Anda di halaman 1dari 6

Tugas Bahasa Indonesia

Analisis Novel “9 Summers 10 Autumns”

Disusun Oleh :
Zalfa Camilla Rohman
XII MIPA A
31

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kediri


Kota Kediri

2018
Novel “9 Summers 10 Autumn” karya Iwan Setyawan diterbitkan pada tahun 2012 di
Kota Jakarta oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Novel ini menceritakan tentang tokoh Aku
yang berperan sebagai tokoh utama. Aku adalah seorang anak laki-laki yang memiliki Bapak
seorang sopir angkot dan Ibu yang sederhana. Aku memiliki empat saudara perempuan.
Kakak pertamaku bernama Siti Aisyah, biasa dipanggil Mbak Isa. Mbak Isa adalah sosok
inspirasi bagi adik-adiknya, termasuk aku. Kami bertujuh hidup di sebuah rumah kecil di
Kota Batu. Rumah inilah sebagai bukti nyata perjuangan kami.

Masa kecilku berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Aku lebih memilih untuk
“bermain buku” dan membantu Ibuku daripada bermain bersama teman-temanku. Empat
saudara perempuanku pun sama sepertiku. Sejak kecil, kesadaran belajar kami sudah tumbuh
dengan sendirinya. Kami selalu mendapat peringkat tiga besar saat sekolah. Sampai tiba di
masa remaja, masa ini pun kami habiskan dengan belajar dan mencari tambahan uang.

Saat aku SMA, aku terus berjuang untuk mencari tambahan uang dengan membuka
les privat untuk siswa SD dan SMA. Kesibukan memberikan les privat ini tidak menurunkan
prestasi belajarku. Aku berhasil lolos PMDK di IPB Jurusan Statistika. Saat itu kami semua
senang. Namun kami juga merasa khawatir dan prihatin tentang biaya hidup dan biaya
kuliahku. Pada akhirnya Bapak menjual angkotnya, mencari pinjaman uang, dan menjual
tanah warisan untuk biaya kuliahku. Sementara untuk biaya hidup, Mbak Isa yang akan
memenuhinya. Saat kuliah, aku sempat merasa minder dengan prestasi mahasiswa lain.
Namun, berkat nasehat yang selalu diberikan oleh Ibuku lewat telepon, perasaan minder itu
seketika berubah menjadi semangat.

Setelah hampir empat tahun kuliah, aku berhasil melalui masa KKN dan
menyelesaikan skripsi. Aku diwisuda dengan penghargaan sebagai mahasiswa lulusan terbaik
dengan IPK 3,52. Setelah lulus, aku berusaha melamar pekerjaan. Aku berharap dapat
menemukan pekerjaan yang layak secepat mungkin. Sampai akhirnya aku diterima bekerja di
Nielsen Jakarta sebagai Data Processing. Saat bekerja disana, aku pernah dikirim ke
Malaysia dan Hongkong untuk menyelesaikan tugas. Setelah dua tahun di Nielsen Jakarta,
aku memutuskan untuk melihat tantangan baru. Aku berpindah kerja di Danareksa Research
Institute sebagai data analisis. Di tengah kesibukanku bekerja, aku tidak lupa untuk
menyempatkan diri menelfon keluargaku di Batu dan mentransfer sebagian gajiku untuk
keperluan keluarga di Batu. Belum lama bekerja di Danareksa, aku mendapat tawaran untuk
bekerja di Nielsen New York. Dengan penuh keyakinan dan restu keluarga, aku menerima
tawaran tersebut. Di Nielsen New York, aku menjabat sebagai Director, Internal Client
Management. Namun setelah sepuluh tahun bekerja di New York, aku memilih untuk pulang
ke rumah kecilku, di Kota Batu.

Tema yang diangkat dalam novel “9 Summers 10 Auntums” ini adalah sebuah
perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan rangkaian
cerita yang dipaparkan oleh penulis menggambarkan bahwa tokoh utama yang memiliki
masalah keuangan terus berjuang melalui pendidikan untuk mengubah nasib hidupnya dan
keluarganya.
Berdasarkan tema yang terkandung dalam novel, pengarang memandang cerita
tersebut bahwa sebuah perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan hidup tidak semudah apa
yang ada dalam angan manusia. Bahkan tidak sedikit manusia yang merasa putus asa apabila
menghadapi permasalahan keuangan dalam menjalankan pendidikan. Banyak yang memilih
untuk tidak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi karena masalah ekonomi. Selain itu,
pengarang juga memandang bahwa pendidikan dapat menjadi jembatan dalam mengubah
nasib hidup.

Ada beberapa amanat yang terkandung di dalam cerita ini. Beberapa amanatnya yaitu
apabila kita memiliki impian, maka kejarlah impian tersebut dengan apapun yang kita punya.
Hal ini terbukti ketika tokoh Aku yang terus berjuang mengejar pendidikannya walaupun
dengan keadadaan ekonomi yang kurang mendukung. Selain itu, pengarang juga
mengamanatkan bahwa sebuah perjuangan pasti akan membuahkan hasil. Hal ini dapat
dibuktikan dengan keberhasilan tokoh Aku setelah berjuang melawan masalah-masalahnnya.

Struktur cerita yang terdapat pada novel ini disusun secara lengkap. Pada awal cerita
disampaikan bagian orientasi yaitu pengenalan mengenai tokoh-tokoh yang akan terlibat
dengan deskripsi sederhana. Kemudian disambung dengan menuju konflik yang dialami oleh
tokoh Aku. Tokoh Aku dan keempat saudara perempuannya memiliki semangat belajar
tinggi, namun orangtuanya memiliki masalah dalam hal keuangan. Hal tersebut membuat
mereka harus ikut berjuang membantu mencukupi keuangan dalam keluarganya semampu
mereka.

Kemudian dilanjutkan dengan konflik yang dialami oleh tokoh Aku, yaitu ketika
dirinya diterima di jalur PMDK IPB Jurusan Statistika. Tokoh Aku merasa senang, namun ia
juga khawatir dengan uang yang harus dikeluarkan orangtuanya untuk membiayainya. Hal ini
dibuktikan dengan kutipan teks pada halaman 86 “Aku sangat khawatir, tapi tak bisa berhenti
membuang kesempatan ini.” Selain itu, tokoh Aku juga khawatir karena orangtuanya juga
harus membiayai kuliah untuk kakak kedua dari tokoh Aku dan dua adik dari tokoh Aku.

Berdasarkan konflik batin yang dialami tokoh Aku, terdapat beberapa alternatif
penyelesaian konflik yang terdapat dalam cerita. Di antaranya yaitu tokoh Mbak Isa akan
membantu memenuhi biaya hidup tokoh Aku dan orangtuanya akan memenuhi biaya kuliah
dengan menjual angkot dan meminjam uang. Hal ini dibuktikan dengan kutipan teks pada
halaman 86 “Kakakku Isa akan berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hariku di sana.” Serta
pada halaman 96 “Setelah Bapak menjual mobil angkot untuk biaya kuliahku, beberapa
sahabat SMA mengantar kepergianku ke Bogor pada Jumat pagi itu, di Terminal Bus Lorena
Malang.” Selain itu, tokoh Aku harus menghemat biaya selama kuliah.

Kemudian, pada bagian resolusi disampaikan hasil dari perjuangan tokoh Aku selama
hidupnya, yaitu ia diwisuda dengan penghargaan mahasiswa lulusan terbaik IP 3,52.
Kemudian tokoh Aku mulai bekerja di dua perusahaan di Indonesia, yaitu Neilsen Jakarta dan
Danareksa. Beberapa waktu kemudian, ia ditawari untuk bekerja di Neilsen New York.
Namun, di akhir cerita disampaikan bahwa tokoh Aku memutuskan untuk pulang ke
Indonesia setelah sepuluh tahun bekerja di Neilsen New York.
Berdasarkan analisis alur di atas, dapat dikatakan bahwa novel ini memiliki unsur
logis. Hal ini disebabkan oleh rangkaian alur disusun secara urut. Cerita ini logis dimulai dari
perkenalan yang dilanjutkan dengan pemunculan masalah. Kemudian dilanjutkan dengan
konflik yang dialami tokoh utama. Setelah itu disampaikan alternatif penyelesaian konflik
dan diakhiri dengan resolusi.

Pengarang juga menuliskan beberapa kejutan yang terdapat di dalam cerita. Hal ini
terbukti ketika orang tua tokoh Aku yang memiliki masalah keuangan dapat membiayai
sekolah kelima anaknya dengan baik. Pada akhirnya, kelima anaknya dapat menyelesaikan
sekolahnya sampai sarjana. Selain itu, kejutan yang disampaikan oleh penulis terdapat di
akhir novel ini. Penulis menyampaikan bahwa tokoh Aku memutuskan untuk pulang ke
Indonesia setelah sukses membangun karier di New York.

Berkaitan dengan kejutan, pengarang tentu menuliskan misteri yang terdapat di dalam
cerita. Misteri ini terdapat di akhir cerita. Pengarang menuliskan bahwa setelah sepuluh tahun
bekerja di New York, tokoh Aku memilih berhenti bekerja dan kembali ke Indonesia. Hal
tersebut mengundang misteri bagi pembaca mengenai hal apa yang akan dilakukan tokoh
Aku setelah kembali ke Indonesia.

Selain misteri, novel ini juga mengandung unsur unity atau keutuhan. Hal ini
disebabkan oleh pokok permasalahan yang dibahas dalam novel hanya satu pokok saja, yaitu
membicarakan tentang usaha tokoh Aku untuk melawan konflik yang dialaminya. Selain itu
juga disebabkan oleh adanya keterkaitan antara latar dan karakter tokoh. Sebagai contoh,
dalam suasana penuh semangat dan saat tokoh Aku berada di IPB dan di rumah, ia memiliki
karakter pantang menyerah dalam mencapai impiannya. Keterkaitan ini juga terjadi pada
karakter tokoh Ibu, Bapak, dan Mbak Isa dengan latar tempat di rumah.

Di samping empat unsur alur di atas, pengarang juga menuliskan latar dalam cerita
tersebut. Pertama, latar waktu. Pengarang menuliskan latar waktu yaitu pada saat tokoh Aku
lulus PMDK IPB Jurusan Statistika. Latar waktu tersebut berkaitan dengan konflik yang akan
dimunculkan dalam cerita.

Kedua, latar tempat. Pengarang menuliskan dua latar tempat yang berhubungan
dengan konflik tokoh Aku, yaitu di rumah tokoh Aku dan di kampus hijau atau IPB. Untuk
latar tempat di rumah, bukti kutipan teks terdapat pada halaman 125. “Di bawah atap rumah
kecil ini, kami tak pernah merayakan ulang tahun, tak ada acara tiup lilin, balon warna-warni
atau kue tart berhiaskan angka ulang tahun.” Sedangkan bukti untuk latar tempat di kampus
hijau atau IPB, bukti kutipan teks terdapat pada halaman 110. “Di kampus hijau ini nilai-nilai
keagamaan dipegang begitu kuat, begitu dalam, begitu baru di depan mataku, yang tidak
disiplin menjalankan ritual keagamaan sebelumnya.”

Ketiga, latar suasana. Pengarang menuliskan tiga suasana yang berkaitan dengan
konflik tokoh Aku. Ketiga suasana tersebut adalah suasana senang, khawatir atau gelisah, dan
penuh semangat. Suasana senang dibuktikan dengan kutipan teks yang terdapat pada halaman
86. “Saat itu kami semua sangat senang karena anak laki satu-satunya berhasil lolos ke IPB,
Jurusan Statistika! Pertama kali dalam sejarah panjang keluarga kami.” Suasana khawatir
atau gelisah dibuktikan dengan kutipan teks yang terdapat pada halaman 86. “Pada waktu
yang sama kami semua prihatin dan khawatir tentang biaya hidup dan biaya kuliahku di
Bogor.” Sedangkan suasana penuh semangat dibuktikan dengan kutipan teks pada halaman
134. “Aku pun memberanikan diri bermimpi. Aku ingin menjadi bagian dari gambar itu, aku
ingin menjadi salah satu profesional muda, di Jalan Sudriman, Jakarta.”

Selain latar, pengarang juga menuliskan karakter dari setiap tokoh yang terlibat dalam
konflik. Pertama, karakter yang dimiliki oleh tokoh Aku yaitu pantang menyerah dan rajin.
Dibuktikan dengan kutipan tekas pada halaman 100. “Aku tak boleh gagal. Aku tak boleh
pulang kembali ke rumah kecilku sebelum membawa lukisan indah di dalamnya.” Serta pada
halaman 69 “Aku belajar dengan tekun, mungkin lebih daripada teman-temanku. Aku lebih
sering bangun pagi sekali dan belajar lebih lama.”

Kedua, karakter dari tokoh Ibu yaitu sabar dan tegar yang dibuktikan dengan kutipan
teks pada halaman 27. “Setelah sidang, Bapak masuk sel di Kompleks Penjara Lowokwaru
Malang. Ibu dengan ketegarannya menghidupi dirinya, Mbak Isa, dan bayi di kandungannya
dengan menjual atau menggadaikan barang-barang yang tersisa di rumah.” Serta pada kutipan
teks halaman 35. “Ibuku, di balik kelembutannya, menyimpan kekuatan yang luar biasa. Di
balik kesabarannya, ia berhasil membawa kami semua hidup di bawah satu atap.” Tokoh Ibu
juga memiliki karakter bijaksana yang dibuktikan dengan kutipan teks pada halaman 70.
“Dialah yang tahu barang apa yang harus digadaikan untuk membeli buku-buku pelajaranku.
Dialah yang tahu ke mana harus mencari utang untuk memberikan yang terbaik.” Karakter
tokoh Ibu yang lainnya yaitu pantang menyerah yang dibuktikan dengan kutipan teks pada
halaman 27. “Sebelum sidang dimulai, Bapak mendekam sebagai tahanan di Polresta Malang
selama seminggu. Tak ada uang angkot, Ibu harus mejual piring, baju bekas, atau mencari
pinjaman ke sana-sini.”

Ketiga, karakter dari tokoh Bapak yaitu peduli yang dibuktikan dengan kutipan teks
pada halaman 9. “Karena aku sering batuk-batuk pada malam hari, Bapak membuatkan
ranjang dari bambu.” Tokoh Bapak juga memiliki karakter pekerja keras yang dibuktikan
dengan kutipan teks pada halaman 26. “Setelah beberapa tahun menyopir, Bapak berusaha
mandiri. Berkat tabungan berpuluh-puluh tahun, ia berhasil membeli mobil bekas seharga
sekitar dua juta pada tahun 1980.”

Keempat, karakter yang dimiliki oleh tokoh Mbak Isa yaitu peduli. Dibuktikan
dengan kutipan teks pada halaman 86. “Pada waktu yang sama kami semua prihatin dan
khawatir tentang biaya hidup dan biaya kuliahku di Bogor. Kakakku Isa akan berjuang untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hatiku di sana, sementara orangtuaku akan mengusahakan uang
kuliah dan buku-buku, entah dengan cara apa.”

Berkaitan dengan isi, terdapat nilai-nilai yang terkandung di dalam novel ini. Di
antaranya adalah nilai budaya. Adanya nilai budaya dibuktikan dengan kutipan teks pada
halaman 13 “Jika tamu duduk berlama-lama, Ibu akan mengambil cobek dan menggosok-
gosokkan ulekannya di pintu dapur. Menurut dia dan kepercayaan Jawa, hal itu akan
membantu mengusir tamu.”
Selain nilai budaya, ada juga nilai moral dalam novel ini. Di antaranya adalah
berhemat yang dibuktikan dengan kutipan teks pada halaman 98. “Aku hanya bisa menelepon
sekali atau dua kali seminggu karena biaya telepon yang mahal.” Serta nilai moral menjaga
perasaan orang lain yang dibuktikan dengan kutipan novel pada halaman 98 “Aku juga tak
ingin mengganggu tetangga di Batu yang setiap saat memanggil Ibu atau Bapak, mengangkat
gagang telepon di rumahnya.”

Terdapat pula nilai agama yang terkandung di dalam novel ini. Hal ini dibuktikan
dengan kutipan teks yang terdapat pada halaman 109. “Di tengah kerinduan yang dalam, aku
menemukan kedamaian yang luas dalam salat lima waktu, ada yang tersembuhkan dalam
salat Tahajud. Doa-doa setelah salat memberikan kekuatan baru untuk hidup sendiri di Bogor
ini.” Bukti juga terdapat pada kutipan teks halaman 110. “Aku mulai pergi ke mesjid untuk
salat berjamaah dan mengikuti beberapa pengajian di kos maupun kampus.”

Di samping nilai agama, novel ini juga menyajikan nilai sosial. Di antaranya nilai
untuk saling membantu. Hal ini dibuktikan dengan kutipan teks yang terdapat pada halaman
70. “Selain berteman dengan buku-buku pelajaran, aku dan saudara-saudaraku juga mulai
menggunakan tangan-tangan kecil kami untuk membantu meringankan beban keluarga.”
Bukti juga terdapat pada kutipan teks halaman 86. “Pada waktu yang sama kami semua
prihatin dan khawatir tentang biaya hidup dan biaya kuliahku di Bogor. Kakakku Isa akan
berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hatiku di sana, sementara orangtuaku akan
mengusahakan uang kuliah dan buku-buku, entah dengan cara apa.”

Dalam novel ini juga terkandung nilai estetis. Hal ini dibuktikan dengan kutipan teks
yang terdapat pada halaman 74. “Setiap hari Sabtu atau Minggu pagi, kami memakai baju
hitam-hitam, bersatu dengan alam, merasakan angin menyentuh pori-pori kami. Kami
bermeditasi dan melepaskan tubuh kami. Kami mendengar deru motor di kejauhan,
mendengar kicau burung, mengikuti suaranya dan melepaskannya.”

Novel ini menampilkan isinya dengan kebahasaan yang sesuai dengan imajinasi
pengarang. Beberapa kalimat dalam novel ini mengandung ungkapan atau majas. Hal ini
dibuktikan dengan kutipan teks sebagai berikut :
1. “Aku diam, menelan satu-persatu pemandangan ini.” Kalimat ini mengandung majas
personifikasi.
2. “Beberapa rahasia hidupku juga terlepas di tengah gemuruh ombak di pantai-pantai Bali.”
Kalimat ini mengandung majas personifikasi.
3. Aku tak tahu ke mana masa depan ini akan membawaku? Siapa pula yang tahu? Aku
hanya ingin melangkah maju...” Kalimat ini mengandung majas personifikasi.
4. “Gelombang mulai terasa di masa SMA ini dan perahu kecilku terus berlayar.” Kalimat ini
mengandung ungkapan.
5. “Perjuangan Bapak, Ibu, dan saudara-saudaraku adalah kerja raksasa menembus
gelombang besar.” Kalimat ini mengandung ungkapan.

Anda mungkin juga menyukai