Diajukan kepada :
Disusun Oleh :
M. Akhyar Baharuddin
20194010011
2019
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
M. Akhyar Baharuddin
20194010011
Dokter Pembimbing
2
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas pasien
Nama : Anak. An
Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : islam
Pekerjaan : pelajar
Masuk RS : 08 juli 2019
II. Data dasar
a. Primary survey
1. Airway
Bebas
2. Breathing dan ventilation
Frekuensi nafas : 22x/ menit
Trakhea di tengah
Thorax : jejas (-), retraksi dinding dada (-)
Inspeksi : simetris dextra dan sinistra
Palpasi : stem fremitus dextra sama dengan sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuer +, suara tambahan –
3. Circulation and hemmorhage control
Frekuensi nadi : 88x/menit
Tekanan darah :-
Perdarahan :
4. Disability
Gcs : E4V5M6 = 15
Reflek cahaya : +/+
3
5. Exposure
Open fratktur tibia dextra dan close fraktur femur dextra
b. Secondary survey
Anamnesis
1. Keluhan utama : nyeri pada kaki kanan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Os datang setelah kecelakaan lalu lintas, pasien dibonceng
oleh ibunya dan pada saat hendak belok motor yang
ditumpangi pasien terserempet oleh bus, pasien
terjatuh,pasien tidak hilang kesadaran atau pingsan (-), tidak
ada tanda kenaikan TIK seperti mual, muntah, dan nyeri
kepala, terdapat hematom pada mata sebelah kanan.
3. Riwayat penyakit dahulu :-
4. Riwayat penyakit keluarga :-
III. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : cukup
b. Kesadaran : compos mentis,
c. GCS : E4V5M6
d. Vital sign : Tensi :
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5oc
e. Status generalis
1. Kepala
Mata
o Edema palpebra : ‒/‒
o Conjunctiva anemis : ‒/‒
o Sklera ikterik : ‒/‒
o Mata cowong : ‒/‒
o Hematom : + mata kanan
Telinga
o Discharge : ‒/‒
4
o Gangguan pendengaran : ‒/‒
Mulut
o Mukosa bibir kering (–)
o Bibir sianosis (–)
o Stomatitis (–)
o Lidah kotor (‒)
2. Leher
Benjolan (–)
Limfonodi (–)
3. Thorax
Inspeksi
o Simetris (+)
o Bentuk dada (N)
Palpasi
o Benjolan (–)
o Fremitus kanan kiri Simetris
o Kembang paru Simetris
Perkusi
o Sonor (+)
Auskultasi Paru
o Vesikuler +/+
o Wheezing ‒/‒
o Ronkhi –/–
Auskultasi Jantung
o S1-S2 reguler (+)
o Bising jantung (–)
4. Abdomen
Inspeksi
o Distensi (–)
Auskultasi
o bising usus (N)
5
Perkusi
o Tymphani (+)
o Shifting dullness (–)
Palpasi
o Nyeri tekan (-)
o Hepar Lien (–)
o Nyeri ketok ginjal (–)
o Murphy sign (-)
o Defens muscular (-)
o Rebound pain (-)
5. Ekstremitas
Akral hangat (+)
Nadi kuat regular
Edema (‒)
Varises (‒)
Capillary refill time < 2”
Nyeri sendi (‒)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboraturium
Pemeriksaan Hasil Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.3
Lekosit 14,17 g/dl
Eritrosit 3,93 10^3/uL
Trombosit 307 10^6/uL
Hematokrit 32,8 10^3/uL
HITUNG JENIS vol%
Eosinofil 0
Basofil 0 %
Batang 0 %
Segmen 89 %
Limfosit 7 %
Monosit 4 %
GOLONGAN DARAH A %
HEMOSTASIS
6
PPT 14,1
APTT 31,1 detik
Control PPT 14,9 detik
Control APTT 30,0 detik
FUNGSI GINJAL detik
Ureum 19
Creatinin 0,33 mg/dl
DIABETES mg/dl
Glukosa Darah Sewaktu 115
ELEKTROLIT mg/dl
Natrium 137.6
Kalium 3,69 mmol/l
Klorida 104.1 mmol/l
SERO IMUNOLOGI mmol/l
HEPATITIS
HbsAg Titer negatif
7
8
9
Hasil ct scan
1. Fraktur dinding sinus maksilaris dextra dengan pendarahan sinus
maxilaris dextra
2. Minimal SAH di falk cerebri, oedem cerebri
Hasil rongen
1. Fraktur os femur dextra 1/3 medial komplit cum angulasi com
contractionem
2. Fraktur os tibia sin 1/3 proksimal inkoplit cum angulasi
10
V. DIAGNOSISI
Cedera kepala ringan + SAH dan oedem cerebri ringan
Fraktur os femur dextra 1/3 medial komplit
Fraktur os tibia sin 1/3 proksimal inkoplit
VI. PENATALAKSANAAN
O2 : 5 lpm
Infus Rl : 15 tpm
Ceftriaxon : 625 mg/12 jam
Citicolin : 250 mg/2 jam
Ketorolac : 15 mg/jam
Ranitidin : ½ mg/ 12 jm
11
FOLLOWA UP HARIAN
tanggal Pemeriksaan Terapi
KU : sedang, CM
GCS : E4M6V5
TD : 120/60 mmHg
N : 86x/mnt
RR : 20x/mnt
S : 37
12/7/19 S : nyeri kepala (-), mual (-), muntah (-), Inf.RL 20 tpm
hematom mata kanan
Terapi lanjut
KU : sedang, CM
GCS : E4M6V5
TD : 110/70mm Hg
N : 80x/mnt
RR : 28x/mnt, S : 36,8
12
BAB II
TIJUAN PUSTAKA
Cedara kepala adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kejadian
external oleh trauma fisik yang bisa menyebabkan ganguan kesadaran. Cedera pada
kepala dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, baik itu tertutup,terbuka,
dan tertekan atau cedera otak. Cedera otak dibagagi menjadi 3 kategori, yaitu 3 C :
a. Concussion : cedera otak paling ringan, ditandai dengan hilangnya fungsi
otak yang bersifat sementara
b. Contusion : otak mengalami memar, fungsi otak terganggu selama
beberapa jam, hari, bahkan minggu.
c. Compression : diakibatkan oleh otak yang bengkak atau timbulnya
hematom epidural atau supdural. Dan apabila terjadi kompresi akibat
bekuan darah maka harus dilakukan pembedahan darurat.
A. ANATOMI FISIOLOGI
13
b. Parietal
Lobus ini memiliki 2 fungsi utama, yaitu bertanggung jawab pada
sensasi, presepsi, dan bertangung jawab pada pengintegrasian input
sensorik, terutama pada sistem visual.
c. Temporal
Lobus ini bertanggung jawab terhadap kamampuan pendegaran,
sebagian presepsi visual, serta pengkategorian objek.
d. Occipital
Lobus ini merupakan pusat dari system presepsi visual. Sehingga
bertanggung jawab pada penglihatan.
Cerebellum atau biasa disebut sebagai otak kecil terletak di fossa crania
posterior. Secara anatomis terdiri dari 1 vermis cerebelli dan 2 hemispherium
cerebella, dan dihubungkan dengan medula oblongata oleh pedunculus
cerebeli. Semua aktivitas pada otak kecil merupakan aktivitas involuntary.
Fungsi dari otak kecil yaitu, untuk keseimbangan, pengaturan tonus otot, dan
koordinasi pergerakan.
Brainstem atau batang otak merupakan tempat keluarnya nervus cranialis,
memiliki fungsi pusat pengaturan pernafasan, kardiovaskular, dan pencernaan,
selain itu juga berfungsi sebagai penerima dan pengintegrasi input sinaptik dari
medulla spinalis,aktivasi korteks cerebcrum, dan pengatur siklus tidur.
Secara garis besar tedapat tiga hal yang mempengaruhi keadaan fisiologi
otak, yaitu tekanan itrakranial,tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak, serta
aliran darah otak. Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10 mmhg. Dan
menurut hukum monro kellie, hal-hal yang mempengaruhi tekanan intrakranial
yaitu volume darah, volume LCS dan volume jaringan otak. Tekanan perfusi
otak yang normal berkisar antara 70 mmHg, sedangakan aliran darh otak
normal berkisar antara 50ml/100 gr jaringan otak per menit.
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat.
Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan
bermotor yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah
14
dan menengah. Menurut WHO, kejadian cedera kepala akan melebihi kejadian
berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian dan kecacatan pada
tahun 2020. Epidemiologi cedera kepala di Yogyakarta didapatkan dari
Instalasi Gawat Darurat RS Panti Nugroho pada bulan Mei sampai dengan Juli
2005, didapatkan 56 kasus cedera kepala ringan (76%), 11 kasus cedera kepala
sedang (15%), dan 7 kasus cedera kepala berat (9%) (Jovan, 2007). Menurut
laporan tahunan Instalasi Rawat Darurat RSUP Sardjito tahun 2006, angka
kejadian cedera kepala adalah sebesar 75% (Barmawi, 2007).
C. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang
terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder
yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi
D. CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi
setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit kepala ,tulang dan jaringan
otak atau kombinasinya (Standar Pelayanan Medis ,RS Dr.Sardjito). etiologi
cedera kepala data disebabkan oleh :
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
15
cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi cedera kepala yaitu berdasarkan :
16
Skala Koma Glasgow
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan 4
-Terhadap nyeri 2
-Tidak ada 1
2 Verbal :
-Orientasi baik 5
-Orientasi terganggu 4
3 Motorik :
- Mampu bergerak 6
-Melokalisasi nyeri 5
-Fleksi menarik 4
-Fleksi abnormal 3
-Ekstensi 2
17
-Tidak ada respon 1
Total 3-15
c. Morfologi
secara morfologi cedera kepala dibagi atas :
Fraktur tengkorak
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.
Lesi intrakranial
o Lesi Supratentorial.
Pada lesi supratentorial, gangguan akan terjadi baik oleh kerusakan
langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi
pada ARAS karena proses tersebut maupun gangguan vaskularisasi
18
dan edema yang diakibatkan. Proses ini menjalar secara radial dan
lokasi lesi kemudian kearah rotasi-kaudal sepanjang batang otak.
o Lesi infratentorial.
Pada lesi infratentorial, gangguan dapat terjadi karena kerusakan
ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh
proses ekstrinsik.
o Lesi difus.
Gangguan neurologi pada umumnya bersifat bilateral dan hampir
selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat
dilokalisir pada suatu susunan anatomi tertentu pada susunan saraf
pusat. Keadaan ini misalnya terjadi pada komosio klasik, komosio
ringan, dan cedera akson difus.
19
merupakan penyebab terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat terjatuh
dan korban kekerasan. Lokasi tersering pada daerah temporal, kemudian
frontal, occipital dan fossa posterior. 2-5% terjadi bilateral. Epidural
hematoma terjadi akibat robekan arteri meningea media atau cabang-
cabangnya akibat fraktur pada daerah temporoparietal. Akumulasi darah
melepaskan perlekatan duramater dari dinding tabula interna yang
kemudian terisi hematoma.Kemungkinan lain pada awal duramater
terlepas dari dinding tabula interna kemudian ruang yang terbentuk terisi
oleh hematoma. Sumber perdarahan terbanyak bersumber dari perdarahan
arteri: arteri meningea media (85%), dapat juga berasal dari vena meningea
media, sinus duramater atau dari vena diploe.
Gejala klinis:
20
CT scan
B.Subdural Hematoma
Kerusakan akibat trauma biasanya lebih tinggi pada subdural hematoma akut
di banding pada epidural hematom, di mana lesi yang timbul menyebabkan
angka mortalitas lebih tinggi. Sering terdapat lesi pada otak, yang tidak terjadi
pada EDH. Gejala terjadi akibat penekanan pada struktur otak dibawahnya
yang menyebabkan pergeseran garis tengah, lesi intracerebral dan edema
cerebri
21
Robekan vena kortikal atau bridging vena akibat mekanisme akselerasi-
deselerasi sewaktu terjadi gerakan kepala. Pada kasus ini, kerusakan
primer pada cerebral lebih ringan, dapat terjadi lucid interval yang
diikuti penurunan kesadaran yang berlangsung cepat.
- SDH akut, hematoma terdiri dari bekuan darah serta perdarahan (terjadi
dalam 48 jam setelah trauma), lesi tampak hiperdens
- subakut terdapat campuran antara darah membeku serta darah yang mulai
mencair ( 2 hari-14 hari setelah trauma), terdapat gambaran hiperdens,
isodens dan hipodens
- kronik jika hematoma telah mencair (lebih dari14 hari), gambaran lesi
isodens dan hipodens
22
Gejala klinis:
Pemeriksaan penunjang:
Perbedaan antara EDH dan SDH: SDH lebih difus, biasanya berbentuk konkav
mengikuti permukaan hemisfer.
C.Perdarahan Subarahnoid
23
b. perdarahan dari kontusio daerah kortikal
Pada pasien dengan cidera kepala berat yang dilakukan pemeriksaan CT Scan, 50-
60% menunjukkan perdarahan sbarachnoid.
Gejala klinis:
Gejala dan tanda SAH bervariasi. Gejala yang paling sering meliputi: Nyeri
kepala, Pusing,Nyeri daerah orbita Diplopia,Gangguang penglihatan, Penurunan
kesadaran
Pemeriksaan penunjang
Penanganan
Prognosis
24
menunjukkan 41% pasien tanpa perdarahan subaracnoid memiliki outcome
lebih baik disbanding 15% pada pasien dengan perdarahan subarachnoid.
D.Perdarahan Intracerebral
Treatment
Gejala klinis:
Delayed traumatic ICH dapat terjadi pada daerah yang sebelumnya menunjukkan
CT Scan normal atau terdapat kontusio srebri.Pasien dengan DTICH memenuhi
criteria: Terdapat riwayat trauma, gejala asimptomatik diikuti penurunan
kesadaran.
25
Pemeriksaan penunjang
Dapat terjadi pada area yang tampak normal pada CT Scan awal atau terdapat
kontusio serebri pada CT Scan awal, paling sering terjadi pada hari 1-4 setelah
trauma, namun dapat pula terjadi sampai 2 minggu setelah trauma kepala.
26
E.PerdarahanIntraventrikel
Gejala Klinis
Sindrom klinis IVH menurut Caplan menyerupai gejala SAH yang merupakan
manifestasi dari gangguan pembuluh darah otak (GDPO), berupa :
2. Kaku kuduk
3. Muntah
4. Letargi
5. Penurunan kesadaran
27
F. FRAKTUR
a. Fraktur femur
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi ini
fraktur femur secra klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha. Fraktur femur
dibagi dalam beberapa bagian, yaitu
1. Fraktur intertrokhanter femur
Fraktur intertrokhanter femur adalah patah tulang yang
bersifat ekstrakapsular dari femur. Sering terjadi pada lansia dengan
kondisi osteoporosis.
2. Fraktur subtrokhanter femur
28
-tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor
3. fraktur batang femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma
langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh
dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh
dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi
berdasarkan adanya lukayang berhubungan dengan daerah yang
patah. Dibagi menjadi :
29
5. fraktur intercondylair femur
30
Banyak fraktur kondiler tibia terjadi akibat kecelakaan
antara mobil dan pejalan kaki di mana bemper mobil
menabrak kaki bagial lateral dengan gaya kearah medial
(valgus). Ini menghasilkan fraktur depresi atau fraktur split
dari kondiler lateralis tibia apabila kondiler femur didorong
kearah tersebut. Kondiler medial memiliki kekuatan yang
lebih besar, jadi fraktur pada daerah ini biasanya terjadi
akibat gaya dengan tenaga yang lebih besar (varus). Jatuh
dari ketinggian akan menimbulkan kompresi aksial sehingga
bisa menyebabkan fraktur pada proksimal tibia. Pada
golongan lanjut usia, pasien dengan osteoporosis lebih
mudah terkena fraktur kondiler tibia berbanding robekan
ligamen atau meniscus setelah cedera keseleo di lutut.
Eminentia intrakondiler dapat fraktur bersama robekan
ligamen krusiatum sebagai akibat hiperekstensi atau gaya
memutar
Gambaran klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut,
pembengkakan dan nyeri serta
hemartrosis. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi
lutut. Biasanya pasien tidak dapat menahan beban. Sewaktu
pemeriksaan, mereka merasakan nyeri pada proksimal tibia
dan gerakan flesi dan ekstensi yang terbatas. Dokter perlu
menentukan adanya penyebab cedera itu akibat tenaga yang
kuat atau lemah karena cedera neovaskular, sindroma
kompartmen lebih sering terjadi pada cedera akibat tenaga
kuat. Pulsasi distal dan fungsi saraf peroneal perlu diperiksa.
Kulit perlu diperiksa secara seksama untuk mencari tanda-
tanda abrasi atau laserasi yang dapat menjadi tanda fraktur
terbuka
31
Penilaian stabilitas lutut adalah penting dalam mengevaluasi
kondiler tibia. Aspirasi dari hemartrosis pada lutut dan
anestasi lokal mungkin diperlukan untuk pemeriksaan yang
akurat. Jika dibandingkan dengan bagian yang tidak
cedera,pelebaran sudut sendi pada lutut yang stabil mestilah
tidak lebih dari 10o dengan stress varus atau valgus pada
mana-mana titik dalam aksis gerakan dari ekstensi penuh
hingga fleksi 90o. Integritas ligamen krusiatum anterior perlu
dinilai melalui tes Lakhman.
Fraktur kondiler sering disertai cedera jaringan lunak
disekeliling lutut.Robekan ligamen kollateral medial dan
meniscus medial sering menyertai fraktur kondiler lateral.
Fraktur kondiler medial disertai robekan ligamen kollateral
lateral dan meniskus medial. Ligamen krusiatum anterior
dapat cedera pada fraktur salah satu kondiler. Fraktur
kondiler tibia, terutama yang ekstensi frakturnya sampai ke
diafisis, dapat meyebabkan kepada sindroma kompartemen
akut akibat perdarahan dan edema.
2. Fraktur Diafisis Tibia
Mekanisme trauma
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi
yang akan menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik
pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan fraktur
tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3
bagian tengah dan 1/3 bagian distal. Tungkai bawah bagian
depan sangat sedikit ditutupi otot sehingga fraktur pada
daerah tibia sering bersifat terbuka. Penyebab utama
terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.
Klasifikasi fraktur
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk
kepentingan para dokter yang menggunakannya untuk
32
memperkirakan kemungkinan penyembuhan dari fraktur
dalam menjalankan penatalaksanaannya. Orthopaedic
Trauma Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia
berdasarkan pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup, yaitu :
simple, wedge dan kompleks. Masing–masing grup terbagi
lagi menjadi 3 yaitu
A. Tipe simple, terbagi 3: spiral, oblik, tranversal.
B. Tipe wedge, terbagi 3: spiral, bending, dan fragmen.
C. Tipe kompleks, terbagi 3: spiral, segmen, dan iregular
33
G. TRAUMA WAJAH
Tulang-tulang tengkorak pada wajah dapat dibedakan menjadi bagian kranium dan
bagian wajah. Kranium terdiri dari sejumlah tulang yang menyatu pada sendi yang
tidak bergerak yang disebut sutura. Mandibula adalah suatu perkecualian karena
menyatu dengan kranium melalui artikulasio temporomandibularis yang mobil.
- os zygomaticum (2 buah)
- maksila (2 buah)
- os nasale (2 buah)
- os lacrimale (2 buah)
- os vomer (1 buah)
- os palatinum (2 buah)
- konka nasalis inferior (2 buah)
- os mandibula (1 buah)
Trauma muka dibagi atas fraktur pada organ berikut:
34
Di antara trauma muka yang timbul, fraktur tulang hidung paling sering
terjadi, biasanya disebabkan oleh trauma langsung. Fraktur tulang hidung
dibuktikan dengan pemeriksaan foto rontgen menggunakan proyeksi water,
foto os nasal dan juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto rontgen dengan
proyeksi dari atas hidung untuk mengetahui kelainan oklusi dari rongga mulut.4
35
b. Fraktur Arkus Zygoma
Ditandai dengan adanya rasa sakit pada waktu bicara atau mengunyah,
kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya
perubahan letak dari arkus zygoma terhadap prosessus koronoid dan otot
temporal. Fraktur arkus zygoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan
mudah dikenal dengan palpasi. Tindakan reduksi kadang-kadang diperlukan
reduksi terbuka selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus
zygoma yang patah. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus
zygoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zygoma di preaurikuler.
Gejala-gejala:
1. enophtalmus/ exophtalmus
2. hematoma
3. diplopia
4. asimetri muka
Kelainan ini tidak lazim terdapat pada blow-out fracture dari dasar orbita.
Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir
orbita inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zygoma.
36
4. Fraktur tulang maksila (mid facial)
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk
mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuannya untuk
memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan
memperoleh kontur muka yang cocok. Fraktur maksila pada umumnya bilateral.
Edema faring dapat menimbulkan gangguan jalan nafas sehingga mungkin
dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri
maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur
maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri
maksilari interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.
- Perdarahan yang keluar dari telinga, terutama pada fraktur condilus atau
basis kranii
- Perdarahan yang keluar dari hidung atau dari mulut, terutama pada middle
third fracture
- Gejala neurologis berupa pasien menjadi apatis, sakit kepala yang hebat,
ingin muntah-muntah
- Pupil melebar dengan refleks cahaya negatif
- Mata tertutup karena hematom
Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan bila terlambat penanganan atau
kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya
kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus
diperiksa dan dilakukan fiksasi. Fiksasi dan imobilisasi berlangsung selama
enam hingga delapan minggu. Imobilisasi dilakukan pada kranium atau kepala
(cranio maxilla fixation), atau bisa juga pada arkus zygomatikus, dasar tulang
mata, dasar tulang hidung, atau pinggir hidung.
37
simfisis, regio cuspid, ramus dan prosesus coronoideus. Penanganan fraktur ini
terutama untuk mendapatkan efek kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang
sempurna, proses mengunyah dan menelan yang sempurna. Fraktur mandibula pada
umumnya disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang
berinsersi di tempat tersebut. Otot tersebut adalah otot elevator (m. Temporalis, m.
Pterigoideus internus, m. Masseter), otot depresor (m. Digastricus, m.
Geniohyoideus, m. Geniohyoiglossus, m. Mylohyoid, m. Platysma, m.
Pterygoideus externa) dan otot protrusor. Pada fraktur daerah dagu, otot akan
menarik fragmen tulang ke arah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral
tulang akan tertarik ke arah kranial. Secara garis besar, patah tulang wajah akan
menimbulkan gejala:
38
DAFTAR PUSTAKA
39