Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

Penegakkan Diagnosis Tuberculosis pada Pasien HIV

Oleh :

dr. Selina Maharani

dr. Maltadilla Ratu Hajjrin

dr. Reynaldo Binsar Hutajulu

Pembimbing :

dr. Rustam Effendi Sp.P

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang


2018

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberculosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi kronis dan salah
satu penyakit infeksi yang prevalansinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan
laporan World Health Organitation (WHO,2012), sepertiga populasi dunia yaitu
sekitar dua milyar penduduk terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8
juta populasi terkena TB aktif setiap tahunnya dan sekitar 2 juta meninggal.1
Di negara maju, diperkirakan 10 hingga 20 kasus diantara 100.000
penduduk, sedangkan angka kematian berkisar antara 1 hingga 5 kematian per
10.000 pendududuk. Center for disease Control and Prevention (CDC) melaporkan
terdapat total 9.563 kasus TB di Amerika Serikat pada tahun 2015 dengan rata-rata
3 kasus baru per 100.000 populasi.2
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013
terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada
tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO, 2015).
Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika
(37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%).3
Indonesia saat ini berada pada urutan kedua dengan beban TB paru tertinggi
di dunia setelah India.Dalam laporan Tuberculosis Global 2014 yang dirilis
organisasi kesehatan dunia (WHO) disebutkan, insidensi di Indonesia pada angka
460.000 kasus per tahun.Namun, dilaporan serupa tahun 2015, angka tersebut
sudah direvisi, yakni naik menjadi 1 juta kasus baru per tahun. Persentase jumlah
kasus di Indonesia pun menjadi 10% terhadap seluruh kasus di dunia sehingga
menjadi negara dengan kasus terbanyak kedua bersama dengan Tiongkok dan
India.3,4

2
Dalam laporan WHO tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012 dimana 1.1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan
HIV positif. Sekitar 80% dari pasien tersebut berada diwilayah Sub-Sahara Afrika,
namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia
Tenggara. Munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya
pengendalian TB secara global, sehingga berakibat meningkatnya jumlah kasus TB
di masyarakat. Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan
epidemi TB di seluruh dunia.5
Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara
kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan
infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%).
Risiko penularan tuberkulosis (TB) diperkirakan antara 26 sampai 31 kali
lebih besar pada orang yang hidup dengan HIV dibandingkan mereka yang tidak
terinfeksi HIV. Pada tahun 2014, dilaporkan ada 9,6 juta kasus baru TB, dimana 1,2
juta diantaranya terdapat pada orang yang hidup dengan HIV. Infeksi TB akan
mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS, dan sebaliknya infeksi HIV akan
memperparah kondisi TB. Disamping itu interaksi kedua infeksi ini akan
meningkatkan resiko kegagalan pengobatan TB dan meningkatkan case fatality rate
TB.6

Mengingat Munculnya epidemi HIV yang menunjukkan pengaruhnya


terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia, termasuk Indonesia maka
penulis berinisiatif untuk mengangkat topik “Penegakkan Diagnosis TB pada
pasien HIV”.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberculosis
2.1.A. Definisi
Penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis).
2.2.A. Manifestasi Klinis
 Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih
 Batuk berdahak bercampur darah
 Penurunan berat badan yang signifikan
 Berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas
 Malaise.
2.3.A. Klasifikasi
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif .
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif .
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif .
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum
luas.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif.
- Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa5.

4
Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu :5
a. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan beberapa kemungkinan :
- Infeksi sekunder
- Infeksi jamur
- TB paru kambuh
c. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus Lalai Berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti
2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan). Atau penderita dengan hasil BTA negatif
gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.

5
f.. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OA T yang adekuat akan lebih mendukung . Pada kasus dengan
gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat
pengobatan OA T selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran
radiologik .
2.4.A. Patofisiologi
Mycobacterium Tuberculosis yang terdapat pada droplet nuclei diudara
dapat terhisap orang sehat dan akan menempel pada saluran napas atau jaringan
paru . Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer .
Kuman ini akan dihadapi pertama kali oleh netrofil, kemudian makrofag dan
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap dijaringan paru maka akan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini ia dapat terbawa ke organ tubuh lainnya . Kuman
yang bersarang dijaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang ( focus ) Ghon.
Sarang primer ini dapat terjadi disetiap bagian jaringan paru. 5
2.5.A. Diagnosis
 Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan
3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :

6
• S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot
dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
banguntidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
• S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
 Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
(M.tb)dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misal:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya.Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat
yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
 Pemeriksaan Penunjang Radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam
penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif. Indikasi pemeriksaan foto
toraks pada ODHA BTA positif Foto toraks diperlukan pada: 5
- pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura).
- pasien hemoptisis.
- pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
2.6.A. Faktor Resiko
 Immunompromised
 Usia
 Riwayat kontak dengan penderita TB
 Penyakit sistemik lainnya

7
B. HIV
2.1.B. Definisi
Human Immuno deficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menyerang
sel-sel pada sistem kekebalan tubuh manusia, terutama sel darah putih di dalam
tubuh, yakni sel limfosit T, sel CD4 dan komponen utama pada sistem imunitas
tubuh, sehingga tubuh kehilangan imunitas dan kekebalan terhadap serangan yang
masuk sehingga tubuh menjadi lemah serta rentan terinfeksi. HIV menyebabkan
defisiensi imunitas tubuh manusia secara perlahan-lahan, dengan masa inkubasi
yang cukup lama, yaitu 5-15 tahun untuk muncul sepenuhnya. HIV merupakan
agen pembawa penyakit AIDS.
2.2.B. Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri
pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya
kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid)
sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Pada masa inkubasi, virus
HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan
sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita
sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita

8
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi.Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan
kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.Setelah infeksi akut, dimulailah
infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang
memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang
sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita
akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.
2.3.B. Stadium Klinis
Sistem klasifikasi stadium klinis WHO untuk infeksi HIV
WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis (awalnya untuk
menentukan prognosis berdasarkan kriteria klinis.Kondisi klinis menunjukkan
apakah pasien berada pada stadium 1, 2, 3 atau 4. Stadium klinis merupakan hal
yang penting sebagai kriteria untuk memulai terapi ARV. Stadium klinis WHO
dapat membantu untuk memperkirakan tingkat defisiensi kekebalan tubuh pasien.
Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau 2 biasanya tidak mempunyai
gejala defisiensi kekebalan tubuh yang serius. Pasien yang mempunyai gejala dan
tanda stadium klinis 3 atau 4 biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh
yang berat dan tidak mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan
terjadinya infeksi oportunistik (IO).

9
Tabel 1. Stadium Klinis HIV Dewasa

Stadium Klinis 1: Stadium Klinis 2: Stadium Klinis 3: Stadium Klinis 4:


Asimtomatik Sakit ringan Sakit sedang Sakit berat (AIDS)

Gejala/ Tidak ada Berat badan Berat badan turun HIV wasting
tanda gejala turun 5-10% > 10% syndrome: Sangat
atau hanya: Luka pada Kandidiasis kurus disertai
Limfadenopati sudut mulut mulut demam kronik
generalisata (keilitis Oral hairy dan/atau diare
persisten: angularis) Leukoplakia kronik
Kelenjar Dermatitis Lebih dari 1 Kandidiasis
multipel Seboroik bulan: Diare, esofagus:
berukuran Prurigo Demam tanpa Lebih dari 1 bulan:
kecil tanpa Herpes zoster sebab yang jelas Ulserasi Herpes
rasa nyeri ISPA berulang Infeksi bakteri Simpleks
Ulkus pada yang berat: Limfoma
mulut Pneumonia, Sarkoma Kaposi
berulang piomiositis dan Kanker serviks
lain-lain Invasif
TB paru Renitis CMV
HB <8g, Pneumonia
Lekosit< 500, pneumosistis
Trombosit< TB Ekstraparu:
50.000 Meningitis
Gingivitis/ Kriptokokus
periodontitis Abses otak
ulseratif Toksoplasmosis
nekrotikan akut Ensefalopati HIV

10
Gambar 1. Skema hubungan stadium klinis dengan jumlah CD4

2.4.B. Diagnosis
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan laboratorium
meliputi uji imunologi dan uji virologi.
A) Diagnosis Klinik
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV25
Keadaan Umum :
- Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
- Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,50 C) lebih
dari satu bulan
- Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
- Limfadenofati meluas
Kulit :
- Kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
- Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis
sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV

11
Infeksi :
- Infeksi jamur : Kandidosis oral, dermatitis seboroik,kandidiasis vagina
kambuhan
- Infeksi viral : Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu
dermatom)Herpes genital (kambuhan), moluskum kontagiosum,
kondiloma
Gangguan Pernafasan :
- Batuk lebih dari satu bulan
- Sesak nafas
- TB
- Pnemoni kambuhan
- Sinusitis kronis atau berulang
Gejala Neurologis
- Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak
jelaspenyebabnya)
- Kejang demam
- Menurunnya fungsi kognitif
b) Diagnosis Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1
dandigunakan sebagai test skrining, meliputi Enzyme Immunoassays Atau Enzyme
–Linked Immunosorbent Assay (ELISAs) dan tes serologi cepat (Rapid Test).
UjiWestern Blot atau Indirect Immunofluorescence Assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test krining.
Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas sistem imun meliputi
jumlahdan persentase CD4+ dan CD8+ T-limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak
digunakan untuk diagnose HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi: kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat Nucleic Acid Amplification Test (NAATs) , test untuk

12
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)) 26
2.5.B. Tata Laksana
Indikasi Untuk Memulai Terapi ARV 24
 Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau
 Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya
 Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun
jumlah CD4
- Semua pasien ko-infeksi TB
- Semua pasien ko-infeksi HBV
- Semua ibu hamil
- ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negatif (sero
discordant)
- Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)
- Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti
Papua dan Papua Barat

13
Sumber lain mengatakan terapi antiretroviral (ARV) perlu didahului
pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi
HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
memenuhi syarat terapi antiretroviral. Berikut ini adalah rekomendasi cara
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.22,23
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4:
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.Stadium
Klinis 3 (TB, jamur di mulut dll) dan 4 (wasting syndrome dll) tanpa
melihat CD4 dapat langsung mulai diterapi ARV.
b. Tersedia pemeriksaan CD4:
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan CD4 < 350 sel/mm3
(sebelumnya <200 sel/mm3) tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil
dan koinfeksi hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.Khusus untuk
TB-HIV, pasien mendapatkan pengobatan TB selama 2 minggu, setelah
stabil dengan pengobatan TB baru dilanjutkan dengan pengobatan ARV.

Obat ARV Lini Pertama Yang Tersedia Di Indonesia


Tenofovir (TDF) 300 mg, Lamivudin (3TC) 150 mg, Zidovudin
(ZDV/AZT) 100 mg, Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg, Nevirapine (NVP)
200 mg, Kombinasi dosis tetap (KDT):TDF+FTC 300mg/200mg dan
TDF+3TC+EFV 300mg/150mg/600mg.
Rejimen yang digunakan di tingkat FKTP adalah rejimen lini pertama
dengan pilihan
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
 TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
 AZT + 3TC + EFV
 AZT + 3TC + NVP
Pemerintah menyediakan sediaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) / Fixed
Dose Combination (FDC) untuk rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV.Sediaan
KDT ini merupakan obat pilihan utama, diberikan sekali sehari sebelum tidur.

14
Obat ARV harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi
(>95%) Cara pemberian terapi ARV (4S - start, substitute, switch dan stop) dapat
dilihat dalam Pedoman Pengobatan Antiretroviral, Kemenkes 2014.24

C. Koinfeksi TB-HIV
2.1.C. Pendahuluan
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi
dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping
itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%).
Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru
yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.6
2.2.C. Patogenesis
Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+
menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB.6
Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4 dan defek
fungsi makrofag. Patogenesis koinfeksi TB HIV berhubungan langsung dengan
respon imunitas pada infeksi TB, yang meliputi cell mediated immunity (CMI)
dan delayed type hypersensitivity (DTH), kedua respon imunitas tersebut
bertujuan untuk melokalisir infeksi dan membunuh MTB. Pada infeksi HIV
stadium lanjut, kadar CD4 sangat rendah sehingga terjadi gangguan sistem
imunitas baik CMI maupun DTH. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh
menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal
kuman TB. Selain itu, dilaporkan bahwa CD4 dan TNF penting dalam
mempertahankan stuktur granuloma pada infeksi TB. Akibatnya replikasi MTB
meluas tanpa disertai pembentukan granuloma, nekrosis perkejuan dan
pembentukan kavitas. Hal ini berimplikasi pada sulitnya diagnosis TB karena
gambaran radiologis yang tidak spesifik, sering ditemukan kasus TB paru BTA
negatif dan meluasnya penyebaran TB sehingga banyak dilaporkan TB ekstra
paru. Tingginya angka TB pada pasien HIV/AIDS disebabkan terutama karena
adanya kesamaan pathogenesis pada cell mediated immunity, terutama sel CD4.
Penekanan jumlah sel CD4 oleh HIV akan membuat pengendalian infeksi M.

15
tuberculosis menjadi terganggu, sehingga invasi dan penyebaran penyakit menjadi
lebih mudah.8,9 Kesamaan pathogenesis ini membuat diagnosis TB menjadi sulit,
karena penekanan CD4 membuat rendahnya kejadian nekrosis kaseosa
(perkejuan) yang diperlukan untuk memaparkan kuman TB ke luar. Ini membuat
diagnosis TB dengan hapusan Basil Tahan Asam (BTA) menjadi sulit, sehingga
diagnosis TB pada pasien-pasien HIV/AIDS menjadi rumit.10 TB juga dapat
mempercepat laju perjalanan penyakit HIV melalui berbagai cara, di antaranya
melalui mekanisme aktivasi selular yang pada akhirnya dapat meningkatkan viral
load HIV. TB pada pasien HIV/AIDS dapat meningkatkan level viral load dalam
plasma antara 5 sampai 160 kali lipat daripada yang tidak terkena TB.11
2.3.C. Diagnosis TB Pada ODHA Dewasa
A. Pendekatan Diagnosis
Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan
mikroskopisdahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil
sputum BTAnegatif.Disamping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di
manadiagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil
pemeriksaanklinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari
tempat lesi.Olehkarena itu, untuk mendiagnosis TB pada ODHA perlu
menggunakan alur diagnosisTB pada ODHA.
B. Manifestasi Klinis
Gejala klinis TB paru pada ODHA seringkali tidak spesifik.Gejala klinis
yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang
signifikan/lebih dari 10%. Di samping itu dapat ditemukan gejala lain terkait TB
ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB
abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar
limfe di leher, sesak nafas, dan lain-lain.6
Gejala klinis tersering pada TB dengan HIV+ adalah demam dan batuk
kronik, disisi lain gejala tersering pada TB dengan HIV- adalah batuk kronik,
penurunan berat badan, demam, keringat malam. Tetapi pada penelitian ini, hanya
keringat malam dan berat badan turun yang lebih banyak secara signifikan pada
pasien dengan HIV-.12

16
Jika jumlah CD4 tinggi (>250) kita bisa berharap klinis TB akan tipikal
dan terdapat perubahan gambaran foto thoraks. Namun bila tidak, kita bisa
berharap klinisnya akan atipikal dengan perubahan gambaran foto thoraks. Pada
pasien imunosupresi, AIDS, klinis TB akan terlihat tidak spesifik, dengan
dominan gejala sistemik seperti keringat malam, berat badan turun, lemas,
pembesaran kelenjar getah bening dan insidensi TB ekstrapulmonaryang tinggi.13

C. Pemeriksaan Laboratorium Dahak


1. Mikroskopis
Cukup dilakukan dengan dua specimen dahak (sewaktu dan pagi) dan
minimal satu dahak hasilnya BTA + maka diagnosis TB dapat ditegakkan
(JUKNIS). Beberapa studi mengemukakan bahwa induksi sputum dengan inhalasi
salin hipertonis untuk pengeluaran dahak dapat meningkatkan lapangan
diagnostic.14.
Pemeriksaan sputum ini memiliki sensitifitas yang sangat rendah pada
pasien TB koinfeksi HIV. Pasien TB dengan HIV positif cenderung lebih besar
hasil sputumnya negative karena pada ODHA memiliki lesi kavitas yang sedikit
karena kegagalan dalam membentuk granuloma. Kurang lebih 24-61% pasien TB
koinfeksi HIV sputumnya hasil negative. Karena itu skrining gejala dan
pemeriksaan sputum mikroskopis seringkali memberikan hasil yang false
negative.15
2. Pemeriksaan Tes Cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil
negatif, sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat
dengan Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert

17
MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga
penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa lebih tepat.
Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam
waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.6 Pemeriksaan
ini sangat dianjurkan dan lebih efektif untuk mendiagnosis TB dibandingkan
dengan mikroskopi sputum dengan tidak memandang perbedaan jenis kelamin dan
status HIV.16,17
3. Biakan
Biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB, namun
membutuhkan waktu sekitar 6-8 minggu. Pada saat ini untuk mendiagnosis TB
pada ODHA, WHO merekomendasikan pemeriksaan UjiCepat/Rapid Test, yang
memerlukan waktu lebih singkat dan sekaligus dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui lebih awal kemungkinan ODHA resisten terhadap Rifampisin.6
4. Pemberian Antibiotik
Sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Penggunaan
antibiotik sebagai alat bantu diagnosis dapat menyebabkan diagnosis dan
pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin
disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Tidak
boleh menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan
respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap
obat tersebut.6
5. Microscopic Observation Drug Susceptibility Assay (MODS)
Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai diagnosis awal dari pasien dengan TB
dengan HIV positif. MODS membutuhkan waktu 7 hari, dan relative tidak mahal
dan cepat sehingga membuat pemeriksaan ini ideal pada wilayah dengan beban
tinggi terhadap penyakit TB dan wilayah dengan sumber daya yang
rendah.MODS terbukti efektif dalam mengidentifikasi TB pada pasien HIV.
Dalam penelitian ini dikatakan bahwa MODS dapat mendeteksi 72,8% (40/55)
kultur positif dengan TB smear negative pada pasien HIV positif.18

18
D. Pemeriksaan Penunjang Radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam
penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negative.20

Tabel 2. Gambaran Foto Toraks

Perubahan gambaran foto toraks pada pasien TB/HIV menggambarkan


derajat tingkat kekebalan.P ada penurunan tingkat kekebalan tubuh yang ringan
gambaran foto toraks masih menunjukkan gambaran tipikal (kavitas, infiltrat di
apeks paru). Jika penurunan tingkat kekebalan sudah lebih berat maka gambaran
foto toraks menjadi tidak tipikal.

Berikut adalah ringkasan dari guidelines management TB and HIV co-


infection in Ghana mengenai dampak stadium HIV pada klinis TB paru :13

19
Mayoritas pasien TB-HIV memperlihatkan penyakit paru klasik dengan
fibronodular dan atau lesi cavitas pada foto thoraks. Meskipun gambaran klinis
sangat tergantung dengan level dari imunosupresi dari pasien. Pasien dengan
CD4<200 sel/ml sedikit/jarang yang memperlihatkan kavitas dan seringnya
berbentuk atipikal. Kebanyakan pasien dengan imunosupresi yang parah dengan
CD4<100 sel/ml seringnya dengan gambaran TB ekstraparu dan bentuk TB
disseminated dengan kultur darah positif TB dan gambaran foto thoraks yang
atipikal. 21

E. Alur Diagnosis
Berikut ini adalah alur diagnosis TB pada ODHA dari Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis 2014 untuk fasilitas kesehatan yang memiliki layanan/
akses tes cepat TB.

20
Alur Diagnosis TB Pada ODHA Untuk Faskes Yang Memiliki Layanan/
Akses Tes Cepat TB

Keterangan :
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-
tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut:
Frekuensi pernapasan >30 kali/menit, demam >39C, denyut nadi >120
kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. Berikan antibiotika non
florokuinolon (untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosis
2. Untuk terduga pasien TB ekstra paru, lakukan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
3. Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB
dengan tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan

21
mikroskopis follow up, namun diagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan tes cepat.
4. Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB(-) tetapi menunjukkan gejala
klinis TB yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan
tes cepat sesegera mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik.
5. Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB(-) dan foto thoraks
mendukung TB:
a. Jika hasil cepat ulang MTB(+) maka diberikan terapi terapi TB
sesuai dengan hasil tes cepat
b. Jika hasil tes cepat ulang MTB(-) pertimbangan klinis kuat maka
diberikan terapi TB
c. Jika hasil tes cepat ulang MTB(-) pertimbangan klinis meragukan
cari penyebab lain
F. Diagnosis TB Ekstraparu Pada ODHA
Diagnosis pasti TB ekstraparu sulit ditegakkan karena harus didasarkan
pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang
didapat dari lesi. Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan diantaranya
adalah TB Kelenjar limfe, TB Susunan saraf pusat, TB Abdomen, TB Pleura dan
TB Perikard. Pemeriksaan spesimen untuk penegakan diagnosis TB ekstraparu
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan biakan
maupun histopatologi.
Hasil biakan specimen yang diperoleh dari TB ekstraparu jarang
memberikan hasil positif. Untuk kasus yang hasil biakannya negatif atau kasus
yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diagnosis TB ekstraparu
hanya dilakukan secara presumtif berdasarkan bukti klinis yang kuat atau dengan
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Untuk pasien yang dicurigai TB
ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konfirmasi bakteriologi
atau histopatologi (diagnosis secara presumtif ), respons klinis dari pengobatan
tersebut harus dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka harus
dilakukan penilaian klinis ulang dan harus dipikirkan alternatif diagnosis
lainnya.20

22
23
2.4.C. Diagnosis Banding
Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai
kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan
kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia dapat terjadi
sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan klinis yang
cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang batuk selama 2
minggu atau lebih.

2.5. C. Pengobatan Koinfeksi TB-HIV


Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien
TB tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian TB (BPN
PPTB). Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus
diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB
dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan
paling lambat 8 minggu.
Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa
memandang jumlah CD4.Namun pengobatan TB tetap merupakan prioritas utama
untuk pasien dan tidak boleh terganggu oleh terapi ARV.Seperti telah dijelaskan

24
di atas, pengobatan ARV perlu dimulai meskipun pasien sedang dalam
pengobatan TB.Perlu diingat, pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung
Rifampisin sehingga pasien dalam pengobatan TB dan mendapat pengobatan
ARV bisa mengalami masalah interaksi obat dan efek samping obat yang serupa
sehingga memperberat efek samping obat.Paduan pengobatan ARV yang
mengandung Efavirenz (EFV) diberikan bila pengobatan ARV perlu dimulai pada
pasien sedang dalam pengobatan TB.Di samping itu, ODHA dengan TB juga
diberikan PPK.Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah banyak sehingga
mungkin perlu beberapa perubahan dalam paduan ARV.Setiap perubahan tersebut
harus dijelaskan secara seksama kepada pasien dan Pengawas Menelan Obat
(PMO). Pada ODHA yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian sakit
TB maka pilihan paduan pengobatan ARV adalah seperti pada tabel di bawah ini:

Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan


profilaksis. Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal

25
tersebut dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik. Penyakit
oportunistik yang risikonya dapat dicegah dengan PPK:
• Pneumonia Pneumocystis Jiroveci (PCP)
• Abses otak toksoplasmosis
• Pneumonia
• Isospora belli
• Salmonella sp.
• Malaria

26
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


 Nama : Tn. YP
 No.Register : 39.81.95
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 26 tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Mojowarno, Jombang
 Pekerjaan : Pegawai Diskotik
 Status : Belum menikah
 Tanggal MRS : 2 April 2018
 Tanggal Pemeriksaan : 09 April 2018

3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Batuk
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Batuk berdahak berwarna kuning kental, tidak
berbau, tidak ada darah Batuk semakin parah sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Dahak dirasa sulit dikeluarkan. Demam sumer
sumer (+) sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Demam hilang
timbul. Demam dirasakan terus menerus sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit. Penurunan nafsu makan (+) sejak 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Berat badan yang menurun drastis sejak 2 bulan yang lalu.
Berat berkurang kurang lebih 10 kilogram dalam 2 bulan. Badan terasa
lemas sejak 1 bulan. Keringat saat malam harı (+) . Belum pernah
seperti ini sebelumnya. Batuk darah (-). Diare lama (-). Riwayat kontak
dengan orang yang batuk lama (-). BAB dan BAK (+) N.

27
Riwayat Penyakit Dahulu
Satu bulan lalu pasien MRS 5 hari dengan Pneumonia + HIV (MRS
diCempaka atas). Setelah KRS pasien kontrolpoli paru untuk dilakukan
TCM dan menunjukkan hasilnya detected high, namun pasien tidak pernah
kontrol ke poli paru. Pasien juga sempat ke poli VCT sekali namun tidak
pernah kontrol kembali.
Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat yang diminum secara rutin
Riwayat Sosial
Pasien adalah lulusan SMA yang saat ini bekerja sebagai waitress di club
malam diSurabaya. Riwayat seks bebas (+).Riwayat merokok (+).Riwayat
konsumsi alkohol(+).Riwayat kontak dengen orang yang batuk lama (-).
Riwayat Keluarga
Tidak dijumpai adanya keluhan yang sama..

3.3. Pemeriksaan Fisik (tanggal 9April 2018, pukul 09.00)


1. Status generalis
GCS : 4-5-6 Keadaan umum: lemah, tampak kurus
2. Vital sign
Tekanan Darah : 120/80
Nadi : 118kali/menit
Respiratory Rate : 24kali/menit
Temperatur : 38,2° Celcius
3. Kepala / leher
Mata : Anemis (+)/ Icterus (-) / Cyanosis (-) / Dyspnea (-)
Telinga/HidungMulut/Tenggorokan: tidak didapatkan kelainan
Leher : tidak terdapat deviasi trakea, tidak ada peningkatan
vena jugularis, tidak terdapat pembesaran KGB

28
4. Thoraks
Jantung
Inspeksi Iktus: tak tampak
Pulsasijantung : taktampak
Palpasi Iktus: teraba, di ICS V, anterior linea axila sinistra
Thrill: tidak didapat
Perkusi Batas kanan: ICS 4 linea para sterna dextra
Batas kiri: ICS V, Midclavicular line sinistra
Auskultasi S1, S2: tunggal
Tidak didapatkan murmur, tidak didapatkan gallop
Paru

Pemeriksaan
Kanan Kiri

INSPEKSI

Simetris - -
Bentuk

Pergerakan Simetris - -

Jarak sela iga Simetris Sama Sama

Pemakaian otot
-
napas bantu

PALPASI

Trachea Ditengah

Pergerakan Simetris - -
N N
Fremitus raba simetris N N
N N

Nyeri di epigastrium -

PERKUSI

29
Sonor Sonor
Suara ketok Sonor Sonor
Sonor Sonor

- -
Nyeri ketok - -
- -

Kronig isthmus Normal

Batas paru hati ICS V mid clavicular line dextra

AUSKULTASI

Vesikuler Vesikuler
Suara nafas Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler

+ +
Ronkhi + +
- -

+ -
Wheezing + -
- -
5. Abdomen
Inspeksi Datar,umbilicus masuk kedalam, vena kolateral (-)
Auskultasi Bising usus: positif dalam batas normal
Palpasi Tugor kulit normal, tonus normal.
Hepartidak teraba, Lien tidakteraba.
Nyeritekan-
Perkusi Timpanik, Shifting dullness (-)
6. Genitalia Pria: Dalam batas normal
7. Extremitas :
Atas Akral hangat kering merah
Tidak didapatkan ptechiae, tidak ada purpuradanechimosis

30
Sendi: Tidak didapatkan nyeri sendi
Kuku: tidak didapat kelainan, tidak tampak anemis
Edema: tidak didapatkan
Tattoo pada tangan kiri
Bawah Akral hangat kering merah
Tidak didapatkan ptechiae, tidak ada purpuradanechimosis
Sendi: Tidak didapatkan nyeri sendi
Kuku: tidak didapat kelainan
Edema tidak didapatkan
8. Pemeriksaan Neurologis: Dalam batas normal

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Haematologi (02/04/18) (06/04/18) (09/04/18) Normal
Hb 4.4 (↓) 7,4(↓) 9.3(↓) 11,7-15,5
RBC 1.600.000(↓) 2.790.000(↓) 3.42(↓) 4-5jt/µl
HCT 15.1 24,5 30.0 35-47%
WBC 20.000(↑) 4140 6620 3500-11.000
Limfosit 3 8 7 25-35%
Monosit 4 2 4 4-10%
Segmen 92 89 89 50-65%
PLT 217.000 89.000(↓) 107.000(↓) 150-440 x 103/ µl
Kimia Klinik (02/04/18) (16/04/18) (18/04/18) Normal
GDA 100 - - 80-120
Bilirubin Total - 5.67(↑) 1.77(↑) 0.30 – 1.20
Bilirubin Direk - 4.03(↑) 1.32(↑) <0.20
SGOT - 43(↑) 109(↑) 15 – 40
SGPT - 65(↑) 40(↑) 10 - 40

31
Foto Thoraks
12 Februari 2018 23 Februari 2018

32
02 April 2018 09 April 2018

Tes Molekular Cepat TB (28 Februari 2018)


Mycobacterium TB : Detected High
Rifampicin resistant : Negative

33
3.5. Diagnosis Kerja
TB paru kasus baru + HIV staging III + DIH+Anemia

3.6. Diagnosa Banding


Pneumonia+ HIV staging III + DIH+Anemia
Pneumonia Pneumocystis jirovecii + HIV staging III + DIH+Anemia

3.7. Penatalaksanaan
- Infus NaCl 0,9 % life line
- INH 300 mg
- RIF 450 mg
- ETH 1 gram
- Terbutalin 3x 1 tab
- Ceftriaxone inj. 1x2 gram IV
- Cotrimoksasol 1x2 tab
- Stop RIF
- Curcuma 3x1 tab
- Transfusi PRC 1 bag/harihingga HB >8

34
BAB 4
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

KASUS TEORI
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan Pada Gejala klinis TB paru pada ODHA
batuk sejak 2 minggu. Batuk seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang
berdahak berwarna kuning sering ditemukan adalah demam, batuk kronik,
kental, tidak berbau, tidak ada keringat malam dan penurunan berat badan
darah. Batuk semakin parah yang signifikan/lebih dari 10% 20
sejak 1 minggu. Dahak sulit
dikeluarkan. Demam sumer Gejala klinis tersering pada TB dengan HIV+
sumer sejak 1 bulan. Demam adalah demam dan batuk kronik, disisi lain
hilang timbul. Demam gejala tersering pada TB dengan HIV- adalah
dirasakan terus menerus sejak 1 batuk kronik, penurunan berat badan, demam,
minggu. Penurunan nafsu keringat malam. Tetapi pada penelitian ini,
makan sejak 2 bulan SMRS hanya keringat malam dan berat badan turun
dan berat badan yang menurun yang lebih banyak secara signifikan pada pasien
drastis sejak 2 bulan yang lalu. dengan HIV-.12
Berat berkurang kurang lebih
10 kilogram dalam 2 bulan. Pada pasien imunosupresi, AIDS, klinis TB
Badan terasa lemas sejak 1 akan terlihat tidak spesifik, dengan dominan
bulan. Keringat saat malam gejala sistemik seperti keringat malam, berat
harı sejak 1 bulan. badan turun, lemas, pembesaran kelenjar getah
Riwayat Penyakit Dahulu bening dan insidensi TB ekstrapulmonar yang
Satu bulan lalu pasien MRS 5 tinggi.13
hari dengan Pneumonia + HIV.
Setelah KRS pasien kontrol
poli paru untuk dilakukan
TCM dan menunjukkan

35
hasilnya detected high.
Riwayat Sosial
Pasien adalah lulusan SMA
yang saat ini bekerja sebagai
waitress di club malam.
Riwayat seks bebas (+).
Riwayat merokok (+). Riwayat
konsumsi alkohol(+)
Pemeriksaan fisik Diagnosis TB dengan HIV (+) perlu
- Keadaan umum lemah diperhatikan keadaan umum, kesadaran dan
- Tampak kurus status gizi pasien. Dapat ditemukan gejala lain
- Takikardi terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard,
- Takipnea TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB
- Febris abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari
- Konjungtiva anemis satu bulan, pembesaran kelenjar limfe di leher,
- Tattoo (+) sesak nafas, dan lain-lain. 20
- Rhonkhi 1/3 atas kanan dan
tengah Hemithoraks sinistra
dextra
- Wheezing 1/3 atas kanan dan
tengah Hemithoraks dextra

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Dahak


- Laboratorium : 1. Mikroskopis : Cukup dilakukan dengan dua
Hb ↓, WBC ↑, PLT ↓, specimen dahak (sewaktu dan pagi) dan
Bilir.Total ↑, Bilir.Direk ↑, minimal satu dahak hasilnya BTA + maka
SGOT ↑, SGPT ↑ diagnosis TB dapat ditegakkan.20
2. Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
- Rapid test (Reaktif) Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA
sering memberikan hasil negatif, sehingga

36
- Pemeriksaan TCM penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan
(28/2/2018) : Mycobacterium tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu
TB detected high dilakukan.Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert
MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya
- Pemeriksaan foto thorax resistensi terhadap rifampisin, sehingga
(2/4/2018): penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa
Fibronodular 1/3 hemithoraks lebih tepat.Jika fasilitas memungkinkan,
Sinistra Dextra kesan TB paru pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu
DD pneumonia yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan
mikroskopis.5
3. Biakan : Biakan dahak merupakan baku emas
untuk mendiagnosis TB, namun membutuhkan
waktu sekitar 6-8 minggu.20
Pemeriksaan Penunjang Radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA
memegang peranan penting dalam penegakan
diagnosis TB paru khususnya BTA negative.20

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI.,2011. “TBC


MasalahKesehatanDunia”.Jakarta:BPPPSDMKDinkesProvinsiJawa
Tengah.,2008.ProfilPropinsiJawa Tengah 2008.Semarang:Dinkes
PropisiJawa Tengah
2. Santoso. 2012. (Schoolar.Unand.ac.id)
3. World Health Organization (WHO). 2015. Global Tuberculosis Report
Switzerland
4. Aditama. 2011. (Schoolar.Unand.ac.id)
5. KementerianKesehatanRepublik Indonesia
DirektoratJenderalPengendalianPenyakit Dan PenyehatanLingkungan,
2014. Pedoman Nasional PengendalianTuberkulosis.
6. Prof.dr.Tjandra Yoga Aditama,Dalam. 2012. PetunjukTeknis Tata
LaksanaKlinis KO-Infeksi TB-
HIV.Jakarta.DirektoratJendralPengendalianPenyakit&PenyehatanLingk
ungan.Kemenkes RI 2012:20-26
7. Pawlowski A., Jansson M, Markus Sko¨, Rottenberg ME, GunillaKa¨
llenius. 2012.Tuberculosis and HIV Co-Infection. PLoS Pathogens
8(2): e1002464
8. Mansyur MS, Suharto A, Sari R, 2009. TB dan HIV.
BalaiBesarKesehatanParuMasyarakat Surakarta.
9. Fajrin, PN, 2012, EvaluasiTerapi ARV terhadapperubahanjumlah CD4
danterapi OAT terhadapperubahan BB padapasienkoinfeksi TB/HIV di
Unit PelayananTerpadu HIV RS CiptoMangunkusumo, Skripsi,
FakKesehatanMasyarakat. Universitas Indonesia.
10. KementerianKesehatan RI
DirektoratJenderalPengendalianPenyakitdanPenyehatanLingkungan.
2011. Petunjukteknis Tata laksanaklinisKo-infeksi TB HIV
11. Schluger NW. 2001.Recent advances in our understanding of human
host responses to tuberculosis.Respir Res. 2(3):157-63
12. A Hadadi et al. “Pulmonary Tuberculosis in Patients with HIV/AIDS in
Iran”. Iranian J Publ Health, Vol 40, No.1, 2011, pp.100-106
13. Ghana Health Service. 2007. “Guidelines for the Clinical Management
of TB and HIV Co-infection in Ghana”
14. Marc Mendelson. “Diagnosing tuberculosis in HIV-infected
patients:challenges and future prospects”. British Medical Bulletin
2007; pp.81-82
15. Amy Y Vittor et al. “Molecular Diagnosis of TB in the HIV Positive
Population”. Annals of Global Health 2014;80, pp.476-485
16. N. Patil, H. Saba, A. Marco, R. Samant, L. Mukasa, Initial experience
with GeneXpertMTB/RIF assay in the Arkansas tuberculosis control
program, Australas. Med. J. 7 (5) (2014) 203e207.

38
17. C.M. Denkinger, S.G. Schumacher, C.C. Boehme, N. Dendukuri, M.
Pai, K.R. Steingart, Xpert MTB/RIF assay for the diagnosis of
extrapulmonary tuberculosis: a systematic review and meta-analysis,
Eur. Respir. J. 44 (2) (2014) 435e444.
18. Dang Thi Minh Ha et al. “Diagnosis of Pulmonary Tuberculosis in
HIV-positive Patients by Microscopic Observation Drug Susceptibility
Assay”, Journal of Clinical Microbiology, Dec 2010, pp.4573-4579
19. WHO Tuberculosis Care with TB-HIV Co management , Integrated
Management of Adolescent and Adult Illness ( IMAI). 2007 : 14-30
20. DirektoratJenderalPengendalianPenyakitdanPenyehatanLingkunganKe
menterianKesehatanRepublik Indonesia. 2012. “PetunjukTeknis Tata
LaksanaKlinisKo-Infeksi TB-HIV”. Jakarta:KementerianKesehatan RI
21. Q.M.Trinh et al. “Tuberculosis and HIV co-infection-focus on the Asia-
Pacific region”. International Journal of Infectious Disease 2015,
pp.170-178
22. Pedoman Nasional Tata laksanaKlinisInfeksi HIV danTerapi
Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Kemenkes RI Dirjen P2PL. 2011
23. Centers for Disease Control and Prevention. Interim guidance for
clinicians considering the use of preexposure prophylaxis for the
prevention of HIV infection in heterosexually active adults. MMWR
Morb Mortal Wkly Rep. 2012;61(31):586-9.
24. KementerianKesehatanRepublik Indonesia
DirektoratJenderalPencegahandanPengendalianPenyakit. 2016.
“Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS”.
25. DepartemenKesehatan RI. 2007. “PanduanTatalaksanaKlinisInfeksi
HIV pada orang dewasadanRemaja”. Edisikedua.
Diaksesdariwww.scholar.unand.ac.id/3427/4/.pdfpada 10 Juni 2018.
26. Mariam, Siti. 2010. “PerbandinganResponImunologiEmpatKombinasi
Antiretroviral BerdasarkanKenaikanJumlah CD4 di
RumahSakitDr.H.Marzoeki Mahdi Bogor PeriodeMaret 2006-2010.
Tesis FMIPA UI.

39

Anda mungkin juga menyukai