Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

PERILAKU PROSOSIAL PADA VOLUNTEER DI LEMBAGA AMIL ZAKAT


DOMPET DHUAFA KOTA SURABAYA

Berawawasan
Kebangsaan
Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan
Mata kuliah Praktek Kerja Lapangan
Pada Fakultas Psikologi Universitas 45 Surabaya
Oleh :

Novia Hendro Kusumawati

NIM.161301367

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS 45 SURABAYA

1
2019

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah
memberikan berupa kesehatan, kesempatan kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan ini.Laporan Praktek Kerja
Lapangan ini berjudul perilaku prososial pada volunteer di Lembaga Amil Zakat
Dompet Dhuafa Jawa Timur Kota Surabaya.Laporan Praktek Kerja Lapangan ini
merupakan tugas yang harus diselesaikan di Semester 6.

Dalam proses pembuatan laporan ini tak lupa saya menghanturkan sujud
kepada orang tua saya yang telah banyak memberikan dorongan semangat dari
awal hingga selesainya laporan ini. Tak lupa juga saya mengucapkan terimakasih
pada teman-teman kelas yang telah memberikan dorongan moril dan material
serta informasi. Juga dengan segala hormat saya ucapkan banyak terimakasih pada
bapak ibu dosen Fakultas Psikologi di Universitas 45 Surabaya sehingga saya
dapat menerapkan ilmu yang telah diajarkan.

Ucapan terimakasih ini juga saya ucapkan kepada :

1. Ibu Dra.Siti Dina Zakiroh, M.Psi.,Psikolog , selaku dekan dari


fakultas Psikologi Universitas 45 Surabaya.
2. Ibu Hayani.,S.Psi.,M.Psi , selaku dosen pembimbing yang
meluangkan waktu dan selalu mengingatkan kepada penulis dalam
rangka penyelesaian laporan PKL ini.
3. Mas Agus Tria Budi Waluyo (mas jhon) selaku koordinasi DDV yang
telah memberi izin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
4. Saudara dan teman-teman Alumni SMA (ima,tami,towil,firnanda)
yang senantiasa memberi support kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa Laporan ini masih jauh dari kesempurnaan


dengan segala kekurangannya. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran dari semua pihak demi kesempurnaan dari laporan kerja praktek ini. Akhir
kata penulis berharap, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan
mahasiswa-mahasiswi dan pembaca sekaligus demi menambah pengatahuan
tentang praktek kerja lapangan.
Surabaya , 30 juli 2019
Penulis
NOVIA HENDRO KUSUMAWATI

3
PERILAKU PROSOSIAL PADA VOLUNTEER DI LEMBAGA AMIL
ZAKAT DOMPET DHUAFA KOTA SURABAYA

Surabaya , 30 Juli 2019

Mengetahui, Menyetejui,
Penanggung Jawab Kegiatan Pembimbing Kuliah Lapangan (KL)
Kuliah Lapangan (KL) Fakultas Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas 45 Surabaya
Universitas 45 Surabaya

...................................... Hayani, S.Psi., M.Psi


NIK................................ NIK...........................

Mengetahui,
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas 45 Surabaya

Drs.Siti Dina Zakiroh, M.Psi


NIP. 195505091967032001

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dilahirkan sebagai makhluk individu dan sosial, namun


perilaku manusia yang mementingkan diri sendiri sering kali terlihat ketika ada
orang yang mengalami kesulitan tidak mendapatkan bantuan orang lain.
Sebagian orang ketika menyaksikan orang lain dalam kesulitan langsung
membantunya sedangkan yang lain diam saja walaupun mereka sebenarnya
mampu membantu. Ada sebagian orang lain cenderung menimbang-nimbang
terlebih dahulu sebelum bertindak untuk menolong dan ada yang ingin
membantu tetapi dengan motif yang bermacam-macam.

Mengingat banyak orang-orang yang masih hidup di dalam kesusahan


dan membutuhkan pertolongan orang lain, maka menjadi sebuah kewajiban
bagi semua orang untuk memberikan bantuan bagi orang-orang yang
membutuhkan. Sears (2005) memberikan pemahaman mendasar bahwa
masing-masing individu bukanlah semata-mata makhluk tunggal yang mampu
hidup sendiri, melainkan sebagai makhluk sosial yang sangat bergantung paada
individu lain, individu tidak dapat menikmati hidup yang wajar adn bahagia
tanpa lingkungan sosial. Seseorang dikatakan perperilaku prososial jika
individu tersebut menolong individu lain tanpa memperdulikan motif-motif si
penolong.

Perilaku prososial merupakan suatu tindakan menolong yang


menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan
melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2005).

Meskipun tindakan prososial dimaksudkan untuk memberikan


keuntungan kepada orang lain, namun tindakan ini dapat muncul karena

5
beberapa alasan. Misalnya, seornag individu mungkin membantu orang lain
karena karena punya motif untuk mendapatkan keuntungan pribadi (mendapat
hadiah), agar dapt diterima oang lain, atau karena memang dia benar-benar
bersimpati , atau menyayangi seseorang.Dompet Dhuafa (DD) adalah lembaga
Amil Zakat milik masyarakat, berdiri sejak tahun 1993, yang berkhidmat
mengangkat harkat sosial kemanusiaan dengan mendayagunakan dana zakat,
infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) serta dana sosial lainnya baik dari
individu, kelompok , maupun perusahaan.

Dompet Dhuafa Volunteer (DDV) merupakan program yang menjadi


wadah bagi masyarakat yang tergerak dalam misi kemanusiaan dan membantu
kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat secara sukarela. Banyak hal yang
melatarbelakangi serta menjadi faktor dan motif bagaimana individu atau
sekolompok orang yang menyatakan dirinya sebagai relawan melakukan
tindakan prososial, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
bagaimana relawan dapat memutuskan dirinya untuk melakukan tindakan
menolong orang lain, dari berbagai aspek, faktor, motif, serta perspektif
prososialnya. Penelitian ini dilakukan pada rrealwan sosial yang bertampat di
Kantor DDV jawatimur. Kota Surabaya.

1.2 Fokus Penelitian


Penelitian ini memfokuskan pada perilaku prososial yang dilakukan
oleh relawan sosial yang berada di kantor DDV jawatimur yang berada di kota
surabaya. Dimana perilaku prososial sebagai aktivitas yang dijalani, relawan
DD adalah sebagai pelaku, dan tempatnya adalah kantor Lembaga Amil Zakat
Dompet Dhuafa yang berada jalan Ngagel Jaya Selatan No.111B kota
Surabaya.
Peneliti ingin mefokuskan perilaku prososial yang dilihat dari aspek
sosial yang condong dilakukan, persektif prososial, faktor yang
mempengaruhi perilaku prososial, dan motif yang mendasari relawan
melakukan tindakan prososial.

1.3 Rumusan Masalah

6
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan
masalah “ Bagaimana perilaku prososial pada Volunteer di Lembaga
Dompet Dhuafa kota Surabaya”.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan seorang ralawan Dompet Dhuafa
(DD) atas perilaku prososial yang dilakukan ditinjau dari norma sosial,
proses belajar, dan pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan
prososial.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam melakukan
perilaku prososial. yaitu ditinjau dari situasional, kondisi penolong, dan
orang yang akan ditolong.
3. Untuk mengetahui motif yang mendasari relawan mampu melakukan
tindakan prososial dalam jangka waktu yang lama yang ditinjau dari motif
kepentingan pribadi dan atau integrites moral.
4. Untuk mengetahui aspek yang menonjol darii perilaku prososial yang
dilakukan oleh relawan Dompet Dhuafa (DD) yangg meliputi aspek
kerjasama, berbagi, menolong, kejujuran, berdermawan, dan
memperhatikan kesejahteraan orang lain.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teorits
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara
ilmiah. Manfaat-manfaat dari penelitian ini, yaitu menambah kekayaan
keilmuan psikologi terutama mengenai dengan perilaku prososial serta
dapat menambah literatur penelitian mengenai perilaku prososial yang
khususnya dilakukan oleh relawan dari anggota volunteer Dompet Dhuafa.
2. Manfaat praktis
a. Relawan Dompet Dhuafa jawatimur, kota Surabaya.
Untuk relawan yang berada di DDV, agar mendapatkan gambaran
mengenai perilaku prososial yang dilakukan, sehingga kedepannya
akan terus mempertahankan dan meningkatkan aktifitas sosial, dalam
bekerja sama untuk masyarakat dalam jagka waktu yang sangat
panjang.
b. Masyarakat.
Penelitian ini diharapkan masyarakat dapat memahami perilaku
prososial yang dilakukan oleh suatu komunitas tertentu yang dapat

7
dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari, serta memberikan
pemahaman bagi masyarakat untuk memahami alasan bagaimana
seseorang dapat menoolong oranng lain.
c. Peniliti.
Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran bagi peneliti tentang
perilaku prososial yang ditinjau dari berbagai perspektif, faktor, dan
motif, serta aspek lainnya.

8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Prososial.
2.1.1 Pengertian perilaku prososial

Perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong orang lain tanpa


harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang
melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu
resiko bagi orang yang menolong (Byrne, 2005). Menurut Clary &
Orenstein (dalam Baron&Byrne, 2005) perilaku prososial pada dasarnya
diawali dengan timbulnya rasa empati terhadap orang lain. Minat
seseorang untuk memberikan pertolongan kepada orang lain bersumber
pada motif altruistik yang berdasarkan pada empati (empathy).

Duan (Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa empati meliputi


komponen afektif maupun kognitif, dan Darley (dalam Baron & Byrne,
2005) mengungkapkan secara afektif, orang yang berempati merasakan
apa yang orang lain rasakan, sedangkan secara kognitif orang yang
berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa orang-
orang mempunyai kadar empati yang berbeda-beda (Azar, dalam Baron &
Byrne, 2005). Komponen afektif dari empati juga termasuk merasa
simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga
mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk
meringankan penderitaan mereka. Menurut Sears dkk (2000), perilaku
prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong, tanpa memperhatikan motif penolongnya.

Bartal (dalam Syafriman, 2005) menyebutkan bahwa perilaku


prososial adalah tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi positif bagi
kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain. Perilaku tersebut memiliki
pengertian yang luas sehingga perlu adanya suatu batasan yang jelas
mengenai perilaku prososial itu sendiri. Perilaku prososial yang dimaksud
adalah : mau bekerja sama, menyumbang dan berbagi, serta
mempertimbangkan kesejahteraan orang lain.perilaku prososial menurut
William (dalam Syafriman, 2005) adalah tingkah laku seseorang yang
bermaksud untuk merubah keadaan psikis dan fisik si penerima
sedemikian rupa, sehingga penolong akan merasa bahwa si penerima
menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis.
Pengertian ini menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan
kesejahteraan fisik maupun psikis.

9
Berdasarkan beberapa pengertian perilaku prososial yang telah
diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku prososial adalah perilaku yang menampilkan sikap positif
terhadap orang lain, seperti mau bekerja sama dengan orang lain,
menyumbang dan berbagi dengan orang lain, serta mempertimbangkan
kesejahteraan orang lain.

2.1.2 Jenis Perilaku Prososial


Tindakan yang menampilkan perilaku prososial dapat berupa
menolong, berbagi, menampilkan pertimbangan, memberi perhatian,
melakukan pembelaan, dan melakukan pemulihan setelah adanya
penyimpangan (Batson & Powel, 2003; Grusec dkk., 2002; Grusec &
Sherman, 2011). Studi yang dilakukan McGuire (1994), berhasil
mengidentifkasi 72 jenis perilaku menolong pada mahasiswa. Setelah
dilakukan analisis faktor, McGuire mendapatkan bahwa perilaku
menolong dapat dibedakan menjadi empat jenis: (1) causal helping adalah
bantuan kecil pada perkenalan biasa, contohnya berbagi makanan ringan,
memberi petunjuk arah lokasi pada orang yang baru dikenal, dan
meminjamkan pulpen; (2) subtantial personal helping adalah bantuan
dengan manfaat nyata yang diberikan oleh teman, memberi layanan
personal dan memberi/meminjamkan barang berharga, contohnya
meminjamkan sepeda motor dan mempersiapkan kencan pertama; (3)
emotional helping adalah menawarkan bantuan/dukungan masalah
personal, contohnya memberi rasa aman dengan berada di dekat teman,
memberikan dukungan moral saat teman kesusahan, dan mendengarkan
curahan hati; (4) emergency helping adalah bantuan yang diberikan pada
situasi bahaya atau situasi yang tidak terkontrol, contohnya menolong
korban kecelakaan dan mengembalikan dompet yang hilang ke
pemiliknya.

2.1.3 Faktor-faktor perilaku prososial


Penner, Dovidio, Piliavin, dan Schroeder (2005) menjelaskan
faktor-faktor penyebab perilaku yang ditulis ulang oleh Schroeder dan
Graziano (2018). Struktur elemen perilaku prososial dapat dilihat
berdasarkan domain hirarki pada tiga tingkat unit analisis, yakni level
mikro (tingkat individu, internal), meso (antara dua individu atau dyadic),
dan makro (kelompok). Penjelasan domain-domain ini dapat memberi
wawasan mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perilaku
prososial :

1. Level Mikro

10
Pada level mikro dijelaskan fungsi disposisional yang membuat
individu cenderung melakuan perilaku prososial (Schroeder & Graziano,
2018), serta adanya perbedaan individual yang dapat menjelaskan
permulaan munculnya kecenderungan prososial pada manusia (Penner et
al., 2005).

a. Pendekatan evolusioner dari perilaku prososial


1) Inclusive fitness dan kin selection
Melalui pendekatan evolusi Darwinian, Hamilton (1964)
menjelaskan model matematis genetis dimana spesies (organisme secara
umum, tidak hanya manusia) yang mengikuti model ini cenderung untuk
melakukan evolusi perilaku untuk memaksimalkan kesesuaian/kecocokan
inklusi atau inclusive fitness. Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan
konsep inclusive fitness lebih lanjut dibagi menjadi, yaitu; (1)
menyelamatkan diri sendiri dan menjaga kelangsungan genetik ke generasi
yang akan datang dengan melakukan kecocokan langsung (direct fitness),
dan (2) menyelamatkan salah satu bagian keluarga (misalnya saudara,
keturunan, keponakan, sepupu, dll) dengan membuat individu “maju dan
berkembang biak” sehingga membuat kemungkinan gen 7 Draft For
Publication seseorang diturunkan ke generasi selanjutnya. Hal ini oleh
Hamilton dinamakan sebagai kecocokan tidak langsung (indirect fitness).
Inclusive fitness memunculkan proses kin selection (seleksi keluarga),
yaitu proses selektif yang menguntungkan pihak-pihak yang memiliki satu
materi genetik yang sama (Schroeder & Graziano, 2018; Grusec dkk.,
2002). Melalui teori kin selection ini, prososial terjadi karena adanya
tujuan untuk mempertahankan gen kita ke generasi selanjutnya (Baron &
Branscombe, 2012). Ini membuat individu memiliki keinginan lebih kuat
untuk menolong orang lain yang memiliki ikatan dekat daripada yang
tidak terhubung dengan individu itu sama sekali.
Berdasarkan perspektif evolusi ini, perilaku prososial dilakukan
karena (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006): (1) meningkatkan
keberlangsungan individu agar usia lebih produktif; (2) meningkatkan
kapasitas reproduksi dari individu; (3) meningkatkan kencerungan untuk
melakukan satu atau dua hal sebelumnya (poin 1 dan 2) pada anggota lain
yang membawa gen yang sama.

2) Altruisme resiprokal (timbal balik)


Selain adanya kecenderungan membantu orang yang dekat dengan
kita, kita juga sering kali melihat orang membantu orang yang tak dikenal.
Hal ini dapat dijelaskan oleh reciprocal altruism theory, yakni adanya
anggapan bahwa kita menolong seseorang karena nanti mereka juga akan

11
menolong kita, sehingga kita juga akan mendapatkan keuntungan (Baron
& Branscombe, 2012). Berdasarkan penjelasan teori evolusi, pada awal
sejarah evolusi, manusia bekerja bersama sebagai kelompok untuk saling
melidungi dari predator dan mengamankan sumber makanan serta
menyediakan tepat berlindung untuk bertahan hidup (Schroeder &
Graziano, 2018). Perspektif evolusi pada altruisme resiprokal dapat
dijelaskan dari penjelasan Trivers (1971) yang membedakan menjadi
resiprokal langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Selama proses
pertukaran barang atau jasa terjadi, individu akan menerima imbalan yang
setara dengan apa yang mereka keluarkan, hubungan ini berlanjut menjadi
timbal balik atau resiprokal langung (direct reciprocity). Sementara itu,
pada kondisi lain mungkin akan menerima imbalan secara tidak langsung
dari orang yang dibantu, mungkin saja berasal dari orang lain. Ini yang
memunculkan resiprokal tidak langsung (indirect reciprocity) dan jenis
timbal balik ini berdampak pada peningkatan kohesivitas kelompok dan
kepedulian pada orang lain (Schroeder & Graziano, 2018). 8 Draft For
Publication Orang-orang dalam kelompok akan saling berbagi, meski ia
menerima imbalan dari orang lain yang tidak ia bantu secara langsung.

b . Faktor biologis: Struktur neurologis dan heriditas

1). Struktur syaraf dan Mirror System

Pada fungsi sistem syarat, Lieberman (2013 dalam Schroeder &


Graziano, 2018) menjelaskan dua sistem yang mendukung perilaku
prososial (meskipun juga memiliki fungsi selain prososial), yakni mirror
system dan Theory of Mind (ToM). Fungsi sistem ini berkaitan dengan
salah satu fungsi sistem syaraf di otak manusia seperti lobus frontal, sistem
limbik, dan amigdala. Mirror system aktif ketika manusia melakukan
observasi terhadap orang lain yang terlibat pada beberapa aktivitas.
Sementara itu ToM aktif ketika individu menentukan pemaknaan pada
tindakan. Pembahasan mengenai faktor biologis ini menjadi area studi
yang menarik hingga saat ini, karena studi neuropsikologi mencoba
mengaitkan antara keterkaitan fungsi tubuh (fisiologis, seperti sistem kerja
otak) dengan perilaku, motif, sikap, pengetahuan, dan hal lain terkait
dengan psikologis manusia. Namun, perlu diketahui studi-studi di bidang
neuropsikologi membutuhkan pengukuran yang mutakhir seperti bantuan
alat FMRI (Fungsional Magnetic Resonance Imaging) untuk memetakan
kerja sistem otak melalui gambar otak secara real-time.

12
2). Fungsi hormon:Oksitosin

Selain fungsi sistem otak tersebut, terdapat pula sistem hormonal,


khususnya hormon oksitosin (dihasilkan oleh kalenjar hipotalamus) yang
terkait dengan sejumlah tindakan prososial termasuk diantaranya adalah
aktivitas positif seperti ikatan ibu, laktasi (menyusui), aktivitas seksual,
dan hubungan sosial dasar (Schroeder & Graziano, 2018).

3) Hereditas (warisan genetik)

Kontribusi genetis pada perbedaan respon prososial (heritabilitas)


diteliti pada studi anak kembar (Eisenberg dkk., 2015; lihat Davis, Luce, &
Kraus, 1994). Pemilihan studi anak kembar ini karena mereka diasumsikan
memiliki umur yang identik, tumbuh di lingkungan rumah yang sama, atau
setidaknya berbagi lingkungan hidup yang sama (Grusec & Sherman,
2011). Karena mereka dibagikan lingkungan yang sama, suatu perbedaan
seharusnya disebabkan oleh faktor mediator lain. Hasil studi Davis dkk.,
(1994) menemukan bahwa skor prososial yang lebih tinggi pada kembar
identik (monozigotik, 9 Draft For Publication satu indung telur yang
dibuahi menjadi satu zigot) dibandingkan kembar fraternal (dizigotik).
Pada studi anak kembar dan prososial berkaitan pula dengan faktor
lingkungan, khususnya pada non-shared environmental atau kondisi saat
anak tidak melakukan proses berbagi dengan keluarga (misalnya ia lebih
berbagi dengan temanteman di penitipan anak) saat anak-anak yang
tumbuh bersama (Knafo & Plomin, 2006).

c. Empati

Empati termasuk sebagai proses di level mikro, beberapa hal yang


termasuk dalam penjelasan faktor empati adalah proses kognitif empati,
perspective-taking, fantasi, proses afektif pada empati, distres personal,
dan perhatian empati (empathic concern) (Schroeder & Graziano, 2018).
Untuk diketahui, konsep empati berbeda dengan simpati (Grusec dkk.,
2002), empati dijelaskan sebagai cara merespon distres orang lain dengan
emosi yang sama. Sementara simpati adalah cara merespon distres orang
lain dengan perasaan kesedihan atau kepedulian. Grusec dkk. (2002)
memaparkan bahwa anak-anak yang memiliki empati dan simpati yang
tinggi sebagai reaksi terhadap orang lain yang tertekan/membutuhkan akan
cenderung lebih melakukan perilaku prososial untuk menolong orang lain
yang membutuhkan.

13
Sebaliknya, ketika anak merespon orang lain yang tertekan
(distres) dengan distres personal yang terfokus pada diri sendiri (misalnya,
dilihat dari ekspresi kecemasan dan indikasi distres) cenderung kurang
melakukan perilaku prososial. Empati adalah reaksi emosional yang
terfokus/terorientasi pada orang lain dan ini menyangkut perasaan belas
kasih, simpati, dan kepedulian (Baron & Branscombe, 2012). Baron dan
Branscombe (2012) menyebutkan bahwa empati terdiri dari 3 komponen
yang berbeda: (1) aspek emosional (empati emosional) pembagian
perasaan dan emosional orang lain; (2) komponen kognitif, persepsi
terhadap pikiran dan perasaan yang akurat (akurasi empati), hal ini penting
untuk mendapatkan penyesuaian sosial yang baik pada pergaulan. (3)
perhatian empati, perasaan perhatian/peduli pada kesejahteraan orang lain.

d. Proses perkembangan individu

Keterkaitan antara perilaku prososial dengan proses perkembangan


adalah pada peran temperamen, sosialisasi, sosial kognitif, perubahan usia,
dan program intervensi untuk memengaruhi perilaku prososial (Schroeder
& Graziano, 2018). Gagasan utama yang menjelaskan temperamen dengan
perilaku prososial adalah adanya asumsi bahwa setiap manusia mewarisi
emotional core atau dasar emosional (temperamen) yang membentuk
kepribadian seseorang (Schroeder & Graziano, 2018). Dasar emosional ini
terdiri dari sejumlah kecil trait, seperti kerahaman (sociability) dan
kecemasan (anxiety). Menurut Schroeder dan Graziano (2018), pada
perspektif ini perilaku prososial dianggap sebagai turunan dari proses
regulasi dan kontrol emosi.

e. Kelekatan dan Hubungan

Orang cenderung berusaha memenuhi permintaan dan kewajiban


terhadap orang lain. Pemenuhan kewajiban dapat dijelaskan melalui
sejarah hubungan relasional individu (Schroeder & Graziano, 2018).
Selama proses relasi, individu akan membangun model kerja internal
ketika menghadapi suatu kewajiban, ada yang memiliki sistem kerja positif
ada pula yang negatif sesuai dengan pengalaman hidup. Model kerja
internal yang dibangun dari teori kelekatan membuat relasi sosial mewakili
karakteristik level mikro (individual) yang memengaruhi perilaku
prososial para tingkat level yang lebih tinggi (meso dan makro) (Schroeder
& Graziano, 2018). Salah satu teori yang didasarkan pada hubungan
relasional untuk menjelaskan perilaku menolong adalah teori communal
(and exchange) relationship (Clark & Mills, 2012).

14
Penjelasan mengenai teori Clark dan Mills ini diuraikan kembali
oleh Schroeder dan Graziano (2018), yaitu orang-orang yang memandang
diri mereka berada pada hubungan pertukaran (exchange) memiliki dasar
keseimbangan dari biaya (cost) dan imbalan (reward) yang dibagikan
dengan orang lain. Meskipun hubungan pertukaran ini dapat stabil, akan
tetapi jika tidak ada kekuatan faktor interpersonal dan kedekatan, maka
apabila terjadi kondisi tidak diuntungkan, hubungan dapat hancur hanya
dengan sedikit perasaan kehilangan (dirugikan).

Alternatif lain, dua individu mungkin saja merasa lebih senang


dengan hubungan komunal (communal) (Schroeder & Graziano, 2018)
dengan ciri berkebalikan dengan hubungan pertukaran, yakni kurang
pentingnya biaya dan imbalan. Contoh hubungan ini terjadi pada keluarga
dan teman dekat. Menurut Schroeder dan Graziano (2018) adanya
kepedulian/perhatian, akan membuat perilaku prososial lebih mungkin
terjadi. Selain itu, perasaan empatik akan meningkatkan perasaan
diperhatikan dan ketika berhasil mengurangi distres orang lain maka akan
merasa sangat dihargai. Ini artinya, perilaku prososial dan tingkat responsif
akan lebih muncul pada hubungan komunal dibandingkan kondisi
hubungan pertukaran (Clark & Mills, 2012; lihat studi 1, Clark, Oullette,
Powell, & Milberg, 1987).

2. Level Meso

Pada level meso, prososial berfokus pada tingkah laku antara dua
orang (dyadic) atau satu orang menolong satu orang yang lain (Penner
dkk., 2005). Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan faktor penyebab
orang melakukan perilaku prososial pada level ini berdasarkan pada faktor
situasional, motivasi menolong, dan reaksi penerima yang mendapat
bantuan.

a. Faktor situasional

Faktor situasional dan sosial adalah salah satu penjelasan yang


menentukan keinginan menolong melalui intervensi bystander (pengamat).
Seperti dalam kasus Kitty Gevonese tahun 1964 (lihat penjelasan di bagian
A). Adanya kehadiran simbolik dari contoh model pertolongan dapat
meningkatkan perilaku menolong (Baron & Branscombe, 2012). 15 Draft
For Publication Misalnya, saat kita keluar mini market, kemudian samping
pintu keluar ada kotak amal yang di dalamnya terdapat uang, maka kita
mungkin akan berdonasi. Hal ini terjadi karena kita berpikir bahwa “orang
lain berdonasi, jadi saya juga semestinya melakukannya”.

15
b. Motivasi menolong: egoistik, alturisme, dan kolektivisme dan
prinsipisme melalui pendekatan Batson
1). Egoistik
Motivasi perilaku prososial ini berasal dari Batson (2011), yakni
memberikan bantuan kepada orang lain tetapi penolong memiliki tujuan
utama untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Jika membantu seseorang
dapat memberi konsekuensi positif (hadiah, pujian, perasaan baik) dan
akan mengurangi konsekuensi negatif (tidak menyenangkan dan afek
negatif), maka akan cenderung kembali membantu di waktu yang akan
datang (Schroeder dan Graziano, 2018). Faktor instrumental yang
membuat kita melakukan perilaku prososial ini lah yang disebut dengan
motivasi egoistik.

2). Altruisme
Hipotesis empati-alturisme berpendapat bahwa mengamati orang
lain yang membutuhkan pertolongan atau distres mungkin akan
menimbulkan reaksi emosi negatif (Schroeder & Graziano, 2018). Batson,
Duncan, Ackerman, Buckley, dan Birch (1981) memperkenalkan hipotesis
empatialtruisme, yakni gagasan bahwa beberapa aksi prososial termotivasi
hanya oleh keinginan menolong orang lain yang membutuhkan. Ada
kalanya menolong karena untuk meningkatkan kesejateraan orang lain
(Batson, 2011; Schroeder & Graziano, 2018). Bagi Batson perbedaan
utama motivasi altruistik dengan motivasi egoistik adalah pada siapa
sasaran utama yang mendapat manfaat, bukan sifat dari tindakan. Studi
yang dilakukan terhadap relawan Tsunami Aceh oleh Safrilsyah, Jusoff,
dan Fadhil (2009), menguji hipotesis empati-altruisme ini. Safrilsyah dkk.,
melakukan studi pada 147 mahasiswa di Banda Aceh dan Aceh Besar (86
laki-laki dan 91 perempuan) pada Juli 2005 sampai Februari 2006.
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada 3 model motivasi
perilaku pro-sosial (Empathy-Altruism Hypothesis, Negative State Relief
Hypothesis dan Empathic Joy Hypothesis) dengan beberapa jenis
karakteristik demografi responden (umur, latar belakang pendidikan,
domisili dan jenis kelamin), ditemukan bahwa hanya motivasi Hipotesis
Empati-Altruisme dan jenis kelamin secara signifikan berkorelasi dengan
perilaku pro-sosial relawan dalam kegiatan kemanusiaan dalam membantu
korban Tsunami di Aceh. Ini menjelaskan bahwa pada kondisi darurat
bencana alam, para relawan lebih termotivasi melakukan perilaku
prososial dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain
berdasarkan perbedaan jenis kelamin individu.

3). Kolektivisme

16
Motivasi prososial kolektivisme adalah motivasi ketiga yang
dikemukakan oleh Batson, yang memiliki tujuan utama untuk
meningkatkan kesejahteraan kelompok atau kolektif (Batson, 2011;
Schroeder & Graziano, 2018). Motivasi ini berkaitan dengan kerjasama
antara intra-grup dan inter-grup, dengan tujuan untuk memaksimalkan
keuntungan bersama bagi orang-orang yang terlibat (Schroeder &
Graziano, 2018). Pada konteks Indonesia dikenal istilah “gotong royong”,
ini merupakan salah satu bentuk model perilaku prososial yang tertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok melalui bekerjasama.
Kondisi lingkungan mempengaruhi perubahan intensitas gotong royong,
seperti dijelaskan oleh Suprihatin (2014).

Ia menemukan perubahan perilaku bergotong royong masyarakat


terjadi seiring dengan perubahan lingkungan tempat tinggalnya, sebagai
contoh perubahan lingkungan karena hadirnya pertambangan batubara
(Suprihatin, 2014). Guna mendapatkan penjelasan yang lebih
komprehensif terkait dengan faktor di level meso ini, sebaiknya dilakukan
penelitian-penelitian perilaku menolong/prososial dengan faktor
kolektivisme ini, mengingat budaya di Indonesia sangat variatif dan
beberapa kearifan lokal dapat dikaitkan dengan model perilaku prososial.
Dari penelurusan literatur Psikologi untuk studi perilaku prososial di
Indonesia, lebih banyak membahas pada level mikro atau di level
individual.

4). Prinsipisme

Motivasi prososial terakhir dari Batson adalah prinsipisme yang


memberikan tujuan utama untuk menegakkan prinsip moral (Batson,
2011). Motif ini konsisten dengan standar moral yang berlaku luas,
sehingga selain adanya motivasi yang memberi manfaat bagi orang
(egoisme, bagi penolong; altruisme, bagi korban; kolektisme, bagi
kelompok) juga ada motivasi yang berasal dari pinsip universal untuk
mempertahankan dan mendukung prinsip moral kebajikan (Schroeder &
Graziano, 2018). Sebuah studi yang dilakukan oleh Septianto dan
Soegianto (2017), pada 140 pengunjung (konsumen/pasien) di Rumah
Sakit, Ridogalih, Sukabumi, Jawa Barat, menemukan bahwa penilaian
moral, emosi moral, dan identitas moral menyebabkan tingginya intensi
untuk berperilaku prososial. Lebih lanjut lagi Septianto dan Soegianto
(2017) juga menjelaskan implikasi dari hasil ini pada rumah sakit, seperti
untuk meningkatkan perilaku prososial (kegiatan relawan, donasi) dapat
dipertontonkan video iklan dengan konten moral dan belas kasih.

17
3.3. Level Makro

Perilaku prososial pada level makro adalah penjelasan pada


perilaku prososial level kelompok (Schroeder & Graziano, 2018). Pada
pembahasan sub bab ini akan dijelaskan mengenai kegiatan sukarela, dan
kerjasama dalam satu kelompok serta antar-beberapa kelompok.

a. Sukarela (volunteerism)

Kegiatan sukarela biasanya melibatkan satu orang yang memberi


sumber daya yang mereka miliki (misalnya waktu, keahlian, harta benda)
untuk organiassi yang melayani sekelompok orang yang membutuhkan
(Schroeder & Graziano, 2018). Tidak seperti aksi pada kondisi darurat,
aksi sukarela adalah jenis perilaku prososial yang terencana. Clary dkk.
(1998) dalam enam studinya mengenai aksi sukarela menentukan enam
motif melakukan aksi sukarela yang dapat dijelaskan sebagai berikut
(Clary dkk., 1998; Schroeder & Graziano, 2018): (1) value, ekspresi nilai
kemanusian terhadap orang lain; (2) enhancement, meningkatkan
perkembangan diri dan gambaran diri seseorang; (3) understanding, para
relawan memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman,
mempraktikkan kemampuan dan keahlian mereka; (4) protective, memiliki
fungsi proteksi dengan melindungi diri dari rasa bersalah karena menjadi
lebih beruntung daripada orang lain; (5) social, memiliki interaksi sosial
dengan teman atau orang lain yang mungkin terkesan dengan partisipasi
mereka; (6) career, memiliki keuntungan atau manfaat bagi karir pribadi.
Enam motif ini mengantarkan Clary dkk. (1998) dalam mengonstruksi alat
ukur Volunteer Functions Inventory.

Kegiatan sukarela dilakukan berdasarkan motif-motif tertentu dan


memiliki dampak bagi relawan (Clary dkk., 1998). Schroeder dan
Graziano (2018) mencoba menguraikan konsekuensi-konsekuensi menjadi
relawan, seperti memiliki perasaan efikasi yang lebih tinggi, harga diri
yang positif, dan memiliki apresiasi/menghormati adanya perbedaan umur,
ras, dan budaya. Selain itu, mengacu dari studi longitudinal Piliavin tahun
2005, Schroeder dan Graziano (2018) menambahkan bahwa para relawan
mendapatkan manfaat positif khususnya pada mereka yang memiliki
kendala kontak sosial dan dukungan sosial.

Bahkan kegiatan sukarela ini berdampak positif pada kesehatan


dengan turut dipengaruhi oleh mediasi kesejahteraan psikologis dan
perasaan akan tujuan hidup.

18
b. Kerjasama

1. Kerjasama intrakelompok

Untuk menjelaskan bagaimana kerjasama intra (dalam) kelompok,


Schroeder dan Graziano (2018) mengilustrasikan “Tragedy of the
Commons” dari Garret Hardin tahun 1986. Tragedi kepemilikan bersama
ini terjadi ketika di suatu desa kecil yang memiliki akses bebas ke kota dan
dapat mencari rumput sesuka hati mereka. Suatu ketika, dilema terjadi
ketika masing-masing individu melakukan tindakan yang berusaha
memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri tetapi bertentangan
dengan kesejahteraan jangka panjang bagi semua orang.

Ketika semua orang merumput sebanyak yang mereka inginkan,


maka padang rumput akan menipis dan semua akan kehilangan sumber
daya. Untuk mengindari tragedi ini, semua warga desa berkumpul,
menahan diri atas keinginan pribadi mereka, dan melakukan kerjasama.
Komunikasi membuat anggota kelompok dapat mengkoordinasikan
tindakan mereka dan hal ini dapat meningkatkan kepercayaan pada
anggota kelompok lain (Schroeder & Graziano, 2018). Setelah komunikasi
terjalin, anggota akan memahami berbagai kepentingan yang ada dari
berbagai pihak. Demi menjaga keberlanjutan hubungan maka tiap anggota
akan menginternalisasi kepentingan bersama menjadi keputusan pribadi.
Pada bagian akhir komunikasi seperti ini akan membentuk kerjasama
intrakelompok (Schroeder & Graziano, 2018). Selain komunikasi,
orientasi nilai sosial juga dapat menentukan strategi menghadapi situasi
dilema (Schroeder & Graziano, 2018).

Ada tiga kategori dasar orientasi nilai sosial, yakni (1)


“competitors” (sekitar 10-15%), yaitu keinginan yang kuat dalam
memaksimalkan manfaat dari mereka sendiri dan sekaligus manfaat yang
berasal dari orang lain. (2) “individualist” (sekitar 30-35%) hanya
memperhatikan manfaat hasil bagi diri sendiri tanpa memperhatikan hasil
dari orang lain. (3) “cooperators” (sekitar 55%), disebut juga prososial,
yaitu memaksimalkan keuntungan bersama.

2. Kerjasama antarkelompok

Jika terjadi konflik antar kelompok, maka dibutuhkan solusi untuk


mengatasinya. Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan kembali
Hipotesis Kontak (contact hypothesis) yang berasal dari Buku Allport
“The Nature of Prejudice”. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ketika dua

19
kelompok disatukan untuk mencapai tujuan bersama, batasan/hambatan di
antara kedua kelompok akan berkurang, dan tiap anggota kelompok akan
membentuk perasaan positif dan lebih bertindak prososial (kerjasama).
Pettigrew (lihat Schroeder & Graziano, 2018) memberikan penjelasan
tambahan terkait hipotesis kontak, yakni (1) anggota kelompok mesti
mendapatkan waktu tambahan untuk berinteraksi; (2) memunculkan
dekategorisasi pada kontak awal, ini akan membuat pandangan sebagai
bagian kelompok tertentu menurun dan lebih menganggap diri mereka
sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain; (3) individu akan
rekategorisasi dan menggabungkan diri mereka dengan kelompok
superordinat (kelompok yang memiliki kedudukan lebih tinggi). Proses
kategorisasi sosial orang-orang sebagai ingroup dan outgroup dapat diubah
dengan membuat individu sadar akan kategori yang lebih tinggi (Pinner
dkk., 2005). Melanjutkan penjelasan Pettigrew pada proses dekategorisasi
kelompok, maka teori identitas ingroup bersama menjadi penting untuk
dibahas.

Menurut Schroeder dan Graziano (2018), teori yang dikembangkan


oleh Dovidio dan Gaertner dapat menjelaskan langkah-langah yang harus
diambil oleh individu sebagai anggota kelompok untuk
mengalihkan/memindahkan identitas mereka dari identitas
ingroup/kategori outgroup ke identitas ingroup yang lebih tinggi. Bentuk
kerjasama antar-kelompok yang lain adalah toleransi, yakni bentuk
kerjasama yang meminta tiap pihak menawan diri dari agresi dalam
menghadapi perbedaan sikap dan tujuan (Schroeder & Graziano, 2018).
Para level praktis, toleransi dapat menghadirkan kedamaian, harmoni
sosial, dan pertumbungan ekonomi. Tiap orang menurut Schroeder dan
Graziano (2018) tidak harus memiliki tujuan yang sama dan saling
menyukai, tujuan utama adalah membina kerukunan antar kelompok dan
menghambat agresi. Di Indonesia, semangat toleransi dapat menumbuhkan
perilaku prososial.

1. Bentuk-bentuk perilaku prososial

Menurut Mussen (1989, h.360) bentuk-bentuk perilaku prososial


memiliki beberapa macam yang antara lain :

a. Berbagi (Sharing), yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan


orang lain dalam suasana suka maupun duka.
b. Menolong (Helping), yaitu kesediaan memberikan bantuan atau
pertolongan kepada orang lain yang sedang mengalami kesulitan,
baik berupa moril maupun meteriil. Menolong meliputi membantu

20
orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang
berlangsungnya kegiatan orang lain.
c. Kerjasama (Cooperating), yaitu kesediaan untuk bekerja sama
dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Cooperating
biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong
dan menenangkan.
d. Bertindak jujur (Honesty), yaitu kesediaan untuk melakukan
sesuatu seperti apa adanya, tidak berbuat curang terhadap orang
lain.
e. Berderma (Donating), yaitu kesediaan untuk memberikan secara
sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang
membutuhkan.

2. Aspek-aspek dalam perilaku prososial


Baron & Byrne (2003, h.263) memberikan definisi perilaku prososial
sebagai perilaku yang memberikan keuntungan pada orang lain, namun
tidak memberikan keuntungan yang jelas bagi individu yang bersangkutan.
Baron & Byrne juga menyebutkan tiga aspek perilaku prososial, yang
antara lain :

1) Menolong orang lain yang kesulitan (Helping A Stranger Distress)

Pengaruh kehadiran orang lain (bystander effect) membuat


seseorang cenderung kurang memberikan bantuan pada orang asing yang
mengalami kesulitan. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil
kemungkinan individu yang benar-benar memberikan pertolongan.
Terdapat dua variabel yang bisa mendukung dan menghambat individu
untuk menolong orang yang mengalami kesulitan, yaitu penyebaran
tanggung jawab dan menghindari kesalahan.

a. Penyebaran tanggung jawab Bila tanggung jawab sosial merupakan


keyakinan normatif yang jelas bagi kelompoknya, maka kehadiran
orang lain menyebabkan meningkatnya kemungkinan dalam
berperilaku prososial.

b. Menghindari kesalahan Kehadiran orang lain bisa menjadi


penghambat berperilaku prososial, karena individu yang berada
dalam kelompok orang banyak takut apabila melakukan kesalahan
sosial. Apabila individu sedang sendiri, maka tidak akan ragu-ragu
dalam melakukannya. Namun, saat ada beberapa orang di tempat,
kecenderungannya adalah menunggu perintah daripada membuat
kesalahan dan terlihat kebodohannya. Individu yang menolong orang

21
yang mengalami kesulitan juga mempertimbangkan hadiah dan
kerugian yang diperoleh, suasana hati individu pada waktu itu,
empati dan karakteristik individu

2) Mengurangi suatu tindak pelanggaran (Deterring A Wrongdoer)

Adanya keinginan untuk menciptakan keamanan dengan


mengurangi pelanggaran dan adanya rasa tanggung jawab untuk
memberikan bantuan terhadap orang yang mengalami tindak pelanggaran.
Komitmen utama terhadap tanggung jawabnya akan meningkatkan
kemungkinan untuk ikut serta dalam berperilaku prososial.

3) Menahan godaan (Resist Temptation)

Individu seringkali dihadapkan pada pilihan antara melakukan apa yang


diketahui dengan mempertahankan perilaku moral atau melakukan cara
penyelesaian yang mudah melalui berbohong, berbuat curang, atau
mencuri. Hal tersebut sangat menggoda individu untuk melanggar aturan
yang ada agar memperoleh keuntungan dengan segera. Misalnya, perawat
yang mencuri waktu istirahat di luar izin antara 20-25 menit setiap
minggunya atau seorang pegawai yang melakukan pencurian terhadap
penyediaan barang bagi para pekerjanya. Individu nampaknya lebih
menyukai melakukan kejahatan sederhana jika keuntungan yang diperoleh
secara potensial tinggi dan jika kemungkinan diketahui atau ditangkap dan
kerugian yang diperoleh rendah. Meskipun ada sejumlah orang yang
melakukan tindakan ilegal atau tidak bermoral namun masih banyak orang
yang mampu menahan godaan tersebut.

B. Relawan (Volunteer)

1. Pengertian Relawan

Kata relawan mengandung makna suatu perbuatan mulia yang


dilakukan secara sukarela, tulus dan ikhlas, menyiratkan sebuah kemuliaan
hati para pelakunya. Relawan keberadaannya selalu ada di tengah-tengah
situasi dan keadaan sulit yang sedang terjadi seperti musibah bencana
alam, ketika dimana banyak orang sangat membutuhkan bantuan dan
pertolongan yang bersifat segera. Kerelawanan adalah bagian dari paying
teori mengenai aktivitas menolong. Akan tetapi tidak seperti tindakan
menolong orang lain secara spontan, misalnya menolong korban
penyerangan, yang membutuhkan keputusan cepat untuk bertindak atau
tidak bertindak, volunterism adalah tindakan yang lebih bersifat proaktif

22
dari pada reaktif, dan menuntut komitmen waktu serta usaha yang lebih
banyak (Abidah, 2012).

Relawan adalah seseorang atau organisasi yang bekerja dalam


gerakan kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat korban bencana dan
sebagainya yang bekerja suka rela tanpa mengharapkan keuntungan
semata-mata didorong oleh kekuatan moral, rasa kemanusiaan dan
semangat tolongmenolong.

Istilah relawan telah menjadi wacana yang sanga kuat ditengah-


tengah masyarakat. Relawan dan kerelawanan memiliki konotasi yang
sangat positif di dalam masyarakat. Relawan dan aktivitas kerelawanan
menjadi sebuah gerakan sosial sekaligus menjadi modal social yang
dahsyat untuk menciptakan perubahan (Veni, 2010).

Berdasarkan pemaparan di atas, pengertian relawan yang


digunakan dalam penelitian ini yaitu, orang-orang yang tidak memiliki
kewajiban menolong suatu pihak tetapi memiliki dorongan untuk
berkontribusi nyata dalam suatu kegiatan dan berkomitmen untuk terlibat
dalam kegiatan yang membutuhkan kerelaan untuk mengorbankan apa-apa
yang dia miliki, baik berupa waktu, tenaga, pikiran, serta materi untuk
diberikan kepada orang lain.

2. Ciri-ciri relawan

Menurut Omoto & Snynder (dalam Abidah, 2012), antara lain:

a) Selalu mencari kesempatan untuk membantu.


b) Komitmen diberikan dalam waktu yang relatif lama.
c) Memerlukan personal cost yang tinggi (waktu, tenaga, dsb).
d) Mereka tidak mengenal orang mereka bantu, sehingga orang yang
mereka Bantu diatur oleh organisasi dimana mereka aktif
didalamnya.
e) Tingkah laku menolong yang dilakukannya bukanlah suatu
keharusan.

Dari ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan pengertian menurut


Omoto & Snyder adalah orang-orang yangtidak memiliki kewajiban
menolong suatu pihak tetapi selalu mencari kesempatan untuk bisa
membantu orang lain melalui suatu organisasi tertentu dalam jangka waktu
relative lama, memiliki keterlibatan yang cukup tinggi serta
mengorbankan berbagai personal cost (misalnya uang, waktu, pikiran)
yang dimilikinya.

23
3. Motif Relawan

a) Relawan menekankan pada nilai personal seperti kasih sayang pada


orang lain, keinginan untuk menolong orang yang kurang beruntung,
perhatian khusus pada kelompok atau komunitas.
b) Fungsi dari tindakan sukarela adalah untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam untuk memepelajari suatu
kejadian sosial, mengeksplorasi kekuatan personal, mengembangkan
keterampilan baru, dan belajar bekerja sama dengan berbagai macam
orang.
c) Berupa motif sosial merefleksikan keinginan untuk berteman,
melakukan aktifitas yang memiliki nilai signifikan, atau mendapat
penerimaan sosial. Kegiatan sukarela dapat membantu individu
mengeksplorasi opsi karier, membangun kontak potensial, dan
bernilai sosial.
d) Kegiatan sukarela mengandung fungsi proteksi diri.

Aktivitas ini membantu sesorang lepas dari kesulitan, merasa tidak


kesepian, atau mereduksi perasaan bersalah. Kegiatan sukarela membantu
orang merasa dibutuhkan atau menjadi orang yang penting, memperkuat harga
diri, atau bahkan mengembangkan kepribadian (Sears, 2009).

4. Peran Relawan

Mitchell (dalam Abidah, 2012) menyebutkan terdapat empat jenis relawan


yang terkait dengan peran relawan, yaitu:

1) Policy making volunteers: relawan yang membuat kebijakan bekerja pada


gugus tugas, panel peninjauan, komisi, dan dewan.
2) Administrative volunteers: relawan administrasi yang memberikan
dukungan perkantoran melalui aktivitas seperti pengolahan kata,
mengkoordinasi jadwal, dan mengurus surat-menyurat.
3) Advocacy volunteers: relawan advokasi yang memberi dukungan melalui
upaya pencarian dana, menulis surat dan menghubungi anggota dewan
perwakilan rakyat, memberi kesaksian pada sidang publik,
mengorganisasir dukungan komunitas, dan bekerja di bidang hubungan
masyarakat.
4) Direct service volunteers: relawan pelayanan langsung yang mungkin
terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti konseling, rekreasi, dan
pengajaran.

Kecenderungannya sekarang adalah mengkaitkan klien, terutama


yang melatih relawan sebagai bagian dari rencana intervensi keseluruhan.

24
Seringkali relawan terlatih menangani saluran telepon krisis, atau hotline,
dan merujuk penelepon ke sumbersumber komunitas yang sesuai. Menurut
para ahli psikologi sosial (dalam Nashori, 2008) perbuatan yang suka
menolog atau kesukarelaan tidak lepas dari sikap perilaku prososial.
Perilaku prososial meliputi semua bentuk tindakan yang dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan
motifmotif si penolong. Perilaku prososial mempunyai cakupan yang lebih
luas dari altruisme. Beberapa jenis perilaku prososial termasuk tindakan
altruistik dan beberapa perilaku yang lain tidak terkategorikan sebagai
tindakan altruistik. Pengertian perilaku prososial berkisar dari tindakan
altruisme yang tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya
dimotivasi oleh kepentingan sendiri.

C. Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa

Dompet Dhuafa Republika adalah lembaga nirlaba milik


masyarakat indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial
kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah,
Wakaf, serta dana lainnya yang halal dan legal, dari perorangan,
kelompok, perusahaan/lembaga). Kelahirannya berawal dari empati
kolektif komunitas jurnalis yang banyak berinteraksi dengan masyarakat
miskin, sekaligus kerap jumpa dengan kaum kaya. Digagaslah manajemen
galang kebersamaan dengan siapapun yang peduli kepada nasif dhuafa.
Empat orang wartawan yaitu Parni Hadi, Haidar bagir, S. Sinansari Ecip,
dan Eri Sudewo berpadu sebagai Dewan Pendiri lembaga independen
Dompet Dhuafa Republika.

Sejak kelahiran Harian Umum REPUBLIKA awal 1993,


wartawannya aktif mengumpulkan zakat 2,5% dari penghasilan. Dana
tersebut disalurkan langsung kepada dhuafa yang kerap dijumpai dalam
tugas. Dengan manajemen dana yang dilakukan pada waktu sia-sia, tentu
saja penghimpunan maupun pendayagunaan dana tidak dapat maksimal.
Dalam sebuah kegiatan di Gunung Kidul Yogyakarta, para
wartawan menyaksikan aktivitas pemberdayaan kaum miskin yang didanai
mahasiswa. Dengan menyisihkan uang saku, mahasiswa membantu
masyarakat miskin. Aktivitas sosial yang telah dilakukan sambilan di
lingkungan REPUBLIKA pun terdorong untuk dikembangkan.
Apalagi kala itu, masyarakat luas telah terlibat menyalurkan
ZISnya melalui DD. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, DD
tercatat di Departemen Sosial RI sebagai organisasi yang berbentuk
Yayasan. Pembentukan yayasan dilakukan di hadapan Notaris H. Abu

25
Yusuf, SH tanggal 14 September 1994, diumumkan dalam Berita Negara
RI No. 163/A.YAY.HKM/1996/PNJAKSEL.
Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan zakat, Dompet Dhuafa merupakan institusi pengelola zakat
yang dibentuk oleh masyarakat. Tanggal 8 Oktober 2001, Menteri Agama
Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 439 Tahun
2001 tentang PENGUKUHAN DOMPET DHUAFA REPUBLIKA sebagai
Lembaga Amil Zakat tingkat nasional.
Dompet dhuafa Volunteer merupakan wadah bagi orang-orang
yang tergerak dalam misi kemanusiaa dan membantu kegiatan-kegiatan
pemberdayaan masyarakat secara sukarela. Tujuan dari Dompet Dhuafa
volunteer adalah menciptakan komunitas relawan berbasis dukungan
masyarakat untuk gerakan kemanusiaan dan kampanye zakat melaui
program-program yang dilaksanakan oleh Dompet Dhuafa. Persyaratan
untuk menjadi bagian dari Dompet Dhuafa Volunteer hanya cukup dengan
memiliki kesediaan mendukung dan bergerak dengan tulus pada setiap
misi kemanusiaan yang dilakukan bersama Dompet Dhuafa.
Melalui program ini, Dompet Dhuafa (DD) berusaha menjaring para
relawan untuk bersama melakukan gerakan kemanusiaan, mulai dari hal-
hal yang sederhana. Dalam hal ini, relawan berarti orang yang mau
melakukan suatu kebaikan dengan sukarela, bukan karena diwajibkan
ataupun dipaksakan. Nantinya, relawan yang telah terkumpul akan dibagi
ke dalam tiga kategori, yaitu:
 Relawan umum:

Relawan umum adalah setiap orang yang bersedia untuk menjadi


relawan DD serta berpartisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh
DD. Kesediaan tersebut ditandai dengan registrasi yang mereka lakukan.
Dengan registrasi ini, setiap data relawan akan masuk kedalam database.
Pendaftaran sebagai relawan umum tidak memiliki persyaratan
tertentu. Semua orang dapat menjadi relawan DD asal melakukan
registrasi dengan cara yang telah ditentukan. Para relawan yang telah
terdaftarakan diarahkan untuk mengisi kalendar program dari berbagai
jejaring, khususnya yang tidak terlalu membutuhkan ketrampilan khusus.
Selain itu, mereka juga diarahkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
kemanusiaan DD yang membutuhkan massa yang banyak.
 Relawan spesialis:

Berbeda dengan relawan umum, relawan spesialis adalah relawan


yang memiliki ketrampilan khusus, baik dalam hal kebencanaan,
kesehatan, dan sebagainya. Mereka akan diambil dari para relawan jejaring
yang memang telah memiliki ketrampilan khusus atau relawan umum yang

26
dianggap berpotensi untuk diikut sertakan dalam proses upgrading menjadi
relawan khusus.
Para relawan spesialis akan diarahkan untuk kerja-kerja spesifik
(misal: evakuasi, pengobatan, dsb) serta kalendar program dari berbagai
jejaring yang membutuhkan ketrampilan khusus.
 Relawan super:

Relawan super merupakan publik figur (artis, CEO, cendekiawan,


serta tokoh masyarakat) yang bersedia membantu DD sebagai mitra
ataupun dalam menggiring opini masyarakat terkait tema-tema
kemanusiaan.

27
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan Pendekatan Kualitatif. Metode


kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2008).
Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan
penyusunan teori substantive yang berasal dari data. Hal ini disebabkan
oleh beberapa hal. Pertama, tidak ada apriori yang dapat mencukupi
kenyataan-kenyataan ganda yang mungkin akan dihadapi. Kedua,
penelitian ini mempercayai apa yang dilihat, sehingga ia berusaha untuk
sejauh mungkin menjadi netral. Ketiga, teori dasar lebih dapat responsive
terhadap nilai-nilai konseptual (Moleong, 2002). Jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi atau bergai variable yang timbul di
masyarakat yang menjadi obyek penelitian itu (Burhan, 2001).
Alasan peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif adalah
karena dengan penelitian ini mampu memberikan gambaran yang
menyeluruh dan jelas terhadap situasi satu dengan yang lain, atau dapat
menemukan pola-pola hubungan antara aspek tertentu dengan aspek yang
lain, dan dapat menemukan hipotesis dan teori. Yaitu menggambarkan
sebuah proses dan seperangkat kategori atau pola tentang bagaimana
perilaku prososial relawan Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa
Jawatimur, kota Surabaya.

3.2 Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti sebatas sebagai pengamat penuh yang


mengobservasi berbagai kegiatan yang ddilakukan subyek penelitian. Namun,
untuk memperjelas dan memperjelas dan memahami apa yang dilakukan
subyek maka dilaksanakan pula wawancara secara mendalam yang dilakukan
pada saat-saat subyek tidak terganggu dari aktifitas kesehariannya. Berkaitan
dengan hal ini tentu saja kehadiran peneliti ini akan diketahui oleh subyek.

28
3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi dari penetian ini adalah di Jl. Ngagel Jaya Selatan No. 111B,
Bratajaya, Gubeng . Surabaya Jawa Timur.

3.4 Sumber Data Sumber

data dalam penelitian diperoleh dari data subyek penelitian. Subyek adalah
jhon (relawan laki-laki) yang berusia 25 tahun.

3.5 Tahap-tahap Penelitian

Tahap persiapan penelitian merupakan tahap yang dilakukan sebelum


pelaksanaan penelitian di lapangan. Adapun tahapan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pralapangan
Tahap ini merupakan tahapan persiapan sebelum penelitian dilakukan,
adapun langkah-langkahnya adalah:
a. Menyusun rancangan penelitian Penelitian ini dimulai dengan
menetukan lapangan atau lokasi yang akan dijadikan sebagai
tempat penelitian. Membuat rumusan masalah atau fokus masalah
yang akan diteliti dari fenomena yang ada di lapangan. Kemudian
mencari informan yang terkait. Setelah itu segala hal mengenai hal
yang diteliti dan metodologinya dituangkan dalam proposal
penelitian.
b. Mengurus perizinan Setelah proposal penelitian disetujui,
dilanjutnya mengurus surat izin penelitian untuk melakukan
wawancara dan observasi data-data yang dibutuhkan.
c. Menyiapkan perlengkapan penelitian Sebelum penelitian
dilakukan, penulis mempersiapkan alat yang menunjang jalannya
wawancara dan observasi di lapangan. Peneliti menyiapkan book
note, tape recorder, kamera, dll agar hasil yang diperoleh lebih
maksimal.

2. Penelitian/pelaksanaan lapangan

Sebelum melakukan wawancara lapangan, peneliti melakukan


observasi lapangan terlebih dahulu. Melakukan pendekatan kepada informan
dalam penelitian serta melakukan pengamatan secara langsung seputar data.

a. Menyusun pedoman wawancara

29
Pedoman wawancara dibuat oleh peneliti untuk memudahkan
peneliti dalam membuat kisi-kisi pertanyaan yang sudah dibuat dan
diajukan oleh peneliti kepada informan atau sumber informan. Alasan
digunakan wawancara untuk mengumpulkan data atau informasi adalah,
dengan wawancara peneliti dapat menggali tidak hanya apa yang diketahui
dan dialami informan, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri
subyek penelitian, dan apa yang ditanyakan kepada informan bisa
mencakup hal-hal yang lintas, waktu yang berkaitan dengan masa lampau,
masa sekarang, dan juga masa mendatang. Pedoman wawancara disusun
beredasarkan pertanyaan peneliti yang menjadi fokus penelitian ini,
meskipun pada kenyataannya setelah peneliti berada di lapangan
wawancara tersebut mengalami pengembangan dan penyempitan karena
peneliti harus menyesuaikan situasi dan kondisi di lapangan yang
senantiasa mengalami perubahan selama penelitian berlangsung. Adapun
pedoman wawancara yang disiapkan dalam penelitian ini meliputi dua
aspek yaitu :

2. Menyusun pedoman observasi

Pedoman observasi dibuat oleh peneliti untuk memudahkan peneliti


dalam membuat kisi-kisi pernyataan yang sudah dibuat dan dilakukan oleh
peneliti di tempat penelitian. Alasan digunakan observasi untuk
mengumpulkan data atau informasi adalah, dengan observasi peneliti dapat
menggali hanya apa yang diketahui peneliti di tempat penelitian.

3. Pengumpulan data

Pengumpulan data dibuat oleh peneliti untuk memudahkan peneliti


dalam penelitian, dengan pengumpulan data dapat memahami semua hasil
observasi dan wawancara.

3.6 Prosedur Pengumpulan Data


Peneliti kualitatif berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih
informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas
data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya
(Sugiyono, 2008). Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara dan
observasi.
1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk


mencapai tujuan tertentu. Maksud diakannya wawancara adalah untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami 38
individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan

30
ekplorasi terhadap isu tersebut. Wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti (Sugiyono, 2008).
Menggunakan pertanyaan terbuka: pertanyaan dibuat sedemikian rupa
sehingga jawabannya dan cara pengungkapannya bisa bermacam – macam.
Tidak memberi batasan kepada subyek bagaimana harus menjawab dan
menjelaskan apa yang ditanyakan.

Dengan pertanyaan terbuka maka subyek dapat menjelaskan hal – hal


yang menurut pewawancara penting dan hal – hal yang menjadi fokusnya.
Peneliti ingin mengetahui bagaimana perilaku prososial informan. Secara garis
beasar pedoman wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Gambaran dari perilaku prososial relawan lembaga dompet
dhuafa.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi relawan lembaga donpet dhuafa
berperilaku prososial.

2. Observasi

berperan serta (participant observation) Peneliti terlibat dengan


kegiatan sehari – hari orang yang sedang diamati/yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut
melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka
dukanya. Dengan participant observation, data yang diperoleh akan lebih
lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap
perilaku yang nampak (Sugiyono, 2008). Peneliti ingin mengetahui bagaimana
perilaku prososial informan. Secara garis beasar pedoman observasi yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Gambaran dari perilaku prososial relawan lembaga dompet


dhuafa.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi relawan lembaga Dompet
Dhuafa berperilaku prososial.

3.7 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum


memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah alaselesai di lapangan.
(Sugiyono, 2008) Analisis data adalah pengujian sistematik dari data yang
diperoleh untuk menetapkan bagian-bagiannya, hubungan antar temuan, dan
hubungan bagian terhadap keseluruhan sebagai suatu konsep yang bermakna.

31
Analisis data tidak lain : pencarian atau pelacakan pola-pola. Dengan
kata lain, semua analisis data akan mencakup penulusuran data melalui
catatan-catatan (hasil pengamatan lapangan dan wawancara) untuk
menemukan pola-pola perilaku subyek yang dikaji sebagai suatu sistem nilai.
Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa
narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (wawancara),
maupun bentuk-bentuk non angka lainnya (skripsi Abidah, 2012). Langkah-
langkah penelitian dalam menganalisa data adalah sebagai berikut:

1. Membuat transkrip wawancara Metode pengumpulan data dalam


penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Hasil wawancara yang dicatat
di field note kemudian ditulis dalam transkrip secara lengkap untuk
memudahkan dalam menganalisis, demikian pula dengan laporan hasil
observasi ditulis dalam bentuk laporan agar lebih mudah dianalisis.

2. Mencari kategori Transkrip wawancara yang telah dibuat kemudian


dicari kategorinya yaitu dengan mengelompokkan tentang dinamika
psikologis yang dialami yaitu bentuk perilaku prososial relawan lembaga
dompet dhuafa.. Kategorisasi tersebut dilakukan dengan pengambilan
kesimpulan secara indukasi, yaitu kesimpulan ditarik dari keputusan yang
khusus menjadi kesimpulan yang bersifat umum.

3. Mendeskripsikan kategori Kategori yang diperoleh kemudian


dideskripsikan dengan maksud untuk menggambarkan dan menjelaskan
tentang bagaimana bentuk perilaku prososial relawan lembaga dompet dhuafa

4. Pembahasan hasil penelitian Hasil deskripsi kategori kemudian dibahas


dengan menghubungkan teori mengenai pengertian dan bentuk perilaku
prososial relawan lembaga dompet dhuafa

3.8 Pengecekan Keabsahan Temuan

Untuk memperoleh temuan dan interprestasi data yang absah, maka


peneliti melakukan pengecekan data atau pemeriksaan data yang didasarkan
atas sejumlah kriteria tertentu. Berikut ini beberapa metode yang dilakukan
peneliti dalam mengecek dan memeriksa keabsahan data, diantaranya adalah:

Kredibilitas data Kriteria ini digunakan dengan maksud data dan


informasi yang dikumpulkan peneliti harus mengandung nilai kebenaran.
Kredibilitas data bertujuan untuk membuktikan apakah yang teramatai oleh
peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan,
dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia kenyataan tersebut
memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi. Pada penelitian ini,

32
triangulasi digunakan untuk mengecek keabsahan data yang diperoleh
peneliti, triangulasi yang digunakan adalah:

a. Triangulasi data Menggunakan berbagai sumber data seperti hasil


wawancara, hasil observasi, data sekunder, significant othrer, atau juga
dengan mewawancarai lebih dari satu subyek yang dianggap memiliki sudut
pandang berbeda.
b. Triangulasi pengamat Adanya pengamat diluar peneliti yang turut memeriksa
hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, Dosen Pembimbing bertindak
sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap
hasil pengumpulan data.
c. Triangulasi teori Penggunaan berbagai teori, telah dijelaskan yaitu berbagai
teori tentang perilku prososial sebagaimana teori ini telah dijelaskan dapa bab
II untuk digunakan dan menguji terkumpulnya data.
d. Triangulasi metode Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal
seperti metode observasi dan wawancara untuk mengumpulkan data.

33
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada BAB ini peneliti menggunakan metode kualitatif dan pendeketan


deskriptif. Metode kualitatif sering disebut metode naturalistic karena
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting),
(sigyono,2009)

Pada penelitian kualitatif penelitian dituntut dapat menggali data


berdasarkan apa yang diucapkan,dirasakan, dan dilakukan oleh sumber data. Pada
penelitian kualitatif peneliti bukan sebagaimana seharusnya apa yang dipikirkan
oleh peneliti tetapi berdasarkan bagaimana adanya yang terjadi di lapangan, yang
dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh sumber data.

Dengan melakukan penelitian melalui pendeketan deskriptif maka peneliti


memaparkan,menjelaskan, menggambarkan data yang telah diperoleh oleh
peneliti melalui wawanara mendalam yang dilaukan dengan informan.

4.1 Pelaksanaan penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal 3 juli 2019, pukul


14.00WIB untuk survey dan meminta ijin untuk melakukan Praktek Kerja
Lapangan (PKL) di kantor Lembaga Dompet Dhuafa Surabaya, pada tanggal 6
juli 2019 , pukul 09.00 WIB bertemu kembali dengan informan disuatu kegiatan
dari program relawan “taman baca” berlokasi di sidoarjo untuk sedikit berbincang
mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitia. Dan pada tanggal 10 juli 2019 ,
pukul 12.30 WIB bertemu kembali dengan informan di taman flora Jalan Raya
Manyar No.80A, Baratajaya, Surabaya untuk menggali infomasi lebih mendalam.

4.2 Deskripsi subyek penelitian

34
Berdasarkan penelitian yang dilakukan ,berikut ini adalah gambaran
subjek secara umum. Subjek penelitian ini dipilih berdasarkan karakteristik yang
telah ditentukan sebelumnya yaitu anggota lama sebagai volunteer di lembaga
Amil Zakat Dompet Dhuafa jatim kota Surabaya.

Subjek yang biasa di panggil jhon (nama lapangan) , usia 25 tahun berjenis
kelamin laki-laki . anak kedua dari dua bersaudara subjek saat ini masih aktif
sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta di Surabaya, disamping itu
beliau juga menjalankan usaha keluarga dalam bidang jasa pembangunan. Beliau
menjadi anggota kerelawanan di Lembaga Dompet Dhuafa sejak tahun 2011
sampai sekarang. Yang sebelumnya pernah menjadi relawan sejak SMA pada
waktu terjaadi bencana gunung kelud di kota Kediri pada tahun 2014. Setelah itu
pada tahun 2016 beliau yang sebelumnya tinggal di Malang pindah ke Surabaya
untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Dengan jiwa sosialnya yang
tinggi beliau membentuk komunitas kecil yang berfokus tentang kerelawanan dan
berupaya mencari donasi untuk disumbangkan kepada orang-orang yang
membutuhkan pertolongan, contohnya rutin setiap jumat membagikan nasi
bungkus di jalanan Surabaya, kadang pada saat ada bencana dikota lain jhon dan
para anggotanya membantu tenaga untuk terjun langsung dilapangan.

Dengan semangatnya yang tinggi beliau direkrut dalam anggota tim SAR
yang waktu itu menjadi timSAR selama 7 bulan di gunung penanggungan untuk
menjadi relawan di pos pantau jalur pendakian. Tak selang lama beliau mengikuti
suatu pelatihan tentang kerelawanan terhadap bencana yang diadakan oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga sampe sekarang beliau ditarik
untuk menjadi aggota tanggap bencana dan dipercaya menjadi koordinasi
Volunteer di Lembaga Dompet Dhuafa Jatim kota Surabaya.

Selama peneliti menjalankan proses penelitian wawancara mas jhon


merupakan informan yang diwawancarai dan berdiskusi ketika sebelum dan
ketika di lapangan. Beliau sangat antusias untuk memberikan infomasi yang
peneliti butuhkan kapan saja asalkan tidak mengganggu kesibukan beliau dalam

35
bekerja dan melakukan kegiatan lainnya. Dengan penampilan yang ramah, tegas,
berwibawa, lugas dalam berbicara beliau bersedia menjawab semua pertanyaan
yang diajukan peneliti. Beliau pun tidak segan-segan untuk membantu peneliti
mencarikan data-data yang beerguna bagi kesempurnaan penelitian ini. Tidak ada
perasaan canggung dalam diri peneliti karena peniliti dan beliau telah saling
mengenal sejak peneliti bergabung sebagai anggota volunteer yang
dikoordinasikan beliau.

4.3 Deskripsi umum

Pandangan jhon terhadap kerelawanan yaitu pada dasarnya menjadi


relawan adalah orang yang mengabdikan pikiran, tenaga, dan waktu secara ikhlas
untuk kemanusiaan dan berlaku seumur hidup hingga tidak mampu lagi
dimanapun juga kapanpun akan selalu siap sedia karena menjadi relawan adalah
kebutuhan batin sekaligus merupakan ibadah. Jhon memiliki tujuan hidup untuk
hidup bahagia dalam membantu dan bemanfaatnya hidupnya untuk orang lain.
Dan memaknai perjalananya menjadi volunteer dengan selalu bersyukur kepada
Allah SWT.

bagi jhon menjadi relawan merupakan suatu pembelajaran untuk saling


menolong dan suatu tindakan yang besar dari hati . tanpa paksaan dan itu
mengalir secara naruliah. Situasi dan lingkungan yang membentuk rasa sosialnya
tinggi . jhon yang lahir di pelosok desa di Malang dengan kondisi dimana
lingkungannya yang masih banyak memerlukan bantuan. Dari situ jhon tergerak
untuk membuat dirinya bermanfaat dengan berupaya mencarikan sumber-sumber
bantuan dari perangkat desanya untuk menyalurkan bantuan disekitar tempat
tinggalnya.dan jhon selalu menanamkan norma-norma dan pesan dari orangtuanya
yaitu selalu membantu orang lain di keadaan apapun tanpa henti dan dengan
ikhlas. Jhon juga berharap untuk generasi yang selanjutnya jangan malu untuk
berbuat baik meskipun itu tidak hanya dengan materi, dengan jasa, tenaga dan
pikiranpun itu sudah termasuk dalam tindakan menolong.yang terpenting adalah
selalu jujur,iklas dan tulus dari hati.

36
Kerelewanan hadir sebagai bentuk aksi yang hadir dalam kebebasan sistem
demokrasi. Pengalaman kerelawanan ini membawa jhon untuk lebih memahami
makna cahaya kebenaran dilorong kegelapan. Rasanya sayang kalau kerelewanan
diukur sebatas pengalaman selembar kertas ataupun sertifikat semata. Lain halnya
dengan anak muda bermental opurtunis tidak jarang jhon bertemu dimana mereka
melakukan kerja secara volunteer tidak secara murni melainkan untuk mencari
nama atau mendapatkan reward lainnya.

Faktor yang mendasari hingga sekarang jhon selalu aktif dalam tindakan
menolong dan menjadi relawan adalah berawal dari keterbelakangan /
tertinggalnya teknologi dan sumber informasi di pedesaan tempat tinggalnya. Dari
situ jhon mulai tergerak untuk menjadi relawan di tempat-tempat, didesa-desa
yang sedang membutuhkan bantuan.faktor utamanya adalah dalam diri jhon. Jhon
merasa terpanggil , jhon selalu memposisikan nasib orang lain ke dirinya. Dari
perngalaman sehari-hari jhon lebih mendahulukan menolong teman dekat atau
orang-orang terdekatnya dahulu sebelum menolong orang-orang baru .pada saat
menolong suasana hati yang dirasakan jhon dalam suasana senang.

Menjadi relawan tidak seperti pekerjaan lainnya. Jhon harus mengeluarkan


tenaga dan waktunya tanpa mengharapkan balasan secara finansial.maka dari itu
jhon selalu senang hati saat melakukannya. Dan jhon sadar bahwa pengalaman
dan perasaan bahagia yang didapat menjadi relawan yang membantu orang lain
dan makhluk hidup lainnya ternyata lebih berharga daripada sekedar materi.

Jhon juga berpendampat, dari menjadi relawan lah beliau dapat


kebahagiaan dari kebahagiaan orang lain yang dibantu, disamping itu menambah
banyak networking yang luas yang mampu meningkatkan kualitas segala aspek
kehidupan . jadi relawan itu terasa hidup selalu optimis dan semangat.

Namun ketika semangat kerelawanan tidak tertunaikan dikaranekan


keterbatasan diri misalnya ketika dihadapkan pada situasi yang sulit untuk
menggerakkan kepedulian kemanusiaan disebabkan faktor lingkungan
masyarakat. Itu merupakan tantangan jhon untuk membuat konsep kepedulian

37
yang mampu bisa diterima oleh semua pihak, tidak ada batasannya, sesunggunya
dunia kerelawanan adalah dunia kepedulian kemanusiaan secara universal.karena
pada sesunggunya pada diri manusia ada nilai kerelewanan ,pada saat hati
nuraninya muncul kepedulian pada orang lain. Seorang relawan akan bahagia
ketika mampu menegakkan keadilan sosial kemanusiaan yang berkesehjahteraan.
Menurut Bastaman (2007) sesuai dengan aspek kebebasan berkendak .
kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari bawaan biologis, kondisi
psikologis, dan kesejarahannya, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap
secara sadar dan menerima tanggung jawab terhadap kondisi-kondisi yang
dihadapi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun diri sendiri. Para relawan
bebas untuk mengkuti apa yang diinginkan seperti jhon lakukan , beliau mampu
bertanggung jawab dalam melakukan tindakanya.

38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perilaku prososial
pada volunteer Lembaga Dompet Dhuafa Jatim kota Surabaya, secara umum
subjek memiliki pandangan, motivasi, yang menonjol serta faktor kuat yang
mempengaruhi tindakan prososialnya . berikut ini adalah kesimpulan yang
diperoleh :
 Bagi volunteer DD , menolong orang lain adalah kewajiban, hal tersebut
terlihat dari penjelasannya yang mementingkan norma yang berlaku di
masyarakat. Perilaku prososial juga merupakan suatu proses pembelajaran
yang diwariskan oleh orangtua kepada generasi selanjutnya.
 Faktor yang mempengaruhi volunteer DD dalam melakukan tindakan
prososial adalah faktor dari dalam diri relawan dan faktor luar yang
mempengaruhi. Faktor dari diri penolong adalah kepribadian yang baik.
Sedangkan faktor dari luar yang mempengaruhi seperti faktor lingkungan,
ketersediaan akses, prioritas waktu, dan orng yang akan diberikan bantuan.
 Motivasi terkuat perilaku prososial volunteer DD adalah integritas moral ,
keinginan untuk melihat adanya keadilan dan kesejahteraan. Motivasi dari
kepentingan pribadi cenderung sedikit karena kecenderungan orang ktika
berbuat baik ingin dibalas, namun dengan adanya rasa peduli, orangpun
lebih condong pada motivasai untuk mewujudkan nilai moral dan
keadilan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman peneliti selama melakukan
penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
 Bagi relawan
Melakukan perilaku prososial atau menolong orang lain adalah
kegiatan utama, yang dibarengi dengan motivasi yang kuat tanpa pamrih.
Menjadi relawan dengan jangka waktu yang lama memang tidak mudah
jika tiak dibarengi dengan jiwa sosial tinggi. Demi mewujudkan tujuan
agar kehidupan lebih adil dan sejahtera. Maka dari itu volunteer DD
diharapkan dapat mempertahankan kegiatan sosial meskipun sampai

39
dengan usia yang mulai lanjut dan dalam jangka waktu yang panjang
dengan adanya ketulusan, kerjasama dan juga tanpa pamrh serta dapat
mempertahankan perilaku prososial dan dapat meneruskan pada generasi
selanjutnya.
 Bagi Lembaga Dompet Dhuafa
DD diharapkan tetap dapat mewadahi aspirasi relawan di kota
Surabaya dalam bakti sosial. Dan diharapkan dapat terus menjalin
kerjasama dengan mahasiswa ataupun kalangan anak muda sebagai sarana
untuk dapat melanjutkan kelangsungan dalam memberi bantuan.
 Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggali lebih dalam
mengenai perilaku prososial pada relawan yang berada di lembaga sosial
yang lebih besar atau relawan yang mendirikan lembaga sosial sendiri.
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggali leih dalam mengenai
perilaku prososial dari berbagai agama.

40
LAMPIRAN

#Ruang diskusi volunteer Dompet Dhuafa

#Ruang meeting Dompet Duafa

41
DAFTAR PUSTAKA

(Warning! Copyright 2018 by Universitas Psikologi) Sumber


Artikel: https://www.universitaspsikologi.com/2018/09/perilaku-prososial-
pengertian-dan-faktornya.html

(https://www.researchgate.net/publication/327756107 , Muhammad Abdan


Shadiqi University of Indonesia.)

(http://eprints.undip.ac.id/10427/1/skripsi_adria.pdf , PERILAKU PROSOSIAL


TERHADAP PENGGUNA JALAN (STUDI FENOMENOLOGIS PADA POLISI
LALU LINTAS) )

(Kurnila, Icha (2013) PERILAKU PROSOSIAL RELAWAN YAYASAN UMMI


FADHILAH SURABAYA. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.)

(www.dompetdhuafa.org)

42

Anda mungkin juga menyukai