Anda di halaman 1dari 21

PEMERIKSAAN KASUS TRAUMA OROMAKSILOFASIAL DAN

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN TRAUMA


OROMAKSILOFASIAL

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Trauma Oromaksilofasial


Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada
jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar.
Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan
laserasi. Fraktur dapat didefinisikan sebagai kerusakan mendadak pada
kontinuitas tulang dan dapat bersifat complete atau incomplete. Cedera
dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur pada gigi geligi
yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak gigi dan avulsi.
Sedangkan fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur midface atau wajah
bagian tengah dan laserasi wajah.(1) Trauma oromaksilofasial merupakan cedera
pada wajah atau rahang yang disebabkan oleh tekanan fisik, adanya benda asing,
gigitan binatang ataupun manusia. Trauma dapat menyebabkan luka fasial
kompleks dengan kehilangan jaringan. Banyak dari luka-luka ini yang melibatkan
jaringan keras maupun lunak. Sebagian besar defek dapat direkonstruksi langsung
untuk mendapatkan restorasi bentuk dan fungsi yang lebih baik dengan
rehabilitasi dini. Penanganan dini dan rencana perawatan pasien trauma
maksilofasial dimulai dengan salam awal pasien dan diakhiri ketika korban
trauma telah mendapatkan pembedahan yang maksimal, menguntungkan dalam
aspek fungsional, psikososial, dan finansial. Evaluasi pasien dan membuat
rencana untuk menyelesaikan tujuan penting untuk perawatan keseluruhan pasien
yang dimulai dengan pemeriksaan riwayat dan fisik awal.

1
2. Etiologi
Kecelakaan berkendara dan kekerasan merupakan penyebab utama dari
fraktur maksilofasial di seluruh dunia. Penyebab utama lain dari fraktur ini adalah
jatuh yang berkaitan dengan pekerjaan, luka saat olahraga, dan trauma industri.
- Kecelakaan berkendara
- Kekerasan
- Penyebab yang berkaitan dengan pekerjaan
- Jatuh
- Kecelakaan dalam olahraga
- Penyebab lainnya
Maka, penyebab fraktur maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi: (i)
penyebab ekstrinsik, dan (ii) penyebab intrinsik.
Penyebab ekstrinsik:
1. Kekerasan langsung (fraktur pada lokasi dampak)
2. Kekerasan tidak langsung (fraktur yang disebabkan oleh transmisi
dampak)
3. Gaya bengkok
4. Gaya torsi
5. Gaya tekan
6. Gaya geser
Penyebab intrinsik (fraktur patologis)
Fraktur yang terjadi oleh karena kelemahan intrinsik dari tulang dan bukan
karena gaya dampak. Fraktur patologis terjadi oleh karena penyakit tulang atau
sistemik yang melandasi sehingga dapat menyebabkan satu, kebanyakan, atau
semua penyakit skeletal menjadi abnormal dan menjadi rentan terhadap fraktur.
Fraktur patologis dapat berasal dari tipe trauma apapun:
- Gaya bengkok
- Gaya torsi
- Gaya tekan atau geser
Sering terjadi bahwa gaya satu-satunya yang menyebabkan fraktur adalah
berat seseorang, terutama pada mandibula mungkin adalah gaya mengunyah,
maka fraktur spontan terjadi tanpa trauma berlebihan. Fraktur patologis dapat
terjadi melalui tipe-tipe patologi tulang berikut: neoplasia, kista tulang, tulang
osteoporosis, osteoradionekrosis, infeksi tulang terlokalisir (osteomyelitis), tulang
osteoporosis oleh karena penyalahgunaan fiksasi eksternal yang lama atau
2
pembuangan alat internal yang keras. Sayangnya, fraktur dapat terjadi bahkan
sebagai lanjutan dari penempatan implan yang tidak baik oleh karena gaya tegang
yang terjadi pada tulang pada saat fungsi mandibula.
Etiologi luka maksilofasial:
1. Penyebab khas
i. Kekerasan langsung
ii. Kekerasan tidak langsung
2. Luka tabrakan
3. Misil berkecepatan tinggi
4. Penyebab predisposisi
a. Penyebab lokal: keberadaan kista, osteomyelitis, tumor, keberadaan
molar ketiga, dan sebagainya.
b. Penyebab sistemik: penyakit sistemik yang mempengaruhi
pembentukan struktur tulang.
Faktor fisiologis: pada anak usia lebih muda, tulang bersifat resilien,
trauma dapat menyebabkan fraktur incomplete. Pada atlit, tulang yang sangat
terkalsifikasi dapat bertahan terhadap trauma hingga batas tertentu. Pada faktor
statis kondisi fisik, penyebab predisposisi, kelemahan anatomis, dan keberadaan
tarikan otot pada fragmen merupakan pertimbangan yang penting.
Tanda klinis klasik dan gejala dari fraktur rahang:
1. Riwayat luka pada area tersebut.
2. Nyeri: jika pasien akan mengeluh nyeri pada saat pergerakan pada suatu
lokasi, atau jauh dari lokasi luka, maka dapat dicurigai adanya fraktur.
3. Pergerakan yang abnormal: keberadaan pergerakan abnormal pada
lengkung gigi/ tulang rahang dapat dideteksi secara manual atau diamati
pada saat pergerakan rahang atau pasien mungkin mengeluhkan
pergerakan abnormal pada sisi tertentu.
4. Perdarahan: perdarahan aktif mungkin ada atau keberadaan hematoma atau
ecchymosis dapat mengikuti proses fraktur. Pada luka baru, area
perdarahan dapat diperiksa oleh dokter. Berikutnya, pasien harus
ditanyakan mengenai riwayat perdarahan dari rongga mulut, hidung
(epistaksis), dan telinga, dan sebagainya.
5. Krepitasi: bunyi derak, dan kisi dapat dideteksi pada saat palpasi luka oleh
karena gesekan tulang yang hancur satu sama lain.

3
6. Deformitas: deformitas wajah yang jelas akan terlihat tergantung pada
derajat dan arah benturan. Hal ini juga tergantung pada arah garis fraktur
dan tarikan otot yang bekerja.
7. Ecchymosis dan edema (pembengkakan): tanda-tanda ini akan terlihat
dalam waktu beberapa jam setelah trauma. Dapat terlihat secara ekstraoral
atau intraoral tergantung pada lokasi fraktur dan benturan.
8. Kehilangan fungsi atau gangguan pada fungsi: mastikasi makanan
terganggu. Pada kasus fraktur kondilus, kehilangan rambatan pergerakan
akan terlihat. Masalah bicara, kesulitan menelan mungkin juga muncul.
9. Bukti radiografi: semua kasus suspek fraktur harus difoto ronsen. Hal ini
membantu dalam diagnosis sekaligus menyediakan konfirmasi tambahan.
Hal ini juga penting untuk tujuan medikolegal sebagai bukti.

3. Prinsip Dasar Dalam Penanganan Pasien Dengan Trauma Maksilofasial


Ketika pasien dengan trauma parah awalnya diperiksa, penting bagi ahli
bedah untuk melakukan pendekatan pada fase penanganan dalam cara yang
berurutan dan sistematik. Luka pada kepala dan leher sering melibatkan saluran
udara dan pembuluh utama. Oleh karena itu, resusitasi ABC harus dengan ketat
dimasukkan dalam tahap utama pemeriksaan dan penanganan pasien dengan
trauma maksilofasial.

3.1 Pemeriksaan Klinis Lokal dari Luka Maksilofasial

a. Pemeriksaan ekstraoral

Sebelum pemeriksaan, wajah pasien harus dengan lembut dicuci dengan


saline hangat atau air dan usapan cotton woll harus digunakan untuk
membersihkan bekuan darah yang kering atau keropeng. Rongga mulut harus
diirigasi secara menyeluruh dan dibersihkan dengan cotton swab. Obat kumur

4
juga dapat digunakan. Evaluasi area fasial harus dilakukan dalam prosedur yang
teratur dan berurutan.

a) Inspeksi
Inspeksi akan mengungkapkan keberadaan edema, ecchymosis dan
deformitas. Luka jaringan lunak yang berkaitan harus dicatat. Panjang, luas, dan
kedalaman luka jaringan lunak harus diukur dan dicatat. Periksa hidung dan
telinga untuk keberadaan perdarahan atau kebocoran cairan serebrospinal. Edema
periorbital, ecchymosis, perdarahan subkonjungtiva dapat dilihat (memar di
belakang telinga atau tanda pertarungan, menunjukkan fraktur tengkorak).
Pemeriksaan neurologis harus mencakup evaluasi akan semua saraf kranial.
Penglihatan, tingkat okuler, pergerakan ekstraokuler, reaksi pupil terhadap cahaya
harus dengan hati-hati dievaluasi. Perubahan penglihatan atau pupil dapat
menunjukkan trauma intrakranial (saraf kranial II, III, IV, VI) atau orbita.
Abormalitas okuler. Sebagian besar luka parah disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas (RTA), ketika pengendara kendaraan tiba-tiba mengerem, kepalanya
menghantam meja depan, stir atau jendela. Beragam ukuran keselamatan yang
digunakan antara lain seat belt, dashboard padding, telescoping steering wheel,
push-away windshield, dan dashboard dengan knob recessed atau tidak. Sekarang
seat belt tersedia untuk semua penumpang, apakah tempat duduk bagian depan
atau belakang. Terdapat aturan untuk cara yang baik memakai seat belt, dan
kewajiban memakai helm untuk pengendara. Ahli bedah harus mencari luka
orbital atau periorbital yang bermanifestasi sebagai perdarahan subkonjungtiva.
Sama dengan itu, luka TMJ atau fossa kranialis tengah bermanifestasi sebagai
perdarahan dari kanalis auditori eksternal. Penting juga diperhatikan untuk
mengevaluasi hidung, khususnya septum nasal, untuk keberadaan hematoma
septum. Pemeriksaan nasal juga dapat menunjukkan rhinorrhoea CSF, yang
merupakan indikasi fraktu yang melibatkan basis tengkorak. Diskolorisasi
jaringan juga perlu diperhatikan. Ecchymosis di belakang telinga diketahui
sebagai tanda Battle yang merupakan indikasi fraktur tengkorak basilar yang
melibatkan fossa kranium tengah.

5
b) Palpasi
Palpasi area ekstraoral harus dimulai dengan kedua tangan, secara
bersamaan pada setiap setengah wajah eksternal, dengan tekanan yang lembut
namun tegas. Usaha ini akan membantu mendeteksi abnormalitas dan seseorang
dapat membandingkan sisi yang normal dengan bagian yang tidak normal.
Palpasi dengan lembut harus dimulai dari belakang kepala, dan kranium harus
dieksplorasi untuk luka dan kerusakan tulang. Lalu jari-jari harus berherak ke dahi
untuk palpasi ada atau tidaknya depresi. Jari palpasi harus tetap di garis tengah
dan berpindah ke sisi di atas supraorbital rim dan infraorbital rim, tulang dan
lengkung zygoma. Area yang keras, deformitas step, atau gerakan abnormal harus
dicatat. Palpasi nasal bridge harus dimulai dari atas hingga ujung hidung di
tengah dan kemudian ke sisi. Jika terasa adanya kertak, harus dicatat. Tekanan
digital yang tegas pada area ini, digunakan untuk mengevaluasi kontur tulang dan
mungkin akan sulit ketika area ini sangat edema. Setelah pembersihan intranasal,
perdarahan segar atau kebocoran CSF harus dipastikan.

Gambar 1A hingga H: Palpasi sistematik untuk luka M/F: palpasi untuk – (A)
supraorbital ridge, (B) infraorbital ridge, (C) tepi lateral orbita, (D) tulang dan
lengkung zygoma, (E) tulang nasal, (F) sendi TM, (G) palpasi intraoral pada

6
vestibulum bukal untuk butress zygoma, (H) palpasi intraoral untuk memeriksa
mobilitas maksila.

Setelah tahap awal untuk menolong nyawa dilakukan dengan baik dan
pasien telah stabil, lalu pemeriksaan lengkap untuk pasien dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan luka penting yang berkaitan.
Luka kepala: untuk memeriksan tingkatan kesadaran ‘Glasgow coma scale’
digunakan. Skala ini menghubungkan pengamatan respon motorik, respon verbal,
dan pemeriksaan mata dengan respon-repsonnya (Tabel 28.2). pemeriksaan
tengkorak atau kranium harus dilakukan untuk laserasi atau fraktur penting
apapun. Tingkat kesadaran juga harus diperiksa:
i. Sadar penuh.
ii. Pasien pusing dengan disorientasi, tetapi merespon secara rasional
terhadap pertanyaan yang diajukan,
iii. Pasien semi-sadar, merespon secara tidak rasional terhadap pertanyaan
yang diajukan,
iv. Pasien tidak sadar, tetapi merespon nyeri yang sangat menyakitkan (semi
koma).
v. Tidak sadar tanpa respon terhadap rangsangan sakit (koma). Derajat dan
durasi kehilangan kesadaran merupakan indikasi penting untuk keparahan
kerusakan otak.
Amnesia retrograde: merupakan ketidakmampuan untuk mengingat
kejadian yang menyebabkan kecelakaan. Amnesia anterograde: merupakan
kegagalan untuk mengingat kejadian segera setelah kecelakaan. Kapanpun, pasien
yang mengalami keadaan tidak sadar dengan luka maksilofasial, mungkin bukan
disebabkan oleh luka kepala. Kehilangan kesadaran tiba-tiba dapat mengikuti
epileptic fit atau kerusakan otak dan kardiovaskular. Tingkatan kesadaran juga
dapat dipengaruhi oleh aksi asupan alkohol atau obat lain, hipoglikemia atau
hiperglikemia. Mata, tulang spinalis, ekskremitas, abdomen, dada harus diperiksa
dengan baik. Konsultasi spesialis dari ahli saraf, mata, bedah umum harus
didapatkan dalam kasus luka ekstensif. Tim trauma: dokter umum, ahli jantung
dan toraks, vaskular, bedah ortopedi, bedah saraf, anestesi, mata, saluran kemih,
bedah ENT, bedah plastik dan bedah mulut serta staf paramedis.

7
Catatan lengkap tentang detail pemeriksaan untuk luka maksilofasial
dipertimbangkan di bawah langkah langkah berikut dan harus disimpan untuk
bukti kasus medikolegal.
i. Riwayat luka pada pasien
ii. Kondisi umum saat diterima
iii. Pemeriksaan ekstraoral
iv. Pemeriksaan intraoral
v. Pemeriksaan radiologi

Riwayat luka pada pasien

Riwayat yang lengkap penting untuk diagnosis yang tepat dari luka fasial.
Riwayat lengkap dari luka harus didapatkan dari pasien, apabila pasien rasional
dan kooperatif, jika tidak bisa didapatkan dari kerabat, yang menemani orang atau
saksi pada waktu luka.

1. Siapa – identitas pasien harus dipastikan. Nama, usia, jenis kelamin,


alamat, nomor telepon, dan sebagainya harus dicatat.
2. Kapan – tanggal dan waktu luka harus dicatat. Hal ini akan menunjukkan
apakah luka ini baru atau sudah lama. Jika pasien datang untuk perawatan dini,
prognosisnya akan baik.
3. Dimana – lingkungan sekitar dari lokasi luka penting untuk mengetahui
kemungkinan dan derajat kontaminasi bakteri atau kimia dari luka. Di sini, sejarah
profilaksis tetanus juga harus ditanyakan dan apakah pasien telah menerima
perawatan dini dimanapun juga harus dipastikan.
4. Bagaimana – cara terjadinya luka – tipe kekerasan dan arah gaya dapat
memberikan beberapa indikasi tentang pola dan perluasan luka. Penting juga
untuk kasus medikolegal seperti kekerasan anak, suami atau kerabat yang
menyerang wanita atau kecelakaan lalu lintas. Jika pasien memberikan riwayat
epilepsi dan kejatuhan langsung pada dagu atau tentara yang pingsan saat upacara,
maka fraktur garis tengah dari mandibula dengan kemungkinan fraktur leher
kondilus dapat dicurigai.
5. Apa jenis perawatan yang diberikan sebelumnya (jika pasien datang dari
rumah sakit lain) harus diketahui.
6. Bagaimana kesehatan umum pasien? mendapatkan riwayat medis yang
bersangkutan dapat dibantu dengan menggunakan mnemonic AMPLE.

8
A : Alergi
M : Medikasi
P : Penyakit sebelumnya
L : Makanan terakhir
E : Kejadian yang berkaitan dengan luka
Riwayat alergi obat, penyakit perdarahan, penyakit tulang sistemik yang
telah ada sebelumnya, neoplasia denga kemungkinan metastase, arthritis, penyakit
kolagen yang berkaitan, penyakit nurtrisi dan metabolik, penyakit endokrin harus
ditanyakan. Masalah medis dan pskiatrik yang mempengaruhi penanganan juga
harus dipastikan.
7. Riwayat trauma sebelumnya juga harus dicatat untuk tujuan medikolegal.
8. Panjang ketidaksadaran juga harus dicatat untuk mengetahui derajat luka
kepala dan perujukan yang tepat. Sebelum melakukan anestesia umum untuk
pasien, persetujuan bedah saraf harus didapatkan.
9. Riwayat nyeri, muntah, tidak sadar, anemia, sakit kepala, gangguan
penglihatan, kebingungan setelah kecelakaan, dan maloklusi harus dicatat.
10. Riwayat jumlah perdarahan dari beragam lokasi luka ekstraoral, intraoral,
hidung, telinga dan sebagainya harus ditanyakan.
11. Informasi mengenai medikasi rutin pasien – apakah pasien biasa menerima
insulin, steroid, antikoagulan, dan sebagainya sebelum kecelakaan juga penting
diketahui.
12. Golongan darah pasien – apakah golongan darah pasein ia ketahui.

c) Pemeriksaan Neurologis
Saraf-saraf berikut ini diperiksa sebelum injeksi anestesi lokal dan induksi
anestesi umum. Nervus fasialis: fungsi dari saraf ini dapat dengan mudah
dievaluasi pada pasien yang sadar dengan memintanya menggunakan otot untuk
ekspresi wajah. Jika pasien tidak sadar perangsang saraf dapat digunakan. Nervus
infraorbital: dalam kasus fraktur kompleks zygomatico-maksila atau fraktur Le
Fort II, nervus infraorbital rusak. Nervus olfaktori: luka pada saraf ini dapat
disebabkan oleh fraktur bagian tengah wajah yang melibatkan plat cribiform dari
ethmoid. Nervus okulomotor: keberadaan dilatasi pupil menunjukkan kerusakan
nervus okulomotor yang biasanya disebabkan oleh kompresi saraf intrakranial
oleh karena meningkatnya tekanan intrakranial. Nervus abdusen: luka pada nervus
abdusen menyebabkan disfungsi otot rectus lateral. Hal ini paling sering diamati

9
pada pasien yang menderita tipe luka diselerasi. Nervus optikus: luka pada nervus
ini disebabkan oleh fraktur di sekitar foramen optikus yang dapat disebabkan oleh
kompresi tulang. Saraf yang biasanya terluka pada saat trauma maksilofasial
adalah nervus alveolaris inferior: luka pada saraf alveolaris inferior menyebabkan
anestesia pada sisi yang terlibat. Nervus lingualis: saraf ini lebih jarang terluka.
Luka pada nervus lingualis menyebabkan anestesia atau parastesia pada dua
pertiga anterior lidah. Selain itu, karena saraf korda timpani dibawa oleh nervus
lingualis, luka pada struktur ini juga menyebabkan perubahan pengecap.
Pergerakan juga dapat menunjukkan masalah neurologis pusat atau
obstruksi mekanis terhadap otot mata yang disebabkan oleh fraktur di sekitar area
orbita. Mata, jika tertutup karena edema, maka kelopak mata harus dibuka dengan
lambut, jika pasien sadar, penglihatan diuji pada setiap mata. Lalu pasien diminta
untuk mengikuti jari dokter dengan matanya, tanpa menggerakkan kepala dan
diminta melaporkan apabila diplopia atau penglihatan ganda ada.
Catatan dibuat pada perubahan ukuran dua pupil dan refleks cahaya diuji.
Perluasan ecchymosis subkonjungtiva dan batasannya juga dipastikan. Fungsi
motorik otot fasial (nervus kranialis VII) dan otot mastikasi serta sensasi pada
area fasial (nervus kranialis V) harus dievaluasi. Anestesi, parestesi atau disestesi
dari bibir bawah, kelopak mata, hidung, infraorbita harus diperhatikan.
Kompleks nasal harus diinspeksi dengan spekulum dan pencahayaan yang
baik, untuk laserasi intranasal, deviasi septum dan hematoma, ujung dan dorsal
perubahan kontur, epistaksis, dan rhinorrhea CSF.

d) Pemeriksaan skeletal
- Zygoma dan maksila diperiksa. Titik perdarahan pada buccal fold maksila
dan maloklusi kelas III menunjukkan fraktur maksila. Gangguan oklusal

10
Gambar 2. Pemeriksaan maksila : (A) palpasi infraorbital rim, (B) palpasi
lateral rim, (C) palpasi supraorbital rim, (D) palpasi tulang nasal, (E) palpasi
tulang zygoma, (F) palpasi bimanual untuk pemeriksaan fraktur Le Fort I, (G,
H)- palpasi
Pemeriksaan
bimanual skeletal dimulai setelah
untuk pemeriksaan frakturpemeriksaan jaringan
Le Fort II, dan lunak
(I) palpasi dan
TMJ.
neurologis. Laserasi pada dagu menunjukkan kaitan fraktur subkondilus
yang disebabkan oleh luka tumpul. Evaluasi mandibula dilakukan baik
dengan pengamatan intraoral dan ekstraoral maupun palpasi. Palpasi
rongga mulut dan jaringan lunak fasial mungkin mengungkapkan nyeri,
krepitasi, dan indurasi, yang semuanya merupakan temuan klinis
signifikan. Nyeri, pembengkakan dan indurasi merupakan indikasi fraktur
mandibula yang paling tidak sudah berlangsung selama 48 jam.
- Hematoma sublingual merupakan tanda indikatif paling umum dari fraktur
mandibula.
- Ketidakmampuan membuka mulut lebih dari 35 mm atau deviasi sebesar 6
mm ke kanan atau kiri menunjukkan baik keberadaan masalah mekanis
atau trismus sekunder terhadap fraktur mandibula maupun kelainan sendi
temporomandibula yang telah ada sebelumnya. Nyeri di dalam dan sekitar
preaurikular atau area masseter menunjukkan luka pada kondilus atau
sudut mandibula, dan deviasi mandibula dalam membuka mulut
menunjukkan keberadaan fraktur kondilus.
- Fraktur subkondilus bilateral ditandai dengan keterbatasan bukaan mulut,
open bite anterior dan nyeri preaurikular. Dalam kasus pasien edentulous
atau pada pasien yang telah kehilangan gigi posteriornya, fraktur hanya

11
ditunjukkan dengan berkurangnya lebar interarch posterior. Perdarahan
dari kanalis auditori eksterna pada anak-anak juga menunjukkan fraktur
kondilus, dan fraktur ini dapat menyebabkan ankilosis dan hambatan
pertumbuhan.
- Dengan mengevaluasi oklusi pasien dan dengan palpasi bimanual, fraktur
yang melibatkan corpus, simfisis, dan angulus mandibula dapat dideteksi.
- Ecchymosis palatal menunjukkan fraktur palatal.
- Palpasi bimanual dari maksila melibatkan penempatan tangan pada dahi
dan tangan yang lain memanipulasi maksila untuk memeriksa
pergerakannya. Pergerakan maksila di dalam jaringan lunak menunjukkan
fraktur maksila.
- Palpasi pada sutura nasofrontal membantu dalam mendiagnosa fraktur
pada area ini, yang merupakan indikasi fraktur maksila Le Fort II atau Le
Fort III. Fraktur Le Fort I didiagnosa dengan memanipulasi buccal fold
dengan bantuan jempol dan jari telunjuk. Kurangnya pergerakan maksila
tidak menentukan fraktur maksila. Fraktur seperti ini dapat digerakkan
dengan bantuan tang disimpaksi di bawah anestesi umum.
- Infraorbital rim dipalpasi untuk keberadaan deformitas step yang dapat
menunjukkan fraktur zygoma terisolasi atau luka tingkat Le Fort II. Area
sutura frontozygomatik ini sekarang dipalpasi.
- Perpindahan yang besar dari tulang orbita lateral dapat menyebabkan
perpindahan ligamen canthal lateral, yang nantinya, akan menyebabkan
diplopia. Fraktur rim orbita lateral dapat terjadi baik dalam isolasi atau
dalam hubungannya dengan fraktur yang melibatkan zygoma. Oleh karena
itu, akan selalu lebih aman untuk mengevaluasi ketajaman penglihatan dan
pergerakan ekstraokular. Pemeriksaan kompleks zygoma dilakukan dengan
palpasi lengkung dan buttress zygoma. Luka apapun pada nervus
zygomatico-fasial atau zygomatico-temporal pada area ini dapat
menyebabkan anestesia atau parastesia dari jaringan lunak. Palpasi
intraoral dari buttress zygoma dapat mengungkapkan deformitas step,
yang merupakan temuan umum dalam fraktur zygoma (Gambar 24, 4A-1).
- Hidung kemudian dievaluasi untuk perdarahan rhinorrhoea CSF,
hematoma septum. CSF biasanya berkaitan dengan perdarahan. Tetapi,

12
keberadaan CSF dalam darah dapat dideteksi dengan bantuan tes
sederhana dimana tetesan cairan ditempatkan pada saputangan dan pola
klasik ‘bull’s eye ring’ terbentuk. Hal ini juga dapat diidentifikasi dengan
pola tram-line.
- Kompleks naso-orbital dan ethmoid dievaluasi berikutnya. Hidung
diperiksa untuk adanya deviasi atau deformitas saddle apapun.
Pengukuran jarak intercanthal lebih dari 32 mm menunjukkan keberadaan
telecanthus traumatik. Kombinasi dari angulus canthal media yang tumpul,
bertambahnya jarak intercanthal dan nasal bridge pipih merupakan
indikasi fraktur kompleks naso-orbital-ethmoidal (NOE). Luka parah pada
kompleks NOE dapat menjadi indikasi fraktur yang melibatkan tulang
frontal dan sinus yang berhubungan.
- Tepi bawah dari mandibula dipalpasi untuk adanya deformitas step atau
krepitasi. Palpasi bimanual dari mandibula dilakukan untuk menunjukkan
lokasi fraktur (Gambar 2).
- Adanya step atau derangement pada oklusi juga merupakan indikasi untuk
fraktur mandibula.

Gambar 3. Palpasi tepi inferior mandibula untuk adanya deformitas step

b. Pemeriksaan Intraoral

a) Pemeriksaan Gigi

13
Kuantitas, kualitas, dan hubungan oklusal dievaluasi yang merupakan
bantuan yang besar dalam membuat diagnosis dan juga dalam rencana perawatan.
geligi harus dievaluasi untuk:

- Fraktur, baik horizontal maupun vertikal


- Kegoyangan, baik karena fraktur akar maupun masalah periodontal
- Perdarahan dari sulkus gingiva baik karena trauma ataupun penyakit
periodontal
- Kehilangan gigi.
Dieksplorasi untuk fragmen gigi dan benda asing. Orifis duktus Stenson
dan Wharton harus dievaluasi untuk keadaan dan aliran salivanya. Pembengkakan
jaringan lunak atau ecchymosis harus diidentifikasi karena mereka sering
mencerminkan kerusakan tulang di bawahnya. Laserasi anteroposterior palatum
keras biasanya berkaitan dengan fraktur paramedian dari palatum. Fraktur vertikal
dari gingiva alveolar berkaitan dengan fraktur lengkung alveolar (Gambar 3).

Gambar 4. Laserasi palatum keras yang menunjukkan fraktur midpalatal

b) Inspeksi intraoral
Restriksi pembukaan mulut, hambatan oklusi, laserasi, ecchymosis, dan
kerusakan pada gigi dan/atau alveolus harus dicatat. Mungkin terdapat keberadaan
bekuan darah dengan bau busuk. Sulkus bukal dan lingual diperiksa untuk adanya
luka, ecchymosis atau hematoma sublingual. Longgarnya gigi dan gangguan garis
sumbu gigi juga harus dicatat. Oklusi harus diperiksa. Adanya kerusakan atau
deformitas step pada lengkung gigi perlu ditemukan. Mukosa palatal juga harus
diperiksa untuk adanya robek atau area perdarahan.

14
c) Palpasi intraoral
Sulkus bukal dan lingual harus dipalpasi untuk keberadaan area yang
keras, perubahan kontur, krepitasi, kegoyangan gigi, dan sebagainya. Mandibula
harus dipalpasi secara bimanual dan kegoyangan yang abnormal harus ditemukan.
Untuk memeriksa kegoyangan maksila, kepala pasien harus distabilkan
menggunakan tekanan pada dahi dengan satu tangan, dan dengan jempol dan
telunjuk dari tangan yang lain, maksila dipegang, tekanan yang tegas harus
digunakan untuk memperlihatkan kegoyangan maksila. Goncang segmen alveolar
maksila untuk mendeteksi fraktur alveolus atau belahan pada palatum.

c. Pemeriksaan Radiologis Luka Maksilofasial


Radiograf ideal untuk fraktur mandibula adalah:
- Radiograf panoramik
- Sudut pandang Towne dari kondilus mandibula
- Sudut pandang posteroanterior dari mandibula
- Sudut pandang sefalometrik lateral untuk mandibula
Pemindaian Computed Tomography (CT) dan rekonstruksi tiga dimensi
untuk pemindaian CT dapat menjadi bantuan yang besar dalam kasus fraktur
ganda. Tetapi, pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) hanya memberikan
sedikit keuntungan dalam diagnosis dan pemeriksaan pasien traumatik.
Arteriografi diindikasikan pada pasien dengan perdarahan parah yang sulit
dikendalikan dan pada pasien dengan luka penetrasi yang melibatkan pembuluh
utama. Setelah pemeriksaan klinis yang hati-hati, pasien harus dirujuk untuk
pemeriksaan radiologis yang dibutuhkan. Dapat didukung dengan pemeriksaan
CT scan, kapanpun fasilitasnya tersedia.
Sinar x minimal yang dibutuhkan untuk hal di bawah ini:
1. Untuk fraktur sepertiga tengah wajah
- Sudut pandang 15 dan 30 occipitomental
- Sudut pandang submentovertex
- Sudut pandang kranial posteroanterior (tengkorak)
- Sudut pandang tengkorak lateral
- Sudut pandang PA – posisi Water
2. Untuk kompleks zygomaticomaksila
- Sudut pandang 15 dan 30 occipitomenton

15
- Sudut pandang PA – posisi Water
- Proyeksi Submentovertex
- Tomography/CT scan orbita
3. Untuk fraktur mandibula
- Orthopantomogram – OPG
- Sudut pandang lateral kanan dan kiri dari mandibula
- Sudut pandang posteroanterior dari mandibula
- Sudut pandang Towne untuk fraktur kondilus
Sudut pandang oklusal untuk mandibula atau maksila, sudut pandang
periapikal intraoral untuk satu gigi mungkin perlu diambil.

Gambar 5. A, ketika gigi terlihat hilang, dokter harus menghitungnya.


Radiograf dada dan plat datar dari abdomen harus didapatkan untuk
mengekslusikan aspirasi dari gigi atau fragmen gigi. B, radiograf gigi
juga harus didapatkan untuk menentukan apakah terdapat fragmen akar
gigi yang fraktur.

Gambar 15-12. A dan B, arteriorgrafi dapat diindikasikan dalam evaluasi luka


vaskular kepala dan leher. Dapat juga diindikasikan untuk eksklusi luka
vaskular lain, seperti yang terlihat pada gambar ini, yang mengungkapkan
mediastinum yang melebar, menunjukkan 16 keberadaan laserasi aorta pada

ligamentum arteriosum.
d. Perawatan trauma ABCDE
Ahli bedah maksilofasial memiliki peran dalam konteks perawatan trauma
ABCDE.
Pemeliharaan saluran nafas dengan proteksi spina servikal
- Membuang gigi yang fraktur, fragmen protesa, fragmen tulang yang tidak
aman dan tidak dapat diselambuhkan
- Membantu intubasi endotrakea dengan mereposisi segmen fraktur fasial
untuk membuka saluran udara rongga mulut dan nasofaring.
- Menstabilkan sementara rahang bawah dengan fraktur kondilus bilateral
dan fraktur simfisis yang berada lebih posterior dan merusak saluran nafas
atas.
Pernafasan dan ventilasi
- Menstabilkan sementara rahang bawah degan fraktur kondilus bilateral
dan fraktur simfisis yang berada lebih posterior dan merusak saluran nafas
pada pasien yang tidak sadar.
Sirkulasi dengan pengendalian perdarahan
- Menutup hidung yang berdarah dengan cepat atau luka intraoral baik
untuk memperbaiki saluran nafas dan mengendalikan perdarahan.
- Menjepit atau menjahit pembuluh fasial yang jelas dan pasti dengan
perdarahan dan kulit kepala yang berdarah.
- Menempatkan perban tekan untuk mengendalikan perdarahan dari laserasi
fasial ekstensif dan/atau perdarahan kulit kepala.
Kecacatan: keadaan neurologis
- Keadaan neurologis menentukan tingkatan kesadaran, ukuran pupil, dan
reaksi
- Trauma periorbital dapat menyebabkan luka okular langsung atau tidak
langsung yang dapat mengubah ukuran, kontur, dan respon pupil yang
akan mendasari pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf
pusat yang intak.

17
- Menentukan sifat perifer dari perubahan pupil pada pasien dengan
perubahan sensorium (alkohol, obat-obatan) yang tidak berhubungan
dengan trauma intrakranial.
Luka pada area kepala, leher, dan maksilofasial dapat dengan mudah
memperburuk saluran nafas dan kemampuan untuk bernafas pasien. teknik paling
rumit untuk merawat trauma fasial bisa tidak berarti apabila perhatian tidak
pertama kali diarahkan pada saluran nafas pasien. Oleh karena kenyataan
mengancam nyawa ini, perhatian utama dari siapapun yang menyediakan
pelayanan gawat darurat untuk korban trauma harus membangun dan
mempertahankan saluran nafas yang baik, untuk menyediakan ventilasi yang
memadai, dan untuk melindungi korban dari aspirasi. Catatan tertulis terbaru dari
resusitasi yang berhasil dengan menggunakan ventilasi mouth-to-mouth adalah
pada Alkitab. Cerita bagaimana imam Elisa menghembuskan kehidupan ke anak
dari wanita Shunammite pada tahun 850 sebelum masehi yang dijelaskan di II
Raja-raja 4:34. Pada abad ke-16, Paracelcus merupakan orang pertama yang
diketahui mampu menyediakan ventilasi gawat darurat menggunakan fire-side
bellow biasa untuk memicu udara ke paru-paru pasien yang hampir mati. Adaptasi
dari metode ini digunakan di seluruh Eropa untuk lebih dari 300 tahun. Meskipun
teknik resusitasi dan bedah telah berkembang dan dimodifikasi, daftar prioritas
dalam penanganan pasien trauma dengan luka ganda pad dasarnya tetap tidak
berubah. Mnemonic survery utama yang disarankan oleh American College in
Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebagai berikut: (A) pemeliharaan
saluran nafas dengan proteksi spina servikal, (B) pernafasan dan ventilasi, (C)
sirkulasi dengan pengendalian perdarahan, (D) kecacatan: keadaan neurologis
pasien, dan (E) memaparkan atau membuka pakaian pasien untuk membantu
pemeriksaan fisik yang lengkap.
Secara umum, urutan umum untuk penanganan saluran nafas pada pasien
yang mengalami trauma adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan awal: kenali obstruksi saluran pernafasan
2. Lakukan manuver saluran pernafasan, bersihkan saluran pernafasan, dan
reposisi pasien

18
KESIMPULAN
Luka traumatik paling mungkin terjadi di bawah kondisi parah pada
populasi pasien yang mungkin lebih muda atau secara potensial lebih sehat
daripada pasien dengan penyakit lain. Luka kronis dari jaringan lunak dan keras
maksilofasial mungkin factitial dan biasanya sembuh dengan sendirinya. Kejadian
traumatik memiliki pengaruh mendasar pada kesehatan dan kelangsungan dari
orang yang terluka dan masyarakat yang sering mendukung korban trauma.
Diagnosis dan rencana perawatan untuk pasien yang terluka secara akut dan
kronis tidak lagi terbatas pada temuan penelitian pencitraan dan pemeriksaan
klinis. Selain itu, ahli bedah kontemporer harus mempertimbangkan faktor
psikososial, ekonomi, dan komersial yang penting untuk penanganan perioperatif
dan jangka panjang dari korban trauma. Memilih operasi untuk memperbaiki
fraktur fasial dan kemudian menyelesaikan latihan teknik untuk mengembalikan
secara fungsional dan anatomis wajah yang rusak tidak dapat terisolasi dari
kebutuhan pasien yang lain. Perawatan trauma maksilofasial harus dipengaruhi
oleh luka saat ini, kemampuan pasien untuk memenuhi rencana perawatan, biaya
bagi pasien dan masyarakat, dan pengembalian dini bagi orang-orang yang
direhabilitasi untuk mendapatkan kembali kehidupannya.
Ahli bedah trauma fasial memiliki sifat luka traumatik yang berdasarkan
riwayat dan melakukan pendekatan bedah yang dipengaruhi oleh teknologi
operatif pada waktunya. Antibiotik mendasari teknik reduksi terbuka untuk rahang
bawah dan fraktur tengah wajah terisolasi. Pencitraan radiografi kraniofasial,
seperti computed tomography (CT), memberikan ahli bedah sudut pandang yang
jauh lebih akurat akan bagian yang rusak dari tulang fasial dan karakteristik serta
perluasan luka jaringan lunak yang lebih jelas. CT scan dengan cepat digunakan
oleh karena keefektifannya dalam diagnosis fraktur tengah wajah. Ahli bedah
mampu menggunakan jam terbang kerja dan kemampuan pemeriksaan fisiknya
dengan gambar CT multiplanar yang memberikan sudut pandang tiga dimensi dari
tulang wajah. Pencitraan yang lebih berkembang memberikan kesempatan yang
lebih baik untuk mempelajari hasil perbaikan fraktur wajah dan mengidentifikasi
kegagalan perawatan dan gangguannya. Prinsip yang kuat dipegang sebelumnya

19
akan perbaikan trauma fasial, seperti reduksi tertutup dari fraktur naso-orbito-
ethmoid (NOE), digantikan dengan zaman reduksi terbuka dan fiksasi plat tulang
yang dipercaya pada sebagian besar kondisi fraktur. Ahli bedah pada abad ke-
duapuluh terakhir mampu mendiagnosis trauma fasial lebih akurat dan merawat
bagian yang terluka dengan lebih efektif. Ahli bedah pada abad ke-duapuluh
memiliki tanggungjawab tambahan terhadap korban trauma dan untuk terapi
suportif

DAFTAR PUSTAKA
1. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery.
Ed. Ke-5. Mosby Elsevier. St. Louis. 2008.
2. Mitchell BJ. Maxillofacial Trauma. 2006.
http://www.answers.com/topic/maxillofacial-trauma. diunduh pada tanggal 19
Desember 2010 jam 21.45.
3. Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerjemah. R.Sjamsuhidayat. EGC.Jakarta.
1997.
4. Yokoyoma T, Motozawa Y, Sasaki T, Hitosugi M. A Retrospective Análisis of
Oral and Maxillofacial Injuries in Motor Vehicle Accidents. J Oral Maxillofac
Surg. 2006. 64:1731-1735.
5. Rabi AG, Khateery SM. Maxillofacial Trauma in Al Madina Region of Saudi
Arabia: A 5-Year Retrospective Study. J Oral Maxillofac Surg. 2002.14:10-14.

20
6. Michael Miloro. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery.
BC Decker Inc. Hamilton. London. 2004.
7. Hiatt James L.& Gartner Leslie P. Textbook of Head and Neck Anatomy, 4th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010.
8. Marciani RD, Carlson ER, Braun TW. Oral and Maxillofacial Surgery Volume
II. Ed. Ke-2. Saunders Elsevier. St. Louis. 2009.
9. Pedersen GW. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Penerjemah: Purwanto dan
Basoeseno. EGC. Jakarta. 1996.
10. Tawfilis A.R. Facial Trauma, Panfacial Fractures. eMedicine Journal. 2006. In:
http://emedicine.medscape.com. Diunduh pada tanggal 19 Desember 2010 jam
21.00.
11. Fonseca R.J. Oral and Maxillofacial Trauma. 3rd ed. St Louis: Elsevier
Saunders. 2005. 30 X

21

Anda mungkin juga menyukai