Anda di halaman 1dari 54

GAMBARAN SISTEM SURVEILANS DIFTERI

DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANGKALAN

Disusun oleh:

ANASYIA NURWITASARI 101814553010


LILIANA UDDIN 101814553012
ISTI HANDAYANI 101814553006

MINAT EPIDEMIOLOGI LAPANGAN


PROGRAM STUDI MAGISTER EPIDEMIOLOGI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kunjungan lapangan di
Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan “Gambaran Sistem Surveilans
Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan” ini selesai tepat pada
waktu. Laporan ini disusun dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah surveilans
kesehatan masyarakat sebagai bentuk laporan selama melakukan kunjungan
lapangan di instansi terkait. Penulis mengharapkan laporan ini dapat memberikan
informasi mengenai gambaran Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan
Kabupaten Bangkalan.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat
dalam membantu penyelesaian laporan ini. Penulis menyadari laporan ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan.
Penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat serta sumbangan
bagi khasanah ilmu pengetahuan.

Surabaya, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel v
Daftar Gambar vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 4
1.3 Manfaat 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Difteri 6
2.2 Surveilans Difteri 8
2.3 Evaluasi 24
BAB III METODE 26
3.1 Metode 26
3.2 Subjek dan Informan 26
3.3 Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data 26
3.4 Pengumpulan Data 26
3.5 Analisis Data 27
BAB IV GAMBARAN SISTEM SURVEILANS DIFTERI 28
DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANGKALAN
4.1 Identifikasi Sistem Surveilans Difteri 17
4.2 Gambaran Sistem Surveilans Difteri Berdasarkan 19
Pendekatan
Sistem (Input, Proses, Output)
4.3 Gambaran Sistem Surveilans Difteri Berdasarkan 26
Pendekatan
Atribut Surveilans

iii
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 28
5.2 Saran 29
Daftar Pustaka 31
Lampiran 32

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
4.1 Penyusunan Penjelasan Visi Dinas Kesehatan Provinsi 6
Jawa Timur
4.2 Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 16

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1.1 Jumlah Kasus Difteri di Kabupaten Bangkalan Tahun 1995-2018 2
4.1 Alur Pelaporan Surveilans AFP di Dinas Kesehatan Provinsi 23
Jawa Timur

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah
dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium
diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan
pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil,
hidung dan juga pada kulit (Kemenkes RI, 2017). Corynebacterium
diphtheriae menghasilkan toksin yang menyebabkan nekrosis pada jaringan,
kerusakan saluran jalan nafas dan juga miokarditis yang memicu gagal
jantung hingga kematian (NICD, 2016). Infeksi C. Diphtheriae merupakan
tantangan medis global, karena mengalami kenaikan jumlah kasus yang
signifikan pada orang dewasa yang rentan terhadap Difteri (Mattos Guaraldi
et al., 2001, dalam Gomes et al., 2009).
Difteri merupakan penyakit yang mendunia terutama banyak
ditemukan di negara tropis (CDC, 2015). Indonesia menempati urutan kedua
di dunia setelah India dalam penemuan kasus Difteri (WHO, 2018). Jumlah
kasus difteri di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 954 kasus dengan Case
Fatality Rate (CFR) sebesar 4,61% (Kemenkes RI, 2018). Provinsi Jawa
Timur selalu menempati posisi pertama dalam penemuan kasus difteri dan
dari tahun ke tahun kasus difteri di Jawa Timur dilaporkan terus meningkat.
Tahun 2015 kasus difteri di Jawa Timur dilaporkan sebanyak 255 dengan
CFR sebesar 7,45%, sedangkan tahun 2016 dilaporkan terjadi sebanyak 354
kasus dengan CFR sebesar 1,7% (Dinkes Jawa Timur, 2018). Tahun 2017
kasus difteri dilaporkan meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 489
kasus dengan CFR sebesar 3,27%.
Kabupaten Bangkalan berada pada posisi ke tiga dalam penemuan
kasus difteri di Jawa Timur setelah Surabaya dan Sidoarjo (Dinkes Jawa
Timur, 2018). Tahun 2016 jumlah difteri di Kabupaten Bangkalan sebanyak
10 dengan prevalensi 1 per 100.000 penduduk kasus. Jumlah difteri pada
tahun 2017 sebanyak 8 kasus dengan prevalensi 0,8 per 100.000 penduduk
sedangkan tahun 2018 meningkat menjadi 24 kasus dengan prevalensi 2,4 per

1
100.000 penduduk. Case Fatality Rate (CFR) kasus difteri tahun 2016 hingga
2018 di Kabupaten Bangkalan sebesar 0% (Dinkes Bangkalan, 2018). Tren
penemuan kasus difteri di Kabupaten Bangkalan tahun 1995-2018 dapat
dilihat pada gambar 1.1

80
76
70 69
60

50

40
35
30
27
24
20 19
10 10 11 10 8
5 4 3 5 4
01 1 0 2 0 0 0 0 2
95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 `16 17 18
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan

Gambar 1.1 Jumlah Kasus Difteri di Kabupaten Bangkalan Tahun 1995-2018

Gambar 1.1 menunjukkan terjadi tren kenaikan dan penurunan kasus


secara fluktuatif. Kasus tertinggi terjadi pada tahun 2013 dengan jumlah 76
kasus. Selama 5 tahun terakhir kasus tertinggi terjadi pada tahun 2018 dengan
jumlah 24 kasus. Sampai akhir bulan Juli 2019, telah ditemukan sebanyak 13
kasus difteri di Kabupaten Bangkalan dimana 4 kasus dengan konfirmasi
laboratorium positif toxigenic (Dinkes Bangkalan, 2019). Penemuan satu
kasus difteri dalam satu wilayah maka dapat dikategorikan dalam Kejadian
Luar Biasa (KLB). Menurut Kementerian Kesehatan (2010), KLB difteri
terjadi jika ditemukan 1 kasus di rumah sakit, puskesmas maupun di
masyarakat. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan menunjukan selama
tahun 2018 terjadi KLB di 13 puskesmas atau 12 kecamatan sedangkan
hingga akhir bulan Juli 2019 terjadi KLB di 3 Puskesmas.

2
Salah satu upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit difteri
adalah dengan penguatan sistem Surveilans Difteri. Surveilans Difteri
bertujuan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri secara efektif dan efisien
(Kemenkes RI, 2017). Surveilans sebagai unsur penting dalam memberikan
informasi terhadap masalah kesehatan, sehingga apabila informasi
epidemiologi yang dihasilkan dari kegiatan tersebut dimanfaatkan dengan
baik maka dapat digunakan untuk menanggulangi dan menurunkan kasus
difteri. Surveilans di era otonomi menjadi penting dan sangat potensial karena
pembangunan kesehatan dilaksanakan secara penuh oleh kabupaten atau kota
baik dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evaluasinya.
Demikian pula informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans menjadi
dasar perencanaan dan penentuan kebijakan oleh pemerintah daerah setempat
(Vanni, 2013).
Selama periode tahun 2013 sampai dengan tahun 2019, jumlah kasus
difteri di Bangkalan mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuatif
meskipun pada tahun 2019 kasus difteri di Bangkalan cenderung mengalami
penurunan. Jumlah tersebut masih perlu diwaspadai mengingat kasus difteri
pada tahun-tahun sebelumnya cenderung mengalami peningkatan. Sesuai
dengan kebijakan pemerintah dalam surat nomor KU.03.03/D/II.2/1162/2012
mengenai penanganan KLB difteri di Jawa Timur, maka dewasa ini kegiatan
survelans yang telah dilakukan perlu diperkuat dengan pengembangan model
atau pola yang sesuai dengan keadaan kabupaten atau kota. Kegiatan
surveilans membutuhkan sumber data yang sangat lengkap, kompleks dan
valid guna menghasilkan informasi epidemiologi yang valid. Informasi
epidemiologi yang didapatkan dapat menggambarkan suatu masalah
kesehatan dengan faktor-faktor dan determinan-determinan penyakit secara
lengkap untuk kemudian segera dilakukan tindakan penanggulangan
penyakit. Suatu sistem surveilans sangatlah luas dan komplek dalam
metodologi, cakupan, dan tujuannya. Pada kenyataannya, suatu karakteristik
yang penting untuk sistem terkadang kurang diperhatikan padahal saling
mempengaruhi satu sama lain (Noor, 2008). Kombinasi dari atribut-atribut

3
sistem tersebut menentukan suatu kekuatan dan kelemahan sistem.
Keberhasilan suatu sistem surveilans sangat bergantung pada keseimbangan
atribut-atribut atau sifat-sifat didalamnya (Teutsch dan Elliot, 2000).
Evaluasi sistem surveilans dapat dilakukan oleh dua pendekatan, yaitu
melalui pendekatan sistem dan atribut surveilans. Komponen sistem
surveilans yang dilakukan evaluasi adalah input (man, money,
material/machine, method dan market), proses dan output. Selain itu,
komponen surveilans lain yang perlu dievaluasi yaitu atribut surveilans
menurut CDC (2001) meliputi simplicity (kesederhanaan), flexibility
(fleksibilitas), data quality (kualitas data), acceptability (akseptabilitas),
sensitivity (sensitivitas), predictive value positive (nilai prediktif positif),
representativeness (representatif), timeliness, dan stability (stabilitas).
Dengan uraian tersebut diatas, perlu dilakukan telaah atau kajian lebih lanjut
mengenai sistem surveilans difteri berdasarkan komponen sistem dan atribut
surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan.
1.2 Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Sistem Surveilans Difteri di Dinas
Kesehatan Kabupaten Bangkalan.
B. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kesehatan
Kabupaten Bangkalan berdasarkan jenis surveilans, ruang lingkup, tujuan
dan indikator kinerja surveilans.
2. Mendeskripsikan gambaran pelaksanaan Sistem Surveilans Difteri di
Dinas Kesehatan Kesehatan Kabupaten Bangkalan berdasarkan
pendekatan sistem (input, proses dan output)
3. Mendeskripsikan gambaran pelaksanaan Sistem Surveilans Difteri di
Dinas Kesehatan Kesehatan Kabupaten Bangkalan berdasarkan
pendekatan atribut surveilans.

4
1.3 Manfaat
1. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten khususnya Program
surveilans Difteri, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan
surveilans Difteri dengan baik dan memperoleh hasil yang maksimal
sesuai dengan yang diharapkan.
2. Bagi Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat
Sebagai bahan pustaka di Fakultas Kesehatan Masyarakat dalam
pengembangan ilmu di bidang epidemiologi, khususnya mengenai kajian
Surveilans Difteri.
3. Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan pengalaman yang berharga, meningkatkan
pengetahuan dan menambah wawasan terkait pelaksanaan Sistem
Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Difteri
2.1.1 Etiologi penyakit difteri
Difteri pertama kali ditemukan pada tahun 1884 oleh Loeffler. Difteri
merupakan sebuah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini biasanya menyerang traktus
respiratory bagian atas, menyebabkan pembentukan ulcer pada mukosa, dan
pembentukan sebuah pseudomembrane. Difteri adalah salah satu penyakit
yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai
dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput
mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit dapat juga
menyebabkan lesi sistemik dari jantung dan juga saraf (Hadfield et al., 2000).
Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae.
Corybacterium diphtheriae merupakan bakteri gram positif, aerobik,
pleomorphic coccobacillus. Corybacterium diphtheriae menghasilkan sebuah
toxin melalui lisogenisasi dengan corynebacteriophage yang membawa gen
tox. Efek dari toksin Corybacterium diphtheriae inilah yang menyebabkan
penyakit difteri (Zasada, 2015). Difteri dikenal sebagai sebuah pembunuh
utama yang menyebabkan ribuan kasus kematian pada anak. Tingkat
mortalitas mulai menurun drastis pada abad ke-21 setelah diperkenalkannya
program imunisasi dan peningkatan taraf hidup (Byard, 2013).

2.1.2 Sumber dan cara penularan


Penularan difteri terjadi melalui droplet (percikan ludah) dari batuk,
bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit
(Kemenkes, 2017). Sumber penularan adalah manusia baik sebagai penderita
maupun carrier. Seseorang dapat menyebarkan bakteri melalui pernafasan
droplet infection atau melalui muntahan, pada difteri kulit bisa penularan bisa
melalui luka di tangan (Kemenkes, 2012). Susu yang tidak dipasteurisasi
dapat berperan sebagai media penularan (Chain, 2000).

6
2.1.3 Masa inkubasi
Masa inkubasi difteri selama 2-5 hari setelah kontak dengan agen.
Terbentuk pseudomembran pada jaringan lunak uvula dan tonsil setelah 24
jam sebagai efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak-anak adalah
bull neck yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar
getah bening leher (Beh dan Byard, 2014). Onset terjadi secara tiba-tiba dan
pertumbuhan dari pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal, seluruh
faring. Jaringan lunak palatum, uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis
dan lesi nekrotik ini dapat menembus ke otot rangka dan menyebabkan
perdarahan serta edem (Byard, 2013). Masa penularan carrier bisa sampai 6
bulan. Sumber penularan adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
carrier. Seseorang dapat menyebarkan bakteri difteri melalui droplet infection
dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya (Kemenkes, 2017).
2.1.4 Gejala klinis dan komplikasi
Tanda dan gejala difteri berupa infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) bagian atas,adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak
tinggi (kurang dari 38,5º C), dan ditemui adanya pseudomembran
putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah
lepas,serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai
tonsil dan faring. Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan
menelan, sesak nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti
leher sapi (bullneck) (Kemenkes, 2017).
Komplikasi dan efek letal difteri disebabkan adanya obstruksi
respiratori atau efek sistemik dari Difteri Tetanus (DT) yang diabsorbsi pada
lokasi infeksi. Obstruksi secara mekanik jalur nafas disebabkan oleh
pseudomembran, edem, dan perdarahan yang terjadi secara mendadak dan
lengkap menyebabkan terjadinya sesak nafas. DT yang diabsorbsi ke dalam
sirkulasi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ, terutama pada jantung
dan saraf. Pada jantung, DT menyebabkan terjadinya miokarditis yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung kongestif. Pada saraf, DT
menyebabkan terjadinya paralisis pada otot-otot pernafasan dan juga otot
okulomotor. Kombinasi dari ketiga manifestasi difteri yang menyebabkan

7
penyakit infeksi ini memiliki tingkat mortalitas yang tinggi (Ryan & Ray,
2004). Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan,
angka kematian adalah sekitar 50%, sedangkan dengan terapi angka
kematiannya sekitar 10%. Angka kematian Difteri rata-rata 5 -10% pada anak
usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun) (Kemenkes,
2017).
2.2 Surveilans Difteri
2.2.1 Definisi surveilans difteri
Surveilans merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus dan sistematis melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan interpretasi data menjadi suatu informasi guna
mendeskripsikan masalah-masalah kesehatan dan sebagai bentuk monitoring
atau upaya pemantauan terhadap program kesehatan. Informasi yang
didapatkan kemudian digunakan sebagai bahan perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi program terhadap masalah kesehatan masyarakat. Data
surveilans juga dapat digunakan untuk menentukan prioritas kegiatan
kesehatan masyarakat maupun untuk menilai efektifitas kegiatan (Halperin,
1992; Thacker dalam Teutsch dan Elliot, 2000). Surveilans epidemiologi
adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap
penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah
kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan
(Depkes RI, 2003). Surveilans Difteri adalah kegiatan pengamatan yang
sistematis dan terus menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian
penyakit difteri serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan
serta penularan penyakit Difteri untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan
difteri secara efektif dan efisien (Kemenkes 2017).

8
2.2.2 Tujuan surveilans
Menurut Noor (2008), surveilans dilaksanakan dengan tujuan utama
untuk memperoleh gambaran kejadian morbiditas dan mortalitas serta
kejadian peristiwa vital secara teratur sehingga dapat digunakan dalam
berbagai kepentingan perencanaan dan tindakan yang berkaitan dengan
kesehatan dalam masyarakat. Informasi epidemiologi yang didapatkan untuk
kemudian didistribusikan kepada pemangku program terkait, pusat-pusat
kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain (Depkes RI, 2003).
Secara lebih terperinci, Noor (2008) menjelaskan mengenai tujuan
dilakukannya surveilans epidemiologi yaitu:
1. Sebagai bahan identifikasi, investigasi, dan penanggulangan situasi luar
biasa atau wabah yang terjadi dalam masyarakat sedini mungkin dengan
memperoleh gambaran masalah kesehatan menurut waktu, tempat dan
orang, diketahuinya determinan, faktor risiko dan penyebab langsung
terjadinya masalah kesehatan tersebut.
2. Mengidentifikasi kelompok penduduk tertentu yang memiliki risiko tinggi
terhadap suatu masalah kesehatan
3. Untuk menentukan penyakit dengan prioritas penanggulangannya
4. Sebagai bahan evaluasi antara input pada berbagai program kesehatan
dengan hasil yang dicapai berupa insiden dan prevalensi penyakit dalam
masyarakat
5. Untuk memonitoring kecenderungan atau tren perkembangan situasi
kesehatan atau penyakit dalam masyarakat

2.2.3 Surveilans epidemiologi sebagai sistem


Dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010, pelaksanaan
program kesehatan harus didukung dengan manajemen kesehatan dan
informasi kesehatan yang selalu aktual dan up to date sehingga dibentuklah
suatu sistem terintegrasi yaitu Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Sebagai
salah satu subsistem SKN, Sistem Informasi Kesehatan Nasional tahun 2001-
2010 (SIKNAS 2001 - 2010) merupakan sumber daya nonfisik manajemen
kesehatan dengan mengumpulkan, mengolah dan menganalisa serta

9
menyajikan data kesehatan guna mempercepat pengambilan keputusan
menuju Indonesia Sehat 2010.
Salah satu sub sistem dari Sistem Informasi Kesehatan Nasional
(SIKNAS) yaitu Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, sebagai fungsi
strategisnya adalah intelijen penyakit dan masalah-masalah kesehatan yang
mampu berkontribusi dalam penyediaan data dan informasi epidemiologi
untuk mewujudkan Indonesia Sehat dalam rangka ketahanan nasional.
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan harus didukung
dengan hubungan antara sistem dan subsistem serta komponen yang ada,
sehingga kegiatan yang dilakukan berhasil guna dan berdaya guna (Depkes
RI, 2003).
2.2.4 Tahap pelaksanaan kegiatan surveilans difteri
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan melalui pengumpulan
data, kompilasi data, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan
diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan
informasi yang objektif, terukur, dapat diperbandingkan antar waktu, antar
wilayah, dan antar kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan
keputusan. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus mampu memberikan
gambaran epidemiologi yang tepat berdasarkan dimensi waktu, tempat dan
orang (Kemenkes RI, 2014). Kegiatan penyelenggaraan surveilans kesehatan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan meliputi pengumpulan data,
pengolahan data, analisis data dan diseminasi, berikut adalah kegiatan
penyelenggaraan surveilans :
1. Pengumpulan Data
Penyelenggaraan surveilans epidemiologi berdasarkan aktivitas
pengumpulan data dapat dilakukan secara aktif dan pasif. Surveilans aktif
adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans
mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber data lainnya. Sedangkan surveilans pasif adalah
penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans
mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit

10
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya (Depkes RI,
2003).
Dalam kegiatan pengumpulan data, beberapa hal yang perlu
diperhatikan misalnya siapa yang bertanggung jawab sebagai pengumpul
data sehingga diharapkan dapat melakukan editing data dan dalam
pembuatan laporan akan menghasilkan informasi epidemiologi yang valid
serta frekuensi dalam pengumpulan data yang disesuaikan kebutuhan. Ada
yang rutin bulanan sebagai perencanaan dan evaluasi dengan sumber
SP2TP, SPRS dan rutin mingguan terhadap penyakit potensial wabah.
2. Kompilasi data
Merupakan bagian kegiatan pengolahan data, karena data yang
diperoleh umumnya dalam bentuk row data (data mentah) yang perlu
disusun agar mudah dianalisa yaitu dengan pembuatan tabel, grafik, atau
peta dan harus mengacu pada tujuan dalam sistem surveilans (Noor, 2008).
Data yang dikelompokkan dapat dilakukan secara manual dengan
menggunakan master table, kartu pengolah data atau dengan
menggunakan program Epi info.
3. Pengolahan data
Pengolahan data surveilans dilakukan dengan cara perekaman data,
validasi, pengkodean, alih bentuk (transform) dan pengelompokan
berdasarkan tempat, waktu, dan orang (Kemenkes RI, 2014).
4. Analisis Data
Menurut Hidayah dan Arif (2007), data untuk keperluan kegiatan
kemudian dilakukan analisis data, yaitu analisis univariat dengan
menghitung proporsi atau menggunakan statistik deskriptif melalui
perhitungan mean, modus, standar deviasi serta analisis bivariat guna
menghubungkan antara dua variabel dapat dilakukan dengan membuat
tabel, grafik, maupun peta. Pada tahap analisa data, memungkinkan sebuah
sistem untuk menentukan peran dalam pelaksanannya misalnya siapa yang
bertugas dalam menganalisis data, cara dalam menganalisis data, dan
frekuensi dalam menganalis data dimana semua hal tersebut disesuaikan
dengan tujuan suatu sistem surveilans (CDC, 2001).

11
Analisis data surveilans dilakukan dengan metode epidemiologi
deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai
dengan tujuan surveilans yang ditetapkan (Kemenkes RI, 2014)
5. Interpretasi data
Data harus dianalisis dan disajikan secara efektif sehingga pengambil
keputusan yang bersangkutan dapat dengan mudah memahami implikasi
dari informasi yang disampaikan. Oleh sebab itu, data yang dianalisis
harus dilakukan interpretasi hasil surveilans terlebih dahulu (PANHO,
1995). Analisis dan interpretasi data sebaiknya tidak dilakukan oleh
perseorangan saja, melainkan satu tim yang saling menguasai masalah
yang sedang di proses.
Menurut Teutsch dan Elliot (2000), dalam pelaksanaan interpretasi
data, kunci utama adalah mengetahui keterbatasan data dan mampu
menggambarkan kondisi sebenarnya dari hasil data yang dianalisis.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam interpretasi data misalnya :
a) Limit data
Limit data bisa terjadi karena kasus yang under reporting, laporan
kasus yang tidak terwakili, dan definisi kasus yang tidak konsisten.
b) Pendekatan interpretasi
Hasil dari interpretasi akan menggambarkan dari proses awal data
dikumpulkan hingga analisis yang telah dilakukan sehingga dihasilkan
informasi terhadap suatu keadaaan atau kejadian tertentu. Sehingga,
dalam proses interpretasi data diperlukan pengertian yang lebih luas
dan mendalam terhadap apa yang sedang diproses. Misalnya
pengertian data, penyebab suatu penyakit, pengujian pola observasi,
sifat laporan, area geografi dalam surveilans, definisi kasus hingga
cara intervensi.
6. Diseminasi Informasi
Diseminasi informasi dilakukan dengan cara (Kemenkes RI, 2014):
1) Penyampaian informasi kepada unit yang membutuhkan untuk
dilaksanakan tindak lanjut;

12
2) Penyampaian informasi kepada Pengelola Program sebagai sumber
data/laporan surveilans sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
3) Pemberian umpan balik kepada sumber data dalam rangka perbaikan
kualitas data.
Informasi yang dihasilkan oleh penyelenggaraan surveilans
kesehatan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan yaitu digunakan sebagai
pedoman untuk pengambilan keputusan meliputi:
a) besaran masalah;
b) faktor risiko;
c) endemisitas;
d) patogenitas, virulensidan mutasi;
e) status KLB/Wabah;
f) kualitas pelayanan;
g) kinerja program;dan/atau
dampak program.
Informasi yang dihasilkan setelah melalui proses pengolahan data
hingga interpretasi data, akan dilakukan penyebaran informasi atau
diseminasi informasi pada pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini,
diseminasi informasi dapat disampaikan kepada :
a) Pengelola program yang terkait langsung dalam upaya penanggulangan
masalah kesehatan tertentu.
b) Pihak yang berperan sebagai sumber data.
c) Lintas sektor terkait.
d) Lintas program
e) Masyarakat.
2.2.4 Atribut sistem surveilans
Kegiatan evaluasi sistem surveilans diharapkan mampu menilai atribut
surveilans. Atribut sistem surveilans adalah indikator yang menggambarkan
karakteristik sistem surveilans dan meliputi simplicity, flexibility, data
quality, acceptability, sensitivity, predictive value positive,

13
representativeness, timeliness, dan stability yang berkontribusi secara
langsung terhadap bagaimana suatu sistem surveilans mampu memenuhi
tujuan spesifiknya (CDC, 2001).
1. Simplicity (Kesederhanaan)
Kesederhanaan suatu sistem surveilans mencakup struktur yang
sederhana dan mudah sewaktu dioperasikan. Suatu sistem surveilans harus
dirancang sesederhana mungkin namun masih dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Menurut Noor (2008), suatu kerangka yang menggambarkan alur
informasi dan berhubungan dengan sistem surveilans merupakan salah satu
hal yang dapat digunakan sebagai indikator penilaian kesederhaan atau
kemajemukan suatu sistem surveilans.
Kesederhanaan sistem surveilans berkaitan erat dengan ketepatan
waktu, kemauan seseorang yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan
surveilans (akseptabilitas), dan jumlah sumber daya yang diperlukan untuk
mengoperasikan suatu sistem, misalnya besarnya biaya operasional. Untuk
menilai tingkat kesederhanaan suatu sistem surveilans, dapat
dipertimbangkan beberapa ukuran berikut ini :
a) Jumlah dan jenis informasi yang diperlukan dalam penegakkan diagnosis.
b) Jumlah dan jenis data lain yang diperlukan dalam suatu masalah
kesehatan. Misalnya data demografi, data suatu paparan tertentu yang
berkaitan dengan masalah kesehatan.
c) Jumlah institusi yang terlibat dalam kegiatan surveilans.
d) Tingkatan integrasi dengan sistem yang lain.
e) Cara pengumpulan data, meliputi jumlah dan jenis data yang dilaporkan
dan waktu yang diperlukan.
f) Kebutuhan akan pelatihan staf.
g) Cara mengolah data, meliputi waktu yang dibutuhkan untuk mengirim,
memasukkan, mengedit, menyimpan, dan memback-up data.
h) Cara penyebaran informasi atau laporan kepada pihak yang memerlukan
informasi.
i) Jumlah tindak lanjut yang diperlukan untuk memperbarui data.

14
j) Waktu yang dibutuhkan untuk menjaga kesinambungan sistem,
mengumpulkan informasi kasus, mengirimkan informasi kasus dan
menganalisis informasi kasus.
2. Flexibility (Fleksibilitas)
Fleksibilitas sistem surveilans dilihat dari kemampuan sistem yang
dapat menyesuaikan dengan perubahan informasi yang dibutuhkan atau
situasi lapangan tanpa disertai peningkatan yang berarti akan kebutuhan
biaya, waktu dan tenaga. Pada umumnya, makin sederhana suatu sistem
makin fleksibel untuk diterapkan pada penyakit atau masalah kesehatan
lain serta komponen yang harus diubah akan lebih sedikit.
Fleksibel adalah perkiraaan terbaik secara retrospektif dengan
mengamati bagaimana sistem tersebut menghadapi kebutuhan baru,
misalkan dapat diterapkan apabila muncul penyakit yang baru atau
masalah kesehatan baru, adanya perubahan definisi kasus atau perubahan
dari sumber laporan (Noor, 2008).
3. Acceptability (Akseptabilitas)
Akseptabilitas menggambarkan tingkat penerimaan terhadap suatu sistem
atau kemauan orang dan instansi di dalam maupun di luar sistem untuk
berpartisipasi dan bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan sistem
surveilans agar dapat menyediakan data yang akurat, konsisten, lengkap,
dan tepat waktu untuk dilaporkan.
Tingkat penerimaan suatu sistem surveilans dapat dilihat berdasarkan
berbagai indikator berikut ini :
a) Tingkat partisipasi subjek, perorangan maupun instansi sebagai
kontribusi terhadap sistem.
b) Seberapa cepat tercapai tingkat partisipasi tersebut.
c) Tingkat kelengkapan hasil wawancara dan besarnya penolakan
terhadap pertanyaan.
d) Angka pelaporan dari dokter, rumah sakit, laboratorium, serta
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
e) Kelengkapan laporan.
f) Ketepatan waktu pelaporan.

15
g) Pentingnya kejadian kesehatan masyarakat.
h) Diseminasi informasi.
i) Tanggapan sistem terhadap saran dan komentar.
j) Kemudahan dan biaya pelaporan data.
k) Jaminan kerahasiaan data dan informasi.
4. Sensitivity (Sensitifitas)
Sensitifitas sistem surveilans merupakan tingkat kemampuan suatu
sistem dalam memperoleh informasi yang akurat. Terdapat dua tingkatan
dalam sensitiftas sistem surveilans. Yang pertama adalah pada pelaporan
kasus yang ditemukan, mengacu pada proporsi kasus dari suatu penyakit
atau masalah kesehatan yang dideteksi oleh sistem surveilans. Sedangkan
tingkatan kedua, mengacu pada kemampuan mendeteksi adanya wabah
dan memonitor kecenderungan perubahan terhadap angka kejadian suatu
penyakit.
Pengukuran tingkat sensitifitas suatu sistem juga harus
memperhatikan validitas informasi yang didapatkan oleh sistem dan
pengumpulan informasi diluar sistem untuk menentukan frekuensi
keadaan atau peristiwa yang terjadi di masyarakat.
Tabel 2.1 Perhitungan Sensitivitas dan Nilai Prediktif Positif untuk
Sistem Surveilans
Terdeteksi Kondisi Saat Ini
Oleh
Positif Negatif
Surveilans
Positif A b a+b
Negatif C d c+d
a+c b+d Total
Keterangan:
a= jumlah subjek sakit yang diklasifikasikan sakit (positif sejati).
b= jumlah subjek tidak sakit yang diklasifikasikan sakit (positif palsu).
c= jumlah subjek sakit yang diklasifikasikan tidak sakit (negatif palsu).
d = jumlah subjek sakit yang diklasifikasikan tidak sakit (negatif sejati).
Sensitivitas = a/ a+c.
Nilai Prediktif Positif (NPP) = a/ a+b.

16
5. Nilai Prediktif Positif/ Positive Predictive Value
Nilai prediktif positif (NPP) merupakan proporsi dari populasi yang
dikonfirmasikan sebagai kasus oleh suatu sistem surveilans dan
kenyataanya memang kasus. Penilain NPP ditekankan pada konfirmas
kasus yang dilaporkan melalui sistem surveilans. NPP menggambarkan
sensitivitas dan spesifisitas definisi kasus serta prevalensi kasus dalam
populasi.
Suatu sistem surveilans dengan NPP yang tinggi dapat meminimalisir
penggunaan sumber daya dan penanganan terhadap masalah kesehatan
akan lebih berjalan efektif karena kemampuan mendeteksi epidemi yang
baik tidak memicu kekeliruan pelaporan kasus (Noor, 2008).
6. Representativeness (Kerepresentatifan)
Suatu sistem surveilans yang representatif dapat menggambarkan secara
akurat kejadian suatu peristiwa kesehatan dalam periode waktu tertentu,
distribusi peristiwa tersebut menurut tempat dan orang. Menurut Noor
(2008), Penilaian terhadap sifat representatif ini dapat dilakukan dengan
cara membandingkan karakteristik dari kejadian dengan semua kejadian
yang ada dalam hal:
a) Karakteristik populasi, misalnya status sosial ekonomi, letak
geografis, penyebaran umur, dan lain sebagainya.
b) Riwayat alamiah penyakit, misalnya masa laten, masa tuntas, sifat
penularan, besarnya kematian, dan lain sebagainya.
c) Upaya kesehatan yang ditunjukkan melalui sifat dan cara kerja
petugas kesehatan, misalnya pola rujukan dokter, cara dan alat
diagnosis, tempat pelaksanaan tes diagnosis, dan lain sebagainya.
7. Timeliness (Ketepatan Waktu)
Ketepatan waktu merupakan tingkat kecepatan atau kelambatan
diantara tahap pelaksanaan surveilans. Pelaporan penyakit tertentu perlu
dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat segera dilakukan tindakan
pengendalian. Sehingga dalam pelaksanaannya setiap langkah-langkah
dalam surveilans yang meliputi identifikasi masalah kesehatan, laporan
kepada unit yang bertanggungjawab, kegiatan penanggulangan atau

17
pencegahan, dan umpan balik kepada petugas surveilans dapat berjalan
dengan baik. Ketepatan waktu bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
misalnya perkembangan teknologi yang semakin canggih sebagai faktor
pendukung, maupun keteserdiaan informasi.
8. Data quality (Kualitas Data)
Kualitas data menggambarkan kelengkapan dan validitas data yang
terkumpul. Kualitas data dapat dilihat dari presentase jawaban kosong
dan tidak tahu pada formulir surveilans, wawancara kepada penderita,
melihat sensitifitas data, mereview sampel data, dan melihat NPP.
Kualitas data dipengaruhi oleh definisi kasus pada kegiatan skrining dan
diagnosis serta sumber daya yang berperan di dalamnya.
Kualitas data berhubungan dengan acceptability dan
representativeness. Data yang berkualitas baik dapat meningkatkan
penerimaan sistem terhadap pihak yang terkait dengan sistem sehingga
akan berpengaruh juga terhadap tingkat partisipasi pihak-pihak yang
berperan dalam sistem surveilans tersebut.
9. Stability (Stabilitas)
Stabilitas sistem surveilans menggambarkan reliabilitas dan
availibilitas suatu sistem surveilans. Reliabilitas yang tinggi dapat dilihat
melalui kemampuan suatu sistem surveilans dalam mengumpulkan,
mengelola dan menyediakan data dengan benar. Sebagai salah satu hal
yang sangat berpengaruh yaitu ketersediaan sumber daya. Sedangkan
availibilitas yang tinggi dapat dilihat melalui kemampuan sistem
surveilans untuk melaksanakan surveilans jika dibutuhkan, artinya
kemudahan data diperoleh dan dioperasikan saat dibutuhkan. Kedua sifat
tersebut dapat terganggu jika terjadi kerusakan, kehilangan data dan
sejenisnya.
Pengukuran stabilitas sistem dapat dilakukan melalui:
a) Jumlah kejadian yang tidak terjadwal sebelumnya dalam kegiatan
yang berhubungan dengan data dan informasi, misalnya kerusakan
komputer.

18
b) Biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan sistem.
Misalnya hardware, software, servis dan waktu yang dibutuhkan
c) Presentase waktu sistem berjalan secara penuh.
d) Waktu yang dibutuhkan sistem untuk menerima data,
mengumpulkan data dan melakukan manajemen data
e) Jumlah kejadian kerusakan sistem atau komputer

2.2.5 Kegiatan surveilans difteri


Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011 dalam bukunya
mengenai pedoman penanggulangan KLB difteri di Jawa Timur, kegiatan
epidemiologi surveilans difteri meliputi:
1. Penyelidikan Epidemiologi
a) Laporan W1 adanya kasus yang datang dari masyarakat, petugas
kesehatan RS, puskesmas, bahkan media, harus dengan cepat dan
dilakukan konfirmasi informasi
b) Konfirmasi informasi dilakukan dengan menanyakan kembali
mengenai gejala, jumlah kasus, waktu sakit, tempat kejadian,
melihat kembali data PWS dengan grafik, dan lain sebagainya.
Untuk saat ini satu kasus difteri sudah dianggap sebagai KLB
c) Konfirmasi informasi yang sudah dipastikan (akurat), untuk
selanjutnya dilakukan pelaporan (W1) ke tingkat hirarkinya.
Kemudian dilakukan penyelidikan epidemiologi oleh tim gerak
cepat KLB
d) Penyelidikan epidemiologi harus dilakukan <24 jam setelah
mendapatkan laporan KLB
e) Petugas yang berwenang melakukan penyelidikan KLB adalah
petugas yang terlatih dari Pustu, puskesmas, Dinkes
kabupaten/kota, Dinkes Provinsi, Dinkes pusat dari bidang
surveilans dan imunisasi
f) Penggunaan APD berupa masker oleh tim gerak cepat KLB
g) Salah satu tujuan dari penyelidikan epidemiologi adalah mencari
kasus lain dengan menanyakan pada masyarakat sekitar yang

19
mempunyai gejala serupa dan waktu kejadian, indeks kasus dan
mengetahui penyebaran kasus dengan kunjungan dari rumah ke
rumah menggunakan form Diph-1
h) Setiap kasus difteri yang ditemukan, diberi nomor epid, dengan tata
cara sebagai berikut :
Huruf D: kode kasus diftei
Digit ke 1-2: kode provinsi
Digit ke 3-4: kode kab/kota
Digit ke 5-6: kode tahun kejadian
Digit ke 7-9: kode penderita (3 digit)
i) Membuat peta lokasi penyebaran kasus dan kemungkinan
mobilitas penduduk
j) Persiapan pemberian profilaksis dan imunisasi (ORI)
2. Identifikasi dan Manajemen Kontak
a) Siapapun yang kontak erat dengan kasus, 7 hari sebelumnya
dianggap berisiko tertular.
b) Kontak erat penderita atau karier, meliputi anggota serumah,
teman, kerabat yang sering mengunjungi rumah penderita, kontak
cium atau seksual, teman sekolah, petugas kesehatan di lapangan
dan RS.
c) Desinfeksi serentak dilakukan terhadap semua barang yang
dipakai oleh atau untuk penderita dan terhadap barang yang
tercemar dengan discharge penderita.
d) Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk
diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan
penderita difteri tanpa melihat status mereka. Kontak yang
menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus
dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan hingga hasil
pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier.
e) Semua kontak erat harus dicari gejala dan tanda-tanda difteri serta
diawasi setiap hari selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak
dengan kasus ini.

20
f) Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi
dasarlengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis
imuniasasi terakhir yang mereka terima lebih dari lima tahun.
Bagi kontak yang belum diimunisasi, diberikan imunisai dasar
dengan vaksinTd, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib sesuai dosis dan
waktunya.
3. Data Record Review
Adapun beberap data sekunder yang diperlukan pada saat penyelidikan
epidemiologi, antara lain:
a) Jumlah penduduk berisiko sekitar kasus
b) Cakupan imunisasi DPT3 dan DT diwilayah KLB, paling tidak
lima tahun terakhir
c) Peta wilayah
d) Kondisi Cold Chain dan permasalahannya
e) Manajemen pengelolaan vaksin dan permasalahannya
f) Kondisi petugas imunisasi, bidan setempat, posyandu dan
permasalahannya
g) Data serpa kasus difteri, kasus serupa difter (ISPA)
h) Data kematian untuk melihat adanya kematian dengan gejala
mirip difteri sebelum KLB
4. Identifikasi Faktor Risiko
Faktor risiko KLB bisa lebih dari satu. Faktor risiko paling tinggi
dianggap sebagai faktor risiko utama terjadinya KLB sehingga menjadi
prioritas dalam penanggulangan KLB.
5. Identifikasi Populasi Risiko Tinggi
Populasi risiko tinggi merupakan populasi tertentu yang mempunyai
risiko tinggi untuk tertular menjadi sakit bila terjadi KLB difteri.
6. Survei Cakupan Imunisasi
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi status imunisasi
balita sekitar kasus, apakah mereka menjadi kelompok rentan atau tidak.
Survey ini dilakukan dengan melihat cakupan imunisasi DPT3 (DPT/HB
1, DPT/HB 2, DPT/HB 3) pada 20-30 balita disekitar kasus.

21
Cara pengambilan sambil dilakukan dengan mencari balita yang
berdomisili terdekat dari kasus kemudian melingkar sampai dengan
jumlah balita sana dengan 20, bila belum terpenuhi dilanjutkan diwilayah
terdekat.
7. Pengambilan spesimen
Dilakukan guna konfirmasi kasus terlapor. Spesimen yang diambil berasal
dari usap hidung atau usap tenggorok penderita, seluruh kontak erat
serumah serta kontak paling erat dengan penderita. Pengambilan dilakukan
sebelum sasaran mendapatkan prophilaksis dengan eritromisin.
8. Profilaksis
Bertujuan untuk memutuskan penularan karena seseorang yang dicurigai
telah terinfeksi bakteri Corynebacterium diphtheria sebelum dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Pemberian profilaksisharus
mempertimbangkan kemungkinan luas penyebaran kasus, jumlah kontak
yang dicurigai menurut umur, logistik eritromisin sesuai berat badan dan
dosisnya, pemberian penjelasan tetntang tujuan dan cara pemberian
profilaksis kepada sasaran, ada pengawas minum obat, dan pencatatan
serta pelaporan terhadap efek samping dari pemberian profilaksis.
Profilaksis dilakukan dengan antibiotika eritromisin dengan dosis
50/mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 7 hari. Antibiotik
akan membuat pasien menjadi non infeksius dalam waktu 24 jam.
9. Pelaporan
Beberapa jenis pelaporan yang masuk dalam penanggulangan KLB, antara
lain :
a) Laporan W1
Meliputi: Laporan cepat < 24 jam, bisa didahului dengan telepon
atau SMS namun harus dilanjutkan dengan form W1, laporan
penanggulangan sementara KLB.
b) Laporan sementara hasil penanggulangan namun KLB masih
belum selesai. Laporan ini terdapat dua versi, yaitu versi eksekutif
dan versi program

22
2.2.5 Pelaksanaan surveilans difteri di kabupaten
Kegiatan surveilans dilaksanakan di semua tingkatkan Administrasi
Pemerintah yaitu tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan juga di Rumah
Sakit dan Puskesmas. Tugas pokok Pada level Kota/ Kabupaten antara lain:
a. Menyediakan dukungan logistik (APD, media transport spesimen, Anti
difteri serum/ ADS dan eritromisin) serta biaya operasional
(Penyelidikan Epidemiologi, Monev, dan lain-lain).
b. Penenemuan kasus. Setiap minggu petugas Dinas kesehatan
Kabupaten/Kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk
mencari dan menemukan secara aktif kasus Difteri (kegiatan
diintegrasikan dengan Surveilans AFP dan PD3I lainnya). Setiap kasus
Difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera diinformasikan ke
Puskesmas untuk dilakukan investigasi dan pencarian kasus tambahan
dan karier.
c. Pencatatan dan pelaporan
a) Melakukan kompilasi daftar kasus individu dari Puskesmas dan
Rumah Sakit yang dilaporkan secara berjenjang ke Ditjen P2P
cq.Subdit surveilans.
b) Melakukan rekapitulasi laporan kasus Difteri dari Puskesmas dan
Rumah Sakit dalam bentuk agregat ke dalam format integrasi dan
dilaporkan secara berjenjang ke Ditjen P2P cq.Subdit surveilans.
c) Melaporkan hasil investigasi kasus difteri ke Dinas Kesehatan
Provinsi.
d. Pengolahan, analisa data dan rekomendasi.
a) Setiap minggu dilakukan analisa data untuk mengetahui adanya
peningkatan kasus berdasarkan wilayah kejadian.
b) Setiap bulan dibuat rekapitulasi dan penyajian data menurut variabel
epidemiologi. (contoh analisa dan penyajian data terlampir).
c) Hasil kajian di pergunakan untuk membuat rekomendasi dan
menentukan rencana tindak lanjut program surveilans dan imunisasi
(Kemenkes, 2017).

23
2.3 Evaluasi
2.3.1 Definisi evaluasi
Menurut Miquel Porta dalam Palupi (2015), evaluasi merupakan suatu
proses sistematis dan objektif untuk mengetahui relevan, efektivitas, dan
dampak dari program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, beberapa
macam evaluasi, misalnya evaluasi struktur, proses, dan hasil. Menurut
Perhimpunan Ahli Kesehatan Masyarakat Amerika, evaluasi adalah suatu
proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha
pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan (Notoatmodjo, 2011).
2.3.2 Ruang lingkup Evaluasi
Ruang lingkup evaluasi merupakan hal-hal yang akan dinilai dari suatu
program kesehatan. Menurut Muninjaya (2004) dan Notoatmodjo (2011),
ruang lingkup evaluasi secara sederhana dapat dibedakan menjadi empat
kelompok, yaitu:
1) Evaluasi terhadap Input
Evaluasi terhadap input (masukan) berkaitan dengan pemanfaatan
berbagai sumber daya baik tenaga (man), dana (money), sarana-prasarana
(material and machines), maupun metode (methode) (Muninjaya dalam
Palupi, 2015). Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui apakah sumber daya
yang dimanfaatkan sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan.
2) Evaluasi terhadap Proses
Evaluasi terhadap proses (process) lebih dititikberatkan pada
pelaksanaan program yang berkaitan penggunaan sumber daya seperti
tenaga, dana, dan fasilitas lain, apakah sudah sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan atau tidak (Muninjaya, 2004; Notoatmodjo, 2011). Penilaian
ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah metode yang dipilih sudah
efektif, bagaimana dengan motivasi staf dan komunikasi diantara staf dan
lain-lain (Muninjaya, 2004).
3) Evaluasi terhadap Output
Evaluasi terhadap output (keluaran) meliputi evaluasi terhadap hasil
yang dicapai dari dilaksanakannya suatu program (Muninjaya, 2004).
Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana program tersebut

24
berhasil, apakah hasil yang dicapai suatu program sudah sesuai dengan target
yang ditetapkan sebelumnya (Muninjaya, 2004; Notoatmodjo, 2011).
4) Evaluasi terhadap Dampak
Penilaian terhadap dampak (impact) suatu program mencakup pengaruh
yang ditimbulkan dari dilaksanakannya suatu program, biasanya mempunyai
dampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat (Muninjaya, 2004;
Notoatmodjo, 2011). Dampak program kesehatan ini tercermin dari
membaiknya atau meningkatnya indikator-indikator kesehatan masyarakat
(Notoatmodjo, 2011).

2.3.3 Tujuan Evaluasi


Kegiatan evaluasi dilakukan dengan tujuan sebagai berikut (Supriyanto,
2003):
a. Sebagai alat untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan dan
perencanaan program yang akan datang.
b. Sebagai alat untuk memperbaiki alokasi sumber dana, sumber daya, dan
manajemen (resources) saat ini serta di masa datang.
c. Memperbaiki pelaksanaan perencanaan kembali suatu program.

25
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode
Metode evaluasi sistem surveilans menggunakan desain studi deskriptif
dengan rancangan studi evaluasi. Desain studi deskriptif membantu untuk
menunjukkan apakah suatu program telah berjalan sesuai prosedur. Selain itu
design studi deskriptif juga dapat menentukan apakah program telah
menghasilkan output (keluaran) yang diinginkan dan membantu memperjelas
proses, tujuan dan sasaran program (Aguirre, 2006). Rancangan studi evaluasi
dilakukan untuk melihat dan menilai pelaksanaan maupun capaian dari kegiatan
atau program yang sedang atau yang sudah dilakukan untuk meningkatkan dan
memperbaiki kegiatan atau program tersebut (CDC, 2011). Selain itu, studi
evaluasi juga bertujuan untuk menilai peforma suatu sistem surveilans (CDC,
2013).

3.2 Subjek dan Informan


Subjek dalam penelitian ini adalah sistem Surveilans Difteri yang terdiri dari
input, proses dan output. Selain menggunakan sistem surveilans, subjek atribut
surveilas Difteri juga digunakan yang terdiri dari simplicity, flexibility,
acceptability, sensitivity, predictive value positive, representativeness, timeliness,
data quality dan stability. Informan yang diwawancara untuk memperoleh
informasi terkait Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan adalah Ibu Sisca Damayanti, S.KM, M.Epid selaku petugas pemegang
program surveilans di instansi tersebut.

3.3 Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data


Lokasi pengumpulan data dilakukan di Dinas Kabupaten Bangkalan. Waktu
pengumpulan data dilakukan pada Juli 2019.

3.4 Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam studi ini berupa data primer dan data sekunder.

26
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara pada informan.
Wawancara mendalam dilakukan dengan bantuan instrumen berupa Kuesioner
lembar pengumpul data.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Laporan surveilans difteri yang berupa form
Dhip 1, Form SARS, serta Absensi Ketepatan dan Kelengkapan

3.5 Analisis Data


Data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis secara deskriptif, yaitu
menggambarkan suatu keadaan sebenarnya dari suatu objek yang diteliti, hasil
yang telah didapatkan kemudian dibandingkan dengan teori yang ada dan
disajikan secara narasi.

27
BAB IV
GAMBARAN SISTEM SURVEILANS DIFTERI
DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANGKALAN

4.1 Identifikasi Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten


Bangkalan
A. Jenis Surveilans Difteri
Penyelenggaraan surveilans dan sistem informasi Difteri di Dinas Kesehatan
Kabupaten Bangkalan terdiri dari surveilans rutin dan KLB.

B. Ruang Lingkup Sistem Surveilans Difteri


Ruang lingkup sistem surveilans Difteri adalah penyelenggaraan sistem
informasi Difteri yang meliputi kebijakan dan strategi, kegiatan surveilans, KLB
difteri dan penanggulangannya, pemberian nomor epid kasus individu dan KLB
laboratorium surveilans difteri,

C. Tujuan Sistem Surveilans Diftei


1. Tujuan Umum
Melakukan deteksi dini dan pengendalian terhadap penyakit difteri.
2. Tujuan Khusus
a. Terdeteksinya kasus difteri secara dini
b. Terlaksananya Penyelidikan Epidemiologi setiap KLB difteri dan
konfirmasi laboratorium
c. Terlaksananya analisa data difteri berdasarkan variabel epidemiologi
yang meliputi waktu, tempat kejadian dan orang di setiap tingkat
administrasi kesehatan, sebagai bahan monitoring dampak program
imunisasi difteri
d. Terdisseminasinya hasil analisis kepada unit terkait e. Terwujudnya
pengambilan keputusan untuk pengendalian penyakit difteri

D. Indikator Kinerja Kegiatan Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten


Bangkalan
1. Kelengkapan laporan puskesmas (C-1) : ≥ 90%

28
2. Ketepatan laporan puskesmas : ≥ 80 %
3. Kelengkapan laporan surveilans aktif RS : ≥ 90 %
4. KLB dilakukan penyelidikan : 100 %
5. Dilakukan pemeriksaan laboratorium : 100%

4.2 Gambaran Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten


Bangkalan berdasarkan Pendekatan Sistem (Input, Proses, Output)
A. Input
Komponen input dalam system Difteri meliputi beberapa aspek, yakni.
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
Petugas surveilans di Dinas Kesehatan Bangkalan sebanyak lima orang.
Jumlah tersebut jika ditinjau dalam Kepmenkes RI Nomor
1116/MENKES/SK/VIII/2003, jumlah tersebut sudah memenuhi tenaga pelaksana
surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Bangkalan namun untuk kriteria pendidikan
belum memenuhi standar. Standar yang sesuai seperti disebutkan dalam
Kepmenkes RI NOMOR 1116/MENKES/SK/VIII/2003 yakni sebanyak satu
tenaga epidemiolog ahli (S2); dua tenaga epidemiolog ahli (S1); dua tenaga
epidemiolog terampil; satu tenaga dokter umum.
Petugas Surveilans Difteri yang bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan D3 Kesehatan
Lingkungan, S1 Ekonomi, S1 Hukum dan S2 Epidemiologi serta pengalaman
kerja di bidang surveilans >10 tahun, seorang petugas surveilans Difteri bekerja di
Dinas Kesehatan Bangkalan sejak tahun 2006, namun tidak memiliki tenaga
dokter. Hasil wawancara menunjukkan bahwa tenaga dokter dibutuhkan terutama
saat kegiatan pelacakan karena perlu untuk melakukan diagnosis di tempat.
Penegakan diagnosis sementara ini dilakukan bekerja sama dengan dokter dari
RSUD Syarifah Ambani Rato Ebo, selain itu petugas tersebut sudah mendapatkan
pelatihan terkait surveilans.

2. Sarana
Sarana yang digunakan dalam melaksanakan Surveilans Difteri di Dinas
Kesehatan Kabupaten Bangkalan yakni:

29
a. Alat komunikasi (telepon, faximile, e-mail, dsb)
b. Kalender mingguan epidemiologi
c. Aplikasi khusus yang digunakan dalam kegiatan surveilans
d. Pedoman Penyelenggaraan system surveilans epidemiologi kesehatan
e. Buku petunjuk teknis surveilans Difteri tahun 2016
f. Buku kepustakaan terkait pelaksanaan surveilans Difteri
g. Prifilaksis eritromisin
h. Vaksin
i. ADS
j. APD
k. Masker
l. Sarung tangan
m. Jas Lab
n. Kantung Biohazard
o. Desifektan (Alkohol 70%)
p. Pengambilan specimen
q. Media traspor (Amies Silica Gel)
r. Spatula
s. Cool Boox
t. Ice Pack
u. Label
v. Pengiriman Specimen

Seperangkat Komputer, Kendaraan roda 2 maupun roda 4 tidak tersedia


untuk menunjang pelaksanaan surveilans difteri. Dengan demikian, tinjauan dari
segi sarana berarti belum memenuhi karena berdasarkan Permenkes RI Nomor
1116/MENKES/SK/VIII/2003 yakni Jaringan elektromedia, Komunikasi (telepon,
faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya), Komputer dan perlengkapannya,
Referensi surveilans epidemiologi, penelitian dan kajian kesehatan, Pedoman
pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi computer, Formulir
perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman, Peralatan
pelaksanaan surveilans dan Sarana transportasi

30
3. Anggaran
Sesuai Permenkes 1501/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan termksud difteri,
upaya penanggulangan KLB dibebankan pada anggaran pemerintah daerah.
Dalam keadaan KLB, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan
perbekalan kesehatan meliputi bahan, alat, obat, dan vaksin serta bahan/alat
pendukung lainnya. Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan menyediakan
anggaran yang bersumber dari APBD serta anggaran tersebut cukup untuk
melaksanakan kegiatan surveilans difteri diantaranya pelacakan kasus,
pengambilan specimen serta pencatatan dan pelaporan.

4. Kualitas data
a. Jenis Data
Jenis data yang menunjang pengamatan Difteri di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Propinsi terdiri dari:
1. Data Rutin
- Laporan mingguan wabah/W2/Ewars, yang dilakukan rutin
setiap minggu yang berisi informasi semua kasus difteri yang
dilaporkan secara kumulatif; untuk memantau pelacakan kasus,
hasil laboratorium, dan klasifikasi final.
- Laporan individual terkait penyelidikan kasus KLB
- Laporan integrasi PD3I
- Laporan Surv. Aktif Rumah Sakit
2. KLB
Laporan W1 dilakukan dengan menggunakan formulir W1 atau melalui telepon
oleh puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan. Setelah laporan
tersebut diterima oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan selanjutnya laporan
tersebut diserahkan oleh petugas surveilans difteri ke bagian Surveilans KLB.

b. Sumber Data

31
Sumber data surveilans Difteri Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan berasal dari laporan surveilans difteri puskesmas, Laporan Surveilans
Aktif Rumah Sakit dan Klinik Swasta yang dilakukan secara pasif.

B. Proses

Berikut ini adalah alur pelaporan sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan
Kabupaten Bangkalan

Gambar 4.1 Alur Pelaporan Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan


Kabupaten Bangkalan
1. Pengumpulan data

32
Pengumpulan data dilakukan secara aktif dan pasif. Pengumpulan data
secara aktif dilakukan pada saat ada laporan kasus difteri. Ada satu kasus difteri
sudah dianggap sebagai KLB karena perlakuan yang diberikan sama dengan
perlakuan saat terjadi KLB kasus lain. Pengumpulan data secara pasif berasal dari
laporan mingguan dan W1 yang dikirim oleh puskesmas sedangkan pengumpulan
data secara aktif adalah saat petugas turun langsung ke lokasi terjadinya kasus
difteri untuk melakukan penyelidikan epidemiologi.
Alur pengumpulan laporan yang berjalan di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalnr sudah sesuai dengan pedoman surveilans AFP. Pelaporan dari
puskesmas dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan menggunakan e-
mail dan bentuk print out laporan. Data yang dikumpulkan selanjutnya diinput
menggunakan komputer menggunakan Microsoft Excel.
Data yang dikumpulkan sudah sesuai dengan tujuan surveilans yaitu
mencakup orang, tempat dan waktu. Pengumpulan data dilakukan setiap bulan
dan tepat waktu. Sedangkan data hasil pemeriksaan laboratorium BBLK (Balai
Besar Labolatorium Kesehatan) Surabaya terkait kasus Difteri biasanya
membutuhkan waktu maksimal 1 minggu sejak spesimen tiba.
File rekap kelengkapan dan ketepatan pelaporan yang diterima oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkdalan dari puskesmas dibedakan menjadi
mingguan dan bulanan.

2. Kompilasi data
Kompilasi data dilakukan dengan memasukkan laporan surveilans difteri
dari puskesmas ke Dinas Kabupaten/Kota kedalam aplikasi komputer berupa Epi
Info dan Microsoft Excel sesuai dengan kolom kriteria orang, tempat, dan waktu.
Kompilasi data dilakukan setiap bulan oleh Bu siska. Proses kompilasi data
dilakukan tidak tepat disebabkan adanya kendala ketidaktepatan dan
ketidaklengkapan laporan yang masuk dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan.

3. Analisis dan interpretasi data

33
Data yang telah dikumpulkan dan dilakukan kompilasi kemudian
dianalisis tetapi tidak dilakukan interpretasi hasil analisis data. Analisis dengan
menggunakan aplikasi komputer Microsoft Excel oleh Ibu Siska Damayanti,
SKM. M.Epid. Hasil analisis disajikan dalam bentuk table dan grafik kasus
Difteri, kemudian dilakukan interpretasi dalam bentuk narasi deskriptif. Data
dianalisis secara berkala setiap bulan dan/atau atas permintaan Pusat.
Proses analisis yang dilakukan tidak tepat waktu disebabkan
ketidaklengkapan dan ketidaktepatan laporan surveilans Difteri yang masuk dari
puskesmas. Ketidaklengkapan dan ketidaktepatan laporan surveilans Difteri ini
berdampak pada ketidaksesuaian hasil analisis dengan tujuan surveilans dan
belum representatif. Hasil yang diperoleh menggambarkan kasus difteri menurut
variable orang dan waktu namun tidak berdasarkan tempat.

C. Output
1. Informasi Epidemiologi
Informasi epidemiologi yang dihasilkan berupa laporan bulanan dan
tahunan. Informasi epidemiologi yang dihasilkan tidak lengkap, tidak
representatif, dan belum sesuai dengan tujuan. Output yang dihasilkan belum
mampu menyediakan informasi tentang besaran kasus Difteri, distribusi kasus
Difteri berdasarkan orang, waktu, dan tempat. faktor risiko yang memengaruhi
kasus AFP, memprediksi terjadinya KLB, tatalaksana penderita Difteri, dan
pemeriksaan spesimen Difteri. Output yang dihasilkan belum sensitif memonitor
perubahan jumlah kasus secara berkala dan mampu secara cepat mendeteksi KLB.
Output yang dikirim via e-mail oleh puskesmas ke Dinas Kesehatan
Kabupaten Bangkalan berupa laporan pelacakan kasus Difteri (Form List Kasus)
dalam bentuk Microsoft Excel setiap minggu. Output lainnya berupa laporan list
kasus Difteri, kelengkapan dan ketepatan laporan dari Puskesmas, dan data PD3I
dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan setiap setiap bulan selambat-
lambatnya tanggal 9 bulan berikutnya, sedangkan dari Dinas Kesehatan ke Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur tanggal 15 bulan berikutnya. Adapun file berisi
kinerja dengan format Microsoft Excel dibuat oleh puskesmas.
2. Diseminasi Informasi

34
Informasi epidemiologi yang dihasilkan berupa laporan langsung dikirim
ke Provinsi Jawa Timur. Sedangkan diseminasi informasi epidemiologi
kepuskesmas dan lintas sektor tidak dilakukan.

4.3 Gambaran Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Bangkalan


Berdasarkan Pendekatan Atribut Surveilans
Gambaran Sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan berdasarkan pendekatan atribut surveilans diperoleh berdasarkan hasil
wawancara dengan instrumen pengumpulan. Atribut sistem surveilans Difteri
yang dievaluasi dalam laporan ini adalah symplisity, flexibility, kualitas data,
acceptability, sensitivity, timelines, representativeness dan stabilitas.
1 Symplisity (Kesedehanaan)
Kesederhanaan sistem surveilans mengacu baik struktur dan kemudahan
operasional. Klasifikasi kesederhanaan dalam setiap tahapan Surveilans
Difteri adalah sebagai berikut:
Komponen
No Kriteria Hasil Klasifikasi
Atribut
1. Kesedehanaan a. Input Penemuan Sederhana
1. Tidak kasus oleh
memerlukan Dinas
tenaga khusus Kesehatan
untuk Bangkalan dari
pengambilan segi input
Speciman difteri tergolong
2. Tidak mudah, karena
memerlukan tidak
pelatihan khusus memerlukan
bagi tenaga tenaga khusus
pengumpul data dalam
3. Tidak ada penemuan
pengulangan kasus,
pengisian data pengumpulan
dari formulir data,
yang berbeda pengambilan
4. Data dapat specimen serta
diperoleh secara data dapat
pasif diperoleh secara
pasif dari
b. Proses Rumah Sakit.

35
1. Terdapat juknis Sedangkan dari
atau pedoman sego proses
yang memuat terdapat
alur/ diagram juknis/pedokan
pencatatan dan yang digunakan,
pelaporan terdapat aplikasi
2. Aplikasi yang dalam
digunakan dalam pengolahan
pengolahan data datanya serta
tidak mengalami tidak
perubahan memerlukan
3. Tidak perlu kunjungan
melakukan ulang pada
kunjungan ulang sumber
pada sumber informasi.
informasi Proses
pelaporan
c. Output terbilang mudah
Pelaporan yang karena melalui
dilaksanakan tidak via Whatsapp
membutuhkan dan email dan
urutan pelaporan tidak melalui
vertikal yang proses
panjang (Puskemas pelaporan yang
 Dinkes panjang.
Kabupaten Dinkes
Provinsi
Kemenkes).

2 Flexibility
Kemampuan sistem surveilans dalam menyesuaikan dengan perubahan
informasi tanpa disertai peningkatan yang berarti akan biaya, tenaga, dan
waktu. Klasifikasi fleksibel dalam setiap tahapan Surveilans Difteri adalah
sebagai berikut:

Komponen
No Kriteria Hasil Klasifikasi
Atribut
1. Flexibility a. Input Sistem Fleksibel
1. Sudah pernah surveilans
mengalami Difteri di
perubahan sistem Kabupaten
surveilans Bangkalan
2. Apabila sistem pernah

36
surveilans sudah mengalami
pernah mengalami perubahan,
perubahan, sistem sebelumnya
tersebut tidak pecatatan dan
membutuhkan pelaporan
tambahan tenaga secara manual,
profesional khusus dan sekarang
3. Apabila sistem pencatatan dan
surveilans sudah pelaporan
pernah mengalami menggunakan
perubahan, sistem aplikasi serta
tersebut tidak dari segi tenaga,
membutuhkan waktu dan
perencanaan anggaran tidak
anggaran ulang membutuhkan
(menggunakan perencanaan
anggaran yang ulang.
sudah terencana)
b. Proses
1. Ananlisis data
dapat dilakukan
dengan
menggunakan
komputer dan/atau
manual
c. Output
Informasi dapat
akses oleh
pengguna
informasi.

3 Kualitas Data (Data Quality)


Sebuah sistem surveilans Difteri dikatakan berkualitas datanya bila
memenuhi kelengkapan data, sumber data dan cara pengolahan yang dapat
diukur dengan mengetahui persentase data yang kosong dan tidak jelas
pada form. Kualitas data dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan masih
dibawah standar (≥ 80 %), yakni Dinas Kesehatan Bangkalan hanya
menyumbang presentase kumulatif kualitas data dengan kriteria ketepatan
pengumpulan laporan sebesar 61.2%. Sedangkan kelengkapan dokumen
hanya 71.2% masih dibawah standar (≥ 90 %). Untuk pengolahan data

37
dilakukan setiap bulan serta data ter-backup di computer/email/media
penyimpanan elektronik lainnya seperti Whatsapp.

4 Acceptability
Penerimaan mencerminkan kesediaan individu dan organisasi untuk
berpartisipasi dalam sistem surveilans dengan kriteria, Para petugas mau
secara aktif berpartisipasi untuk mengumpulkan sampai pelaporan data,
setiap bulan rutin dalam menyampaikan informasi dan mendapatkan
kritikan dan rekomendasi dari stakeholder atau para pemangku
kepentingan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan tidak melibatkan
lintas sektor, dan hanya melibatkan Puskesmas, Dokter Praktek Swasta dan
Rumah Sakit. Serta dalam pelaksanaan system surveilans difteri tidak
pernah mendapat kritik maupun saran dari pihak manapun. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Dinas Kesehatan Bangkalan tidak Acceptability dalam
pelaksanaan Sistem Surveilans Difteri.

5 Sensitivity
Sensitivitas dari sistem surveilans dapat dilihat pada tingkat
pelaporan kasus, proporsi kasus penyakit atau kondisi kesehatan dapat
dievaluasi karena kemampuannya untuk mendeteksi dan memantau
kejadian kasus Difteri dan mengidentifikasi adanya KLB atau wabah
dengan kriteria, Sistem surveilans bisa menegakkan diagnosis suspek
difteri menggunakan gejala klinis dengan ciri: Terdapat Pseudomembran
putih keabuan, Stridor, Bull Neck. Penemuan kasus tinggi serta seluruh
kasus suspek yang terjaring dalam sistem surveilans dengan gejala klinis
difteri dinyatakan sebagai KLB.
Berdasarkan wawancara dengan petugas Dinas Kesehatan diperoleh hasil
bahwa system surveilans Difteri mampu mendeteksi kasus difteri sedini
mungkin hal ini didukung dengan penemuan kasus suspek yang memiliki
kriteria klinis difteri sebanyak 13 suspek

6 Positive Predivtive Value (PPV)

38
Prediksi nilai positif adalah proporsi orang yang diidentifikasi memiliki
kasus Difteri. Pemeriksaan Bakteriologis di dasarkan atas timbulnya
bakteri C. Dhiptheria pada penderita yang terjadi setelah infeksi.
Pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram secara langsung
dibawah mikroskop. Kriteria prediksi nilai positif apabila berdasarkan uji
laboratorium positif mengandung bakteri C. Dhiptheria dan kriteria berupa
perbandingan kasus yang terjaring (kasus suspek) dengan hasil konfirmasi
laboratorium lebih dari 75%. Berdasarkan hasil laporan epidemiologi dari
13 suspek difteri hanya terdapat 4 positf (30%) yang mengandung bakteri
C. Dhiptheria. Jika dibandingkan dengan kriteria yang ada maka dapat
disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan system surveilams Difteri belum
mampu menjaring suspek dengan tepat.
7 Timelines
Ketepatan waktu mencerminkan kecepatan atau penundaan antara langkah-
langkah dalam sistem surveilans Difteri. Ketepatan adalah kesamaan atau
kedekatan suatu hasil pengukuran dengan angka atau data yang sebenarnya
(true value / correct result). Kriteria pengukuran sebagai berikut:
Komponen
No Kriteria Hasil Klasifikasi
Atribut
1. Timelines a. Input - Penemuan Tidak
1. Setiap minggu kasus Tepat
petugas dinas dilakukan
kesehatan secara pasif
kabupaten/kota melalui Group
mengunjungi Whatsapp tidak
rumah sakit di dilakukan
wilayah kerjanya secara aktif
untuk mencari dan oleh petugas.
menemukan secara Setiap bulan
aktif kasus difteri dilakukan
(diintegrasikan pencatatan dan
Surveilans Difteri pelaporan dan
dan PD3I lainnya) rekapitulasi
b. Proses data dengan
1. Setiap bulan dibuat menggunakan
rekapitulasi jumlah format laporan
kasus yang integrasi PD3I
menggunakan
format laporan - Setiap minggu
integrasi PD3I tidak
39
2. Setiap minggu melakukan
dilakukan analisa analisis data
data untuk
mengetahui adanya - Tidak
peningkatan kasus melakukan
berdasarkan rekapitulasi dan
wilayah kejadian. penyajian data
3. Setiap bulan dibuat menurut
rekapitulasi dan variable
penyajian data epidemiologi.
menurut variable
epidemiologi. - Membuat
c. Output laporan
1. Laporan rekapitulasi
rekapitulasi jumlah jumlah kasus
kasus yang dengan format
menggunakan laporan
format laporan integrasi PD3I
integrasi PD3I di dan dilaporan
laporkan pada diatas tanggal
dinas kesehatan 15 setiap bulan
Provinsi maksimal
setiap tanggal 15 - Tidak
setiap bulannya melakukan
2. Memberikan hasil diseminasi
kajian minimal informasi
setiap 3 bulan
kepada pihak
terkait: Puskesmas,
Rumah Sakit,
Lintas Program
dan Sektor terkait

Berdasarkan Tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil wawancara yang


diperoleh yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan Belum tepat waktu
dimana dalam penemuan kasus dilakukan secara pasif melalui Group
Whatsapp tidak dilakukan secara aktif oleh petugas. Setiap bulan dilakukan
pencatatan dan pelaporan dan rekapitulasi data dengan menggunakan
format laporan integrasi PD3I namun pengumpulan dilakukan tidak tepat
waktu, berdasarkan data absensi laporan dari puskesmas yang hanya
mencapai 61.2% dibawah standar ketepatan pelaporan puskesmas sebesar ≥
80 %, sehingga turut mempengaruhi ketepatan pelaporan ke Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Selain itu petugas surveilans Dinas

40
Kesehatan Bangkalan setiap minggu tidak melakukan analisis data serta
tidak melakukan rekapitulasi dan penyajian data menurut variable
epidemiologi.

8 Representati (Representativeness)
Sebuah sistem surveilans Difteri dikatakan repersentatif bila mampu
menguraikan dengan jelas kejadian KLB Difteri dari waktu ke waktu dan
distribusinya dalam populasi menurut tempat dan orang, dengan kriteria
data yang dilaporkan di pelayanan kesehatan (yankes) sama dengan data
yang ada dilapangan (crosscheck) sesuai variabel epidemiologi. Berikut
adalah contoh rekapan Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Bnagkalan:

Gambar diatas menunjukkan bahwa rekapitulasi penderita Difteri sudah


menunjukkan variabel orang (umur dan jenis kelamin), tempat (alamat tempat
tinggal) namun belum menunjukan variabel waktu (tanggal MRS). Gambar diatas
juga memperlihatkan data status imunisasi. Jadi dapat disimpulkan dalam
penyajian data di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan belum menunjukkan
variabel epidemiologi sehingga tidak representative

1 Stabilitas

41
Sebuah sitem surveilans Difteri dikatakan stabil apabila system mampu
mengumpulkan, mengelola, menyediakan data dengan benar tanpa kegagalan dan
kemampuan sintem untuk tetap beroperasi saat dibutuhkan, dengan kriteria saat
software bermasalah kegiatan surveilaans dapat terbackup secara manual.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas surveilans difteri diperoleh
informasi bahwa walaupun pernah mengalami perubahan system, saran
penunjang dalam sistem tetap bisa berjalan dengan baik dan terkelola dan
tersimpan dengan baik tanpa kecatatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
sistem surveilans di Dinas Kesehatan Bangkalan tetap dapat berjalan stabil.

42
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berikut adalah kesimpulan pada evaluasi sistem Surveilans Difteri di Dinas


Kesehatan Kabupaten Bangkalan pada evaluasi komponen sistem maupun atribut:
1) Sistem Surveilans Difteri berdasarkan input sumberdaya sudah terpenuhi dari
segi jumlah pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan.
2) Sistem Surveilans Difteri berdasarkan input money di Dinas Kesehatan
Kabupaten Bangkalan sudah tercukupi.
3) Sistem Surveilans Difteri berdasarkan input materials/machines di Dinas
Kesehatan Kabupaten Kediri belum seluruhnya tersedia, seperti mobil
akomodasi dan seperangkat komputer
4) Sistem Surveilans Difteri berdasarkan input methods sudah terpenuhi di Dinas
Kesehatan, belum tersedia pedoman terkait Surveilans Difteri, jenis data yang
digunakan pada sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan dan Puskesmas adalah data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data
yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder.
5) Sistem Surveilans Difteri berdasarkan proses yaitu pada pengumpulan data di
Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan dilakukan secara aktif maupun pasif.
Pada konfirmasi kasus, sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan
Kabupaten Bangkalan telah melakukan pembenaran informasi pada sumber
data (dokter, petugas surveilans, masyarakat). Pengolahan data sudah diolah
pada sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan.
6) Ouput pada sistem Surveilans Difteri meliputi informasi epidemiologi yang
dihasilkan, penyajian data, indikator peforma surveilans dan diseminasi
informasi.
7) Informasi epidemiologi sistem Surveilans Difteri Dinas Kesehatan Kabupaten
Bangkalan yang dihasilkan belum mencakup variabel epidemiologi. Informasi
epidemiologi dapat dilihat dari penyajian data yaitu data yang dihasilkan sudah
dalam bentuk tabel dan grafik.

43
8) Peforma Surveilans Difteri di Kabupaten Bangkalan meliputi kelengkapan
laporan (71,2%), ketepatan laporan (62,1%), investigasi adekuat (100%),
specimen collection rate (100%). Target nasional (80%) belum telah terpenuhi.
9) Diseminasi informasi terkait hasil kajian Surveilans Difteri ke puskesmas dan
lintas sektor tidak dilakukan
10) Atribut kesederhanaan (simplicity) pada sistem Surveilans Difteri di Dinas
Kesehatan Kabupaten Kediri dilihat dari penemuan kasus, penyediaan
dukungan logistik, pengiriman spesimen, pencatatan dan pelaporan serta
umpan balik tergolong sederhana.
11) Atribut akseptabilitas (acceptability) pada sistem Surveilans Difteri terkait
pastisipasi dalam penemuan kasus, penyediaan logistik, pencatatan dan
pelaporan dan umpan balik tergolong akseptabel di Dinas Kesehatan maupun
di 13 Puskesmas di Kabupaten Kediri. Namun sistem Surveilans Difteri tidak
akseptabel pada partisipasi dalam pengambilan dan pengiriman spesimen di
Puskesmas dan analisis data baik di 13 Puskesmas maupun di Dinas
Kesehatan. Kabupaten Kediri.
12) Atribut kerepresentatifan (representativeness) sistem Surveilans Difteri di
Dinas Kesehatan. Kabupaten Kediri dilihat dari rekapitulasi dan penyajian
data yang sudah mencakup variabel epidemiologi, jadi tergolong
representatif.
13) Atribut ketepatan waktu sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan.
Kabupaten Kediri meliputi pelacakan kasus dan pelaporan sudah tepat waktu.
Namun pada penemuan kasus, analisis data dan umpan balik di Dinas
Kesehatan tergolong tidak tepat waktu.
14) Atribut sensitivitas pada sistem Surveilans Difteri di Dinas Kesehatan.
Kabupaten Kediri tergolong sensitif.
15) Atribut NPP pada sistem surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri
tergolong rendah yaitu 33,3%.
16) Atribut kualitas data pada sistem surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten
Kediri tergolong tinggi.
17) Atribut stabilitas data pada sistem surveilans di Dinas Kesehatan. Kabupaten
Kediri tergolong tinggi pada komputer khusus petugas surveilans di Dinas

44
Kesehatan, jaringan internet, media visualisasi dan sistem error. Namun
stabilitas data tergolong rendah pada kapasitas petugas surveilans di
Puskesmas dan pada komputer khusus untuk petugas surveilans Puskesmas.
5.2 Saran
Berikut adalah saran dari hasil evaluasi sistem Surveilans Difteri di Dinas
Kesehatan Kabupaten Bangkalan:
1) Meningkatkan kapasitas petugas surveilans di Puskesmas maupun di Dinas
Kesehatan mengenai sistem Surveilans Difteri terutama pada komponen sistem
surveilans mulai dari pengumpulan data, kompilasi data, analisis dan
interpretasi data agar sesuai dengan prosedur sistem surveilans.
2) Melakukan pelatihan pengambilan spesimen Difteri pada petugas laboratorium
Puskesmas, dengan memberikan kesempatan satu per satu petugas
laboratorium untuk pengambilan spesimen. Kapasitas petugas laboratorium
Puskesmas pada pengambilan sampel diperlukan agar spesimen yang diambil
tepat, tanpa perlu menunggu lama petugas laboratorium dari Dinas Kesehatan.
3) Melakukan monitoring dan pengarahan kepada petugas surveilans di
puskesmas yang masih memiliki kendala dalam pengolahan dan analisis data.
4) Mengupayakan terpenuhinya sarana sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor
483/MENKES/SK/IV/2007
5) Mengupayakan adanya aplikasi khusus pengolah data surveilans Difteri yang
dapat terintegasi, selain Microsoft Excel dan Epi Info yang telah digunakan
guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan surveilans Difteri.

45
DAFTAR PUSTAKA

Aguirre, 2006. Study Design for Program Evaluation. JBS International, Inc.

Byard, R. W. 2013. The Strangling Angel of Children. Journal of Forensic and


Legal Medicine, Volume 20(2), p 65–68.

CDC. 2001. MMWR Updated Guidelines for Evaluating Public Health System
Surveillance Systems. Atlanta: US Department of Health and Human
Services CDC

CDC, 2015. Diphtheria. In Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable


Disease. 13th ed. Washington DC: US Department of Health and Human
Services.
Chin J. 2000. Manual Pemberantasan PenyakitMenular. Jakarta: CV. Infomedika
Depkes, RI. 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1116/MENKES.SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Jakarta: Menteri Kesehatan RI

DINKES, 2018. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2017. Surabaya: Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
DINKES, 2018. Profil Kesehatan Kabupaten Bangkalan 2017. Bangkalan: Dinas
Kesehatan Kabupaten Bangkalan.
DINKES, 2018. Rekapitulasi Data Difteri Kabupaten Bangkalan 2018.
Bangkalan: Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan.
Gomes, D.L., et al 2009. Corynebacterium Diphtheriaeas is an Emerging
Pathogen In Nephrostomy Catheter-Related Infection: Evaluation Of Traits
Associated with Bacterial Virulence. Journal of Medical Microbiolgy,
Volume 58(3), p.1419-1427.
Hadfield, T.L., et al. 2010. The Pathology of Dhiptheria. Journal of Infectious
Disease. Volume 180(2), p. 116-120.
Halperin, W., Edward, L.B. 1992. Public Health Surveillance. United States:
Harvard School of Public Health.
Hidayah, A.C., Arif, H. 2007. Surveilans Epidemiologi. Surabaya : FKM Unair.

46
KEMENKES, R.I, 2012. Data Surveilans dan KLB 2011. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
KEMENKES, R.I, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.45
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Berita Negara RI
Tahun 2010. Jakarta.
KEMENKES, R.I, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.12
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Berita Negara RI Tahun
2017. Jakarta.
KEMENKES, R.I, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.12
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Berita Negara RI Tahun
2017. Jakarta.
KEMENKES, R.I., 2018. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017 Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Muninjaya, N.A. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC.

Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka cipta

Notoatmodjo. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta

NICD, 2018. Diphtheria: NICD Recommendation for Diagnosis, Management


and Public Health Response 3.0. Outbreak Response Division Of Public
Health Surveillance And Response Centre For Emerging And Zoonotic
Diseases: NICD.
Palupi, Yanuar Tri. 2015. Evaluasi Input Sistem Surveilans Difteri Di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. Undergraduated Thesis.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Ryan, K. J., & Ray, C. G. 2004. Sherris Medical Microbiology -An Introduction
to Infectious Diseases (4th ed.). The McGraw-Hill Companies
Supriyanto. 2003. Perencanaan dan Evaluasi Buku Jilid Dua Administrasi
Kesehatan Masyarakat. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga.
Teutsch, S.M., Elliot, C. 2000. Principles and Practice of Public Health
Surveillance Second Edition. Madison Aveneu, New york: Oxford University
Press.
47
WHO, 2018. Reported Cases of Selected Vaccine Preventable Diseases (VPDs).
Jenewa: World Helath Organization.
Zasada, A. A. 2015. Cornybacterium Diphtheriae Infections Currently And In The
Past. Journal of Przeglad Epidemiology. Volume 69(3), p. 439–444

48

Anda mungkin juga menyukai