Anda di halaman 1dari 77

REFERAT

SUBDIVISI BEDAH ANAK


BAGIAN/SMF ILMU BEDAH

KELAINAN GENITALIA EKSTERNA


PADA ANAK LAKI-LAKI

Disusun oleh :
dr. Kurniadi Yusuf
NPM 131821180506

SUB BAGIAN BEDAH ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2019
PENDAHULUAN

Di Indonesia pada umumnya kelainan kongenital merupakan kelainan dalam

pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.

Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati

atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama

kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal

ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi

yang dilahirkan. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-

kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya. 1,2

Abnormalitas pada genitalia eksterna pada anak-anak merupakan kelainan yang

tidak jarang terjadi dengan prevalensi 6.6 – 18,7%. Kelainan pada genitalia

eksternal sangat menggangu bagi penderita terutama untuk orang tua penderita,

yang secara tak sadar telah menggangu emosional mereka, baik dari segi struktur

fisikal, emosional, serta alat reproduktif ini, dan mungkin juga akibat yang akan

ditimbulkan pada generasi masa depan mereka. Sehingga dirasa penting

mengetahui implikasi klinis dari abnormalitas genitalia eksterna tersebut sehingga

menyiapkan klinisi dalam memahami kelainan-kelainan tersebut dengan baik. 1,2

Abnormalitas yang dapat terjadi, antara lain Hipospadia, Epispadia, Fimosis,

Parafimosis, Burried Penis, Micro Penis, Aphallia, Diphallia, Ambigous

Genitalia, Hidrokel, Varikokel, Spermatokel, Hematokel, Maldesensus Testis,

Torsio Testis, maupun Tumor Testis. 1,2,3,4


PEMBAHASAN

1. Anatomi Genitalia Eksterna Laki-laki

Struktur luar dari sistem reproduksi pria terdiri dari penis, skrotum (kantung zakar)

dan testis (buah zakar). Struktur dalamnya terdiri dari vas deferens, uretra, kelenjar

prostat dan vesikula seminalis.

Penis terdiri dari : 4,5

a. Akar (menempel pada dinding perut)

b. Badan (merupakan bagian tengah dari penis)

Badan penis terdiri dari 3 rongga silindris (sinus) jaringan erektil:

1. Dua rongga yang berukuran lebih besar disebut korpus kavernosus,

terletak bersebelahan.

2. Rongga yang ketiga disebut korpus spongiosum, mengelilingi uretra.

3. Glans penis (ujung penis yang berbentuk seperti kerucut).

Lubang uretra (saluran tempat keluarnya semen dan air kemiah) terdapat di

ujung glans penis. Dasar glans penis disebut korona. Pada pria yang tidak disunat

(sirkumsisi), kulit depan (preputium) membentang mulai dari korona menutupi glans

penis. 4,5
Gambar 1. Penis

Skrotum merupakan kantung berkulit tipis yang mengelilingi dan melindungi

testis. Skrotum juga bertindak sebagai sistem pengontrol suhu untuk testis, karena agar

sperma terbentuk secara normal, testis harus memiliki suhu yang sedikit lebih rendah

dibandingkan dengan suhu tubuh. Otot kremaster pada dinding skrotum akan

mengendur atau mengencang sehinnga testis menggantung lebih jauh dari tubuh (dan

suhunya menjadi lebih dingin) atau lebih dekat ke tubuh (dan suhunya menjadi lebih

hangat). 4,5

Gambar 2. Skrotum
Testis merupakan organ berbentuk ovoid dengan jumlah dua buah, biasanya

testis sebelah kiri lebih berat dan lebih besar daripada yang kanan. Testis terletak di

dalam skrotum dan dibungkus oleh tunica albuginea, beratnya 10-14 gram, panjangnya

4 cm, diameter anteroposterior kurang lebih 2,5 cm. Testis merupakan kelenjar

eksokrin (sitogenik) karena pada pria dewasa menghasilkan spermatozoa, dan disebut

juga kelenjar endokrin karena menghasilkan hormon untuk pertumbuhan genitalia

eksterna. Testis terbagi menjadi lobulus-lobulus kira-kira 200 sampai 400 .Pada bagian

dalam lobulus-lobulus tersebut terletak jaringan parenkim yang membentuk tubuli

seminiferi kontorti.Pada waktu mencapai mediastinum testis, tubulus-tubulus ini

berubah menjadi tubuli seminiferi recti, jalannya kurang lebih 20 – 30 tubulus di mana

mereka membentuk anyaman sehingga disebut rete testis (halleri).Dari rete ini keluar

kurang lebih 15 – 20 duktus efferentes yang masuk ke dakam kaput epididimis. 4,5

Gambar 3. Testis
Epididimis merupakan organ yang berbentuk organ yang berbentuk seperti

huruf C, terletak pada fascies posterior testis dan sedikit menutupi fascies

lateralis.Epididimis terbagi menjadi tiga yaitu kaput epididimis, korpus epididimis dan

kauda epididimis.Kaput epididimis merupakan bagian terbesar di bagian proksimal,

terletak pada bagian superior testis dan menggantung. Korpus epididimis melekat pada

fascies posterior testis, terpisah dari testis oleh suatu rongga yang disebut sinus

epididimis (bursa testikularis) celah ini dibatasi oleh epiorchium (pars viseralis) dari

tunika vagianlis.Kauda epididimis merupakan bagian paling distal dan terkecil di mana

duktus epididimis meulai membesar dan berubah jadi duktus deferens. 4,5

Duktus deferens (Vas Deferens) merupakan kelanjutan dari duktus epididimis.

Sementara itu, vesikula seminalis adalah organ berbentuk kantong bergelembung-

gelembung yang menghasilkan cairan seminal.Jumlahnya ada dua, di kiri dan kanan

serta posisinya tergantung isi vesika urinaria.Bila vesika urinaria penuh, maka

posisinya lebih vertical, sedangkan bila kosong lebih horizontal.Vesika seminalis

terbungkus oleh jaringan ikat fibrosa dan muscular pada dinding dorsal vesika

urinaria.4,5

Duktus ejakulatorius adalah gabungan dari duktus deferens dan duktus

ekskretorius vesikula seminalis, menuju basis prostat, yang akhirnya bermuara ke

dalam kollikus seminalis pada dinding posterior lumen uretra. 4,5


Glandula prostatica, merupakan organ yang terdiri atas kelenjar-kelenjar

tubuloalveolar. Terletak di dalam cavum pelvis sub peritoneal, dorsal symphisis pubis,

dilalui urethra pars prostatica. Bagian-bagian dari glandula prostatica adalah apeks,

basis fascies lateralis, fascies anterior, dan fascies posterior. Glandula prostatica

mempunyai lima lobus yaitu anterior, posterior, medius dan dua lateral. 4,5

Gambar 4. Organ Genitalia Eksterna Pria


2. Kelianan Genitalia Eksterna pada anak Laki-laki

2.1 Hypospadia

Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan

“spadon“ yang berarti keratan yang panjang. Hipospadia adalah kelainan kongenital

dimana muara uretra eksterna (MUE) terletak di ventral penis dan lebih ke proximal

dari tempat normalnya (ujung gland penis). 3,4

Tiga tipe anomali yang terkait dengan hipospadia yaitu :

1. Pembukaan ektopik meatus urethra yang letaknya diantara glans dan pangkal

penis

2. Curvatura ventral (chordee)

3. Preputium yang menutup glans dan kelebihan kulit pada bagian dorsal dan

kekurangan kulit pada bagian ventral penis

Insidensi Hipospadia :

Hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup di Amerika Serikat.

Kelainan ini terbatas pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan progestin selama

kehamilan diduga meningkatkan insidensinya. Insidensi hipospadia telah meningkat

sejak 15 tahun yang lalu di negara-negara barat dengan angka kejadian 1 untuk setiap

250 kelahiran bayi laki-laki. Insidensi lebih tinggi sekiranya terdapat riwayat keluarga

dengan hipospadia dengan angka kejadian 1 untuk setiap 100 kelahiran hingga 1 untuk
setiap 80 kelahiran bayi laki-laki. Meskipun ada riwayat familial namun hingga saat

ini, belum ditemukan ciri genetik yang spesifik. 3,4

Klasifikasi Hipospadia :

Klasifikasi hipospadia yang sering digunakan yaitu berdasarkan lokasi meatus yaitu :

Gambar 5. Klasifikasi Hipospadia

Berdasarkan letak muara ureter setelah dilakukan koreksi, Brownie (1936)

membagi hipospadia dalam tiga bagian besar, yaitu: 3,4

• Hipospadia anterior (terdiri atas tipe glanular, subcoronal, dan penis distal)

• Hipospadia medius (terdiri atas midshaft dan penis proksimal)

• Hipospadia posterior (terdiri atas penoskrotal, skrotal, dan perineal).

Secara teori hipospadia medius dan posterior biasanya pada bagian anterior phallus

(penis) disertai dengan adanya chordee (pita jaringan fibrosa) yang menyebabkan

kurvatura (melengkung) pada saat ereksi. Hypospadia derajat ini akan mengganggu

aliran normal urin dan fungsi reproduksi, oleh karena itu perlu dilakukan terapi dengan

tindakan operasi bedah. 3,4,5


Manifestasi Klinis Hipospadia

Gejala yang timbul pada kebanyakan penderita hypospadia biasanya dating

dengan keluhan kesulitan dalam mengatur aliran air kencing (ketika berkemih).

Hypospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dalam

posisi duduk dan pada orang dewasa akan mengalami gangguan hubungan seksual.

Tanda-tanda klinis hypospadia : 6,7

1. Lubang Osteum/orifisium Uretra Externa (OUE) tidak berada di ujung glands

penis.

2. Preputium tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung

penis (dorsal hood).

3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang membentang hingga ke glans

penis. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glands penis.

Penatalaksanaan Hipospadia

Tujuan utama penanganan operasi hipospadia adalah : 3,6,7

1. Merekonstruksi penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang

normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya kedepan dan fungsi

miksi normal

2. Fungsi seksual normal (ereksi lurus dan pancaran ejakulasi kuat)

3. Penis dapat tumbuh dengan normal

belajar (±1,5 bulan - 2 tahun). Terdapat beberapa cara penatalaksanan


penbedahan untuk merekonstruksi phallus pada hypospadia.
Tujuan penatalaksanaan hypospadia yaitu untuk memperbaiki kelainan

anatomi phallus, dengan keadaan bentuk phallus yang melengkung (kurvatura)

karena pengaruh adanya chordee. : 3,6,7

Tindakan rekonstruksi hypospadia:

1. Chordectomi : melepas chordae untuk memperbaiki fungsi dan memperbaiki

penampilan phallus (penis).

2. Urethroplasty : membuat Osteum Urethra Externa diujung gland penis

sehingga pancaran urin dan semen bisa lurus ke depan.

Chordectomi dan urethroplasty dilakukan dalam satu waktu operasi yang

sama disebut satu tahap, bila dilakukan dalam waktu berbeda disebut dua tahap.

Hal yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai keberhasilan tindakan operasi

bedah hypospadia : : 3,6,7

1. Usia ideal untuk repair hypospadia yaitu usia 1,5 bulan – 2 tahun (sampai

usia belum sekolah) karena mempertimbangkan faktor psikologis anak

terhadap tindakan operasi dan kelainannya itu sendiri, sehingga tahapan

repair hypospadia sudah tercapai sebelum anak sekolah.

2. Tipe hypospadia dan besarnya penis dan ada tidaknya chorde.

3. Tiga tipe hypospadia dan besar phallus sangat berpengaruh terhadap-

tahapan dan teknik operasi. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan

operasi, Semakin kecil phallus dan semakin ke proksimal tipe hypospadia

semakin sukar tehnik operasinya.


Pada semua tindakan operasi bedah hypospadia dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut : : 3,6,7

• Eksisi chordee. Tekhnik untuk tindakan penutupan luka dilakukan dengan

menggunakan preputium yang diambil dari bagian dorsal kulit penis. Tahap

pertama ini dilakukan pada usia 1,5 – 2 tahun. eksisi chordee bertujuan untuk

meluruskan phallus (penis), akan tetapi meatus masih pada tempatnya yang

abnormal.

• Uretroplasty yang dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama. Tekhnik reparasi

ini dilakukan oleh dokter bedah plastik adalah tekhnik modifikasi uretra.

Kelebihan jaringan preputium ditransfer dari dorsum penis ke permukaan

ventral yang berfungsi menutupi uretra baru. Beberapa metode operasi yang

digunakan dalam menangani hipospadia adalah :

a. Hipospadia Anterior

Teknik yang dilipih untuk hipospadia anterior tergantung pada posisi anatomi

dari penis yang hipospadia. Teknik yang paling sering digunakan adalah MAGPI

(meatal advance glansplasty), GAP (glans approximation procedure), metode Mathieu

atau disebut flip-flap dan incise pipa uretroplasti. : 3,6,7

1) Teknik MAGPI (meatal advance glansplasty)

Teknik MAGPI dirancang oleh Duckett pada tahun 1981. Teknik ini akan

memberikan hasil yang maksimal jika pasien mengikuti dengan tepat.


Gambar 6. Teknik MAGPI (meatal advance glansplasty)

Penis dengan hipospadia yang cocok untuk dilakukan MAGPI adalah dengan

jaringan pada punggung dalam glands yang mengalirkan urin baik dari koronal

atau sedikit ke meatus subcoronal. Setelah pasien tertidur, uretra itu sendiri harus

memiliki dinding ventral yang normal, tanpa ada bagian yang tipis atau atresia

uretra spongiosum. Uretra juga harus menjadi mobile sehingga dapat maju ke

glands.

2) Teknik GAP (glans approximation procedure)

Prosedur GAP berlaku pada pasien dengan hipospadia anterior kecil yang

memiliki alur glands luas dan mendalam.

Gambar 7. Teknik GAP (glans approximation procedure)


Pada pasien ini tidak memiliki jembatan jaringan kelenjar yang biasanya

mngalirkan aliran kemih, seperti yang terlihat pada pasien yang akan lebih tepat

diobati dengan teknik MAGPI. Dalam teknik GAP, uretra yang berlubang lebar

akan dilakukan tubularisasi primer dengan menggunakan stent.

3) Incisi Tubularirasi Urethroplasty

Gambar 8. Incisi Tubularirasi Urethroplasty

Secara historis, jika alur uretra tidak cukup lebar untuk tubularisasi in situ,

seperti pada teknik GAP atau prosedur Thiersch Duplay, kemudian pendekatan

alternatif seperti Mathieu atau untuk penanganan hipospadia yang lebih parah,

flap pedikel dengan vascularisasi bias dilakukan. Baru-baru ini konsep sayatan di

kulit uretra dan dilakukannya tubularisasi dan penyembuhan sekunder telah

diperkenalkan oleh Snodgrass. Hasil jangka pendek sangat baik dan prosedur ini

memiliki popularitas yang luas. Salah satu aspek yang menarik adalah adanya

celah yang menyerupai meatus, yang dibuat dengan sayatan pertengahan garis

punggung. Baru-baru ini, teknik ini telah diterapkan untuk bentuk-bentuk

hipospadia posterior. Secara teoritis, ada kekhawatiran tentang kemungkinan

stenosis meatus dari jaringan parut, dimana sering terjadi striktur uretra pada
pasien dengan urethrotomy internal yang sering menyebabkan striktur berulang.

Pada hipospadia, pada jaringan dengan suplai darah yang sangat baik dan aliran

pembuluh darah yang besar, tampaknya dapat merespon baik terhadap sayatan

primer dan sekunder pada penyembuhan tanpa meninggalkan bekas luka. Pada

perbaikan hipospadia distal, meskipun tingkat morbiditas relative rendah, hasil

kosmetik yang mungkin sulit untuk menilai dan memuaskan dalam proporsi yang

signifikan, terutama setelah perbaikan Mathieu.

b. Hipospadia Posterior.

Kita sudah cukup puas dengan teknik onlay island flap untuk hipospadia

untuk kasus pada hipospadia pada batang penis dan kasus-kasus yang lebih parah

dari hipospadia. Onlay island flap telah berhasil diuji dengan hasil jangka panjang

yang sangat baik. Tidak membuang kulit uretra pada teknik onlay island flap

telah menyingkirkan striktur anastomosis bagian proksimal dan telah mengurangi

kejadian formasi fistula. Ketika kelengkungan penis diperlukan, dapat dikoreksi

dengan lipatan punggung. Laporan terbaru telah memperkenalkan teknik standar

dan variasi yang lebih halus. Kadang-kadang operasi yang luas diperlukan dan

dalam beberapa kasus, beberapa operasi menyebabkan hasil yang kurang optimal

pada beberapa anak, pasien kemudian diklasifikasikan sebagai " cacat hipospadia

". Untuk hipospadia yang sangat parah, kulit preputium yang dapat dirancang

sebagai gaya tapal kuda untuk menjembatani jarak yang luasOperasi hipospadia

merupakan salah satu masalah yang paling sering dibicarakan bagi ahli bedah

rekonstruktif, dan ahli bedah urolog, dan pediatric karena tingkat komplikasi
yang tinggi. Faktanya ada sekitar 250 operasi yang berbeda untuk mengelola

masalah rumit, yang menunjukkan bahwa tidak ada operasi tunggal yang disukai

oleh semua ahli bedah di dunia karena tidak ada teknik tunggal memberikan hasil

baik yang seragam. Satu tahap perbaikan secara alami disukai karena trauma post

operasi berkurang, tidak ada bekas luka pada kulit, menurunkan jumlah rawat

inap dan lebih ekonomis. Tapi ahli bedah tertentu tetap yakin ada keterbatasan

dan kelemahan dari operasi satu langkah dan terus berlatih operasi dua tahap. 3,6,7

Komplikasi

Komplikasi awal yang bisa terjadi adalah : : 3,6,7

1. Perdarahan

2. Infeksi

3. Edema

4. Jahitan yang terlepas

5. Nekrosis flap

Komplikasi lanjut yang bisa terjadi adalah : : 3,6,7

1. Ketidakpuasan kosmetis

2. Stenosis atau menyempitnya meatus uretra karena edema atau hipertropi scar

pada tempat anastomosis.

3. Fistula uretrokutan
4. Striktur uretra

5. Divertikula

6. Adanya rambut dalam uretra

7. Ektropion mukosa

8. Balanitis xerotica obliterans (BXO)

9. Uretrocele

10. Meatal Regression or Glanular Dehiscence

11. Chordee persisten

12. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.

Prognosis

Secara umum hasil fungsional dari one-stage procedure lebih baik dibandingkan

dengan multi-stage procedures karena insidens terjadinya fistula atau stenosis lebih

sedikit, dan lamanya perawatan di rumah sakit lebih singkat, dan prognosisnya baik. :
3,6,7

2.2 Epispadia

Epispadia adalah terbukanya lempeng uretra secara parsial ataupun komplit di

bagian permukaan dorsal dari falus, dan merupakan kelainan embriologik yang jarang.

Epispadia bisa bervariasi mulai dari yang paling ringan berupa defek di daerah glanular

(glanular epispadias), defek di batang penis (penile epispadias), dan defek diproksimal,

berbatasan dengan dinding anterior abdomen (pubic or penopubic epispadias). Adanya


defisiensi dari bladder neck, urethra bagian proksimal, dan striated sphincter complex

menentukan derajat inkontinensia. Epispadia merupakan suatu bentuk kelainan ekstrofi

yang paling ringan. 8,9

Insidensi Epispadia

Epispadia adalah kelainan yang jarang, insidensinya 1 : 120.000 per kelahiran

hidup, dengan perbandingan laki-laki dibandingkan perempuan adalah 5 : 1. 10

Male Epispadias

Epispadias terdiri dari defek pada dinding dorsal uretra. Uretra normal terganti

secara luas oleh mukosa dibagian dorsum penis, memanjang higga ke kandung kemih,

yang berpotensi inkompeten dari fungsi spingter. Meatus yang salah posisi biasanya

bebas dari kelainan lain, dan terjadinya inkontinensia urin berhubungan dengan letak

meatus uretra yang berada di bagian dorsal.

Berdasarkan dari lokasi meatus epispadia bisa di bagi menjadi: 8,10

1. glanular ( balanic; opening di glans penis),

2. penile (opening di penile shaft)

3. penopubic (opening di penopubic junction).


Gambar 9. Kiri: Skematis gambar klasifikasi epispadia. a, glanular, b, midshaft
(penile), c, penopubic. Kanan: Foto epispadia glanular (a), penile (b), penopubic (c)

Semua jenis epispadia berhubungan dengan berbagai tingkat chordee di bagian

dorsal. Pada epispadias penopubikum atau subsymphyseal, seluruh uretra di bagian

penile terbuka dan bladder outlet mungkin cukup besar untuk memeriksa dengan

menggunakan jari , menunjukkan inkontinensia yang jelas. Pada tingkat lebih rendah

dibandingkan dengan exstrophy bladder klasik, pasien dengan epispadias memiliki

pelebaran karakteristik dari simfisis pubis yang disebabkan oleh rotasi luar dari tulang

innominata . Pemisahan os pubis menyebabkan penopubic tidak menempel yang

berkontribusi terhadap penis yang pendek , penis pendular dengan chordee di bagian

dorsal. Oleh karena itu, deformitas penis hampir identik dengan yang diamati pada

exstrophy bladder. Rasio laki-perempuan yang dilaporkan epispadias bervariasi antara

3:1 dan 5:1. 8,10


Gambar 10. A, Anak laki-laki 3 bulan dengan epispadia komplit
(penopubikum). B, Anak perempuan 6 bulan dengan epispadia komplit.

Gambar 11. Bayi laki-laki dengan epispadia

Tujuan dari penanganan epispadias pada laki-laki termasuk membuat kontrol


proses buang air kecil yang normal dan rekonstruksi penis yang bisa diterima secara
kosmetika, dengan ukuran cukup panjang yang secara fungsional dapat melakukan
hubungan seksual yang normal. Telah disebutkan bahwa epispadias komplit pada laki-
laki mirip dengan exstrophy bladder klasik. 8,9,10

Penatalaksanaan Epispadia

Tujuan dari repair epispadia adalah menciptakan penis yang kuat, secara kosmetik

bisa diterima, dengan panjang yang rasional untuk penetrasi yang adekuat dan

hubungan sexual, termasuk mencapai kontinensia urin. Tindakan bedah untuk

inkontinensia pada epispadias penopubikum hampir sama dengan exstrophy bladder.

Pada pasien dengan epispadias komplit dan kapasitas bladder yang baik, epispadias

dan rekonstruksi bladder neck dapat dilakukan dalam operasi satu tahap. Urethroplasty

sebelumnya dilakukan setelah rekonstruksi bladder neck. Namun, perbaikan bladder

dengan kapasitas yang kecil terkait dengan exstrophy dan yang terkait dengan

epispadias diharapkan untuk melakukan urethroplasty dan pemanjangan penis terlebih

dahulu sebelum rekonstruksi bladder neck. Dalam epispadias, seperti exstrophy

bladder , kapasitas kandung kemih adalah indikator utama dari kontinens. 8,9,10

Prosedur rekonstruksi genital pada epispadias dan exstrophy serupa. Manuver

rekonstruksi berikut harus dilakukan: 8,9,10

1. Pelepasan chordee bagian dorsal dan pembagian ligamen suspensori;

2. Diseksi corpora dari tempat menempel hingga ke ramus pubis inferior;

3. Pemanjangan uretra, dan pemanjangan dari corpora, jika diperlukan, dengan

insisi dan anastomosis atau graft atau rotasi medial corpora ventral ke arah yang

lebih ke bawah.

Banyak kasus epispadia memerlukan penanganan secara bertahap.8,9,10


2.3 Fimosis

Fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke proksimal

sampai ke korona glandis. Fimosis merupakan suatu keadaan normal yang sering

ditemukan pada bayi baru lahir atau anak kecil, karena terdapat adesi alamiah antara

prepusium dengan glans penis. dan biasanya pada masa pubertas akan menghilang

dengan sendirinya. Pada pria yang lebih tua, fimosis bisa terjadi akibat iritasi menahun.

Fimosis bisa mempengaruhi proses berkemih dan aktivitas seksual. 4,11

Gambar 12. Phimosis

Insidensi Fimosis

Berdasarkan data epidemiologi, fimosis banyak terjadi pada bayi atau anak-anak

hingga mencapai usia 3 atau 4 tahun. Sedangkan sekitar 1-5% kasus terjadi sampai
pada usia 16 tahun. Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris

yang dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul di dalam prepusium dan

perlahan-lahan memisahkan prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi

secara berkala membuat prepusium terdilatasi perlahan-lahan sehingga prepusium

menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal. Pada saat usia 3 tahun, 90% prepusium

sudah apat diretraksi. 4,11

Gambaran Klinis Fimosis

Fimosis menyebabkan gangguan aliran urine berupa sulit kencing, pancaran urine

mengecil, menggelembungnya ujung prepusium penis pada saat miksi, dan

menimbulkan retensi urine. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan terjadinya

infeksi pada prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis) atau infeksi pada

glans dan prepusium penis (balanopostitis). Kadang kala pasien dibawa berobat oleh

orang tuanya karena ada benjolan lunak di ujung penis yang tak lain timbunan smegma

di dalam sakus prepusium penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium dan

glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya. 4,11

Penatalaksanaan Fimosis

Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada

penderita fimosis, karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung

prepusium sebagai fimosis sekunder. Fimosis yang disertai balanitis xerotika obliterans

dapat dicoba diberikan salep deksametasone 0,1% yang dioleskan 3 atau 4 kali.
Diharapkan setelah pemberian selama 6 minggu, prepusium dapat retraksi spontan.

Bila fimosis tidak menimbulkan ketidaknyamanan dapat diberikan penatalaksanaan

non-operatif, misalnya seperti pemberian krim steroid topikal yaitu betamethasone

selama 4-6 minggu pada daerah glans penis. Pada fimosis yang menimbulkan keluhan

miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai

dengan infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada

balanitis atau postitis harus diberi antibiotika dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi. 4,11

2.4 Parafimosis

Parafimosis merupakan suatu kondisi dimana prepusium penis yang di retraksi

sampai di sulkus koronarium tidak dapat dikembalikan pada keadaan semula dan

timbul jeratan pada penis dibelakang sulkus koronarius. Parafimosis dapat disebabkan

oleh tindakan menarik prepusium ke proksimal yang biasanya di lakukan pada saat

bersenggama atau masturbasi atau sehabis pemasangan kateter tetapi preputium tidak

dikembalikan ketempat semula secepatnya. Parafimosis yang di diagnosis secara klinis

ini, dapat terjadi pada penis yang belum disunat (disirkumsisi) atau telah disirkumsisi

namun hasil sirkumsisinya kurang baik. Fimosis dan parafimosis dapat terjadi pada

laki-laki semua usia, namun kejadiannya tersering pada masa bayi dan remaja. 4,11
Gambar 12. Parafimosis

Parafimosis atau pembengkakan yang sangat nyeri pada prepusium bagian distal

dari phimotic ring, terjadi bila prepusium tetap retraksi untuk waktu lama. Hal ini

menyebabkan terjadinya obstruksi vena dan bendungan pada glans penis yang sangat

nyeri. Pembengkakan dapat membuat penurunan prepusium yang meliputi glans penis

menjadi sulit. Seiring waktu, gangguan aliran vena dan limfatik ke penis menjadi

terbendung dan semakin membengkak. Dengan berjalannya proses pembengkakan,

suplai darah menjadi berkurang dan dapat menyebabkan terjadinya infark/nekrosis

penis, gangren, bahkan autoamputasi. 4,11

Penatalaksanaan Parafimosis

Prepusium diusahakan untuk dikembalikan secara manual dengan teknik memijat

glans selama 3-5 menit diharapkan edema berkurang dan secara perlahan-lahan

prepusium dikembalikan pada tempatnya. Jika usaha ini tidak berhasil, dilakukan

dorsum insisi pada jeratan sehingga prepusium dapat dikembalikan pada tempatnya.

Walaupun demikian, setelah parafimosis diatasi secara darurat, dimana edema dan

proses inflamasi menghilang, pasien dianjurkan untuk menjalani sirkumsisi. Tindakan


sirkumsisi dapat dilakukan secara berencana dengan pemberian anestesi serta

antibiotika oleh karena kondisi parafimosis tersebut dapat berulang atau kambuh

kembali. 4,11,12

2.5 Buried Penis

Buried penis adalah suatu kelainan sejak lahir di mana suatu jaringan atau lipatan

scrotal kulit mengaburkan sudut penoscrotal. Jika dokter yang melakukan khitanan

tidak mengenali kondisi ini, penis menjadi terkubur di dalam suatu lipatan kulit.

Khitanan ulang untuk memindahkan kulit kelebihan membuat situasi menjadi lebih

buruk dengan kulit scrotal ke penis itu. Pada penis tersembunyi, penile batang

terkuburkan di bawah permukaan dari kulit prepubic. Ini terjadi pada anak-anak dengan

kegendutan sebab lemak prepubic yang sangat banyak dan menyembunyikan penis itu.

Kondisi juga bisa terjadi manakala batang dari penis adalah terperangkap di dalam kulit

prepubic akibat khitanan ekstrim atau trauma lain. 4,12


Gambar 13. Burried Penis

Literatur menguraikan banyak teknik untuk koreksi Buried Penis. Penatalaksanaan

umumnya, perawatan didasarkan pada reseksi bagian adherent bands dan anchorage

yang dalam pada shaft pada bagian basis dari penis. Beberapa juga mendukung

penghilangan kulit yang berlebihan, berbagai z-plasties, liposuction, atau preputial

island pedicle flap. 4,12

2.6 Mikro Penis

Mikropenis jarang terjadi. Penis memiliki ukuran yang jauh di bawah ukuran rata-

rata. Adakalanya, anak-anak dewasa dibawa ke dokter untuk evaluasi oleh karena

genitalia yang kecil. Anak-Anak lelaki ini pada umumnya adalah prepubertal dan

gemuk sekali. Hampir semua individu ini mempunyai ukuran penis normal ( 5-7 cm).

Kenyataan pada kondisi tertentu penis terkubur di lemak prepubis yang besar karena

kebiasan makan yang tidak terkontrol. Bagaimanapun, jika penis diukur dan kurang

dari 4 cm, maka evaluasi lebih lanjut mungkin diperlukan. Mikropenis seringkali
ditemukan pada anak yang menderita hipospadia ini mungkin disebabkan karena

kelainan yang menyertai hipospadia-nya. 3,13

Micropenis bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor termasuk cacat struktural atau

kelainan hormonal sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad. Janin memproduksi

androgens, terutama testosterone, sangat penting bagi perkembangan pria normal.

Awal kehamilan, placental manusia gonadotropin chorionic ( hCG) merangsang testis

untuk menghasilkan testosterone. Kemudian dalam kehamilan setelah organogenesis

terjadi, pituitary mengambil kendali produksi luteinizing hormon ( LH) dan follicle-

stimulating hormon ( FSH). Kegagalan dari rang sangan gonadotropin atau produksi

testosterone, atau kedua-duanya, ke arah akhir kehamilan dapat mengakibatkan

pertumbuhan penis tidak cukup. 3,13

Gambar 13. Mikro Penis

Perawatan medis terapi Testosterone dalam berbagai bentuk pemberian misalnya,

suntikan, krim, tambalan digunakan untuk meningkat/kan ukuran penis pada anak-anak

dan bayi. 1 -3 suntikan testosterone ( 25-50 mg) dengan interval 4 minggu masa kanak-
kanak mengakibatkan peningkatan cukup pada ukuran penis normal bila acuan umur

yang digunakan. Pembedahan pada kebanyakan anak-anak lelaki dengan mikropenis

sensitif pada testosterone therapy, sehingga genitoplasty hanya pada situasi ekstrim di

mana testosterone terapi tidak efekif. Tetapi tindakan ini masih menjadi pro dan kontra.

Khitanan harus dihindarkan, atau sedikitnya ditunda, sampai evaluasi sesuai, fungsi

jenis kelamin jelas, dan terapi diselesaikan. 3,13

2.7 Aphallia / Penile Agenesis

Tidak adanya Penis Sejak lahir atau aphallia, adalah suatu keganjilan jarang yang

disebabkan oleh kegagalan pengembangan tuberkel genital. Lebih dari 50% pasien

berhubungan dengan anomali genitourinary, seperti cryptorchidism, renal agenesis dan

dysplasia. Dengan kemungkinan kejadian 1 dalam 30 juta populasi. Phallus tidak ada

sepenuhnya, mencakup corpora cavernosa dan corpus spongiosum. Pada umumnya,

kantung buah pelir normal dan testis tidak turun. Saluran kencing bisa terletak dimana

saja pada titik dari perineal midline bisa sampai diatas pubis, dengan frekuensi paling

sering, pada anus atau dinding anterior dari rektum. Beberapa laporan menunjukkan

bahwa aphallia mungkin berhubungan dengan kehamilan dengan komplikasi kencing

manis yang tidak terkontrol. 3,14

Penatalaksanaan penile agenesis adalah dengan rekonstruksi penis dengan flap dari

abdomen kemudian diisi dengan implant. 3,14


Gambar 14. Aphalia / Agenesis Penis

2.8 Diphallia

Merupakan kelainan kongenital langka, dimana terbentuk dua penis. Kasus pertama

diphallia dilaporkan pada tahun 1609 di Switzerland. Ketika genital tuberkel terbagi

menjadi dua, penis yang kedua terbentuk, dapat terbentuk sebagian maupun komplit.

Diphallia biasa muncul dengan kelainan kongenital lainnya seperti di renal atau

vertebra. Spina bifida merupakan penyakit yang sering menyertai diphallia. 3,7

Gambar 14. Diphalia


2.9 Ambigous Genitalia

Ambigus genitalia adalah suatu kelainan perkembangan seks yang atipikal secara

kromosomal, gonadal, dan anatomis yang umumnya ditandai dengan adanya organ

genitalia eksterna yang tidak jelas laki-laki atau perempuan, atau mempunyai gambaran

kedua jenis kelamin. Dicurigai ambigus genitalia, apabila alat kelamin kecil, disebut

penis terlalu kecil sedangkan klitoris terlalu besar; atau bilamana skrotum melipat pada

garis tengah sehingga tampak seperti labium mayor yang tidak normal dan gonad tidak

teraba.namun harus diketahui bahwa tidak semua ambigous genitalia pada bayi baru

lahir mengakibatkan tampilan genital yang meragukan, misalnya hipospadi genitalia

jelas mengalami malformasi walaupun jenis kelamin tidak diragukan lagi adalah laki-

laki. 3,15,16

Insidens Ambigu genitalia atau yang sekarang dikenal dengan istilah disorders of

sex development (DSD) adalah 1:4500 -1: 5500 bayi lahir hidup. Dimana 50% kasus

46, XY dapat diketahui penyebabnya dan 20% secara keseluruhan dapat didiagnosis

secara molecular. 3,15,16


Gambar 15. Ambigous Genitalia

Etiologi Ambigous Genitalia

Penyebab penyakit interseksualitas sangat kompleks, terbanyak oleh karena

kelainan genetik, namun pengaruh lingkungan terutama penggunaan obat-obat

hormonal pada masa kehamilan merupakan salah satu yang diduga. Paparan pada masa

kehamilan yang mengakibatkan ambiguitas seksual pada bayi perempuan dengan

kromosom 46,XX semestinya dipertimbangan dengan hati-hati pada ibu hamil,

pemakaian obat hormonal yang tidak terlalu perlu. 3,15,16

Klasifikasi Ambigous Genitalia

Ambigus genitalia dapat dikelompokkan menjadi male pseudohermaphroditism

(hermaprodit semu laki-laki= maskulinisasi yang tidak sempurna pada individu dengan

genetik pria), female pseudohermaphroditism (hermaprodit semu perempuan=

maskulinisasi pada individu dengan genetik wanita.) dan true hermaphrodite

(hermaprodit yang sebenarnya). Interseksual juga termasuk pada kasus dengan

pertumbuhan gonad yang salah (Disgenesis Gonad) yang dapat diperiksa berdasarkan
hasil analisis kromosom (kariotip) dan gambaran mikroskopis jaringan gonad (testis),

gangguan pertumbuhan ini dapat berupa disgenesis gonad sebagian (partial) atau

keseluruhan (complete). Umumnya invidu yang menderita disgenesis gonad sebagian,

memiliki derajat ambiguitas genital yang bervariasi, tergantung pada jumlah jaringan

testis fungsional yang ada. Kadang-kadang kita temui anak-anak yang mengalami

disgenesis gonad dengan kromosom XY (laki-laki) namun memiliki struktur alat

genital perempuan walaupun kurang berkembang. Pada disgenesis gonad mempunyai

risiko tinggi untuk berubah menjadi ganas, sehingga sering menimbulkan dilema dalam

pengobatan apakah akan mempertahankan gonad atau pengambilan gonad. 3,15,16

Manifestasi Klinis Ambigous Genitalia

Beberapa keadaan di bawah ini harus dipertimbangkan sebagai kasus ambigu

genitalia yang perlu mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut : 3,15,16

Tampak laki-laki

− Kriptorkismus bilateral.

− Hipospadia dengan skrotum bifidum.

− Kriptorkismus dengan hipospadia.

Inderteminate/meragukan

− Genitalia ambigua

Tampak Perempuan
− Clitoromegali

− Vulva yang sempit

− Kantong hernia inguinalis berisi gonad

Beberapa sindrom berhubungan dengan genitalia ambigua, misalnya sindrom

Smith-Lemli-Opitz, Robinow, Denys-Drash, WAGR (Wilms Tumor, Aniridia,

Genitourinary malformation, and Retardation) dan Beckwith-Wiedemann.

Pengobatan

A. Pengobatan endokrin

Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah

mendorong perkembangan maskulinisasi dan menekan berkembangnya tanda-tanda

seks feminisasi (membesarkan ukuran penis, menyempurnakan distribusi rambut dan

massa tubuh) dengan memberikan testosteron. Bila pasien menjadi perempuan, maka

tujuan pengobatan adalah mendorong secara simultan perkembangan karakteristik

seksual kearah feminin dan menekan perkembangan maskulin (perkembangan

payudara dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa individu setelah pengobatan

estrogen). 3,15,16

Pada CAH diberikan glukokortikoid dan hormon untuk retensi garam.

Glukokortikoid dapat membantu pasien mempertahankan reaksi bila terjadi stres fisik

dan menekan perkembangan maskulinisasi pada pasien perempuan. 3,15,16

Pengobatan dengan hormon seks biasanya mulai diberikan pada saat pubertas

dan glukokortikoid dapat diberikan lebih awal bila dibutuhkan, biasanya dimulai pada
saat diagnosis ditegakkan. Bilamana pasien diberikan hormon seks laki-laki, hormon

seks perempuan atau glukokortikoid, maka pengobatan harus dilanjutkan selama hidup.

Misalnya, hormon seks laki-laki dibutuhkan pada saat dewasa untuk mempertahankan

karakteristik maskulin, hormon seks perempuan untuk mencegah osteoporosis dan

penyakit kardiovaskular, dan glukokortikoid untuk mencegah hipoglikemi dan

penyakit-penyakit yang menyebabkan stres. 3,15,16

B. Pengobatan pembedahan

Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan adalah agar

mempuyai genitalia eksterna feminin, sedapat mungkin seperti normal dan

mengkoreksi agar fungsi seksualnya normal. Tahap pertama adalah mengurangi ukuran

klitoris yang membesar dengan tetap mempertahankan persyarafan pada klitoris, dan

menempatkannya tidak terlihat seperti posisi pada wanita normal. Tahap kedua

menempatkan vagina keluar agar berada diluar badan di daerah bawah klitoris. 3,15,16

Tahap pertama biasanya dilakukan pada awal kehidupan. Sedangkan tahap kedua

mungkin lebih berhasil bilamana dilakukan pada saat pasien siap memulai kehidupan

seksual. Pada laki-laki, tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis dan

merubah letak uretra yang tidak berada di tempat normal ke ujung penis. Hal ini dapat

dilakukan pada satu tahapan saja. Namun demikian, pada banyak kasus hal ini harus

dilakukan lebih dari satu tahapan,khususnya bilamana jumlah jaringan kulit yang dapat

digunakan terbatas, lekukan pada penis terlalu berat dan semua keadaan-keadaan

tersebut bersamaan sehingga mempersulit teknik operasi. Bilamana pengasuhan seks

sudah jelas kearah laki-laki, maka dapat dilakukan operasi rekonstruksi antara usia 6
bulan sampai 11 tahun. Secara umum sebaiknya operasi, sudah selesai sebelum anak

berusia 2 tahun, jangan sampai ditunda sampai usia pubertas. 3,15,16

Bilamana pengasuhan seks sudah jelas kearah perempuan, bilamana pembukaan

vagina mudah dilakukan dan klitoris tidak terlalu besar, maka rekonstruksi vagina

dapat dilakukan pada awal kehidupan tanpa koreksi klitoris. Bilamana maskulisasi

membuat klitoris sangat besar dan vagina tertutup (atau lokasi vagina sangat tinggi dan

sangat posterior), maka dianjurkan untuk menunda rekonstruksi vagina sampai usia

remaja. Namun hal ini masih merupakan perdebatan, beberapa ahli menganjurkan agar

rekonstruksi dilakukan seawal mungkin atau setidaknya sebelum usia dua tahun,

namun ahli yang lain menganjurkan ditunda sampai usia pubertas agar kadar

estrogennya tinggi sehingga vagina dapat ditarik kebawah lebih mudah. 3,15,16

C. Pengobatan psikologis

Sebaiknya semua pasien interseks dan anggota keluarganya harus

dipertimbangkan untuk diberikan konseling. Konseling dapat diberikan oleh ahli

endokrin anak, psikolog, ahli psikiatri, ahli agama, konselor genetik, atau orang lain

dimana anggota keluarga lebih dapat berbicara terbuka. Yang sangat penting adalah

bahwa yang memberikan konseling harus sangat familier dengan hal-hal yang

berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks. Sebagai tambahan, sangat

membantu bilamana konselor mempunyai latar belakang terapi seks atau konseling

seks. 3,15,16

Topik yang harus diberikan selama konseling adalah: pengetahuan tentang

keadaan anak dan pengobatannya, infertilitas, orientasi seks, fungsi seksual dan
konseling genetik. Bilamana pada suatu saat disepanjang hidupnya, pasien dan

orangtuanya mempuyai masalah dengan topik tersebut, maka dianjurkan untuk

berkonsultasi. 3,15,16

2.10 Hidrokel

Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan

parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang

berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara

produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya. 4,11,17

Etiologi Hidrokel

Hidrokel yang terjadi pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena : 4,11,17

1. Belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis sehingga terjadi aliran

cairan peritoneum ke prosesus vaginalis (hidrokel komunikans)

2. Belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam melakukan

reabsorbsi cairan hidrokel

Klasifikasi Hidrokel

1. Hidrokel Kongenital :
Terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga abdomen sehingga

cairan dari rongga abdomen keluar dan terkumpul di antara lapisan parietal

dan lapisan viseral tunika vaginalis. Hal ini hampir selalu disertai dengan

hernia inguinalis indirek.

2. Hidrokel non komunikans :

terjadi karena adanya sejumlah cairan yang terjebak di dalam tunika

vaginalis sesaat sebelum menutupnya prosesus vaginalis

Gambaran Klinis

1. Adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.

2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan di kantong skrotum

dengan konsistensi kistik dan pada pemeriksaan transiluminasi

menunjukkan adanya transiluminasi. Pada hidrokel yang terinfeksi atau

kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang sulit melakukan

pemeriksaan ini, sehingga harus dibantu dengan pemeriksaan

ultrasonografi.

Gambar 16. Pemeriksaan transiluminasi pada hidrokel


3. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, secara klinis dibedakan

beberapa macam hidrokel yang berhubungan dengan metode operasi yang

akan dilakukan pada saat melakukan koreksi hidrokel, yaitu :

a. Hidrokel testis

Kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis sehingga testis tidak

dapat diraba. Pada anamnesis, besarnya kantong hidrokel tidak berubah

sepanjang hari.

Gambar 17. Hidrokel testis

b. Hidrokel funikulus

Kantong hidrokel berada di funikulus yaitu terletak di sebelah kranial

dari testis, sehingga pada palpasi, testis dapat diraba dan berada di luar

kantong hidrokel. Pada anamnesis kantong hidrokel besarnya tetap

sepanjang hari.

c. Hidrokel komunikans

Terdapat hubungan antara prosesus vaginalis dengan rongga

peritoneum sehingga prosesus vaginalis dapat terisi cairan peritoneum.


Pada anamnesis, kantong hidrokel besarnya dapat berubah-ubah yaitu

bertambah besar pada saat anak menangis. Pada palpasi, kantong

hidrokel terpisah dari testis dan dapat dimasukkan ke dalam rongga

abdomen.

Gambar 18. Jenis hidrokel berdasarkan klinis

Penatalaksanaan Hidrokel

Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun

dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri,

tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar perlu dipikirkan untuk

dilakukan koreksi. Tindakan untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan

aspirasi dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka

kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa

infeksi.4,11,17
Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah: 4,11,17

1. Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah

2. Indikasi kosmetik

3. Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien

dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari

Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali

hidrokel ini disertai dengan hernia inguinalis sehingga pada saat operasi hidrokel,

sekaligus dilakukan herniorafi. Pada hidrokel testis dewasa, dilakukan pendekatan

skrotal dengan melakukan eksisi dan marsupialisasi kantong hidrokel sesuai cara

Winkelman atau plikasi kantong hidrokel sesuai cara Lord. Pada hidrokel

funikulus dilakukan ekstirpasi hidrokel secara in toto. 4,11,17

2.11 Varikokel

Varikokel umumnya ditemui pada remaja. Masih banyak kontroversi mengenai

patofisiologi, efek kesehatan, signifikansi klinis, dan perawatan optimal dari pada

kondisi ini. Varikokel jarang terjadi pada anak laki-laki di bawah 10 tahun. Pada masa

remaja, prevalensi varikokel biasanya berkisar antara 10-15%.3,11,18

Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleskus pampiniformis akibat

gangguan aliran darah balik vena spermatika interna, atau dapat di analogikan dengan

varises pada kaki. Varikokel ditemukan pada sekitar 15% dari populasi umum, 35-40%
pria dengan infertilitas primer (laki-laki yang belum pernah memiliki anak) dan pada

75-81% pria dengan infertilitas sekunder (laki-laki yang sudah pernah memiliki anak

sebelumnya). Pembuluh darah di skrotum secara dikenal sebagai pleksus

pampiniformis. Pleksus ini adalah jaringan pembuluh yang mengelilingi testis dan

mengatur suhu yang bahkan karena membutuhkan darah kembali ke jantung.

Fisiologis, penting bagi testis untuk memiliki suhu yang beberapa derajat lebih rendah

dari suhu inti tubuh agar produksi sperma terjadi secara normal. Testis yang

terperangkap lebih tinggi dalam tubuh tidak memiliki panas mengatur perlindungan

pleksus pampiniformis. Kehadiran varikokel yang mengganggu mekanisme

pengaturan suhu dan sering meningkatkan suhu testis. Hal ini dapat menyebabkan

gangguan kesuburan / infeltiritas pada banyak laki-laki. 3,11,18

Etiologi Varikokel

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab varikokel, tetapi

dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel sebelah kiri lebih sering dijumpai

daripada sebelah kanan (varikokel sebelah kiri 70-93%) dan agak lebih sering terjadi

pada kurus, laki-laki tinggi.. Hal ini disebabkan karena vena spermatika interna kiri

bermuara pada vena renalis kiri dengan arah tegak lurus, sedangkan yang kanan

bermuara pada vena kava dengan arah miring. Disamping itu vena spermatika interna
kiri lebih panjang daripada yang kanan dan katupnya lebih sedikit dan inkompeten.

Sebuah varikokel sering muncul sebagai pembengkakan terlihat di skrotum, dan

skrotum sendiri mungkin menggantung lebih rendah dari biasanya. Kerusakan testis,

dengan pengurangan dalam ukuran dan fungsi, kadang-kadang dapat terjadi.

Seringkali, ada rasa sakit, kusam menyeret menyertai kondisi ini. Sering,

bagaimanapun, varikokel ini tidak menonjol, dan dapat benar-benar tanpa gejala, yaitu

tanpa gejala. Hal ini hanya ditemukan kebetulan selama evaluasi infertilitas pria. 3,11,18

Gambar 19. Skematik Organ Reproduksi Pria dengan Varikokel

Patogenesis Varikokel

Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui beberapa

cara, antara lain: 3,11,18

1. Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis mengalami

hipoksia karena kekurangan oksigen.


2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin dan

protaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.

3. Peningkatan suhu testis.

4. Adanya anostomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan,

memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis kiri ke

testis kanan sehingga menyebabkan gangguan spermatogenensis testis kanan

dan pada akhirnya terjadi infertilitas.

Pemeriksaan dilakukan dalam posisi berdiri, dengan memperhatikan keadaan

skrotum kemudian dilakukan palpasi. Jika diperlukan, pasien diminta untuk melakukan

manuver valsava atau mengedan. Jika terdapat varikokel, pada inspeksi dan palpasi

terdapat bentukan seperti kumpulan cacing-cacing di dalam kantung yang berada di

sebelah kranial testis. 3,11,18

Secara klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat:

1. Derajat I : adalah varikokel yang dapat dipalpasi setelah pasien

melakukan manuver valsava.

2. Derajat II : adalah varikokel yang dapat dipalpasi tanpa melakukan

manuver valsava.

3. Derajat III : adalah varikokel yang sudah dapat dilihat bentuknya tanpa

melakukan manuver valsava.

Kadangkala sulit untuk menemukan adanya bentukan varikokel secara klinis

meskipun terdapat tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya varikokel. Untuk itu
pemeriksaan auskultasi dengan memakai stetoskop Doppler sangat membantu, karena

alat ini dapat mendeteksi adanya peningkatan aliran darah pada pleksus pampiniformis.

Varikokel yang sulit diraba secara klinis seperti ini disebut varikokel subklinik. 3,11,18

Diperhatikan pula konsistensi testis maupun ukurannya, dengan

membandingkan testis kiri dengan testis kanan. Untuk lebih objektif dalam

menentukan besar atau volume testis dilakukan pengukuran dengan alat orkidometer.

Pada beberapa keadaan mungkin kedua testis teraba kecil dan lunak, karena telah

terjadi kerusakan pada sel-sel germinal. Untuk menilai seberapa jauh varikokel telah

menyebabkan kerusakan pada tubuli seminiferi dilakukan pemeriksaan analisis semen.

Menurut McLeod, hasil analisis semen pada varikokel menunjukkan pola stress yaitu

menurunnya motilitas sperma, meningkatnya jumlah sperma muda (immature) dan

terdapat kelainan bentuk sperma (tappered). Tes seperti USG skrotum dilakukan untuk

menguatkan diagnosis klinis, dan juga berguna dalam mengukur ukuran vena dan

derajat refluks (aliran balik) darah. Ukuran testis dapat diukur pada saat yang sama,

dan memberikan beberapa indikasi fungsinya. Selain itu, studi hormon, FSH serum,

LH, dan testosteron, dapat dilakukan untuk menilai fungsi testis. Tes yang lebih rumit

seperti venography (phlebography) biasanya dilakukan untuk tujuan penelitian atau

jika ada kekambuhan setelah operasi, untuk mencari jalur vena anomali. 3,11,18

Penatalaksanaan Varikokel
Masih terjadi silang pendapat di antara para ahli tentang perlu tidaknya melakukan

operasi pada varikokel. Di antara mereka berpendapat bahwa varikokel yang telah

menimbulkan gangguan fertilitas atau gangguan spermatogenesis merupakan indikasi

untuk mendapatkan suatu terapi. Saat ini ada masih dalam pembuktian level moderate

bahwa pengobatan varikokel pada remaja mungkin meningkatkan pertumbuhan testis

dan kepadatan sperma. 3,11,18

Tindakan yang dikerjakan adalah:

(1) Ligasi tinggi vena spermatika interna secara Palomo melalui operasi terbuka atau

bedah laparoskopi,

(2) Varikokelektomi cara Ivanisevich,

(3) Secara perkutan dengan memasukkan bahan sklerosing ke dalam vena spermatika

interna.

(4) Teknik Bedah Mikro

Indikasi pembedahan, antara lain;

1. Kualitas sperma yang terganggu;

2. Nyeri yang teramat menganggu;

3. Indikasi kosmetik;

4. Kegagalan testis untuk tumbuh (pada pasien muda).


2.12 Spermatokel

Spermatokel adalah suatu massa di dalam skrotum yang menyerupai kista, yang

mengandung cairan dan sel sperma yang mati. Jika ukurannya besar dan mengganggu,

bisa dilakukan pembedahan untuk mengangkatnya. Spermatokel pad anak termasuk

kasus yang jarang terjadi dalam hubungannya dengan pembengkakan skrotum. 4,19,20

Nyeri di testis juga bisa disebabkan oleh kista yang tumbuh di epididimis (tabung

melingkar yang terletak di belakang setiap testis). Kista ini jinak dan mulai keluar

sebagai akumulasi sel-sel sperma. Sering kali, kista sangat kecil dan tidak

menimbulkan masalah. Namun kadang-kadang, kista tumbuh dengan ukuran beberapa

sentimeter. Pada titik ini, pria mungkin merasa berat di testis, tidak nyaman atau bahkan

rasa sakit. 4,19,20

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksan

fisik menunjukkan adanya massa di dalam skrotum yang : 4,19,20

- Unilateral (hanya ditemukan pada salah satu testis)

- Lunak

- Licin, berkelok-kelok atau bentuknya tidak beraturan

- Berfluktuasi, berbatas tegas atau padat.

Pemeriksaan lainnya yang mungkin perlu dilakukan adalah:

- USG skrotum

- Biopsi.
Adanya hidrokel bisa diketahui dengan menyinari skrotum dengan lampu senter.

Skrotum yang terisi cairan jernih akan tembus cahaya (transiluminasi). Varikokel

teraba sebagai massa yang berkelok-kelok di sepanjang korda spermatika. 4,19,20

Gambar 19. Gambar Spermatokel

Kista kecil pada spermatokel dapat dihilangkan ataupun dibiarkan bila dia

tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik. Hanya kista yang menimbulkan

ketidaknyamanan pada pasien dan pembesaran kista yang merupakan indikasi

spermatocelectomy. Mungkin paska operasi akan dirasakan sensasi nyeri. Operasi

ini biasanya menggunakan general ataupun local anastesi. 4,19,20

2.13 Hematokel

Hematokel adalah penimbunan darah yang biasanya terjadi setelah skrotum

mengalami cedera/trauma, terutama rupture testis. Hematokel cukup jarang terjadi

pada polulasi bayi dan anak-anak. Jika hanya sedikit, biasanya darah akan kembali

diserap; tetapi jika banyak, perlu dilakukan pembedahan untuk membuangnya. 11


Gambar 20. USG Hematokel

2.14 Undesensus Testis

Undescendcus testis (UDT) atau kriptorkismus adalah gangguan

perkembangan yang ditandai dengan gagalnya penurunan salah satu atau kedua

testis secara komplit ke dalam skrotum. 3,11

Epidemiologi Undesensus Testis

Insiden UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi dan

tingkat kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar

3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya

mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT.
3,11
Embriologi dan Penurunan Testis

Pada minggu ke-6 umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi

dari yolk sac ke-genital ridge, yang kemudian akan berkembang menjadi testis

pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor sel-sel sertoli besar (yang kelak

menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang

dihasilkan hipofisis mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan

mengeluarkan MIF (Müllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi

ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada

membran sel Leydig. Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic

gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan

mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian

menjadi epididimis, vas deferens, dan vesika seminalis. 3,6,11

Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya

belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa

faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan

neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera

setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal.

Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda. 3,6,11

Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana

testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi
karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh

androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang

melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh

MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis

akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan

terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum.

Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan. 3,6,11

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan

minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-

dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Faktor mekanik yang turut

berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang

menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan

abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui

canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa

berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan. 3,6,11


Gambar 21. Skema penurunan testis menurut Hutson. Antara minggu ke- 8–

15 gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-

inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis (CSL) mengalami regresi.

Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada minggu ke- 28-35. B: Peranan

gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada jantan CSL

mengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya

pada betina CSL menetap, dan gubernaculum menipis dan memanjang.


Etiologi Undesensus Testis

A Blokade / Defisiensi Androgen


Pituitary/placental gonadotropin deficiency
Gonadal dysgenesis
Androgen sythesis defect (rare)
Androgen receptor defect (rare)

B Anomali Mekanik
Prune belly syndrome (bladder blocks inguinal canal)
Posterior urethral valves(bladder blocks inguinal canal)
Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular
rupture)
Chromosomal/malformation syndrome (? Connective tissue
defect block migration)

C Anomali Neurologis
Myelomeningocele (GNF dysplasia)
GFN/CGRP anomalies

D Anomali lain yang didapat


Cerebral palsy (cremaster spasticity)
Ascending/retractile testes (? Fibrous remnant of processus
vaginalis)
Klasifikasi

Terdapat 3 tipe UDT : 3,6,11

1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan

parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi

teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).

2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang

normal.

3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat

refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis

inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,

menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal. 3,6,11

Gambar 22. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis
Gliding testis atau sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT

dimana testis dapat dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera

kembali begitu tarikan dilepaskan. Gliding testis harus dibedakan dengan testis

yang retraktil, gliding testis terjadi akibat tidak adanya gubernaculum attachment,

dan mempunyai processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan

meningkatkan risiko terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama + 1

menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis

yang retraktil akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap

kembali ke kanalis inguinalis. 3,6,11

Penegakan Diagnosis : Anamnesis UDT

Pada anamnesis harus digali tentang prematuritas penderita, penggunaan obat-

obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal dan harus dipastikan

apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun

pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan

sering terjadi pada umur 4-6 tahun). 3,6

Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih

besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak

menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan

genitalia, dan kematian neonatal. 3,6


Penegakan Diagnosis : Pemeriksaan Fisik UDT

Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog

leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat, menggunakan jelly atau

sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke arah medial dan

skrotum. Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dengan

kombinasi ”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat didorong ke dalam

skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis di dalam skrotum selama 1 menit,

otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami ”fatigue”; bila testis dapat

bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada

UDT akan segera kembali begitu testis dilepas. Tentukan lokasi, ukuran dan

tekstur testis. 3,6

Gambar 22. Teknik pemeriksaan testis. A: Menyusuri kanalis inguinalis

dimulai dari SIAS. B&C: Bila teraba testis, ‘menggiring ‘ testis dengan ujung-

ujung jari. D: Memanipulasi ke-dalam skrotum.


Testis yang atrofi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan

yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi.

Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi. 3,6

Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti

supraskrotal (20%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang

baik akan dapat menentukan lokasi UDT tersebut. Berikut adalah berapa petanda

klinis pada UDT bilateral tidak teraba testis yang dapat dipakai pegangan untuk

menentukan kemungkinan penyebab pada pemeriksaaan fisik. 3,6

Tanda Klinis Penyerta Kemungkinan Penyebab

Tanpa kelainan lain Simple UDT, anorchia, female


pseudo-hermaphroditsm

Mikro penis dengan atau tanpa Gangguan sintesis androgen


hipospadia partial atau Androgen
insensitivity syndrome

Anosmia dan mikro penis Sindrom Kallmann

Gangguan intelektual atau Sindrom tertentu


dismorfik

Mikro penis dan defek midline Defisiensi gonadotropin

Mikro penis dan hipoglikemi Multiple pituitary hormone


neonatal deficiency

Perawakan tinggi (testis mungkin Sindrom Klinefelter


teraba di inguinal, kecil dan
padat)
Penegakan Diagnosis : Pemeriksaan Laboratorium UDT

Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan


3
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis

dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis

kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxyprogesterone) untuk

menyingkirkan kemungkinan intersex. Setelah menyingkirkan kemungkinan

intersex, pada penderita UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba

testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron akan dapat membantu menentukan

apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan

pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test

menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan

peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan

stimulasi mengindikasikan anorchia. 3,6

Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar

hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Pada bayi,

respon normal setelah hCG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa

kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,

dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi

hCG hanya sekitar 2-3x. 3,6


Penegakan Diagnosis : Pemeriksaan Pencitraan UDT

USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah

inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.

CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG

terutama diperuntukkan testis intraabdomen (tak teraba testis dan tidak dapat

dideteksi dengan USG). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk

digunakan pada anak-anak yang lebih besar (belasan tahun). MRI juga dapat

mendeteksi kecurigaan keganasan testis. Baik USG, CT scan maupun MRI tidak

dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia. 3,6

Penatalaksaaan UDT

Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil

risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis ke

dalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara

pembedahan (orchiopexy). 3,21

1. Terapi Hormonal

Hormon yang biasa digunakan adalah hCG, gonadotropin-releasing

hormone (GnRH) atau LH-releasing hormone (LHRH). Hormon hCG

mempunyai kerja mirip LH yang dihasilkan pituitary, yang akan

merangsang sel Leydig menghasilkan androgen. Cara kerja peningkatan

androgen pada penurunan testis belum diketahui pasti, tapi diduga


mempunyai efek pada cord testis atau otot cremaster. hCG diberikan

dengan dosis 250 IU untuk bayi < 12 bulan, 500 IU untuk umur 1-6 tahun,

dan 1.000 IU untuk umur > 6 tahun, masing masing kelompok umur

diberikan 2x seminggu selama 5 minggu. Faktor yang mempengaruhi

keberhasilan terapi adalah makin distal lokasi testis makin tinggi

keberhasilannya, makin tua usia anak makin respon terhadap terapi

hormonal, UDT bilateral lebih responsif terhadap terapi hormonal daripada

unilateral. 3,21

2. Terapi Pembedahan

Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus

UDT adalah orchiopexy. Mengingat 75 % kasus UDT akan mengalami

penurunan testis spontan sampai umur 1 tahun, maka pembedahan

biasanya dilakukan setelah umur 1 tahun. Pertimbangan lain adalah setelah

1 tahun akan terjadi perubahan morfologis degeneratif testis yang dapat

meningkatkan risiko infertilitas. Keberhasilan orchyopexy berkisar 67-100

% bergantung pada umur penderita, ukuran testis, contralateral testis, dan

keterampilan ahli bedah. . 3,21


2.15 Torsio Testis

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir

sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan vaskulariasi dari testis dan struktur

jaringan di dalam skrotum. Keadaan ini diderita oleh 1 di antara 4000 pria yang

berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak diderita oleh anak pada masa

pubertas (12-20 tahun). Torsio testis terjadi 10-15% kasus akut skrotum pada anak-

anak, dan menyebabkan 42% berkahir dengan operasi orkiektomi pada anak-anak.

Di samping itu, tidak jarang janin yang masih berada di dalam uterus atau bayi

baru lahir menderita torsio testis yang tidak terdiagnosis sehingga mengakibatkan

kehilangan testis baik unilateral ataupun bilateral. 3,11,22

Faktor predisposisi Torsio Testis 3,6

1. Kriptorchkismus

2. Hidrokel

3. Gubernakulum tidak terbentuk

4. Spasme kremaster

5. Posisi transversal pada skrotum

6. Mesorchium panjang dan sempit

7. Kecenderungan mesorchium melekat pada satu pole testis

8. Kurang menyatunya dinding skrotum dengan testis

9. Bell clapper deformity


Patofisiologi Torsio Testis

Torsio testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari funikulus spermatikus

atau selaput yang membungkus testis. Insersi abnormal yang tinggi dari tunika

vaginalis pada struktur funikulus akan mengakibatkan testis dapat bergerak,

sehingga testis kurang melekat pada tunika vaginalis viseralis. Testis yang

demikian mudah memuntir dan memutar funikulus spermatikus. Secara fisiologis

otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan menjauhi rongga

abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis. Adanya kelainan sistem

penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara

berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu,

antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat berenang),

ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, atau

trauma yang mengenai skrotum. 3,6,11

Jenis-jenis torsio testis : 3,6,11

1. Torsio testis ekstravaginalis (testis, epididimis, dan tunika vaginalis

terpuntir pada funikulus spermatikus) biasanya terjadi pada janin atau

neonatus

2. Torsio testis intravaginalis, biasanya terjadi pada lelaki dewasa muda :

a. Testis dan epididimis terpuntir pada funikulus spermatikus (Bell

Clapper)

b. Testis terpuntir pada mesorchium terhadap epididimis


Gambar 23. (A) torsio testis ekstravaginal (B) torsio testis intravaginal9

Torsio testis intravaginalis lebih sering dari pada ekstravaginalis, dengan arah

putaran anteromedial (m. cremaster melekat pada bagian lateral testis). Pada

awalnya terjadi bendungan vena kemudian 3 – 4 jam terjadi penekanan/bendungan

arteri hingga terjadi nekrosis testis. Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal

yang menempel pada muskulus dartos masih belum banyak jaringan

penyanggahnya sehingga testis, epididimis, dan tunika vaginalis mudah sekali

bergerak dan memungkinkan untuk terpuntir pada sumbu funikulus spermatikus.

Terpuntirnya testis pada keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal. 3,4,6,11

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan kelainan

sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian

dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada kelainan ini tunika

mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga mencegah insersi epididimis ke

dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan

mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis dan menggantung pada funikulus

spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai anomali bellclapper. Keadaan ini akan

memudahkan testis mengalami torsio intravaginal.3,4,6,11


Arah dari torsi testis (dilihat dari kaudal) yaitu : .3,4,6,11

• Testis kanan : arah puntiran mengikuti atau searah dengan jarum jam

• Testis kiri : arah puntiran berlawanan dengan arah jarum jam

Diagnosis Torsio Testis

Anamnesis : .3,4,6,11

1. Nyeri hebat tiba-tiba pada skrotum, nyeri dapat menjalar ke daerah

inguinal atau perut sebelah bawah. Pada bayi gejalanya tidak khas yakni

gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui.

2. Testis yang bersangkutan dirasakan membesar.

3. Terjadi retraksi dari testis ke arah kranial, karena funikulus spermatikus

terpuntir jadi memendek

4. Mual dan muntah, kadang demam

Pemeriksaan Fisik : .3,4,6,11

1. Testis/skrotum bengkak/hiperemis

2. Deming’s sign (testis letak tinggi) dibandingkan sisi kontralateral

3. Angell’s sign (testis posisi melintang) dibandingkan sisi kontralateral

4. Testis umumnya sangat nyeri tekan dan elevasi tidak menghilangkan nyeri

seperti sering terjadi pada epididimis akut (Prehn’s sign, yaitu nyeri

tetap/meningkat saat mengangkat testis)

5. Kadang-kadang dapat diraba adanya lilitan/simpul atau penebalan

funikulus spermatikus.
6. Bila telah lama berlangsung maka testis menyatu dengan epididimis dan

sukar dipisahkan, keduanya membengkak, timbul effusion, hiperemia,

edema kulit dan subkutan

Gambar 24. Gambaran Torsio testis

Pemeriksaan penunjang : .3,4,6,11

1. Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urine

2. Pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio

testis yang sudah lama dan telah mengalami peradangan steril.

3. Doppler dan sintigrafi testis (akurasi 90 – 100 %) untuk menilai adanya

aliran darah ke testis :

• Torsio : avaskuler

• Tumor : hipervaskuler

• Trauma : vaskularisasi berkurang

Diagnosis banding Torsio Testis.3,6,11

1. Epididimitis akut
Disebabkan oleh sejumlah organisme. Pada pria diatas usia 35 tahun, E.

coli merupakan penyebab terbanyak epididimitis. Pada pria di bawah usia

35 tahun, Chlamydia trachomatis merupakan organisme terlazim pada

penyebab penyakit ini. Gambaran klinisnya yaitu pada stadium akut

mungkin ada nyeri, pembengkakan dan demam ringan. Pada pemeriksaan

fisik ditemukan skrotum membesar, dapat ditemukan nyeri tekan pada

funikulus spermatikus dan pada palpasi menunjukan epididimis yang nyeri

dan menebal. Elevasi ringan scrotum cenderung membuat epididimistis

kurang nyeri, tetapi perasat ini mengeksaserbasi nyeri akibat torsi testis.

2. Orchitis

3. Hidrokel terinfeksi/trauma

4. Trauma testis

5. Hernia inguinalis inkarserasi/strangulasi

Gejala berupa benjolan di daerah inguinal yang dapat mencapai scrotum.

Benjolan dapat timbul pada saat berdiri atau mengejan. Terasa nyeri bila

menjadi inkarserata.

6. Tumor testis

7. Oedem skrotum

Dapat disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, adanya penyumbatan

saluran limfe inguinal, kelainan jantung, atau kelainan-kelainan yang tidak

diketahui sebabnya.
8. Varikokel

Adalah pelebaran abnormal (varises) dari pleksus pampiniformis yang

mengalirkan darah dari testis. Lebih sering mengenai testis kiri. Biasanya

tidak ada gejala yang menyertai varikokel, namun beberapa pria terdapat

perasaan berat pada sisi yang terkena. Pada pemeriksaan fisik terdapat

massa yang teraba sebagai sekantung cacing, massa ini timbul pada posisi

tegak tetapi dapat mengosongkan isinya, dan tidak teraba pada sisi

berbaring. Perbaikan verikokel yaitu dengan cara pembedahan.

Penatalaksanaan Torsio Testis

Tindakan untuk mengatasi torsio testis terdiri dari 2 cara yaitu : detorsi

atau reposisi manual dan eksplorasi atau dengan cara pembedahan. .3,22

1. Detorsi manual dapat dilakukan pada kasus-kasus yang dini (1 – 2 jam)

atau merupakan tindakan awal bagi pasien sebelum dibawa ke rumah sakit.

Tindakan ini dilakukan dengan mengingat arah torsi pada umumnya.

Reduksi yang berhasil akan memberikan pemulihan segera untuk aliran

darah ke testis. Tindakan ini tidak boleh dianggap sebagai pengobatan atau

terapi definitif dan eksplorasi gawat darurat harus tetap dilakukan pada

kesempatan awal.

2. Reduksi manipulatif tidak dapat menjamin penyembuhan sempurna dan

masih ada torsi dengan tingkat tertentu, meskipun pemasokan darah telah
dipulihkan. Selain itu abnormalitas semula yang menyebabkan torsi masih

tetap ada dan mungkin melibatkan testis pada sisi yang lain. Oleh karena

itu fiksasi operatif kedua testis diharuskan.

3. Eksplorasi mutlak dilakukan pada setiap kasus yang diduga torsi. Testis

harus dipaparkan tanpa ditunda-tunda lagi dengan membuat irisan ke

dalam skrotum. Bila ternyata benar suatu torsi segera lakukan detorsi lalu

elevasi beberapa saat, kemudian diamati apakah ada perubahan warna bila

tidak ada tanda-tanda viabilitas lakukan orchidektomi, namun apabila testis

masih baik lakukan orchidopeksi pada testis yang bersangkutan dan testis

kontralateral.

Komplikasi Torsio Testis

Terpuntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis

sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis, dan iskemia. Pada akhirnya

testis akan mengalami nekrosis. 3,22

Prognosis Torsio Testis3,22

1. Umumnya viabel dalam 4 – 6 jam setelah torsio

2. Maksimum survival 70 – 90 % 5 – 12 jam

3. Mungkin masih baik 12 – 24 jam

4. Hasil meragukan bila lebih dari 24 jam

5. Dianjurkan orkidektomi bila lebih dari 4 jam

6. Tergantung jumlah putaran dan lamanya torsio


2.16 Tumor Testis

Tumor testis jarang terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan yang terjadi

postpubertal atau dengan tumor genitourinari lain pada masa anak-anak seperti tumor

Wilms. Beberapa laporan pada skala besar telah dipublikasikan mengenai tumor testis

anak. Tumor testis pediatrik berbeda dari tumor testis dewasa. Tumor sel germinal pada

orang dewasa mewakili sekitar 95% dari semua tumor testis. Pada anak-anak,

bagaimanapun, tumor sel germinal hanya mewakili 60% sampai 75% dari tumor testis.

Sedangkan hanya sejumlah kecil tumor testis pada dewasa bersifat jinak, seperempat

hingga sepertiga dari tumor testis pediatrik adalah jinak. Tumor testis pediatrik,

menyumbang 1% hingga 2% dari semua tumor padat pediatrik, lebih jarang terjadi

pada masa anak-anak dibandingkan pada usia pascapubertas. Insiden tahunan tumor

testis pediatrik adalah 1,6 (0,5 hingga 2) per 100.000 pada anak laki-laki kurang dari

15 tahun. Tumor testis pada populasi pediatrik dapat terjadi pada semua kelompok

umur dengan dua puncak insidensi, satu puncak sebelum usia 3 tahun dan satu puncak

pada periode pasca pubertas. 23,24,25

Tumor testis adalah pertumbuhan sel-sel ganas di dalam testis (buah zakar),

yang bisa menyebabkan testis membesar atau menyebabkan adanya benjolan di dalam

skrotum (kantung zakar). Tumor testis merupakan keganasan yang paling sering

ditemukan pada pria berusia 15-40 thun. 3,23

Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang

menunjang terjadinya tumor testis : 3,6


a. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke dalam skrotum)

b. Perkembangan testis yang abnormal

c. Sindroma Klinefelter (suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai

dengan rendahnya kadar hormon pria, kemandulan, pembesaran

payudara/ginekomastia dan testis yang kecil).

d. Faktor lainnya yang kemungkinan menjadi penyebab dari tumor testis

tetapi masih dalam taraf penelitian adalah pemaparan bahan kimia tertentu

dan infeksi oleh HIV. Jika di dalam keluarga ada riwayat tumor testis,

maka risikonya akan meningkat.

Klasifikasi Tumor Testis

Tumor testis dikelompokkan menjadi: 3,4,6

1. Seminoma : 30-40% dari semua jenis tumor testis. Biasanya ditemukan

pada pria berusia 30-40 tahun dan terbatas pada testis

2. Non-seminoma : merupakan 60% dari semua jenis tumor testis.Dibagi lagi

menjadi beberapa subkategori:

a. Karsinoma embrional : sekitar 20% dari kanker testis, terjadi pada usia

20-30 tahun dan sangat ganas. Pertumbuhannya sangat cepat dan

menyebar ke paru-paru dan hati.

b. Tumor yolk sac : sekitar 60% dari semua jenis kanker testis pada anak

laki-laki.

c. Teratoma : sekitar 7% dari kanker testis pada pria dewasa dan 40%

pada anak laki-laki.


d. Koriokarsinoma.

e. Tumor sel stroma : tumor yang terdiri dari sel-sel Leydig, sel Sertoli

dan sel granulosa. Tumor ini merupakan 3-4% dari seluruh jenis tumor

testis. Tumor bisa menghasilkan hormon estradiol, yang bisa

menyebabkan salah satu gejala kanker testis, yaitu ginekomastia.

Gejala Tumor Testis 3,4,6

1. Testis membesar atau teraba aneh (tidak seperti biasanya)

2. Benjolan atau pembengkakan pada salah satu atau kedua testis

3. Nyeri tumpul di punggung atau perut bagian bawah

4. Ginekomastia

5. Rasa tidak nyaman/rasa nyeri di testis atau skrotum terasa berat.

6. Tetapi mungkin juga tidak ditemukan gejala sama sekali.

Diagnosis Tumor Testis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan lainnya yang biasa dilakukan: 3,4,6

1. USG skrotum

2. Pemeriksaan darah untuk petanda tumor AFP (alfa fetoprotein), HCG

(human chorionic gonadotrophin) dan LDH (lactic

dehydrogenase).Hampir 85% kanker non-seminoma menunjukkan

peningkatan kadar AFP atau beta HCG.

3. Rontgen dada (untuk mengetahui penyebaran kanker ke paru-paru)

4. CT scan perut (untuk mengetahui penyebaran kanker ke organ perut)


5. Biopsi jaringan.

Penatalaksanaan Tumor Testis

Pengobatan tergantung kepada jenis, stadium dan beratnya penyakit.

Setelah tumor ditemukan, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan

jenis sel tumornya. Selanjutnya ditentukan stadiumnya: 3,4,6

1. Stadium I : tumor belum menyebar ke luar testis

2. Stadium II : tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening di perut

3. Stadium III : tumor telah menyebar ke luar kelenjar getah bening, bisa

sampai ke hati atau paru-paru.

Ada 4 macam pengobatan yang bisa digunakan: 3,4,6

1. Pembedahan : pengangkatan testis (orkiektomi dan pengangkatan kelenjar

getah bening (limfadenektomi)

2. Terapi penyinaran : menggunakan sinar X dosis tinggi atau sinar energi

tinggi lainnya, seringkali dilakukan setelah limfadenektomi pada tumor

non-seminoma.Juga digunakan sebagai pengobatan utama pada seminoma,

terutama pada stadium awal.

3. Kemoterapi : digunakan obat-obatan (misalnya cisplastin, bleomycin dan

etoposid) untuk membunuh sel-sel kanker. Kemoterapi telah

meningkatkan angka harapan hidup penderita tumor non-seminoma.

4. Pencangkokan sumsum tulang : dilakukan jika kemoterapi telah

menyebabkan kerusakan pada sumsum tulang penderita.

Tumor Seminoma :
1. Stadium I diobati dengan orkiektomi dan penyinaran kelenjar getah bening

perut

2. Stadium II diobati dengan orkiektomi, penyinaran kelenjar getah bening

dan kemoterapi dengan sisplastin

3. Stadium III diobati dengan orkiektomi dan kemoterapi multi-obat.

Tumor Non-Seminoma:

1. Stadium I : diobati dengan orkiektomi dan kemungkinan dilakukan

limfadenektomi perut

2. Stadium II : diobati dengan orkiektomi dan limfadenektomi perut,

kemungkinan diikuti dengan kemoterapi

3. Stadium III : diobati dengan kemoterapi dan orkiektomi.

Jika kankernya merupakan kekambuhan dari kanker testis sebelumnya,

diberikan kemoterapi beberapa obat (ifosfamide, cisplastin dan etoposid atau

vinblastin).
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbangaol LM, Marpaung WH, dan Sitorus P. Ilmu Bedah Anak Kasus

Harian UGD, Bangsal & Kamar Operasi. EGC, Jakarta. 2016.

2. Varga J, Zivkovic D, Grebeldinger S, Somer D. Acute scrotal pain in children,

ten years’ experience. Urol Int. 2007;78:73–77.

3. Walsh P.C., Retik A.B.,Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 11th

ed., WB Saunders, Philadephia 2016.

4. Tanagho Emil A, McAninch Jack W. Smith’s General Urology 17th Edition.

San Francisco: University of California ; 2008.

5. Pierre D.E. Mouriquand, Delphine Demède, Daniela Gorduza, Pierre-Yves (

2010) Saunders Pediatric Urology 2nd ed. Hypospadias. Philadelphia :

Elsevier Inc;. p. 526-543.

6. Potts, Jeannette M, MD. 2004. Essential Urology A Guide to Clinical Practice.

Human Press, Totowa: New Jersey.

7. Laurence S. Baskin. (2006) Cambridge Pediatric Surgery & Urology 2nd ed. New York

: Cambridge University Press.

8. Linda AB, Richard WG. Exstrophy and epispadias in The Kelalis-King-Belman


Textbook of Clinical Pediatric Urology. Fifth Ed; 2007: p.999-1039.
9. Ahmad AE, Richard G. Epispadias-Exstrophy Complex in Pediatric Urology
Surgical Complications and Management. First Ed; 2008: p.83-89.
10. Peter C. Bladder exstrophy and epispadias in Essential of Pediatric Urology.
Second Ed; 2008: p.199-211.
11. Purnomo, B Basuki. Dasar-dasar Urologi Edisi Ke 3. Sagung Seto, Jakarta.
2011.
12. Sjamsuhidajat, R , Wim de Jong. Saluran kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Buku-
Ajar Ilmu Bedah.Ed.2. Jakarta : EGC, 2004. p 801
13. Hatipoğlu N dan Kurtoğlu S. Micropenis: Etiology, Diagnosis and Treatment
Approaches. J Clin Res Pediatr Endocrinol 2013;5(4):217-223
14. Skoog SJ dan Belman AB. Aphallia: its classification and management. J
Urol. 1989 Mar;141(3):589-92.

15. Nelson, Waldo E, dkk. Hermafroditisme. Dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Edisi 15 Vol.3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. Halaman
1998-2005.

16. Krishnan S, Wisniewski AB, dkk. Ambiguous Genitalia in the Newborn


MDText.com, Inc.; 2000-.2015 Apr 29.

17. Dagur G, dkk. Classifying Hydroceles of the Pelvis and Groin: An Overview
of Etiology, Secondary Complications, Evaluation, and Management. Curr
Urol 2016;10:1–14

18. Reyes TDL, dkk. Varicoceles in the pediatric population: Diagnosis, treatment,
and outcomes. Can Urol Assoc J 2017;11(1-2Suppl1):S34-9
19. Sempere FS., Hinarejos C., Durbá A., Moragues F., Verduch M., et al.
Epididymal cysts in childhood. Arch Esp Urol 2005; 58: 325-328.
20. Erikci V., Hoşgör M., Aksoy N., Okur Ö., Yildiz M., et al. Management of
epididymal cysts in childhood. J Pediatr Surg 2013 ; 48: 2153-2156.
21. Niedzielsk JK, dkk. Undescended testis – current trends and guidelines:
a review of the literature. Arch Med Sci 2016; 12, 3: 667–677.
22. Sharp VJ, Kieran K, Arlen AM, dkk. Testicular torsion: diagnosis, evaluation,
and management. Am Fam Physician. 2013 Dec 15;88(12):835-40.
23. Lee SD Korean Society of Pediatric Urology. Epidemiological and clinical
behavior of prepubertal testicular tumors in Korea. J Urol. 2004;172:674–
678.
24. Walsh TJ, Grady RW, Porter MP, Lin DW, Weiss NS. Incidence of testicular
germ cell cancers in U.S. children: SEER program experience 1973 to
2000. Urology. 2006;68:402–405.
25. 13. Ciftci AO, Bingol-Kologlu M, Senocak ME, Tanyel FC, Buyukpamukcu
M, Buyukpamukcu N. Testicular tumors in children. J Pediatr
Surg. 2001;36:1796–1801.

Anda mungkin juga menyukai