Sejarah Visual Dalam Pendidikan Sejarah PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

Sejarah Visual dalam Pendidikan Sejarah

Oleh Reiza D. Dienaputra

Pengantar

Tanpa bisa dihindari, sebagai implikasi dari perkembangan teknologi


informasi yang bergerak demikian cepat dan masif, saat ini masyarakat dunia,
termasuk bangsa Indonesia di dalamnya, tengah bergerak dan menjalani migrasi dari
peradaban kertas (paper culture) menuju peradaban tanpa kertas atau peradaban
nirketas (paperless culture). Migrasi peradaban yang semakin hari semakin
memarginalkan peranan kertas sebagai media tulis menulis, tampak mudah diamati
dari semakin banyaknya masyarakat yang tidak lagi menggunakan kertas sebagai
media tulis. Simak saja, di bidang komunikasi, kertas sudah semakin jarang
digunakan sebagai media korespondensi. PT Pos Indonesia melalui jaringan kantor
pos yang dimilikinya di hampir seluruh wilayah Indonesia, yang sebelumnya begitu
merajai dunia komunikasi, semakin hari tampak semakin sulit saja untuk memenuhi
jumlah target pelanggannya agar bisa tetap bertahan hidup. Bahkan, kantor
telegram sudah lama namanya tidak terdengar lagi.
Dalam dunia jurnalistik, baik di dalam maupun di luar negeri, semakin hari
semakin banyak mass media yang ditinggalkan pelanggannya dan terpaksa
mengakhiri terbitannya. Koran Tempo Minggu berhenti terbit sejak 11 Oktober
2015,Koran berbahasa Inggris Jakarta Globe menetapkan edisi tanggal 15 Desember
2015 sebagai edisi terakhirnya, harian umum Sinar Harapan secara resmi
menjadikan edisi 31 Desember 2015 sebagai edisi terakhirnya, Koran Sindo
mengakhiri terbitannya sejak 29 Juni 2016, demikian juga majalah remaja yang
legendaris Hai, menghentikan terbitannya sejak 1 Juni 2017,
(www.benarnews.org/indonesian/berita/masib-media-cetak-indonesia-
12312015145735.html, 15 November 2015; www.tentik.com/sedih-inilah-10-majalah-
dan-koran-yang-sudah-tidak-terbit-lagi/, 18 November 2018;
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/07/18590671/berapa.lama.lagi.usia.kora
n.di.indonesia, 18 November 2018, www.rappler.com/indonesia/116033-kejayaan-
internet-paksa-jakarta-globe-tutup, 18 Desember 2018). Di luar itu, tidak sedikit pula
surat kabar yang masih berupaya bertahan dengan edisi cetak akan tetapi terus
mengalami penurunan oplah dan kini berada dalam ancaman serius untuk sekedar
bisa bertahan hidup. Sebagian besar mass media tersebut kemudian mengubah
bentuknya, dari edisi cetak ke edisi online atau menggabungkan kedua edisi
sekaligus, baik edisi cetak maupun online, seperti misal dilakukan surat kabar
Republika (republika.co.id), Kompas (kompas.com), Pikiran Rakyat (pikiran-
rakyat.com), Jawa Pos (jawapos.com), dan Kedaulatan Rakyat (krjogja.com).
Fenomena terkuburnya koran-koran konvensional tampaknya tidak akan
berhenti begitu saja akan tetapi akan terus berlangsung, terlebih di era
perkembangan teknologi yang dikenal dengan Revolusi Industri 4.0., yang
menyinergikan aspek fisik, digital, dan biologi, seperti, pemanfaatan kecerdasan
buatan (artificial intelligence), robotika, dan kemampuan komputer belajar dari data
(machine learning), yang di dalamnya mencakup pemanfaatan data skala besar (big
data), teknik penyimpanan data di awan (cloud computing), serta konektivitas
internet (internet of things). (Tempo, edisi 12-18 November 2018: 73). Betapa luar
biasanya implikasi yang akan ditimbulkan Revolusi Industri 4.0, bisa jadi bukan hanya
sekedar akan menguatkan migrasi peradaban menuju paperless culture akan tetapi
akan mendatangkan ancaman serius bagi banyak profesi pekerjaan, termasuk di
dalamnya profesi sejarawan.
Migrasi peradaban dari paper culture menuju paperless culture juga terlihat
dari angka pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang terus memperlihatkan
peningkatan yang signifikan dalam empat tahun terakhir. Bila pada tahun 2014,
pengguna internet di Indonesia baru mencapai 88,1 juta orang, maka pada tahun
2015 jumlahnya meningkat menjadi 110,2 juta orang. Satu tahun kemudian jumlah
pengguna internet kembali meningkat menjadi 132,7 juta orang dan pada tahun 2017
angkanya menyentuh 143,25 juta atau 54,68 persen dari jumlah total peduduk
Indonesia. Adapun perangkat yang digunakan untuk mengakses internet, sebagian
besar atau sebanyak 44,16 persen menggunakan handphone, 39,28 persen
menggunakan handphone sekaligus laptop, 4,49 persen menggunakan laptop, dan
sisanya sebanyak 12,07 persen menggunakan perangkat lainnya. (Majalah Tempo,
Edisi 12-18 November 2018: 76-77).

Mengenali Sejarah Visual


Termarginalisasikannya kertas sebagai media tulis, bagi ilmu sejarah bisa
dipastikan akan menimbulkan masalah serius berupa semakin minimnya sumber
tertulis yang ditulis di atas media kertas atau bahkan suatu saat akan segera
memasuki suatu masa dimana sumber tertulis di atas media kertas tidak bisa
diketemukan lagi. Berkebalikan dengan situasi tersebut, kini ilmu sejarah
dihadapkan dengan situasi baru berupa keberadaan sumber tetulis di atas media
digital dalam jumlah yang hampir tak terhingga. Disrupsi sejarah yang berkaitan
dengan sumber sejarah ini menjadi tantangan tersendiri bagi ilmu sejarah untuk
dapat tetap mempertahankan eksistensinya. Kecerdasan ilmu sejarah dalam
menyikapi perkembangan terbaru ini akan turut menentukan nasib ilmu sejarah di
masa depan (Dienaputra, 2018).
Beriringan dengan terus berkurangnya sumber sejarah di atas media kertas,
ilmu sejarah juga dihadapkan pada suatu tantangan tentang bagaimana menjadikan
ilmu sejarah tetap berguna bagi masyarakat, kini dan terlebih lagi ke depan.
Tegasnya bagaimana agar sejarah sebagai kisah dapat tetap menarik bagi
masyarakat sehingga tetap mampu memberikan inspirasi bagi masa kini dan masa
yang akan datang. Dalam kaitan ini, tantangan terbesar adalah bagaimana
menjadikan karya-karya sejarah tetap menarik bagi para pegiat, peminat, dan
terlebih masyarakat pada umumnya. Suatu bentuk historiografi yang tentunya
mampu beradaptasi dengan kebutuhan generasi milenial dan generasi digital, yang
semakin hari semakin ramah dengan bahasa visual dan bukan lagi bahasa tekstual,
suatu masyarakat yang tidak lagi ramah dengan media kertas akan tetapi ramah
dengan media digital. Jawaban tentang historiografi yang akan mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat generasi digital tersebut tidak lain sejarah visual.
Begitu banyak pengertian tentang sejarah. Untuk menyebut beberapa di
antaranya, Frederick dan Soeroto (1982) mengatakan bahwa dalam artinya yang
paling luas, sejarah bukanlah masa lampau tetapi sebuah proses pemikiran atau
produk dari proses pemikiran tersebut (di atas medium kertas, film, dan sebagainya)
sehingga masa lampau dapat dipahami. Dengan kata lain, sejarah adalah tafsiran,
suatu upaya pemikiran manusia dengan kekuatan dan kelemahannya. Kartodirdjo
(1992) memberi pengertian sejarah sebagai pelbagai bentuk penggambaran
pengalaman kolektif di masa lampau. Carr (1987) memberi pengertian sejarah
sebagai “a continuous process of interaction between the historian and his facts, an
unending dialogue between the present and the past”. Aron (dalam Sjamsuddin, 2007)
memberi arti sejarah sebagai kajian tentang masa lalu manusia. Sementara,
Robinson (dalam Sjamsuddin, 2007) menyatakan bahwa dalam arti kata yang luas,
sejarah adalah semua yang kita ketahui tentang setiap hal yang pernah manusia
lakukan, pikirkan, atau rasakan.
Bertitik tolak dari pengertian dan definisi sejarah yang diberikan para pakar
tersebut, pada akhirnya berbicara tentang sejarah pasti berbicara tentang dua hal.
Pertama, berbicara tentang peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di masa lalu.
Kedua, berbicara tentang manusia sebagai aktor utama peristiwa sejarah. Atas dasar
kedua hal tersebut maka secara sederhana sejarah dapat dipahami sebagai berbagai
peristiwa yang pernah (benar-benar) terjadi di masa lalu, yang menempatkan
manusia sebagai aktor utamanya.
Visual dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat dilihat dengan indra
penglihatan (mata) atau berdasarkan penglihatan. (Kridalaksana, 1995). Oleh
karenanya, visual selalu berkaitan dengan penglihatan. Segala sesuatu yang dapat
dilihat dengan mata, dinamakan visual. Bahkan Barnard (1998) secara tegas
memberikan pengertian visual sebagai everything that can be seen. Dengan
demikian, meminjam definisi Barnard, visual adalah segala sesuatu yang dapat
dilihat secara kasat mata oleh indera penglihatan. Dalam pengertian sempit, visual
sendiri dapat dimaknai sebagai gambar bergerak (moving images) dan gambar tidak
bergerak (still visuals). Berangkat dari pemahaman tersebut, sejarah visual dalam
kaitannya dengan sejarah sebagai kisah dapat dipahami sebagai hasil rekonstruksi
atas peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau, yang menempatkan
manusia sebagai aktor utamanya, dalam bentuk gambar bergerak (moving images)
dan gambar tidak bergerak (still visuals).
Sejalan dengan pengertian tersebut maka agar sejarah visual dapat
terekonstruksi sebagai sebuah kisah sejarah dalam bentuk visual, baik dalam bentuk
gambar bergerak ataupun gambar tidak bergerak, maka sumber sejarah yang
digunakan juga haruslah berupa sumber visual atau setidaknya menjadikan sumber
visual sebagai sumber utama rekonstruksi di sampimg sumber-sumber lainnya, baik
sumber tertulis, sumber benda, maupun sumber lisan. Sumber visual sebagai media
rekonstruksi sejarah visual secara umum dapat dibagi dalam dua bagian besar, yakni
sumber visual berupa gambar bergerak dan sumber visual berupa gambar tidak
bergerak. Sumber visual berupa gambar bergerak di antaranya berupa film
dokumenter, film hasil wawancara sejarah visual, film dokumentasi, film sejarah, film
animasi, film-film berita televisi, dan film-film tentang hiburan. Sumber visual berupa
gambar tidak bergerak, diantaranya berupa foto, poster, peta, dan lukisan.

Membangun Mata Kuliah Sejarah Visual


Upaya untuk menjadikan ilmu sejarah tetap ramah dengan derap
perkembangan teknologi iniformasi dengan membangun kisah sejarah dalam
konstruk sejarah visual pada akhirnya jelas haruslah sesegera mungkin
ditransmisikan kepada para mahasiswa di bangku kuliah, tidak hanya program
sarjana akan tetapi mahasiswa program pascasarjana. Pemahaman tentang
bangunan sejarah visual juga harus sesegera mungkin pula diberikan kepada para
pegiat dan peminat sejarah serta masyarakat pada umumnya. Khusus untuk para
mahasiswa, hal ini memiliki makna sangat strategis karena merekalah yang kelak
akan memikul tanggung jawab untuk menjadikan ilmu sejarah ini tetap bertahan
atau sebaliknya, dilindas oleh perkembangan zaman. Membangun sejarah visual
sebagai mata kuliah mandiri tentu bukanlah merupakan hal mudah. Di samping
dihadapkan pada realitas masih cukup banyaknya sejarawan yang belum ramah
dengan sejarah visual, atau bahkan alergi dengan sejarah visual, juga secara
metodologi tidak terpungkiri masih terdapat beberapa masalah yang perlu
dituntaskan. Namun demikian, bila menunggu semuanya menjadi siap apalagi
sempurna dikhawatirkan akan semakin menjadikan ilmu sejarah ketinggalan kereta
di dalam menghadapi pergerakan teknologi informasi yang terus bergerak teramat
dinamis. Filosofi proklamasi kemerdekaan pada akhirnya harus digunakan untuk
menyegerakan mengenalkan sejarah visual kepada para mahasiswa, pegiat sejarah,
peminat sejarah, dan masyarakat pada umumnya. Selama masih ada tiang bambu
tidak perlu menunggu tiang besi untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Selama
ada jarum dan benang yang bisa digunakan untuk menjahit tidaklah perlu menunggu
adanya mesin jahit untuk membuat bendera merah putih.
Berangkat dari filosofi itulah dan dengan dukungan kuat pimpinan program
studi dan pimpinan Fakultas, pada tahun akademik 2012/2013, Mata Kuliah Sejarah
Visual (MKSV) mulai diperkenalkan sebagai mata kuliah mandiri pada Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Seiring dengan
keluarnya Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tetang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia serta Permendikbud No. 49 Tahun 2014 yang kemudian diubah menjadi
Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015, dilakukan penataan terhadap Garis-Garis
Besar Program Pembelajaran (GBPP) yang telah dibuat menjadi Rencana
Pembelajaran Semester (RPS) dengan capaian pembelajaran yang sesuai dengan
kualifikasi level 6 sebagaimana ditentukan regulasi untuk program sarjana. Sesuai
regulasi pula, dengan asumsi bahwa salah satu profil yang dihasilkan Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran adalah Sejarawan Digital
atau sejarawan yang memiliki kapasitas untuk mengelola sumber-sumber sejarah
berbasis digital dan menyajikannya menjadi sejarah visual, maka disusunlah capaian
pembelajaran berbasis 4 domain, yakni Sikap, Pengetahuan, Keterampilan Umum,
dan Keterampilan Khusus, serta bahan kajian berbasis capaian pembelajaran.
Dari hasil pengolahan tersebut, RPS Mata Kuliah menetapkan bahwa capaian
pembelajaran MKSV adalah kemampuan untuk menjelaskan sejarah visual,
mengolah sumber visual, serta merekonstruksi sejarah sebagai peristiwa menjadi
sejarah sebagai kisah dalam konstruk sejarah visual. Mengingat keterampilan khusus
yang hendak dicapai oleh mata kuliah ini adalah kemampuan untuk merekonstruksi
sejarah visual maka mata kuliah ini terbagi dalam kuliah teori dan praktek. Kuliah
teori yang berlangsung dalam ruang kuliah dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman kepada para mahasiswa tentang konsep dan metode yang berkaitan
dengan sejarah visual, sementara materi praktikum diarahkan pada upaya untuk
membekali mahasiswa agar memiliki kemampuan (keterampilan khusus) atau
softskills untuk membuat sejarah visual dalam berbagai model, seperti timeline,
komik sejarah, wawancara sejarah visual, hingga film sejarah, film dokumenter, film
dokumentasi, dan film animasi.
Kemampuan atau keterampilan khusus yang hendak dicapai melalui MKSV
jelas tidak mungkin dilakukan tanpa upaya kolaborasi dengan disiplin ilmu lain.
Kolaborasi tidak saja didasarkan pada kebutuhan untuk membantu meningkatkan
kualitas kemampuan dalam melakukan kritik terhadap sumber visual, akan tetapi
juga berbasis pada kebutuhan untuk memberikan kemampuan dalam melakukan
rekonstruksi sejarah visual. Melalui pengamatan yang cukup panjang, pilihan pun
jatuh pada disiplin ilmu komunikasi, khususnya berkaitan dengan kemampuan
bidang fotografi dan video, ilmu seni rupa dan desain, khususnya desain komunikasi
visial, berkaitan dengan metodologi visual, dan teknologi informatika, berkaitan
dengan kebutuhan untuk melakukan kritik terhadap sumber visual, baik berupa
gambar tidak bergerak dan terlebih gambar bergerak. Kritik sumber visual tersebut
di antaranya dilakukan melalui pendekatan yang disebut dengan digital forensik.
Permasalahan muncul, untuk mencari praktisi yang tidak saja memiliki
kompetensi sesuai kebutuhan akan tetapi juga memiliki kemauan untuk
berkolaborasi dengan disiplin ilmu sejarah dan memberikan kontribusi bagi ilmu
sejarah. Setelah berjalan kurang lebih empat tahun, mata kuliah Sejarah Visual
semakin menemukan bentuknya. Kini, kegiatan perkuliahan tatap muka
berlangsung di kampus Unpad sementara kegiatan praktek berlangsung di Bandung
Creative Hub (BCH) bekerja sama dengan komunitas kreatif Bandung. Dalam upaya
membangun kompetensi mahasiswa dalam melakukan kritik dan juga rekonstruksi
sejarah visual, disiapkan tujuh materi praktikum. Dengan demikian, RPS MKSV
secara lengkap mencakup 7 bahan kajian dan 7 materi praktikum. Ketujuh bahan
kajian MKSV, meliputi, pertama, Dinamika Perkembangan Studi Sejarah. Kedua,
Sejarah Visual dan Sejarah Konvensional. Ketiga, Mengenali Sumber Visual.
Keempat, Strategi Penggalian Sumber Visual. Kelima, Kritik Sumber Visual.
Keenam, Rekonstruksi Sejarah Visual. Ketujuh, Model Rekonstruksi Sejarah Visual.
Sementara itu, tujuh materi praktikum MKSV, terdiri dari, pertama, Menonton Karya
Sejarah Visual. Kedua, Bedah Karya Sejarah Visual. Ketiga, Kritik Foto dan Video.
Keempat, Wawancara Sejarah Visual dan Studi Media. Kelima, Produksi Sumber
Sejarah Visual. Keenam, Produksi Karya Sejarah Visual. Ketujuh, Eksibisi Karya
Sejarah Visual.
Dalam kaitannya dengan perkembangan Sejarah Visual dalam pendidikan
sejarah, tentu sangat layak dikedepankan apa yang selama lebih dari dua dasawarsa
atau tepatnya sejak tahun 1994 dikembangkan oleh Shoah Foundation Institute for
Visual History and Education of the University of Southern California (USC Shoah
Foundation Institute for Visual History and Education). Institusi yang didirikan oleh
Steven Spielberg, satu tahun setelah ia memperoleh penghargaan Academy Award
untuk filmnya yang berjudul Schindler's List, dalam perkembangannya kemudian
berhasil mengumpulkan setidaknya 52.000 video testimoni dari para korban
bencana kemanusiaan (genocides, holocaust), yang berhasil dikumpulkan dari 56
negara, dengan menggunakan 32 bahasa. Negara-negara tersebut tersebar di lima
benua, antara lain, Argentina, Ekuador, Kolombia, Peru, Australia, Austria, Polandia,
Belarus, Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, Ekuador, Perancis, Georgia, Israel, Afrika
Selatan, dan Jepang. (https://sfi.usc.edu/vha, 18 November 2018).
Shoah Foundation juga berhasil mengumpulkan 65 video testimoni dari
korban sekaligus saksi peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994.
Video-video testimoni tersebut ada yang disampaikan dalam bahasa Inggris dan ada
pula yang disampaikan dalam bahasa setempat, yaitu bahasa Kinyarwanda. Dalam
perkembangan paling mutakhir, Shoah Foundation juga melengkapi koleksinya
dengan video-video testimoni dari korban genosida di Kamboja, Armenia, Nanjing,
dan Guatemala. Video-video testimoni korban genosida di Kamboja semasa rezim
Khmer Merah (1975-1979) dibuat oleh Documentation Center of Cambodia (DC-Cam),
setelah terlebih dahulu diadakan pelatihan (internship program) terhadap beberapa
staf DC-Cam selama kurang lebih tiga bulan. Di Armenia, pembuatan video testimoni
korban genosida tahun 1915 yang merupakan peristiwa genosida pertama di abad
ke-20, dilakukan melalui kerjasama dengan The Armenian Film Foundation, yang
dibuat April 2010. (http://sfi.usc.edu/collections, 16 November 2018). Di Nanjing,
pembuatan video korban pembantaian Nanjing (Nanjing Massacre) tahun 1937 yang
juga dikenal dengan peristiwa Pemerkosaan Nanjing (Rape of Nanjing) dilakukan
melalui kerjasama dengan Nanjing Massacre Memorial Hall. Di Guatemala,
pembuatan video korban genosida dilakukan melalui kerjasama dengan La
Fundación de Antropología Forense de Guatemala (FAFG), sebuah organisasi forensik
di Guatemala. Peristiwa genosida di Guatemala terjadi selama berlangsungnya
perang sipil sejak awal tahun 1980-an hingga tahun 1996. Dalam peristiwa tersebut,
tercatat sekitar 200.000 orang meninggal. (https://sfi.usc.edu/collections, 18
November 2018 2018).
Sejarah Visual, dalam bentuk video testimoni, yang berhasil dikumpulkan
Shoah Foundation tersebut kini secara aktif diakses oleh setidaknya 326 institusi yang
ada di Amerika, Eropa, dan Australia. Beberapa perguruan tinggi terkemuka, seperti
Colombia University,Cornell University, University of Melbourne, University of
Michigan, University of California, Ohio State University, Stanford University,
University of Minnesota, Yale University, Monash University, University of Toronto, dan
Freie Universitat Berlin menjadi bagian dari jaringan pengguna arsip sejarah visual
yang dimiliki Shoah Foundation.( http://sfi.usc.edu/locator/collections_sites, 20 Juni
2018). Lebih dari itu, untuk membangun kesadaran para anak muda dalam
membangun Sejarah Visual, dalam salah satu program pendidikannya, Shoah
Foundation mengadakan kompetisi pembuatan film pendek berbasis video
testimoni bagi para pelajar (https://sfi.usc.edu/education/student-opportunities, 18
November 2018). Sementara untuk para guru yang menggunakan video testimoni
sebagai media pembelajaran, Shoah Foundation menjembataninya melalui program
Teacher Innovation Network. Jaringan ini menghubungkan guru-guru dari berbagai
belahan dunia (https://sfi.usc.edu/education/tin, 18 November 2018).Tidak kalah
penting, Shoah juga menyediakan berbagai program menarik bagi para guru, mulai
dari pembukaan akses bagi materi pembelajaran berbasis film dokumenter atau
video testimoni hingga program pengembangan profesional para guru
(https://sfi.usc.edu/teach_and_learn/for_educators, 18 November 2018).
Sejarah Visual juga pada dasarnya telah menjadi model penyajian pameran
tetap di beberapa museum, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagai contoh, di
dalam negeri, Museum Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung menjadi contoh
terbaik tentang bagaimana Sejarah Visual, baik dalam bentuk gambar bergerak
maupun gambar tidak bergerak, didesain sedemikian menarik menjadi kekuatan
pameran tetap di Museum. Di luar negeri, lebih banyak lagi museum yang
menjadikan Sejarah Visual sebagai materi pameran tetapnya. Dua di antaranya
adalah museum yang terdapat di Jepang, yakni, pertama, Hiroshima Peace Memorial
Museum, yang terdapat di Kota Hiroshima, Prefektur Hiroshima. Kedua, Museum
Doraemon, yang terdapat di Kota Kawasaki, Prefektur Kanagawa.
Di Hiroshima Peace Memorial Museum, Sejarah Visual tidak saja tertampilkan
dalam bentuk gambar bergerak akan tetapi dalam bentuk gambar tidak bergerak.
Bahkan, melalui penggunaan teknologi informasi yang sangat canggih peristiwa
pengeboman kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, pukul 8.15 oleh pasukan
Sekutu dapat direkonstruksi sedemikian menarik seakan mendekati kejadian yang
sebenarnya. Tidak jauh berbeda dengan Museum Hiroshima, Museum Doraemon
juga menjadikan Sejarah Visual sebagai materi pameran tetapnya. Melalui sajian
Sejarah Visual, museum ini memberikan informasi lengkap tentang karikaturis
Jepang yang kini melegenda, yakni Fujiko F. Fujio, beserta karya-karyanya,
khususnya Doraemon.
Gambar 1 Salah satu sudut pameran tetap Hiroshima
Peace Memorial Museum, yang menyajikan
Sejarah Visual seputar peristiwa
pengeboman Hiroshima oleh tentara
Sekutu pada tanggal 6 Agustus 1945,
pukul 8.15 AM. Sejarah visual sebagai
materi utama pameran tetap museum
mulai diperkenalkan sejak April 2017.
(Dokumentasi Penulis, 18 November 2018)

Gambar 2 Monitor dengan teknologi layar sentuh


juga disediakan oleh Hiroshima Peace
Memorial Museum untuk memberikan
informasi yang komprehensif dalam
bentuk Sejarah Visual, sebelum dan
sesudah terjadinya peristiwa pengeboman
Hiroshima oleh tentara Sekutu pada
tanggal 6 Agustus 1945, pukul 8.15 AM.
(Dokumentasi Penulis, 18 November 2018)

Di Indonesia sendiri, upaya untuk mengembangkan Sejarah Visual dalam


pendidikan sejarah tampaknya sudah pula dilakukan oleh para guru pada jenjang
pendidikan Sekolah Menengah Atas. Hal ini setidaknya terlihat dari materi tugas
yang diberikan para guru kepada siswanya berupa pembuatan video tentang sejarah
sesuai materi bahasan. Di beberapa perguruan tinggi yang memiliki program studi
sejarah atau pendidikan sejarah di Indonesia, besar kemungkinan juga telah banyak
dilakukan upaya-upaya untuk mengembangkan Sejarah Visual. Akan tetapi
bagaimana implementasinya di tiap perguruan tinggi, melalui forum Seminar
Sejarah Nasional ini, mudah-mudahan dapat dipetakan lebih jelas sehingga dapat
dilakukan kolaborasi bagi penguatan pembelajaran tentang Sejarah Visual. Pada
akhirnya, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa upaya untuk mengembangkan Sejarah
Visual haruslah menjadi perhatian sejarawan, pegiat sejarah dan peminat sejarah.
Melalui Sejarah Visual lah, ruang bagi ilmu sejatah untuk dapat tetap bertahan di
tengah gempuran teknologi informasi yang semakin deras dan masif, masih akan
terbuka lebar. Terlebih dalam memasuki Revolusi Industri 4.0 yang akan sarat
dengan kejutan-kejutan yang tidak terduga, termasuk kejutan-kejutan luar biasa
yang akan ditimbulkan artificial intelligence. Semoga.

Simpulan

Sejarah Visual merupakan konstruk baru dalam merekonstruksi sejarah


sebagai peristiwa menjadi sejarah sebagai kisah. Sejarah Visual dibangun
berbasiskan pada sumber-sumber visual, baik gambar bergerak (moving images)
maupun gambar tidak bergerak (still visuals). Dalan era migrasi peradaban dari paper
culture menuju paperless culture, Sejarah Visual akan menjadi jawaban dalam
mengantisipasi membanjirnya sumber-sumber visual di media internet. Terlebih di
era Revolusi Industri 4.0. Sejarah Visual sekaligus pula akan menjadikan ilmu sejarah
semakin menarik bagi generasi milenial atau generasi digital yang semakin hari
tampak semakin tidak ramah dengan media tulis yang bernama kertas.
Sebagai sebuah konstruk baru, Sejarah Visual tidak terpungkiri masih
dihadapkan dengan berbagai tantangan, khususnya yang berkaitan dengan kritik
sumber visual serta penguatan kemampuan, khususnya mahasiswa, dalam
merekonstruksi Sejarah Visual dalam berbagai bentuk, seperti, timeline, komik
sejarah, wawancara sejarah visual, film sejarah, dan film animasi. Metode kritik
sumber visual, khususnya berupa gambar bergerak masih akan terus memerlukan
pengembangan seiring dengan terus berkembangnnya teknologi pembuatan
gambar bergerak. Hal yang berbeda, terjadi pada gambar tidak bergerak. Metode
krtitik gambar tidak bergerak memiliki berbagai pilihan. Adapun salah satu software
yang mampu menjawab kebutuhan untuk menentukan keaslian gambar tidak
bergerak, di antaranya adalah fotoforensics.com.
Di luar itu, seiring dengan capaian pembelajaran yang hendak dicapai,
Sejarah Visual sebagai mata kuliah juga akan selalu memerlukan kolaborasi dengan
disiplin ilmu lain, khususnya ilmu komunikasi, ilmu seni rupa dan desain, serta
teknologi informasi. Kolaborasi tersebut tidak hanya untuk membangun
kemampuan dalam melakukan kritik sumber visual akan tetapi juga untuk
membangun kemampuan merekonstruksi sejarah sebagai peristiwa menjadi sejarah
sebagai kisah dalam bentuk Sejarah Visual, seperti, timeline, wawancara sejarah
visual, komik sejarah, film sejarah dan film animasi.
Daftar Sumber

Barnard, Malcolm. 1998. Art, Design and Visual C ulture: An Introduction. New York:
ST. MARTIN’S PRESS, INC.
Carr, Edward Hallet. 1987. What Is History?. Harmondsworth, Middlesex, England:
Penguin Books Ltd.
Dienaputra, Reiza D. 2011. Sunda: Sejarah, Budaya, dan Politik. Bandung: Sastra
Unpad Press.
---------------. 2015. Meretas Sejarah Visual. Bandung: Balatin Pratama.
---------------. 2018. Disrupsi Sejarah. Materi Orasi Ilmiah Berkenaan dengan
Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Padjadjaran, Bandung, 3 Agustus 2018
Frederick, William H. dan Soeri Soeroto (penyunting). 1982. Pemahaman sejarah
Indonesia : Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Lembaga Penelitian
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Moss, Mark. 2008. Toward the Visualization of History. Lanham: Lexington Books.
Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia.

Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Rose, Gillian. 2007. Visual Methodologies. Second Edition. Sage Publications, Los
Angeles-London-New Delhi-Singapore: Sage Publication.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah.Yogyakarta: Ombak.


Tempo, edisi 12-18 November 2018, “Dua Sisi Revolusi”, hal 76-77.

Tempo, Edisi 12-18 November 2018, “Outlook Ekonomi: Mengejar Revolusi Jilid
Keempat”, hal. 73.

https://www.benarnews.org/indonesian/berita/masib-media-cetak-indonesia-
12312015145735.html, 15 November 2015.
https://sfi.usc.edu/collections, 16 November 2018.

www.tentik.com/sedih-inilah-10-majalah-dan-koran-yang-sudah-tidak-terbit-lagi/,
18 November 2018.

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/07/18590671/berapa.lama.lagi.usia.kora
n.di.indonesia, 18 November 2018.

www.rappler.com/indonesia/116033-kejayaan-internet-paksa-jakarta-globe-tutup,
18 Desember 2018.

https://sfi.usc.edu/vha, 18 November 2018.


https://sfi.usc.edu/education/student-opportunities, 18 November 2018.
https://sfi.usc.edu/education/tin, 18 November 2018.
https://sfi.usc.edu/teach_and_learn/for_educators, 18 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai