Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

CIDERA KEPALA RINGAN


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Bedah RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan kepada :

dr. Wahyu Rathari Wibowo, Sp.B, FINACS

Disusun Oleh :

M. Akhyar Baharuddin
20194010011

KSM ILMU PENYAKIT BEDAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Cidera Kepala Ringan

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:

M. Akhyar Baharuddin
20194010011

Telah disetujui dan dipresentasikan pada

Dokter Pembimbing

dr. Wahyu Rathari Wibowo, Sp.B, FINACS

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas pasien
Nama : Anak. An
Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : islam
Pekerjaan : pelajar
Masuk RS : 08 juli 2019
II. Data dasar
a. Primary survey
1. Airway
Bebas
2. Breathing dan ventilation
Frekuensi nafas : 22x/ menit
Trakhea di tengah
Thorax : jejas (-), retraksi dinding dada (-)
Inspeksi : simetris dextra dan sinistra
Palpasi : stem fremitus dextra sama dengan sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuer +, suara tambahan –
3. Circulation and hemmorhage control
Frekuensi nadi : 88x/menit
Tekanan darah :-
Perdarahan :
4. Disability
Gcs : E4V5M6 = 15
Reflek cahaya : +/+

3
5. Exposure
Open fratktur tibia dextra dan close fraktur femur dextra
b. Secondary survey
Anamnesis
1. Keluhan utama : nyeri pada kaki kanan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Os datang setelah kecelakaan lalu lintas, pasien dibonceng
oleh ibunya dan pada saat hendak belok motor yang
ditumpangi pasien terserempet oleh bus, pasien
terjatuh,pasien tidak hilang kesadaran atau pingsan (-), tidak
ada tanda kenaikan TIK seperti mual, muntah, dan nyeri
kepala, terdapat hematom pada mata sebelah kanan.
3. Riwayat penyakit dahulu :-
4. Riwayat penyakit keluarga :-
III. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : cukup
b. Kesadaran : compos mentis,
c. GCS : E4V5M6
d. Vital sign : Tensi :
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5oc
e. Status generalis
1. Kepala
 Mata
o Edema palpebra : ‒/‒
o Conjunctiva anemis : ‒/‒
o Sklera ikterik : ‒/‒
o Mata cowong : ‒/‒
o Hematom : + mata kanan
 Telinga
o Discharge : ‒/‒

4
o Gangguan pendengaran : ‒/‒
 Mulut
o Mukosa bibir kering (–)
o Bibir sianosis (–)
o Stomatitis (–)
o Lidah kotor (‒)
2. Leher
 Benjolan (–)
 Limfonodi (–)
3. Thorax
 Inspeksi
o Simetris (+)
o Bentuk dada (N)
 Palpasi
o Benjolan (–)
o Fremitus kanan kiri Simetris
o Kembang paru Simetris
 Perkusi
o Sonor (+)
 Auskultasi Paru
o Vesikuler +/+
o Wheezing ‒/‒
o Ronkhi –/–
 Auskultasi Jantung
o S1-S2 reguler (+)
o Bising jantung (–)
4. Abdomen
 Inspeksi
o Distensi (–)
 Auskultasi
o bising usus (N)

5
 Perkusi
o Tymphani (+)
o Shifting dullness (–)
 Palpasi
o Nyeri tekan (-)
o Hepar Lien (–)
o Nyeri ketok ginjal (–)
o Murphy sign (-)
o Defens muscular (-)
o Rebound pain (-)

5. Ekstremitas
 Akral hangat (+)
 Nadi kuat regular
 Edema (‒)
 Varises (‒)
 Capillary refill time < 2”
 Nyeri sendi (‒)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboraturium
Pemeriksaan Hasil Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.3
Lekosit 14,17 g/dl
Eritrosit 3,93 10^3/uL
Trombosit 307 10^6/uL
Hematokrit 32,8 10^3/uL
HITUNG JENIS vol%
Eosinofil 0
Basofil 0 %
Batang 0 %
Segmen 89 %
Limfosit 7 %
Monosit 4 %
GOLONGAN DARAH A %
HEMOSTASIS

6
PPT 14,1
APTT 31,1 detik
Control PPT 14,9 detik
Control APTT 30,0 detik
FUNGSI GINJAL detik
Ureum 19
Creatinin 0,33 mg/dl
DIABETES mg/dl
Glukosa Darah Sewaktu 115
ELEKTROLIT mg/dl
Natrium 137.6
Kalium 3,69 mmol/l
Klorida 104.1 mmol/l
SERO IMUNOLOGI mmol/l
HEPATITIS
HbsAg Titer negatif

7
8
9
Hasil ct scan
1. Fraktur dinding sinus maksilaris dextra dengan pendarahan sinus
maxilaris dextra
2. Minimal SAH di falk cerebri, oedem cerebri
Hasil rongen
1. Fraktur os femur dextra 1/3 medial komplit cum angulasi com
contractionem
2. Fraktur os tibia sin 1/3 proksimal inkoplit cum angulasi

10
V. DIAGNOSISI
Cedera kepala ringan + SAH dan oedem cerebri ringan
Fraktur os femur dextra 1/3 medial komplit
Fraktur os tibia sin 1/3 proksimal inkoplit
VI. PENATALAKSANAAN
O2 : 5 lpm
Infus Rl : 15 tpm
Ceftriaxon : 625 mg/12 jam
Citicolin : 250 mg/2 jam
Ketorolac : 15 mg/jam
Ranitidin : ½ mg/ 12 jm

11
FOLLOWA UP HARIAN
tanggal Pemeriksaan Terapi

10/7/19 S : nyeri kepala (+), mual (-), muntah (- O2 3 lpm


),hematom mata kanan
Infus Rl 12 tpm
KU : Sedang, CM
Cefotaxime 600 mg/12
GCS : E4M6V5 jam

TD : 120/60 mmHg Citicolin 250 mg/12 jam

N : 80x/mnt Ranitidin 25 mg/12 jam

RR : 20x/mnt Paracetamol 500 mg/12


jam
S : 37

11/7/19 S : nyeri kepala (+) sudah berkurang , Terapi lanjut


mual (-), muntah (-),hematom mata kanan

KU : sedang, CM

GCS : E4M6V5

TD : 120/60 mmHg

N : 86x/mnt

RR : 20x/mnt

S : 37

12/7/19 S : nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-), Inf.RL 20 tpm
hematom mata kanan
Terapi lanjut
KU : sedang, CM

GCS : E4M6V5

TD : 110/70mm Hg

N : 80x/mnt

RR : 28x/mnt, S : 36,8

12
BAB II
TIJUAN PUSTAKA
Cedara kepala adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kejadian
external oleh trauma fisik yang bisa menyebabkan ganguan kesadaran. Cedera pada
kepala dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, baik itu tertutup,terbuka,
dan tertekan atau cedera otak. Cedera otak dibagagi menjadi 3 kategori, yaitu 3 C :
a. Concussion : cedera otak paling ringan, ditandai dengan hilangnya fungsi
otak yang bersifat sementara
b. Contusion : otak mengalami memar, fungsi otak terganggu selama
beberapa jam, hari, bahkan minggu.
c. Compression : diakibatkan oleh otak yang bengkak atau timbulnya
hematom epidural atau supdural. Dan apabila terjadi kompresi akibat
bekuan darah maka harus dilakukan pembedahan darurat.
A. ANATOMI FISIOLOGI

Secara anatomis otak dibagi menjadi beberapa bagian yaitu, cerebrum,


cerebelum, brainstem, dan limbic sytem. Cerebrum atau biasa dsebut sebagai
otak besar, merupakan bagian terbesar dari otak manusia. Cerebrum dibagi
menjadi 4 lobus, yaitu
a. Frontal
Lobus ini bertanggung jawab atas kontrol emosional dan
kepribadian yang mempengaruhi fungsi motorik, keputusan dan
pemecahan masalah, spontanitas, ingatan, ekspresi dan pemilihan
bahasa, kalimat inisiatif serta perilaku sosial dan perilaku sex.

13
b. Parietal
Lobus ini memiliki 2 fungsi utama, yaitu bertanggung jawab pada
sensasi, presepsi, dan bertangung jawab pada pengintegrasian input
sensorik, terutama pada sistem visual.
c. Temporal
Lobus ini bertanggung jawab terhadap kamampuan pendegaran,
sebagian presepsi visual, serta pengkategorian objek.
d. Occipital
Lobus ini merupakan pusat dari system presepsi visual. Sehingga
bertanggung jawab pada penglihatan.
Cerebellum atau biasa disebut sebagai otak kecil terletak di fossa crania
posterior. Secara anatomis terdiri dari 1 vermis cerebelli dan 2 hemispherium
cerebella, dan dihubungkan dengan medula oblongata oleh pedunculus
cerebeli. Semua aktivitas pada otak kecil merupakan aktivitas involuntary.
Fungsi dari otak kecil yaitu, untuk keseimbangan, pengaturan tonus otot, dan
koordinasi pergerakan.
Brainstem atau batang otak merupakan tempat keluarnya nervus cranialis,
memiliki fungsi pusat pengaturan pernafasan, kardiovaskular, dan pencernaan,
selain itu juga berfungsi sebagai penerima dan pengintegrasi input sinaptik dari
medulla spinalis,aktivasi korteks cerebcrum, dan pengatur siklus tidur.
Secara garis besar tedapat tiga hal yang mempengaruhi keadaan fisiologi
otak, yaitu tekanan itrakranial,tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak, serta
aliran darah otak. Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10 mmhg. Dan
menurut hukum monro kellie, hal-hal yang mempengaruhi tekanan intrakranial
yaitu volume darah, volume LCS dan volume jaringan otak. Tekanan perfusi
otak yang normal berkisar antara 70 mmHg, sedangakan aliran darh otak
normal berkisar antara 50ml/100 gr jaringan otak per menit.
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.
Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan
bermotor yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah

14
dan menengah. Menurut WHO, kejadian cedera kepala akan melebihi kejadian
berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian dan kecacatan pada
tahun 2020. Epidemiologi cedera kepala di Yogyakarta didapatkan dari
Instalasi Gawat Darurat RS Panti Nugroho pada bulan Mei sampai dengan Juli
2005, didapatkan 56 kasus cedera kepala ringan (76%), 11 kasus cedera kepala
sedang (15%), dan 7 kasus cedera kepala berat (9%) (Jovan, 2007). Menurut
laporan tahunan Instalasi Rawat Darurat RSUP Sardjito tahun 2006, angka
kejadian cedera kepala adalah sebesar 75% (Barmawi, 2007).
C. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi

D. CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). etiologi
cedera kepala data disebabkan oleh :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)

15
cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi cedera kepala yaitu berdasarkan :

a. Mekanisme cedera kepala


Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera
kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus
atau cedera tumpul.
b. Beratnya cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral,
laserasi atau hematoma intracranial.

16
Skala Koma Glasgow

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata :

-Spontan 4

-Terhadap rangsangan suara 3

-Terhadap nyeri 2

-Tidak ada 1

2 Verbal :

-Orientasi baik 5

-Orientasi terganggu 4

-Kata-kata tidak jelas 3

-Suara tidak jelas 2

-Tidak ada respon 1

3 Motorik :

- Mampu bergerak 6

-Melokalisasi nyeri 5

-Fleksi menarik 4

-Fleksi abnormal 3

-Ekstensi 2

17
-Tidak ada respon 1

Total 3-15

c. Morfologi
secara morfologi cedera kepala dibagi atas :
 Fraktur tengkorak

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain :

 Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)


 Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
 Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
 Parese nervus facialis ( N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke


dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan
pembedahan.

 Lesi intrakranial

o Lesi Supratentorial.
Pada lesi supratentorial, gangguan akan terjadi baik oleh kerusakan
langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi
pada ARAS karena proses tersebut maupun gangguan vaskularisasi

18
dan edema yang diakibatkan. Proses ini menjalar secara radial dan
lokasi lesi kemudian kearah rotasi-kaudal sepanjang batang otak.

Gejala-gajala klinis akan timbul sesuai dengan perjalanan proses


tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik foka-kaudal
sepanjang batang otak.

Gejala-gajala klinis akan timbul sesuai dengan perjalanan proses


tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuia
dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul
sindrom diensefalon, sindrom mesenfalon, bahkan sindrom ponto-
meduler dan deserbasi.

o Lesi infratentorial.
Pada lesi infratentorial, gangguan dapat terjadi karena kerusakan
ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh
proses ekstrinsik.

o Lesi difus.
Gangguan neurologi pada umumnya bersifat bilateral dan hampir
selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat
dilokalisir pada suatu susunan anatomi tertentu pada susunan saraf
pusat. Keadaan ini misalnya terjadi pada komosio klasik, komosio
ringan, dan cedera akson difus.

Penyebab gangguan pada golongan ini terutama akibat kejadian


sekunder misalnya kekurangan O2, kekurangan glukosa, serta
gangguan sirkulasi darah.

E. JENIS PENDARAHAN INTRAKRANIAL


A. Epidural Hematoma
Epidural hematoma terjadi pada 1% trauma kepala, Insiden tertinggi
terjadi pada usia 20-30 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun atau
lebih dari 60 tahun, (disebabkan dura yang melekat erat pada tabula interna
skull). Fraktur terjadi pada 85% pasien dewasa. Kecelakaan lalulintas

19
merupakan penyebab terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat terjatuh
dan korban kekerasan. Lokasi tersering pada daerah temporal, kemudian
frontal, occipital dan fossa posterior. 2-5% terjadi bilateral. Epidural
hematoma terjadi akibat robekan arteri meningea media atau cabang-
cabangnya akibat fraktur pada daerah temporoparietal. Akumulasi darah
melepaskan perlekatan duramater dari dinding tabula interna yang
kemudian terisi hematoma.Kemungkinan lain pada awal duramater
terlepas dari dinding tabula interna kemudian ruang yang terbentuk terisi
oleh hematoma. Sumber perdarahan terbanyak bersumber dari perdarahan
arteri: arteri meningea media (85%), dapat juga berasal dari vena meningea
media, sinus duramater atau dari vena diploe.

Gejala klinis:

Penurunan kesadaran terjadi pada 22-56% pasien. Gejala klasik epidural


hematoma meliputi:

• Riwayat kehilangan kesadaran

• Lucid interval terjadi pada 25-50% kasus

• Terjadi penurunan kesadaran,

• Tanda herniasi : dilatasi pupil ipsilateral, hemiparesis kontralateral

Jika tidak tertangani gejala dapat berlanjut menyebabkan deserebrasi,


distress pernapasan dan kematian. Perburukan gejala dapat terjadi beberapa
jam, atau beberapa hari. Waktu yang lama berhubungan dengan perdarahan
yang bersumber dari perdarahan vena. Gejala klinis lain dapat berupa:
cefalgia, muntah, kejang, hiperrefleksia, Refleks babinsky + unilateral.
Hipertensi dan bradikardia dapat muncul sebagai bentuk dari Cushing
respon Dilatasi pupil terjadi pada 60% pasien , dimana 85% terjadi
ipsilateral dengan lesi EDH. Riwayat kehilangan kesadaran tidak terjadi
pada 60%, lucid interval tidak terjadi pada 20% pasien (lucid interval dapat
juga terjadi pada kondisi lain termaksud subdural hematoma).

20
 CT scan

Gambaran klasik EDH: lesi hiperdens berbentuk bikonvex

B.Subdural Hematoma

SDH dapat disebabkan karena kecelakaan lalulintas, terjatuh, atau


korban pemukulan pada derah kepala. SDH akut terjadi pada pasien 12-29%
pasien dengan cidera kepala berat dan berkisar 11% dari semua pasien dengan
diagnosis trauma kepala.

Kerusakan akibat trauma biasanya lebih tinggi pada subdural hematoma akut
di banding pada epidural hematom, di mana lesi yang timbul menyebabkan
angka mortalitas lebih tinggi. Sering terdapat lesi pada otak, yang tidak terjadi
pada EDH. Gejala terjadi akibat penekanan pada struktur otak dibawahnya
yang menyebabkan pergeseran garis tengah, lesi intracerebral dan edema
cerebri

Penyebab utama subdural hematoma akut:

• Akumulasi perdarahan dari laserasi parenkim (biasanya di daerah frontal


dan temporal). Terdapaa lesi intracerebral yang berat dibawahnya. Gejala
lucid interval jarang terjadi. Gejala neurologis fokal terjadi kemudian dan
kurang khas dibanding EDH

21
Robekan vena kortikal atau bridging vena akibat mekanisme akselerasi-
deselerasi sewaktu terjadi gerakan kepala. Pada kasus ini, kerusakan
primer pada cerebral lebih ringan, dapat terjadi lucid interval yang
diikuti penurunan kesadaran yang berlangsung cepat.

• Subdural hematoma yang besar terdapat pada 18% kasus terbanyak


disebakan karena rupture pada bridging vein yang menghubungkan vena
kortikal dengan sinus sagitalis superior.
SDH akut dapat terjadi pada pasien yang mendapat terapi antikoagulan, di
mana terjadi tanpa riwayat trauma atau trauma minimal.

Gambaran SDH sering menyebabkan efek


penekanan/pergeseran yang lebih besar pada struktur midline, dibandingkan
dengan ketebalan SDH, hal ini disebabkan SDH akut sering berhubungan
dengan perdarahan intracerebral, kontusio serebri serta edema serebri.

Berdasarkan gambaran radiologis, SDH dibagi menjadi:

- SDH akut, hematoma terdiri dari bekuan darah serta perdarahan (terjadi
dalam 48 jam setelah trauma), lesi tampak hiperdens
- subakut terdapat campuran antara darah membeku serta darah yang mulai
mencair ( 2 hari-14 hari setelah trauma), terdapat gambaran hiperdens,
isodens dan hipodens
- kronik jika hematoma telah mencair (lebih dari14 hari), gambaran lesi
isodens dan hipodens

22
Gejala klinis:

Gejala klinis utama yaitu penurunan kesadaran. Sekitar 37-80% pasien


dengan SDH akut datang dengan GCS < 8. Lucid interval terjadi pada 12-
38%. Pupil abnormal terjadi pada 30-50% pasien

Pemeriksaan penunjang:

CT Scan Lesi berbentuk bulan sabit (crescent), disertai edema serebri.


Biasanya terlokasi konveksitas, interhemisfer, tentorium atau fossa posterior.

Gambaran CT scan SDH dapat bervariasi sesuai waktu trauma.

Perbedaan antara EDH dan SDH: SDH lebih difus, biasanya berbentuk konkav
mengikuti permukaan hemisfer.

C.Perdarahan Subarahnoid

Perdarahan subarachnoid merupakan ekstravasasi darah ke dalam ruang


subarachnoid diantara piamater dan membrane arachnoid. Penyebab
tersering disebabkan trauma kepala. Dapat juga disebabkan perdarahan
spontan akibat rupture aneurisma serebri atau rupture arteriovenous
malformation (AVM).

Sumber perdarahan subarachnoid berasal dari:

a. trauma langsung pada vena-vena pial,

23
b. perdarahan dari kontusio daerah kortikal

c. ekstensi dari perdarahan intraventrikel ke ruang subaracnoid

Pada pasien dengan cidera kepala berat yang dilakukan pemeriksaan CT Scan, 50-
60% menunjukkan perdarahan sbarachnoid.

Gejala klinis:

Gejala dan tanda SAH bervariasi. Gejala yang paling sering meliputi: Nyeri
kepala, Pusing,Nyeri daerah orbita Diplopia,Gangguang penglihatan, Penurunan
kesadaran

Pemeriksaan penunjang

Pada CT Scan, perdarahan subarachnoid tampak sebagai lesi hiperdens


pada daerah sulkus serebri serta sisterna subarachnoid. Lesi hiperdens pada fossa
interpeduncular merupakan tanda perdarahan subarachnoid. Perdarahan
subarahnoid dapat menyebabkan gangguan absorpsi liquor serebrospinal
menyebabkan hidrocefalus kommunikan.

Penanganan

Penanganan medikamentosa pasien dengan perdarahan subarahnoid


sesuai dengan lesi intracranial yang terjadi, paling sering berhubungan dengan
cidera kepala berat. Penanganannya sesuai dengan penanganan pasien dengan
cidera kepala berat. Sekitar 20% pasien dengan cidera kepala berat dan
perdarahan subarachnoid mengalami komplikasi vasospasme. Penanganan
vasospasme meliputi hipertensi, terapi hipervolume, hemodilusi serta pemberian
obat-obatan calcium channel blocker. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu
hidrosefalus yang membutuhkan penanganan eksternal drainase atau shunting.

Prognosis

Perdarahan subarachnoid traumatic merupakan factor prognostic yang


memperburuk outcome pasien dengan trauma kepala. Dari penelitian

24
menunjukkan 41% pasien tanpa perdarahan subaracnoid memiliki outcome
lebih baik disbanding 15% pada pasien dengan perdarahan subarachnoid.

D.Perdarahan Intracerebral

Perdarahan intraserebral traumatik terjadi pada 8% pasien dengan


trauma kepala dan 13-35% pada trauma kepala berat. Sering terjadi multiple
dengan lokasi terbanyak pada lobus frontal and temporal, namun dapat pula
terjadi pada kedua hemisfer. Jarang terjadi pada daerah cerebellum, kadang-
kadang perdarahan intracerebral terjadi beberapa hari setelah trauma. Jika
bentuk hematoma berbatas tegas, single, pada pasien dengan riwayat trauma,
kemungkinan penyebab lain akibat nontrauma seperti hipertensi serta rupture
aneurisma dapat terjadi. Kontusio serebri merupakan perdarahan dengan
diameter < 1 cm.

Mekanisme terjadinya akibat proses akselerasi deselerasi pada kepala saat


terjadi trauma, menyebabkan terjadi pergeseran cerebra pada tulang yang
prominen (temporal, frontal, dan occipital) pada bagian koup dan kontrakoup.

Treatment

Lesi perdarahan intracranial yang kecil tidak membutuhkan tindakan


operasi , namun efek massa yang ditimbulkan pada lesi yang berukuran besar
dapat menyebabkan secondary brain injury yang dapat menyebabkan
perburukan neurologis : menyebabkan herniasi dan kematian

Gejala klinis:

Gejala klinis akut perdarahan intraserebral hamper sama dengan gejala


perdarahan intracranial lainnya. Sekitar 7% pasien datang dengan penurunan
kesadaran serta cidera kepala berat.

Delayed traumatic ICH dapat terjadi pada daerah yang sebelumnya menunjukkan
CT Scan normal atau terdapat kontusio srebri.Pasien dengan DTICH memenuhi
criteria: Terdapat riwayat trauma, gejala asimptomatik diikuti penurunan
kesadaran.

25
Pemeriksaan penunjang

CT Scan kepala nonkontras merupakan modalitas terbaik untuk diagnosis


pertadarahan intraserebral. Pada gambaran CT Scan tampak sebagai lesi
hiperdens dengan edema minimal atau tanpa edema di sekeliling lesi. Pada
subakut batas perifer hematoma membentuk ring-like enhancement pada CT
Scan dan MRI akibat proliferasi kapiler pada kapsul hematoma.

Delayed intracerebral hematomas

Dapat terjadi pada area yang tampak normal pada CT Scan awal atau terdapat
kontusio serebri pada CT Scan awal, paling sering terjadi pada hari 1-4 setelah
trauma, namun dapat pula terjadi sampai 2 minggu setelah trauma kepala.

26
E.PerdarahanIntraventrikel

Perdarahan intraventrikuler dibagi menjadi 2, perdarahan primer


intraventrikel dan perdarahan sekunder intraventrikel. perdarahan primer
intraventrikel yaitu darah hanya dalam sistem ventriuler, tanpa adanya rupture
atau laserasi dinding ventrikel. Disebutkan pula bahwa PIVH merupakan
perdarahan intreserebral nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel.

Sedangkan perdarahan sekunder intreventrikuler muncul akibat


pecahnya pembuluh darah intraserebral dalam dan jauh dari periventrikular,
yang meluas ke sistem ventrikel. “Primary” menandakan tampilan patologik dan
bukan menandakan etiologi yang tidak diketahui.

Gejala Klinis

Sindrom klinis IVH menurut Caplan menyerupai gejala SAH yang merupakan
manifestasi dari gangguan pembuluh darah otak (GDPO), berupa :

1. Sakit kepala mendadak

2. Kaku kuduk

3. Muntah

4. Letargi

5. Penurunan kesadaran

27
F. FRAKTUR

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuinitas jaringan


tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
atau trauma. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan tulang
radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh
bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal
patah.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu, Fraktur akibat
peristiwa trauma, Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan, dan
Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang

a. Fraktur femur
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi ini
fraktur femur secra klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha. Fraktur femur
dibagi dalam beberapa bagian, yaitu
1. Fraktur intertrokhanter femur
Fraktur intertrokhanter femur adalah patah tulang yang
bersifat ekstrakapsular dari femur. Sering terjadi pada lansia dengan
kondisi osteoporosis.
2. Fraktur subtrokhanter femur

Fraktur subtrokhanter femur adalah fraktur dimana garis


patahanya berada 5 cm distal dari trokhanter minor. Dibagi dalam
beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah
dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :

-tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor


-tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas
trochanter minor

28
-tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor
3. fraktur batang femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma
langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh
dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh
dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi
berdasarkan adanya lukayang berhubungan dengan daerah yang
patah. Dibagi menjadi :

1.fraktur femur tertutup


2.fraktur femur terbuka,bila terdapat hubungan antara tulang patah
dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
-Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka
kecil, biasanya
iakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
-Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena
benturan dari
luar.
-Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan
lunak banyak
yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)
4. fraktur supracondyler femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi
dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya
tarikan dari otot–otot gastrocnemius,biasanya fraktur supracondyler
ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai
gaya rotasi

29
5. fraktur intercondylair femur

Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur


supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y
fraktur
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1.Mengurangi rasa nyeri
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat
bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat diberi
obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu
pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.
2.Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, fiksasi internal,
sedangkan bidai maupun gips hanya dapat digunakan untuk fiksasi yang
bersifat sementara saja.
3.Membuat tulang kembali menyatu
Tulang yang fraktur akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan.
4.Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot
dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut diperlukan
upaya mobilisasi
b. Fraktur cruris
Fraktur cruris atau tibia-fibula adalah terputusnya hubungan
tulang tibia dan fibula. Fraktur tibia dapat terjadi pada bagian
proksimal (kondiler), diafisis atau persendian pergelangan kaki

1. Fraktur Kondiler Tibia


Mekanisme trauma
Fraktur kondiler tibia lebih sering mengenai kondiler
lateralis dari pada medialis serta fraktur kedua kondiler.

30
Banyak fraktur kondiler tibia terjadi akibat kecelakaan
antara mobil dan pejalan kaki di mana bemper mobil
menabrak kaki bagial lateral dengan gaya kearah medial
(valgus). Ini menghasilkan fraktur depresi atau fraktur split
dari kondiler lateralis tibia apabila kondiler femur didorong
kearah tersebut. Kondiler medial memiliki kekuatan yang
lebih besar, jadi fraktur pada daerah ini biasanya terjadi
akibat gaya dengan tenaga yang lebih besar (varus). Jatuh
dari ketinggian akan menimbulkan kompresi aksial sehingga
bisa menyebabkan fraktur pada proksimal tibia. Pada
golongan lanjut usia, pasien dengan osteoporosis lebih
mudah terkena fraktur kondiler tibia berbanding robekan
ligamen atau meniscus setelah cedera keseleo di lutut.
Eminentia intrakondiler dapat fraktur bersama robekan
ligamen krusiatum sebagai akibat hiperekstensi atau gaya
memutar
Gambaran klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut,
pembengkakan dan nyeri serta
hemartrosis. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi
lutut. Biasanya pasien tidak dapat menahan beban. Sewaktu
pemeriksaan, mereka merasakan nyeri pada proksimal tibia
dan gerakan flesi dan ekstensi yang terbatas. Dokter perlu
menentukan adanya penyebab cedera itu akibat tenaga yang
kuat atau lemah karena cedera neovaskular, sindroma
kompartmen lebih sering terjadi pada cedera akibat tenaga
kuat. Pulsasi distal dan fungsi saraf peroneal perlu diperiksa.
Kulit perlu diperiksa secara seksama untuk mencari tanda-
tanda abrasi atau laserasi yang dapat menjadi tanda fraktur
terbuka

31
Penilaian stabilitas lutut adalah penting dalam mengevaluasi
kondiler tibia. Aspirasi dari hemartrosis pada lutut dan
anestasi lokal mungkin diperlukan untuk pemeriksaan yang
akurat. Jika dibandingkan dengan bagian yang tidak
cedera,pelebaran sudut sendi pada lutut yang stabil mestilah
tidak lebih dari 10o dengan stress varus atau valgus pada
mana-mana titik dalam aksis gerakan dari ekstensi penuh
hingga fleksi 90o. Integritas ligamen krusiatum anterior perlu
dinilai melalui tes Lakhman.
Fraktur kondiler sering disertai cedera jaringan lunak
disekeliling lutut.Robekan ligamen kollateral medial dan
meniscus medial sering menyertai fraktur kondiler lateral.
Fraktur kondiler medial disertai robekan ligamen kollateral
lateral dan meniskus medial. Ligamen krusiatum anterior
dapat cedera pada fraktur salah satu kondiler. Fraktur
kondiler tibia, terutama yang ekstensi frakturnya sampai ke
diafisis, dapat meyebabkan kepada sindroma kompartemen
akut akibat perdarahan dan edema.
2. Fraktur Diafisis Tibia
Mekanisme trauma
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi
yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik
pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur
tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3
bagian tengah dan 1/3 bagian distal. Tungkai bawah bagian
depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada
daerah tibia sering bersifat terbuka. Penyebab utama
terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.
Klasifikasi fraktur
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk
kepentingan para dokter yang menggunakannya untuk

32
memperkirakan kemungkinan penyembuhan dari fraktur
dalam menjalankan penatalaksanaannya. Orthopaedic
Trauma Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia
berdasarkan pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup, yaitu :
simple, wedge dan kompleks. Masing–masing grup terbagi
lagi menjadi 3 yaitu
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular

Sistem klasifikasi yang sering digunakan pada fraktur


terbuka adalah sistem Gustilo sebagai berikut:
Tipe I: lukanya bersih dan panjangnya kurang dari 1 cm.
Tipe II: panjang luka lebih dari 1 cm dan tanpa kerusakan
jaringan lunak yang luas.
Tipe IIIa: luka dengan kerusakan jaringan yang luas,
biasanya lebih dari 10 cm
dan mengenai periosteum. Fraktur tipe ini dapat disertai
kemungkinan komplikasi, contohnya: luka tembak.
Tipe IIIb: luka dengan tulang yang periosteumnya terangkat.
Tipe IIIc: fraktur dengan gangguan vaskular dan memerlukan
penanganan
terhadap vaskularnya agar vaskularisasi tungkai dapat
normal kembali

33
G. TRAUMA WAJAH

Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang
tidak bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena
menyatu dengan kranium melalui artikulasio temporomandibularis yang mobil.

Tulang wajah terdiri atas:

- os zygomaticum (2 buah)
- maksila (2 buah)
- os nasale (2 buah)
- os lacrimale (2 buah)
- os vomer (1 buah)
- os palatinum (2 buah)
- konka nasalis inferior (2 buah)
- os mandibula (1 buah)
Trauma muka dibagi atas fraktur pada organ berikut:

1. Fraktur tulang hidung

34
Di antara trauma muka yang timbul, fraktur tulang hidung paling sering
terjadi, biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Fraktur tulang hidung
dibuktikan dengan pemeriksaan foto rontgen menggunakan proyeksi water,
foto os nasal dan juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto rontgen dengan
proyeksi dari atas hidung untuk mengetahui kelainan oklusi dari rongga mulut.4

2. Fraktur tulang zygoma dan arkus zygoma


a. Fraktur Zygoma
Kira-kira 6 % dari fraktur tulang zygoma tidak menunjukkan kelainan.
Trauma dari depan yang langsung merusak pipi menyebabkan perubahan
tempat dari tulang zygoma itu ke arah posterior, ke arah medial atau ke arah
lateral sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata menyebabkan
terjadinya diplopia. Fraktur ini tidak mengubah posisi dari rima orbita
inferior ke arah atas atau ke arah bawah. Diagnosis ditegakkan secara klinis
dengan foto rontgen menurut Waters yaitu posisi temporooksipital. Tulang
zygoma dibentuk oleh tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan
tulang maksila yang membentuk penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit
ke arah lateral
Gejala fraktur zygoma antara lain:

- pipi menjadi lebih rata (dibandingkan dengan sisi kontralateral atau


sebelum trauma)
- diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
- edema periorbita dan ekimosis
- perdarahan subkonjungtiva, ptosis
- enophtalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
- terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infra-
orbitalis
- terbatasnya gerakan mandibula
- emfisema subkutis
- epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

35
b. Fraktur Arkus Zygoma
Ditandai dengan adanya rasa sakit pada waktu bicara atau mengunyah,
kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya
perubahan letak dari arkus zygoma terhadap prosessus koronoid dan otot
temporal. Fraktur arkus zygoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan
mudah dikenal dengan palpasi. Tindakan reduksi kadang-kadang diperlukan
reduksi terbuka selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus
zygoma yang patah. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus
zygoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zygoma di preaurikuler.

3. Fraktur tulang orbita


Fraktur maksila sangat erat hubungannya timbulnya fraktur orbita terutama
pada pengguna kenderaan bermotor. Fraktur ini terjadi akibat trauma langsung
pada tepi tulangnya atau pada tulang zygomatikus.

Gejala-gejala:

1. enophtalmus/ exophtalmus
2. hematoma
3. diplopia
4. asimetri muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow-out fracture dari dasar orbita.
Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir
orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zygoma.

5. gangguan saraf sensoris


Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis
berhubungan erat dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada
fraktur timbul kelainan ini, sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra
orbitalis, berupa anestesia pipi karena cedera n.infraorbitalis atau anestesia
dahi karena cedera n.supraorbitalis. Bila timbul anestesia dalam waktu lama
harus dilakukan eksplorasi dan dekompresi nervus infraorbitalis.

36
4. Fraktur tulang maksila (mid facial)
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuannya untuk
memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan
memperoleh kontur muka yang cocok. Fraktur maksila pada umumnya bilateral.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan jalan nafas sehingga mungkin
dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur
maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri
maksilari interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.

Gejala klinis pada fraktur maksila:

- Perdarahan yang keluar dari telinga, terutama pada fraktur condilus atau
basis kranii
- Perdarahan yang keluar dari hidung atau dari mulut, terutama pada middle
third fracture
- Gejala neurologis berupa pasien menjadi apatis, sakit kepala yang hebat,
ingin muntah-muntah
- Pupil melebar dengan refleks cahaya negatif
- Mata tertutup karena hematom
Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan bila terlambat penanganan atau
kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus
diperiksa dan dilakukan fiksasi. Fiksasi dan imobilisasi berlangsung selama
enam hingga delapan minggu. Imobilisasi dilakukan pada kranium atau kepala
(cranio maxilla fixation), atau bisa juga pada arkus zygomatikus, dasar tulang
mata, dasar tulang hidung, atau pinggir hidung.

5. Fraktur tulang mandibula


Fraktur mandibula paling sering terjadi karena kondisi mandibula yang terpisah dari
kranium, umunya disebabkan oleh trauma langsung. Tempat-tempat yang sering
menderita fraktur adalah angulus mandibulae, condyle regio molar, regio mentalis,

37
simfisis, regio cuspid, ramus dan prosesus coronoideus. Penanganan fraktur ini
terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang
sempurna, proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Fraktur mandibula pada
umumnya disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang
berinsersi di tempat tersebut. Otot tersebut adalah otot elevator (m. Temporalis, m.
Pterigoideus internus, m. Masseter), otot depresor (m. Digastricus, m.
Geniohyoideus, m. Geniohyoiglossus, m. Mylohyoid, m. Platysma, m.
Pterygoideus externa) dan otot protrusor. Pada fraktur daerah dagu, otot akan
menarik fragmen tulang ke arah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral
tulang akan tertarik ke arah kranial. Secara garis besar, patah tulang wajah akan
menimbulkan gejala:

- Nyeri tekan lokal


- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas n. Supraorbitalis, n. Infraorbitalis, n. Mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong D, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC,


2010
2. Zairin noor. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal ed.2 2016
3. Jovan, D. 2007. Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di
Instalasi Gawat Darurat RS Panti Nugroho Pakem Sleman. Karya Tulis
Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
4. Maas, A.I.R., Stocchetti, N., Bullock, R. 2008. Moderate and severe
traumatic brain injury in adults. Lancet Neurol 7:728-41.

39

Anda mungkin juga menyukai