Anda di halaman 1dari 5

Angkringan Dalam Tinjauan Filosofis dan Relevansi Budaya

Oleh: Arief Nur Rohman

Angkringan hari ini telah berekspansi ke berbagai sudut-sudut kota di pulau Jawa,
dengan hadirnya angkringan sebagai tujuan penjualan, maka secara tidak sadar pula
masyarakat sekitar berperan sebagai pembeli sekaligus aktor dalam menerima beberapa pola
budaya yang dibawa oleh angkringan. Jika kita telusuri bersama bahwa angkringan ini
menjadi satu realitas yang tidak terpisahkan dengan kebutuhan manusia, yaitu makan dan
makanan. Makanan sebagai satu dari sekian banyak penunjang pemenuhan kebutuhan hidup
manusia kita maknai keberadaannya tidak sebagai sesuatu yang dikonsumsi kemudian
menjadi energi, nutrisi, dan gizi bagi tubuh. Akan tetapi juga sebagai energi, nutrisi, dan gizi
bagi satu konsepsi berpikir manusia secara filosofis, mengakar dan integral berdasarkan satu
realitas relevansi budayanya.

Angkringan sebagai realitas budaya sejatinya kita telusuri mulai dari keberadaannya,
pola-pola relevansi budaya, sampai pada tinjauan filosfis praktis yang terkandung di
dalamnya. Dalam tulisan sebelumnya, angkringan ditinjau dari sudut budaya memberikan
kepada kita satu nilai hidup yang mesti kita hayati bersama ialah kesederhanaan.
Kesederhanaan hidup, gaya, perilaku dan sikap kita terhadap semua makhluk di bumi ini.
Selain dari itu, kita menemukan satu hal baru di angkringan ialah ekspansi budaya. Dalam hal
ini ekspansi budaya yang dibawa oleh angkringan adalah dengan cara berjualan dari satu kota
ke kota lainnya.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba menghadirkan kemasan angkringan dalam hal
ini adalah makanan yang terdapat di angkringan meninjau nya dari sudut filosofi dan realitas
relevansi budaya. Di angkringan kita akan menemukan berbagai makanan, mulai dari sego
kucing, berbagai sate, dan beberapa minuman. Dalam hal makanan tentunya tidak serta merta
kita nikmati begitu saja sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga ada satu buah
nilai filosofis yang belum kita ketahui keberadaannya. Maka dari itulah saya akan mencoba
mengurai beberapa makanan dan minuman yang dijual di angkringan.

Pertama, sego kucing. Sego secara bahasa artinya adalah nasi. Nasi inilah yang
menjadi bahan pokok makanan orang Indonesia. Namun mengapa nasi ini bisa disandingkan
dengan kucing sehingga penyebutan nya menjadi sego kucing, padahal sego kucing ini adalah
konsumsi manusia bukan konsumsi kucing itu sendiri. Berdasarkan informan yang saya
temui, pada mulanya penyebutan sego kucing ini diinisiasi oleh beberapa mahasiswa
Yogyakarta. Penyebutan sego kucing ini merupakan bentuk ‘protes’ mereka sebab yang
menjadi porsi dalam sego kucing ini sedikit atau boleh dikatakan porsi ini layak untuk
dikonsumsi kucing. Maka dari itulah penyebutan dari salah satu makanan yang dijual di
angkringan ini dengan sego kucing atau nasi kucing sebab porsinya sedikit. Padahal sebelum
penyebutan sego kucing yang diinisiasi oleh mahasiswa ini, para pembeli menyebutnya
dengan sebutan nasi dan beberapa menu yang dijualnya. Misal nasi oreg tempe, nasi teri, nasi
usus.

Jika kita tinjau secara filosofis, sego kucing atau nasi kucing ini adalah satu bentuk
moralitas-ethics terhadap sikap hidup yang menunjukkan dan mengarah pada kesederhanaan,
keseimbangan porsi dan tidak berlebihan. Berdasarkan pada satu magnum opus nya
Aristoteles dalam Nichomachean Etichs menggambarkan satu pandangan mengenai
keutamaan manusia, yang didasarkan pada sifat dasar manusia, terutama yang mencakup
pelaksanaan kebajikan moral, seperti kegigihan, kesederhanaan dan kebebasan. Artinya
dalam hal ini kita menemukan satu sikap hidup berdasarkan pada sego kucing ialah manusia
diarahkan pada sifat dilihat dari apa yang menjadi konsumsi utamanya. Dalam sego kucing
kita melihat satu porsi yang sedikit, satu porsi yang oleh sebagian orang boleh jadi dikata
‘kurang’ dan tidak menerima porsi tersebut. Akan tetapi di angkringan kita menemukan satu
makanan ialah sego kucing yang mau tidak mau kita selaku pembeli menerima satu porsi
tersebut sebagai konsumsi kita. Maka berdasarkan pada realitas tersebut kita menemukan satu
relevansi budaya yang mengarahkan kita pada satu pola dan tatanan nilai yang tidak boleh
berlebihan,adanya keseimbangan porsi, bersikap menerima apa adanya dan kesederhanaan
yang mesti kita pupuk setiap harinya sehingga menjadi sikap dan sifat yang melekat pada
keseharian yang bisa diterapkan dalam proses keberlangsungan kehidupan. Sebab hari ini
dengan melimpahnya berbagai produk seolah kita digiring pada satu budaya konsumtif atau
mengonsumsi secara berlebih, maka dengan realitas budaya yang dibawa sego kucing inilah
akan menjadi bendungan arus dari budaya konsumtif tersebut.

Kedua, Sate. Jika kita berkunjung ke angkringan, maka kita akan menemukan
beberapa jenis sate disana. ada sate kepala ayam, sate usus, sate telur puyuh, sate baso, sate
sosis, dan masih banyak lagi jenis sate yang lain. Berbicara mengenai sate, ada yang unik di
sini yang akan kita tinjau berdasarkan pada filosofis ialah sate kepala ayam. Mengapa saya
menyoroti sate kepala ayam? Karena selain sebagai makanan favorit yang laku di angkringan
juga mengandung nilai filosofis yang mendalam. Sate kepala ayam ini merupakan satu
bentuk gambaran terhadap nilai luhur, simbolisasi pemikiran, akal, otak, atau kepala yang
menjadi simbol dan identitas diri. Akan tetapi berbeda dengan di angkringan, sate kepala
ayam ini diarahkan pada satu entitas berpikir untuk bisa bersikap menginjak-injak simbol
keluhuran, menusuk kesombongan hidup, dan merendahkan sikap pemikiran. Terbukti
dengan dibuatkan nya kepala ayam ini dibentuk sejenis sate. Sate ini secara bentuk di tusuk
satu persatu kemudian dibakar dan kita nikmati hasil tersebut. Artinya dalam bersikap
terhadap hidup ini, sesekali kita berkaca terhadap diri sendiri dan bertanya terhadap
pencapaian untuk tidak jumawa dan membandingkan hasil orang lain. Toh pada akhirnya kita
menikmati sendiri, menikmati masing-masing dari hasil tersebut. Ada logika yang mesti
dibalik disini, biasanya kita menuntut diri untuk selalu bersikap luhur menempatkan diri
diatas sebagai satu identitas agar bisa dikenal. Akan tetapi realitas yang ada di angkringan ini
dengan menikmati sate kepala ayam, kita mesti membaliknya agar menikmati dari segala
sesuatunya. Dengan merendahkan serendah-rendahnya, menusuk-nusuk bagian kepala atau
tidak menjadikan diri jumawa. Inilah satu keluhuran yang mesti kita rendahkan, bukan berarti
kita menolak segala hal yang bersifat luhur tetapi adakalanya kita mempunyai satu sikap
merendah dan tidak besar kepala.

Ketiga, minuman. Ada beberapa jenis minuman yang dijajakan di angkringan,


diantaranya adalah wedang jahe, kopi jos, dan teh. Ada yang unik dari cara memasak ketiga
jenis minuman ini. Dalam memasaknya ia menggunakan arang sebagai bahan untuk
memanaskan air. Arang yang dijadikan bahan dasar untuk membuat ketiga jenis minuman ini
perlu penanganan khusus sehingga bisa selalu menghantarkan panas. Arang yang dipanaskan
harus stabil antara suhu, temperatur air, dan kobaran bara yang dihasilkan oleh arang tersebut.
Kobaran bara yang dihasilkan dari arang ini dinilai sebagai satu nilai filosofis dari semangat
hidup, kobaran sikap yang tidak mudah menyerah dan kerja keras. artinya kita menemukan
satu nilai hidup disini satu realitas yang tidak bisa kita elak keberadaannya, tentang
memaknai setiap kehidupan dengan tidak mudah menyerah atas segala pencapaiannya. Selain
itu ada juga teko khusus yang menjadi identitas angkringan ini. Mereka menjadikan teko
sebagai identitasnya untuk bisa memudahkan dan membedakan pembeli antara yang menjual
angkringan ‘asli’ dari daerah Jawa dan yang menjual angkirngan dari luar Jawa atau dari
daerah lain yang bermaksud untuk berjualan angkringan yang sama.

Terlepas dari makanan dan minuman yang telah diurai di atas, ada satu sikap yang
tidak kalah menarik yang ditampilkan di angkringan ialah solidaritas etnis. Solidaritas etnis
yang dihadirkan di angkringan tidak terlepas dari sikap toleran penjual dengan senantiasa
menunjukkan sikap menerima perbedaan bahasa. Misalnya mereka yang berjualan di daerah
yang notabene bukan berbahasa Jawa tetapi bisa berbaur dan mencoba memahami bahasa
setempat dengan tidak meninggalkan bahasa daerahnya sendiri. Selain dari itu, ada sikap
kesabaran melayani pembeli. Tidak semua penjual mempunyai sikap ini, dan tidak menutup
kemungkinan juga tidak banyak penjual yang legowo menghadapi berbagai macam tipe
pembeli. Berdasarkan informan bahwa, manajerial yang dilakukan antara penjual dan
pembeli itu penting. Terkadang ada pembeli yang memesan berbagai jenis makanan di
angkringan harus sesegara itupula dilayani, belum lagi dengan pembeli yang datang dengan
memesan jenis makanan yang lain, ada juga mereka yang membayar dan harus mengatur
uang kemabali pembeli. Tentunya hal ini harus senantiasa memperhatikan skala prioritas
pembeli, waktu yang diluangkan, dan emosi yang stabil. Maka dari itu dengan yakinnya
informan yang saya temui mengeluarkan satu pernyataan bahwa “Saya menjamin selain
orang Jawa tidak akan mampu berjualan angkringan”.

Di angkringan saya banyak hal yang belum pernah ditemukan sebelumnya, mulai dari
memaknai berbagai simbol makanan, menemukan satu nilai hidup, dan proses berpikir
panjang secara integral dan mendalam. Sebagai satu simpulan saya akan menarik satu benang
merah di sini, ialah tentang kesadaran diri dan sikap manusia sebagai makhluk mikrokosmos
dan makrokosmos. Makrokosmos dan mikrokosmos berawal dari skema Neo-Platonik
Yunani kuno yang melihat pengulangan pola yang sama disetiap tingkatan kosmos, mulai
dari ukuran terbesar sampai ukuran terkecil. Lantas dimananakah posisi manusia, sebagai
mikrokosmos atau sebagai makrokosmos? Dalam sistem ini mikrokosmos dan makrokosmos
manusia sebagai penengah dan penyeimbang yang meringkas seluruh kosmos dalam arti
tatanan dunia. Bagaimana kaitan antara angkringan, mikrokosmos dan makrokosmos? Kaitan
dengan hal ini adalah manusia bisa sebagai penengah atau penyeimbang serta menjaga
keseimbangan hidup sehingga bisa berlangsung baik sebagai mikrokosmos atau
makrokosmos. Sementara angkringan adalah satu entitas realitas hidup makrokosmos,
sebagai makrokosmos angkringan mampu memainkan perannya sebagai subjek penjual,
menjajakan makanan, objek budaya. Dalam hal makanan angkringan sebagai makrokosmos
terbukti dengan banyaknya varian makanan, jenis, dan rasa disana dengan skala besar yang
meliputi air dan makhluk hidup sebagai objek makanannya. Yang dimaksud air adalah
angkringan menjajakan jenis minuman seperti wedang jahe, kopi jos, dan teh. Sementara
makanan yang berasal dari makhluk hidup adalah sate kepala ayam, sate sayap, sate usus, dan
berbagai jenis sate lainnya yang berasal dari beberapa bagian yang diolah menjadi makanan
yang berasal dari ayam sebagai makhluk hidup.

Anda mungkin juga menyukai