Anda di halaman 1dari 117

i

ii
Mohtar
Mas’oed
Meretas Batas-batas
Ruang Akademik & Aktivisme

Penyunting:
Poppy S. Winanti

iii
iv
Buku ini dipersembahkan oleh

“Gerakan Menabung Sewuri (Sewu Sehari)”

Alumni Departemen Ilmu Hubungan Internasional


Universitas Gadjah Mada Angkatan 1984

v
vi
Daftar Isi

Kata Pengantar xi

Profesor Mohtar Mas’oed, Ph. D.:


Akademisi Papan Atas dengan Tingkat Humor yang Tinggi
Ahmad Syafii Maarif............................................................................... 1

Pak Mohtar: Sosok Guru dan Aktivis yang Saya Kenal


Cornelis Lay............................................................................................ 5

Belajar dari Seorang yang Bernama Mohtar Mas’oed


Elga Sarapung......................................................................................... 10

Prof Mohtar Mas’oed: Guru dan Orangtua Tempat Kami Bertanya


Erwan Agus Purwanto............................................................................. 13

Murid, Sahabat, dan Guru:


Setengah Abad Berkenalan dengan Mohtar Mas’oed
R. William Liddle.................................................................................... 17

Mohtar Mas’oed: “Sejuta Pertanyaan Cerdas”


Rossana Dewi R. ..................................................................................... 21

Ngangsu Kawruh Kehidupan dari Bapakku Sambil Beli Sun Flower


Triningtyasasih........................................................................................ 25

Pak Mohtar, Teman Lama Saya di Bulaksumur


Yang Seung Yoon...................................................................................... 29

vii
Kepemimpinan Akademik Profesor Mohtar Mas’oed:
Inspirasi dan Keteladanan
Hermin Indah Wahyuni........................................................................... 37

Kesan-Kesan pada Seorang Keluarga, Kawan,


Guru, Akademisi, dan Aktivis Pak Mohtar Mas’oed
Joyce Jacinta Rares................................................................................... 41

Di Balik Drama “Penculikan” 24 Jam di Ambon


Jusuf Madubun....................................................................................... 44

Pak Mohtar: Guru, Orang Tua, dan Atuk dari Mohtar, Yahya, dan Amal
Khairul Anwar ....................................................................................... 49

Bapa dan Kisah Abu Yazid Al-Bustomi:


Perjumpaan Seorang Murid dengan Sang Guru
Luqman-nul Hakim................................................................................ 55

Pak Mohtar dan Ikan Mujair Rica-rica


Mariana Erny Buiney ............................................................................. 59

Mohtar Mas’oed: Dosen Idaman yang


Berdedikasi Tinggi untuk Kemanusiaan
Melyana R. Pugu..................................................................................... 61

Sosok Pak MM di Mata Saya: Guru dan Perekat


Poppy S. Winanti..................................................................................... 65

Mohtar Mas’oed, Time Flies Indeed


Rizal Mallarangeng................................................................................. 70

Pak Mohtar: Teladan dalam Laku dan Karya


Saptopo B. Ilkodar................................................................................... 73

viii
Mungkin Teknologi Adalah ‘Istri Kedua’ Pak Mohtar?
Suci Lestari Yuana................................................................................... 78

Jack Of All Trades, Es Dampit dan Semua Pelajaran yang Menyenangkan Itu
Victor Yasadhana..................................................................................... 82

A Mosaic of Memories: Alumni HI-75


Yuli Mumpuni Widarso........................................................................... 88

Tak Cukup Waktu


Luki Aulia.............................................................................................. 97

ix
x
Kata Pengantar

Mohtar Mas’oed:
Meretas Batas-Batas
Ruang Akademik dan Aktivisme
Sebagai guru besar dalam bidang ilmu politik, Prof. Dr. Mohammad Mohtar
Mas’oed dikenal sebagai seorang intelektual yang mampu membuat batas-batas
antara ruang akademik dan aktivisme luruh. Beliau tidak hanya dikenal sebagai
seorang akademisi yang wawasan keilmuannya berkontribusi secara signifikan
bagi perkembangan beberapa studi penting di Indonesia, melainkan juga
memotori serta terlibat aktif dalam berbagai inisiatif masyarakat sipil dan kerja-
kerja advokasi di banyak bidang.

Buku berisi kumpulan testimoni atas sosok Pak Mohtar sebagai seorang kawan,
guru, akademisi, aktivis dan tentunya keluarga ini hadir untuk merayakan
kontribusi beliau bagi keilmuan dan kemanusiaan. Kontributor diminta menulis
esai yang berisi kesan-kesan maupun fragmen cerita yang menarik dari Pak
Mohtar yang merefleksikan posisi dan relasi masing-masing kontributor dengan
latar dan interaksi yang berbeda-beda. Buku ini karenanya dipersembahkan
sebagai ungkapan terima kasih atas kiprah Pak Mohtar yang luar biasa.

Yogyakarta, 25 Oktober 2019


Penyunting

xi
12
Pak Mohtar di Mata
Kolega dan Sahabat

13
14
Profesor Mohtar Mas’oed, Ph. D.:
Akademisi Papan Atas dengan
Tingkat Humor yang Tinggi

Ahmad Syafii Maarif


Lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat pada 31 Mei
1935 dan memperoleh gelar Ph.D. dari University of
Chicago pada tahun 1983.

aya bergaul dengan Bung Mohtar ini sudah lebih dari 40 tahun.
Kebetulan pula sejak pertengahan tahun 1980-an kami berada di
sebuah kompleks perumahan Nogotirto, Sleman. Bung Mohtar adalah sosok
gaul yang menyegarkan. Ada-ada saja anekdot yang keluar dari tuturnya yang
kaya informasi itu. Siapa pun yang bersahabat dengannya pasti tidak pernah
bosan. Sebagai akademisi, jangan ditanya lagi. Dia sangat setia dengan profesinya
sebagai dosen dengan sumber-sumber literatur yang selalu baru. Lebih dari sekali
Bung Mohtar diundang menjadi dosen tamu di Korea. Dan sebagai konsultan
untuk otonomi daerah, mungkin sudah seluruh wilayah Indonesia dijelajahnya.
Pengetahuannya tentang keragaman Indonesia cukup luas dan mendalam.

Jarak usia saya dengan Bung Mohtar cukup jauh. Saya kelahiran 1935 di Sum-
pur Kudus, Sumatera Barat; Bung Mohtar tahun 1949 di Malang, Jawa Timur
saat Indonesia hampir menyelesaikan revolusi nasionalnya. Saya pensiun dari
PNS tahun 2005, Bung Mohtar baru tahun 2019 ini. Karena dedikasi dan di-
siplinnya yang tinggi dalam memberi kuliah dan memimpin fakultas, maka
sangat layak Fisipol UGM akan merayakan peristiwa purna tugas resminya de-
ngan peluncuran buku kenang-kenangan.

Bukan hanya UGM, dunia akademisi Indonesia perlu memberikan penghargaan


yang tinggi kepada pengampu mata kuliah Teori Hubungan Internasional ini
dan mata kuliah lain yang dipercayakan kepadanya, kepada kepakarannya yang
ditekuninya dengan penuh kesungguhan. Tidak banyak guru besar perguruan

1
tinggi Indonesia yang selalu menyegarkan ilmunya melalui bacaan-bacaan yang
paling mutakhir. Prof. Mohtar Mas’oed termasuk dalam kategori yang tidak
banyak itu.

Dalam interaksi pada tingkat akar rumput, Bung Mohtar tidak menampakkan
bahwa dia adalah seorang akademisi papan atas. Tidak jarang saya saksikan dia
menempelkan keningnya ke haribaan teman-teman yang bukan akademisi.
Bung Mohtar akrab dengan semua lapisan masyarakat tanpa melihat latar be-
lakang siapa pun. Dalam ungkapan Jawa: Bung Mohtar itu ngangeni. Maka
sekiranya ada pihak yang memusuhinya, permusuhan itu jelas salah alamat.
Hatinya putih seputih kapas. Tutur katanya runtut sebagai salah satu indikasi
bahwa Bung Mohtar adalah seorang “well and highly educated.”

Dalam pergaulan sehari-hari terasa sekali bahwa Bung Mohtar dewasa secara
emosional. Sikap pribadinya yang lembut, humoris, dan tidak pernah nyelekit
adalah perekat lain mengapa sahabat kita ini disenangi oleh seluruh lapisan
masyarakat. Pengetahuannya tentang politik kebangsaan Indonesia telah me-
nyatu dengan seluruh kepribadiannya. Kalaulah dia mengeritik situasi bangsa
dan negara yang tidak jarang dilanda huru-hara dan kegaduhan ini, pasti disam-
paikannya dengan nada tenang tanpa suara meninggi. Bung Mohtar adalah gu-
ru sejati!

Di awal gerakan reformasi Bung Mohtar pernah ikut sebentar dalam pendirian
sebuah partai politik, tetapi kemudian dilepaskannya, mungkin untuk selama-
lamanya. Habitatnya memang bukan di ranah politik praktis, tetapi di ranah
teori politik untuk kepentingan perguruan tinggi. Adalah sebuah tradisi yang
baik di UGM, seorang guru besar yang sudah purna tugas masih diminta untuk
terus mengajar, karena memang ilmunya sangat diperlukan untuk kepentingan
generasi mahasiswa yang datang silih berganti.

Testimoni ini perlu saya lengkapi dengan mengutip kerangka teori yang diba-
ngunnya untuk ilmu Hubungan Internasional: “Pada dasarnya, pengkajian
ilmu Hubungan Internasional pada tingkat universitas dimaksud untuk:
pertama, melatih pikiran mahasiswa; kedua, memberi mahasiswa kemampuan
untuk memahami dunia secara lebih mendalam daripada yang bisa mereka
peroleh melalui kegiatan mengikuti pemberitaan media massa secara tekun.”
(Lih. Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES, 1990, hal. ix).

2
Bung Mohtar dicintai oleh teman sejawat, oleh mahasiswa, oleh karyawan, dan
oleh semua lapisan masyarakat yang pernah mengenalnya. Pada struktur ke-
pribadiannya tercermin sisi kemanusiaan yang tulus, kritikal, tetapi dianyam
dengan tingkat kesopanan yang tinggi. Untuk Fisipol, Bung Mohtar pernah
menjabat sebagai Dekan dan juga Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
(PSKP) UGM.

Pada waktu komunitas baru Nogotirto membangun masjid Yayasan Amal Bak-
ti Muslim Pancasila (YAMP) di pertengahan tahun 1980-an, Bung Mohtar
adalah salah seorang pimpinan panitia inti. Sering kami mengadakan rapat-
rapat panitia di kantor Fisipol UGM. Demikianlah, saat peresmian masjid yang
kami beri nama “Nogotirto” itu oleh Menteri Agama (alm). Munawir Sjadzali
pada 8 September 1989, Bung Mohtarlah yang memberi sambutan atas nama
panitia. Upacara peresmian ini demikian meriah yang juga melibatkan Pemda
Kabupaten Sleman beserta jajarannya sampai tingkat dukuh.

Masjid YAMP ini adalah inisiatif Presiden Soeharto yang dananya bersumber da-
ri potongan gaji pegawai negeri menurut tingkat golongannya masing-masing.
Sejak Presiden Soeharto lengser pada bulan Mei 1998, amat disayangkan inisiatif
mulia ini tidak diteruskan oleh para penggantinya. Semua masjid YAMP pasti
punya prasasti dengan tanda tangan Soeharto sebagai Ketua YAMP. Prasasti
Masjid Nogotirto ditempelkan pada pertengahan dinding sisi kanan masjid.

Ketika peresmian masjid itu, usia Bung Mohtar baru 40 tahun, masih belia
menurut ukuran harapan hidup untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengapa
masjid itu diberi nama sesuai dengan nama desa tempat masjid itu berdiri? Ini
adalah hasil rundingan panitia yang menyepakati nama masjid itu tidak wajib
selalu bernuansa Arab. Saya tidak tahu mungkin saja amat jarang nama desa
juga dinobatkan sebagai nama masjid. Menurut pertimbangan panitia waktu
itu, masjid ini dibangun di bumi Indonesia, apa salahnya diberi nama yang juga
bercorak Indonesia.

Sampai detik ini, Masjid Nogotirto yang dipanitiai Bung Mohtar ini terpelihara
baik. Jamaahnya tidak pernah kurang, sekalipun sebagian besar para pensiunan
dari berbagai latar belakang profesi. Kegiatan pengajian untuk orang dewasa dan
anak-anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari semarak Masjid Nogotirto.
Infaq Jum’atan bergerak antara Rp. 3.000.000 sampai di atas Rp. 4.000.000.
Sebagai masjid yang berlokasi di desa, angka infaq sebesar ini termasuk yang

3
luar biasa. Ini artinya jamaah punya kepercayaan tinggi kepada Takmir Masjid
yang sejak beberapa tahun terakhir ini diketuai oleh Drs. H. Djumari.

Komunitas perumahan Nogotirto dan komunitas perumahan Trihanggo yang


memakmurkan masjid ini sebagian besar adalah pendatang baru dari berbagai
sudut bumi Indonesia. Warga desa sekeliling juga turut memakmurkan masjid
ini. Sejak beberapa bulan yang lalu, Masjid Nogotirto telah pula dilengkapi
dengan AC, sehingga terasa nyaman sekali, sekalipun saya sendiri sedikit alergi
AC. Bung Mohtar adalah anggota jamaah tetap Jum’atan masjid ini.

Sungguh banyak sisi lain yang bisa diamati pada diri Bung Mohtar. Secara
ekonomi keluarga Bung Mohtar sudah cukup mapan, berkat rezekinya yang
mengalir dari berbagai penjuru, tidak semata-mata hasil gaji PNS tingkat guru
besar. Sebagai konsultan pemerintah pada berbagai tingkat, sebagaimana telah
disinggung di atas, kiprah Bung Mohtar sudah lama dikenal. Karya tulisnya
yang terkait dengan profesinya sudah cukup banyak diterbitkan. Mahasiswa
Fisipol dan masyarakat peminat kajian politik sangat tertolong dengan karya-
karya ini.

Akhirnya, dalam rangka ulang tahun Prof. Mohtar Mas’oed, Ph.D. yang ke-70,
sebagai sahabat saya menyampaikan “Selamat Ulang Tahun dan Purna Bakti
sebagai Guru Besar UGM. Jaga kebugaran, terus berkarya hingga batas-batas
yang sangat jauh.”

Yogyakarta, 27 September 2019

4
Pak Mohtar:
Sosok Guru dan Aktivis
yang Saya Kenal

Cornelis Lay
Selain berprofesi sebagai Profesor Ilmu Politik dan Peme-
rintahan di Departemen Politik dan Pemerintahan, Fa-
kultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada, ia saat ini menjabat Kepala Research Centre for
Politics and Governance (PolGov) serta Editor in Chief
untuk Power, Conflict & Democracy (PCD) Journal.

uatu kehormatan luar biasa bagi saya diundang Departemen Ilmu


Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk turut serta memberikan tulisan
testimoni dalam merayakan sumbangsih pemikiran Pak Mohtar Mas’oed dalam
buku Mohtar Mas’oed: Meretas Batas-Batas Ruang Akademik dan Aktivisme ini.

Hingga kini saya mensyukuri keputusan mengambil mata kuliah pilihan yang
diampu Pak Mohtar ketika beliau kembali mengajar selepas studi doktoralnya
di AS. Berbeda dengan kuliah lainnya yang hanya bermodal diktat atau sebatas
ceramah dosen, kelas ini terasa sangat berat, memaksa saya berkerja lebih keras.
Pak Mohtar menjejali kami yang cuma enam atau tujuh mahasiswa dengan
deretan literatur asing yang tebalnya nggak karuan sebagai referensi dan, de-
ngan cara beliau, memaksa kami membaca. Kelas ini adalah arena pertama
interaksi saya dengan Pak Mohtar. Sekalipun demikian ia menyisakan banyak
hal, termasuk dan terutama respek saya yang mendalam atas figur ini. Saya ak-
hirnya menjadi orang yang rajin mengikuti perkembangan—karya-karya dan
aktivitas—beliau yang jauh melampaui dunia kampus.

5
Pak Mohtar adalah salah satu dari sangat sedikit ilmuwan dari UGM yang karya-
karyanya memiliki pengaruh besar dan sekaligus mengilhami banyak intelektual
berikutnya. Kesederhanaan dan kejelasannya dalam menjelaskan fenomena so-
sial yang kompleks membuat karya-karyanya dibaca dan dirujuk secara luas.
Disertasi di Ohio State University tahun 1983 berjudul The Indonesian Eco-
nomy and Political Structure During The Early New Order, 1966-1971 adalah
salah satu contohnya.1 Disertasi ini telah dan masih menjadi rujukan babon
untuk mempelajari dan memahami genealogi bangunan struktural ekonomi
politik Indonesia di bawah Soeharto. Pak Mohtar dikukuhkan sebagai Guru
Besar dalam Hubungan Internasional pada 19 Oktober 2002 dengan pidato
“Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi Politik
tentang Globalisasi Neoliberal.”

Pak Mohtar adalah seorang guru. Karenanya, tidak aneh jika ia aktif terlibat
berbagi pengetahuan dan pandangannya lewat berbagai forum ilmiah. Dalam
keaktifannya berbagi pengetahuan, Pak Mohtar senantiasa mengingatkan akan
keteledoran-keteledoran masa lalu dan bagaimana kita bisa memetik pelajaran
dari sejarah. Sebagai contoh, dalam diskusi publik “Reorganisasi Tantangan
Profesionalisme Militer di Era Demokrasi” pada 10 April 2019 yang digelar
untuk merespon wacana kembali masuknya peran tentara dalam pemerintahan
sipil, misalnya, beliau menguraikan dengan panjang lebar sejarah keterlibatan
militer dalam politik sejak tahun 1950-an yang diawali dengan pembentukan
Badan Kerja Sama (BKS) oleh militer yang berfungsi menjalin hubungan tentara
dengan organisasi sipil, pendirian Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI), hingga dibentuknya Fraksi ABRI. Agar tidak mengulangi
kesalahan masa lalu, beliau mengingatkan bahwa bangsa ini telah memiliki ti-
ga prinsip yang efektif dalam mengendalikan militer, yaitu UU No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara, peran penting parlemen, dan militer harus
bertanggung jawab kepada pemerintah sipil.2

Sebagai ilmuwan-aktivis, Pak Mohtar selalu berada di garda terdepan dalam

1 Disertasi setebal 354 halaman ini tersedia dalam bentuk microfilm dan dapat diakses secara terbuka di
Electronic Theses and Dissertations Center, OhioLINK, https://etd.ohiolink.edu/pg_10?::NO:10:P10_
ETD_SUBID:136476. Disertasi ini juga telah dialih-bahasakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan,
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sejak 1989 dengan judul Ekonomi dan Struktur Politik
Orde Baru 1966-1971.

2 Nurhadi Sucahyo, “Militer Indonesia Jangan Lagi Mengurus Beras dan KB”, VOA Indonesia, 10 April
2019, https://www.voaindonesia.com/a/militer-indonesia-jangan-lagi-mengurus-beras-dan-kb-/4869869.html

6
mempromosikan dan merawat demokrasi. Beliau sangat aktif dalam aktivitas
civil society; ikut menceburkan diri dan menjadi bagian sangat penting dalam
proses Reformasi 1998. Di tahun 1998, misalnya, atas permintaan rektor Prof.
Ichlasul Amal beliau membentuk tim kecil untuk menyusun agenda refor-
masi secara menyeluruh yang akhirnya dijadikan sebagai dokumen resmi
UGM—dikenal dengan buku hitam–yang disampaikan ke MPR sebagai bahan
pertimbangan bagi amendemen konstitusi.

Sebagai aktivis, beliau tercatat pernah menjadi anggota Dewan Penasihat di


International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), di Gita
Pertiwi, sebuah LSM yang bergerak di isu lingkungan, di YASANTI yang
bergiat di isu buruh perempuan dan masih banyak lagi. Beliau terlibat sebagai
pelatih dan fasilitator berbagai program dan kerja advokasi yang diselenggara-
kan lembaga internasional seperti OXFAM UK & Ireland, Fridrich Nauman
Stiftung, Konrad Adenaur Stiftung, dan The Rockefeller Foundation. Keterli-
batan yang sama juga berlaku buat LSM lokal yang ada di berbagai pelosok
Indonesia. Antara 1993 hingga tumbangnya Soeharto, beliau aktif menapaki
hampir semua kabupaten dan provinsi di Indonesia. Selama periode ini beliau
aktif membantu parlemen lokal, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/
kota, guna menguatkan kapasitas mereka agar dapat menjalankan fungsinya.
Beliau percaya, penguatan parlemen lokal merupakan bagian penting dari pro-
ses penguatan demokrasi lokal.

Sebagai aktivis, beliau juga konsisten dengan komitmennya pada perdamaian


dan kemanusiaan. Pasca-aksi massa 21-22 Mei 20193, beliau bergabung dengan
para dosen UGM menyerukan pesan damai untuk para elite politik dan seluruh
elemen bangsa supaya mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa. Dalam
acara tersebut Pak Mohtar mengatakan, perbedaan pilihan politik dan dan iden-
titas dalam berpolitik merupakan hal wajar. Namun, sebaiknya elite politik
tidak menjadikan perbedaan identitas untuk memobilisasi massa, apalagi
menjurus sikap agresif dan anarkis. “Pelajaran kita ke depan, mobilisasi mesti
dikurangi dan dihilangkan meski identitas tidak bisa dihilangkan, tetapi jangan
dimobilisasi.”4
3 R. Antares P, “Kronologi Kerusuhan Demonstrasi 21-22 Mei 2019”, Tagar.id, 31 Mei 2019, https://www.
tagar.id/kronologi-kerusuhan-demonstrasi-2123-mei-2019.

4 Yohannes Enggar Harususilo, Pascakerusuhan 22 Mei, UGM Serukan Pesan Damai”, Kompas, 25 Mei
2019, https://edukasi.kompas.com/read/2019/05/25/16225731/pascakerusuhan-22-mei-ugm-serukan-pesan-
damai

7
Pemihakan pada demokrasi tidak membuat beliau mengabaikan kelemahan
yang melekat di dalamnya. Ia, misalnya, mengkritik secara tajam kecenderungan
praktik (sistem) politik yang menguras uang negara; bahwa anggaran belanja
negara masih menjadi masih dominan menjadi sumber utama pendanaan poli-
tik.5 Menurutnya, seorang politisi idealnya memiliki tiga kualitas. Pertama,
renjana (passion) untuk bersemangat mengabdi untuk suatu tujuan. Kedua, rasa
bertanggung jawab (a feeling of responsibility), yakni mengejar tujuan itu dengan
dituntun tanggung jawab. Ketiga, keberimbangan (a sense of proportion), yakni
punya kemampuan menghadapi realitas dengan konsentrasi dan pikiran yang
tenang serta kemampuan untuk “ambil jarak” dari obyek.

Sebagai ilmuwan yang aktivis, Pak Mohtar adalah seorang optimis6; sikap ini
bisa dilihat, salah satunya, dalam “polemik” tentang “teori negara gagal” yang
sempat ramai disematkan, ironisnya, oleh para “putra bangsa” sendiri pada
Indonesia yang bisa dibaca sebagai bentuk frustrasi gara-gara beragam karut
marut yang terus merundung negeri ini. Beliau termasuk yang tidak ragu untuk
mengatakan bahwa Republik Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara
gagal. Alasannya, berbagai kelembagaan masih ada dan masih membuahkan
hasil. Salah satu contoh paling nyata adalah produksi ekonomi yang masih
berlangsung. Namun, Pak Mohtar tidak membantah jika Republik Indonesia
menjadi negara dengan warga yang kini suka menghina diri sendiri. Indonesia
juga menjadi negara dan bangsa dengan kecurigaan tinggi kepada siapa saja
yang dianggap akan “menerkamnya.” Pak Mohtar meminta, keadaan “kacau”,
yang memang tidak dibantah keberadaannya, seharusnya tidak membuat semua
pihak menjadi tidak bergerak dan tidak beranjak. “Saya ada di poros yang tidak
mau sekadar menyalahkan keadaan,” kata Pak Mohtar. “Jika keadaan sudah
begini, hal yang harus segera dilakukan adalah bagaimana agar kita keluar dari
sederet permasalahan,” ujarnya.

Pak Mohtar mengatakan, kini pembangunan keyakinan (confidence building)


merupakan hal utama. Membuat bangsa menjadi yakin pada diri sendiri, men-
jadi mampu berbuat suatu, sehingga tidak terjebak pada lingkaran persoalan
yang ada tanpa melakukan terobosan. Namun, semua ini kembali lagi pada
5 Keresahan ini beliau sampaikan dalam orasi ilmiah “Menjaga Kepercayaan Publik terhadap Demokrasi di
Era” dalam puncak peringatan Dies Natalis ke-35 Sekolah Pascasarjana UGM. Sholihul Hadi, “APBN
Jadi Sumber Utama Pendanaan Politik”, Koran Bernas, 7 September 2018, https://www.koranbernas.id/
apbn-jadi-sumber-utama-pendanaan-politik

6 “Proyek Milenium: Mengantisipasi Kegagalan Negara RI”, Kompas, 8 Agustus 2008, hal 9.

8
bagaimana agar sebuah keyakinan pada diri sendiri bangkit, sebuah keyakinan
yang sebenarnya menjadi dasar bagi niat untuk bekerja lebih baik dengan hasil
yang diyakini akan terjadi. “Kini bukan lagi saatnya bersikap saling sinis dengan
lainnya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan ketimbang terjebak dalam sinisme.”

Sebagai ilmuwan, Pak Mohtar memiliki harapan yang tinggi akan kiprah
para akademisi dalam pembangunan (pemikiran) sosial-politik negeri ini, se-
kaligus kepercayaan terhadap politik itu sendiri sebagai sarana perubahan. Da-
lam diskusi buku pemikiran Soedjatmoko, “Asia di Mata Soedjatmoko” dan
“Menjadi Bangsa Terdidik”, Pak Mohtar mengemukakan salah satu pemikiran
Soedjatmoko yang paling penting adalah bahwasanya cendekiawan adalah
pencari solusi teknis sekaligus pengubah masyarakat. Menurut Pak Mohtar,
Soedjatmoko menunjukkan bahwa politik adalah sarana penting untuk menye-
lesaikan persoalan publik. Beliau menunjukkan pandangan Soedjatmoko
yang melihat demokrasi sebagai variabel independen. Hal ini berlawanan de-
ngan pandangan selama ini bahwa demokrasi adalah variabel dependen yang
bergantung pada tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan, dan material lain.
Soedjatmoko berpandangan bahwa kemajuan kehidupan material tidak mung-
kin tercapai tanpa kemerdekaan berpikir, yaitu demokrasi.7

Pak Mohtar pun punya kepedulian tentang perlindungan terhadap kelompok-


kelompok minoritas di negeri ini. Dalam diskusi bertema “Affirmative Action dan
Demokrasi di Indonesia” yang dihelat Komunitas Indonesia untuk Demokrasi,
Pak Mohtar mengutarakan pentingnya organisasi sebagai senjata bagi kelompok
minoritas.8

Sejumlah komentar terpotong-potong di atas hanya untuk mendemonstrasikan


sifat multifaset dan multidimensi dari Pak Mohtar yang tidak mungkin hanya
dilabel dengan terma ilmuwan. Beliau adalah ilmuwan yang meretas banyak
jalan baru bagi generasi sesudahnya, sekaligus aktivis yang tidak kenal lelah
berkelahi bagi demokrasi, perdamaian dan kemanusiaan. Akhir kata, selamat
berleha-leha, Pak Mohtar!

7 Eki, “Pemikiran Soedjamoko Masih Relevan”, Kompas, 12 Januari 2010, hal. 22.

8 “Aksi Afirmasi: Kelompok Minoritas Perlu Memperkuat Diri Sendiri”, Kompas, 20 Maret 2009, hal.4

9
Belajar dari Seorang yang
Bernama Mohtar Mas’oed

Elga Sarapung
Elga adalah Direktur Eksekutif Institut Dialog An-
tariman (DIAN)/Interfidei. Ia aktif di berbagai gerakan
keagamaan untuk keadilan dan perdamaian di tingkat
nasional hingga internasional, seperti Jaringan Antar
Iman Nasional, Asian Conference of Religions for Peace
(ACRP), dan Religions for Peace International (RfP
International).

aya biasa menyapa “sosok” ini dengan “Pak Mohtar”. Saya lupa, kapan
persisnya kami mulai bertemu dan berkenalan. Yang jelas sejak abad lalu,
abad ke-20, ketika Interfidei baru mulai. Nama itu sudah saya dengar, bahkan
sebelum bertemu dengan orangnya. Perannya, sudah saya lihat sendiri. Saat itu,
dalam ingatan saya, orangnya baik dan lucu. Ekspresi wajahnya tidak seserius
dan se-“kaku” umumnya seorang cendekiawan, akademisi, atau sejenisnya,
apalagi mengingat beliau adalah seorang GURU BESAR (“besar-nya” itu, lho,
sekalipun postur tubuhnya kecil, “semampai” seperti penulis).

Kami pernah mengajak Pak Mohtar ikut ke Luwuk untuk menjadi salah satu
narasumber di sebuah pelatihan guru-guru dan pemimpin umat beragama di
Luwuk, Sulawesi Tengah, yang indah. Kebetulan, di depannya terbentang laut
yang sangat layak dilihat dan dirawat. Semoga! Saat itu, kami pergi bersama-
sama dengan kawan dari Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT), Manado.
Reiner Ointoe dan Sumartana waktu itu masih ada.
Banyak pengalaman dengan Pak Mohtar, terutama ketika Pak Mohtar menjadi
salah seorang pengurus Yayasan Interfidei. Ya, Pak Mohtar memang bukan
pimpinan atau tokoh agama, tapi “beragama”, selain tentu intelektual. Ini

10
dibutuhkan oleh sebuah lembaga seperti Interfidei sejak dulu sampai sekarang.
Tidak harus pimpinan atau tokoh agama, tetapi siapa pun yang “beragama” de-
ngan intelektualitasnya yang kuat dan mendalam, sehingga beragama itu tidak
memalukan agama(nya), juga pas untuk memaknainya di dalam kehidupan
bermasyarakat.

Setidaknya, Pak Mohtar memiliki dua hal penting yang akan saya katakan.

Pertama, tentang “dialog”. Beberapa kali, Pak Mohtar kami ajak bicara tentang
“dialog” Papua yang, menurut saya, menjadi refleksi bagi “dialog” yang selama
ini Interfidei kerjakan.

Bagi Pak Mohtar, yang beliau urai secara matematis, angka-angka, tetapi saya
akan coba bahasakan secara naratif, “dia-log” itu seperti ini: “Masing-masing
orang memiliki ‘sesuatu’ tentang apa dan bagaimana pengalamannya, apa yang
ingin dia katakan, apa yang ingin dicapai, harapan, tetapi juga kecurigaan,
kegelisahan, dan sebagainya. Sebanyak apapun itu, bila semuanya bersedia
duduk bersama, berbicara secara terbuka, rendah hati, komunikatif, dialogis,
atau, dalam bahasa yang lebih keren, menghilangkan egoisme, arogansi, klaim
kebenaran, ingin menang sendiri karena mayoritas, meminimalisir anggapan diri
lebih baik, berprasangka, stigma, maka sesungguhnya ‘dialog yang sebenarnya’
itu akan terjadi.”

Mengapa? Karena, dari semua perbedaan yang ada, pasti ada “ruang bersama
di mana perbedaan itu bisa terolah dengan baik.” Perbedaan yang kemudian
bersama-sama dikelola justru menguatkan “ruang bersama” itu dengan tidak
menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dominan yang melemahkan hadirnya
“ruang bersama” itu. Artinya, di dalam perbedaan, selama ada ruang bersama
yang bisa menjadi “titik kebersamaan” maka perbedaan tidak akan menjadi
kekuatan destruktif yang saling mendiskriminasi, melemahkan, apalagi
mematikan.

Perbedaan selalu ada dan penting, sebagai pembelajaran dalam memperkuat


persamaan. Dari perbedaan, dan karena perbedaan, manusia bisa lebih menjadi
dewasa dalam beragama. Jadi, jangan menolak perbedaan, menghindari, apalagi
mematikan, tapi hargailah dengan “perjumpaan, interaksi dan dialog”. Antara
lain, dialog damai untuk Papua, tapi bagi saya, itulah juga “dialog” yang perlu
dibangun di Indonesia.

11
Kedua, “rendah hati.” Pak Mohtar itu agak sungkan menyapa saya dengan
Pendeta, ketika, entah dari mana/siapa, Pak Mohtar tahu saya ini seorang “pen-
deta” walaupun kadang-kadang memang muncul dalam sapaannya terhadap
saya. Sapaan ini memang tidak pernah saya pakai dalam dokumen apa pun,
kecuali baru dalam 1-2 tahun terakhir ini karena didaulat oleh gereja untuk
menjadi Ketua Komisi Gereja, Masyarakat dan Agama-agama (GERMASA).
Mengapa? Karena kata pendeta itu menimbulkan keseganan yang berlebihan,
atau bahkan memanjakan. Saya ingin biasa saja.

Nah, Pak Mohtar ini orangnya rendah hati banget. Sangat enak deh. Sudah gaul,
tidak macam-macam soal honor bila menjadi narasumber, juga bersedia saja
bila diajak oleh Interfidei dalam beberapa kegiatan, termasuk terlibat dalam
penelitian. Yang penting, waktu cocok. Tidak ada titik di mana profesionalisme
Pak Mohtar sebagai seorang GURU BESAR tampak dilemahkan oleh “sedi-
kitnya honor” ini. Bagi kami, model ini penting sekali. Lagi-lagi, sebagai sosok
seorang GURU BESAR, intelektual, pemikir, peneliti, dan seterusnya. Jadi,
antara komitmen dan integritas, connect dalam praktik!

Pak Mohtar, saya pribadi gembira bisa berjumpa dan berkenalan serta bekerja
sama dengan Pak Mohtar. Bagi kami di Interfidei, kehadiran Pak Mohtar,
sekalipun tidak terlalu intens tapi sangat banyak membantu. Semoga tidak ber-
henti, meskipun sudah pensiun. Justru karena pensiun di UGM, jadi bisa lebih
banyak membantu Interfidei.

PROFICIAT untuk semua karya Pak Mohtar dan tetap semangat. Masih
banyak pekerjaaan ke depan untuk Indonesia yang sungguh majemuk, agar
dapat saling menghargai, terbuka dalam perjumpaan dan dialog untuk damai,
bukan kekerasan dan kebencian! Salam dari kami semua, keluarga besar DIAN/
Interfidei.

“Pondok Sagu”, Tegalmindi,


Yogyakarta, 15 Oktober 2019

12
Prof. Mohtar Mas’oed:
Guru dan Orang Tua
Tempat Kami Bertanya

Erwan Agus Purwanto


Erwan saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Ia
juga adalah Guru Besar di bidang kebijakan publik.

ak Mohtar, demikian kami biasa memanggil, memiliki banyak predikat


di mata saya. Beliau adalah guru, orang tua sekaligus sahabat mana kala
dibutuhkan: untuk didengar humor-humornya yang segar saat santai, untuk
mendiskusikan tema-tema akademik yang serius, dan untuk mendapat nasihat-
nasihat saat kita menghadapi persoalan yang pelik. Banyaknya predikat Pak
Mohtar di mata saya tersebut sekaligus juga menunjukkan panjangnya rentang
waktu pertalian dan interaksi antara saya dengan Pak Mohtar: dari ketika saya
mulai menjadi mahasiswa di Fisipol UGM tahun 1987 sampai hari ini.

Meskipun saya bukan mahasiswa Departemen Ilmu Hubungan Internasional


(DIHI), namun saya sangat beruntung karena pernah mendapat kesempatan
menimba ilmu dari beliau, yaitu ketika saya menjadi mahasiswa S2 Magister
Administrasi Publik UGM pada tahun 1995-1997. Pak Mohtar saat itu
adalah pengampu mata kuliah Ekonomi Politik Kebijakan. Sebelumnya, se-
bagai mahasiswa S1 Jurusan Administrasi Negara (sekarang Departemen
Manajemen Kebijakan Publik), saya hanya mendapat kesempatan belajar
secara tidak langsung lewat buku-buku beliau yang terkenal, salah satunya
tentu buku legendaris terbitan LP3ES yang berjudul Ekonomi dan Struktur
Politik Orde Baru, 1966-1971. Mengikuti kuliah Pak Mohtar sungguh sangat
menyenangkan. Beliau selalu bisa meramu hal-hal yang rumit, tidak hanya
menjadi lebih mudah, namun juga menyenangkan dan penuh humor. Tidak

13
heran, sesi kuliah Pak Mohtar selalu kami nantikan.

Kecintaan saya pada ilmu yang diajarkan beliau membuat saya memilih tema
penelitian tesis saya di MAP terkait dengan mata kuliah yang beliau ajarkan.
Ketika menulis tesis tentang ekonomi-politik kebijakan otomotif di Indonesia
semasa Orde Baru, Pak Mohtar menjadi salah satu pembimbing saya, bersama-
sama dengan Prof. Sofian Effendi. Menjadi mahasiswa bimbingan Pak Mohtar
sangatlah menyenangkan. Beliau, yang saat itu menjadi Ketua Pusat Antar
Universitas (PAU) Sosial, selalu dengan senang hati menerima saya untuk
berkonsultasi di kantor beliau. Berkat bimbingan beliau, penulisan tesis saya
berjalan lancar dan saat diuji bahkan langsung diumumkan mendapat nilai A.

Interaksi saya dengan Pak Mohtar tidak selesai setelah saya lulus dari MAP-
UGM. Pada saat saya melanjutkan studi S3 di Universitiet van Amsterdam
(UvA) antara tahun 2000-2004, saya sangat beruntung mendapat kunjungan
beliau berkali-kali. Yang sangat mengharukan, bahkan beberapa kali beliau ber-
sedia menginap di apartemen saya yang sederhana, yang kebetulan terletak di
tengah-tengah Red Light District di Amsterdam. Saya masih ingat, apartemen
saya tersebut terletak di Koestraat 34, hanya tiga blok dari kampus “Fisipol-nya”
UvA yang lokasinya memang dekat sekali dengan Red Light District.

Tentu, sebelum mengajak beliau singgah di apartemen saya tersebut, saya se-
lalu mohon maaf karena terpaksa mengajak beliau, yang kami jemput dari
Amsterdam Central Station, untuk melewati Red Light District sebelum sampai
ke apartemen saya. Sambil berjalan beriringan dengan beberapa kawan yang
menemani menjemput beliau, kami menelusuri gang-gang sempit Red Light
District yang di sisi kanan-kirinya ada etalase tempat para pekerja seks komersial
menjajakan diri. Pada saat beliau “terjebak” di tengah-tengah Red Light District,
biasanya beliau akan bergumam kepada kami yang menjemputnya, “Sing mbok
ajak iki kaji lho (arti: yang kalian ajak ini haji lho)”. Tentu kami hanya bisa
senyum-senyum menanggapi gurauan beliau itu.

Dalam setiap kunjungan beliau ke Amsterdam, agenda yang tak boleh ter-
lewatkan adalah safari mengunjungi beberapa toko buku yang ada di kota
seribu kanal tersebut. Bukan suatu kebetulan jika Pak Mohtar suka ke toko
buku, karena beliau memang akademisi sejati sehingga dalam keseharian
boleh dikatakan beliau tidak bisa dipisahkan dari buku. Kalau kebetulan kita
berkunjung ke rumah beliau yang asri di Nogotirto, maka kita akan menjumpai

14
perpustakaan pribadi beliau dengan berbagai koleksi buku-buku ilmu sosial yang
sangat lengkap, tentu sebagian terkait dengan Ilmu Hubungan Internasional
yang menjadi minat beliau. Oleh karena itu, tidak heran apabila Pak Mohtar
sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, maka hal utama yang beliau akan
lakukan adalah ke toko buku untuk melengkapi koleksi buku di perpustakaan
pribadi beliau.

Jika sudah merencanakan ke toko buku, maka pagi-pagi sekali kami sudah
akan berangkat mengunjungi satu per satu toko buku yang menjadi langganan
beliau. Ritual yang kami lakukan untuk mencari buku biasanya dimulai dengan
mengunjungi toko buku De Slegte yang terletak di Kalverstraat. Toko buku
ini unik, karena selain menjual buku baru, juga menjual buku-buku lama. Jika
sedang beruntung, di toko buku ini sering kali kita akan mendapatkan buku-
buku langka yang sudah sulit kita temui di toko buku yang menjual buku-buku
baru.

Apabila sudah mengunjungi toko buku De Slegte, Pak Mohtar bisa berjam-jam
mencari buku-buku buruannya; naik turun dari satu lantai ke lantai yang lain,
tak jarang beliau naik tangga untuk melihat buku-buku yang ditaruh di rak-
rak yang tinggi. Seolah tidak punya lelah, beliau terlihat seperti menemukan
dunianya di tengah-tengah tumpukan ribuan buku.

Setelah puas di De Slegte, biasanya beliau akan mengunjungi toko buku yang
kedua, yaitu toko buku De Athenaeum yang terletak di daerah Spui, di pojok
dekat Kantor Rektorat UvA. Toko buku ini selalu menarik Pak Mohtar karena
menjual buku-buku baru di bidang ilmu sosial dan politik yang sangat lengkap.
Jika habis mengunjungi dua toko buku tersebut, tas punggung Pak Mohtar dan
kami yang mengantar pasti akan penuh buku.

Setelah dua toko buku tersebut, toko buku lain yang tidak pernah lupa
dikunjungi adalah Scheltema. Toko buku ini dulu terletak di Leidstraat,
tidak jauh dari toko buku De Athenaeum. Berbeda dengan dua toko buku
sebelumnya, Scheltema lebih banyak menjual buku-buku baru yang bersifat
populer dan juga buku-buku fiksi. Setelah puas mengunjungi tiga toko buku
tersebut, apabila masih ada sisa-sisa tenaga, Pak Mohtar akan mampir ke toko
buku Waterstone Used-English Books, dan beberapa toko buku kecil, misalnya,
di Boekenmart Oudemanhuispoort yang berada dekat Fakultas Hukum UvA.

Sebelum pulang dari berburu buku, kami tidak lupa juga menyempatkan untuk

15
duduk-duduk minum kopi di kafe mahasiswa UvA, De Jaren. Apabila ada
kesempatan untuk duduk bersama dengan Pak Mohtar, selalu ada saja topik
yang bisa kami diskusikan. Pak Mohtar memang memiliki pengetahuan yang
sangat luas, terutama hal-hal yang terkait sejarah. Jika kami menyinggung su-
atu pokok persoalan, pasti beliau akan dapat menjelaskannya dari asal-usul
per-soalan tersebut hingga hal-hal yang berkaitan dengan tempat, gagasan, atau
orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Beberapa tahun kemudian setelah saya pulang studi dan dipercaya mengurus
Fakultas, Pak Mohtar selalu hadir jika kami membutuhkan masukan dan solusi
atas berbagai persoalan yang ada. Sebagai sesepuh yang pernah menjabat sebagai
Dekan Fisipol antara tahun 2004-2008 tentu beliau banyak tahu tentang Fisipol.

Dari beliau, saya banyak belajar bagaimana menjadi seorang senior: selalu ada
jika kami membutuhkan, namun beliau tidak pernah mengintervensi ide-ide
dan gagasan kaum muda. Boleh dikatakan kami selalu “ayem” jika Pak Mohtar
ada di dekat kita. Oleh karena itu, meskipun beliau akan memasuki usia purna
tugas tahun ini, kami tetap berharap beliau selalu sehat dan aktif membimbing
kami dalam membawa Fisipol makin maju.

Yogyakarta, Medio Oktober 2019

16
Murid, Sahabat, dan Guru:
Setengah Abad Berkenalan
dengan Mohtar Mas’oed

R. William Liddle
Liddle adalah seorang profesor emeritus di bidang ilmu
politik di Ohio State University dengan spesialisasi dalam
studi politik Asia Tenggara, khususnya politik Indonesia.
Ia juga aktif menulis untuk media internasional dan
Indonesia, termasuk The New York Times, The Wall Street
Journal, Harian Kompas dan Tempo.

ohtar Mas’oed termasuk ilmuwan politik dan intelektual publik


Indonesia yang paling lama saya kenal, semenjak awal 1970an. Dari
tahun-tahun awal perkenalan kami, ada dua hal yang paling berkesan.

Pertama, percakapan dengan Colin McAndrews, wakil Rockefeller Foundation


di Yogyakarta pada 1970an. Ia mengajak saya memperjuangkan lamaran Mohtar
untuk diterima di program PhD, jurusan ilmu politik, di Ohio State. Tegas
Colin: Mohtar adalah dosen muda ilmu politik dan hubungan internasional di
Universitas Gadjah Mada yang paling menjanjikan sebagai calon peneliti dan
pengajar di jurusannya. Kalau Mohtar diberi kesempatan untuk belajar di Ohio
State, kelak ia pasti akan menyumbangkan banyak hal pada universitasnya,
pada dunia akademis di Indonesia, serta pada pengetahuan dunia luar mengenai
Indonesia. Kini, kita semua bisa menyaksikan betapa ramalan Colin terwujud
setelah Mohtar pulang pada 1983.

Kedua, salah satu ucapan Mohtar di kelas pertama yang ia ambil yang saya ampu.
Seingat saya, nama kelasnya Politik Asia Tenggara, mahasiswanya campur antara
tingkat S1 dan S3. Jadi, sebagian besar dari mereka adalah anak Amerika yang

17
belum tahu banyak tentang dunia luar. Pada hari pertama, saya tanya kepada
semua mahasiswa kenapa mereka mengambil mata kuliah tersebut. Jawaban
Mohtar jelas dan tegas, “Untuk lebih mengetahui politik Indonesia, negeri asal
saya.” Mahasiswa lain kaget. Lho, kalau begitu, apa tidak lebih baik belajar di
Indonesia saja? Mohtar tidak menerangkan lebih lanjut. Namun, makna yang
saya tangkap adalah bahwa ia bersikap amat terbuka pada pandangan orang
lain, meski orang itu tidak berasal dari negerinya sendiri. Termasuk tentang
hal-hal yang cukup mendasar, seperti politik, meski rasa nasionalismenya cukup
kukuh, dalam pengertian ia membanggakan apa yang telah dicapai oleh bang-
sanya sendiri.

Setelah Mohtar lulus pada 1983 dan pulang ke Yogya, kami sering bertemu,
terkadang di Indonesia, terkadang di Amerika. Lagipula, pertemuannya sering
panjang, berbulan-bulan lamanya. Dan kami senang berdiam di rumah masing-
masing. Di Columbus, Mohtar pernah bermukim di dua rumah saya, yang
sedang dan lebih besar, sesuai dengan peningkatan status saya sebagai profesor.
Di Yogya, saya pernah tinggal di tiga rumah Mohtar, yang kecil, sedang, dan
kini yang mewah (artinya: mepet sawah, yang memang penggambaran cermat).

Sejak 1983, hubungan kami lebih bersifat teman atau, lebih akurat, sahabat
ketimbang guru-murid. Malah, saya sering merasa bahwa, dalam banyak hal,
sayalah yang menjadi murid dan beliau adalah guru saya. Tentu, hal itu tidak
berarti bahwa saya pernah merasa digurui!

Paling tidak, ada tiga hal pokok yang saya pelajari dari Mohtar. Pertama,
sumbangan positif pandangan kiri/strukturalis/Marxis dalam analisis politik,
yang merupakan pelajaran paling awal. Disertasi Mohtar berjudul “The
Indonesian Economy and Political Structure during the Early New Order,
1966-1971.” Ia tertarik pada pendekatan dependent development (pembangunan
ketergantungan), yang menekankan ketergantungan sistem politik domestik di
negara sedang berkembang pada struktur ekonomi global. Persisnya, Orde Baru
diletakkannya secara kreatif dalam sebuah kerangka komparatif dengan negara-
negara Amerika Latin yang mendapat label bureaucratic authoritarian (otoriter
birokratis) oleh ilmuwan politik Guillermo O’Donnell.

Pendekatan strukturalis itu Mohtar pelajari antara lain di kelas-kelas saya,


tetapi ia sadari bahwa tanggapan saya pada dasarnya (atau kalau saya jujur,
seluruhnya!) negatif. Alasannya: teori-teori strukturalis kelewat determinis, ku-

18
rang memberi ruangan pada aktor-aktor politik/pemerintah untuk memilih
tindakan atau kebijakannya sendiri. Namun, Mohtar membuktikan dengan
cekatan manfaatnya kerangka itu untuk mengungkapkan sejumlah tindakan
Presiden Suharto, justru selagi ia dibatasi oleh berbagai kendala domestik dan
asing. Setelah itu, sampai kini, saya sendiri merasa bergantung pada pengetahuan
Mohtar dan selalu meminta masukan strukturalisnya tentang penelitian baru
saya.

Kedua, dari Mohtar saya pelajari bagaimana mengaitkan ilmu yang kami
yakini dengan aktivisme pro-demokrasi. Selama kira-kira seperempat abad
pertama kekuasaan Suharto, sebagian besar dari penelitian saya tertuju untuk
menjelaskan stabilitas Orde Baru. Memang begitulah penilaian saya tentang
kenyataan empiris kala itu. Tetapi, Mohtar sedari dulu lebih tertarik pada
pencarian lubang-lubang dalam sistem otoriter Suharto. Juga pada pencarian
alat-alat untuk menantang atau melemahkannya. Tentu, sebagai warga negara
Indonesia, dia lebih berhak dari saya untuk bersikap dan bertindak seperti itu.

Fokus utama Mohtar adalah bagaimana mengembangkan civil society, atau


istilah kerennya, masyarakat madani, yang diciptakan pada awal tahun
1990an oleh sejumlah intelektual publik dan aktivis Muslim, baik modernis
maupun tradisionalis. Ide-ide Mohtar dan teman-temannya saya manfaatkan
pada pertengahan 1990-an. Kebetulan, saya diminta memberi saran pada
United States Agency for International Development (USAID) dan National
Democratic Institute (NDI). Permintaannya: bagaimana membantu proses
demokratisasi yang baru mulai menggeliat di Indonesia. Untungnya, pendekatan
kami saling mengisi dan mendukung. Mohtar dan teman-temannya punya
saran berbobot, berdasarkan teori mutakhir, tentang peneguhan masyarakat
madani selaku langkah yang menjanjikan menuju demokratisasi penuh dan
saya bersedia menjadi wahana untuk menyampaikan analisis itu pada para
donor internasional yang mau membantu.

Selain saya, beberapa mahasiswa Ohio State juga menyaksikan sumbangan


Mohtar pada zaman historis itu. Mereka sempat membuat penelitian tentang
demokratisasi di Indonesia berkat, antara lain, bantuan Mohtar. Salah satunya
adalah Blair King, PhD 2004 dari Ohio State, yang kini menjadi Foreign Service
Officer di USAID. Dalam surel pribadinya kepada saya, Blair bercerita, “Mohtar
termasuk dosen yang dekat dan sangat perhatian kepada mahasiswa UGM (dan
juga berhubungan erat dengan sejumlah civil society organizations di Yogya dan

19
di tingkat nasional). Oleh karena itu, Mohtar dipercaya untuk menasehati me-
reka tentang strategi dan taktik yang tepat untuk mencapai tujuan mereka,
sambil menghindari berbagai perangkap yang berkali-kali mengalahkan segala
usaha aktivisme mahasiswa selama Orde Baru.”

Ketiga dan terakhir, saya belajar dari Mohtar bagaimana hidup sebagai manusia
utuh atau insan kamil, dalam rumusan Islam. Yang saya maksudkan dengan
keutuhan, pertama, adalah kemampuannya hidup selaku orang Islam, orang
Jawa, dan orang Indonesia sekaligus. Ketiga unsur itu hadir dalam pergaulannya
sehari-hari. Mohtar adalah orang yang saleh. Tetapi ekspresi kesalehan itu amat
dipengaruhi oleh pengasuhannya di keluarga Nahdlatul Ulama di Dampit, Jawa
Timur, dan kecintaannya terhadap kemajemukan Indonesia pada umumnya.
Makna keutuhan hidup kedua, mungkin lebih pokok, adalah perilakunya
sebagai seorang suami, ayah, dan kakek. Dalam hal itu, tentu kesaksian utama
harus datang dari yang bersangkutan. Saya adalah orang luar, tetapi juga sahabat
yang sering sempat berkunjung ke rumah mereka, sering pula dengan keluarga
saya.

Dalam perjalanan terakhir, Agustus lalu, saya perhatikan betapa erat hubu-
ngannya dengan dua cucu perempuannya. Sejak tahun lalu, atas undangan
Mohtar dan istrinya Suwarni, mereka tinggal di rumah sambil bersekolah di
Yogya. Mohtar tersenyum lebar ketika saya mengakui bahwa saya merasa iri,
sebab cucu-cucu saya semua tinggal jauh dari rumah.

Akhirul kata, saya mau ceritakan sesuatu yang mengisyaratkan kepekaan Mohtar
sebagai seorang sahabat yang betul-betul tahu bagaimana memilihara ikatan
persahabatan. Desember lalu saya dan istri saya, Wanda Carter, membawa dia
dan anaknya Luki Aulia (juga kenalan yang sangat lama) ke gereja mertua saya,
Northwest United Methodist Church, di kampung kami. Tujuan kami bukan
untuk mengikuti acara kebaktian melainkan untuk menonton konser lagu-
lagu Natal yang pernah dinikmati Mohtar dan Luki ketika Luki bersekolah SD
di Columbus. Dalam perjalanan pulang dari gereja, Mohtar bertanya, dalam
suara lembut disertai senyum kecil, apakah saya sedang memikirkan kembali
sikap lama saya yang agnostik terhadap agama. Saya merasa terharu dan
mengapresiasinya, sebab saya tahu pertanyaan itu mencerminkan keprihatinan
seorang teman tulen. Mudah-mudahan kami berdua dianugerahi masa pensiun
yang lama supaya kami sering sempat membicarakan banyak hal, termasuk
tujuan akhir dunia dan nasib kami sendiri.

20
Mohtar Mas’oed:
“Sejuta Pertanyaan Cerdas”

Rossana Dewi R.
Berprofesi sebagai Direktur Badan Usaha di Yayasan
Gita Pertiwi, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang
aktif membantu proses pemberdayaan masyarakat dalam
bidang lingkungan hidup dan sosial. Ia lulus dari Jurusan
Teknik Pertanian, Universitas Sebelas Maret pada 1992
dan mulai mengembangkan gagasan untuk pertanian
berkelanjutan di Jawa Tengah.

ak Mohtar, begitu kami memanggil beliau yang menjadi anggota Dewan


Yayasan Gita Pertiwi yang berdiri sejak Desember 1991 sekaligus Ketua
Yayasan Pembina hingga saat ini. Kami beruntung Pak Mohtar bergabung
dengan kami, pegiat lingkungan serta kesetaraan dan keadilan. Bagi organisasi
yang lahir di masa Orde Baru, Pak Mohtar adalah tempat kami berdiskusi dan
mencari ide-ide berani agar posisi kami sebagai LSM tepat di masanya.

Saat itu posisi LSM, sebagai non-government organization, ialah menjadi motor
gerakan masyarakat sipil yang terus dipacu untuk menegakkan demokrasi serta
mendorong masyarakat lebih kritis. Kami diajari untuk memilih cara-cara yang
strategis, tepat, dan, tentu saja, “aman” buat kami yang bala tentaranya adalah
perempuan muda yang sedang semangat-semangatnya bicara ketidakadilan.
Maklum, dari sepuluh orang yang bergabung saat itu, hanya satu pria yang
ada di lembaga kami. Itupun, di posisi dibelakang meja. Praktis, kamilah, para
perempuan yang jarang pakai bedak saat itu (karena tidak cukup punya uang
buat beli kosmetik sekedarnya), yang menjalankan semua program, baik di
lapangan, melakukan riset atau pelatihan hingga bekerjasama dengan organisasi
masyarakat sipil yang saat itu cukup banyak jumlahnya.

21
Saat itu, mungkin bukan saat untuk bekerja. Kami sering dicurigai dan bahkan
dianggap berseberangan dengan pemerintah. Bukan hal yang aneh bila tiba-
tiba aparat muncul menanyakan izin kegiatan yang kami selenggarakan.
Bahkan, beberapa agenda kami dibubarkan karena dianggap rapat gelap. Kami
sering berkeluh kesah tentang apa yang kami alami dan apa yang harus kami
lakukan kalau tiba-tiba pertemuan yang kami adakan di Sekretariat Gita Pertiwi
dibubarkan. Kami juga pernah membuat pertemuan yang mengundang lebih
dari empat orang, lalu diminta bubar. Alasannya, harus dapat izin keamanan
dulu, apalagi satu teman saya adalah WNI yang bermukim di Belanda.

Pengalaman tersebut mengajarkan bahwa, selama mengadakan pelatihan per-


tanian berkelanjutan bagi petani di desa, strategi utama kami adalah siap-siap
dibubarkan karena alasan tidak mendapatkan izin dari kepala desa hingga
kepolisian. Apabila dianggap menyelenggarakan diskusi yang menyangkut
politik dan dianggap menyerempet bahaya, kami dan teman-teman langsung
diangkut ke kepolisian. Bahkan, papan nama di kantor kami yang terbuat dari
kayu pernah diminta diturunkan, meski tidak jadi dilakukan hanya karena
kayunya terlalu berat untuk diangkat.

Waktu kami berkeluh kesah pada Pak Mohtar, bukannya kami diminta berhenti
saja, tetapi justru didorong untuk melanjutkan tentunya dengan lebih berhati-
hati. Pesan Pak Mohtar, pilihlah cara yang strategis, komunikasi yang baik dan
santun, jangan lupa carilah tahu mengapa mereka melarang kita membuat
kegiatan. Jika perlu, undang saja aparat agar ikut acara kita dari awal hingga
selesai agar kita tidak dicurigai dan dijaga secara aman.

Hal inilah yang membuat semangat kami tambah menyala. Pak Mohtar senan-
tiasa mengingatkan, jangan salah dalam memilih strategi karena akan membuat
kami harus siap-siap masuk penjara. Bahkan, para sesepuh pendiri organisasi
kami sampai kerap mengingatkan: selalu sediakan sikat gigi, handuk dan sarung
dalam beberapa paket. Kalau ada yang ditangkap, kirimkan paket tersebut.
Maklum, sekretariat kami bukan hanya digunakan oleh Gita Pertiwi saja, tapi
juga untuk mendukung sekretariat para aktivis gerakan dari berbagai kelompok.

Seiring perubahan jaman, Pak Mohtar sering mendamaikan kami ketika hati
galau memilih langkah, termasuk ketika kami mulai bekerja sama dengan pe-
merintah maupun pihak swasta. Kami juga sering berdebat dalam membuat
keputusan yang mulai menyentuh urusan nilai-nilai dan etika kerja. Sebagai

22
organisasi lingkungan yang memperjuangkan keadilan dan nilai-nilai kesetaraan
gender, kami sering menjadi galau ketika mulai ditawari kerja sama dengan
pihak yang selama ini tidak membicarakan urusan lingkungan. Ketika tiba-tiba
mereka meminta kami untuk membantu membuat kegiatan atau melakukan
kegiatan bersama yang memberi dampak lingkungan, kami seringkali meno-
laknya. Ini karena kami tidak tahu harus menyikapinya, takut, dan ragu-ragu.
Pak Mohtar sebagai dosen yang punya banyak wawasan tentang politik global
mengajari kami menganalisa pergeseran peta kekuasaan dan trend-nya. Bahkan,
beliau selalu memberi pertanyaan yang membuat kami kaget. Misalnya, ketika
digoda bekerja sama dengan private sector yang tertarik pada isu lingkungan dan
menawari dengan anggaran yang tidak sedikit, kami yang biasa hanya punya
uang kecil jadi terkaget-kaget. Pak Mohtar malah bertanya dengan santun,
“Apa dosa uang itu ya? Kok kita gak mau menerimanya.” Jadilah pertanyaannya
mengulirkan proses diskusi dan debat yang mencerdaskan kita semua dalam
memahami peta kekuasaan.

Pertanyaan yang sama muncul ketika kami mulai rajin melatih petani di peda-
laman, terutama mereka yang menjadi buruh di perkebunan sawit. Kami
melatih mereka tentang pestisida sebagai racun yang bisa membahayakan tubuh
dan lingkungannya. Kami memfasilitasi mereka membaca label dalam kemasan,
memahami maknanya, dan memberikan informasi faktualnya karena sebagian
besar label tersebut ditulis dalam bahasa yang sulit dipahami sehingga petani
atau buruh perkebunan tidak lagi membacanya. Pemilik perkebunan sawit yang
rata-rata didominasi perusahaan besar dan internasional, sering “menggoda”
kami untuk melatih para petani yang menjadi mitranya. Tapi, sekali lagi kami
jadi berkecil hati dan menjadi salah tingkah. Pak Mohtar sekali lagi bertanya apa
dosanya uang tersebut kok kami tidak mau mengambil kesempatan. Padahal,
karena kami tidak merespon, beberapa perusahaan malah semakin penasaran
bertanya: apakah honor yang mereka tawarkan terlalu rendah. Padahal, dalam
hati, kalau kami mengambil kesempatan itu, mungkin kredit rumah saya lunas
saat itu. Tapi tetap saja, kami membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja.

Di Gita Pertiwi, suara perempuan dominan karena memang organisasi


dilahirkan oleh lebih banyak perempuan. Bahkan, hingga kini di pelaksanaan
harian, jumlah dan suara perempuan lebih dominan. Pak Mohtar yang sering
melerai ketika kami berdiskusi alot bahkan ketika harus memutuskan sesuatu
yang penting tapi gaduh. Pak Mohtar senantiasa bertanya, “Siapa yang akan

23
diuntungkan kalau keputusan ini dibuat? Bagaimana dampaknya buat yang
lain?” Haduh…..kami kadang diam, tidak mampu menjawab pertanyaannya
yang santun. Bukan karena Pak Mohtar berujar dengan suara khas laki-laki yang
dominan, tetapi karena beliau mengajari kami menghargai setiap perbedaan.

Sebagai organisasi yang diwarnai proses demokrasi, kami juga pernah mengalami
perbedaan pendapat yang luar biasa sehingga organisiasi kami hampir kolaps.
Bahkan beberapa teman kami akhirnya memilih jalur berbeda. Kami diadukan
ke berbagai pihak, dikambinghitamkan, bahkan hampir di blacklist dari daftar
penerima bantuan. Tapi, sekali lagi, Pak Mohtar dan (alm.) Pak Widada yang
meredam amarah dan gejolak hati kami, hingga meluruskan kembali niat kami
bergabung di organisasi Gita Pertiwi hingga sekarang masih bisa beraktivitas
dan menjalankan impian di umur 29 tahun perjalanan organisasi kami.

Salah satu isu besar yang terus kami gaungkan adalah isu pestisida. Kami
mendorong masyarakat petani dan konsumen agar lebih berhati-hati meng-
gunakannya karena pestisida adalah racun yang berbahaya pada lingkungan dan
kesehatan. Salah satunya, pestisida jenis parakuat yang banyak digunakan sebagai
racun rumput. Kami sering berbagi cerita dari lapangan tentang pe-tani yang
keracunan setelah menggunakannya, bahkan kami beberapa kali melakukan
investigasi kasus keracunan yang serius. Namun, usaha kami tetap belum berarti
walau kami telah berkolaborasi dengan jaringan internasional dalam melakukan
advokasi. Sampai kemudian Pak Mohtar membuat joke tentang parakuat yang
semakin kuat digunakan petani dengan plesetan “martokuat” mengadopsi nama
tetangga beliau yang sudah tua tapi masih kuat bekerja.

Bila Pak Mohtar hadir dalam forum atau acara-acara yang kami selenggarakan,
beliau tidak pernah berhenti membuat kami tertawa. Ada saja cerita lucu,
pertanyaan lucu, bahkan pengalaman dari berbagai temannya yang lucu. Tidak
luput pula dagelan politik yang sedang viral. Energi positif Pak Mohtar terus
dicurahkan ke kami, sehingga walaupun sedang kesulitan, susah atau mengalami
berbagai ujian, Pak Mohtar berhasil memberikan energi positif baru, motivasi
dan semangat yang luar biasa untuk kami.

Terima kasih, Pak Mohtar, kami masih membutuhkan pertanyaannnya dan


energi positifnya. Jangan pernah pensioen berkarya bersama kami. Salam lestari!

24
Ngangsu Kawruh Kehidupan dari
Bapakku sambil Beli Sunflower

Triningtyasasih
Seringkali dikenal sebagai Tyas, ia adalah alumni Ilmu
Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada. Pernah menjadi Direktur
Rifka Annisa, bekerja di beberapa agensi PBB dan LSM
internasional. Saat ini, Tyas bekerja di Ipas Indonesia.

pa hal unik yang menautkan hidupku dengan Pak Mohtar? Anggota


KAGAMA? Ya. Karena, walaupun aku bukan alumni Hubungan
Internasional, tapi aku alumni Komunikasi Fisipol UGM. Tapi itu tidak
istimewa, banyak orang punya kesamaan dalam hal ini dengan beliau. Apa hal
khusus yang merekatkan kami? Ada dua hal. Kami pernah sama-sama terdaftar
di dalam satu kartu keluarga, dan kami sama-sama memiliki poster lukisan van
Gogh: Sun Flower. Atau aku pernah keliru menyebutnya sebagai lukisan Flower
Sun (Bunga Matahari–pastilah itu jadi bahan ejekan empuk buatku).

Aku pernah masuk dalam Kartu Keluarga (KK) beliau. Ya, aku pernah masuk
di dalam daftar paling bawah KK setelah keponakan beliau. Statusku pun sama
sebagai keponakan, dan bahkan ditulis punya ayah yang sama dengan keponakan
asli yang terdaftar di atasku. Sehingga tiba-tiba aku punya empat saudara sebapak
lain dalam sekejap. Hal itu menjadi guyonan di antara kami dalam waktu lama.
Ya, setelah itu aku mendapatkan privilege seolah menjadi anak sulung keluarga
Bapak, yang mendapatkan banyak perhatian dan wejangan, termasuk ketika
aku melanjutkan S2 di Amsterdam, 20 tahun silam.

Aku beruntung karena menjadi satu dari dua orang anak/murid yang beliau
kunjungi dua kali ketika sedang bersekolah. Hampir tiga kali bahkan,

25
namun batal karena aku sudah terlanjur beli tiket pulang. Bapak berulangkali
menyampaikan ini, “Hanya Tyas dan Rizal (alm. Bang Rizal Panggabean) yang
saya kunjungi dua kali waktu sekolah.” Ya, aku beruntung. Kunjungan Bapak
dua kali ketika aku di Amsterdam bukanlah kunjungan biasa tanpa makna.
Persinggungan itu membawa banyak pelajaran hidup yang kudapatkan ketika
mendampingi Bapak jalan-jalan di Amsterdam maupun The Hague kala itu.

Menemani Bapak “jalan-jalan” artinya menemani Bapak belanja buku (baca:


menunggui dan menjadi porter membawa buku hasil buruan). Tidak tanggung-
tanggung, sekali belanja Bapak bisa menghabiskan dana senilai beasiswaku dari
Ford. Kata Bapak, “Ilmu di buku nanti diecer” (good business ya, Pak). Lalu ke
museum, dan juga ke KBRI di The Hague. Hampir tidak ada shopping-shopping
kecuali mampir sebentar ke pojok di de Bijenkorf untuk membeli oleh-oleh
romantis buat Ibu (aku yakin Bapak pasti senyum malu-malu kalau membaca
ini).

Ada yang berkesan ketika menemani Bapak berbelanja buku; teman menemani
Bapak juga istimewa. Kalau saat itu Bapak sedang menjabat Dekan Fisipol, rekan
yang menemani Bapak waktu itu sekarang sedang menjabat Dekan Fisipol, Mas
Erwan Purwanto. Bapak biasa belanja buku di Spui Square naik trem nomor
1,2, 5, atau 17 di daerah Universiteit van Amsterdam (UvA). Biasanya, Bapak
kubelikan tiket trem untuk tiga hari, jadi Bapak bisa pergi sendiri kemana-
mana dengan leluasa dan saya baru akan menemani beliau sepulang kuliah. Saya
biasanya sambil curcol, dan Bapak pun meladeni. Namun, lama-lama Bapak
akan bilang, “Lha nek mbok ajak omong terus, kapan aku macane?” Tentu saja, itu
dilafalkan dengan dialek Malang (n)Dampit yang medok itu. Walau cukup berat
menjadi porter buku, namun kami pasti senang karena Bapak pasti mentraktir
kami makan. Baru setelah itu, kami pulang naik trem. Bapak sekali menginap
di flat-ku dan sekali menginap di flat Mas Erwan

Petuah-petuah juga disampaikan di dalam kendaraan. Satu kali saya mengantar


Bapak ke Schiphol. Kami naik trem ke stasiun sebelum melanjutkan dengan
kereta. Saat itu, trem cukup penuh. Bapak bergegas merapikan koper-koper
ke tepi sambil berkata, “Tyas, dalam hidup ini, sedapat mungkin jangan me-
repotkan orang atau membuat orang lain susah.” Pesan ini selalu kuingat, Bapak.
Tidak hanya kuingat ketika naik Trans Jakarta atau kereta, tapi selalu kupegang
sebagai prinsip ketika menjalani kehidupan. Aku selalu berusaha untuk menjaga
etika dan tidak menjadi penghalang bagi orang lain. Petuah lain tentang

26
kehidupan percintaan. Pesannya, jangan cari pacar di trem atau bisokop. Cari
pacarlah di masjid atau perpustakaan. Akibatnya, aku sampai pernah berhenti
di trem pemberhentian jauh dari rumah ketika di suatu perjalanan ada Pak Cik
Malaysia yang nampaknya mencoba kenalan denganku (GR kali ya).

Bagaimana dengan museum? Suatu ketika Bapak bertanya, “Tyas kalau ke luar
negeri apa saja yang dikunjungi?” Jawabku, “Museum, tempat bersejarah.”
“Bagus”, kata Bapak. Untungnya aku punya Museum Jaar Kart, kartu masuk
museum yang berlaku satu tahun yang bisa menjadi bukti atas pernyataanku,
sekaligus membuat Bapak bisa masuk ke Rijks Museum, van Gogh Museum,
dll. dengan murah. Kalau tidak, mahal sekali, sekitar 23 gulden untuk sekali
masuk. Di museum pun, mata pelajaran hidup tetap diberikan. Ketika melihat
lukisan-lukisan, maka Bapak biasanya juga cerita tentang sejarah. Revolusi
Perancis, misalnya, berpengaruh terhadap karya-karya pelukis pada jaman itu.
Di museum van Gogh inilah kami membeli replika/poster lukisan van Gogh
yang paling terkenal: Sun Flower. Ya, barang itu kami beli di Museum van Gogh.
Saat ini, lukisan itu dipajang Bapak di ruang tamu.

Bapak juga sangat toleran dan tidak menghakimi pilihan-pilihanku. Sewaktu


di Amsterdam, aku sempat tinggal bersama dua orang kawan gay. Ketika tahu,
Bapak hanya tersenyum dan bilang: “Malahane kowe aman di dalam maupun
di luar rumah.” Sementara, beberapa kawan Indonesia ada yang berkomentar:
“Kowe ki aneh-aneh wae.”

Di luar perjalanan bersama di negara kincir angin itu, aku lebih mengenal Bapak
dari cerita-cerita Ibu–yang selalu bangga dan menceritakan kebaikan-kebaikan
Bapak, atau dari interaksi ketika aku sowan ke rumah Bapak. Semuanya
menyimpulkan hal yang sama: Bapak itu orang yang sederhana, cerdas dan
berpengetahuan luas, tapi selalu dapat menyampaikannya dalam konteks yang
dapat dimengerti kawan bicaranya.

Tentu, aku juga mengenal Bapak sebagai dosen Ekonomi Internasional, yang
dikenal baik di dalam maupun di luar negeri. Apalagi aku bekerja di LSM.
Kami sering mengundang Bapak sebagai narasumber. Tentu, ilmu beliau tak
disangsikan lagi, tapi aku lebih mengagumi ilmu beliau tentang kehidupan
yang selalu kukenang dan menjadi panduan hidupku, bahkan ketika aku absen
sowan secara fisik ke rumah beliau akhir-akhir ini. Aku sangat beruntung karena
Bapak juga yang mengantarkanku ke dalam hidup pernikahan (mohon maaf,

27
Bapak, akhirnya aku tidak bertemu jodoh di perpustakaan ataupun masjid, tapi
dia orang baik). Bapak, mohon maaf sempat menghilang lama, namun semua
petuah dari Bapak selalu tertanam dalam hatiku dan menjadi penerang hidupku.
Terima kasih telah mengantarkan nanda memasuki kehidupan berkeluarga.
Semoga Bapak selalu sehat, dan berbahagia bersama Ibu dan keluarga besar.

Jakarta, 15 Oktober 2019

28
Pak Mohtar,
Teman Lama Saya di Bulaksumur

Yang Seung Yoon


Berprofesi sebagai profesor emeritus di Hankuk University
of Foreign Studies (HUFS) di Seoul, Korea. Ia mem-
peroleh gelar doktor di bidang politik internasional dari
Kyungnam University (1992) dan Universitas Gadjah
Mada (2002). Profesor Yang pernah menjabat sebagai
Wakil Rektor VI HUFS, Dekan Pascasarjana HUFS,
dan Direktur HUFS Press.

ak Mohtar, bagaimana kabarnya? Di Korea, terdapat peribahasa yang


berbunyi: “telinganya tipis”. Telinga tipis ini ditujukan kepada orang
yang mudah mendengar orang lain. Orang tua dan nenek saya selalu merasa
cemas karena saya adalah anak sulung di keluarga besar yang miskin dan karena
telinga saya tipis, maka sulit untuk melaksanakan tugas sebagai anak laki-laki
tertua. Kalau dalam Bahasa Indonesia, apa peribahasanya?

Di tahun 1996, di bulan April atau Agustus (saya lupa), untuk pertama kalinya
saya menemui Pak Mohtar di kantor Pak Ichlasul Amal. Saya sebelumnya
memohon bantuan Pak Amal supaya saya dapat mengikuti kuliah S-3 di
Departemen Ilmu Hubungan Internasional di Fisipol UGM. Pak Amal pada
saat itu menjabat sebagai Direktur Pascasarjana. Pada saat itu, saya hanya diam
saja. Pak Amal membiarkan Pak Mohtar menanyakan beberapa hal pada saya.
Saya hanya gemetar saja. Beberapa saat kemudian, baru saya mulai menjelaskan
alasan kedatangan saya.
Saya sudah mengambil kuliah S-3 di Korea pada tahun 1992, namun saya sangat
ingin mengikuti kuliah di Indonesia dan alangkah bagusnya kalau saya bisa
mengambil kuliah S-3 di UGM. Pak Amal dan Pak Mohtar kelihatannya tidak

29
mengerti, mungkin mereka pikir untuk apa dua gelar S-3? Benar saja, untuk apa
saya menginginkan dua gelar S-3? Untuk memenuhi syarat pendaftaran dosen
di perguruan tinggi di Korea tentu saja dibutuhkan gelar S-3 dan saya sudah
punya gelar tersebut dari Kyungnam University. Untuk mendapat ijazah S-3
memakan waktu 4,5 tahun termasuk 6 semester course work yang cukup rumit.
Belum 3 semester lagi untuk menulis disertasi. Untuk apa saya ingin berjalan
lagi di jalur yang penuh dengan kerikil tajam?

Pak Mohtar, mohon dengar alasannya. Telinga saya tipis.

Pada tahun 1996, beberapa orang mantan mahasiswa saya sedang berada di
UGM. Salah seorang diantaranya adalah Dr. Park Jae Bong. Pada saat itu,
Dr. Park adalah mahasiswa S-2 MM UGM. Pegolf itu nantinya memperoleh
gelar S-3 dari Australia dalam beberapa tahun lagi. Di satu kesempatan, saya
bertemu dengan Pak Park, mantan murid saya itu. Dia mengatakan, “Pak Yang,
kampus UGM indah sekali, khususnya pada malam hari ketika lampu listrik di
jalan mulai menyala. Semuanya benar-benar indah. Pak Yang pasti ingin ikut
menikmati keindahan kampus UGM.” Beberapa hari kemudian, saya sendiri
berjalan-jalan di kampus UGM pada malam hari. Akhirnya, saya memutuskan
untuk mengambil kuliah S-3 lagi di UGM karena keindahan kampus UGM
turut menggoda saya.

Pak Mohtar, pada saat Pak Mohtar memperlihatkan keheranan pada saya, Pak
Amal mungkin sudah bersedia untuk menerima seorang mahasiswa tua dari
Korea. Beliau mengatakan “Hubungan Indonesia-Korea adalah tugas S-3 Anda.
Di kalangan perguruan tinggi di Indonesia, setahu saya, hubungan Indonesia
dengan dunia luar, dengan negara-negara penting, sudah ada disertasinya.
Korea penting bagi Indonesia, namun disertasi Indonesia-Korea belum ada.”
Begitu ujar Pak Amal saat itu. Pak Mohtar hanya diam saja. Akhirnya, beliau
mengatakan dengan suara kecil, untuk apa dua S-3?

Masa saya kuliah S-3 di UGM dimulai sejak saat itu dan saya diminta membayar
uang sekolah atau SPP. Pertama kali saya bayar pada tahun 1996 sebesar empat
juta rupiah. Setiap tiga bulan, saya melaporkan tugas triwulan-an kepada Ibu
Peni di Pascasarjana melalui Pak Amal. Dimulai karena keindahan kampus
UGM pada sore hari pada saat lampu kuning tua di kedua jalur pejalan kaki di
sekitar Gedung Rektorat menyala, namun setelah memulai tugas, saya sangat
sibuk sehingga tidak bisa mencari waktu luang untuk menikmatinya. Setiap tiga

30
bulan saya datang dari Korea. Selama tiga tahun berikutnya, saya tidak memiliki
banyak kesempatan untuk menemui Pak Mohtar. Sesudah 12 kali pertemuan
dengan Pak Amal dan Bu Peni, akhirnya saya dipanggil untuk diuji di depan
12 orang penguji senior, termasuk Pak Amal dan Pak Mohtar. Dalam waktu
kurang lebih satu setengah jam, saya hampir tidak menjawab, tepatnya tidak
bisa menjawab, karena pertanyaan-pertanyaan beliau-beliau tidak bisa saya
pahami. Saya merasa sangat malu.

Terus terang saja, saya masih belum menguasai bahasa Indonesia dengan baik,
bahkan saya hanya bisa mengucapkan “Selamat pagi!” saja. Mata kuliah saya
di HUFS Korea adalah politik internasional, bukan Bahasa Indonesia. Bahasa
Inggris pun sama derajatnya. Saya disuruh keluar oleh Pak Amal dari ruang
sidang. Saya yakin, saya tidak akan dipanggil kembali. Pak Mohtar keluar dan
mengajak saya masuk ke ruang ujian. Hati saya berdebar-debar. Pak Amal
mengatakan Pak Yang disetujui oleh tim penguji untuk menjalani kuliah di
Pascasarjana UGM dan membuat disertasi tanpa course work.

Pak Mohtar, sejak semester genap 1999-2000, saya secara besar-besaran mulai
mengumpulkan berbagai bahan untuk membuat disertasi. Untuk itu, saya
sering berkunjung ke perpustakaan Departemen Luar Negeri Republik Korea.
Lokasinya cukup jauh dari kampus di mana saya mengajar. Bahannya pun tidak
banyak. Tahap berikutnya, saya mulai mengunjungi para mantan duta besar
yang pernah bertugas di Jakarta, namun tidak banyak menemui hasil juga.
Selanjutnya, selama mengajar kuliah S-2 di HUFS, saya memberikan tugas
kepada para mahasiswa untuk mencari bahan, dokumen, laporan Kedutaan
Besar Republik Korea untuk Jakarta (KBRK) ke Seoul, dan sebagainya. Para
mahasiswa berhasil mencarikan saya berbagai laporan kerjasama ekonomi Indo-
nesia-Korea dan berbagai MoU di tingkat pemerintah.

Akhirnya, saya memberanikan diri untuk mendekati Pak Mohtar. Pak Mohtar
sendiri kiranya tidak banyak tahu tentang dan sekitar hubungan kenegaraan
antara Indonesia-Korea. Mungkin sedikit lebih tahu daripada saya sendiri.
Namun, saya sangat beruntung karena beliau merekomendasikan dua tokoh
sarjana politik di Indonesia, yaitu Dr. Salim Said dan Dr. Hadi Soesastro.
Sebagian besar bahan penting dalam disertasi saya berasal dari Pak Salim dan Pak
Hadi. Kebetulan, saya sudah lama berkenalan dengan Dr. Hadi Soesastro, tokoh
CSIS Jakarta. Bersama tokoh-tokoh CSIS, para dosen dan sarjana Korea sejak
awal tahun 1990-an secara reguler menyelenggarakan seminar untuk membahas

31
hal-hal yang saling diperhatikan. Dr. Salim Said juga pernah memperhatikan
hubungan pribadi antara almarhum Presiden Park Chung Hee dan almarhum
Jenderal Sarwo Edhie Wibowo selaku duta besar pertama Republik Indonesia
untuk Republik Korea.

Saya sangat beruntung karena mendapat izin mengajar selama dua semester (atau
satu tahun sabatikal) di UGM pada tahun 2001. Pak Mohtar memberikan saya
kesempatan untuk mengajar satu mata kuliah di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional Fisipol UGM selama dua semester, yaitu Politik Internasional di
Asia Timur. Saya diberikan kantor sementara di lantai tiga Gedung PAU UGM.
Di sana, saya bertemu dengan Nona Lenny Dianawati yang menjadi semacam
rejeki besar bagi saya. Pak Mohtar merekomendasikan Lenny pada saya sebagai
sekretaris. Karena Lenny, maka sekolah S-3 saya di UGM bisa berkembang.
Mbak Lenny yang kini sudah mempunyai dua orang putri masih terus berada
di dekat saya. Dia dan keluarganya tinggal di Solo.

Pak Mohtar, keberhasilan saya untuk menyelesaikan disertasi terdiri dari


bantuan tiga pihak, yaitu tiga orang pembimbing, Mbak Lenny, dan usaha saya
sendiri. Almarhum Pak Karseno dari MM UGM termasuk salah satu dari tiga
orang pembimbing saya. Sambil mengajar di kelas HI, saya sedikit demi sedikit
memfokuskan pikiran saya pada disertasi. Lenny membantu saya lebih dari
seratus persen. Pada saat saya mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Indonesia
yang sederhana dan compang-camping, Lenny secara otomatis mengetik dan
menyusunnya dengan rapi kemudian mencetaknya, untuk saya baca dan
perbaiki lagi.

Kantor sementara saya di Gedung PAU juga sangat bermanfaat untuk kemajuan
disertasi saya. Satu tahun sabatikal itu cepat sekali berlalu. Sebelum pulang ke
Korea, saya menghadap Dr. Salim Said di Jakarta. Beliau menjelaskan bahwa
kepercayaan dan rasa hormat Jenderal Sarwo Edhie pada Presiden Park Chung
Hee pada saat itu telah memperkuat dan memperluas hubungan antarnegara
Korea-Indonesia. Dr. Hadi Soesastro pada saat itu sedang berada di New York.
Setelah pulang kembali ke Korea, saya mengunjungi KBRI untuk menanyakan
jejak-jejak Pak Sarwo tetapi tidak ada juga tampaknya.

Kemudian, saya sangat beruntung karena dapat mengundang Pak Mohtar


untuk mengajar satu tahun di kampus saya sendiri. Saya banyak dibantu selama
Pak Mohtar mengajar di Graduate School of International Area Studies, HUFS.

32
Walaupun studi saya S-3 di UGM masih belum dapat diselesaikan, namun
selama satu tahun di Korea, Pak Mohtar sempat membimbing saya agar saya
dapat segera menyelesaikan disertasi S-3. Selama Pak Mohtar berada di Korea,
saya sempat menggambarkan disertasi saya meski masih belum menuliskannya.

Awal tahun 2002, saya diberitahu untuk mengikuti ujian disertasi oleh kantor
Administrasi Pascasarjana UGM. Tugas Lenny pada babak yang terakhir ber-
tambah banyak sekali. Untuk pertama kali, saya memajukan paper yang masih
belum sempurna. Lenny suntuk tidak bisa tidur dan tidak sempat beristirahat
sedikitpun selama tiga malam suntuk. Sepertiga disertasi saya mendapat ban-
tuan dari Mbak Lenny. Sisa dua-pertiganya dapat dibagi untuk dua orang, Pak
Mohtar dan saya sendiri.

Pak Mohtar, selama 20 tahun bersahabat dengan saya, pasti ada hal-hal yang
senang dan gembira, ada juga hal-hal yang kurang senang dan menyedihkan
hati, khususnya selama berada di Korea. Di sekitar kampus HUFS, apabila saya
bertemu dengan Pak Mohtar, saya sering mengajak beliau untuk makan bersama.
Di Korea, pada waktu makan malam, orang pada umumnya mengundang pula
beberapa teman dan kawan. Kalau tidak ada yang bisa, asisten atau mahasiswa
diundang. Di restoran, dipesan pula minuman keras yang diberi nama so-ju.
Orang Korea suka minum. Cukup banyak wanita juga tidak menolak apabila
diajak minum bersama. Pak Mohtar belum pernah minum minuman keras.
Apabila tamunya banyak dan mereka kurang tahu perkara haram, Pak Mohtar
beberapa kali mencoba pura-pura minum. Botol minuman dibuat dari keramik,
kalau ada yang unik, Pak Mohtar mau memilikinya. Di mana botol-botol
keramik so-ju itu sekarang?

Pak Mohtar adalah man of sincerity (orang berhati suci). Selama 20 tahun,
janji, permintaan, permohonan, hal-hal yang saling dibicarakan, dan apa saja
selanjutnya beliau selalu memenuhi janji, jawaban dan lain sebagainya yang
harus dijawab, walaupun kadang-kadang reaksi atau tanggapannya agak
sedikit terlambat. Beliau man of humor (orang penuh dengan humor). Di masa
mengajar di HUFS, beliau ditanya oleh mahasiswa mengapa memelihara kuku
tangan begitu panjang? Mengapa bulu hidung laki-laki tidak dipotong? Mari
kita bersama-sama mendengarkan komentarnya.

33
34
Pak Mohtar di
Mata Murid-murid

35
36
Kepemimpinan Akademik
Profesor Mohtar Mas’oed:
Inspirasi dan Keteladanan

Hermin Indah Wahyuni


Mengajar sebagai dosen di Departemen Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada.

rofesor Mohtar Mas’oed (sering kami sebut dengan Pak Mohtar atau
banyak yang memanggil dengan sebutan Prof. MM) adalah sosok
yang sangat menyenangkan dan dekat dengan siapa saja. Pak Mohtar adalah
senior yang sangat berpengaruh dalam karir akademik saya. Bagaimana tidak?
Beliaulah yang menjadi dosen pembimbing saya, saat menulis karya thesis pada
tahun 1998. Beliau seorang ahli ekonomi politik dan saya sangat beruntung
bisa belajar langsung dari beliau. Sebagai dosen pembimbing, Pak Mohtar
memberikan keleluasaan dalam mengembangkan perspektif yang akan saya pakai
dalam menganalisis objek kajian saya mengenai “Televisi dan Intervensi Negara:
Ekonomi Politik Kebijakan penyiaran di Era Orde Baru.” Sebagai pembelajar
ilmu komunikasi yang masuk pada wilayah kajian politik, pengalaman belajar
bersama Pak Mohtar menjadi pengalaman yang sangat berkesan. Tangan dingin
Pak Mohtar telah mewarnai karya tesis saya yang kemudian diterbitkan dan
diterima dengan baik oleh komunitas baca yang tertarik pada isu regulasi pe-
nyiaran khususnya penyiaran Orde Baru. Tesis ini juga menjadi pembuka jalan
bagi proses studi saya pada level S3.

Saat Pak Mohtar menjadi Dekan untuk periode 2004 hingga 2008, saya
berkesempatan kembali belajar dari beliau tentang bagaimana manajemen fa-
kultas dilakukan. Gaya Pak Mohtar yang sangat luwes menyebabkan banyak

37
hal sulit terselesaikan dengan pendekatan yang sangat khas Pak Mohtar. Sebagai
ketua jurusan yang baru saja belajar mengurusi jurusan, atmosfer belajar di
Fakultas yang diwarnai suasana egaliter pada waktu itu sangatlah menginspirasi.
Pak Mohtar sangat mengapresiasi penguatan akademisi perempuan selama masa
kepemimpinannya. Berbagai peluang diberikan, hingga saya dan salah satu
kolega ketua jurusan wanita waktu itu, mendapatkan kesempatan awal untuk
mendapatkan sertifikasi jabatan—sebuah program yang baru saja diawali pada
tahun 2007/2008. Pak Mohtar juga sangat dekat dengan Jurusan Komunikasi
dan dengan style beliau, kami lebih dapat mengekspresikan keinginan-
keinginan kami dengan cara yang informal dan santai. Di hari Jumat, seringkali
pasca beliau melaksanakan ibadah Jumat, beliau akan mampir ke Jurusan dan
bergurau dengan teman-teman. Kenangan tersebut sampai sekarang lekat dan
selalu muncul saat berdiskusi mengenai tema kepemimpinan. Pak Mohtar
memimpin dengan gaya yang humanis, dengan telaten mendengarkan masukan
sebagai input kebijakan. Banyak hal sulit dapat diselesaikan dengan cara ini.

Sebagai seorang pemimpin akademik, Pak Mohtar dengan caranya banyak


menginspirasi bagaimana seorang senior mengembangkan jaringan yang dimi-
liki untuk membuka jalan bagi para kolega dan juniornya. Dengan relasi yang
beliau miliki, banyak sekali jaringan yang terbuka dan dapat dimanfaatkan.
Saya sendiri mendapatkan berkah dari persahabatan beliau dengan Prof. Yang
Seun Yoon, kolega beliau dari Korea. Melalui Prof. Yang, saya dan teman-teman
Jurusan Ilmu Komunikasi mendapat kesempatan untuk mengenal lebih jauh
komunitas akademik di Korea. Demikian pula dengan persahabatan beliau
dengan teman-teman dari kolega Singapura dan Amerika yang saya ingat saat
itu sangat mewarnai atmosfer internasional di Fisipol. Pak Mohtar telah me-
letakkan dasar-dasar pengembangan kerjasama internasional untuk Fisipol.
Beliau menginspirasi pentingnya jejaring internasional dalam pengembangan
kelembagaan akademik.

Pak Mohtar dalam karirnya—sejauh yang saya ketahui—pernah menjabat


sebagai Direktur di berbagai pusat studi, mulai dari Pusat Studi Sosial Asia
Tenggara (PSSAT); Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD); juga Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian (PSKP) di UGM. Kiprah sebagai kepala pusat studi
juga menunjukkan komitmen beliau pada perkembangan riset dan pengabdian
pada masyarakat untuk kajian-kajian yang spesifik tentang isu-isu tersebut.
Saat ini, saya menjadi Kepala Pusat Studi (Kapusdi) untuk PSSAT dan karya-

38
karya penting beliau masih dapat dirasakan hingga saat ini. Network yang
telah dikembangkan menjadi modal kelembagaan yang sangat berharga bagi
pengembangan pusat studi.

Melihat jejak-jejak Pak Mohtar di banyak aspek dan dikontekskan pada


tantangan dunia akademik pada saat ini yang tak mudah, maka spirit dan
ke-teladanan yang telah beliau tunjukkan dapat menjadi inspirasi bagi siapa
saja yang akan meniti karir di bidang akademik. Kemampuan mengolah
dimensi tri dharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat,
menjadikan sosok Pak Mohtar tak diragukan menjadi seorang “academic
leader”—pemimpin akademik yang handal. Academic leadership menjadi satu
isu yang kuat saat ini. Terma ini memaknai kepemimpinan akademik sebagai
kemampuan kepemimpinan termasuk di dalamnya menciptakan visi dan misi
berbasis ilmu dan riset bagi penguatan organisasi akademik, membentuk ide
kreatif, dan memperkuat kerja tim dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Saya banyak belajar dari spirit pak Mohtar mengenai hal ini.

Dalam konteks substansi, Prof. MM sangat konsisten dalam karya akademik.


Berbagai karyanya digunakan sebagai basis pembelajaran di seluruh Indonesia
dan sumber pembelajaran mengenai Indonesia pada dunia. Beliau meletakkan
jejak-jejak akademik yang kuat dengan membuat buku-buku inti yang
memberikan pijakan mendasar, seperti Studi Hubungan Internasional, Ekonomi
Politik Internasional, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, dan bersama
kolega yang lebih junior menulis karya bersama berjudul Isyu-Isyu Global Masa
Kini dan Social Resources for Civility and Participation: The Case of Yogyakarta.
Saya masih teringat karya-karya beliau yang sangat mewarnai diskusi mahasiswa
ilmu politik di akhir tahun 1990-an seperti halnya Ekonomi-Politik Internasional
dan Pembangunan, Perbandingan Sistem Politik, Negara, Kapital dan Demokrasi.
Buku-buku tersebut telah mengantarkan dan memberi pemahaman bagi pem-
belajar bidang ilmu politik pada isu spesifik kajian HI ataupun politik secara
umum. Dan, ternyata tak beda dengan tahun-tahun tersebut, hingga sekarang
pun karya beliau sangat mewarnai dan menginspirasi komunitas akademik.

Tak hanya sukses dalam bidang subtansi, Prof. MM juga memberi warna
tersendiri dalam manajamen organisasi kampus. Beliau menjadi inspirasi da-
lam mendorong terbentuknya platform akademik yang dapat memfasilitasi
banyak kolega untuk melakukan penguatan dan membuka jalan bagi karir
akademiknya. Fakultas dan Jurusan beliau, Hubungan Internasional, menjadi

39
inspirasi bagi jurusan lain dalam pengembangan manajemen organisasi jurusan
dan penguatan network, saya kira ini tak lepas dari tangan dingin Pak Mohtar.

Lebih dari sekedar keteladanan Tri Dharma, yang selalu teringat dari sosok Pak
Mohtar adalah sikap beliau yang membumi, humanis, dan keceriaan yang selalu
beliau hadirkan di berbagai peristiwa dan momen, hingga budaya organisasi
egaliter di Fisipol tumbuh subur. Budaya organisasi yang menjadikan suasana
nyaman untuk berdiskusi di antara sesama kolega. Sebuah ruang bersama yang
memberikan atmosfer kebebasan berpendapat, saling mendukung, namun te-
tap kritis sesuai dengan karakter Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pak
Mohtar telah memperkokoh penguatan budaya organisasi bagi Fisipol dan ini
merupakan kontribusi beliau yang sangat penting bagi organisasi fakultas.

Menjadi satu kehormatan menuliskan testimoni untuk Pak Mohtar, saya sangat
berharap Pak Mohtar akan terus ada untuk Fisipol dan menemani pengem-
bangan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Usia pelayanan akademik
formal yang sudah mencapai purna semoga tidak menjadikan Pak Mohtar
berhenti untuk terus menginspirasi. Inspirasi dalam berbagai ragam lahan
pengabdian masih terus kami nantikan. Terimakasih untuk inspirasi yang terus
disebarkan dan selamat atas pencapaian konsisten yang telah Bapak capai.

40
Kesan-kesan pada Seorang Keluarga,
Kawan, Guru, Akademisi, dan Aktivis:
Pak Mohtar Mas’oed

Joyce Jacinta Rares


Bekerja sebagai pengajar di Program Studi Administrasi
Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dan di Program Studi Pengembangan Sumberdaya
Pembangunan (PSP) Pascasarjana, Universitas Sam
Ratulangi (Unsrat), Manado. Ia memperoleh gelar S1
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsrat
(1988); S2 di Pascasarjana Fisipol UGM (1996); dan
S3 di Pascasarjana FISIP Unpad (2013).

ertama kali mengenal Pak Mohtar ketika saya mengikuti Program PAU
(Pusat Antar Universitas) yang dilaksanakan oleh Pascasarjana Universitas
Gajah Mada pada tahun 1989. Saya mengikuti kegiatan tersebut kurang lebih
sebulan lamanya bersama teman-teman dari beberapa perguruan tinggi dan Pak
Mohtar adalah salah satu pengajar pada Program PAU tersebut. Tidak sempat
mengenal lebih jauh tentang beliau tapi paling tidak saya dan teman-teman
sudah tahu bahwa Pak Mohtar adalah salah satu dosen di Fisipol UGM. Sejak
mengikuti Program PAU di UGM saya berkeinginan untuk melanjutkan studi
ke jenjang S2 di Pascasarjana Fisipol UGM untuk menambah wawasan dan
pengetahuan saya sebagai dosen muda di FISIP Universitas Sam Ratulangi
(Unsrat), Manado. Maka, pada tahun 1992, saya mendaftar di Program
Pascasarjana Fisipol UGM dan diterima dengan Beasiswa TMPD.
Semenjak kuliah tahun 1992 sampai selesai pada tahun 1996, saya mengenal Pak
Mohtar Mas’oed dengan lebih dekat karena sering bertemu pada perkuliahan

41
dan mata kuliah yang diberikan oleh beliau waktu itu adalah Ekonomi Politik
Pembangunan. Kesan pertama saya bahwa beliau adalah seorang dosen yang
sangat baik, ramah, dan terlebih sangat tajam analisis pemikirannya. Beberapa
buku beliau yang kami baca, isinya sangat mendalam, dibangun atas kerangka
filosofis keilmuwan yang kuat, selalu dapat dibuktikan secara teoritik, mendetail
karena setiap penjelasan selalu diuraikan secara sistematis dan didukung dengan
data yang relevan, serta memiliki nilai kebaruan. Namun yang sangat penting
adalah meskipun tulisannya mendalam, tetapi mudah untuk dimengerti karena
disampaikan dalam bahasa-bahasa yang popular.

Meski demikian, di balik kepakarannya, Pak Mohtar ternyata juga seorang yang
amat humoris. Pernah suatu kali dalam perkuliahan (mata kuliah Ekonomi
Politik Pembangunan) beliau memberi materinya dengan sangat serius, kami
mahasiswa tahun pertama memang agak keteteran/tertinggal dalam mema-
haminya. Bahkan, sampai pada saat beliau sudah agak santai pemberian materi
kuliahnya dan dibarengi dengan contoh-contoh yang agak sedikit lucu sambil
tertawa, kami mahasiswanya pun masih serius. Hahahahaha.

Kemudian, di saat yang bersamaan, saya mengetahui bahwa beliau banyak me-
nulis artikel dimana-mana, juga menulis beberapa buku dan banyak lagi karya-
karya yang lainnya. Beliau seorang akademisi yang sangat produktif, per-nah
beliau mengatakan bahwa masih banyak tulisan-tulisannya yang belum dipub-
likasikan juga.

Pada tahun 2001, FISIP Unsrat membuat Program Magister Administrasi


Publik bekerja sama dengan Magister Administrasi Publik (MAP) UGM dan
ada beberapa dosen dari MAP UGM membantu memberikan mata kuliah di
MAP FISIP Unsrat, termasuk salah satunya Pak Mohtar Mas’oed. Beberapa
kali beliau datang ke Manado untuk mengajar/memberi kuliah, dan setiap kali
selesai kuliah, beliau selalu menyempatkan diri untuk berdiskusi ataupun ber-
cerita santai dengan mahasiswanya. Ada satu hal yang saya lihat dari Pak Mohtar
yang humoris ini, saya dan teman-teman mahasiswa sampai tertawa terpingkal-
pingkal karena banyak sekali cerita-cerita lucu yang sering muncul dari beliau.
Ketika sedang bercerita, terkadang kami bahkan sering bertukar cerita-cerita
lucu sampai-sampai beliau pernah mengetik dan menyimpan di ponselnya
saking lucunya. Beberapa cerita lucu dari kami yang kemudian beliau simpan
di ponselnya adalah cerita tentang orang sumbing naik bemo di Jakarta, orang
sumbing jadi guru ngaji, dan cerita Intel Madura. Hahahaha. Cerita lucu dari

42
beliau adalah soal kesalahpahaman antar dua orang karena perbedaan budaya,
yaitu cerita seorang pemuda yang bertamu ke sebuah keluarga kemudian salah
menjawab pertanyaan tuan rumah karena pertanyaan tersebut diinterpretasikan
dengan nilai-nilai budaya pemuda tersebut (mudah-mudahan Pak Mohtar ingat
cerita ini…).

Di sisi lain, beliau juga sangat ramah dan baik sekali yang terlihat dari gaya
bicaranya, tutur katanya, dan pandangan-pandangannya serta juga sangat
kebapakan (sangat kekeluargaan sekali). Oleh sebab itu, mantan mahasiswanya
di Unsrat, termasuk saya, sangat mengenal beliau dan tak pernah lupa dengan
beliau. Selain sangat kebapakan, ternyata beliau juga adalah seorang kakek yang
sangat sayang kepada cucu-cucunya. Ini berdasarkan pengalaman dari teman
kami yang pernah berkunjung ke rumah beliau dan melihat secara langsung
bagaimana cucu-cucu mengganggu beliau, tetapi Pak Mohtar tetap sabar dan
melanjutkan bercerita dengan teman kami.

Yang paling kami hargai dari beliau adalah konsistensi dan integritasnya seba-
gai seorang akademisi yang tidak pernah “tergoda” dengan urusan-urusan
prag-matis. Meskipun kami yakin, seandainya beliau mau, maka hal itu pasti
dapat beliau raih. Bagi saya, sebagai seorang Guru Besar di bidang Ilmu Politik,
Prof. Dr. Muhammad Mohtar Mas’oed adalah seorang intelektual yang telah
membuat batas-batas antara ruang akademik dan aktivisme luruh.

Saya sangat berharap bahwa di UGM, khususnya di Fisipol UGM maupun


Pascasarjana MAP UGM, nanti akan muncul lagi Pak Mohtar-Pak Mohtar yang
lain, yang muda-muda, yang produktif untuk pengembangan, kemajuan ilmu
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas kemasyarakatan seperti apa yang beliau
lakukan selama ini. Saya juga ingin berterima kasih kepada Pak Mohtar yang
pernah membagi ilmu serta pengalaman sebagai dosen, sekaligus rasa bangga
saya pernah menjadi anak didiknya.

Akhir kata, untuk Pak Mohtar, selamat memasuki masa purna tugas. Insyaallah
selalu diberikan kesehatan yang baik, kebahagiaan lahir batin bersama keluarga
tercinta, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin, YRA.

43
Di Balik Drama “Penculikan”
24 Jam di Ambon

Jusuf Madubun
Sejak 1991, berprofesi sebagai dosen tetap di FISIP
Universitas Pattimura dan saat ini dipercaya sebagai
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
Universitas Pattimura Periode 2017-2020. Ia mem-
peroleh gelar pendidikan S1 dari Ilmu Pemerintahan di
FISIP Universitas Pattimura pada 1990, S2 dari Ilmu
Politik di Program Pascasarjana UGM pada 1997, dan
menyelesaikan Program Doktoral Administrasi Publik di
Universitas Negeri Makassar pada 2017.

wal pertemuan dengan Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, yang akrab disapa
Pak Mohtar, terjadi 1992 ketika saya mengikuti kursus internship Studi
Wilayah di Pusat Antar Universitas Studi Sosial UGM (PAU-SS-UGM). Pak
Mohtar adalah salah satu pengajar pada kursus tersebut. Kebersamaan dengan
beliau berlanjut di tahun 1995, sewaktu saya menempuh studi S2 pada Program
Pascasarjana Ilmu Politik UGM.

Saya mengenal Pak Mohtar sebagai sosok dosen senior yang kalem, ramah, dan
peduli kepada mahasiswanya. Ingatan beliau terhadap mahasiswanya begitu ku-
at, dan di mata saya beliau adalah sosok guru, bapak, sekaligus kawan. Beliau
adalah orang yang sangat displin, baik dalam proses perkuliahan, maupun ke-
tika proses konsultasi draf tesis saya. Bahkan dalam urusan mata kuliah, beliau
sangat selektif dan objektif dalam memberi nilai, sampai-sampai ada persepsi
di kalangan mahasiswa saat itu, bahwa sulit sekali memperoleh nilai A untuk
mata kuliah Pak Mohtar. Akibat persepsi itu, banyak mahasiswa di kelas kami
yang tidak mau mengambil mata kuliah beliau. Walaupun begitu, saya dan dua
teman memberanikan diri mengambil mata kuliah Politik Asia Tenggara yang

44
beliau ampu, dan ternyata persepsi yang berkembang itu sesungguhnya tidak
benar karena saya bisa lulus dengan nilai A.

Sepanjang interaksi dengan beliau, saya tidak pernah melihat beliau marah atau
menolak kedatangan saya yang sering “tidak tahu diri” memaksa berkonsultasi
di waktu-waktu super sibuk beliau. Beliau selalu melayani saya dengan ramah,
tak hirau di depan ruang kerja beliau. Bahkan, saya pernah mencegat beliau ke-
tika baru turun dari Daihatsu Feroza-nya di teras depan pintu masuk gedung
kantornya. Penggalan cerita berikut adalah bukti lain bagaimana “susahnya”
untuk mendapati seorang Pak Mohtar marah.

Pada 1998, kala itu Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto baru saja
tumbang dan Indonesia sedang berada di tengah hiruk-pikuk transisi politik,
penggalan kisah yang mewarnai perjalanan akademik dan aktivisme Pak Mohtar
di Maluku yang saya sebut sebagai drama “penculikan” sedang diukir. Ceritanya
berawal dari beberapa pakar politik UGM, di antaranya Pak Mohtar sendiri, Pak
Riswandha Imawan (Pak Ris), dan Pak Cornelis Lay (Pak Conny), yang menjadi
narasumber di kegiatan orientasi tugas dan fungsi DPRD kabupaten/kota di
Maluku. Dua hari menjelang keberangkatan beliau-beliau ke Masohi (ibukota
Kabupaten Maluku Tengah), saya dan beberapa teman dosen FISIP Universitas
Pattimura (Unpatti), alumni S2 UGM, dan alumni kursus PAU-SS-UGM
menyambangi Pak Mohtar di Hotel Amboina, tempat beliau menginap, pada
malam hari untuk meminta kesediaan beliau dan Pak Ris memberi kuliah umum
di FISIP Unpatti pada keesokan paginya. Beliau sangat senang menyambut
permintaan kami, tetapi beliau bertanya tentang kepastian keberangkatan
ke Masohi karena berdasarkan rencana, esoknya pukul jam tujuh pagi beliau
bersama rombongan Badan Diklat Provinsi Maluku selaku host seharusnya su-
dah berangkat dengan kapal feri ke sana. Kami menginformasikan kepada beliau
bahwa esok jam dua siang ada jadwal kapal feri ke Masohi. Akhirnya, karena rasa
cintanya pada dunia kampus dan keinginan bereuni dengan murid-muridnya,
beliau pun memenuhi permintaan kami. Selanjutnya, kami mengajak beliau
dan Pak Ris keluar hotel sebentar sekadar makan nasi padang.

Keesokan harinya, kira-kira jam delapan pagi, di saat saya sudah bersiap untuk
pergi bersama teman untuk menjemput beliau dan Pak Ris, tiba-tiba telepon
rumah saya berdering. Ternyata ada seorang teman yang menyampaikan bahwa,
sesuai informasi yang diperoleh, tidak ada jadwal keberangkatan kapal feri ke
Masohi pada hari itu, baik pada siang maupun sore hari, kecuali hanya kapal

45
motor pada jam sepuluh pagi. Tentu saja kami panik dan segera menuju hotel
menjemput beliau berdua, sambil menginformasikan pembatalan kuliah umum
ke teman-teman di kampus. Dengan terburu-buru, beliau berdua pun berkemas
dan check out dari hotel dengan tujuan Pelabuhan Penyeberangan Hurnala di
Desa Tulehu yang ditempuh dalam waktu empat puluh lima menit dari pusat
Kota Ambon. Namun tak disangka, setibanya di Pelabuhan Hurnala, muncul
kepanikan untuk kedua kalinya karena ternyata tidak ada pelayaran kapal pada
jam sepuluh pagi itu. Menurut petugas pelabuhan, kapal baru akan berangkat
pada jam sembilan malam. Perasaan saya dan teman-teman pada waktu itu
bercampur-baur karena panik, takut dan tak enak hati membayangkan jangan-
jangan beliau berdua akan marah karena kami dianggap mempermainkan beliau
berdua, sehingga kami tidak berani berkata sepatah katapun selain memandangi
satu sama lain.

Namun demikian, dengan sabar dan lapang dada, beliau memutuskan kembali
ke kampus untuk memberi kuliah umum yang semula telah dibatalkan. Sebe-
lum kembali ke mobil, kami mampir di warung tenda yang berjejer di daerah
pelabuhan untuk menyantap nasi kuning karena kami semua belum sarapan
pagi akibat sebelumnya panik dan terburu-buru. Di dalam perjalanan kembali
ke kampus, rasa was-was saya dan teman-teman muncul kembali. Kami kha-
watir peserta kuliah umum sudah meninggalkan kampus. Alhamdulillah, ter-
nyata kekhawatiran kami tidak terbukti karena setibanya kami di kampus,
beliau berdua disambut dengan hangat oleh civitas akademika. Selanjutnya, Pak
Dekan menerima beliau berdua di ruang kerjanya, dan setelah berbincang be-
berapa saat, beliau berdua terpaksa mengganti pakaian di toilet ruang dekan
karena sebelumnya hanya menggunakan pakaian santai. Akhirnya, kuliah umum
pun berlangsung dengan lancar dan, karena saking antusiasnya peserta, kegiatan
ini berlangsung lebih dari empat jam, itupun sudah dibatasi oleh moderator.
Setelah makan siang beliau berdua beristirahat di guest house Unpatti. Setelah
salat Maghrib, kami menuju Pelabuhan Hurnala untuk menyeberang dengan
Los Angeles, nama kapal motor yang kami tumpangi menuju Pelabuhan Amahai.

Menjelang jam dua dini hari, kapal kami bersandar mulus di Pelabuhan Amahai.
Selanjutnya dalam kondisi mengantuk berat, kami meneruskan perjalanan da-
rat ke Masohi yang berjarak kurang lebih 7,7 km atau membutuhkan waktu
tempuh sekitar tiga belas menit. Setibanya di Masohi, kami langsung mencari
hotel. Pada waktu check in, menurut resepsionis, semua kamar telah ditempati

46
oleh anggota DPRD peserta orientasi, dan hanya tersisa tiga kamar standar.
Maka, beliau berdua pun rela menempati kamar tersebut yang minim fasilitas
untuk ukuran beliau berdua selaku narasumber, dan saya dengan teman menem-
pati satu kamar tersisa.

Ketika pagi tiba, seluruh anggota DPRD peserta orientasi sudah bersiap-siap
di lobi hotel menunggu jemputan. Pak Mohtar juga berada di tengah-tengah
mereka, tetapi umumnya mereka belum mengenal beliau. Akhirnya, semuanya
terkejut ketika jemputan tiba. Pegawai Badan Diklat yang menjemput terpe-
rangah seakan tak percaya bahwa yang berdiri dihadapannya adalah sosok
Pak Mohtar, orang yang dicari-cari dan dikhawatirkan keselamatannya se-jak
kemarin. Dia pun menyapa beliau dengan penuh kegirangan. Ekspresi kegi-
rangannya dapat dimengerti karena hampir 24 jam mereka kehilangan kontak
dan informasi keberadaan Pak Mohtar dan Pak Ris. Drama “penculikan” pun
berakhir, Pak Mohtar bersama rombongan anggota DPRD menumpang bis
menuju Gedung DPRD tempat kegiatan berlangsung untuk mengisi jadwal
orientasi.

Menurut penuturan yang kami dengar, selama lebih kurang 24 jam kebersamaan
kami dengan Pak Mohtar dan Pak Ris, pimpinan Badan Diklat sangat panik dan
cemas terhadap keselamatan beliau berdua maupun terhadap keberlangsungan
jadwal kegiatan orientasi. Pegawai yang diberi tugas untuk menjemput dan
mengantar Pak Mohtar dan Pak Ris ke Masohi diberi informasi oleh resepsionis
bahwa keduanya telah dijemput oleh beberapa orang (yang adalah saya dan
teman-teman) dan dibawa ke Pelabuhan Hurnala untuk menyeberang ke Maso-
hi. Memperoleh informasi seperti itu, pegawai tersebut menginformasikan ke-
pada pimpinannya dan seketika itu semuanya panik karena ternyata tidak ada
jadwal keberangkatan kapal pada saat tersebut. Oleh pimpinan, pegawai tersebut
diperintah mengecek keberadaan beliau dan Pak Ris di hampir semua hotel di
Kota Ambon. Tetapi sudah tentu pencarian mereka sia-sia, karena beliau berdua
ada dalam “penculikan” tak terencana kami.

Demikianlah, penggalan cerita kebersamaan kami bersama Pak Mohtar: guru,


bapak, sekaligus kawan yang selama ini terukir dalam ingatan saya. Mudah-
mudahan catatan pendek ini memperkuat kembali memori beliau tentang
sosok murid-muridnya di Timur Indonesia, di Kota Ambon Manise yang per-
nah belajar tentang ilmu dan kehidupan di Kota Gudeg Yogyakarta. Semoga
apa yang telah diajarkan beliau menjadi bekal bagi kami dalam meneruskan

47
pengabdian kepada bangsa dan negara, serta kemanusiaan.

Di akhir catatan ini, izinkan kami menitip salam hormat kepada Pak Mohtar,
disertai do’a semoga beliau senantiasa diberi kesehatan, dan kebahagiaan
bersama keluarga dibawah lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal’alamiin.

48
Pak Mohtar:
Guru, Orang Tua dan Atuk
dari Mohtar, Yahya, dan Amal

Khairul Anwar
Selain berprofesi sebagai dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan
dan Pascasarjana Universitas Riau, ia aktif di beberapa
LSM di Riau, menjadi reviewer LPPM UNRI, dan
menjabat Wakil Dekan III Fisip UNRI 2019-2023.
Semasa S2 dan S3 di Ilmu Politik Pascasarjana UGM,
beliau dibimbing oleh Prof. Dr. Mohtar Mas’oed.

enerima surat undangan dari Ketua Departemen Ilmu Hubungan


Internasional Universitas Gadjah Mada (DIHI UGM) tanggal 17
September 2019 terkait agenda purna tugas Prof. Dr. Muhammad Mohtar
Mas’oed, MA, hati saya paling dalam seakan-akan tidak percaya. Serasa
baru kemarin kita berdialog di kelas, Profesor menyandang tas ransel sambil
membawa buku, kami membawa ransel, dan sekarang Pak Mohtar sudah purna
tugas, cepat sekali terasa. Terus terang, kami merasa kehilangan, kehilangan
sosok dosen yang baik. Perasaan saya ingin mengatakan, “Pak, jangan dulu,
saya ingin belajar terus dengan Bapak, saya mohon izin untuk bertanya terus
pada Bapak tentang semua problem ketidaktahuan dalam hidup ini dan niat
mengembangkan ilmu pengetahuan politik yang Bapak berikan kepada kami.”

Kegelisahan itu muncul, berawal di tahun 1991, ketika kami datang ke Yogyakarta
dengan tujuan mengikuti Program Internship Studi Pembangunan Pusat Antar
Universitas (PAU-UGM). Sejak itulah, saya mengenal Prof Mohtar Mas’oed
MA. Kami memanggilnya Pak Mohtar. Sebelumnya, saya hanya mengetahui
sosok dosen yang baik ini melalui buku-buku, seminar, dan tulisan makalahnya.
Pada hari pertama jumpa Pak Mohtar ketika mengikuti program PAU-
UGM, saya langsung jatuh cintaakan kesederhanaannya, kerendahhatiannya,

49
kecerdasannya, ilmu yang dalam, dan keakrabannya dengan siapa saja. Saya
merasakan, sebagai orang yang baru menjadi dosen, sosok orang yang baik
ini adalah idola saya, sumber inspirasi, dan panutan. Hal ini bukan saya buat-
buat, tapi muncul dari hati yang paling dalam. Secara diam-diam, hati saya
mengatakan ingin seperti beliau. Sebagai orang yang berasal dari daerah, saya
merasakan betul bagaimana pengetahuan politik yang saya ketahui berubah
180 derajat. Bukan hanya pengetahuan, tapi juga kepribadian dan tingkah laku
dalam mengajar juga turut berubah, dari seadanya menjadi sungguh-sungguh
dan ikhlas. Meminjam bahasa panitia acara ini, “mampu meretas batas-batas
ruang akademik dan aktivisme.”

Dalam setiap kesempatan, saya selalu menggebu-gebu ingin berinteraksi dengan


Pak Mohtar atau masuk ke perpustakaan mencari karya-karya ilmiah Pak Dosen
baik ini untuk dibaca, difotokopi, dan dibawa ke Riau. Selama lebih kurang tiga
bulan kegiatan belajar itu berakhir. Saya merasa cepat sekali proses itu berakhir
sehingga bertekad ingin kembali ke UGM mengikuti pendidikan Strata 2
Pascasarjana. Lagi-lagi, Pak Mohtar menjadi tempat mengadu, memohon men-
dapat rekomendasi. Saya bertekad akan kembali lagi ke Yogyakarta. Memang
dosen yang nantinya akan membimbing saya ini orangnya baik hati. Tanggal
19 Maret 1991, surat dukungan saya dapatkan. Sampai di Pekanbaru, surat
rekomendasi dari Prof. Mohtar langsung saya bawa pada Dekan Fisipol
Universitas Riau (UNRI) pada waktu itu, (alm.) Dr.H. Raja Syofian Samad,
MA. Pak Dekan mengatakan “Kamu orang yang beruntung, bangun terus
komunikasi dengan beliau, ya.” Itulah nasehat Almarhum. Semua pengalaman
semasa berinteraksi dengan Prof. Mohtar saya ceritakan kepada Ibu dan Ayah
(ketika itu saya belum menikah) dan kolega di Jurusan, ada kebanggaan dapat
berguru dengan Profesor pembimbing saya tersebut.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, pada tahun 1994, saya menerima panggilan
diterima Program S2 Pascasarjana Ilmu Politik UGM dengan pembimbing Prof
Mohtar Mas’oed MA dan Prof. Ichlasul Amal, MA. Surat ini membuat hati
senang sekali meskipun diterima tanpa Beasiswa TMPD dan berusaha mencari
dana pendidikan ke universitas dan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak
dengan dukungan Fakultas dan Jurusan tempat bekerja. Alhamdulillah, selama
setahun dapat berjalan sendiri dan tahun kedua baru memperoleh beasiswa
TMPD. Selama belajar di S2 Ilmu Politik, kami sering berinteraksi dengan Pak
Mohtar, tidak hanya di kampus tetapi ditawari juga ke rumah Prof. Mohtar di

50
Nogotirto. Kadang-kadang, saya mengikuti Pak Mohtar menyajikan makalah
ke Klaten. Selama di perjalanan, kami makan bakso, berdiskusi, dan bercerita
banyak hal termasuk dalam menghadapi kehidupan ini. Saya banyak belajar
dari pembimbing ini, tentang apa artinya ilmu pengetahuan, tidak hanya ilmu
politik, tetapi juga dalam menghadapi masyarakat banyak yang sehari-hari
dijumpai. Setiap jam mata kuliah Pak Mohtar saya hadir, tidak hanya yang
mata kuliah wajib, tetapi juga mata kuliah-mata kuliah pilihan. Tidak hanya
yang belum lulus, tetapi juga sudah lulus pun diambil (diikuti) lagi. Begitulah
senangnya belajar dengan Pak Mohtar selama di Yogya, sehingga teman satu
kosan mengatakan saya selama di Yogya hanya tahu tiga tempat saja yaitu, kam-
pus Fisipol, perpustakaan dan masjid. Kemudian dalam menyelesaikan tesis ju-
ga, saya dituntun betul-betul dalam menulis, menggunakan Bahasa Indonesia
yang baik dan benar dan bermetodologi. Dalam kesempatan diskusi panjang
lebar di rumah Pak Pembimbing ini, kadang-kadang banyak cerita peristiwa di
Riau yang kami diskusikan. Pengalaman belajar dengan Pak Mohtar tersebut
akhirnya melahirkan tesis “Daerah Pinggiran dan Kapitalisme Internasional:
Beberapa Peluang yang Dapat Dimanfaatkan Pemerintah Daerah Kepulauan
Riau.” Tesis ini, alhamdulillah, dapat dibukukan juga berkat dukungan pem-
bimbing pertama ini.

Setelah menyelesaikan sekolah S2, saya pulang ke Pekanbaru, Riau, dan kembali
ke kelas mengampu mata kuliah, salah satunya ekonomi-politik (ekopol) yang
materi kuliahnya sebagian besar saya dapatkan dari literatur Prof. Mohtar.
Sebagai pengampu mata kuliah Ekopol di S2 Ilmu Politik, Prof Mohtar adalah
tempat kami berdiskusi mengembangkan kurikulum perkuliahan. Beliau selalu
mengingatkan bagaimana pentingnya mengkaji studi-studi kasus di Riau.
Alhamdulillah, hingga saat ini sudah banyak karya ilmiah baik berupa tesis,
disertasi, buku-buku yang dihasilkan dalam konteks perspektif ekopol di UNRI.

Bersama Andi Yusran dan teman-teman lainnya yang pernah dibimbing


Prof. Mohtar di Fisipol UNRI, kami menginisiasi berdirinya S2 Ilmu Politik
Pascasarjana UNRI. Berkat dukungan Pimpinan Dekanat (alm.) Dr.H.Raja
Syofian Samad, MA dan Rektor UNRI Prof. Dr. Muchtar Ahmad M.Sc., pada
akhirnya Program S2 Ilmu Politik UNRI berdiri. Proses ini pun tak luput da-ri
hasil diskusi dan kontribusi Prof Mohtar sebagai dosen luar biasa bergelar Guru
Besar yang mengajari di Program S2 Ilmu Politik dengan konsentrasi Manajemen
Pemerintahan dan Ilmu Hubungan Internasional. Dalam Program Studi ini,

51
saya satu tim dengan Pak Mohtar sebagai pengampu mata kuliah Ekonomi-
Politik Pembangunan. Ketika suatu waktu pembimbing saya ini berkunjung
ke Pekanbaru-Riau, kami menyempatkan diri berpetualang ke kampung
halaman Siak, Sri Indrapura (sekitar 100 km dari Pekanbaru). Kunjungan ini
dimaksudkan untuk mempererat silaturahmi antara Pak Profesor dengan Ibu
dan Ayah saya, Hj. Hafsah bin H. Muhammad dan H. Jumaali B., beserta sa-
nak keluarga di Siak. Perjalanan ini juga sekaligus sarana belajar mengobservasi
ide terkait perkembangan lingkungan di Riau, dengan harapan memberikan
inspirasi dalam banyak hal di kampus.

Meskipun tak lagi menetap di Yogyakarta, komunikasi saya dengan Pak Mohtar
tetap berjalan dengan baik, antara lain melalui telepon. Ketika istri saya
melahirkan anak pertama, selain ayah dan ibu di Siak, Pak Mohtar-lah orang
berikutnya yang segera saya telepon. Pada waktu itu, saya mengatakan, “Pak,
anak saya lahir. Laki-laki, sehat walafiat. Kira-kira apa nama yang baik untuk
diberikan kepada anak ini, Pak?” Pak Mohtar ketika itu mengatakan, “Baiklah
nanti saya cari nama-nama yang baik, Rul.” Selang beberapa hari, saya kembali
lagi menelepon Prof. Mohtar. Saya mengatakan, “Pak, saya mau memberi nama
anak itu Mohtar, Pak, dan saya ingin tahu Mohtar itu artinya apa.” “Oooh,
itu maksudnya,” kata Profesor ini. Pak Mohtar menjelaskan artinya pemimpin,
pilar. Lalu, anak ini diberilah nama Mohtar Anwar agar orangnya tenang,
cerdas, rendah hati, pokoknya seperti Pak Mohtar. Saya berdoa kepada Allah
semoga anak ini seperti Prof Mohtar. Sekarang, Mohtar Anwar, alhamdulillah,
telah lulus ujian skripsi di Fakultas Teknik Sipil di Universitas Riau tanggal 22
Oktober 2019. Pengalaman ini terus berlanjut, dengan memberi anak-anak saya
nama-nama dosen di Fisipol UGM: anak kedua saya beri nama Yahya Saefullah
Anwar dan anak ketiga diberi nama Muhammad Amal Anwar.

Pada tahun 2004, saya mendapat kesempatan kembali belajar di UGM dengan
mengikuti program Doktoral S3 Ilmu Politik. Kesempatan ini memberikan
harapan lebih banyak terlibat diskusi dengan Prof. Mohtar sebagai promotor
pertama. Selain itu, dengan dosen-dosen yang juga saya banggakan: Prof. Dr.
Ichlasul Amal, MA dan Dr. Ketut Putra Erawan, MA. Setahun kami menetap di
Yogya, meski setelah itu dalam praktiknya lebih banyak bolak-balik dari Bogor
ke Yogyakarta (karena anak-anak bersekolah di Bogor dan istri bersekolah S2
di Institut Pertanian Bogor). Kadang-kadang kami naik bis, dari Yogya ke Pe-
kanbaru. Dalam kondisi ini, lagi-lagi Pak Mohtar jadi tempat mengadu, beliau

52
selalu mengingatkan pentingnya studi sekaligus keluarga di Bogor dan Siak.
Nasehat ini manjur betul buat saya dalam menyelesaikan sekolah semasa S3.
Berjumpa dengan Profesor saya ini, semua masalah menjadi ringan dan cair.
Saya sangat senang ketika setelah konsultasi, Profesor saya ini mengizinkan
menyelesaikan revisi di Bogor. Selesai diskusi misalnya pukul 22.30, maka pu-
kul 24.00 langsung ke Stasiun Tugu Yogya menunggu kereta api dari Malang
atau Surabaya dengan tujuan Jakarta. Tak jarang saya menjadi penumpang ge-
lap, yang penting paginya sudah di Bogor. Suatu saat, saya sudah berjanji akan
berkonsultasi, tetapi anak saya sakit demam. Profesor pembimbing saya ini
mengingatkan agar selesaikan dulu urusan di Bogor, baru ke Yogya. Kenangan-
kenangan ini yang membuat saya sekeluarga tak dapat melupakan Pak Mohtar.

Dalam menulis disertasi, terus terang saya banyak mendapat bimbingan dan
dukungan dari promotor, sejak memilih ide menulis mengenai kelapa sawit di
Riau hingga menyelesaikannya. Ide riset yang terus terang tidak terpikirkan
oleh saya yang sehari-harinya berada di tengah-tengah kebun kelapa sawit. Saya
memandang kepala sawit sebagai persoalan pertanian. Prof. Mohtarlah yang
membuat pertanyaan, misalnya, “Mengapa banyak sawit ya, Rul, di Riau ini?”
Pertanyaan itu yang menjadi “misteri” dan pembimbing saya menawarkan
dimensi politik dari fenomena ekonomi kelapa sawit. Diskusi ini terus ber-
kembang hingga sampai analisis, melaporkannya, dan ujian disertasi. Cara
pandang ini pun mulai membuka mata mahasiswa S1, S2 dan S3 untuk mengkaji
kelapa sawit dalam perspektif ekopol. Karena itu, di hadapan pembimbing, saya
lebih sering memposisikan diri sebagai keluarga daripada ilmuwan. Karena
seringkali “malu hati”, belum saya menjelaskan, Pak Mohtar sudah tahu apa
yang hendak saya katakan.

Pengalaman bimbingan dan belajar dengan Profesor saya ini menjadi motivasi
dalam proses belajar mengajar di Fisip UNRI. Alhamdulillah, sudah delapan
buku yang saya hasilkan, beberapa makalah lokal, regional dan internasional,
serta beberapa jurnal nasional dan internasional bereputasi. Dalam kurun waktu
2011-2018, saya mendapat hibah bersaing Strategis Nasional (STRANAS),
Riset Unggulan DPRPM dan Perguruan Tinggi, MP3EI, Penelitian Strategis
Nasional, INSINAS, serta menjadi reviewer di LPPM UNRI. Pada tahun 2018,
saya terpilih sebagai Dosen Terbaik I di bidang Sosial-Humaniora di UNRI.

Dalam kesempatan yang baik ini, saya mohon maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafan. Kami sekeluarga selalu berdoa semoga Bapak dan keluarga mendapat

53
lindungan-Nya, sehat wal’afiat, ilmu pengetahuan yang pernah Bapak berikan
pahalanya akan terus mengalir dunia dan akhirat. Tak banyak yang dapat kami
katakan, izinkan, meskipun Bapak telah purna tugas, kami keluarga besar di
Pekanbaru dan Siak tetap ingin bersama Pak Mohtar sekeluarga.

Salam hormat dari saya sekeluarga, Pak. Wassalam.

54
Bapa dan Kisah
Abu Yazid Al-Bustomi:
Perjumpaan Seorang Murid
dengan Sang Guru

Luqman-nul Hakim
Saat ini, Luqman bekerja sebagai dosen di Departemen
Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
dan peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
(PSKP), Universitas Gadjah Mada.

agi sebagian besar orang, Profesor Mohtar Mas’oed—saya lebih


sering menyebutnya ‘Bapa’ saja—dikenal sebagai guru yang pandai
menyederhanakan persoalan, membuat yang rumit menjadi mudah. Saya tidak
sepenuhnya setuju.
Sebagai seorang murid, proses pembelajaran atau perjumpaan intelektual saya
dengan beliau terbilang agak ganjil. Ini mengingatkan akan cerita klasik masa
kecil—yang mungkin saja mitos belaka—tentang sufi dan wali besar Persia, Abu
Yazid Al-Bustomi (804-875 M). Dalam suatu munajatnya ia bertanya kepada
Tuhan: “Siapa kawanku kelak di surga?” Setalah dijawab Tuhan, sang sufi pun
mencari orang yang dimaksud itu. Namun, betapa kecewa ia ketika mendapati
orang yang dicarinya tidak seperti dirinya yang terkenal sebagai ahli ibadah
dan ahli ilmu. Ia hanyalah orang biasa yang kerap berkumpul dengan orang-
orang fasik, para pendosa. Keraguan dan kekecewaan sang sufi sirna ketika
orang itu memanggil: “Kaulah temanku kelak di surga. Kemarilah!” Ia bercerita
bahwa Tuhan mencintainya karena telah bersabar menemani para pendosa dan
memberi pengharapan dengan sifat kasih Tuhan, lalu berujar: “Setengah dari
mereka kini sudah bertaubat, sisanya menjadi tugasmu, Abu Yazid!” Dengan
percaya diri sang sufi pun menerima tantangan itu. “Bawalah mereka semua ke
sini agar melihat wajahku. Kalau mereka tidak bertaubat, jangan panggil aku

55
wali, sang kekasih Allah!” Sebagai murid Prof. Mohtar yang awam, saya kerap
membayangkan diri sebagai pendosa dalam kisah itu yang terdorong untuk
belajar sungguh-sungguh hanya dari mendengar namanya saja—hampir tanpa
belajar formal di kelas-kelasnya.

Saya bisa memastikan bahwa beliau tidak pernah membaca paper atau memberi
nilai selama kuliah—karena saya memang tidak pernah (berani) mengambil
kelasnya kecuali sit-in. Ketika saya masuk kuliah pada 2002, beliau sedang
menjadi dosen tamu di Jepang hingga beberapa waktu lamanya. Saya hanya
mendengar namanya disebutkan berkali-kali dalam lingkaran diskusi di kantin
yang berisi orang-orang pintar yang membuat saya minder. Saat awal masuk
kuliah, saya diliputi banyak kekacauan: pengalaman “buruk” kuliah di tahun
sebelumnya yang membuat saya pindah jurusan, kejenuhan akan sebagian
besar mata kuliah semester awal di jurusan baru, dan kebimbangan untuk
pindah ke jurusan eksakta (Matematika atau Teknik Fisika) yang memang
menjadi passion saya sesunguhnya. Perjumpaan dengan buku-buku Prof.
Mohtar, yang sebagian besar saya dapatkan dari pusat buku loak di belakang
Malioboro, pada pertengahan semester dua menjadi salah satu momen penting.
Diawali dari bukunya, Perbandingan Sistem Politik, lalu Negara, Kapital dan
Demokrasi hingga disertasinya Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, saya
khatamkan semua di tengah jenuhnya kuliah-kuliah semester awal. Proses ini
tidak hanya memantapkan saya untuk tidak pindah jurusan lagi tetapi juga
seperti mengarahkan minat studi saya pada kajian perbandingan politik, studi
Indonesia, dan perspektif ekonomi-politik.

Tentu saja pengetahuan yang didapatkan dari membaca buku-bukunya saat


itu masih sangat terbatas. Para pemikir dan teori-teori yang disebutkan asing
semua. Namun, ada dua hal yang benar-benar membekas dalam diri saya
waktu itu. Pertama, semua buku-bukunya ditulis dengan lebih mengutamakan
kerangka analisis yang sangat kuat. Bagi bocah yang banyak belajar ilmu ek-
sakta di sekolah, kerangka analisis semacam itu mirip seperti formula atau
theorema yang bisa digunakan untuk memahami banyak hal dan bisa diotak-
atik secara kreatif. Ini mengubah cara pandang saya akan ilmu-ilmu sosial: dari
yang sebelumnya sangat asing dan tak ternalar, menjadi arena atau objek yang
bisa dipahami jika ada kerangka analisis. Kedua, dalam sebuah Kata Pengantar
bukunya (seingat saya dalam Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru), beliau
menyebutkan bahwa motivasinya melakukan penelitian disertasinya adalah ka-

56
rena ketidakpuasan (akan kajian-kajian yang ada). Entah bagaimana prosesnya,
formulasi ‘ketidakpuasan sebagai dorongan’ yang saya temukan dalam buku itu
membuat saya menemukan titik terang bagi kekalutan yang saya hadapi. Saya
mulai menyadari bahwa ketidakpuasan dan keminderan yang saya alami waktu
itu mesti menjadi dorongan untuk belajar sungguh-sungguh—tentu laku itu
sebagian besar saya lakukan secara otodidak.

Anehnya, pertemuan langsung pertama dengan beliau dalam suatu kelas, ber-
jalan cukup mengecewakan. Sebagai mahasiswa muda yang bersemangat, saya
mengajukan suatu pertanyaan sok cerdas yang menurut saya sangat penting
untuk didiskusikan. Beliau tidak menjawab itu secara langsung (malah tampak
enggan melakukannya), namun membahas beberapa lapis luar dari inti per-
soalan yang diajukan. Saya ceritakan kekecewaan saya pada kawan-kawan
diskusi di kantin, sebagian besar lebih senior dari saya, dan tak ada satu pun
yang berkomentar. Setelah sekian lama, saya baru memahami bahwa cara itu
merupakan cerminan etik pribadi Bapa: bahwa kehadirannya tidak akan pernah
membuat satu orang pun di sekitarnya merasa terasing, terkeluarkan dari
pembicaraan dan perjumpaan, baik dalam pembahasan hal serius atau pem-
bicaraan santai.

Banyak sekali momen yang menunjukkan keteguhan beliau menjaga etik


ini yang saya saksikan, terutama setelah bersama beliau di Departemen Ilmu
Hubungan Internasional (DIHI) dan di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian
(PSKP). Barangkali hal inilah yang membuat banyak orang menilai Prof. Mohtar
dikenal sebagai orang yang mampu membuat mudah persoalan yang rumit,
membuat semua orang mudah memahami pokok bahasan. Namun, betapapun
umum hal-hal yang disampaikan beliau dalam suatu diskusi, kalau ditimbang
sungguh-sungguh sebenarnya seringkali menantang dan memaksa kita untuk
berpikir ulang. Karena itu pula, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan predikat
yang secara umum disematkan terhadap beliau. Saya masih ingat, dalam suatu
pertemuan pematangan kerangka analisis suatu program di PSKP, beliau tidak
mengkritik atau memberi usulan spesifik atas kerangka yang kami tawarkan.
Beliau hanya memberi bahasan-bahasan yang sifatnya umum. Namun, ketika
saya dan kawan saya, Bang Viki, yang bertanggung jawab atas program itu,
membahas kembali komentar beliau selepas pertemuan—itu menjadi topik
diskusi serius sampai dini hari di suatu warung kopi. Bagaimana mungkin
orang yang kerap memacu kami untuk berpikir kembali dan meragukan apa

57
yang sudah kami yakini, mesti disebut sebagai orang yang pandai memudahkan
persoalan sulit?

Dalam sebuah sesi akhir wawancara untuk keperluan disertasi saya di teras
rumahnya yang asri, setelah mendengar kerangka analisis yang digunakan dalam
kajian saya, beliau mengatakan:

“Seiring waktu, saya sudah tidak seperti dulu lagi. Ibaratnya, dulu
saya percaya kalau ada mendung pasti akan hujan. Sekarang, ya
belum tentu, ada banyak hal yang perlu ditimbang.”

Ada semacam aura kebanggaan dan rasa percaya diri yang luar biasa ketika
beliau mengatakan itu, yang semakin jelas terasa karena disampaikan dalam
momen yang sunyi—hampir tengah malam. Yang dimaksud dengan metafor
itu adalah bahwa saat ini beliau sudah tidak terlampau menganut perspektif
strukturalis. Tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa peralihan itu
merupakan hal baik atau tidak. Yang saya pahami dari momen pembicaraan itu
adalah bahwa sepertinya ia hendak menegaskan: “Saya juga terus berkembang!”

Dalam banyak kesempatan, Bapa juga kerap bertanya hal-hal terkait keluarga:
“Apakah kebiasaanmu dengan si kecil masih berjalan?” Saya pernah bercerita
kepadanya bahwa saya dan si kecil (Ishtar, 3 tahun) punya semacam ritual:
ia tidak pernah mau melepaskan saya pergi ke kantor sebelum mengajaknya
jalan keliling kompleks perumahan. Beliau selalu senang sekali mendengar bah-
wa kegiatan itu masih berlangsung. Namun, saya kira rasa senangnya bukan
semata-mata bentuk perhatian umumnya orang tua kepada seorang ayah muda,
seperti saya. Bagi saya, itu lebih seperti mengirim pesan yang sangat tegas: keep
doing good and be a great father!

Akhir kata, betapapun saya sangat mengagumi keilmuan beliau, kami hampir
belum pernah membahas banyak hal dengan sungguh-sunguh dan produktif,
bahkan hingga saat ini. Barangkali karena hal inilah yang membuat saya menulis
testimoni tentang Bapa dengan agak ganjil. Hal ini karena, terus terang saja, ada
lebih banyak keinginan untuk dilakukan bersama sang guru di masa mendatang
daripada mengenang hal-hal baik yang pernah kami lakukan bersama. Mungkin
saya sangat egois dengan harapan itu, namun dalam kondisi itulah doa-doa
terbaik untuk Bapa saya panjatkan.

58
Pak Mohtar dan Ikan Mujair Rica-rica

Mariana Erny Buiney


Mariana adalah alumni Departemen Ilmu Hubungan
Internasional (HI) Universitas Gadjah Mada angkatan
1998 dan bekerja sebagai dosen di Prodi HI Universitas
Cenderawasih, Jayapura, Papua sejak tahun 2006. Pada
tahun 2010, ia melanjutkan studi S2 di Australian
National University, Jurusan International Affairs.
Sekarang, ia menjabat sebagai Ketua Prodi HI di
Universitas Cenderawasih.

ertama kali masuk Jurusan HI UGM tahun 1998 dan bertemu Pak
Mohtar di ruang Jurusan, kesan pertama adalah sosok dosen yang
kebapakan dan kalem. Saya menyapa beliau dengan ucapan selamat pagi dan
dibalas dengan ucapan yang sama serta senyuman. Nada bicara cenderung pelan
dan tenang. Setelah pertemuan itu, dengar cerita tentang beliau sebagai dosen
senior yang terkenal dengan beberapa tulisannya dan kalau mengajar tegas.
Selain itu, beliau juga aktif sebagai pembicara di berbagai seminar.

Kami angkatan ‘98 menyebut beliau dengan singkatan Pak MM agar mudah
diingat dan diucapkan. Pak Mohtar mengajar kami mata kuliah Metodologi
Penelitian Hubungan Internasional. Saya langsung membeli buku beliau pada
saat akan mengambil mata kuliah tersebut dan dibaca berulang-ulang. Karena
mendengar cerita Pak MM tegas sehingga berpikir, “Wah, susah ini nilainya.”
Pertama kali beliau mengajar angkatan kami, kelasnya pagi hari jam 7.30 dan Pak
MM datang tepat waktu. Pada saat menyampaikan materi, suaranya tenang dan
cenderung pelan. Karena di daerah saya orang biasa berbicara dengan volume
suara yang agak keras jadi begitu mendengar suara Pak MM, di dalam hati
berucap: “Oh Tuhan, ini Bapak tipikal laki-laki Jawa banget sih, kalem, saking
kalemnya dan mengajar di pagi hari, lama kelamaan saya jadi mengantuk!”

59
Hahaha, mungkin terlena suara beliau. Pak Mohtar juga mengajarkan kami
mata kuliah Ekonomi Politik Internasional. Terus terang, kedua mata kuliah
yang beliau ajarkan cukup berat menurut saya. Jadi belajar mati-matian supaya
lulus. Puji Tuhan, bisa lulus dan dapat B! Hahaha. Gugupnya setengah mati
ketika membaca papan pengumuman nilai mata kuliah.

Tahun 2014, Pak Mohtar diundang sebagai salah satu pembicara dalam kegiatan
dialog toleransi antar agama yang diselenggarakan oleh salah satu Lembaga
Swadaya Masyarakat Yogya di Kota Jayapura, Papua. Saya dan seorang teman
yang juga alumni HI UGM 94, Kakak Melyana Pugu mendapatkan info bahwa
beliau ada di acara tersebut. Kami segera meninggalkan tempat kerja untuk
bertemu dengan beliau walau waktunya singkat. Pada saat itu jadwal kegiatannya
cukup padat sehingga kami diam-diam “menculik“ beliau untuk makan siang
bersama di Rumah Makan Yougwa di pinggir Danau Sentani. Obrolan santai
dan ringan bersama beliau sangat menyenangkan dan Pak MM menghabiskan
satu ekor ikan mujair rica-rica. Hahaha. Beliau terlihat sangat menikmatinya.
Sekitar satu jam makan siang dan saling bercerita, kami mengantarkan beliau
kembali ke tempat kegiatan.

Setahun kemudian 2015 saya ke Yogya lagi untuk reunian kecil dengan teman-
teman seangkatan. Kami mengundang beliau untuk makan siang bersama.
Ketika bertemu, ternyata Pak Mohtar masih mengingat nama saya, saya pikir
Bapak sudah lupa. Setelah selesai makan siang, Bapak berpesan kepada saya
yang diingat sampai dengan sekarang: “Kerja yang baik ya Mariana, anak-anak
muda di Papua masih membutuhkanmu.” Begitu mendengar, walaupun di
sela menikmati makanan penutup dan obrolan ringan tapi pesan itu bikin hati
senang dan terharu.

Akhir kata, terima kasih atas ilmu yang telah Bapak berikan untuk kami mantan
mahasiswamu. Senang dan bangga telah mengenal Bapak sebagai guru dan
orangtua yang tidak hanya membagikan ilmu dan pengalamannya, namun juga
memberikan pesan-pesan yang menjadi bekal serta kekuatan buat saya.

60
Mohtar Mas’oed:
Dosen Idaman yang Berdedikasi
Tinggi untuk Kemanusiaan

Melyana Ratana Pugu


Melyana berprofesi sebagai dosen Hubungan Internasional
di Universitas Cendrawasih Jayapura setelah menempuh
pendidikan S1 Ilmu Hubungan Internasional (Angkatan
1994) dan S2 Ilmu Hubungan Internasional (Angkatan
2002) di Universitas Gadjah Mada. Saat ini, ia sedang
menempuh program Doktoral di Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Padjajaran.

ebagai muridnya, baik di strata satu maupun strata dua Hubungan


Internasional Universitas Gadjah Mada (HI UGM), saya merasa sangat
diberi penghargaan berkontribusi dalam buku ini. Bagaimana tidak, Pak Mohtar
—atau di antara kalangan angkatan kami HI UGM yang masuk tahun 1994
sering memanggil beliau Pak MM—adalah sosok dosen idaman. Beliau bukan
hanya sosok bapak atau orang tua yang ramah, tegas dan konsisten dengan tugas
mengajar tetapi juga menjadi teman diskusi kami yang baik ketika ada hal yang
ingin kami tanyakan. Hal ini, bagi saya yang saat ini menjadi rekan kerja di
bidang Hubungan Internasional Universitas Cenderawasih, adalah hal langka
dan saya bersyukur mengenal dan menjadikan beliau guru saya sepanjang hayat.

Siapa Pak Mohtar Mas’oed (Pak MM)?


Saya ingat waktu itu, sebagai anak Papua di kampus Fisipol, banyak hal baru yang
saya dapati baik dari segi materi perkuliahan, maupun etika dan moral dalam
pergaulan sehari-hari. Terutama di mata kuliah Pak MM, yaitu Metodologi
Ilmu Hubungan Internasional. Jika masuk kelas beliau, sebaiknya membaca

61
materi dengan baik dua, tiga hari sebelum kelas, karena materi ini berat namun
menyenangkan karena diajarkan dengan sistematis dan memudahkan saya waktu
itu untuk memahaminya. Diajarkan berpikir runtut mulai dari memunculkan
ide menjadi konsep yang digeneralisasikan dan kemudian menjadi teori.

Dalam bukunya berjudul Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,


Pak MM menjelaskan dengan baik bagaimana cara berpikir dan menganalisis
dengan menggunakan tingkatan-tingkatan analisis dalam ilmu Hubungan
Internasional. Penjelasan tersebut menjadikan mahasiswa dapat memahami
dengan sederhana namun tepat untuk menganalisa fenomena internasional.
Dengan memahami metode ini, bagi saya, serumit apapun fenomena
internasional yang kita alami akan dapat diurai satu persatu dengan pisau
analisis yang tepat. Selain itu, beliau juga mengajarkan bagaimana menyusun
konsep berpikir yang sistematis. Hal ini bagi saya merupakan kata kunci dalam
belajar ilmu Hubungan Internasional.

Pak MM adalah dosen idaman yang luar biasa. Materi sesulit itu mampu
diajarkan kepada kami dengan cara yang jitu dan terpatri erat dalam pikiran.
Pentingnya bermetodologi dalam hubungan internasional menggunakan
model tingkatan analisis seperti yang beliau ajarkan, saya yakini hingga hari
ini. Bahkan menurut saya, sepanjang masa akan tetap penting dan bermanfaat.
Tidak saja dalam studi Hubungan Internasional, tetapi juga memupuk pola
berpikir sistematis untuk semua fenomena dalam bermasyarakat.

Pak Mohtar Mas’oed membantu kami mempelajari metodologi dengan cara yang
berbeda. Ia juga mendorong memunculnya ide baru dengan memperhatikan
fenomena dalam masyarakat, menganalisa sebaik-baiknya, dan membaca
banyak literatur pembanding, sehingga fenomena yang dikaji menjadi matang
dan mudah diterima oleh semua orang. Saat itu, belum ada internet seperti
sekarang ini, namun saya berjuang belajar, mencari berbagai referensi demi
memahami berbagai fenomena yang diajarkan.

Satu pesan beliau yang selalu teringat adalah, “Jangan pernah lewatkan satu hari
tanpa membaca dan mengetahui hal baru yang baik bagi kehidupan.” Rumus
ini sepertinya sudah tidak ada lagi di jaman mahasiswa sekarang. Padahal bagi
saya ini kunci sukses; siapa membaca literatur lebih banyak dan lebih dulu dari
orang lain, dia akan mampu memainkan peran lewat pikiran dan perkataan
yang sistematis dan rasional. Dan tentu saja dengan pola pikir yang matang dan

62
rasional mampu memberikan kontribusi pemikiran yang baik bagi bangsa dan
negara kita dan juga bagi dunia. Sekali lagi, saya bangga menjadi murid beliau.

Apa saja kiprah beliau?


Kiprah Pak MM dalam kampus dan bagi masyarakat seluruh Indonesia, bagi
saya, sangat luar biasa. Sebagai contoh, pengamalan Tri Dharma perguruan tinggi
yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian yang dilakukan
beliau terbilang di atas rata-rata. Sebagai dosen HI saya sangat menghormati
dan menjadikan beliau teladan. Seingat saya tahun 2011, beliau mengunjungi
Jayapura, Papua untuk menjadi narasumber dalam kegiatan “Forum Lintas
Antar Umat Beragama Provinsi Papua”. Beliau saat itu menjelaskan pentingnya
membangun solidaritas antarumat beragama demi menjaga keseimbangan antar
umat beragama di Papua. Benar-benar diskusi yang lepas dan penuh canda tawa;
sungguh fenomena langka. Contoh sederhana ini menegaskan pendapat saya
bahwa Pak MM adalah guru, orang tua dan sahabat yang baik bagi kemanusiaan
dan untuk semua orang. Beliau sangat low profile, salut dan hormat bagi beliau.

Kesan sebagai mahasiswanya


Kesan pertama saya sebagai muridnya, beliau pribadi yang bersahaja, tegas
dalam pendirian, konsisten dalam bekerja di mana saja. Pak MM pribadi yang
sangat loyal kepada semua orang. Contoh sederhananya, setelah sekian lama
berpisah antara mahasiswa dan dosen, namun ketika mengirimkan surel ke
beliau, pastilah beliau akan membalas email tersebut dengan segera. Hebat kan,
ini orang besar yang selalu menghargai hal-hal kecil. Semoga Tuhan membalas
semua kebaikan Pak MM (Jadi terharu…).

Kesan kedua, beliau menjadi role model saya ketika mengajar di kelas, bahwa
sebagai seorang dosen, penting untuk mengajar dengan baik dan jujur ketika
memberikan ilmu pengetahuan yang diajarkan. Tidak asal-asalan; ilmu yang
diberikan tersebut terbukti berguna bahkan dapat dipakai kapanpun untuk
segala urusan analisis fenomena internasional. Sebagai dosen, konsisten mengajar
dan melakukan penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat. Ini juga hal-
hal penting yang perlu dicontoh oleh kami selaku pengajar dan peminat studi
Hubungan Internasional. Dan yang utama adalah ilmu yang diajarkan tersebut
berhasil berkontribusi untuk hal-hal baik dalam masyarakat baik dalam lingkup
lokal, regional, maupun internasional. Sungguh saya bersyukur pernah menjadi

63
muridnya.

Kesan ketiga, Pak Mohtar juga orang yang tidak hanya mengajarkan materi
kuliah saja tetapi menanamkan moral dan etika kepada semua mahasiswanya.
Tidak pernah membeda-bedakan seseorang berdasarkan suku, ras, agama dan
golongannya; beliau selalu merangkul semua mahasiswa, ini contoh dosen
idaman. Hal ini mendorong mahasiswa untuk semangat masuk ke kelas dan
belajar bersama walaupun materi dalam kelas itu sangatlah berat. Bagi saya, ini
poin penting, karena dengan situasi Indonesia seperti saat ini, kita perlu orang-
orang dengan kepribadian yang demikian.

Saya sungguh belajar banyak hal dari beliau dan semoga saya dapat meniru apa
yang telah dilakukan oleh beliau. Terlebih ke depannya, semoga kami sebagai
muridnya mampu mengajarkan hal baik seperti yang telah Pak MM ajarkan
kepada kami.

Pesan bagi pembaca


Siapapun pembaca yang membaca buku ini, percayalah semua yang saya
sampaikan ini dapat dijadikan teladan dan contoh khususnya bagi kami
penggelut studi HI dan aktivis masyarakat. Hiduplah sederhana namun dengan
cara pikir yang tidak sederhana, segala aspek dibaca secara sistematis dan rasional
demi kemanusiaan seluruh umat di muka bumi. Banyak-banyaklah membaca
literatur, jangan lupa sebut sumbernya, sebelum berbicara menyampaikan
sesuatu hendaklah dipikirkan apa yang akan disampaikan tersebut sehingga
menjadi solusi dan bukannya menjadi penambah masalah. Karena penggiat
studi HI biasanya menjadi problem solver di tengah masyarakat.

Terima kasih Pak MM sudah menjadi contoh dan teladan yang baik bagi saya
dan semoga untuk semua orang, tentang pentingnya berlaku dan bertutur yang
sistematis dan rasional. Banyak salam dan doa buat Bapakku, Prof. Dr. Mohtar
Mas’oed.

64
Sosok Pak MM di Mata Saya:
Guru dan Perekat

Poppy S. Winanti
Saat ini, Poppy menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang
Kerjasama, Alumni dan Penelitian di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada dan
bekerja sebagai dosen di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Gadjah Mada.

ak MM, demikian sebutan akrab kami, murid-murid dan juga kolega di


Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) Universitas Gadjah
Mada (UGM) untuk Prof. Mohtar Mas’oed. Tidak dapat dipungkiri, sejak
pertama mengenal beliau hingga saat ini, Pak MM hadir dalam hampir semua
momen penting dalam kehidupan saya, baik secara pribadi maupun profesional
sebagai akademisi. Tulisan pendek ini tentunya tidak akan dapat merangkum
semua hal persinggungan saya dengan beliau yang telah berlangsung selama
kurang lebih seperempat abad. Tulisan ini harapannya, setidaknya, bisa dimaknai
sebagai wujud terima kasih dari salah satu murid Pak MM yang kehidupannya
dibentuk dan terbentuk dari interaksi dengan beliau.

Mengenal beliau pertama kali sejak tahun 1993 ketika saya menjadi
mahasiswa baru, Pak MM merupakan salah satu dari nama-nama besar
yang telah mengharumkan dan membesarkan DIHI UGM sebagai institusi
yang dihormati di tanah air. Kami membaca buku-buku beliau seperti Ilmu
Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (1990), buku yang tidak
hanya menjadi bahan bacaan mahasiswa HI di UGM namun hampir semua
mahasiswa HI di seluruh nusantara. Pemikiran-pemikiran beliau yang tajam
menjadikan mata kuliah-mata kuliah yang beliau ampu, meskipun dikenal sulit
untuk mendapatkan nilai bagus, tetap menjadi pilihan populer mahasiswa di

65
generasi kami. Sedangkan buku beliau berjudul Ekonomi dan Struktur Politik
Orde Baru, 1966 – 1971 yang diterbitkan pada tahun 1989, dapat dikatakan
sebagai bahan bacaan wajib bagi aktivis maupun pegiat organisasi mahasiswa
era tahun 1990-an yang saat itu tumbuh pada masa rejim Orde Baru berkuasa.

Tiga buku beliau yang diterbitkan hampir bersamaan di tahun 1994, yaitu
Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan; Negara, Kapital dan Demokrasi;
Politik, Birokrasi dan Pembangunan, mengantarkan saya “selamat” mengikuti
mata kuliah Politik Ekonomi dalam Hubungan Internasional (PEHI) dengan
hasil yang sangat memuaskan. Mata kuliah PEHI (sekarang telah berganti nama
menjadi mata kuliah Ekonomi Politik Internasional) dikenal sebagai mata kuliah
dengan materi yang sulit, sehingga ketika saya mendapatkan nilai A untuk mata
kuliah tersebut, saya bisa mengatakan dengan bangga, “I’ve survived Pak MM’s
course with an A.”

Melalui mata kuliah tersebut, saya pada akhirnya jatuh cinta dan “terjebak”
dalam Ekonomi Politik Internasional (EPI) yang merupakan kajian yang
terhitung baru pada studi Hubungan Internasional (HI), sebagai minat topik
yang saya tekuni hingga saat ini. Di mata kuliah tersebut, Pak MM dengan
gayanya yang khas menjelaskan bagaimana EPI menjembatani dua studi utama
dalam Ilmu HI yaitu Politik Internasional dan Ekonomi Internasional. Pak MM
mengurai hal yang sangat kompleks dengan cara yang menarik bahwa kajian EPI
perlahan namun pasti, mulai mendapat tempat dalam studi HI ketika persoalan
ekonomi internasional yang semula dianggap sebagai isu pinggiran atau yang
dikategorikan sebagai low politics mulai mendominasi perdebatan dalam politik
internasional.

Melalui Pak MM, saya mengenal tokoh-tokoh studi EPI dunia, diantaranya
adalah Susan Strange yang bukunya States and Markets (1988) menjadi salah
satu pegangan bagi para peminat studi EPI. Pak MM menjelaskan bagaimana
Susan Strange memperkenalkan empat dimensi dalam kekuasaan struktural
yaitu keamanan, produksi, keuangan, dan pengetahuan yang membentuk relasi
kuasa dalam ekonomi politik internasional. Tidak hanya pemaparan Pak MM
tentang teori kekuasaan struktural yang terus melekat pada saya, namun cerita
Pak MM mengenai bagaimana Susan Strange pada tahun 1970-an berjuang
membangun kajian EPI di Britania Raya, di tengah sikap skeptis ilmuwan HI
yang sangat state-centric dan lebih berfokus pada isu-isu keamanan.

66
Cerita tersebutlah yang kemudian menginspirasi saya hingga memiliki tekad
agar dapat belajar langsung di London School of Economics and Political
Science (LSE) tempat Susan Strange pernah mengabdi. Kajian EPI sendiri
diperkenalkan di UGM oleh Pak MM ketika beliau kembali dari studi S3-nya di
Amerika Serikat pada tahun 1983 dan menjadi tonggak penting bagi hadirnya
kajian EPI dalam studi HI di Indonesia. Tidak berlebihan kiranya, jika beliau
layak menyandang sebutan sebagai Bapak EPI di UGM bahkan di Indonesia.

Sebagai salah satu mahasiswa beliau, masih kuat dalam ingatan saya, beliau
sangat tegas dan disiplin mengenai waktu dan jam kuliah. Tidak ada ampun bagi
mahasiswa yang datang terlambat ke kelas. Pada pertemuan pertama kelas PEHI
angkatan saya, Pak MM menegaskan pentingnya datang dan hadir di kelas tepat
waktu. Ketika pada pertemuan kedua, masih ada mahasiswa yang terlambat,
Pak MM membatalkan dan meninggalkan kelas. Pelajaran yang sangat berharga
bagi kami semua tentu saja. Minggu berikutnya, kami semua hadir tepat waktu
dan tidak ada lagi mahasiswa yang datang terlambat hingga semester berakhir.
Kedatangan mahasiswa yang terlambat masuk ke kelas, menurut Pak MM
menunjukkan mahasiswa tersebut tidak menghargai diri sendiri apalagi orang
lain. Sebuah prinsip yang terus saya ingat bahkan ketika saya pada akhirnya
memilih karir sebagai akademisi dan bergabung di departemen yang sama
dengan beliau.

Ketika saya bergabung di DIHI UGM sebagai asisten peneliti di tahun 1999,
kedekatan saya dan beliau semakin kuat. Sebagai akademisi yang masih terus
belajar, saya beruntung bisa berproses dalam bimbingan dan di bawah arahan
beliau ketika bersama Mas Riza Noer Arfani, saya cukup banyak membantu
kelas-kelas beliau. Adalah kebanggaan tersendiri bagi saya, ketika saya dapat
mendampingi beliau mengampu mata kuliah EPI dan meneruskan tradisi
beliau menekuni kajian-kajian EPI. Beliau pula yang mendorong saya untuk
melanjutkan studi S2 di Korea Selatan, mengingat ketika awal tahun 2000-an,
Korea Selatan masih belum sepopuler seperti sekarang, apalagi menjadi pilihan
tujuan untuk melanjutkan studi.

Pak MM hadir di Departemen tidak hanya sebagai salah satu senior yang kami
hormati, namun juga bisa dikatakan sebagai perekat dalam keluarga besar DIHI
UGM. Pak MM kerap berperan menjembatani relasi antar dosen yang kadang
tentunya sulit bagi kami semua yang sangat independen dengan karakter masing-
masing, untuk bisa sepakat dalam semua hal. Pesan Pak MM yang terus saya

67
ingat adalah hubungan di dalam departemen tidak bisa dilihat sebagai sekedar
teman kerja atau kolega, namun, menjadi bagian dari keluarga besar DIHI
UGM. Artinya, memiliki keterikatan satu sama lain seumur hidup. Oleh karena
itu, tentunya tidak mudah dan berat bagi saya ketika kami pernah sampai pada
titik, tidak dapat menemukan kesepakatan dalam menangani suatu persoalan
krusial di departemen. Pilihan Pak MM dalam menyelesaikan masalah tersebut
adalah dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang beliau anut dalam
mengedepankan kekeluargaan di HI ketimbang pertimbangan-pertimbangan
lain. Saya terus berusaha memahami pilihan yang beliau ambil dan mengingat
kembali bahwa beliau hanya ingin konsisten terhadap prinsip yang beliau
pegang teguh tentang konsep DIHI UGM sebagai sebuah keluarga besar.

Hal lain yang istimewa dari Pak MM (tentunya dari sekian banyak daftar
keistimewaan lainnya), beliaulah yang biasanya menjadi tumpuan kami di
DIHI UGM apabila kami menemui kesulitan termasuk ketika DIHI UGM
akan menawarkan mata kuliah baru. Pak MM biasanya merupakan pilihan
utama kami untuk membuka jalan, menyiapkan mata kuliah tersebut hingga
akhirnya menjadi mata kuliah yang solid dan mapan. Setelah mata kuliah
tersebut terbentuk seperti yang diharapkan, biasanya mata kuliah baru tersebut
lalu dilanjutkan diampu oleh dosen yang lain. Tidak mengherankan kiranya
jika Pak MM membidani banyak mata kuliah di HI termasuk diantaranya,
Transnasionalisme dalam Dunia Internasional, Gender dan Politik, serta
beberapa mata kuliah yang berbasis Studi Kawasan.

Di luar peran besar Pak MM dalam kehidupan profesional saya, Pak MM juga
hadir sebagai sosok ayah bagi saya pribadi, terutama sejak saya kehilangan
kedua orang tua. Beliau menjadi tempat untuk mendapatkan nasihat dan
mencari jalan keluar terbaik ketika saya menghadapi berbagai kesulitan dalam
kehidupan pribadi saya. Tidak hanya dengan beliau pribadi, namun Bu Yayuk
dan keluarga besar beliau sangat terbuka menerima kami untuk berbincang-
bincang serta (tidak lupa) menghabiskan aneka makanan yang disuguhkan di
teras belakang rumah beliau yang asri. Dari panjangnya interaksi saya dengan
beliau, salah satu yang paling utama adalah kenyataan bahwa saya tidak lagi
memiliki kampung halaman untuk dituju, membuat kunjungan ke kediaman
beliau di setiap lebaran menjadi tradisi yang terus kami jaga.

Sekali lagi, tulisan pendek ini tentunya tidak akan bisa mencerminkan
keseluruhan relasi kami, apalagi sebanding dengan jasa, peran dan kontribusi

68
Pak MM bagi pengembangan diri saya pribadi. Tulisan ini hadir sebagai bentuk
apreasiasi salah satu murid atas legasi yang ditinggalkan Pak MM, tidak hanya
bagi keilmuan HI, kelembagaan DIHI UGM, maupun pengembangan pribadi
bagi siapapun yang terlibat didalamnya. Meskipun Pak MM telah memasuki
masa pensiun, namun percayalah Pak, semangat dan legasi Bapak tidak akan
pernah pensiun.

69
Mohtar Mas’oed, Time Flies Indeed

Rizal Mallarangeng
Rizal adalah seorang politikus, pengamat politik, dan
penulis Indonesia. Ia memperoleh gelar S1 di Jurusan
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, kemudian
menempuh pendidikan S2 dan S3 dalam bidang Ilmu
Politik di Ohio State University. Saat ini menjabat
sebagai Koordinator Bidang Penggalangan Khusus
(Korbid Galsus) DPP Partai Golkar.

Saya beruntung mengambil kelas Pak Mohtar, Sosiologi Politik. Pak


Mohtar dosen Ilmu Hubungan Internasional dan saya mahasiswa tahun
kedua di Jurusan Ilmu Komunikasi. Pak Mohtar waktu itu, baru dua atau tiga
tahun balik ke Yogyakarta dari Columbus, Ohio, setelah sukses meraih gelar
Doktor Ilmu Politik.

Kelas kami tidak lebih dari 30 mahasiswa, di gedung sisi utara fakultas, dengan
satu sisi jendela menghadap ke arah Gunung Merapi. Seingat saya, sepanjang
masa perkuliahan di kelas Pak Mohtar, saya tidak pernah bolos. Pak Mohtar
mengajar dengan bersemangat, menjelaskan perbandingan satu konsep dan
konsep lainya dalam literatur Ilmu Politik.

Dalam kelas (33 tahun lalu, time flies indeeed!), terkadang dengan sedikit
bercanda, atau dengan wajah yang berubah serius dan pandangan mata tajam,
Pak Mohtar berbicara tentang pemerintahan Orde Baru dan karakteristik sistem
otoritarian dengan nada kritis. Kalau sudah begitu, kami di kelas akan terdiam
dan menyimak penuh atensi.
Pada tahun-tahun itu, Pak Harto masih dalam puncak kekuasaan. Jadi bagi
kami mahasiswa yang tumbuh sepenuhnya dalam sistem otoritarian, kuliah Pak
Mohtar saat dia mengupas tentang the nature of the New Order, atau manakala

70
dia mengulas asal-usul legitimasi Suharto dan TNI Angkatan Darat, bukan
hanya menjadi sebuah momen untuk menimba ilmu tetapi juga sebuah katarsis,
atau bahkan - kalau meminjam ungkapan seorang kawan saya aktivis mahasiswa
Jakarta waktu itu, Rocky Gerung—sebuah pornografi politik, sebab dalam
momen seperti itulah kekuasaan Orde Baru tampak telanjang, tanpa ornamen
normatif dan tanpa gincu pemanis.

Dalam kelas ini, Pak Mohtar memperkenalkan kepada mahasiswanya para


pemikir terdepan dalam literatur yang wajib kami dalami, seperti Max Weber,
Barrington Moore, Joseph Schumpeter, dan Samuel Huntington. Bagi saya,
semua ini sangat mengasyikkan dan membuka pikiran.

Setelah mengambil matakuliah sosiologi politik, hubungan saya dengan Pak


Mohtar tidak pernah terputus. Malah kami lebih akrab lagi; beliau terus
menjadi mentor dan kawan diskusi yang menyenangkan di Bulaksumur. Kuliah
dan percakapan dengan Pak Mohtar juga memicu saya untuk terlibat lebih jauh
dalam dunia aktivisme kampus saat itu, khususnya dalam berbagai kelompok
studi mahasiswa.

Waktu itu, Yogyakarta, khususnya kampus UGM, menjadi semacam episentrum


intelektual bagi kritisisme terhadap rezim Orde Baru. Selain Pak Mohtar, pada
tahun-tahun itu beberapa dosen di Fisipol UGM juga berhasil meraih gelar
doktor di AS dan Australia dan mulai mengajar lagi, seperti Amien Rais, Ichlasul
Amal, Yahya Muhaimin, dan Afan Gaffar. Darah baru ini, bersama dosen-dosen
lainnya yang sudah terlebih dahulu menjadi bintang di kampus, seperti Umar
Kayam, Ashadi Siregar, YB. Mangunwijaya, dan Kuntowijoyo, menjadikan
Bulaksumur sebagai wilayah intelektual yang sangat hidup dan dinamis.

Suasana ini lebih hidup lagi sebab dalam berbagai acara kelompok diskusi,
kaum intelektual Jakarta (Soedjatmoko, Goenawan Mohammad, Marsillam
Simandjuntak) dan kaum “pelarian” dari Salatiga (Arief Budiman dan Ariel
Haryanto) juga sering hadir di tengah kami. Era demonstrasi mahasiswa masih
sekian tahun ke depan. Jadi, selain aktivisme dalam lembaga kemahasiswaan
formal dan pers mahasiswa yang relatif terbatas, pilihan satu-satunya bagi kaum
mahasiswa untuk menyalurkan aspirasi dan memberi jalan bagi energi aktivisme
“di luar sistem” adalah lewat kelompok-kelompok studi. Lewat berbagai
pertemuan dalam kelompok-kelompok studi inilah berbagai isu politik, sosial,
dan ekonomi didiskusikan dengan seru. Bagi saya, dalam beberapa hal, diskusi-

71
diskusi ini adalah ekstensi dan pendalaman dari kuliah-kuliah di kelas Pak
Mohtar.

Singkatnya, dalam pengalaman saya dan teman-teman aktivis generasi saya


waktu itu, Yogyakarta dan khususnya Kampus Bulaksumur menjadi semacam
kawah Candradimuka untuk melatih diri, mengasah pikiran, menambah
kenalan baru, serta menyalurkan kehendak kami untuk melakukan suatu hal
yang dalam literatur kerap digeneralisasikan dengan istilah political participation.

***

Kalau saya ingat kembali masa-masa itu, saya selalu merasa bersyukur. Itulah
salah satu masa kehidupan yang sangat bermanfaat, penuh, dan menyenangkan.
Hidup setelahnya memang bukan sekadar catatan kaki, tetapi pengalaman di
Kampus Bulaksumur adalah sebuah proses yang sangat menentukan perjalanan
hidup saya setelahnya. Dan saya yakin, hal semacam ini juga dirasakan oleh
generasi aktivis mahasiswa Yogyakarta pada tahun-tahun itu atau setelahnya,
seperti Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Budiman Soedjatmiko, Gandjar
Pranowo, Aria Bima, atau Anies Baswedan dan banyak lagi.

Karena itu, kepada Pak Mohtar dan dosen serta mentor lainnya di Bulaksumur,
kami semua berhutang budi. Mereka adalah guru yang berpengetahuan luas,
penuh dedikasi, serta senantiasa mendorong mahasiswanya untuk berkembang
sepenuh-penuhnya.

Pak Mohtar, terima kasih.

72
Pak Mohtar:
Teladan dalam Laku dan Karya

Saptopo B. Ilkodar
Berprofesi sebagai dosen tetap di Program Studi Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta. Ia menempuh Program
Doktoral dalam bidang Hubungan Internasional di
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010-2014.

erdapat sedikitnya tiga hal besar dalam laku dan karya Pak Mohtar yang
sungguh sangat berkesan bagi saya. Sedemikian mengesankan. Saya
berusaha meneladaninya tetapi sampai saat ini saya belum mampu mencapai,
meski hanya untuk lingkar terluar dari keteladanan itu.
Yang pertama, Pak Mohtar merupakan guru yang memberi landasan keilmuan
Hubungan Internasional dalam arti yang sebenar-benarnya. Dari beliaulah
saya memperoleh kesadaran bahwa masalah-masalah Hubungan Internasional
bisa dipelajari secara sistematis. Bahwa setiap orang bisa mempelajari dan
berpeluang menjadi mumpuni asal bersungguh-sungguh menjalani prosesnya.
Bahwa keahlian tentang ilmu Hubungan Internasional bukan perkara bakat
ataupun kecerdasan semata. Dari Pak Mohtar saya mendapat keyakinan
bahwa ilmu Hubungan Internasional itu ilmiah, lengkap dengan penjelasan
yang meyakinkan dan mudah dipahami. Dalam konteks itu, sepemahaman
saya beliaulah tokoh utama di Departemen Ilmu Hubungan Internasional
(DIHI) UGM (dan mungkin di Indonesia pada akhir dekade 1980-an) yang
mengembangkan studi Hubungan Internasional dengan pendekatan saintifik.
Sepemahaman saya, saat itu studi Hubungan Internasional di UGM dan di
Indonesia pada umumnya masih didominasi pendekatan tradisional.

73
Saya masih menyimpan bundel fotokopi handout yang ditulis Pak Mohtar
untuk bahan beliau mengajar matakuliah Metodologi Hubungan Internasional.
Handout tersebut merupakan cikal-bakal buku Ilmu Hubungan Internasional,
Disiplin dan Metodologi terbitan LP3ES tahun 1990 yang fenomenal itu. Buku
tersebut sangat berpengaruh di kalangan penstudi Hubungan Internasional di
Indonesia. Saya beruntung ikut menjadi bagian dalam proses persiapannya.

Sejalan dengan berkembangnya keyakinan bahwa ilmu Hubungan Internasional


itu ilmiah, berkembang pula kesadaran bahwa bernalar juga bisa dipelajari.
Pak Mohtar mengajarkan cara bernalar dalam Ilmu Hubungan Internasional.
Salah satunya adalah tentang kategorisasi. Setelah membuat definisi, seorang
ilmuwan sosial dan politik, termasuk ilmuwan Hubungan Internasional,
bisa membuat klasifikasi atau kategori-kategori. Dalam berbagai kesempatan
menjadi pembicara, Pak Mohtar menunjukkan betapa dahsyatnya kategorisasi
dalam memetakan persoalan. Dari peta tersebut orang bisa berbicara banyak hal
secara sistematis dan logis.

Sangat mungkin oleh karena hal-hal di atas itulah, maka saya dan banyak teman
saya berlomba-lomba untuk bisa dibimbing Pak Mohtar dalam mengerjakan
skripsi. Saat itu, sekitar tahun 1989-1991, ketika duduk-duduk di Lobi HI
yang prestisius dan masih sejuk meski tanpa AC itu, biasanya mahasiswa saling
bertanya siapa pembimbing skripsinya. Mahasiswa yang dibimbing Pak Mohtar
selalu menjawab dengan penuh kebanggaan, sementara lawan bicaranya tak
mampu menyembunyikan rasa takjub atau mungkin iri. Suatu hari sejumlah
mahasiswa yang skripsinya di bawah bimbingan Pak Mohtar sedang berkumpul
di lobi, Salah seeorang dari mereka, Edy “Geyol” Sukrisno, menyelutuk “Wah,
iki kelompok Mohtaritarian.” Sejak saat itu hingga beberapa tahun berikutnya
ungkapan tersebut sering mencuat dalam gurauan mahasiswa.

Dalam perbincangan dengan teman-teman dapat diketahui bahwa alasan


utama para mahasiswa ingin dibimbing oleh Pak Mohtar adalah agar mendapat
kejelasan arah kajian. Alasan lainnya adalah supaya tidak mengalami banyak
kesulitan saat ujian proposal dan pendadaran. Dulu saya dan kawan-kawan
menduga bahwa kelancaran dalam ujian proposal dan pendadaran itu karena
para penguji segan kepada Pak Mohtar. Tetapi sekarang saya meyakini bahwa
kelancaran dalam ujian proposal dan pendadaran itu terjadi karena mahasiswa
mengerjakan proposal/skripsi dengan baik. Mereka bisa mengerjakan proposal/
skripsi dengan baik karena mereka tahu apa yang harus ditulis, tahu ke mana

74
mencari sumber, dan tahu bagaimana menuliskannya. Mereka bisa tahu semua
itu karena dibimbing dengan baik.

Fenomena yang kurang-lebih sama juga terjadi dalam penulisan tesis. Para
mahasiswa S-2 Ilmu Politik juga berlomba-lomba untuk bisa dibimbing Pak
Mohtar. Saat itu, tahun 2001-2002, belum dibuka Program Studi S-2 Ilmu
HI. Mereka yang ingin dibimbing Pak Mohtar itu bukan hanya mahasiswa
yang memilih konsentrasi studi HI, melainkan juga mereka yang memilih
konsentrasi politik lokal. Bukan hanya mahasiswa yang dulu strata satunya dari
UGM, melainkan juga mereka yang strata satunya non-UGM.

Hal serupa juga terjadi pada program studi S-3. Secara kebetulan (atau
barangkali nasib tidak mendapat beasiswa untuk studi ke luar negeri) saya studi
S-1, S-2, dan S-3 di Fisipol UGM. Dengan begitu saya boleh menggolongkan
diri dalam kelompok “alumni UGM seutuhnya”. Pada program studi S-3
meski kajian masing-masing mahasiswa sudah lebih spesifik, faktanya setiap
mahasiswa berlomba-lomba untuk dapat dibimbing Pak Mohtar dalam
pengerjaan disertasinya. Saya memperoleh bocoran informasi bahwa pengelola
sempat merasa tidak nyaman dalam menunjuk calon-calon promotor. Sangat
banyak mahasiswa minta Pak Mohtar sebagai promotor sehingga beban kerja
beliau sangat banyak; padahal pada saat bersamaan ada dosen yang sama sekali
belum ada bimbingan berhubung kurang atau tidak diminati oleh mahasiswa.

Dalam semua strata itu para mahasiswa memilih Pak Mohtar karena yakin bahwa
beliau sangat menguasai bidang ilmunya. Bukan saja dasar-dasarnya dikuasai
dengan sangat baik, beliau juga mengikuti dengan sangat cermat perkembangan
karya-karya terbaru. Di bawah bimbingan Pak Mohtar, mahasiswa seakan
ada di tengah hamparan ladang subur menghijau dengan berjuta tanaman
pengetahuan yang menyegarkan jiwa-raga.

Ada hal yang sepintas terkesan sepele karena terlalu praktikal tetapi sebenarnya
sangat penting, yaitu soal sarana komunikasi. Pak Mohtar sangat akrab dengan
teknologi informasi. Meski sudah senior beliau tidak berkeberatan ketika
mahasiswa menggunakan sarana tersebut untuk sarana komunikasi. Jadilah
konsultasi disertasi menjadi sangat praktis dan hemat waktu karena tulisan bisa
dikirim via surel lebih dulu, untuk selanjutnya ditentukan jadwal konsultasi.
Hal praktikal lain yang sangat saya rasakan adalah bahwa kalangan ilmuwan
HI di Indonesia dan di manca negara mengenal nama Pak Mohtar dengan baik.

75
Maka semakin mantaplah untuk berupaya agar beliau menjadi promotor saya.
Jika suatu saat saya minta rekomendasi beliau sudah pasti rekomendasi tersebut
diperhatikan.

Hal kedua, Pak Mohtar merupakan panutan dalam berkarya dan meniti karir.
Dulu ketika belum ada Undang-Undang Guru dan Dosen, ketika belum ada
tunjungan profesi dosen, ketika penghasilan dosen masih sangat kecil, saya dan
teman-teman sering menjadikan Pak Mohtar sebagai jangkar pengharapan.
Bahwa bekerja sebagai dosen toh bisa hidup layak: bisa beli rumah, bisa punya
perangkat elektronik yang canggih, bisa punya mobil yang bagus, dan bisa pergi
ke berbagai kota dan bahkan ke berbagai negara. Tentu saya dan kawan-kawan
sadar bahwa yang bisa begitu adalah kelasnya Pak Mohtar. Tetapi saya dan
teman-teman yakin bahwa kami bisa mengikuti jejak Pak Mohtar meski dalam
jarak yang sangat jauh. Dan oleh karena itu saya dan teman-teman berusaha
setia pada profesi yang sering diplesetkan dengan “Gaweane sak kerdus gajine
sak sen” itu.

Dalam pemahaman saya dan teman-teman, Pak Mohtar itu “sregep nanging ora
pretung” (rajin berkarya tanpa terperangkap dalam sikap tamak). Kesan yang
saya tangkap, Pak Mohtar berkarya karena memang harus berkarya, sesuai saran
yang selalu beliau sampaikan, “published or perished”. Pak Mohtar bukan tipe
dosen yang “karena butuh uang maka berkarya”. Mungkin karena itulah karya-
karya beliau selalu tak terbantahkan.

Sebagai dosen pemula di tempat saya bekerja, saya pernah menjadi asisten Pak
Mohtar untuk mata kuliah Metodologi Ilmu Politik. Saya mendapat bimbingan
yang sangat berharga dalam menyampaikan materi yang rumit agar menjadi
mudah dipahami. Sebagai bagian dari kegiatan itu saya sering sowan ke rumah
beliau. Jadilah saya semakin tahu Pak Mohtar mendedikasikan diri sepenuhnya
untuk pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Kecuali untuk
keluarga, seluruh waktunya beliau curahkan untuk menekuni profesi.

Dalam interaksi dengan Pak Mohtar saya merasakan bahwa beliau adalah sosok
yang rendah hati tetapi tak terkalahkan. Beliau selalu ramah dan akrab dengan
siapa saja, termasuk dengan bekas muridnya. Beliau tidak pernah menjaga jarak,
tidak pernah berusaha menciptakan sekat atau membuat kasta-kasta dalam
relasi. Sama sekali tidak ada dalam sikap beliau keinginan untuk diunggulkan
apalagi dipuja dan disembah-sembah. Beliau selalu seksama memperhatikan

76
opini, temuan atau gagasan yang disampaikan junior. Bersamaan dengan itu
beliau selalu bisa menunjukkan dengan cara halus bahwa beliau sudah sangat
tahu apa yang junior omongkan itu. Beliau tahu akar sejarahnya, alur pikirnya
dan juga perkembangannya. Sangat jarang Pak Mohtar memotong pembicaraan.
Setahu saya, tidak pernah beliau meremehkan atau merendahkan lawan bicara,
termasuk para junior yang umumnya adalah bekas muridnya. Sikap tersebut
bukan membuat para bekas muridnya menjadi nglunjak. Sebaliknya sikap
tersebut justru membuat para junior dengan tulus selalu menempatkan diri
sebagai murid beliau dalam arti yang sebenarnya. Pak Mohtar merupakan guru
sejati, sejatinya guru. Sepengetahuan saya, sebagai guru sejati Pak Mohtar tidak
silau apalagi mencari-cari jabatan baik di dalam kampus apalagi di luar kampus.
Pernah beliau menjadi pimpinan di FISIPOL UGM, tetapi kesan yang saya
tangkap beliau tidak menjadikan jabatan itu sebagai ukuran keberhasilan dalam
karir dosen.

Hal ketiga, Pak Mohtar memasuki masa purna tugas tidak dalam posisi surut
atau tren menurun. Beliau tetap dalam performa dan kinerja yang prima.
Masa purna tugas beliau disemarakkan dengan acara yang dipersiapkan secara
sungguh-sungguh oleh para kolega dan bekas muridnya. Sebuah acara yang
tergolong istimewa. Tidak banyak dosen yang berkesempatan mengalaminya.
Kebanyakan dosen membuat perayaan ketika pengukuhan dirinya sebagai
guru besar; saat yang bersangkutan sedang dalam puncak karir atau sedang
menduduki jabatan publik. Perayaan purna tugas Pak Mohtar merupakan bukti
rasa hormat dan cinta para kolega dan bekas murid beliau. Bukti bahwa semua
merasa “semedhot”, perasaan tak ingin ditinggalkan, tak ingin beliau berhenti
berkarya. Perayaan ini sekaligus merupakan bukti paling mutakhir atas semua
hal yang telah ditulis dalam testimoni.

Sebagai penutup sepertinya perlu disampaikan keterangan tentang kata “laku”


dalam judul tulisan ini. Kata tersebut bukan hanya bermakna tindakan atau
perilaku. Kata “laku” dalam judul tersebut juga bermakna “payu” atau terbeli.
Hal itu untuk menggambarkan bahwa karya-karya Pak Mohtar selalu laku,
selalu diminati oleh publik. Segi ini juga merupakan hal yang layak diteladani
oleh para junior beliau.

77
Mungkin Teknologi Adalah
‘Istri Kedua’ Pak Mohtar?

Suci Lestari Yuana


Suci bekerja sebagai dosen di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Gadjah Mada. Ia memperoleh
gelar Master of International Affairs in International
Development dari Sciences Po University pada 2013.
Saat ini sedang menempuh Program Doktoral di Utrecht
University.

i mata saya, Pak Mohtar adalah sosok guru yang bijaksana dan kekinian.
Saya selalu menikmati mengikuti kuliah beliau karena di setiap kelas
beliau selalu menyajikan materi-materi kekinian dalam Studi Hubungan
Internasional, namun tak lupa beliau akan menyisipkan beberapa refleksi bijak
dalam menanggapi fenomena-fenomena tersebut. Saya juga seringkali terkesima
dengan Power Point yang digunakan Pak Mohtar dalam mengajar. Tampilannya
sederhana, seringkali hanya menampilkan satu gambar, namun dari tampilan
tersebut beliau bisa bercerita hal-hal yang menarik sehingga setelah kuliah
selesai tampilan Power Point tersebut menjadi hal yang bisa selalu diingat.

Ada beberapa tampilan Power Point yang sampai sekarang masih membekas
dalam ingatan saya, yang pertama pada kelas Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Saat itu, Pak Mohtar menampilkan gambar bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki. Gambar itu menampilkan sesaat setelah bom itu
mendarat di kedua daerah naas tersebut. Asap membumbung tinggi memecah
awan dan menyerupai bentuk jamur berwarna kemerahan di langit. Melihat
gambar tersebut Pak Mohtar berujar “Gambar ini indah bukan? Namun di
balik keindahan tersebut ada kengerian yang tidak berperi-kemanusiaan”. Lalu
seisi kelas hening dan menatap gambar tersebut sambil mendengarkan cerita

78
Pak Mohtar tentang deteriorasi perang.

Pak Mohtar bercerita pada mulanya perang menggunakan senjata tradisional


seperti tombak dan pedang yang mengakibatkan jika tentara membunuh
musuhnya, dia harus menghadapi sakaratul maut yang dialami musuhnya secara
langsung. Dia menyaksikan penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya
sendiri. Momen-momen ini menjadi momen-momen kemanusiaan yang
mempengaruhi psikologis tentara. Namun, perkembangan teknologi telah
memungkinkan adanya senjata-senjata jarak jauh bermula dari senapan, granat
bahkan bom atom. Senjata-senjata ini membangun jarak bagi tentara ketika
membunuh musuhnya sehingga beban psikologis yang harus dirasakan tidak
lagi seberat dulu ketika menyaksikan penderitaan musuh secara langsung. Pak
Mohtar memaknai perkembangan ini sebagai deteriorasi perang, perang yang
mengalami kemunduran kemanusiaan. Bisa saja seseorang dari benua berbeda
menekan tombol bom atom ke benua yang lain, setelah menekan tombol
tersebut dia bisa melanjutkan rutinitasnya sementara di benua lain jutaan
manusia, tentara maupun masyarakat sipil menderita bahkan meninggal akibat
tindakan satu detik itu.

Tampilan Power Point kedua yang saya ingat adalah tampilan di kelas Ekonomi
Politik Internasional. Saat itu topik perkuliahan tentang international
development. Tampilan Power Point saat itu adalah gambar amplop putih.
Melalui tampilan ini Pak Mohtar menjelaskan etimologi dari kata “develop” yang
merupakan lawan kata dari “envelope”. Jika “envelope” adalah selembar kertas
yang di setiap sisinya dilipat kedalam untuk menutupi bagian tengah kertas,
maka “develop” dimaknai sebagai kebalikannya. “Development” mengandung
makna perubahan yang meluas dari dalam mencapai setiap sisi, perubahan
yang semakin terbuka. Lalu, dengan bijak Pak Mohtar menghubungkan cerita
ini dengan konsep self-development yang seharusnya dimaknai sebagai perilaku
manusia yang semakin berkembang seharusnya bisa berpikir dan bersikap
semakin terbuka, bukan malah sebaliknya menjadi pribadi yang tertutup.

Bagi saya, kuliah-kuliah seperti ini dari Pak Mohtar bukan saja memberi
pemahaman yang sederhana terhadap suatu fenomena yang kompleks tapi juga
menjadi nutrisi bagi perkembangan nurani. Kuliah Pak Mohtar, jika dimaknai
dengan mendalam, mencerminkan pendidikan yang mengasah logika dan
karakter. Di satu sisi, saya merasa sangat beruntung pernah menghadiri kuliah-
kuliah bijaksana dan mencerahkan dari Pak Mohtar. Di sisi yang lain, saya

79
secara egois berharap Pak Mohtar bisa menjadi dosen abadi sehingga lelehan
kebijaksanaan yang pernah saya rasakan di kelas, bisa dirasakan oleh mahasiswa-
mahasiswa lainnya. Ah, andai saja ada big data yang merekam semua detail
Power Point serta ceramah Pak Mohtar.

Selain berkesempatan menghadiri kuliah-kuliah Pak Mohtar, saya juga beruntung


bekerja di satu Departemen dengan beliau. Momen-momen makan siang selalu
menjadi kesempatan saya untuk menyaksikan sisi jenaka dari Pak Mohtar.
Apalagi jika Pak Mohtar makan siang bersama dengan Pak Amal, obrolan
beliau berdua selalu sarat ‘sejarah’ dan guyonan. Yang lebih mengagumkan
lagi, seringkali saya dapati Pak Mohtar dan Pak Amal berdiskusi tentang
teknologi-teknologi terkini, seolah-olah bagi mereka usia tidak mengalahkan
jiwa technology-savvy. Di tahun 2010, saat saya masih menjadi asisten dosen,
Pak Mohtar menunjukkan gawai baru yang beliau miliki. Itu adalah, the first-
generation iPad yang baru keluar di tahun 2010! Saya hanya bisa ternganga,
sambil sedikit iri, di dalam hati melihat Pak Mohtar mendemonstrasikan gadget
canggih beliau tersebut. Beliau bercerita, gawai ini memudahkan beliau untuk
bekerja dengan mobile. Beliau bisa melakukan pekerjaan beliau, membaca dan
menulis di sana.

Di saat saya masih tergantung dengan buku-buku yang saya pinjam di


perpustakaan, beliau sudah menunjukkan koleksi perpustakaan digital yang
beliau miliki di iPad tersebut. Saat menunjukkan perpustakaan digital tersebut,
beliau berkata “Mau tahu nggak, koleksi bacaan yang paling saya suka?”. Saya
berpikir mungkin buku-buku klasik di bidang politik ataupun hubungan
internasional. Ternyata Pak Mohtar malah menunjukkan buku Tintin! Iya,
buku komik karya Hergé yang terkenal di abad yang lalu. Saya kaget dan tidak
menyangka dibalik sosok Pak Mohtar yang cerdas dan serius, Pak Mohtar
masih menyempatkan waktu membaca komik yang pernah beliau suka saat
kanak-kanak. Saya tersenyum menyaksikan Pak Mohtar gembira dengan gawai
barunya karena bisa memudahkan beliau untuk bernostalgia dengan masa-masa
yang indah di masa lalu.

Di tahun 2016, saya juga pernah mendapati Pak Mohtar dan Pak Amal
sedang berbicara serius di jam makan siang. Saya pikir beliau berdua sedang
berdiskusi tentang materi perkuliahan ataupun berdiskusi tentang nasib negara
ini. Ternyata, setelah saya hampiri Pak Amal sedang memamerkan smartwatch
terbaru yang beliau miliki. Olala, jiwa middle class saya terguncang menyaksikan

80
kecanggihan gawai beliau berdua tekuni.

Selain gawai ada kejadian jenaka yang pernah terjadi di tahun 2013. Saat
itu beliau berusia 64 dan saat rapat di Departemen beliau datang dengan
menggunakan kaos yang tulisannya kira-kira “Don’t disturb me, I will pension
next year”. Melihat kaos itu, kami semua hanya senyum-senyum menyadari
keinginan Pak Mohtar untuk tidak ‘diganggu’ dengan urusan-urusan
manajerial kampus. Lalu, pengumuman dari DIKTI keluar dan memutuskan
memperpanjang usia pensiun dosen menjadi 70 tahun. Kami sempat menggoda
Pak Mohtar karena keputusan ini berarti kami masih bisa ‘menganggu’ beliau
lima tahun lagi! Namun sayang, lima tahun itu sekarang sudah berakhir.
Padahal, kami masih berharap bisa ‘mengganggu’ atau ‘diganggu’ Pak Mohtar
bertahun-tahun lagi. Semoga saja, purna-tugas Pak Mohtar ini hanya formalitas
belaka. Kebutuhan administrasi yang patut dipenuhi. Semoga kebijaksanaan,
kekininan dan guyonan Pak Mohtar bisa selalu hadir di tengah-tengah kami,
warga ‘sok’ kelas menengah yang jiwanya sering terguncang jika Pak Mohtar
mulai memamerkan kecanggihan teknologi terbaru. Bukan tidak mungkin, jika
suatu hari Pak Mohtar menyampaikan kuliah menggunakan teknologi virtual
reality, augmented reality atau bahkan artificial intelligence. Saya tunggu tanggal
mainnya, Pak!

81
Jack Of All Trades, Es Dampit,
dan Semua Pelajaran yang
Menyenangkan Itu

Victor Yasadhana
Sejak 2017, Victor menjabat sebagai Direktur Akademik
di Yayasan Sukma Jakarta hingga saat ini. Ia memperoleh
gelar S1 Ilmu Politik di bidang Administrasi Publik dari
Universitas Gadjah Mada. Pada tahun 2002-2005, ia
sempat menjadi peneliti di program S2 Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada.

“I have the choice to do whatever I want, now. There is a whole new kind of life
ahead, full of experiences just waiting to happen. Some call it ‘retirement’. I call it
bliss.” — Betty Sullivan – (dalam Marian Marzynski, “My Retirement Dreams”,
FRONTLINE Show #1608: February, 1998)

reat teachers don’t just teach you; they change you.” Sebagai guru, saya
percaya sepenuhnya kata-kata itu. Terutama di dunia yang berubah
cepat dan penuh ketidakpastian seperti saat ini, agaknya mereka yang mampu
menumbuh-menyemai inspirasi, adalah mereka yang tak lekang dan tergantikan.
Karena inspirasi selalu dibutuhkan untuk membuat hidup kembali berdegub
dan pikiran beranjak, menjadi tindak yang bergerak.

Mohtar Mas’oed adalah salah satu muasal inspirasi yang mewarnai hidup.
Setidaknya bagi saya. Saya tidak pernah menjadi muridnya langsung. Tidak
juga pernah mengambil mata kuliahnya selama saya menjadi mahasiswa. Saya
hanya tahu—dari pengalaman dan persinggungan saya dengannya—bahwa
ia adalah seorang yang kompeten dan mendapat pengakuan luas di bidang

82
keilmuannya; Ilmu Hubungan Internasional. Saya beberapa kali hadir dalam
diskusi/seminar di mana ia berbicara. Tentu saja saya juga membaca beberapa
bukunya, walaupun tidak semua bukunya bisa sepenuhnya saya pahami
dengan baik, lebih karena keterbatasan saya untuk mencernanya. Tetapi yang
pasti beberapa karyanya adalah “bacaan wajib” yang tak bisa dilewatkan. Saat
masih menjadi mahasiswa, disertasinya yang kemudian diterjemahkan LP3ES
(1989) dengan judul, “Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971”
adalah buku terbaik yang pernah saya baca untuk menjelaskan basis kekuasaan
dan dinamika ekonomi politik Orde Baru. Pendekatan strukturalis yang kental
dalam buku ini; runtut, tajam, memikat dan tentu saja mencerahkan.

Catatan ini tidak sekalipun berniat untuk membahas perjalanan dan pemikiran
intelektual Pak Mohtar, begitu saya memanggilnya. Saya merasa tidak
memiliki kapasitas untuk memberi catatan atas perjalanan dan pemikiran
intelektual seorang Mohtar Masoed. Tetapi saya tahu pasti; Pak Mohtar
bukan seorang intelektual yang puas duduk di menara gading keilmuannya.
Bukan tipe intelektual ideal a la Julien Benda tetapi—mungkin—lebih dekat
pada tipe intelektual organik ala Gramsci atau intelektual versi Edward Said.
Keterlibatannya secara aktif dalam beberapa NGO dan gerakan sosial di
Indonesia adalah bukti, ia pemikir yang juga tak diam tetapi memilih bertindak.

Saya merasa lebih nyaman memberikan catatan atas Pak Mohtar sebagai orang
yang saya kenal; sisinya sebagai manusia, yang kalau boleh saya sebut; salah satu
kawan terbaik yang saya kenal. tempat rasa hormat saya akan selalu mendarat.

‘Jack of all trade’ dan ancaman DO


Mendengar Pak Mohtar menyatakan sebuah ide atau istilah adalah pengalaman
yang menyenangkan. Hampir pasti Pak Mohtar akan menjelaskan ide atau
istilah itu sampai sedetil-detilnya; asal muasal, maksud sampai contohnya.
Komplit dan terang benderang.

Saya tahu pak Mohtar menikmatinya saat ia melakukan itu. Bukan sekedar
karena ia suka didengarkan—seperti layaknya semua orang—tetapi juga
karena Pak Mohtar selalu menganggap penting untuk membahas sesuatu
sampai tuntas. Sepertinya cara dan gaya menjelaskan seperti ini, datang dari
kebiasaannya untuk berpikir tuntas (radikal) sebagai salah satu ciri intelektual.
Alhasil seingatnya saya, siapapun yang mendengarnya, juga akan larut dalam

83
penjelasannya.

Salah satu yang saya ingat dari sekian banyak istilah yang saya kenal dari Pak
Mohtar adalah “Jack of all trade”. Sebuah istilah yang konon pada akhirnya
lebih banyak dipakai dalam konotasi negatif daripada sebuah istilah yang netral.
Terlebih setelah ditambah embel-embel menjadi “Jack of all trade and master of
none”. Yah, kurang lebih adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan orang
yang bisa melakukan atau memiliki keterampilan akan banyak hal, tetapi tanpa
ada yang betul-betul menjadi keahliannya.

Jujur saja, sebelumnya saya menganggap bisa punya banyak pengetahuan/


keterampilan tanpa perlu menjadi ahli/spesialis, adalah sesuatu yang lumayan
asyik dan keren. Sampai saya bekerja di Aceh pasca tsunami tahun 2004. Berkali-
kali saya berurusan dengan tipe orang semacam ini; bisa melakukan banyak hal,
tetapi hasilnya ya sekenanya. Beberapa diantaranya lebih parah; lebih banyak
omong daripada bekerja atau malah lebih sibuk mengerjakan atau memberi
pendapat atas banyak pekerjaan, kecuali melakukan pekerjaan mereka sendiri.

Pada mereka, sering saya sampaikan bahwa mereka itu adalah para “Jack of
all trade sejati.” Tentu saja saya menyampaikannya dengan cara meyakinkan,
dibarengi kesan bahwa itu adalah sebutan cool layaknya pujian yang membuat
mereka manggut-manggut setengah girang. Saya sih senang, lha wong dengan
menyampaikan istilah itu, saya membuktikan masih bisa mengingat penjelasan
Pak Mohtar tentangnya. Kalaupun saya menggunakannya secara sinis dan
serampangan, saya lebih suka menyebutnya sebagai “membawanya ke level
kesenangan yang lebih tinggi” saja. “Kesenangan” menurut saya sendiri, tentu
saja.

Lain waktu, saya belajar bahwa betapa mobilitas vertikal yang dialami seseorang
(baca: makin tambah usia, makin mapan secara ekonomi, makin banyak
pengalaman, dll) dapat mengubah hidup kita. Hanya dari ceritanya soal warung
es langganan Pak Mohtar di Dampit, Malang, saat ia muda. Alkisah suatu hari,
atas nama masa lalu, Pak Mohtar bersaudara ingin bernostalgia untuk membeli
es di warung tempat mereka dulu sering melakukannya. Tentu saja dalam
ingatan mereka, warung itu menyediakan es terenak. Namun, segera setelah
mereka mencicipi es yang mereka beli, mereka sepakat untuk mengeluh bahwa
rasanya tidak seenak yang mereka bayangkan. Semua berpikir sudah terjadi
penurunan rasa. Kualitas rasanya berubah dan menjadi tak terjaga.

84
Pak Mohtar kemudian mengatakan—seperti tersadar—, “Sebenarnya rasanya
dari dulu ya seperti itu. Persoalannya, pada saat kami mencoba kembali membeli
dan merasakannya, kami sudah malang melintang dalam hidup, merasakan
banyak es atau makanan yang lebih enak, karena kami mampu membelinya.
Dulu, ya hanya es itu yang bisa terbeli.” Yang saya pelajari adalah; lebih sulit
memang menyadari bahwa kita telah berubah dan lebih mudah “menyalahkan”
bahwa orang lain yang berubah, menjadi tak seperti yang kita harapkan. Juga,
kadang kita lupa bersyukur bahwa kita memiliki kehidupan lebih baik dari
sebelumnya, sampai kembali berkesempatan merasakan ‘masa lalu yang kurang
enak’, seperti es di Dampit itu.

Tetapi jujur, saat menulis catatan ini, saya berpikir; Pak Mohtar sepertinya tidak
sedang mengajarkan saya kebajikan, saat ia bercerita soal es Dampit itu. Bisa
jadi, saya saja yang ‘sok mengambil pelajaran’ dari semua ceritanya. Tetapi itulah
yang terjadi berulang kali dengan banyak cerita dan obrolan lainnya. Dan saya
tetap berterima kasih untuk semua itu.

Selain selalu “sibuk” menjelaskan istilah sampai detil dan serba jelas, Pak
Mohtar juga akan selalu saya ingat sebagai orang yang berperan membuat saya
tidak menyerah dengan studi saya. Saat studi saya mandeg di tahap penulisan
skripsi, jika tidak diingatkan Pak Mohtar, saya mungkin tidak pernah lulus
dari Fisipol UGM. Kuliah saya terbilang lancar. Saat mulai menulis skripsi, di
sinilah kemandegan terjadi. Saya lebih sibuk membangun semacam cikal bakal
NGO di bidang pertanian organik, dan mengumpulkan “uang receh” dari ikut
beberapa penelitian. Merasa bisa menghasilkan uang, menyelesaikan skripsi tak
lagi menarik bagi saya. Pak Mohtar berpikir berbeda. Menurutnya saya harus
menyelesaikan skripsi saya. Titik.

Bisa jadi saat itu Pak Mohtar merasa perlu “menyelamatkan” saya untuk lulus
karena perasaan malu. Istri saya—saat itu membantu dirinya mengajar di HI—
punya suami yang berpotensi di DO dari bangku kuliah. Dia meminta saya
menyelesaikan skripsi dan mendorong saya untuk sering menemui pembimbing
skripsi saya, almarhum Prof. Agus Dwiyanto. Singkat cerita, pada akhirnya saya
bisa menyelesaikan skripsi saya yang tertunda bertahun-tahun dalam waktu
kurang dari tiga bulan.

Lulus dalam waktu yang lama, pada saat ‘injury time’, tentu saja bukan sesuatu
yang patut saya banggakan. Tetapi saya kadang membayangkan, jika saat itu saya

85
tidak mengenal Pak Mohtar, ceritanya akan berbeda. Kemungkinan terbesar
ceritanya lebih buruk. Saya akan selalu berterima kasih Pak Mohtar akhirnya
membuat saya merasa malu sekaligus percaya dengan kemampuan saya untuk
menyelesaikan studi. Justru pada saat saya sendiri tidak yakin dan berusaha
melupakannya.

Pensiun?
Saat mendengar Pak Mohtar akan segera memasuki usia pensiun, saya tidak tahu
harus berpikir dan memiliki perasaan seperti apa. Jelas pensiunnya Pak Mohtar
merupakan kerugian besar bagi Departemen Ilmu Hubungan Internasional,
Fisipol UGM yang sepertinya tidak lagi memiliki guru besar sekaliber dirinya
saat ini. Tetapi saya juga tidak terlalu khawatir akan kehilangan kesempatan
mendengarkan Pak Mohtar berbicara panjang lebar tentang istilah tertentu atau
cerita-cerita lucu tentang apa saja yang selalu ia bagi dengan kami. Setidaknya
tidak akan ada yang berubah.

Saya akan selalu mencari waktu untuk sowan ke rumahnya yang indah dan
nyaman itu. Bertemu dengan Pak Mohtar dan keluarga selalu menjadi saat yang
menyenangkan. Plus hidangan yang lezat dan obrolan yang hangat dan padat.
Dengan caranya Pak Mohtar telah memikat dan membuat saya belajar. Bukan
melulu tentang teori dan isu penting yang ‘berat dan serius’. Tetapi tentang
hal-hal kecil, sederhana dan kegembiraan dalam hidup. Bisa jadi karena saya ya
hanya mampu mengikuti dan paham tentang hal-hal sesederhana itu. Tetapi itu
semua lebih dari cukup bagi saya, dan akan selalu menjadi penanda perayaan
pertemanan saya dengan dirinya.

Terakhir, jika Pak Mohtar berkenan, saya akan ikut berterima kasih atas semua
sumbangsihnya atas perkembangan keilmuan yang telah diberikan selama ia
aktif menjadi pemikir, dosen dan pejabat di lingkungan UGM atau aktivis di
luar kampus. Semua sumbangsihnya akan selalu diingat, dirayakan dan sebagai
warisan yang berarti, akan dijaga dan dikembangkan. Saya yakin itu.

Sebagai orang yang selalu saya rindukan obrolan dan cerita lucunya, bagi saya,
Pak Mohtar tak akan pernah pensiun. Karena sengaja atau tidak, dia telah ikut
mewarnai dan mengubah hidup saya. Selalu ada jejaknya di sana. Nah untuk
ini, ucapan terima kasih sepertinya tak akan pernah cukup.

Sehingga saya harap, pada fase orang menyebutnya sebagai “masa pensiun”,

86
Pak Mohtar akan memilih melihatnya sebagai berkah. Setidaknya berkah bisa
berbagai lebih banyak cerita dan pengalamannya yang sangat panjang dengan
siapapun juga.

Jadi, kapan saya harus datang dan mendengar cerita konyol nan segar lainnya,
Pak? Saya pasti akan hadir di sana.

Pidie, 15 Oktober 2019

87
A Mosaic Of Memories: Alumni HI-75

Yuli Mumpuni Widarso


Yuli adalah alumni Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Gadjah Mada Angkatan 1975 dan pernah
menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Aljazair
dan Duta Besar Indonesia untuk Spanyol

ami Alumni HI 75 dalam hal ngangsu kawruh dari Prof. Dr. Mohtar
Mas’oed boleh merasa lebih beruntung dibandingkan dengan angkatan
yang lebih muda dari kami karena kami mengenal Pak Mohtar pada tahun 1976
masih sebagai dosen muda mengampu mata kuliah Perbandingan Sistem Politik
(PSP), menggantikan Pak Yahya Muhaimin yang melanjutkan studi ke Amerika
Serikat. Selain itu beliau juga menjadi dosen kami untuk mata kuliah Masalah
Negara Berkembang, bersama Dr. Collin McAndrew.
Saya bertemu lagi dengan Pak Mohtar pada tahun 1983 setelah beliau meraih
gelar Doktor Ilmu Politik dari Ohio State University karena saya masih harus
menyelesaikan perbaikan skripsi. Tetapi tidak demikian dengan teman-teman
HI-75 lainnya yang sudah lebih dulu lulus. Meskipun demikian, tidak berarti
Alumni HI-75 tidak mempunyai kesan istimewa dengan Pak Mohtar. Sebagian
besar HI-75 berkiprah di perguruan tinggi, atau di Lembaga Tinggi Pemerintah,
Kementerian Negara, dan media massa sehingga cukup banyak kesempatan
untuk bertemu dan ngangsu kawruh dari Prof Dr. Mohtar Mas’oed.

Pada saat saya sampaikan kepada teman-teman HI-75 tentang rencana


Fisipol menerbitkan sebuah buku dalam rangka purna tugas Prof. Dr. Mohtar
Mas’oed, mereka menyambutnya dengan antusias dan bahkan mendorong saya
untuk berkontribusi. Kemudian kami sepakat untuk menyusun potongan-
potongan kenangan kami ngangsu kawruh dari Prof Dr. Mohtar Mas’oed dan
menjadikannya sebagai A Mosaic of Memories.

88
Kami beruntung karena diantara HI-75 terdapat Usmar Salam yang sejak
1981 menjadi Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI)
(dulu Jurusan Hubungan Internasional) Fisipol, yang tentunya punya banyak
kesempatan untuk ngangsu kawruh dari Prof Dr. Mohtar Mas’oed. Tidak
heran jika Usmar sangat antusias untuk segera merampungkan A Mosaic of
Memories ini. Dia menyatakan bahwa satu hal yang dia betul-betul mengakui
kehebatan dan betul-betul belajar banyak dari Prof Dr. Mohtar Mas’oed
adalah pada kebiasaan Pak Mohtar yang selalu memutakhirkan pengetahuan
menyangkut berbagai hal, tidak hanya soal perkembangan politik nasional
maupun internasional yang sangat dinamik ini, tetapi juga perkembangan
teknologi informasi. Katanya, “Prof. Mohtar itu milenial banget …. Hebat!”.
Energinya luar biasa. Bayangkan, diantara jadwal kesibukan beliau yang sangat
padat itu, beliau masih meluangkan waktu untuk terus membaca, mengadakan
penelitian dan menuliskan hasil penelitiannya. Selain itu, beliau juga terus
mengikuti perkembangan teknologi informasi yang sangat membantu beliau
dalam mempercepat pengiriman seminar call paper. Dalam hal ini, kami para
dosen yang lebih muda dari pada beliau, mengakui dan memang harus banyak
belajar dari Pak Mohtar, untuk senantiasa memutakhirkan pengetahuan dengan
banyak membaca, mengadakan penelitian, dan terus menulis karya ilmiah.”

Adalah Bang Edie Siregar yang mempunyai kenangan khusus dengan Pak
Mohtar. Bagaimana tidak, jika pada tahun 1976 Bang Edie Siregar masih sebagai
mahasiswa dengan nilai pas-pasan C duduk di kelas di depan Pak Dosen Muda
Mohtar Mas’oed, tetapi kemudian pada tahun 2005 bisa duduk berdampingan
dengan Pak Mohtar sebagai nara sumber pada Konferensi Pers Reuni Akbar
KAFISPOLAGAMA di Kampus Fisipol UGM. Pak Mohtar yang sudah menjadi
Dekan Fisipol sebagai tuan rumah, dan Bang Edie Siregar yang sudah menjadi
Sekjen MPR RI sebagai Ketua Panitia Reuni Akbar KAFISPOLGAMA. Suatu
kebanggaan tersendiri.

Bang Edie Siregar juga masih ingat betul, ketika harus memperbaiki nilai C yang
diperoleh dari Pak Yahya Muhaimin untuk mata kuliah PSP. Untuk itu Bang
Edie Siregar serius mengikuti kuliah PSP yang telah diampu oleh Pak Mohtar.
Namun pada saat ujian, Pak Mohtar hanya memberinya nilai C. Sungguh tidak
menyenangkan. Kalau anak sekarang bilangnya mungkin “nyesek”. Tetapi Bang
Edie Siregar tidak sakit hati. Nilai C tersebut malah memicunya untuk belajar
lebih keras pada saat mengikuti mata kuliah Masalah Negara Berkembang,

89
untuk membuktikan kepada Pak Mohtar bahwa dia bisa mendapat nilai yang
lebih baik. Dan betul, pada saat ujian, Pak Mohtar dan Dr. Collin McAndrew
mengganjarnya dengan nilai B. Bang Edie Siregar sangat menghargai Pak Mohtar
yang dinilainya sebagai pribadi yang hangat, terbuka, mudah didekati, humble
and fair. “Interaksiku dengan beliau lebih banyak setelah tidak lagi sebagai
mahasiswa. Yang paling intens ketika kami menyiapkan dan menyelenggarakan
kegiatan Reuni akbar KAFISPOLGAMA dalam kesempatan Dies Fisipol ke-50
pada tahun 2005. Reuni tersebut merupakan event terbesar yang pernah alumni
selenggarakan dan hal itu dapat terjadi karena kerjasama yang sangat baik dari
pihak Fakultas di bawah kepemimpinan Bapak Mohtar Mas’oed selaku Dekan
Fisipol. Terima kasih Pak Mohtar, terimalah salam hormat kami dan kami akan
terus mengenang dengan bangga Reuni Akbar yang sukses tersebut.”

Lain lagi pengalaman Mas Adik Bantarso Bandoro yang berkarier di Kementerian
Sektretariat Negara, terakhir sebagai Kepala Biro Politik (2000) dan Kepala
Biro Kerjasama Internasional BAKORNAS Penanggulangan Bencana
(2004), sekarang masih aktif mengajar di Universitas Pelita Harapan, Jakarta.
Kenangannya dengan Pak Mohtar menginspirasi kami dan mempunyai makna
mendalam ketika dia menyatakan “Pada tahun 1977 saya jadi asistennya Dr.
Collin McAndrew yang salah satu tugasnya adalah menyiapkan materi kuliah
Masalah Negara Berkembang yang diampu oleh Pak Mohtar. Nah, setelah itu,
setiap kali bertemu dengan Pak Mohtar, di mana saja, beliau selalu memanggil
saya dengan sapaan khasnya “Ini dia asistennya Dr. Collin McAndrew,” dengan
gestur menepuk punggung saya. Terasa betul ada nuansa bangga di dalamnya.
Hati saya pun jadi mongkok. Dibanggakan oleh dosen yang saya asisteni selama
beberapa tahun. Ketika kemudian saya bekerja di Kementerian Sekretariat
Negara yang pada 1995–1998 dan dipromosi menjadi Deputi Direktur
KTNB (Kerjasama Teknik Negara Berkembang) maka saya mengamalkan
ilmu tentang Masalah Negara Berkembang yang saya pelajari dari Pak Mohtar,
untuk meningkatkan kerjasama teknik kita dengan negara-negara berkembang.
Terima kasih Prof Mohtar Mas’oed.”

Kesan senada juga diungkapkan oleh sahabat Romo Lukas Ispandriarno,


Dosen Universitas Atma Jaya Jogja (Note: beliau selalu kami panggil Romo,
karena penampilannya yang santun dan lembut). Romo Lukas menyampaikan
kenangannya berinteraksi dengan Prof. Dr. Mohtar Mas’oed secara singkat,
katanya “Saya sering berjumpa dengan Pak Mohtar justru setelah lulus dari

90
Fisipol. Kebanyakan di forum-forum diskusi akademik maupun NGO. Saya
sangat bangga karena dapat menjadi mitra beliau di beberapa diskusi akademik.
Saya sangat terkesan dengan beberapa pemikiran beliau terkait isu reformasi
dan resolusi konflik serta budaya politik. Meningkatnya interfaith dialogue pasca
9/11 dan pemboman di Bali (2002) guna meningkatkan saling pemahaman,
saling menghormati dan saling toleransi antar agama juga menjadi perhatian
kami yang sering diundang menjadi pembicara, saya mewakili Universitas
Atma Jaya, sedangkan Pak Mohtar mewakili UGM. Saya merasa selalu ada
energi khusus untuk hadir setiap kali menerima undangan saat beliau sebagai
pembicara karena cara beliau menyampaikan pandangannya mengenai setiap
isu betul-betul membuka wawasan kita, sangat mencerdaskan.”

Demikian pula Dr. Bakrie yang belum lama ini menyelesaikan program Doktor
dari Departemen Pasca Sarjana UGM, berkarier di Kementerian Pariwisata,
terakhir sebagai Direktur Pengembangan Destinasi Wisata, menyatakan “Saya
masih mengingat sepotong pandangan atau pengamatan Pak Mohtar terkait
perkembangan situasi politik dalam negeri Indonesia, bahwa ‘sistem politik di
Indonesia dan perpolitikannya sangat ditentukan oleh aktor-aktor politik. Situasi
seperti ini akan terus mewarnai perpolitikan kita’. Menurut saya pengamatan
singkat tersebut sangat padat akan makna dan simbol, menunjukan kepakaran
beliau di bidang Ilmu Politik.”

Aji Suksma yang berkarier di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan


pernah menjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan juga punya kenangan yang
tidak kalah spesialnya. Aji Suksma mengawali potongan mosaiknya dengan
kalimat “Masih segar dalam ingatan saya, buku sampul merah, buku babonnya
Pak Mohtar kalau memberi kuliah Masalah Negara Berkembang. Kita semua
berusaha memilikinya dan dengan bangga memamerkannya kepada mahasiswa
lain dari Jurusan lain. Ingat, pada saat itu rasanya bangga sekali ya, bisa
mengikuti kuliahnya Pak Mohtar dan Dr. Collin McAndrew”. Aji Suksma juga
sangat terkesan dengan tipe pertanyaan ujian yang dibuat Pak Mohtar, yang
menuntut mahasiswa untuk berpikiran analitik. Jawaban-jawaban kita harus
mengasah our analytical thinking, yang pada saat itu masih sangat jarang dosen
yang membuat pertanyaan demikian.

Secara khusus Aji Suksma ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada Bapak Mohtar Mas’oed yang telah memperlancar proses pengajuan
program Master-nya. “Saya juga sangat bersyukur dan berterima kasih kepada

91
Pak Mohtar yang telah berkenan memberi surat rekomendasi untuk saya
melanjutkan studi di State University of New York, Albany, Amerika Serikat.
Saya yakin pada saat itu pasti beliau bangga karena memang demikianlah sifat
Pak Mohtar, selalu mendorong dan menyemangati mahasiswanya untuk terus
meningkatkan pendidikan, menambah ilmu dan memperluas wawasan. Terima
kasih Prof. Mohtar.”

Masih ada potongan mosaik dari Tri Cahyo Utomo, dosen HI Universitas
Diponegoro, Semarang, yang menyatakan bahwa “Saya mengagumi Pak
Mohtar karena pada waktu itu (1976), sebagai dosen muda beliau sudah
mampu menulis karya ilmiah yang bagus dan sistematis. Mata kuliah Masalah
Negara Berkembang yang beliau ajarkan merupakan mata kuliah penting yang
membuka pemahaman mahasiswa HI tentang potensi dan pentingnya posisi
negara berkembang dalam Hubungan Internasional. Metode diskusi berbagai
kasus yang terjadi di beberapa negara berkembang yang beliau dan Dr. Collin
McAndrew terapkan dalam menyampaikan materi kuliah telah membuat
mahasiswa lebih mudah dalam memahami permasalahan negara-negara
berkembang di berbagai belahan bumi, dan membandingkannya dengan kasus
yang dihadapi Indonesia. Metode yang bagus tersebut kemudian saya terapkan
di Prodi HI UNDIP ini.”

Last mosaic is mine. Kami pribadi, seperti halnya teman-teman HI-75,


juga sangat berterima kasih kepada Prof Mohtar Mas’oed yang sangat rajin
mendorong semangat kita untuk terus maju. Ketika kami menyiapkan diri
untuk berangkat sebagai Duta Besar RI di Alger, Aljazair, kami berkonsultasi
dengan beliau dan meminta masukan tentang upaya-upaya apa yang dapat kita
laksanakan di Aljazair untuk meningkatkan hubungan bilateral RI – Aljazair.
Sebagai pakar masalah negara berkembang, beliau menginisiasi kegiatan yang
sangat diapresiasi oleh Pemerintah Aljazair, yakni menyelenggarakan Seminar
Internasional tentang Semangat KAA Bandung. Gagasan tersebut alhamdulillah
dapat kami selenggarakan di Alger, Aljazair pada tahun 2010 dalam rangka
Memperingati 55 Tahun KAA Bandung, dikemas dalam satu rangkaian
kegiatan, meliputi Seminar tentang Tantangan Semangat Kerjasama Bandung,
Pameran Foto KAA Bandung 1955 dan Pameran Dokumen GNB 1961-2010,
berlangsung di tempat yang sangat prestisius Gedung Arsip Nasional Aljazair,
Alger, dibuka oleh Menlu Aljazair Mourad Medelci. Dari Indonesia hadir Dr.
Hassan Wirajuda dan Prof Dr. Mohtar Mas’oed serta Duta Besar Darmansyah

92
Djumala dan Dr. Darwis Khudori yang kemudian Bersama Pak Mohtar
membangun lingkar diskusi Semangat Bandung (The Spirit of Bandung).

Satu hal yang tidak akan dapat kami lupakan adalah sikap Pak Mohtar terhadap
kami yang tidak berubah, dulu sebagai mahasiswa dan saat itu sebagai Duta
Besar. Beliau memperlakukan kami sama, dalam arti masih sama diceramahi
terus, dinasehati terus, dan dikasih arahan-arahan terus. Sewaktu menyusun
program side-event, nasehat beliau masih terngiang “Mbak Yuli, bagaimana
jika kita mengunjungi Museum dan Perpustakan Nasional. Ingat ya, setiap
kali berkunjung ke suatu negara maka yang pertama harus dikunjungi adalah
Museum dan Perpustakaan Nasional karena keduanya menyimpan potential
resources and the future of that country.” Untung beliau mengingatkan tentang
pentingnya Perpustakaan Nasional. Betul saja, ketika seluruh rombomgan dari
Jakarta berkunjung ke Perpustakaan Nasional Aljazair, kami semua terpesona,
tidak hanya oleh koleksi buku dan dokumennya yang lengkap dan terjaga
dengan baik sekali, sejak Aljazair di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman
(1500 – 1800) tetapi juga oleh sistem penyimpanan yang sangat modern persis
seperti Perpustakaan Nasional Perancis.

Terima kasih Pak Mohtar, teruslah menginspirasi dan mencerdaskan bangsa.

93
94
Pak Mohtar di
Mata Keluarga

95
96
Tak Cukup Waktu ...

Luki Aulia
Luki menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1999. Saat ini, ia bekerja
sebagai jurnalis di Surat Kabar Harian Kompas.

arum jam di dinding masih menunjuk angka 03.00 waktu bagian Nogotirto,
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di luar masih gelap gulita. Sunyi.
Sepi. Semua penghuni rumah masih tidur lelap dan selimutan rapat kecuali
Bapak. Sesekali saya kaget terbangun karena mendengar suara kunci pintu
kamar bapak ibu dibuka. Terdengar langkah kaki bersandal tipis yang diseret ke
arah kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar suara langkah menuju lantai
atas, ke ruang kerja, diikuti suara kursi diseret dan komputer dihidupkan. Lalu
suara ketukan ritmis di keyboard terdengar hingga pagi menjelang. 

Begitu rutinitas Bapak setiap hari sejak kami masih kanak-kanak. Saya sudah
hapal kebiasaan Bapak itu sejak ia masih kuliah S2 dan S3 di Ohio State
University, Colombus, Ohio, Amerika Serikat. Dulu Bapak malah masih
pakai mesin tik jadi pasti terdengar suara berisik tak .. tok .. tak .. tok .. ting ...
sreeeet! Sesekali saya ikut terbangun hanya karena penasaran apa yang dilakukan
pagi-pagi buta. Ternyata, membaca 2-3 buku sekaligus dan mengetik. Bapak
baru akan turun ketika dipanggil untuk sarapan atau saat ia harus bergegas
mengajar atau rapat. 

Sesibuk apapun, kalau sedang tidak ke luar kota, sarapan pagi diusahakan
makan bersama sambil cerita kemarin dan hari ini kami ada kegiatan apa saja.
Kalau ada yang tidak berkenan, Bapak pasti akan memberi wejangan panjang
kali lebar atau bahkan melarang. Kadang-kadang kami manut, tapi terkadang
kami ngeyel juga. Namanya juga anak-anak kan. 

97
Pernah satu kali dulu sekali, karena penasaran, saya tanya ke Bapak, “Kenapa sih
setiap hari harus bangun pagi-pagi banget?”

“Wis bangun pagi-pagi tiap hari wae masih banyak buku yang belum dibaca.


Setiap hari keluar buku baru yang harus dibaca. Ora cukup waktunya,” jawab
Bapak dengan wajah serius. 

Bagi Bapak, buku adalah segalanya. Buku itu jendela dunia, katanya sering
sekali kepada kami. Buku bisa membawa kita kemana pun, ke tempat-tempat
yang belum pernah kami datangi. Buku bisa membuka mata, pikiran, dan
wawasan kita pada pandangan orang lain. Singkatnya, banyaklah gunanya dan
kemudian diikuti nasehat agar kami rajin membaca buku. Sejak kecil, kami
selalu langganan majalah Bobo, dibelikan komik seperti Tintin, Asterix Obelix,
Ramayana, Mahabharata, novel-novel petualangan anak seperti Lima Sekawan,
STOP, dan segala macam buku Ensiklopedia. 

Bahkan adik nomor tiga saya mulai belajar membaca sendiri dari komik
Tintin sejak masih umur 4 tahun. Hanya karena dia penasaran kenapa kami
suka tertawa terbahak-bahak ketika membaca Tintin bersama-sama. Dari yang
awalnya ketawa-ketawa sendiri pura-pura paham padahal enggak, sampai
akhirnya adik saya itu bisa membaca sendiri. 

Waktu berharga
Membaca komik bareng-bareng Bapak itu menjadi waktu yang berharga karena
saking sibuknya Bapak mengajar atau menjadi pembicara seminar diskusi di
luar kota. Kalau pas ada di rumah, Bapak sesekali juga main gitar, nyanyi-nyanyi
sambil menggoda Ibu. Macam masih pacaran aja. Secara, dulu Bapak itu gitaris
di sebuah band pada masa remajanya di Dampit, Malang. Bapak cerita dulu
band yang anggotanya terdiri dari Bapak dan kedua kakaknya, Pakde Su dan
Pakde Pi’i, itu sering manggung konser di acara-acara kampung. 

Tetapi seringkali ketika Bapak sedang ada di rumah, kami juga masih harus
ikhlas berbagi waktu dengan tamu-tamu yang datang. Ada saja mahasiswa
yang datang mau meminjam buku, mau konsultasi skripsi, desertasi, atau tesis,
asisten dosen atau dosen yang datang untuk membahas entah apa, wartawan
lokal dan nasional yang mau wawancara, sampai tamu teman Bapak Ibu yang
datang sekadar silaturahmi. 

98
Mungkin karena tahu dirinya sibuk sekali atau jatuh kasihan sama anak-anaknya,
Bapak selalu mengajak kami jalan-jalan setiap ada kesempatan di akhir pekan
atau hari libur sekolah. Bisa sekadar membeli buku ke Toko Buku Gramedia
atau Gunung Agung. Bisa juga jalan-jalan ke Kaliurang, pantai-pantai Selatan,
ke rumah Eyang, rumah saudara, atau sekadar jalan-jalan cari tempat makan.
Jadwal jalan-jalan yang pasti ada itu ketika Lebaran karena setiap tahun harus
pulang ke rumah Eyang di Dampit. 

Buat saya, dan mungkin adik-adik saya, perjalanan ke Dampit, Malang, Surabaya,
Blitar, Jember, Madura, dan banyak lagi daerah di Jawa Timur itu selalu kami
tunggu dengan tidak sabar. Perjalanannya yang seru karena pasti akan mampir
makan di Rumah Makan Nirwana di Nganjuk, jagung bakar di Pujon, Batu,
dan makan rawon, rujak cingur, dan angsle lengkap dengan pethulo di Malang. 

Setiap perjalanan pulang ke Jawa Timur itu sesungguhnya perjalanan nostalgia


bagi Bapak. Setiap kali kami lewat atau singgah di suatu tempat, pasti ada
ceritanya. “Dulu Bapak di sini begini”, Dulu Bapak di situ sama ini”, “Dulu
Bapak pernah ini itu”, “Dulu di situ ada ini itu, tapi kok sekarang sudah endak
ada ya”, dan seterusnya. Di semua tempat pasti ada saja ceritanya. Ada saja kisah
sejarahnya.

Bagi kami, Bapak itu sudah seperti Ensiklopedia berjalan. Tanya apa saja, pasti
akan ada jawabannya. Tidak ada yang Bapak tidak tahu. Tidak ada.  mbah
Google  dijamin pasti kalah atau jangan-jangan mbah  Google  itu yang justru
terinspirasi oleh Bapak. Barangkali itu juga kenapa kami semua jadi suka
membaca buku atau novel yang berbau traveling, berlatar sejarah, kisah nyata
kehidupan seseorang, nonton film dokumenter, dan film yang diambil dari
kisah nyata. 

“Jalan-jalan kemana-mana itu supaya bisa tahu daerah lain seperti apa. Orang-
orangnya gimana. Kebiasaannya gimana. Besok kalau sudah besar, harus banyak
jalan-jalan, banyak ketemu orang. Harus punya banyak teman. Harus punya
banyak saudara dimana-mana,” begitu Bapak selalu menasehati kami. 

Terpengaruh kebiasaan
Dan persis itulah yang saya lakukan sampai sekarang. Keputusan saya untuk
memilih menjalani profesi wartawan juga banyak dipengaruhi oleh kebiasaan
Bapak. Dulu yang saya tahu hanya, pokoknya saya mau jadi seperti Bapak yang

99
sering pergi kemana-mana, ketemu beranekaragam orang, eh dibayari pula. 

Bukan hanya saya. Adik-adik saya pun memilih pekerjaan yang sehari-harinya
tidak duduk saja di kantor alias jalan-jalan kelayapan kemana-mana. Kebiasaan
kami sampai sekarang yang lebih suka menyetir kemana-mana dan menjelajahi
tempat-tempat baru juga karena kebiasaan Bapak. 

Kebiasaan menyetir sendiri kemana-mana itu masih dijalani Bapak sampai


sekarang. Ibu juga lebih suka menyetir sendiri karena kegiatan Ibu yang sama
padatnya dengan Bapak. Kami sering khawatir. Tetapi Bapak tetap ngotot. Bapak
saya memang orangnya keras kepala jadi ya sudahlah ya. Alasannya begini,
“Bapak harus tetap bisa menyetir supaya kemampuan motorik, refleks, tetap
bagus. Kalau pakai sopir nanti malah jadi lemah,” kata Bapak yang kemudian
segera kami iyakan daripada jadinya nanti malah berdebat. 

Meski orangnya keras kepala, disiplin, dan tegas, Bapak itu orangnya lucu,
konyol, dan jahil. Bapak selalu punya stok cerita-cerita lucu yang biasanya
kemudian saya ceritakan lagi ke teman-teman saya. Bangga juga bisa berbagi
cerita lucu yang bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak. Cerita-cerita lucu
itu juga yang selalu mewarnai rumah dan sepanjang perjalanan kami kemana
saja. Stoknya seperti tidak pernah ada habisnya. Pernah terbersit dalam benak
saya ingin menulis buku “Mati Ketawa ala Bagong”. Bagong itu nama panggilan
Bapak sejak kecil. Andaikata dari zaman dulu sudah ada kompetisi StandUp
Comedy, mungkin Bapak bisa menang terus. 

“Tertawa itu lebih sehat, Nduk. Masalah pasti akan ada namanya orang hidup.
Tapi ya jangan terlalu larut di dalamnya. Ojo panik stres dadi uwong. Ngguyu
wae. Semua pasti ada jalannya. The way we handle our problem menunjukkan
kedewasaan kita,” pesan Bapak yang sering saya dengar dan ingat-ingat sampai
hari ini. 

Hidup mandiri
Sejak kecil Bapak terbiasa hidup mandiri karena kesibukan Eyang Kakung dan
Eyang Putri yang punya toko di pasar di Dampit. Bapak terbiasa menyetrika
bajunya sendiri sampai sekarang. Beberapa tahun belakangan, Bapak juga setiap
pagi selalu menyirami tanaman, rumput, dan melakukan pekerjaan rumah
lainnya terutama ketika tidak ada asisten rumah tangga.

100
Karena terbiasa mandiri, Bapak selalu mengingatkan kami untuk bisa hidup
mandiri. Hidup mandiri ini tak hanya diajarkan ke anak-anaknya tetapi sampai
ke menantu dan cucu-cucunya. Tidak bergantung pada bantuan orang lain kalau
tidak kepepet sekali. Semua harus bisa melakukan apapun sendiri. Mungkin itu
kenapa Ibu saya juga mandiri kemana-mana dan melakukan kegiatan apa saja
tanpa harus ditemani Bapak. 

Ibu juga mengajarkan kami harus bisa mandiri dan jadi orang jangan cengeng
atau manja. Jadi orang, jangan mentang-mentang. Harus selalu baik dengan
orang lain. Jangan pernah sekali-kali merepotkan dan menyakiti orang lain.
Harus selalu siap sedia membantu orang lain terutama saudara sendiri. 

Ada banyak nasehat, wejangan, do’s and don’ts, dari Bapak Ibu yang senantiasa
diulang-ulang terus sepanjang hidup kami. Percayalah, ada buanyak. Namanya
juga orangtua. Dulu mungkin terdengar melelahkan seakan berat betul hidup
ini. 

Namun kini setelah kami semua dewasa (atau semakin tua), barulah kami
merasakan hasilnya. Kehidupan yang masing-masing kami jalani sekarang
mungkin tidak sempurna tetapi yang jelas tidak masuk kategori gagal. Kami
bisa menjadi seperti sekarang ini berkat Bapak dan Ibu. Kami berempat, Luki
Aulia, Alvin Hayat, Yulian Perdana, dan Aisha Hanum berharap apa yang sudah
kami lakukan dalam hidup bisa membuat Ibu terutama Bapak bangga. We love
you, Bapak! 

101
102
© 2019

103

Anda mungkin juga menyukai