Anda di halaman 1dari 35

POLIS ASURANSI

A. ISI POLIS

Pada uraian bab sebelumnya telah dijelaskan wujud dari perjanjian asuransi adalah
Polis. Jika demikian halnya, hal apa saja yang harus dicantumkan di dalam polis
Asuransi? Untuk asuransi ganti rugi, secara normatif dijelaskan dalam Pasal 256 KUHD
sebagai berikut.

”Setiap polis, kecuali yang mengenai asuransi jiwa, harus menyatakan:

1. Hari dibuatnya perjanjian asuransi;


2. Nama orang yang mengadakan perjanjian asuransi untuk diri sendiri atau
pihak ketiga;
3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek asuransi;
4. Jumlah uang untuk berapa diadakan perjanjian asuransi;
5. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung;
6. Saat mulai dan berakhirnva asuransi;
7. Besarnya premi; dan
8. Semua keadaan yang kiranya penting bagi penanggung untuk diketahui dan
segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak.”

Sementara itu untuk Asuransi Kebakaran diatur dalam Pasal 287 KUHD sebagai
berikut.

“Selainnva syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 256 KUHD, maka suatu polis
kebakaran harus menvebutkan:

1. Letak barang-barang tetap yang diasuransikan beserta batas-batasnya;


2. Pemakaian barang yang diasuransikan;
3. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sekedar itu ada
pengaruhnya terhadap asuransi yang bersangkutan;
4. Harga dari barang-barang yang diasuransikan; dan
5. Letak dan pembatasan gedung dan tempat di mana barang bergerak yang
diasuransikan itu berada, disimpan, atau ditumpuk.”

1
Mengingat kedudukan Polis sangat penting dalam Perjanjian Asuransi, Menteri
Keuangan sebagai Regulator1 dalam bidang perasuransian menerbitkan Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (KMK No.
422/2003). Dalam Pasal 8 dikemukakan sebagai berikut:

“Polis Asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai:

a. saat berlakunya pertanggungan;


b. uraian manfaat yang diperjanjikan;
c. cara pembayaran premi;
d. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi;
e. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila
pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah;
f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi; dan
g. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan
melewati tenggang waktu yang disepakati.

Apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas, tampaknya pemerintah ingin mengatur
agar apa yang dicantumkan di dalam polis benar-benar dapat diketahui sejak awal apa
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dewasa ini bentuk polis pada umumnya
sudah dalam bentuk standar kontrak atau kontrak standar. Untuk itu, selain isi polis,
huruf yang tercetak dalam polis tersebut pun perlu

1
Pasca diterbitkannya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanggal 22 November 2011
Tugas Menteri Keuangan sebagai regulator dan pengawas di bidang perasuransian dialihkan ke OJK. Dalam
Pasal 6 huruf c UUOJK dikemukakan, OJK melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di Sektor perasuransian.... Selanjutnya dalam Pasal 72 UUOJK dikemukakan saat undang-undang ini
mulai belaku, peraturan perundang-undang di bidang sektor jasa keuangan dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang Berdasarkan ketentuan ini,
berbagai peraturan perundang-undangalt Yang terkait dengan asuransi, dalam pembahasan dalam buku ini
mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2
dipahami, dibaca secara jelas dan dimengerti oleh Tertanggung. Sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 9 KMK No. 422/2003 sebagai berikut.

“Polis Asuransi harus dicetak dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan
dimengerti baik langsung maupun tidak langsung oleh pemegang polis dan atau
tertanggung.”

Hal lain yang juga diatur dalam KMK No.422/2003, yakni soal penggunaan bahasa
yang digunakan. Dalam hal asuransi dipasarkan di Indonesia, maka harus menggunakan
Bahasa Indonesia. Dan jika hendak menggunakan bahasa asing, harus digunakan secara
berdampingan dengan Bahasa Indonesia. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 10 sebagai
berikut.

1) Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum


Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia.
2) Dalam hal diperlukan, Polis Asuransi dapat dibuat dalam bahasa asing
berdampingan dengan Bahasa Indonesia.2

Dalam uraian di bab sebelumnya telah dijabarkan, perjanjian asuransi mempunyai cirri
khas tersendiri jika dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya. Oleh karena itu,
dalam tulisan yang tercantum di dalam polis ada beberapa kalimat dan atau kata perlu
mendapat perhatian dari pemegang polis. Singkatnya, di dalam Polis ada beberapa kata
atau kalimat sengaja dicetak miring atau dicetak tebal. Dalam bisnis asuransi penekan
huruf yang dimaksud mempunyai makna dan bisa jadi huruf tersebut mengalahkan
pernyataan yang lainnya. Hal ini dimungkinkan dituangkan di

2
Terkait dengan penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak Bisnis, lihat lebih lanjut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 asa tentangBendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. Dalam Pasal 1 angka 2 dikemukakan sebagai berikut "Bahasa Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahnsa resnli nasional yang digunakan di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. “(huruf miring oleh penulis). Selanjutnya dalam Pasal dalam 25
ayat (3) dikemukakan sebagai berikut “Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional,
pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokunzentasi ali Iliaga, serta sarana pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa." (huruf miring oleh penulis).

3
dalam sebuah Polis, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11, KMK No. 422/2003
sebagai berikut.

1) Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat dilafsirkan


sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan Polis
Asuransi yang bersangkutan, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak
sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau
pembatasan tersebut.
2) Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan
sebagai pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewaiiban penanggung, bagian
perumusan dimaksud harus ditulis alau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan
mudah diketahui adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan penanggung
tersebut.

Yang dilarang dicantumkan dalam polis adalah klausul yang tidak memungkinkan
melakukan upaya hukum dalam hal terjadi penolakan klaim. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 15 KMK No.422/2003 sebagai berikut.

“Dalam Polis Asuransi dilarang dicantumkan suatu ketentuan yang dapat ditafsirkan
bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga tertanggung harus
menerima penolakan pembayaran klaim.”

Ada kemungkinan terjadinya penghentian pertanggungan karena berbagai sebab. Jika


terjadi penghentian pertanggungan, harus diberitahukan secara tertulis. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 20 KMK No. 422/2003 sebagai berikut.

“Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak penanggung maupun tertanggung,


harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis.

Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang tidak memiliki
unsur tabungan, maka besar pengennbalian premi sekurang-kurangnya sebesar jumlah
yang dihitung secara proporsional berdasarkan Sisa jangka waktu pertanggungan,
setelah dikurangi bagian premi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang
asuransi dan atau komisi agen.

4
Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang menliliki unsur
tabungan, Perusahaan Asuransi harus tnembayar paling sedikit sejunflah nilai tunai
pada saat penghentian tersebut.”

Jika klairn diajukan oleh tertanggung, penlbayaran tidak boleh diperlambat dengan
berbagai alasan yang tidak jelas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 25 KMK No. 422/2003
sebagai berikut.

Tindakan yang dapat dikategorikan memperlambat penyelesaian atau pembayaran


klaim sebagairnana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagairnana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 adalah tindakan Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang:

a. memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta penyerahan dokumen


tertentu, yang kemudian diikuti dengan meminta penyerahan dokumen lain yang pada
dasarnya berisi hal yang sama;
b. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim dengan mengaitkannya pada
penyelesaian dan/atau pembayaran klaim reasuransinya;
c. tidak melakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagian dari penutupan asuransi
dengan mengaitkannya pada penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari
penutupan asuransi dalam 1 (satu) polis yang sama;
d. memperlambat penunjukan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, apabila
jasa Penilai Kerugian Asuransi dibutuhkan dalam proses penyelesaian klaim; atau
e. menerapkan prosedur penyelesaian klaim yang tidak sesuai dengan praktik usaha
asuransi yang berlaku umum.

Selanjutnya dalam Pasal 26 KMK No. 422/2003 dikemukakan:

1) Perusahaan Aquransi hanya dapat meminta dokumen sebagai syarat pengajuan


klailn sesuai dengan yang tertera dalam Polis Asuransi.
2) Dalam hal Polis Asuransi mencantumkan syarat lain-lain sebagai persyaratan
pengajuan klaim, syarat lain-lain tersebut harus:

5
a. relevan dengan pertanggungan; dan

b. wajar dalam proses penyelesaian klaim.

3) Ketentuan mengenai syarat lain-lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)


harus dimuat dalam Polis Astıransi.

Lebih lanjut masalah jangka waktu penyelesaian klaim dijabarkan dalam Pasal 27 KMK
No. 422/2003 dikemukakan:

“Perusahaan Asuransi harus telah membayar klaim paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak adanya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung atau kepastian mengenai
jumlah klaim yang harus dibayar.”.

B. POLIS SEBAGAI ALAT BUKTI

Polis sebagai dokumen tertulis, mempunyai peran sangat penting dalam perjanjian
asuransi, mengapa? Karena di dalam Polis inilah dicantumkan hak dan kewajiban,
penanggung dan tertanggung. Dalam kepustakaan hükum asuransi, ahli hükum
mengingatkan kepada para calon pembeli polis asuransi agar betul-betul ıneınbaca
polis, şebab polis sebagai wujud perjanjian asuransi mempunyai karakteristik tersendiri
jika dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya. Sebagaimana yang dikemukan
oleh:

1. Abdulkadir Muhammad, sebagai berikut.

“Polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara
tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis
harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan
perbedaan interpretasi sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung
merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransı.”3

2. J. Tinggi Sianipar, mengemukakan:

“Dalam hubungan dengan pembuktian adalah prinsip di dalam asuransi bahwa


Tertanggunglah yang wajib membuktikan apakah kerugian yang dideritanya akibat
langsung dari bahaya-bahaya (perils) yang dijamin oleh polis serta apakah klaim yang
diajukannya tersebut wajar atau tidak? Apabila ada keragu-raguan dalam pembuktian
ini dan persoalannya

3
Abdulkadir Muhammad. Op. Cit., Hlm. 58.

6
dibawa ke pengadilan sedang Hakim sendiri sangsi apakah kerugian dijamin oleh polis
serta apakah pembuktian yang diberikan oleh Tertanggung sudah memenuhi ketentuan
polis, maka biasanya Hakim memutuskan yang menguntungkan bagi Penanggung
dengan alasan bahwa Tertanggung gagal membuktikan kebenaran tuntutannya.”4

3. Chairul Huda dan Luknzan Hakim sebagai berikut.

“Polis asuransi merupakan kontrak yang berbeda dari kontrak biasa, pada kontrak biasa
diperlukan tandatangan dari pihak yang melakukan kontrak. Tetapi pada kontrak
asuransi, offer (penawaran) dari perusahaan asuransi adalah surat penawaran (quotation
atau insurname proposal) yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan polis
sedangkan acceptance (tanda terima) dari tertanggung adalah persetujuan proposal,
perintah penerbitan polis dan pembayaran premi.5

Dari apa yang dijelaskan oleh para pakar asuransi di atas, semakin menguatkan
pemikiran bahwa polis asuransi hal yang sangat penting dalam perjanjian asuransi. Oleh
karena itu, ada baiknya jika ingin membeli polis asuransi dipelajari terlebih dahulu apa
hak dan kewajiban bagi calon pembeli polis. Sebagaimana sudah diiabarkan dalam bab-
bab sebelumnya, asuransi adalah perjanjian. Ada pun wujud dari perjanjian asuransi
secara tertulis adalah Polis Asuransi. Polis sebagai dokumen tertulis, tidak seperti
halnya pada perjanjian pada umumnya, bentuk polis sudah dibuat dalam bentuk kontrak
standar oleh perusahaan asuransi. Sebagaimana dikernukakan oleh Safri Ayat, sebagai
berikut.

“Policy berasal dari bahasa latin Polizia yang berarti suatu dokumen yang memuat
perjanjian antara tertanggung dengan penanggung, dalam bahasa Indonesia disebut
sebagai polis. Berbeda dengan perjanjian lainnya, di mana kedua belah pihak bebas
untuk menentukan kondisi dan syarat-syarat yang akan diperjanjikan, tidak demikan
halnya dalam perjanjian asuransi, di mana perjanjian dituangkan dalam bentuk polis
yang isinya

4
J. Tinggi Sianipar. Op. Cit., Him. 294. Lihat juga Radiks Purba. Op. Cit., Him.159.
5
Chairul Huda dan Lukman Hakim. Tindak Pidana dalmn Bisnis Asuransi. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan
Hukum Indonesia, 2006, Hlm. 32.

7
Pada umumnya standar.”6

Mengingat fungsi polis sangat penting dalam asuransi Pemerintah menerbitkan


Peraturan Pemerintah 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaran Usaha Perasuransian (PP
73/1992). PP 73/1992 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999.
Diubah lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008.
Dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun
2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Selanjutnya disebut PP No. 73/1992
dengan Perubahannya). Dalam dalam Pasal 17 PP No. 73/1992 Perubahan,
dikemukakan sebagai berikut.

“Dalam setiap pemasaran program asuransi harus diungkapkan informasi yang relevan,
tidak ada yang bertentangan dengan persyaratan yang dicantumkan dalam polis, dan
tidak menyesatkan.”

Apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas, secara normatif sudah jelas diatur bahwa
dalam memasarkan produk asuransi tidak boleh menyesatkan bagi calon pembeli polis.
Informasi yang disampaikan pun harus relevan dengan produk yang ditawarkan. Terkait
dengan produk yang ditawarkan, pelaku usaha dalann ha] ini perusahan asuransi dalam
memasarkan produknya tidak boleh menyesatkan konsumen. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 10 UndangUndang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang mengemukakan
sebagai berikut.

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;


b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga ata u hadiah menarik yang ditawarkan; dan
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.”

6
Safri Ayat. Kantus Praktis Asuransi. Jakarta: Erlangga, 1996, Hlm. 163.

8
Dalam hal ini konsumen, yakni calon pembeli polis asuransi harus aktif dalam mencari
informasi sebanyak mungkin sehingga paham betul apa yang menjadi hak dan kewajiban
dalam perjanjian asuransi. Dengan kata Iain, informasi yang diberikan oleh agen asuransi
tidak langsung diserap begitu saja, perlu mencari informasi yang Iain terkait dengan produk
asuransi yang hendak dibeli. Sebab acapkali ketika hendak mengajukan klaim,baru
menyadari bahwa di dalam polis asuransi terdapat sejumlah syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan klaim. Di samping itu, ada kemungkinan yang diajukan klaim tidak
termasuk dalam rUang lingkup risiko yang dijamin dalam polis asuransi.

Tampaknya pemerintah menyadari, bahwa lembaga asuransi dalam menjalankan


kegiatan usahanya dapat menarik dana dari masyarakat melalui penjualan polis. Oleh karena
itu, sebelum menjual produk asuransi terlebih dahulu harus disampaikan ke pemerintah. Hal
ini dijelaskan dalam Pasal 18 PP No. 73/1992 Perubahan, sebagai berikut.

(I) Perusahaan Arusansi harus terlebih dahulu melaporkan kepada Menteri setiap
program asuransi baru yang akan dipasarkan.

(2) Perusahaan Asuransi dilarang memasarkan program asuransi baru yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20.

Sedangkan dalam Pasal 19 PP No. 73/1992 Perubahan, dikemukakan sebagai berikut.

(1) Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang
merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata-kata, atau
kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup
asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit
tertanggung mengurus haknya.

(2) Dalam polis atau dokumen yang merupakan kesatuan dengannya, harus dimuat
rincian mengenai bagian premi yang diteruskan kepada Perusahaan Asuransi dan bagian
premi yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang.

9
Apa yang dijabarkan dalam ketentuan di atas, tampak bahwa pelaku usaha dalam
membuat perjanjian harus mengacu kepada keseimbangan hak dan kewajiban para
pihak dalam membuat perjanjian. Dengan kata Iain, pelaku usaha dilarang mengalihkan
tanggung jawab. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 18 UUPK, sebagai berikut

1. Pelaku usaha untuk dalam diperdagangkan menawarkan barang dilarang


dan/atau yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli Oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli Oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak Oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran.

10
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.

(3) Setiap klausula baku Yang telah ditetapkan Oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klaustlla baku yang bertentangan dengan undang-
undang ini.

Ada pun pengertian Klausula Baku dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 UUPK sebagai
berikut.

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak Oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen”

Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) PP No. 73/1992 Perubahan, dikemukakan:

“Premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak bekelebihan dan
diterapkan secara diskriminatif”

C. WAKTU PENYERAHAN POLIS

Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan Polis adalah bukti adanya perjanjian asuransi
antara Penanggung dengan Tertanggung. Jika demikian halnya, kapan Polis harus
diserahkan kepada Tertanggung? Secara normatif dalam Pasal 259 KUHD
mengemukakan:

“Apabila suatu pertanggungan ditutup langsung antara tertanggung, atau seorang yang
telah diperintahnya untuk itu atau mempunyai kekuasaan untuk itu, dan penanggung,
maka haruslah polisnya dalam waktu 24 jam setelah dimintanya ditandatangani Oleh
pihak yang tersebut terakhir ini, kecuali apabila dalam ketentuan undang-undang dalam
suatu hal tertentu, ditetapkan suatu jangka waktu yang lebih lama.”

11
Mengacu kepada ketentuan di atas, jika pertanggungan atau asuransi ditutup secara
langsung antara penanggung dan Tertanggung, polis harus diserahkan hari itu juga. Hal ini
tentu cukup beralasan, karena perjanjian asuransi menganut assas konsensualisnne. ini berarti
dengan adanya kata sepakat perjanjian nnengikat. Sebagai bukli adanya perjanjian diterbitkan
Polis. Akan tetapi dalam praktik, Polis tidak diterbitkan seketika, sebab untuk nnenerbitkall
Polis atau lepalnya pihak yang diberi kewenangan untuk menandatangi Polis adalah pihak
yang ditentukan dalam perusahaan asuransi, yakni Direksi dan atau yang diberi otorilas untuk
itu.

Selain itu, dalam praktik dewasa ini dalam memasarkan asuransi diwakili KUHD oleh
agen adalah asuransi, diwakili atau oleh Makelar7 Jika demikian maka Polis Asuransi tidak
dapat diterbitkan seketika, sebab tugas agen asu ransi atau nnakelar asuransi dalann hal ini
adalah menghubungkan antara Penanggung dengan Tertanggung. Untuk itu, polis diserahkan
beberapa hari kemudian setelah polis ditutup. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 260 KUHD
sebagai berikut.

“Apabila pertanggungan ditutup dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang
telah ditandatangani harus diserahkan di dalann waktu delapan hari setelah ditutupnya
perjanjian.”

Sekalipun polis belum diserahkan kepada Tertanggung, namun jika sudah ada pembayaran
premi, maka perjanjian sudah mengikat. Dengan kata lain, jika Tertangung mendapatkan
musibah sesuai dengan apa yang telah disepakati, maka akan mendapatkan jaminan dari
Penanggung. Bukti pennbayaran atau Cover Note dapat dijadikan alat bukti untuk
mengajukan klaim terhadap peristiwa yang menimpa Objek asuransi.

7
Makelar diatur dalam Pasal 64 KUHD sebagai berikut: “Pekerjaan makelar ialah: Inelakukan penjualan dan
pennbelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan dan lainnya, kapal, andil dalam dana umum dan
efele efek lainnya, obligasi, surat-surat wesel, surat-surat order dan suratsu ral dagang lainnva, pula untuk
nnenyelenggarakan perd iskonloan, pertanggungnn, perulangal.n dengan janninan kapal dan pencarleran
kapal, perutangan uang atau lainnya. (huruf miring oleh penulis).

12
D. JENIS-JENIS POLIS

Dalam sub bab sebelumnya telah dijabarkan, Objek asuransi cukup luas, terlebih lagi
dalam dekade terakhir ini, perusahaan asuransi menawarkan berbagai produk asuransi
yang dapat dibeli oleh masyarakat. Sebaliknya juga terjadi di kalangan masyarakat
khususnya kalangan profesional, mulai menyadari arti pentingnya asuransi dalam
menjalankan profesi. Hal ini dapat dimaklumi, sebab bila seorang profesional gagal
dalam menjalankan tugas profesionalnya, kemungkinan untuk digugat Oleh pihakyang
merasa tidak puas sangat terbuka untuk itu. Tugas keprofesionalan yang dimaksud di
sini adalah yang terkait dengan hak-hak kerperdataan yang dapat diukur dengan
kerugian dan ataupun sudah ditentukan nilainya terlebih dahulu berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Maka para profesional tersebut dapat mengasuransikan
tanggung jawabnya. Selain kalangan profesional, tentu pihak yang sudah cukup akrab
dengan dunia asuransi adalah kalangan pembisnis yang sadar betul akan risiko yang
dihadapi dalam menjalankan bisnis.

Mencermati objek asuransi yang dimaksud berbagai polis pun muncul dalam asuransi.
Untuk itu dalam kepustakaan Hukum Asuransi, para ahli mencoba menguraikan jenis-
jenis polis yang lazim digunakan, antara Iain: SafriAyat mengemukakan berdasarkan
ciri-ciri kesamaannya, polis asuransi dapat dikelompokkan sebagai berikut.

I.Polis Stadar-Nonstandar.

1. Polis standar, yaitu polis asuransi yang kondisi dan syarat-syarat pertanggungannya
standar, di Indonesia misalnya PSKI (Polis Standar Kebakaran Indonesia);

2. Polis Nonstandar (kebalikan dari polis standar).

II.Menurut Jangka Waktu Pertanggungan:

1. Polis jangka pendek adalah polis asuransi yang berlaku untuk jangka waktu kurang
dari satu tahun, misalnya polis Asuransi pengangkutan.

2. Polis tahunan, hampir semua polis asu ransi kerugian dibuat untuk jangka waktu satu
tahun.

3. Polis jangka menengah yang dikeluarkan untuk jangka waktu lebih dari satu tahun
tetapi kurang dari lima tahun.

13
4. Polis jangka panjang, pada umumnya polis asuransi dwiguna (endowment) dan polis
asuransi seumur hidup (whole life policy)

III. Menurut Objek Pertanggungan

1. Personal Insrurance Poliy adalah polis yang dikeluarkan dengan objek pertanggungan
manusia seperti asuransi kecelakaan diri, asuransi jiwa, kesehatan/pengobatan.

2 Property Insurance Policy yaitu polis asuransi dengan objek pertanggungan harta
benda tidak bergerak, misalnya bangunan atau pabrik.

3 Causalitv Insurance Policy polis asuransi dengan objek pertanggungan harta benda
Iain selain bangunan dan alat transportasi.

4. Marine Insurance Policy yaitu polis dengan objek pertanggungan muatan, baik yang
diangkut dengan kapal laut, kapal udara, maupun melalui kendaraan darat.

5. Aviation and Space Techonology adalah asuransi dengan objek pertanggungan


pesawat udara dan mesin angkasa Iainnya.”8

E. JENIS-JENIS POLIS DALAM PRAKTIK

1. Polis perjalanan artinya penanggung menjamin kepentingan tertanggung


selama dalam perjalanan. Misalnya dari Tanjung Priok ke Tanjung Perak.
2. Polis pelabuhan artinya penanggung menanggung risiko yang mungkin
menimpa kapal selama berada di pelabuhan.
3. Polis waktu artinya menanggung risiko selama jangka waktu tertentu.
Misalnya 6 bulan, 12 bulan.
4. Polis ditaksir artinya jumlah harga tanggungannya ditaksir. Misalnya
Rp10.000.000,- tidak jadi soal apakah nilai sebenarnya atau bukan.

8
Safri Ayat. Op. Cit., Hlm. 164.

14
F. JENIS-JENIS POLIS DALAM KUHD

Bagaimana halnya dalam peraturan perundang-undangan? Di KUHD ditegaskan Polis


dapat diterbitkan dalam berbagai jenis, yakni sebagai berikut.

1. Polis Terbuka
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 273 KUHD sebagai berikut. ”Apabila harga barang-
barang yang dipertanggungkan Oleh para pihak tidak dinyatakan di dalam polis, maka
harga tersebut dapat dikuatkan dengan Segala macam alat bukti.

Dalam polis terbuka tidak disebutkan nilai benda yang diasuransikan. Yang
dicantumkan hanya jenis bendanya Saja dan jumlah yang diasuransikan. Nilai benda
yang bersangkutan baru ditentukan setelah terjadi peristiwa. Dalam hal ini tentu saja
dapat terjadi, nilai benda yang bersangkutan diasuransikan dengan jumlah yang tinggi.
Tetapi setelah diadakan penelitian terhadap benda tersebut, ternyata nilai benda tersebut
di bawah harga dari nilai yang diasuransikan. Misalnya, suatu benda diasuransikan
dengan nilai pertanggungan sebesar Rp9.000.000.000,- (sembilan miliar rupiah).
Ternyata harga objek asuransi tersebut sebesar Rp7.000.000.000,(tujuh miliar rupiah).
Maka untuk melindungi penanggung, Oleh undang-undang ditegaskan yang
diasuransikan dianggap hanya sebesar Rp7.000.000.000,- (tujuh miliar rupiah). Yang
sisanya sebesar Rp2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) nilai preminya harus
dikembalikan Oleh penanggung kepada tertanggung. Nilai premi sejenis ini dikenal
dengan Premi Restorno. Ada pun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk premi
restorno, yakni:

a. Ada risiko yang sebagian atau seluruh risiko tidak ditanggung Oleh penanggung.

b. Harus ada itikad baik dari tertanggung.

Lebih jelasnya tentang pengembalian premi dijabarkan dalam Pasal 281 KUHD

sebagai berikut.

(1) Dalam segala hal di mana perjanjian pertanggungan itu untuk seluruhnya atau
sebagian gugur atau menjadi batal, sedangkan tertanggung telah bertindak dengan itikad
baik, maka penanggung diwajibkan mengembalikan preminya untuk seluruhnya,
ataupun untuk sebagian

15
Yang sedemikian untuk mana ia tidak telah menghadapi bahaya.

(2) Apabila batalnya perjanjian itu disebabkaıı karena suatu cerdik, penipuan atatı
kecurangan tertanggung, maka penanggung nıenerinıa preminya, dengan tidak
mengıırangi adanya tuntutan pidana, apabila ada alasan unluk itu

2. Polis ditaksir
Hal ini dijabarkan dalam Pasal 274 KUHD, sebagai berikut.
(l) Apabila harga tersebut dinyatakan di dalam polis, namun untuk memerintahkan
mempunyai kekuasaan kepada tertanggung supaya ia memberikan dasar lebih harga
yang disebutkan itu, manakala oleh penanggung dimajukan alasan-alasan, yang
menimbulkan cukup persangkaan bahwa harga yang disebutkan tadi adalah terlampau
tinggi.
(2) Bagainıanapun, penanggung selamanya berhak untuk nıembııktikan di nı uka hakim,
bahwa harga yang disebutkan itu terlampau tinggi.

Bisa jadi dalam polis, nilai benda dicantumkan berdasarkan penaksiran. Misalnya,
sebuah rumah diasuransikan sebesar Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah).
Ketika terjadi peristiwa kebakaran, lalü nilai rumah ditaksir, ternyata nilai rumah
tersebut hanya sebesar Rp6.000.000.000,- (enam miliar rupiah). Dari contoh ini, nıaka
dianggap ditutup harga sepenuhnya, yaitu sebesar Rp6.000.000.000,- (enam miliar
rupiah).

3. Nilai Polis ditetapkan oleh ahli

Hal ini dijabarkan dalam Pasal 275 KUHD, sebagai berikut.

“Apabila demikian, barang yang dipertanggungkan itü sebelumnya telah ditaksir


harganya oleh ahli-ahli yang untuk itü ditunjuk oleh para pihak, dan yang jika diminta,
disumpah oleh Hakim, maka tak dapatlah penanggung melawannya, kecuali apabila
telah terjadi suatu penipuan kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kekecualian yang
ditetapkan dalam peraturan-peraturan khusus.”

16
Jika demikian halnya, apa fungsi polis? Dalam hal ini menarik mengikuti pendapat
yang disampaikan oleh pakar dan praktisi bisnis, Radiks Purba, Sebagai Berikut.

“Fungsi Polis dalam asuransi yakni:

1. Perjanjian Pertangunggan (a contract of indemnity);


2. Janji dari penanggung kepada tertanggung untuk mengganti kerugian yang
diderita oleh tertanggung yang mengakibatkan oleh suatu peristiwa yang tidak diduga
sebelumnya dengan prinsip:
a. Untuk mengembalikan tertanggung kepada kedudukannya semula; atau
b. Untuk menghindarkan tertanggung dari bangkrut (total collapse)
3. Sebagai bukti pembayaran premi pertanggungan yang merupakan imbalan atas
janji pihak penanggung untuk memberi ganti rugi"9

Sementara itu, pandangan yang dikemukakan oleh kalangan birokrat dalam hal ini
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia, mengemukakan manfaat asuransi bagi Koperasi dan
UKM sebagai berikut.

“a. Pemanfaatan produk asuransi jiwa untuk perkuatan modal oleh UKM:

1. Meminjam (kredit) dana cash ke perusahaan asuransi sebesar prosentase nilai tunai,
sebagaimana tertera dalam polis asuransi.

2. Menjual (menutup), polis asuransi untuk memperoleh nilai cash.

3. Menjual (tutup) polis asuransi dan memperoleh nilai tunai dan membuka kembali
(baru).

4. Sebagai keamanan (proteksi) kredit bagi lembaga pembiayaan koperasi dan UKM.

9
Radiks Purba. Asuransi Pengangkuta Laut. Jakarta: Rineka Cipta, 1998, Him. 39.

17
b. Pemanfaatan asuransi untuk perkuatan modal koperasi;

1. Koperasi meminjam uang ke bank untuk disalurkan kepada anggota, sebagai:


a. Kreditur termasuk didalamnya ada asuransi
b. Anggota disyaratkan untuk membuka asuransi
c. Anggota sudah memiliki asuransi.
2. Bank meminjamkan dananya ke koperasi yang memiliki asuransi:

a. Kredit termasuk di dalamnya ada asuransi.

b. Anggota disyaratkan untuk membuka asuransi.

c. Pemanfaatan asuransi kerugian untuk perkuatan modal oleh UKM:

I. Mengambil kredit kepada lembaga pembiayaan non bank dan objek yang dibiayai
diasuransikan.

2. Meminjam (kredit) tunai sebesar nilai tunai tahun berjalan, di mana tertanggung
masih memegang Polis.”10

Terkait dengan perkreditan, menarik pandangan yang dikemukakan oleh Zulkarnain


Sitompul sebagai berikut.

“Kesulitan bank dalam melakukan analisis terhadap usaha kecil dengan menggunakan
prinsip 5C11 dapat di atasi dengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit.
Dengan adanya skim tersebut maka bank lebih mudah menilai risiko kredit yang
diberikannya kepada usaha kecil. Skim penjaminan apabila ditelah berdasarkan hukum
perdata memiliki persamaan dengan perjanjian pertanggungan. Pertanggungan adalah
suatu perjanjian di mana pihak ketiga guna kepentingan.

10
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia. “Optimalisasi Manfaat Asuransi dalam Peningkatan Akses Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil,
Menengah, dan Koperasi (UMKM-K)” Jakarta: 2009, Hlm. 41.
11
Yang dimaksud dengan Prinsip 5C adalah bank sebagai Kreditor dalam memutuskan, apakah suatu
permohonan kredit yang diajukan Oleh Debitor diterima atau ditolak dengan menggunakan analisis 5C, yakni:
1. Charcter; 2. Capital; 3. Collateral; 4. Capacity; 5.Condition of Econonzy. (Lebih lanjut: Lihat. Sentosa
Sembiring. Hilkum Perbankan. Bandung: Mandar Maju, 2013).

18
kreditur mengikatkan diri, untuk memenuhi perikatan debitur manakala orang ini
sendiri tidak memenuhinya.”12

G. POLIS ASURANSI SEBAGAI HAK KEBENDAAN

Jika dilihat dari sudut pandang tertanggung, khususnya untuk asuransi jiwa dengan
memiliki polis asuransi berarti mempunyai hak kebendaan terhadap polis tersebut.
Disebut demikian, karena dengan memiliki polis tertanggung dapat menggadaikannya
dan bahkan menjualnya ke perusahaan asuransi tersebut sebesar nilai polisnya. Dengan
menggadaikan polis berarti muncul pranata hukum baru dalam hubungan antara
tertanggung dengan penanggung, yakni pinjam meminjam uang atau utang piutang
dengan jaminan polis. Jika hal ini dikaitkan dengan jenis-jenis hak kebendaan
sebagaimana yang diatur dalam KHUPdt, tidaklah berkelebihan jika hak yang
dicantumkan dalam polis tersebut sebagai hak kebendaan tidak berwujud.

Yang menarik untuk dikaji lebih jauh dalam hal ini adalah sampai sejauh mana
kedudukan penanggung dalam hal pinjam meminjam antara penanggung dengan
tertanggung. Dilihat dari perspektif yuridis dalam hal ini pranata hukum pinjam
meminjam, maka dalam hal peminjam memberikan jaminan kepada yang memberikan
pinjaman maka bila peminjam tidak dapat melunasi utangnya dalam waktu yang telah
disepakati, maka yang memberi pinjaman mempunyai hak untuk menjual barang
jaminan tersebut. Masalahnya adalah apakah dengan tidak mampunya pihak
tertanggung melunasi pinjamannya kepada penanggung, lalu dengan sendirinya
perjanjian asuransi juga berakhir?

H. MASALAH KLAIM DALAM ASURANSI

Satu hal yang cukup pelik dalam asuransi adalah masalah klaim. Disebut pelik, karena
ketika klaim diajukan Oleh Tertanggung kepada Penanggung, acapkali terjadi
perbedaan persepsi antara Penanggung dan Tertanggung. Adanya perbedaan persepsi
ini, tentu saja sulit dipahami oleh Tertanggung, sebab yang ada dibenak

12
Zulkarnain Sitompul. “Peranan Lembaga Asuransi Kredit Bagi Perbankan: Sebuah Tinjauan Hukum.” Dimuat
pada Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22-Nomor 2-Tahun 2003.

19
Tertanggung, jika ada musibah terhadap objek asuransi tinggal mengajukan klaim.
Namun dalam praktik tidaklah segampang dibayangkan, mengapa? Karena dari sudut
pandang Penanggung yang menjadi acuan adalah Polis. Jika tidak sesuai dengan Polis
klaim tidak dapat diterima.

Oleh karena tidak ada kesepahaman perihal klaim, lalu muncul sengketa. Dengan
demikian, munculnya sengketa dalam asuransi bisa terjadi karena beberapa sebab,
seperti yang dikemukakan oleh:

1. A. Junaedy Ganie sebagai berikut.


“Persengketaan dalam perjanjian asuransi dapat menyangkut segala hal, akan tetapi
pada umumnya adalah persengketaan mengenai penyelesaian klaim. Persengketaan
klaim umumnya menyangkut 2 (dua) hal utama, yaitu pengakuan tanggung jawab atas
klaim yang timbul dari penanggung dan besaran klaim yang dituntut atu dikabulkan.
Dalam polis asuransi di Indonesia terdapat berbagai klausul penyelesaian sengketa, baik
yang terbatas pada persengketaan mengenai besaran klaim saja maupun untuk semua
perbedaan. Sebagian besar polis telah memuat klasul penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.”13
2. Chairul Huda dan Lukman.
“Sengketa timbul diakibatkan oleh klaim penyebab awalnya sangat bervariasi, antara
lain interpretasi isi kontrak dan pembayaran premi. Ketidaktahuan tertanggung atas
kewajiban-kewajibannya di dalam polis akan sangat berakibat fatal terhadap klaim.
Kewajiban tertanggung antara Iain, pembayaran premi, compliance warrant, disclosure
nmterial fact, hingga.pemberitahuan kepada penanggung sesegera mungkin atas segala
suatu yang mungkin saja akan menimbulkan klaim.14
3. Juninmart Girsang, mengemukakan:
“Hal yang paling substansial dalam suatu asuransi tentunya adalah klaim dari
tertanggung atau pialang asuransi kepada perusahaan asuransi (penanggung) dan
selanjutnya pihak

13
A. Junaidy Ganie. Op. Cif., Hlm. 275.
14
Nurul Chuda dan Lukman. Op. Cit., Hlm. 32.

20
Penanggung akan mengabulkan atau menolak klaim tersebut. Dalam praktik bisnis
asuransi di Indonesia, pihak penanggung menerapkan beberapa prosedur klaim yang
berbeda-beda, tetapi secara substansial punya kesamaan antara satu perusahaan asuransi
dengan perusahaan asuransi lainnya.15

4. Suhawan, mengemukakan:
“yang perlu dilakukan oleh tertanggung, apabila ada kejadian kerugian adalah
memberitahukan kejadian tersebut, baik lisan maupun tertulis kepada penanggung
dalam tempo yang secepat mungkin. Pada polis asuransi kebakaran dan kendaraan
bermotor secara tegas batas waktu pelaporan ini.
Selanjutnya dijelaskan:
Beberapa hal yang menjadi dasar patokan klaim oleh perusahaan asuransi adalah;
a. Apakah sebab-sebab kejadian dijamin dalam Polis?
b. Apakah kejadiannya terjadi dalam waktu Pertangunggan?
c. Apakah premi telah dibayar lunas oleh Tertanggung?
d. Apakah harga pertanggungan sesuai dengan harga pasaran?
e. Apakah ada pihak lain yang harus bertanggung jawab atas kejadian kerugian, atau
apakah ada pihak lain yang menuntut akibat kejadian tersebut?

Untuk menguatkan data di atas, maka perusahaan aquransi akan meminta kelengkapan
dokumen pendukung klaim yang bersangkutan.16

5. A. Mustafa dan Budi Rahman Hakim (ed)


“Dalam kaitannya dengan risiko kerusuhan,jika ingin menuntut klaim asuransi, perlu
diperhatikan apa yang dicantumkan dalam polis, masyarakat awam menganggap bahwa
ia rnerniliki polis, maka kerugiannya mendapatkan ganti rugi tanpa melihat jenis
polisnya, yaitu apakah polis kebakaran (fire policy), polis mesinmesin (machinery
breakdown policy), polis uang (money policy), polis barang elektronika (electronic
equipment policy) dan lain-

15
Junimart Girsang. V.ejahalan KorporasiAsuransi. Jakarta: Q Communication, 2013.
16
Suhawan. Op. Cit., Hlm. 27.

21
Lain bahkan tidak melihat apakah polis-polis diperluas dengan jaminan kerusuhan atau
tidak. Pasca kerusuhan Mei 1998, DAI mengeluarkan Endorsemen 4. IA dan
Endorsemen 4.1B yang memberikan jaminan terhadap risiko-risiko: kerusuhan,
pemogokan, penghalangan bekerja, perbuatan jahat, sabotase, huru-hara, pembangkitan
rakyat tanpa penggunaan senjata api, revolusi tanpa penggunaan senjata api, maker
pencegahan.”17

Dari apa yang dikemukakan oleh para penulis di atas bahwa munculnya masalah dalam
klaim asuransi ditolaknya asuransi, pada dasarnya berpusat pada klaim yang
dicantumkan dalam Polis. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, Polis sebagai
wujud kesepakatan yang dituangkan secara tertulis antara Penanggung dan Tertanggung
perlu ada kesepahaman sejak awal antara Penanggung dengan Tertanggung tentang:
ruang lingkup asuransi, keterlambatan membayar premi Contoh lain yang menjadi
sebab berlarut- larutnya pembayaran klaim asuransi, yakni kasus yang sering
dibicarakan dałam literatur hukum asuransi adalah mengenai istilah “cacat sendiri”
Sebagaimana yang dijabarkan dalam:

1. Pasal 249 KUHD

“Untuk kerusakan atau kerugian yang timbul dari sesuatu cacat, kebusukan sendiri atau
langsung ditimbulkan dari sifat dan macam barang yang dipertanggungkan sendiri,
penanggung tidak bertanggung jawab kecuali dengan tegas diperjanjikan untuk iłu.”

2. Pasał 290 KUHD

“Atas tanggungan penanggung adalah segala kerugian dan kerusakan yang menimpa
benda yang dipertanggungkan karena kebakaran,. Yang disebabkan karena petir atau
lain kecelakaan, api sendiri, kurang hati-hati, kesalahan atau itikad jahat dari pelayan
sendiri, tetangga, musuh, perampok dan lain dengan nama apa saja, dengan cara
bagaimanapun kebakaran iłu terjadi, disengaja atau tidak, biasa atau luar biasa, dengan
tiada kecualinya.”

17
A. Mustofa dan Budi Rahman Hakim (ed). Sejarah Perasuransian di Indonesia. Jakarta: RMBOOKS, 2008,
Him. 143/149.

22
Untuk Pasal 249 dan 290 KUHD sampai ini masih terdapat perdebatan di antara para
ahli. Singkatnya bila berpegang teguh pada Pasal 249 KUHD, maka penanggung tidak
bertanggung jawab dalam hal busuk sendiri. Sedangkan menurut pasal 290 KUHD, api
sendiri tetap penanggung yang bertanggung jawab. Dalam kaitan ini menarik,
menyimak apa Yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut.

”Ketentuan Pasal 249 KUHD ini berlaku bagi semua asuransi. Hal ini adalah wajar
karena pada hakikatnya penanggung hanya menerima pengalihan risiko dari
tertanggung atas kerugian yang timbul dari peristiwa yang datang dari luar benda
asuransi.”18

Oleh karena itu, betapa pentingnya memahami polis asuransi. Jika Polis dibedah, maka
tampak dalam Polis Asuransi paling tidak dicantumkan tentang:

1 . Saat mulai dan berakhirnya perjanjian asuransi;


2. Objek asuransi;
3. Nama Tertangung;
4. Pihak yang berhak mendapat manfaat dari asuransi;
5. Kapan pembayaran premi harus dilakukan;
6. Akibat hukum keterlambatan membayar premi;
7. Batas waktu kelonggaran keterlambatan membayar premi;
8. Penebusan Polis;
9. Penggadaian polis;
10. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mangajukan klaim;
11. Pemberitahuan tentang kejadian yang menimpa objek asuransi; dan
12. Penyelesaian sengketa.
Selain apa yang disebutkan di atas, menurut R. Wirjono Prodjokoro, dalam asuransi
kebakaran dicantumkan juga:

”Klausul mengetahui (bekenheids clausule). Klausul ini sering dimuat dalam asuransi
kebakaran yang mengatakan bahwa asurador mengetahui benar keadaan, cara
pembuatan, letaknya dan cara pemakaian bangunan yang dijamin. Dengan demikian
tidak lagi dilemparkan tuduhan kepada terjamin bawa ia

18
Abdulkadir Muhammad. Op. Cit., Hlm. 78.

23
Menyembunyikan sesuatu kepada asurador tentang keadaan yang dijamin.”19

Apa yang dikemukakan oleh ahli hukum yang tampaknya kaitannya dengan asas itikad
baik dalam astiransi sebagaimana yang tercantum dalam pasai 251 KUHD berikut ini.

“Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan
hal-hal yang tertanggung, betapapun “itikad baik” ada pada mereka yang denlikian
sifatnya, sehingga seandainya penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya,
perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup sama, mengakibatkan batalnya
pertanggungan.”

Jika dibaca secara sepintas, apa yang dicantumkan dalam Pasal 251 KUHD cukup berat
bagi Tertanggung, sebab sekalipun beritikad baik tidak dilindungi. Namun, apabila
diperhatikan latar belakang lahirnya Pasai 251 KUHD tujuannya adalah melindungi
Penanggung. Maksudnya adalah agar Tertanggung secara jujur memberikan keterangan
secara lengkap dan benar mengenai kondisi sesungguhnya tentang objek asuransi.
Dengan cara seperti ini, penanggung dapat mengetahui berapa besar risiko yang
dihadapinya. Jika hal ini dihubungkan dengan premi restorno, akan diberikan kepada
tertanggung dengan syarat ada itikad baik. Hal ini juga tercermin dari Pasal 281 KUHD,
sebagai berikut.

1. Dalam segala hal di mana perjanjian pertanggungan itu untuk seluruhnya atau
sebagian gugur atau menjadi batal, sedangkan tertanggung telah bertindak dengan itikad
baik, maka penanggung diwajibkan mengembalikan preminya untuk seluruhnya,
ataupun untuk sebagian yang sedemikian untuk mana ia tidak telah menghadapi bahaya.

2. Apabila batalnya perjanjian itu disebabkan karena suatu akalan cerdik, penipuan atau
kecurangan tertanggung, maka tetaplah penanggung menerima preminya, dengan tidak
mengurangi adanya tuntutan pidana, apabila ada alasan untuk itu.

Oleh karena itu, jika diperhatikan secara saksama, apa yang dicantumkan dalam Pasal
251 KUHD, cukup memberatkan bagi Tertanggung, mengapa? Karena, prinsip umum
dalam hukum,

19
R. Wirijono Prodjodikoro. Op. Cit., Hlm. 96.

24
orang yang beritikad baik dilindungl oleh hukum. Jadi cukup beralasan, bila
diketnukakan di sini Pasal 251 KUHD terlalu memberi perlindungan yang berlebihan
kepada penanggung karena:

a. Orang yang beritikad baik tidak dilindungj, dan

b. Kekeliruan tidak dapat diperbaiki.

Ada pun jalan ke luar yang dilakukan untuk rnemecahkan masalah ini, yakni dalam
praktik, pasal 251 KUHD dibatasi dengan mencantumkan klausul perjanjian asuransi,
yaitu:

a. Klausul kenal atau Bekendlleidsclausllle. Dengan dicantumkannya klausul ini berarti


penanggung dianggap sudah mengetahui semua keadaan benda yang diasuransikan; dan
b.

b. Klausul penyimpangan atau Renunciatiecl20 Dengan dicantumkannya klausul ini


berarti penanggung tidak bisa membatalkan berdasarkan kekeliruan, tetapi haru.s
melalui proses hukum melalui putusan pengadilan.

l. PENYELESAIAN SENGKETA ASURANSI

Dalam subbab sebelumnya telah dijelaskan, di dalam Polis asuransi dicantumkan


klausul penyelesaian sengketa, yakni para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui
lembaga Arbitrase. Ada pun landasan hukum keberadaan lembaga Arbitrase diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS).

Dalam Pasal I angka I dijelaskan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 8 dikemukakan:

“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai

20
Lihat dan bandingkan N. E. Algra/Saleh Adiwinata, dkk. Kantus Istilah Pada halaman 475 dijelaskan sebagai
berikut: Renunciatieclausule adalah persyaratan pada suatu persetujuan di mana salah satu pihak atau kedua
belah pihak melepaskan hak untuk menyandarkan diri pada keadaan yang menguntungkan bagi mereka atau
ketentuan undang-undang, misalnya pada asuransi.

25
sengketa tertentu, lenibaga tersebut juga dapat tnemberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum terlentu dalam hal belum timbul sengketa.”

Selain lembaga mediasi, dalam undang-undang ini dikenal juga lembaga alternatif
penyelesaian sengketa. Tepatnya dalam Pasal I angka 10 dikemukakan sebagai berikut.

“Alternatif penyelesaian Sengketa adalah lembaga Penyelesaian sengketa atau beda


pendapat melalui prosedur yang disepakati Para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara k0nsuItasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
(huruf miring oleh penulis).

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa lembaga arbitrase badan yang menyelesaikan
sengketa berdasarkan pilihan para pihak. Badan yang dimaksud di sini, bisa secara
permanen. Untuk Yang pertnanen, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Badan ini dapat tnenyelesaikan semua sengketa yang menyangkut masalah perdagangan
dan industri.

Di samping pernnanen, arbibrasi bisa juga dibentuk berdasarkan kebutuhan atau


kesepakatan para pihak yang sifatnya sementara (ad hoc) hanya senunta-mata untuk
menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Untuk
sengketa asuransi, apabila diperhatikan Polis asuransi, pada umumnya perusahaan
asuransi merujuk kepada BANI.

Sesuai dengan prinsip yang dianut lembaga Abitrasi, jika para pihak sudah sepakat
memilih lembaga Arbitrase sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa, maka para
pihak harus mengacu kepada pilihan tersebut. Demikian juga halnya, jika para pihak
mernbawa masalah ini ke Pengadilan, idealnya pengadilan harus menolak untuk
mengadili, sebelum sengketa diselesaikan menurut lembaga Arbitrse sesuai dengan
pilihan para pihak. Sebagaimana dijabarkan dalam Pasal I angka 3 UUAAPS sebagai
berikut.

“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.”

26
Akan tetapi dalam praktik, seringkali apa yang sudah disepakati diingkari oleh salah
satu pihak. Singkatnya, jika ada sengketa asuransi tidak dibawa ke Iembaga Arbitrase
melainkan langsung di ke Pengadilan. Pengadilan atau tepatnya hakim vang tnełneriksa
sengketa ini pun tidak jarang mengabaikan klausul arbitrase sehingga sengketa yang
diajukan sekalipun ada klausul arbitrasi, kasus tetap diperiksa sesuai dengan asas
gugatan perdata. Bila demikian halnya, apa gunanya mencantumkan klausul
penyelesaian sengketa dalam polis Asuransi? Ada beberapa faktor nłengapa hal ini bisa
terjadi demikian, sebagaimana yang dikełnukakan oleh Kornelills Simanjuntak:

“Ada beberapa faktor penyebab tidak dibawanya kasus ke lembaga arbitrase, yakni:

Pertama: Tertanggung kurang memahami isi kontrak/polis asuransi yang dibelinya,


tidak membaca klausul-klausul yang ada, sehingga tidak mełnahanłi bahwa jika ada
sengketa, maka sengketa itu sesuai kontrak harus diselesaikan melalui arbitrase.

Kedua: Karena sifat rahasia dan tertutup dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase
łnengakibatkan masyarakat tertanggung iarang sekali atau bahkan tidak pernah
mendengar berita atau Inem baca di media cetak dan elektronik
penyelesaianpenyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sebaliknya setiap hari ada berita
di nledia cetak mengenai penyelesaian sengketa/ perkara melalui pengadilan. Keadaan
ini menimbulkan suatu kondisi pemikiran atau persepsi bahwa pengadilanlah
satusatunya tempat menyelesaikan sengketa yang dihadapi.

Ketiga: Sosialisasi tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang masih kurang,
baik dari pemerintah, BANI, dan dunia usaha perasuransian.

Keempat: Para pengacara (lawyers) mempunyai kecenderungan untuk membawa


sengketa klaim asuransi kepengadilan, padahal sebagai penasehat hukum atau
pengacara seharusnya mengetahui bahwa ada klausul penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, karena itu seharusnya mereka mencari penyelesaian sengketa klaim asuransi
melalui arbitrase.”21

21
Kornellis Simanjuntak. Op. Cit., Hlm. 8.

27
Pascaberlakunya UUOJK, OJK sebagai badan yang mengawasi sektor Lembaga Jasa
Keuangan, menerbitkan Perlindungan Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Konsumen Sektor Jasa Keuangan (POJK N0,1/2013). Dalam Pasal 40 POJK dijelaskan:

(1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketalantara


Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan

(2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi


pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Anggota Dewan Komisioner yang membidangi
edukasi dan perlindungan Konsumen.

Selanjutnya dalam Pasal 41 POJK dijelaskan:

“Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen Oleh Otoritas Jasa Keuangan


dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (l) dan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut.

a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:

1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun,
Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);

2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar
Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);

b. Konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen


pendukung yang berkai.tan dengan pengaduan;

c. Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan namun
Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah melewati batas

28
waktu sebagaimana ditetapkan dałam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;

d. Pengaduan yang djajukan bukan merupakan sengketa sedang dałam proges atau
pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga,

e. Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;

f. Pengaduan yang diajukan belum pernah djtasłlltasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan

g. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak
tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa
Keuangan kepada Konsumen.

J. BADAN MEDIASI ASURANSI INDONESIA

Di luar lembaga Arbitrase, dikenal pula Lembaga Mediasi yang mengkhususkan diri
dałam bidang tertentu, misalnya bidang asuransi yang dikenal dengan Badan Mediasi
Asuransi Indonesia (BMAI). Badan Mediasi Asuransi Indonesia adalah lembaga
independen dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian perselisihan
antara Perusahaan Asuransi dengan Tertanggung. Cara Mengajukan Kasus Perselisihan.
Tertanggung Yang menghadapi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan langsung
dengan Perusahaan Asuransi dapat menyampaikan keluhan kepada BMAI tanpa
dipungut biaya baik langsung datang sendiri atau melalui fax, pos, atau email.)22

Lahirnya lembaga-lembaga Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) ini atas


prakarsa Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia (sekarang Dewan Asuransi
Indonesia atau DAI), yaitu:

a. Asosiasi Asuransi Umurn Indonesia (AAUI),

b. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan

c. Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI).

dan didukung penuh oleh Pemerintah. Secara resmi BMAI didirikan pada tanggal 12
Mei 2006 dan mulai beroperasi pada tanggal 25

22
Lihat Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) tersedia di
http:/;mediaasuransi.word.press.com/2010/01/14/badan-mediasi-asuransi-indonesia-bmai/#more-49,
diunduh tanggal 17/2/2013.

29
September 2006.23

Penyelesaian sengketa klaim (tuntutan ganti rugi/manfaat dilakukan oleh BMAI dalam
dua tahap, yaitu sebagai berikut.

Tahap 1 — Mediasi

Permohonan penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi Yang diterima BMAI akan


ditangani Oleh Mediator. Mediator akan berusaha dan berupaya agar Tertanggung atau
Pemegang Polis/Ahli Waris dan Penanggung (Perusahaan ASUransi) dapat mencapai
kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan wajar bagi kedua belah
pihak. Mediator akan bertindak sebagai penengah antara Tertanggung atau Pemegang
Polis/Ahli Waris dan Penanggung (Perusahaan Asuransi).

Tahap 2 — Ajudikasi

Bila Mediasi (Tahap 1) tidak berhasil, kasus Sengketa akan dibawa ke tingkat Ajudikasi
untuk diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Ajudikasi yang para anggotanya ditunjuk
Oleh BMAI.

Pada dasarnya semua sengketa dapat diselesaikan melalui BMAI. Sebagaimana


dijelaskan dalam Peraturan BMAI24 yakni dalam Pasal 4 dikemukakan: Sengketa yang
dapat ditangani Oleh BMAI dengan ketentuan sebagai berikut.

1. Semua Sengketa dapat diajukan dan ditangani Oleh BMAI dengan ketentuan:

a. Pemohon yang mengajukan adalah pihak Yang berkepen tingan.

b. Anggota yang dalam Sengketa harus merupakan pihak yang tunduk pada yurisdiksi
BMAI karena masih terdaftar sebagai anggota BMAI.

c. Sengketa yang timbul dari permasalahan berkaitan dengan hubungan Pemohon


dengan Anggota.

23
Lihat http://bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=category&id=58&Itemid+701, diunduh
26/11/2013.
24
Lihat peraturan BMAI termuat dalam
http://bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=category&id=58&Itemid=701, diunduh 26/11/2013.

30
d. Lingkup Sengketa yang diajukan harus berada dalam ris yurisdiksi BMAI sejak
BMAI didirikan.

e. Anggota tidak dapat menyelesaikan Sengketa secara langsung dengan Pemohon


sesuai dengan tuntutan Pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
disampaikannya keberatan oleh Pernohon kepada Anggota.

2. Jumlah tuntutan ganti rugi atau polis yang dipersengketakan tidak melebihi Rp750
juta untuk asti ransi kerugian/ umum dan Rp500 juta untuk asuransi jiwa atau asuransi
jaminan sosial.

3. Semua Sengketa yang belum pernah diajukan oleh Pemohon kepada Anggota
sehingga Anggota belum mendapat kesempatan untuk menyelesaikannya secara
'langsung, akan dianggap sebagai Keluhan dan bila diajukan kepada BMAI maka
BMAI akan mengembalikannya kepada Anggota untuk mendapat pertimbangan lebih
dahulu.

4. Lingkup daerah yurisdiksi BMAI hanya mencakup Sengketa terhadap aktifitas


Anggota atau Perwakilannya yang melaku kan kegiatan usaha dalam wilayah Republik
Indonesia. Sedangkan pihak yang dapat mengajukan permohonan penyelesaian
sengketa dijelaskan dalam Pasal 6. Pihak-pihak berikut disebut sebagai Pemohon dan
dapat mengajukan Sengketa kepada BMAI, diantaranya:

1. Nasabah yang mempunyai hubungan perjanjian asuransi dengan Anggota.

2. Seseorang yang mempunyai kepentingan finansial atas manfaat suatu perjanjian


asuransi, termasuk orang-orang berikut.

a. seseorang yang atas dirinya dibuat atau dimaksudkan untuk dibuat sebuah perjanjian
asuransi.

b. seseorang yang atas dirinya mempunyai hak untuk menerima manfaat dari suatu
Klaim Asuransi yang timbul karena adanya perjanjian, undang-undang, atau subrogasi.

3. Seorang Tertanggung yang disebutkan dalam polis asuransi.

31
4. Pihak ketiga yang mempunyai hak untuk mengajukan klailh atas sebuah perjanjian
asuransi yang menjamin atau diperluas untuk tnenjamin pertanggungan terhadap pihak
ketiga

Ada pun fungsi BMAI dalam penyelesaian sengketa adalah lembaga yang independen
dalam memberikan pelayanan. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 7, sebagai berikut

Kewenangan dan Fungsi BMAI, yakni:

1. BMAI akan selalu bertindak independen dalam memberikan pelayanan dan sebagai
media yang tidak memihak (imparsial) dan penengah perselisihan dan tidak akan
bertindak sebagai penasehat hukum baik bagi Anggota, Pemohon, atau pihak_ pihak
Iainnya vang mengajukan Sengketa kepadanya:

2. BMAI akan:

a. bertindak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PERATURAN ini;

b. nnematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh BMAI;

c. memberikan pelayanan atas semua Sengketa yang diajukan;

d. melakukan investigasi dan Mediasi atas Sengketa dengan tujuan untuk mendapatkan
suatu penyelesaian;

e. melakukan Ajudikasi atas Sengketa, tunduk pada ketentuan Pasal 17, bilamana tidak
tercapai kesepakatan melalui Mediasi; apabila dianggap wajar sesuai dengan keadaan,
menyampaikan rekomendasi kepada Anggota dan Pemohon untuk memfasilitasi
penyelesaian atas Sengketa; dan

g. tidak memberikan informasi umum tentang Anggota (selain bilamana dianggap wajar
terkait dengan proses penyelesaian Sengketa) dan informasi atas perjanjian dari
Anggota tersebut atau jasa pelayanan, serta tidak memberikan saran-saran hukum,
akuntansi, dan saransaran profesional Iainnya.

3. Pengawas BMAI mempunyai wewenang untuk melakukan perubahan dan


penambahan atas suatu Standar dan Ketentuan yang terdapat dalam PERATURAN ini.

32
Yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian melalui lembaga BMAl, pihak yang
bersengketa datang sendiri. Tegasnya dalam Pasal 12 sebagai berikut.

1. Pemohon orang perorangan Wajib mengikuti scndiri semua proses penyelesaian


Sengketa yang diselenggarakan oleh Badan Mediasi Asuransi Indonesia dan tidak
diperkenankan menunjuk pihak lain untuk mewakilinya.

2. Pemohon yang berstatus perusahaan, wajib menunjuk seseorang atau lebih


karyawannya sebagai kuasa tetap yang dapat mewakili perusahaannya untuk:

a. Menangani penyelesaian Sengketa berkaitan dengan tuntutan ganti rugi dan/atau


tuntutan atas manfaat polis asuransi.

b. Membuat, menjawab, dan/atau menandatangani suratsurat, faxsimile, email berkaitan


dengan penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam butir 1 di atas.

c. Menyerahkan semua dokumen, informasi, catatan dan laporan investigasi, notulasi


rapat dan lain-lain kepada Badan Mediasi Asuransi Indonesia yang diperlukan untuk
proses penyelesaian Sengketa sebagaimana dimaksud dalam butir I di atas.

d. Membuat keputusan penyelesaian melalui Mediasi dan menandatangani Perjanjian


Perdamaian hasil Mediasi.

e. Menghadiri sidang-sidang Ajudikasi, termasuk menandatangani Perjanjian Ajudikasi


dan Perjanjian Penyelesaian Ajudikasi.

3. Anggota BMAI wajib menunjuk seseorang atau lebih karyawannya sebagai kuasa
tetap yang dapat mewakili perusahaannya untuk melaksanakan tugas-tugas yang
disebutkan pada ayat 2 a) sampai dengan e) pasal ini.

4. Surat kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi dan berlaku sejak tanggal
ditandatangani sarnpai dibatalkannya secara tertulis oleh pemberi kuasa.

33
nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn

34
35

Anda mungkin juga menyukai