untuk bekerja dengan batas waktu tertentu. Berikut
adalah hal – hal yang berada dilingkungan perkantoran :
 Setiap organisasi perkantoran pasti mencakup SDM yang
terlibat dalam interaksi sosial, baik disebabkan oleh struktur
formal atau informal
 Interaksi dalam sistem sosial itu tersusun dalam sebuah
struktur yang menjamin perintah dan laporan, baik
berhubungan dengan arus pekerjaan maupun arus informasi.

BAB IV – halaman : 112


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

 Sebagai suatu sistem terbuka, setiap organisasi perkantoran


mempunyai hubungan timbal balik baik dalam organisasi
intern atau ekstern
 Setiap orang dalam organisasi perkantoran memiliki tujuan
individu, sebgaian daripadanya merupakan alasan tindakanya,
mereka masing-masing mengharapkan organisasi dapat
membantu mencapai tujuannya.

Gambar 4. 55 Standart Kantor Individu

E6. Fungsi Penunjang


Selain fungsi – fungsi diatas fungsi penunjang sangat penting untuk
menunjang sebuah tempat wisata. Fungsi penunjang itulah sebagai pelengkap
dan sebagai tempat untuk memudahkan pengunjung untuk melakukan
berbagai macam aktifitas tanpa harus keluar kawasan.
 Restauran
Menurut UU RI No. 34 Tahun 2000, restaurant adalah tempat menyantap
makanan dan minuman yang disediakan dengan dipungut biaya, tidak
termasuk usaha jenis tata boga atau catering. Restauran juga sebagai
tempat yang dibutuhkan dalam objek wisata karena pengunjung akan
mengunjungi restauran setelah lelah beraktivitas.
 Retail Shop
Merupakan semua kegiatan penjualan barang dan jasa secara lansung
kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi dan rumah tangga,
bukan untuk keperluan bisnis. Retail juga sangat menguntungkan
pengunjung wisata, karena jika pengunjung ingin membeli oleh – oleh
tidak perlu keluar dari kawasan wisata.
 Cottage
Cottage adalah jenis rumah sederhana yang berukuran kecil, khusunya
terletak dipinggiran kota dan tempat tinggal yang bersifat sementara bagi
seseorang yang ingin menenangkan jiwa dan raga. Selain itu cottage adalah
tempat wisata atau rekreasi yang sering dikunjungi orang dimana
pengunjung datang untuk menikmati potensi alam.

BAB IV – halaman : 113


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 56 Standart Cottage

 Mushola
Mushola merupakan tempat ibadah umat islam. Mushola merupakan
bangunan yang sangat penting dalam perancangan bangunan,dikarenakan
mayoritas orang Indonesia memeluk agama Islam. Maka dari itu setiap
perancangan perlu adanya mushoa agar pengunjung bisa tetap beribadah.

 Kamar mandi/WC Umum


Kamar mandi/WC Umum merupakan salah satu bagian penting dari
sebuah bangunan.

Gambar 4. 57 Standart Kamar Mandi

 Parkir
Parkir merupakan salah satu bangunan yang sangat penting karena
pengunjung kebanyakan membawa kendaraan. Kendaraan yang sering
dibawa adalah sepeda motor, mobil dan bus.

BAB IV – halaman : 114


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Gambar 4. 58 Standart Parkir Untuk Motor dan Mobil

Gambar 4. 59 Standart Parkir Untuk Bus/Truck

BAB IV – halaman : 115


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

4.7 Program Kerja


Berdasarkan pengalaman Konsultan dalam pelaksanaan pekerjaan sejenis, secara
umum pelaksanaan pekerjaan proyek ini adalah melalui beberapa tahapan
pekerjaan yang berurutan. Tahapan-tahapan pekerjaan yang dimaksud dapat
dijelaskan sebagai berikut
I. Pekerjaan Persiapan
A1. Persiapan administrasi dan mobilisasi.
a. Menyediakan sarana prasarana dan transportasi untuk keperluan
kantor
b. Penyediaan blanko-blanko dan material lain yang diperlukan.
c. Melakukan penyusunan jadual penugasan personil dan jadual
pelaksanaan penyelesaian pekerjaan. Dalam proses penyusunan jadual
penyelesaian pekerjaan, tim konsultan berpegang pada kerangka acuan
teknis tentang waktu yang disediakan.
A2. Ijin Survey, Pengumpulan Data, Peta dan Laporan Studi Terdahulu.
a. Mempersiapkan kelengkapan administrasi untuk perijinan kegiatan
survey yang berhubungan dengan pekerjaan dan kantor.
b. Pekerjaan ini terdiri dari kegiatan pengumpulan sekunder dan primer.
Jenis data sekunder yang diperlukan untuk mendukung kegiatan ini
antara lain :
1. Peta topografi (Skala 1 : 25.000)
Peta ini diperlukan untuk menganalisis dan mengukur luas daerah
pengaliran sungai (DPS), menentukan orde sungai dari DPS yang
ditinjau dan melakukan perhitungan kerapatan jaringan sungai
(drainage density).
2. Data-data lain seperti peta situasi (eksisting) dari pihak pemberi kerja
dan data-data penunjang lainnya.
3. Data teknis bangunan sarana dan prasarana sungai
Data bangunan utama dan bangunan pelengkap yang diperlukan
antara lain dimensi, lengkung kapasitas, dan lain-lain.
4. Pengumpulan data-data laporan Pemeriksaan, sistem OP
sebelumnya (jika ada)
A3. Peninjauan Lapangan
a. Mempelajari kondisi dan situasi daerah kerja serta secara tidak
langsung juga melaporkan diri kepada Pemerintah daerah setempat.
b. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait maupun masyarakat
disekitar waduk untuk mendapatkan informasi dan masukan
tentang kondisi waduk serta kejadian disekitar waduk, misalnya
dampak akibat musim hujan dan musim kemarau, tata cara atau
sistem pengaturan dan pembagian air, sistem monitoring waduk dan
lain-lain.
c. Menetapkan titik reference pengukuran (BM) sebagai titik dasar
untuk koordinat dan elevasi.

BAB IV – halaman : 116


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

A4. Desk Studi


II. Pekerjaan Survey
A1. Survey Hidro-Topografi
A2. Pengambilan Sampel Kualitas Air
A3. Survey Geologi
A4. Survey Landscape
III. Analisa Teknis
A1. Analisa Topografi
A2. Analisa Hidrologi
A3. Analisa Hasil Kualitas Air
A4. Analisa Geologi
A5. Analisa Sedimentasi
A6. Analisa Makro Tapak
IV. Pelaksanaan DED Penataan Kawasan Bendungan
A1. Konsep Perancangan Makro dan Mikro (Lanscape)
A2. Konsep perencanaan Greenbelt
A3. Gambar Pra Rancangan
A4. Gambar Teknis Hasil Perancangan
V. Pelaporan
A1. RMK
A2. Laporan Pendahuluan
A3. Laporan Bulanan
A4. Laporan Interim
A5. Laporan Ringkasan
A6. Laporan Masing – masing tenaga ahli
A7. Laporan Maket kawasan
A8. Laporan Akhir
A9. External Disk
VI. Diskusi dan Presentasi
A1. Diskusi Laporan Pendahuluan
A2. Diskusi Laporan Antara
A3. Diskusi Laporan Akhir
Selain laporan juga didukung dengan kegiatan diskusi dan presentasi untuk
mendukung kegiatan dengan pihak pengguna jasa, antara lain :
1. Diskusi atau Presentasi Laporan Pendahuluan
Pada tahap ini berisi penyajian hasil survey pendahuluan (inventarisasi
dan identifikasi awal), kriteria survey, metode pendekatan yang akan
digunakan dalam analisis, penyusunan program kerja, jadwal penugasan
personil, mobilisasi personil, serta rencana kerja selanjutnya.
2. Diskusi atau Presentasi Laporan Antara
Pada tahap ini berisi penyajian yang membahas kegiatan pekerjaan survey
yang telah dilakukan dilapangan dan hasil analisa serta evaluasi data yang
diperoleh sehingga diperoleh gambaran awal tentang perencanaan
bangunan yang akan dilakukan.
3. Diskusi Draft Laporan Akhir

BAB IV – halaman : 117


DED Penataan Kawasan Bendungan Tapin Laporan Pendahuluan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini merupakan ekspose hasil


penyusunan Draft Laporan Akhir yang berisi penyampaian seluruh hasil
kegiatan. Tanggapan dan masukan/saran selama proses diskusi akan
dituangkan dalam Laporan Akhir.
4.8 Penyusunan Laporan
Dalam penyusunan laporan pada kegiatan ini, ada beberapa bentuk laporan yang
harus diserahkan kepada pemilik proyek/pengguna jasa. Selengkapnya dokumen
yang harus diserahkan kepada Pengguna Jasa antara lain sebagai berikut :
a. Laporan Rencana Mutu Kontrak, rangkap 5 (Lima);
b. Laporan Pendahuluan, rangkap 10 (Sepuluh);
c. Laporan Interm, rangkap 10 (Sepuluh);
d. Laporan Draft Akhir/akhir sementara, rangkap 10 (Sepuluh);
e. Laporan Akhir, rangkap 10 (Sepuluh);
f. Laporan Ringkas, rangkap 10 (Sepuluh);
g. Laporan Pendukung
 Laporan Desain Kriteria, rangkap 5 (Lima)
 Laporan Topografi & Buku Ukur, rangkap 5 (Lima)
 Laporan Desain Struktur Bangunan, rangkap 5 (Lima)
 Spesifikasi Teknis, rangkap 5 (Lima)
 Perhitungan RAB, rangkap 5 (Lima)
h. Album Gambar
- Ukuran A4, rangkap 5 (Lima)
- Ukuran A3, rangkap 5 (Lima)
i. External Hardisk 1 T, 1 (Satu) Buah
j. Softcopy laporan dalam bentuk doc, pdf, dwg, foto atau video

Output : terbentuknya laporan dilaksanakannya Desain Penataan Kawasan


Bendungan sesuai kondisi aktual.

BAB IV – halaman : 118

Anda mungkin juga menyukai