Anda di halaman 1dari 3

Reading Review THI

Scott Burchill dan Jack Donnelly. Theories of International Relations. New York: ST
Martin’s, Press, INC. 1996. 29-52

Nama : Reka Tiyasayu Sapitri

NIM : 11181130000007

Kelas : HI- 3A

REALISME

Teori realisme klasik hadir sebagai kritik atas teori liberalisme klasik yang mana
tujuannya terlalu utopia dalam menjelaskan perdamaian abadi dalam bukunya Immanuel Kant
yaitu to perpetual hal ini disampaikan oleh E.H Carr dalam bukunya Twenty years of crisis
bahwa liberalisme adalah produk aspirasi bukan produk analisis sehingga liberalisme tidak dapat
menjelaskan realitas yang ada. Menurut E.H Carr teori yang baik adalah aspirational empirical
sedangkan liberalisme terlalu utopis dengan cita-citanya kedepan. Sehingga liberalisme menjadi
teori yang gagal dengan bubarnya liga bangsa-bangsa dan terjadinya Perang Dunia ke II.

Teori relisme hadir dan disempurnakan oleh Hans J Morgenthau sebagai teori yang
logical empirical yang menekankan pada human nature atau sifat alamiah manusia yaitu
egoisme manusia seperti yang telah dijelaskan oleh hobbes dalam bukunya Leviathan bahwa
sifat manusia itu “Homo-homini lupus” didefinisikan manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya demi mencapai kepentingannya melalui Struggle for power atau perebutan kekuasaan
dan tidak adanya pemerintah internasional ('anarki') dimana tidak adanya otoritas tertinggi dari
suatu negara dalam hubungan internasional, sehingga membutuhkan 'keunggulan dalam semua
kehidupan politik kekuasaan dan keamanan' (Gilpin 1986: 305)..

Realisme secara sejarah pemikirannya telah ada sejak filsafat pemikiran politik barat.
Tokoh realisme klasik, tokoh-tokoh abad kedua puluh yaitu George Kennan, Hans Morgenthau,
Reinhold Niebuhr dan Kenneth Waltz di Amerika Serikat dan E. H. Carr di Inggris. E.H Carr
bisa dikatakan tokoh realis tetapi dia juga tokoh liberal, dia adalah tokoh liberal yang mengkritik
liberal sehingga menjadi pelopor teori realis tetapi disempurnakan oleh Hans J Morgenthau.
Dalam sejarah pemikiran politik Barat, Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa dalam politik
kita harus bertindak seolah-olah ‘semua orang jahat dan bahwa mereka akan selalu
melampiaskan keganasan yang ada dalam pikiran mereka ketika ada kesempatan '(1970: Buku I,
Bab 3) dan Thomas Hobbes biasanya dianggap realis terbukti dengan pemikirannya bahwa
adanya state of nature Bellum Omnium Contra Omnes yaitu semua lawan semua artinya manusia
itu Homo-homini lupus yaitu manusia adalah serigala bagi manusia lainnya demi tercapai
kepentingannya masing-masing sehingga dengan kontrak sosial terbentuklah negara yang
digambarkan seperti Leviathan yang kejam dan jahat yang ditakuti masyarakat demi terciptanya
kestabilan diantaranya sangat menggambarkan pemikiran realis hobbes. serta Thucydides dalam
bukunya The Pheloponesian War dimana terdapat The Mellian Dialogue yang menceritakan
perang beruntun antara Athena dan Sparta yang dimenangkan Sparta, pesan moralnya yaitu The
Stronger do what they want, The weak suffer what they must bahwa pada dasarnya yang kuat
seperti Athena akan melakukan apapun yang mereka inginkan, yang lemah seperti melos
maksudnya sebagai negara kecil hanya bisa menerima apa yang negara kuat haruskan.

Realisme berfikir secara berulang-ulang bahwa kejadian perang dimasa lalu akan terjadi
lagi dimasa mendatang karena sifat dasar manusia yang merefleksikan pada negara. Realisme
dengan aktor utama yaitu negara, dan cara untuk bertahan hidup suatu negara dalam kondisi
yang konfliktual dengan memaksimalkan military power, sehingga negara-negara harus bisa
survive pada keadaan yang selalu mengkhawatirkan adanya perang. Dengan demikian menurut
realism lingkungan internasional itu konfliktual dan peran adalah keadaan alamiah yang terjadi
yang didasarkan pada sifat manusia.

Dalam penjelasan Immanuel Kant terdapat 6 Principles yang pertama yaitu politik
internasional harus dilihat dari hukum objektif yang berasal atas sifat manusia, kedua yaitu
konsep kepentingan nasional bahwa politik internasional dikaitkan dengan interest yang
didasarkan pada power (Struggle for power), ketiga yaitu setiap negara mempunyai Interst nya
masing-masing artinya bahwa kepentingan tiap negara berbeda-beda maka dalam menjalani
hubungan internasional akan sesuai dengan kepentingan negaranya, keempat yaitu moral
memiliki peran penting masing-masing tetapi sikap ke hati-hatian menjadi sifat terpenting dari
perpolitikan internasional. Kelima yaitu setiap negara memiliki definisi moralnya masing-
masing, Keenam yaitu politik mempunyai ruang linkupnya sendiri dan terdapat perbedaan yang
jelas dengan studi yang lain. 6 principles ini yang menjelaskan terkait human nature, power, dan
national interest yang dimaksud dalam realism klasik.

Realisme memiliki keterbatasannya dalam menjelaskan sebagian besar hubungan


internasional, hal ini bukan bermaksud untuk merendahan realism, tetapi menjadi kritik yang
penting dari disiplin studi internsional yang majemuk. Pertanyaan yang lazim 'Apakah Anda
seorang realis?' Mungkin tepat jika kita memahami realisme sebagai teori moral atau pandangan
dunia. Beberapa realis, khususnya Kristen Agustinian seperti Niebuhr (1941, 1943) dan
Butterfield (1953) telah memperlakukan realisme dengan istilah-istilah seperti itu. Terori realis
merupakan unit analisis sehingga penjelasan realis selalu benar dalam melihat hubungan
internasional sesuai dengan realita yang terjadi. menekankan bahwa negara, terutama negara
yang kuat, bertekad melanggar norma moral biasanya dapat lolos beitu saja. Tetapi negara juaga
terkadang mematuhi norma moral baik untuk kepentingan mereka ataupun mempertimbangkan
biaya jika melanggar norma. Faktanya, dalam beberapa kasus negara mampu bermoral,
meskipun terdapat anarki internasional. Misalnya, intervensi kemanusiaan di Kosovo, Timor
Timur, dan Darfur, selambat-lambatnya, negara-negara menolong atas dasar prinsip-prinsip
kemanusiaan. Saya kurang setuju dengan pandangan realism klasik yang terlalu pesimistis dalam
memandang hubungan internasional dan terlalu tradisional karena mengggunakan ilustrasi-
ilustrasi sejarah yang diciptakan para filsuf terdahulu sehingga tidak valid dan mudah dipatahkan
sehingga dibutuhkan teori yan lebih Scientific berdasarkan fakta empiris.

Anda mungkin juga menyukai