Anda di halaman 1dari 13

UPAYA BIMBINGAN KONSELING DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN SELF DISCLOSURE DENGAN TEKNIK ART THERAPY


PADA PENDIDIKAN INKLUSIF

Untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Inklusi yang diampu oleh


Bapak Utomo, S. Pd., M. Pd

Oleh :
HeldaYusfarina Anggraini
(1710123220010)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING
BANJARMASIN
2019
UPAYA BIMBINGAN KONSELING DALAM MENINGKATKAN
KEMAMPUAN SELF DISCLOSURE DENGAN TEKNIK ART THERAPY
PADA PENDIDIKAN INKLUSIF

Helda Yusfarina Anggraini


E-mail: hyusfarinaanggraini@gmail.com

ABSTRACT

This study aims to determine the effectiveness of Art Therapy techniques to


improve Self Disclosure in inclusive education. Education is a right for everyone
regardless of whether an individual is perfect or not. Education is not just
knowledge that can add insight and knowledge. Education also provides equal
rights for every individual to achieve their dreams, design, and realize the life they
want in the future. However, in achieving this it is not as easy as thought, there will
be many challenges that must be passed to face various problems that might occur.
One of the initial problems that can occur once is how to show the existence of
students themselves. Not all students are able to easily express themselves before
the public, there are also other students who are more comfortable when expressing
their thoughts, feelings, or experiences indirectly or implicitly using art. Thus, this
Art Therapy technique will be used in group counseling services to improve Self
Disclosure of students who are less able to demonstrate their potential or are less
able to express themselves before the public so they are more willing to express
their thoughts, feelings, and experiences in public.

Kata Kunci : Art Therapy; Self Disclosure; Konseling Kelompok

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menetahui keevektiftasan teknik Art Therapy


untuk meningkatkan Self Disclosure dalam pendidikan inklusi. Pendidikan
merupakan hak bagi setiap orang tanpa memandang sempurna atau tidaknya diri
individu. Pendidikan tidak hanya sekedar ilmu yang dapat menambah wawasan dan
pengetahuan seseorang. Pendidikan juga memberikan kesamaan hak bagi setiap
individu untuk mencapai impian, merancang, serta mewujudkan kehidupan yang
dikehendakinya di masa depan. Namun, dalam mencapai hal ini tidaklah semudah
yang dipikirkan, akan banyak tantangan yang harus dilalui untuk menghadapi
berbagai permasalahan yang mungkin akan terjadi. Salah satu permasalahan awal
yang dapat sekali terjadi ialah cara menunjukkan eksistensi diri peserta didik. Tidak
semua peserta didik mampu dengan mudah mengekpresikan dirinya dihadapan
publik, terdapat pula peserta didik lainnya yang lebih merasa nyaman jika
mengekpresikan pikiran, perasaan, ataupun pengalamannya secara tidak langsung
atau secara tersirat menggunakan karya seni. Dengan demikian, teknik Art Therapy
ini akan digunakan dalam layanan konseling kelompok guna meningkatkan Self
Disclosure para peserta didik yang kurang mampu menunjukkan potensi atau
kurang mampu mengekspresikan dirinya dihadapan publik agar lebih berani
mengekpresikan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dimuka umum.

Kata Kunci : Art Therapy; Self Disclosure; Konseling Kelompok

Mengingat perkembangan zaman yang semakin berkembang pesat, maka


peserta didik akan mengalami berbagai permasalahan baik secara pribadi, sosial,
belajar, maupun karirinya. Tak sedikit akhirnya ditemui peserta didik yang masih
bingung dalam menentukan arah karirnya. Hal ini tentu sangat mengundang
permasalahan bagi aspek lainnya. Tuntutan zaman yang cenderung mengutamakan
individu yang berani membangun eksistensinya lebih diperlukan pada era saat ini
yang penuh dengan persaingan. Dengan demikian, memiliki eksistensi diri sangat
dibutuhkan dalam diri setiap individu.
Permasalahan yang terjadi terkait eksistensi diri adalah ketidakmampuan
seseorang dalam menunjukkan atau mengekpresikan dirinya secara baik dimuka
umum. Individu dengan kepribadian yang cenderung tertutup maka akan memiliki
hambatan dalam menunjukkan eksistensinya. Oleh karenanya, Self Disclosure yang
tertanam dalam dirinya dapat dikatakan belum tertanam secara kuat. Dan hal ini
akan dapat mempengaruhi cara peserta didik berperilaku, baik keraguan dalam
menjawab pertanyaan pendidiknya, ketidakberanian mengangkat tangan saat
mengetahui jawaban dari pertanyaan pendidik, dsb.
Permasalahan ini tidak dapat dibiarkan berlalu begitu saja, perlu dilakukan
upaya pencegahan maupun upaya pengentasan masalah akibat permasalahan yang
terjadi pada peserta didik tersebut. Oleh karenanya, sebagai guru bimbingan dan
konseling di sekolah pendidikan inklusi hendaknya memiliki sebuah program
dalam meningkatkan Self Disclosure peserta didik tersebut. Dengan demikian,
peserta didik berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus akan
dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing sesuai yang diperlukan. Terkait hal
tersebut, kepekaan dari seorang guru bimbingan dan konseling dalam memahami
peserta didiknya sangat diperlukan guna pemberian layanan yang tepat bagi peserta
didik.
Pemberian teknik Art Therapy ini bukanlah hal yang asing dalam membantu
para peserta didik untuk dapat saling terbuka dalam mengungkapkan pikiran,
perasaaan, maupun pengalamannya bukanlah hal yang asing lagi untuk dilakukan,
terdapat beberapa penelitian yang telah menggunakan teknik ini, diantaranya yakni;
Penelitian yang dilakukan oleh Kathy Evans and Janek Dubowski yang berjudul
“Art Therapy with Children on the Austic Spectrum”. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa Art Therapy mampu meningkatkan keterampilan sosial pada
anak autis dalam mempelajari simbol-simbol, huruf, nama-nama benda, dan
mampu secara terbuka mengekspresikan dirinya dengan dunia luar. (Evans &
Janek, 2001: 40 – 46); Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Stone Matho yang
berjudul “A Women With Breast Cancer In Art Therapy”. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penderita kanker payudara dapat lebih menerima kondisi
mereka dengan mengungkapkan berbagai luapan emosi yang tidak dapat disalurkan
secara verbal. Tak hanya itu, hubungan sosial mereka baik dalam lingkungan
keluarga maupun lingkungan lainnya juga menjadi lebih baik dan terbuka, serta
mereka mampu membangun motivasi dalam diri mereka sendiri tanpa bantuan
orang lain. (Waller & Caryl, 2005: 103 – 104).
Tak hanya itu namun juga peneliti lainnya, seperti; Penelitian yang dilakukan
oleh Brooke yang berjudul ”Abuse and Trauma”. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual pada masa kecilnya diketahui
memiliki harga diri yang rendah. Namun, setelah melakukan terapi teknik Art
Psychotherapy para korban yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual ini
mulai menunjukkan hasil dengan meningkatanya Self Esteem (harga diri) yang
ditunjukkan oleh setiap korban. (Gilroy, 2006: 121 – 122); Penelitian yang
dilakukan oleh Muthmainnah yang berjudul “Peranan Terapi Menggambar Sebagai
Katarsis Emosi Anak”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa menggambar
dipilih sebagai salah satu bentuk terapi karena kegiatan ini disukai oleh anak-anak
sekaligus dapat membantu anak dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan tanpa
kata-kata, serta menyalurkan isi alam bawah sadar. Sehingga, dalam hal ini
menggambar merupakan aktivitas yang dapat berperan sebagai katarsis emosi anak.
(Muthmainnah, 2015: 526); dan Penelitian yang dilakukan oleh Ayu Eka
Permatasari, dkk yang berjudul “Penerapan Art Therapy Untuk Menurunkan
Depresi Pada Lansia di Panti Werdha X”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa penerapan Art Therapy secara efektif dapat membantu menurunkan depresi
pada tiga lansia di panti Werdha X. (Permatasari, dkk, 2017: 123)
Berdasarkan hal yang terpapar diatas, maka guru bimibngan dan konseling
hendaknya mampu mewujudkan berbagai layanan yang menarik dengan
penggunaan media agar dapat menarik minat peserta didiknya. Penggunaan teknik
Art Therapy merupakan penggunaan teknik yang masih jarang digunakan di
Indonesia, dan penerapan teknik ini dapat menjadi sumber tambahan referensi bagi
para guru bimbingan dan konseling untuk dapat menjalankan proses konselingnya
dengan lebih menarik dan mampu mengembangkan berbagai teknik yang ada pada
teknik lainnya. Dengan demikian, guru bimbingan dan konseling dapat saling
berkolaobarasi dengan guru pendamping khusus para peserta didik pada pendidikan
inklusi dalam pemberian layanannya.

PEMBAHASAN
A. Self Disclosure
1) Definisi Self Disclosure
Self Desclosure adalah proses pengungkapan diri dimana seseorang
dapat membuka beberapa aspek dalam dirinya kepada orang lain, baik berupa
pikiran, perasaan, ataupun pengalaman. Self Desclosure sangatlah penting
untuk dapat dimiliki oleh setiap individu, dengan adanya Self Desclosure inilah
seseorang akan dapat dipandang atau dilihat oleh orang lain secara lebih jelas.
Oleh karenanya, keterampilan dalam menyampaikan informasi mengenai diri
sendiri (Self Desclosure) kepada orang lain sangat penting untuk dapat
ditingkatkan.
2) Multi-dimensi Self Disclosure
Jourard beranggapan bahwa terdapat multi-dimensi Self Desclosure.
Dimensi Self Desclosure yaitu:
(a) Kedalaman atau keintiman
(b) Kejujuran atau akurasi
(c) Jumlah yang berlangsung
(d) Valensi (derajat)
(e) Intensional dari pengungkapan diri.
3) Penelitian Self Disclosure
Menurut penelitian yang telah pernah dilakukan sebelumnya, Self
Disclosure memiliki efek positif pada kesehatan fisik, yang berfungsi
sebagai sumber katarsis dan bantuan untuk menyampaikan informasi diri.
(Hargie, 2011: 239; Leung, 2002: 243 dalam Karyanti, 2015:57). Dengan
demikian, Self Disclosure sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, baik
pendidikan inklusi maupun pendidikan formal.

B. Art Therapy
1) Definisi Art Therapy
Menurut Needs (2012: 20) menyatakan bahwa untuk mendefinisikan
Art Therapy, maka dapat diartikan sebagai usaha bantuan yang diberikan
kepada seorang individu untuk mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya
melalui suatu karya seni. Sehingga, dengan demikian dapat dipahami bahwa
Art Therapy merupakan bantuan yang diberikan oleh para ahli kepada kliennya
agar klien tersebut mampu mrngungkapkan pikiran, perasaan, maupun
pengalaman yang ia rasakan.
2) Tahap-tahap dalam Art Therapy
a. Melakukan asesment kepada peserta didik
b. Melakukan pendekatan dengan peserta didik
c. Membangun komunikasi yang baik dengan peserta didik atau klien
d. Proses pengungkapan masalah
e. Melakukan proses menggambar (Art Psychotherapy)
f. Memahami maksud yang ingin disampaikan peserta didik atau klien
melalui gambar yang dibuat
g. Memberikan pengertian kepada peserta didik untuk dapat menerima
keadaan yang sudah terjadi
h. Membantu peserta didik atau klien dalam mengatasi permasalahan
yang dihadapi
Melakukan sesi penutup pada teknik Art Psychotherapy bersama
dengan peserta didik atau klien

3) Pola Dasar Art Therapy


Menurt Blackwell (2016: 38) terdapat beberapa pola dasar Art Therapy, yakni
sebagai berikut :
(a) Memperhatikan struktur dan konten gambar
Pola dasar dari Art Psychotherapy sangat menghargai struktur dan
konten gambar dari pembuat seni itu sendiri. Dengan memperhatikan
struktur dan konten gambar yang telah dibuat oleh peserta didik atau klien,
maka si konselor hendaknya dapat menghargai apapun hasil dari gambar
tersebut. Dalam Art Psychotherapy tidak ada memandang hasil gambar yang
baik ataupun buruk. Semua yang telah dibuat oleh peserta didik atau klien
merupakan bentuk karya seni yang patut dihargai dan diperhatikan struktur
serta konten gambarnya. Dengan memperhatikan struktur dan konten
gambar inilah, guru bimbingan dan konseling atau konselor mampu
menginterpretasikan ekspresi yang ingin disampaikan oleh peserta didik
atau kliennya.
(b) Menggunakan pendekatan imajinasi daripada simbolik dalam proses
pembuatan gambar
Proses pembuatan gambar dengan menggunakan simbol cenderung
mengikat para peserta didik atau klien untuk dapat secara terbuka
mengekspresikan perasaannya. Ekpresi para peserta didik akan langsung
tertuju pada suatu simbol dan gambar dengan menggunakan simbol
cenderung kurang mampu mengekspresikan perasaan suatu individu
secara lebih terbuka. Oleh karenanya, dengan menggunakan pendekatan
imajinasi akan membuat para peserta didik atau klien dapat sebebas
mungkin mengekspresikan diri mereka tanpa harus terikat pada simbol-
simbol yang dapat membuat mereka kurang mampu meningkatkan
kemampuan Self Disclosure pada diri mereka.
(c) Menggunakan bahasa metaforis (kiasan) untuk mengetahui gambar yang
dibuat dengan bahasa peserta didik
Tugas besar bagi guru bimbingan dan konseling atau konselor
dalam mengatahui makna atau arti dari gambar yang dibuat oleh peserta
didik atau kliennya. Dalam meningkatkan kemampuan Self Disclosure
dengan teknik Art Psychotherapy peserta didik atau klien akan cenderung
menggunakan bahasa kiasan dan hanya mereka sendiri yang cenderung
mengetahui arti dari gambar yang dibuat. Dengan demikian, dalam hal
ini guru bimbingan dan konseling atau koselor di sekolah dapat
hendaknya dapat membangun pendekatan yang baik dengan peserta
didik atau klien sehingga dapat melakukan diskusi atas gambar yang
telah dibuat.

C. Konseling Kelompok
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan salah satu
layanan dalam bimbingan dan konseling, yakni konseling kelompok. Layanan
konseling kelompok pada dasarnya adalah layanan konseling perorangan yang
dilaksanakan di dalam suasana kelompok. Dalam konseling kelompok, akan
terdapat beberapa orang yang terlibat di dalamnya, seperti konselor (yang
jumlahnya mungkin lebih dari seorang) dan ada klien, yaitu para anggota
kelompok (yang jumlahnya paling kurang dua orang). Di sana terjadi hubungan
konseling dalam suasana yang diusahakan sama seperti dalam konseling
perorangan, yaitu hangat, terbuka, permisif, dan penuh keakraban. Di mana
juga ada pengungkapan dan pemahaman masalah klien, penelusuran sebab-
sebab timbulnya masalah, upaya pemecahan masalah (jika perlu dengan
menerapkan teknik-teknik khusus), kegiatan evaluasi dan tindak lanjut.
Menurut Kemendikbud (2016: 56) tujuan dari konseling kelompok yakni
guna memfasilitasi konseli untuk dapat menyelesaikan masalah yang hadapi.
Konseling kelompok di lakukan bagi konseli pada kelas tinggi.
Terdapat beberapa langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan konseling
kelompok, yakni Menurut Kemendikbud (2016: 55-60) berikut adalah langkah-
langkah konseling kelompok :
1. Pra Konseling
a. Pembentukan kelompok (forming). Kelompok dapat dibentuk dengan
mengelompokkan 2-8 konseli yang memiliki masalah relatif sama.
Anggota kelompok adalah peserta didik yang:
(a) Merasa memiliki masalah dan secara perorangan datang sendiri sesuai
tawaran bantuan atas masalah tertentu yang diumumkan guru
bimbingan dan konseling atau konselor;
(b) Secara bersama mereka memiliki masalah yang sama atau masalah
individu dalam kelompok (datang sendiri) yang memecahkan bantuan
guru bimbingan dan konseling atau konselor, dan
(c) Diundang oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor karena
berdasarkan hasil assesmen, observasi perilaku pada saat layanan, dan
atau referal dari guru bidang studi, wali kelas, petugas piket, pimpinan
sekolah, komisi disiplin, pustakawan, laboran, petugas tata usaha,
orang tua, yang diprediksi memiliki masalah (menunjukkan indicator
masalah) yang relatif sama
(d) Menyusun RPL konseling kelompok
Guru bimbingan dan konseling atau konselor menyusun RPL, laporan
dan lembar kepuasan konseli sebagai kelengkapan kegiatan konseling
kelompok.
2. Pelaksanaan
Konseling kelompok dilakukan melalui tahap-tahap berikut :
a. Tahap awal (beginning stage)
Tahap awal merupakan salah satu tahap kunci yang akan
mempengaruhi keberhasilan proses konseling kelompok. Kegiatan guru
bimbingan dan konseling atau konselor pada tahap awal adalah membuka
sesi konseling, kemudian mengelola dan memanfaatkan dinamika
kelompok.
b. Tahap transisi
Tahap ini adalah tahap penting karena dapat menentukan aktif
tidaknya konseli dalam berinteraksi dengan yang lain. Pada tahap ini,
konseli biasanya memiliki perasaan cemas, ragu dan menunjukkan
perilaku resisten lainnya. Oleh sebab itu, sebelum konseli berbuat sesuatu
lebih jauh di dalam kelompok, konselor perlu membantu mereka untuk
memiliki kesiapan internal yang baik. Pada tahap ini konselor harus
membantu agar konseli tidak cemas, tidak ragu-ragu dan bingung. Jika
tahap intial ditempuh dengan baik, maka konseli akan merasa nyaman
dan bebas di dalam mengekspresikan sikap, perasaan, pikiran, dan
tindakannya.
c. Tahap Kerja (working stage)
Kegiatan guru bimbingan dan konseling atau konselor pada tahap
kerja adalah mengelola dan memanfaatkan dinamika kelompok untuk
memfasilitasi pemecahan masalah setiap angota kelompok. Kegiatan
guru bimbingan dan konseling atau konselor pada tahap kerja ialah
membuka pertemuan konseling, mengeksplorasi permasalahan,
memandu kelompok, hingga menutup konseling.
d. Tahap Pengakhiran (terminating stage)
Tahap pengakhiran dimaksudkan untuk mengakhiri seluruh
rangkaian kegiatan konseling kelompok. Biasanya dibutuhkan satu sesi
konseling atau setengah sesi (tergantung pada kebutuhan). Jika tidak
membutuhkan satu sesi penuh, terminating stage dapat dilakukan
setelah working stage yang terakhir.
3. Pasca Konseling
Setelah seluruh rangkaian kegiatan konseling kelompok dilakukan,
kegiatan guru bimbingan dan konseling atau konselor adalah :
a. Mengevaluasi perubahan yang dicapai dan menetapkan tindak lanjut
kegiatan yang dibutuhkan secara individual setiap anggota kelompok
sehingga masalah konseli betul-betul terentaskan
b. Menyusun laporan konseling kelompok
KESIMPULAN
DAFTAR ISI

Blackwell, Wiley. 2016. The Wiley Handbook Art Therapy. Oxford:

Evans, Kathy & Janek Dubowski. 2001. Art Therapy With Children On The
Austictic Spectrum. London: Jessica Kingsley Publisher

Gilroy, Andrea. 2006. Art Therapy, Research, and Evidance-Based Practice.


California: SAGE Publications Ltd

Karyanti. 2015. Konseling Art Dengan Media Gambar Untuk Meningkatkan Self
Disclosure Mahasiswa. Anterior Jurnal, Vol. 15, No. 1, Hal 55 – 61

Kemendikbud. 2016. Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan


Konseling Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan

Needs, Glenda. 2012. Art Therapy: Foundation and Form. Australia: InsideArts

Permatasari, Eka Ayu, dkk. 2017. Penerapan Art Therapy untuk Menurunkan
Depresi pada Lansia di Panti Werdha X. Jurnal Muara Ilmu Sosial,
Humaniora, dan Seni. Vol. 1, No. 1 April 2017, hlm 116-126

Waller, Diane & Caryl Sibbett. 2005. Art Therapy And Cancer Care. New York:
Open University Press

Anda mungkin juga menyukai