Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

Tension Pneumothoraks

Pembimbing :

dr. Wayan Sulakmana Sandi Parwata Sp.A

Disusun oleh:
dr. Tito Santana

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

RS UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2023

2
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Al Barra Rafasya Bachri

Umur : 2 bulan 29 hari

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Dnau Batur I No. 5 Pagutan

Tanggal Masuk : 25 Juni 2023

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : sesak tiba-tiba saat diberi ASI

Riwayat Penyakit Sekarang:

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Hipertensi :
 Riwayat Penyakit Jantung :
 Riwayat Penyakit Paru :
 Riwayat alergi obat :

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat Sosial Ekonomi :

C. PEMERIKSAAN FISIK.
Keadaan umum:
Tanda vital :
 Tekanan darah :

3
 HR (Nadi) :
 RR (Laju Nafas) :
 Suhu :
Status Internus
 Kepala : mesocephale
 Rambut : hitam
 Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
 Hidung : simetris, sekret -/-
 Telinga : discharge -/-
 Mulut : bibir pucat (-),sariawan (-)
 Tenggorokan : faring hiperemis (-)
 Thoraks :
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-)
Palpasi Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada kanan
dan kiri sama
Perkusi Sonor
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikuler (+/+),Wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)

Jantung Hasil pemeriksaan


Inspeksi Dinding dada pada daerah pada daerah pericordium
tidak cembung / cekung, tidak ada memar maupun
sianosis, ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC 5 linea
mid clavicularissinistra
Perkusi Bunyi : redup
Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung

4
^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis sinistra.
^ Bawah : SIC V linea mid clvicularis sinistra.
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi HR= 80 x/menit BJ I/II murni reguler, bising (-),
gallop (-)

Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Perutdatar, sikatriks (-)
Auskultasi Suara peristaltik (+), suara tambahan (-)
Palpasi Nyeri tekan (+) pada suprapubik, defans muskuler
(-)
Perkusi Suara timpani (+)

Ekstremitas
Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (+), Edem (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium darah rutin

5
Pemeriksaan 9/11/202 Nilai
3 rujukan
Leukosit 4.5 – 11.50
Eritrosit 4.10 – 5.10
Hemoglobin 12 – 16
Hematokrit 36.0 – 46.0
MCV 78 – 102
MCH 25.0 – 35.0
MCHC 31.0 – 37.0
Trombosit 150 – 450
Neutrofil 42 – 74
Limfosit 17 – 45
Monosit 2.0 – 8.0
Eosinofil 0.0 – 5.0
Basofil 0–1
LimfositAbsolut 0.9 – 5.20

LED 1 Jam < 15

LED 2 Jam < 20

Glukosa Sewaktu 70 – 140

Ureum 10.0 – 50.0


Creatinin
HbsAg Negatif
Calcium Serum 8.8-10.2
Natrium 135-148
Kalium 3.5-5.3
Clorida 98-107

2.

6
3. Pemeriksaan Radiologis
a.

 Vesicolithiasis, (2 buah), ukuran: 3,9 cm x 3,5 cm dan


1,2 cm x 2,3 cm dan dengan cystitis
 Tak tampak gambaran ren sinistra (agenesis ren
sinistra? Post op?)

Hepar, vesica fellea, lien, pancreas, ren dextra, dan


uterus dalam batas normal
E. DIAGNOSA

F. INITIAL PLAN

7
A. IP Dx :
 Sulit BAK
 Mengedan saat BAK
 Kandung kemih terasa penuh
 Pancaran BAK lemah
 Dengan perubahan posisi air kencing keluar lancar
 Akhir BAK, masih ada air kencing yang menetes
 Pasien jarang minum air putih, maksimal 3 gelas/hari
 Sering minum teh atau kopi
 Pemeriksaan fisik : nyeri tekan suprapubik.
 Foto polos abdomen AP : suspek vesicolithiasis
 USG abdomen : vesicolithiasis
B. IP Tx :
 IVFD RL 500cc
 Inj Ceftriaxone 2 gram
 Inj Ondansentron 8 mg
 Pro Vesicolithotomy

C. IP Mx :
 Keadaan Umum
 Tanda Vital (Nadi, RR, suhu)
 Tanda kegawatan inkontinensia uri seperti nyeri hebat pada perut bawah
D. IP Ex :
 Menjelaskan kepada keluarga tentang sakit pasien, bahwa pasien
mengalami gangguan pada sistem saluran kemih akibat batu pada
kandung kemih
 Banyak minum air putih lebih dari 8 gelas ukuran sedang per hari.
 Hindari kebiasaan menahan buang air kecil, buang air kecil normalnya
setiap 4 jam atau 6 kali per hari.
 Kurangi konsumsi teh dan kopi.

G. PROGNOSIS
8
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam: dubia ad bonam

9
10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pneumothorax adalah terdapat adanya akumulasi udara yang berada di dalam rongga pleura.

Pneumothorax dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak

terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Lapisan pleura terbagi atas

dua yaitu, pleura visceral dan pleura parietal yang diantaranya terdapat rongga pleura.

(1)

Gambar 3.1. Pneumothorax

B. Klasifikasi
Berdasarkan Penyebab

1. Spontan Pneumothorax
Jenis ini merupakan bentuk pneumotoraks yang paling umum dalam praktik klinis dan selalu

sekunder pada patologi paru atau pleura. Tidak ada penyebab yang jelas atau trauma

sebelumnya. Penderita biasanya berada pada kelompok usia 20-40 tahun dan dengan rasa sakit

di dada yang tajam, dan dyspnea. Pada pasien bronkitis kronis dan emfisema yang berusia di atas

40 tahun, ada kerusakan dinding alveolar yang progresif,

10

11
11

dan dengan demikian tekanan intrapulmoner tinggi yang dihasilkan oleh batuk dapat
menghasilkan pneumotoraks spontan.

a. Pneumotoraks spontan primer


Umumnya disebabkan oleh pecahnya suatu bleb subpleura yang biasanya terdapat di

daerah apeks paru. Faktor resiko utama adalah merokok. Pada beberapa kasus faktor herediter

juga memegang peranan, umumnya penderita berpostur tinggi dan kurus.

Pneumotoraks spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat

pleura viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks spontan

yang parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bulla

yang dibatasi pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri

sebagian lagi oleh jaringan paru emphiematous.

Proses terbentuknya bulla belum diketahui, banyak pendapat menyatakan terjadinya

kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi pada

alveoli di daerah apeks patu akibat tekanan pleura yang lebih negatif.

Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valvepada saluran nafas kecil

sehingga timbul distensi tuang udara bagian distalnya.

b. Pneumothoraks spontan sekunder


Terjadi sebagai komplikasi penyakit paru dasarnya (underlying lung disease). Beberapa

penyakit yang sering menjadi penyebab pneumothoraks antara lain PPOK tipe emfisema dan

tuberkulosis paru.

Pneumotoraks Spontan Sekunder terjadi karena pecahnya bulla viseralis dan

sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendahului. Patogenesis pneumotoraks

Spontan Sekunder multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi PPOK,

tuberkulosis, asma, penyakit paru infiltratif lain

(pneumonia supuratif, pneumocystis Carinii).

11
12

Pneumotoraks spontan Sekunder umumnya lebih berat daripada pneumotoraks spontan


primer, karena pada pneumotoraks spontan sekunder terdapat penyakit paru yang sebelumnya
mendahuluinya.

2. Pneumothorax Traumatik
Penyebab yang biasa adalah trauma langsung atau tidak langsung pada dada, misalnya
kecelakaan di jalan raya, luka tusukan, luka perang.

3. Pneumothorax Iatrogenik
Terjadi sebagai akibat prosedur diagnostik atau terapeutik.

3.1.2. Berdasarkan Luasnya(3)


1. Lokasi Pneumothorax
Apabila pleura parietal dan viseral menyebabkan adhesi.

2. Generalisasi Pneumothorax
Apabila udara berada pada seluruh rongga pleura, yaitu hemithorak.

3.2.3 Berdasarkan Mekanisme(3)


1. Open Pneumothorax
Disebabkan karena robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan

antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3

diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus

respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun

sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps

pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari

kavum pleura keluar melalui lubang tersebut.

2. Closed Pneumothorax
Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh karena adanya kerobekan pleura visceralis

sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura.

3. Tension Pneumothorax

12
13

Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat

inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin

lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan

terjadinya tension pneumothorax.

3.2.4 Berdasarkan Waktu (3)

Akut dan Kronik

3.2. Patofisiologi(4)
Tension pneumothorax terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan yang lebih tinggi

daripada udara di dalam paru. Udara memasuki rongga pleura dari tempat terjadinya cedera pada pleura yang

bekerja seperti katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak dapat

keluar kembali dikarenakan terjadi cedera tersebut sehingga akan menutup pada saat ekspirasi.

Gambar 3.2. Tension Pneumothorax

Dalam keadaan normal pleura parietal dan visceral seharusnya dapat dipertahankan tetap berkontak
karena adanya gabungan anatara tekanan intrapleura yang negative dan tarikan kapiler oleh sejumlah
kecil cairan pleura.

13
14

Pada saat inspirasi akan terdapat lebih banyak udara lagi yang masuk dan tekanan udara mulai melampaui
tekanan barometrik.

Peningkatan tekanan udara akan mendorong paru yang dalam keadaan recoiling sehingga terjadi

atelektasis kompresi. Udara juga akan menekan mediastinum sehingga terjadi kompresi serta pergeseran

jantung dan pembuluh darah besar. Udara tidak bisa keluar dan tekanan akan semakin meningkat akibat

adanya penumpukan udara ini yang menyebabkan kolaps paru. Ketika udara terus menumpuk dan

tekanan intrapleura akan terus meningkat, akibatnya mediastinum akan semakin terdorong dari sisi yang

terkena. Keadaan ini juga akan mendorong trakea, esophagus, serta aliran balik vena.

Gambar 3.3 Tension Pneumothorax dengan gambaran pendorongan mediastinum


kontralateral.

(4)
3.4 Manifestasi Klinis
Awitan biasanya tiba-tiba dan berat ringannya gejala bergantung pada luasnya jaringan paru yang

mengalami kolaps serta penyakit dasar yang telah ada sebelumnya. Pneumotoraks dapat menyebabkan

gejala nyeri, sesak napas dan sianosis. Pada bayi, gejala dan tanda klinis mungkin sulit dikenali.

Pneumotoraks

yang cukup luas mungkin dapat menyebabkan sedikit pendorongan organ

14
15

intratorakal atau mungkin tidak bergejala sama sekali. Derajat rasa nyeri tidak berhubungan dengan

luasnya pneumotoraks. Biasanya didapatkan distres pernapasan, retraksi, menurunnya suara napas,

takikardi, hipotensi. Jika dalam keadaan lanjut laring, trakea dan jantung dapat bergeser ke arah

berlawanan.

3.5 Diagnosis(4)
3.5.1 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan :

1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi

dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak

menggetar.

b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan

intrapleura tinggi.
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang,
suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

3.5.2.Pemeriksaan Penunjang(4)
Laboratorium

Analisa Gas Darah

Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi,


hipercarbia, dan asidosis respiratorik meskipun pada kebanyakan pasien sering

15
16

tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.

Electrocardioghraphy (ECG)

Pada pneumotoraks sisi kiri spontan dapat terjadi

1. Pergeseran ke kanan sumbu QRS depan.


2. Diminusi tegangan R prekordial.
3. Penurunan amplitudo QRS.
4. Gelombang-gelombang precordial yang terbalik
Jika terjadi pneumothorax sisi kanan spontan, maka akan ditemukan :

1. Diminusi pada gelombang QRS precordial


2. Defiasi aksis ke kanan
3. Gelombang R yang menonjol pada V2 dengan kehilangan tegangan
gelombang S.

Radiologi(4)

1. Foto Rontgen
2. CT-scan thorax
3. Ultrasonography (USG)

3.6 Diagnosa Banding(4)


1. ka onset tiba-tiba nyeri dada dan dyspnoea dapat disimulasikan:
1. Infark miokard.

2. Emboli paru.

3. Infark paru

4. Ulkus peptikum

2. fisema.
3. eumomediastinum.
4. eumopericardium.
Untuk mendapatkan diagnosis pasti, pengambilan foto dada dekubitus lateral paru-paru yang
paling terkena adalah wajib. Praktis, bahkan jumlah kecil udara dapat terlihat.

16
17

3.7 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura

dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pengobatan tergantung pada ukuran pneumotoraks. Jika

kecil, observasi sudah cukup; Jika besar, maka dapat di lakukan drainase tertutup dengan tabung dan tindakan

ini sangat diperlukan.(4)

Prinsip tatalaksana :

1. Menjaga saluran napas


2. Menajag ventilasi yang adekuat.
3. Terapi oksigen.
4. Pengobatan dari penyebabnya, yaitu mengeluarkan udara dari rongga

pleura.

5. Penggunaan ventilasi terkontrol: Jika diperlukan, dapat dilakukan

endotrakeal atau trakeostomi.

Tindakan Dekompresi(4)

Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothorax yang luasnya >15%. Pada intinya,

tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intrapleura dengan membuat hubungan antara cavum pleura

dengan udara luar dengan cara :

a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura akan
berubah menjadi negative karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.

b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :


1. Dapat memakai infuse set jarum ditusukkan ke dinding dada sampai

kedalam rongga pleura, kemudian infuse set yang telah dipotong pada

pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.

2. Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan

kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding thorax

sampai menebus ke cavum pleura, jarum dicabut dan kanula tetap

ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastic

17
infuse set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air .

3. Pipa water sealed drainage (WSD) pipa khusus (thorax kateter) steril,
dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjempit. Setelah troakar masuk, maka thorax kateter
segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter thorax yang masih tertinggal di rongga pleura.
Selanjutnya ujung kateter thorax yang ada di dada dan di pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastic lainnya. Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleural tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi
tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O.

3.8 Komplikasi
1. Hemotoraks
2. Penekanan pada kardiovaskular akibat dari tension pneumothorax
3. Fistula bronkopleural.

3.9 Pencegahan
1. Beritahu orang untuk memakai pengaman saat berkendaraan.
2. Bila diperlukan pemasangan vena subklavia, gunakan pendekatan
supraklavikula daripada pendekatan infraklavikular bila memungkinkan
untuk membantu mengurangi kemungkinan terbentuknya pneumotoraks.
3. Transbronchial, transthoracic, dan prosedur lainnya sebaiknya dilakukan
dengan pedoman USG.

3.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam


Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

PENUTUP

Pneumothorax adalah terdapat adanya akumulasi udara yang berada di

dalam rongga pleura. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Tension
pneumothorax terjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki

18
tekanan yang lebih tinggi daripada udara di dalam paru. Udara memasuki rongga pleura dari tempat
terjadinya cedera pada pleura yang bekerja seperti katup satu arah. Udara dapat memasuki rongga
pleura pada saat inspirasi tetapi tidak dapat keluar kembali dikarenakan terjadi cedera tersebut
sehingga akan menutup pada saat ekspirasi.

Foto thorax digunakan untuk mengdiagnosa mayoritas pada kasus pneumothorax dan
terdapat gambaran klasik. Pada beberapa pasien, mungkin

lebih baik untuk secara radiologis mengkonfirmasi dan menglokalisasi lokasi tension pneumothorax
sebelum dilakukan tindakan dekompresi. Udara pada

kavitas pleura, dengan deviasi kontralateral pada struktur mediastinum, adalah pertanda dari tension
pneumothorax. Penemuan pada radiografi dada dapat ditemukan peningkatan volume thorax,
pelebaran sela iga, pendataran batas jantung pada ipsilateral, deviasi mediastinum kontralateral, dan
depresi middiafragma

CT-Scan lebih sensitif dibandingkan foto thorax konvensional dalam mengevaluasi


pneumothorax dan pnuemomediastinum yang sedikit, walaupun

perbedaan klinis yang signifikan pada kedua pneumothorax yang tersembunyi tersebut tidak
dapatdibedakan

26

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi


9. Jakarta : EGC; 1997. p. 598.

2. Light RW. Disorders of the Pleura. In: Kasper D, Fauci A, Hauser


S, Longo D, Jameson J, Loscalzo J. eds. Harrison's Principles of
Internal
Medicine, 19e New York, NY: McGraw-Hill; 2014.
3. Cameron P, Knapp BJ. Trauma in Adults. In: Tintinalli JE, Stapczynski J,

Ma O, Yealy DM, Meckler GD, Cline DM. eds. Tintinalli’s Emergency


Medicine: A Comprehensive Study Guide, 8e New York, NY: McGraw-

Hill; 2016.

4. Sharma, Anita dan Parul Jindal. Principles of Diagnosis and Management


of Traumatic Pneumothorax. India. Journal of Emergencies, Trauma and

Shock. 2008.

5. G. Ironi, A. Esposito, R. Nicolette, F. De Cobelli, R. Faccincani, C.


Martinenghi, M. Carlucci, A. Del Maschio. Imaging of Chest Trauma. European Society of
Radiology. 2014.

6. Dipdo P Widjaya, Zulkifli Amin, Suprayitno, Rahmi Afifi, Hamzah Shatri.


Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesintasan Pasien
Pneumotoraks di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Indonesia
Journal of Chest Critical and Emergency Medicine. Vol, 1. No 3.2014.
7. Kawa A. Mahmood, Aram Baram, Fahmi H. Kakamad, Kosar K. Ahmed.

Role of Thoracic Sonographic Scan in Diagnosis of Pneumothorax. International Journal of


Medical Physics, Clinical Engineering and

Radiation Oncology, 2015, 4, 255-262.

8. Barillari, A. and Kiuru, S. Detection of Spontaneous Pneumothorax with


Chest Ultrasound in the Emergency Department. Internal and Emergency
Medicine, 5, 253-255.2010

20
9. DG Jain, SN Gosavi, Dhruv D Jain.Understanding and Managing
Tension Pneumothorax. Journal, Indian Academy of Clinical
MedicineVol. 9, No.
1. 2008.

27

21
28

10. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi,


Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
VI. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.

11. Fahad M Al-Hameed. Pneumothorax Imaging. Medscape


Reference. 2013.

22
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai