Anda di halaman 1dari 23

Makalah Seminar Akuntansi

IAS 2 INVENTORY

Dosen Pengampu :
Ibu Dr. Reschiwati, S.E., Ak., M.M.

Disusun oleh :
Githa Anggrainy Saputri - 1811070055
Monica Ratu K - 1811070049
Oktaviana Sekar N - 1811070011
Robbi Yassir Amri - 1811070051

INSTITUT KEUANGAN PERBANKAN DAN INFORMATIKA ASIA


(ASIAN BANKING FINANCE AND INFORMATICS INSTITUTE)
PERBANAS
JAKARTA
PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahi Robbil’alamiin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala Rahmat & Hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan makalah dengan judul ‘IAS 2: Inventory’. Makalah ini
disusun guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Seminar Akuntansi Keuangan di Institut Keuangan Perbankan dan Informatika Asia
(Perbanas) Bekasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan makalah ini tidak akan
selesai tanpa bantuan, bimbingan, motivasi dan semangat dari berbagai pihak. Maka
dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Dr. Reschiwati, SE., Ak., MM, dosen pengampu mata kuliah Seminar
Akuntansi Keuangan Perbanas.
2. Teman-teman seperjuangan SAK Perbanas Juli 2018. Terima kasih telah
memberikan pengalaman yang sangat berharga kepada penulis. Terima kasih telah
mengajarkan arti persahabatan dan persaudaraan, semoga tali persaudaraan kita
semakin menjadi lebih baik.
3. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, semoga
Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan semuanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh karena itu kritik dan saran
sangat diharapkan. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai
tambahan informasi dan wacana bagi semua pihak yang membutuhkan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bekasi, 09 December 2019


Penulis
A. PENDAHULUAN
Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi
kegiatan perusahaaan dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang
diinvestasikan dalam bentuk barang-barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya
barang – barang ini harus dicatat, dikelompokan, dan diikhtisarkan selama periode
akuntansi. Pada akhir periode, biaya dialokasikan diantara aktivitas periode berjalan
dan aktivitas periode mendatang yaitu diantara barang – barang yang berada dalam
persediaan untuk dijual periode mendatang.
Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur
maupun dagang. Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika
kegiatan bisnis berfluktuasi. Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan
persediaan bergerak lebih cepat dari pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi
ekonomi menurun, tingkat penjualan juga menjadi menurun, persediaan bertumpuk
dan perlu dilakukan penjualan meskipun mengalami kerugian.
Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah
sebagai berikut : “ Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia
untuk dijual dalam kegiatan bisnis normal, dan dalam kasus perusahaan
manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk proses produksi atau yang ditempatkan
dalam kegiatan produksi“.
Persediaan IAS 2 berisi persyaratan tentang cara menghitung sebagian besar
jenis inventaris. Standar ini mengharuskan persediaan diukur pada nilai terendah
antara biaya dan nilai realisasi bersih (NRV) dan menguraikan metode yang dapat
diterima untuk menentukan biaya, termasuk identifikasi spesifik (dalam beberapa
kasus), masuk pertama keluar pertama (FIFO) dan biaya rata-rata tertimbang. Versi
revisi IAS 2 dikeluarkan pada Desember 2003 dan berlaku untuk periode tahunan
yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2005.
Di Indonesia IAS 2 diadopsi dan menjadi PSAK 14 (revisi 2008), perbedaan
dikarenakan belum diadopsinya IAS 41 mengenai agriculture. Untuk lebih jelasnya,
berikut Perbedaan ED PSAK 14 (2008) dengan IAS 2 (2003)
ED PSAK 14 (2008): Persediaan mengadopsi seluruh pengaturan dalam IAS 2
(2003): Inventories, kecuali untuk beberapa paragraf berikut:
1. IAS 2 paragraf 2(c) yang kemudian menjadi ED PSAK 14 paragraf 2(c) karena IAS
41: Agriculture belum diadopsi.
2. IAS 2 paragraf 3(a) dihilangkan karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
3. IAS 2 paragraf 4 dihilangkan karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
4. IAS 2 paragraf 20 dihilangkan karena IAS 41: Agriculture belum diadopsi.
5. IAS 2 paragraf 40 yang menjadi ED PSAK 14 paragraf 39 mengenai tanggal efektif.
6. IAS 2 paragraf 42 dihilangkan karena SIC-1: Consistency— Different Cost
Formulas for Inventories belum diadopsi.
Selain itu, ada beberapa tambahan yaitu:
1. ED PSAK 14 paragraf 2(c), (e) dan (f) mengenai persediaan yang terkait real estat,
aset biolojik hasil hutan, hasil tambang umum, minyak dan gas bumi, karena telah
diatur tersendiri dalam PSAK 44, 32, dan 29.
2. ED PSAK 14 paragraf 5 mengenai definisi “komoditi” yang diambil dari UU
32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan “nilai khusus entitas” dari
PSAK 16.

B. RUANG LINGKUP IAS 2


Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif
pengukuran kas persediaan, yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh
IAS 2 disebut sebagai benchmark treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS
2 disebut sebagai allowed alternative treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif
mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO,
sehingga metode pengukuran kas yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode
Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini
merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan
principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-
based dibanding US GAAP.
Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan.
Permasalahan pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya
yang diakui sebagai aset dan perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut
sampai pendapatan terkait diakui. Pernyataan ini menyediakan panduan dalam
menentuan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai beban, termasuk setiap
penurunan menjadi nilai realisasi neto. Pernyataan ini juga memberikan panduan
rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan.
Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada
umumnya, terutama perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan,
pertambangan, kontraktor bangunan, dan penjual jasa tertentu. Hal ini
menyebabkan akuntansi untuk persediaan menjadi suatu masalah penting bagi
perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah :
 Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal
 Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
 Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses
produksi atau pemberian jasa
Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas :
a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal.
Ini berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang memang
selalu dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi atau
pemberian jasa.
b. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan yang
digunakan dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti alat tulis
kantor) dengan tujuan untuk digunakan administrasi kantor dan bukan untuk dijual,
bukanlah bagian dari persediaan.
c. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan secara
regular dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa digunakan
bersamaan dengan aset tetap.
IAS 2 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali :
a) Barang dalam proses yang timbul menurut kontrak konstruksi (IAS 11
mengenai kontrak konstruksi)
b) Instrumen keuangan (misal saham, surat hutang, obligasi) yang dimiliki sebagai
persediaan (IAS 32 mengenai instrumen keuangan)
c) Aset biologis dan memproduksi yang terkait dengan aktivitas pertanian (IAS 41
mengenai pertanian).
IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang-pedagang
komoditi yang mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya
untuk menjual, sesuai dengan praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan
tersebut diukur pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, maka
perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual diakui dalam laporan
laba rugi pada periode terjadinya.
C. DASAR PENILAIAN
a) Nilai Realisasi Neto (Net Realizable Value)
Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa
dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk
membuat penjualan. Nilai realisasi neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas
berharap untuk direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa.
Nilai wajar mencerminkan suatu jumlah di mana persediaan yang sama dapat
dipertukarkan antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan berkeinginan
di pasar. Nilai realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak
tergantung pada nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak
sama dengan nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.
IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan
untuk setiap jenis persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok
persediaan yang sejenis dan dapat dinilai secara tepat per kelompok jenis
persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian harus dilakukan untuk setiap jenis
persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya kompensasi unrealized
gain dengan unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga menurunkan
jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS
melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa
evaluasi penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekelompok persediaan,
tidak atas item per item persediaan, adalah merupakan mekanisme tidak langsung
untuk mengakui unrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu
ditegaskan bahwa tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah
diterapkan atas item demi item persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas
menegaskan bahwa IAS 2 sangat mengatur penerapan net realizable value, yaitu
harus diterapkan item demi item demi untuk mencegah potensi
pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US GAAP tidak
mengatur hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata
justru lebih condong ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-
based.
Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya
kenaikan kembali nilai persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net
realizable value harus dilakukan pada setiap periode pelaporan keuangan, dan pada
saat tidak terdapat lagi fakta adanya penurunan nilai persediaan, misalnya karena
nilai persediaan mengalami kenaikan kembali, maka penurunan nilai persediaan
harus dibatalkan dengan membuat jurnal koreksi, dan karena penurunan nilai
persediaan telah dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi atas
penurunan nilai persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan rugi-laba. Juga
ditegaskan bahwa jurnal koreksi atau recovery hanya diperkenankan maksimum
sebesar penurunan nilai yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus
ini perbedaannya dengan US GAAP adalah bahwa dalam US GAAP penurunan
nilai persediaan yang telah diakui pada periode sebelumnya tidak boleh ditutup
dengan kenaikan nilai pada periode berikutnya. Dari sudut pandang istilah
konsep principles-based dan ruled-based, ternyata untuk kasus inipun keduanya
lebih bisa dikatakan sama-sama menggunakan ruled-based.
b) Nilai wajar
Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban
diselesaikan, antara pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu
transaksi yang wajar
c) Komoditi
Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa berjangka
d) Nilai khusus entitas
Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh
suatu entitas yang timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya
pada akhir umur manfaat atau yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian
kewajiban.
D. SISTEM PENCATATAN PERSEDIAAN
Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara
yaitu:
a. Sistem Periodic Atau Fisik (Physical Method)
Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem periodik ialah
sistem persediaan di mana jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan
fisik. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), dalam sistem
persediaan periodik, rincian catatan persediaan barang yang dimiliki tidak
disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga pokok penjualan
barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi.
Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan
(pengeluaran) persediaan tidak dicatat atau dibukukan kedalam perkiraan
persediaan. Pembelian barang dibukukan keperkiraan-keperkiraan pembelian dan
beberapa perkiraan lain seperti potongan pembelian dan pengembalian pembelian.
Penjualan dibukukan ke perkiraan penjualan.
Dengan sistem ini jumlah persediaan akhir diketahui setelah dilakukan
perhitungan fisik (invertory taking) terhadap barang yang ada digudang.
Selanjutnya setelah perhitungan fisik maka perlu dilakukan closing (penutup)
terhadap persediaan awal. Jadi dalam buku besar persediaan hanya terdapat
jumlah persediaan awan dan persediaan akhir. Bagi perusahaan dagang jika
menggunakan metode ini maka sistem pencatatannya adalah sebagai berikut:
Saat Pembelian:
Dr. Purchase Rp xxx
Cr. Cash/Account Payable Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Dr. Cash/Account Payable Rp xxx
Cr. Purchase Return Rp xxx
Saat penjualan:
Dr. Cash/Account Receivable Rp xxx
Cr. Sales Rp xxx
Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:
Dr. Sales Return Rp xxx
Cr. Cash/Account Receivable Rp xxx
CONTOH
Berikut transaksi PT XYZ pada tahun 2019:

25 Jan 19 Membeli Persediaan Barang Dagang kepada PT C sebesar Rp


50.000.000, 5/10, n/30
30 Jan 19 Dikembalikan barang kepada PT C karena tidak sesuai, senilai Rp
10.000.000
15 Feb 19 Pembayaran hutang ke PT C atas transaksi tgl 25 Jan 19
30 Mar 19 Dijual Barang dagang sebesar Rp 48.000.000, 2/10, n/30
2 Apr 19 Ada retur penjualan sebesar Rp 6.000.000

Jurnal
25 Jan 19
Dr. Purchase Rp 50.000.000
Cr. Account Payable Rp 50.000.000
30 Jan 19
Dr. Account Payable Rp 10.000.000
Cr. Purchase Return Rp 10.000.000
15 Feb 19
Dr. Account Payable Rp 40.000.000
Cr. Cash Rp 40.000.000
30 Mar 19
Dr. Account Receivable Rp 48.000.000
Cr. Sales Rp 48.000.000
2 Apr 19
Dr. Sales Return Rp 6.000.000
Cr. Account Receivable Rp 6.000.000

b. Sistem Perpetual (Perpetual Method)


Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:2461), Dalam sistem
persediaan perpetual, rincian catatan mengenai setiap pembelian dan penjualan
persediaan disimpan. Sistem ini secara terus menerus menunjukkan persediaan
yang harus dimiliki untuk setiap jenis barang. Berdasarkan sistem persediaan
perpetual, harga pokok penjual ditentukan setiap kali terjadi penjualan. Menurut
Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem perpetual ialah sistem persediaan di
mana pembaruan catatan jumlah persediaan selalu dilakukan dan disimpan.
Menurut sistem ini, setiap saat harus dilakukan pencatatan atas penambahan
atau pun pengurangan persediaan akibat adanya pembelian, pemakaian bahan
baku dan penjualan sehingga jumlah maupun nilai persediaan dapat diketahui
sewaktu-waktu tanpa melakukan perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang,
pencatatan yang dilakukan menurut metode ini adalah sebagai berikut:
Saat pembelian:
Dr. Merchandise Inventory Rp xxx
Cr. Account Payable/Cash Rp xxx
Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:
Dr. Account Payable Rp xxx
Cr. Merchandise Inventory Rp xxx
Saat penjualan:
Dr. Account Receivable/Cash Rp xxx
Cr. Sales Rp xxx
Dr. Cost of Good Sold Rp xxx
Cr. Merchandise Inventory Rp xxx
Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:
Dr. Sales Return Rp xxx
Cr. Cash/Account Receivable Rp xxx
Dr. Merchandise Inventory Rp xxx
Cr. Cost of Good Sold Rp xxx

Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan, maka
saldo dalam perkiraan yang ada di neraca saldo adalah saldo perkiraan persediaan
akhir, sehingga tidak diperlukan ayat jurnal penyesuaian.
CONTOH
Berikut transaksi PT XYZ pada tahun 2019:
25 Jan 19 Membeli Persediaan Barang Dagang kepada PT C sebesar Rp
50.000.000, 5/10, n/30
30 Jan 19 Dikembalikan barang kepada PT C karena tidak sesuai, senilai
Rp 10.000.000
15 Feb 19 Pembayaran hutang ke PT C atas transaksi tgl 25 Jan 19
30 Mar 19 Dijual Barang dagang dengan HPP persediaan tersebut sebesar
Rp 40.000.000, Mark Up 20%
2 Apr 19 Ada retur penjualan sebesar Rp 6.000.000
Jurnal
25 Jan 19
Dr. Merchandise Inventory Rp 50.000.000
Cr. Account Payable Rp 50.000.000
30 Jan 19
Dr. Account Payable Rp 10.000.000
Cr. Merchandise Inventory Rp 10.000.000
15 Feb 19
Dr. Account Payable Rp. 40.000.000
Cr. Cash Rp. 40.000.000
30 Mar 19
Dr. Account Receivable Rp 48.000.000
Cr. Sales Rp 48.000.000
(Rp 40.000.000 x 120%)
Dr. Cost of Good Sold Rp 40.000.000
Cr. Merchandise Inventory Rp 40.000.000
2 Apr 19
Dr. Sales Return Rp 6.000.000
Cr. Account Receivable Rp 6.000.000
Dr. Merchandise Inventory Rp 5.000.000
Cr. Cost of Good Sold Rp 5.000.000
(Rp 6.000.000 x 100/120)
E. METODE PENILAIAN PERSEDIAAN
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang dapat
digunakan untuk menilai persediaan, yaitu :
1. First-in, first out (FIFO).
2. Last-in, first out (LIFO)
3. Average cost.
Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS
2 sudah tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode
pengukuran kas yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata
Tertimbang.
a. Metode First-in, First Out (FIFO).
Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan
dijual terlebih dahulu. Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236)
pengakuan cost of goods sold dengan menggunakan metode FIFO adalah
sebagai berikut : “Under the FIFO method, the costs of the earliest goods
purchased are the first to be recognized as cost of goods sold”. Sedangkan, untuk
perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan metode
FIFO menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) adalah sebagai berikut :
“Under FIFO, the cost of ending inventory is found by taking the unit cost of the
most recent purchase and working backward until all units of inventory are
costed”.
Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba
yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun
metode rata-rata karena biaya unit yang lebih rendah dari pembelian persediaan
pertama kali. Tetapi, dengan laba yang besar, maka perusahaan juga akan
membayar pajak yang lebih besar sehingga tidak dapat dilakukan penghematan
pajak jika menggunakan metode FIFO. Manajemen perusahaan akan lebih memilih
untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan yang besar
akan menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut bagus dan
manajemen akan mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup besar dari
perusahaan. Perusahaan yang menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi
akan menghasilkan laba yang besar sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan
yang menggunakan metode FIFO akan menghasilkan laba yang kecil.
Contoh:
Berikut ini adalah data yang diperoleh selama bulan April 2013 :
Tgl 1 April : Persediaan Awal 200 unit @ Rp. 900
Tgl 10 April : Pembelian 300 unit @ Rp. 1.000
Tgl 21 April : Pembelian 400 unit @ Rp. 1.100
Tgl 22 April : Penjualan 700 unit
Tgl 23 April : Pembelian 100 unit @ Rp. 1.200
Pada tanggal 30 April 2013 Persediaan Akhir sebanyak 300 unit
Diminta : Berapa nilai akhir 30 april 2013?
JAWAB
FIFO Periodik
1 April : Persediaan Awal 200 unit @ Rp. 900 = Rp. 180.000
10 April : Pembelian 300 unit @ Rp. 1.000 = Rp. 300.000
21 April : Pembelian 400 unit @ Rp. 1.100 = Rp. 440.000
23 April : Pembelian 100 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
Total 1.000 unit @ Rp. 1.040 = Rp.1.040.000
Persediaan yang terjual akhir periode = 1.000 unit - 300 unit = 700 unit
Persediaan akhir : 300 unit : 200 unit @ Rp. 1.100 = Rp. 220.000
100 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
Nilai persediaan akhir Rp. 340.000
HPP = Total Pembelian - Persediaan Akhir = Rp. 1.040.000 - Rp. 340.000
= Rp. 700.000
FIFO Perpetual
Kartu Persediaan Barang
TGL Pembelian Penjualan Persediaan
April Unit HP/unit Total Unit HP/unit Total Unit HP/unit Total
1 200 900 180.000
10 300 1.000 300.000 200 900 180.000
300 1.000 300.000
21 400 1.100 440.000 200 900 180.000
300 1.000 300.000
400 1.100 440.000
22 200 900 180.000 200 1.100 220.000
300 1.000 300.000
200 1.100 220.000
23 100 1.200 120.000 100 1.200 120.000
30 200 1.100 220.000
100 1.200 120.000
Persediaan akhir : 300 unit : 200 unit @ Rp. 1.100 = Rp. 220.000
100 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
Nilai persediaan akhir Rp. 340.000
b. Metode Rata-Rata Tertimbang - AVERAGE
Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual
memiliki rata-rata biaya per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel
(2005:238) perhitungan unit cost berdasarkan formula rata-rata tertimbang adalah
sebagai berikut : “Under this method, the cost of goods available for sale is
allocated on the basis of the weighted-average unit cost”. Metode rata-rata
mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual memiliki rata-rata biaya per
unitnyasama.

Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut


Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari
persediaan akhir adalah sebagai berikut : “The weighted-average unit cost is then
applied to the units on hand. This computation determines the cost of the ending
inventory”.
Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata
tertimbang (weighted average method) dan pada sistem perpetual disebut dengan
metode rata-rata bergerak (moving average method) (Abdullah dan Djalil, 2004)
dalam Metallia (2007). Dengan menggunakan metode rata-rata, perusahaan akan
dapat melakukan penghematan pajak (tax saving) dikarenakan laba yang di dapat
perusahaan dengan menggunakan metode tersebut akan lebih kecil. Tetapi, pada
saat menggunakan metode rata-rata akan dapat menghasilkan nilai akhir persediaan
di antara FIFO dan LIFO.

Contoh:
Berikut ini adalah data yang diperoleh selama bulan April 2013 :
Tgl 1 April : Persediaan Awal 200 unit @ Rp. 900
Tgl 10 April : Pembelian 300 unit @ Rp. 1.000
Tgl 21 April : Pembelian 500 unit @ Rp. 1.100
Tgl 22 April : Penjualan 700 unit
Tgl 23 April : Pembelian 100 unit @ Rp. 1.200
Pada tanggal 30 April 2013 Persediaan Akhir sebanyak 300 unit
Diminta : Berapa nilai akhir 30 april 2013?

Periodik Rata-Rata Tertimbang


1 April : Persediaan Awal 200 unit @ Rp. 900 = Rp. 180.000
10 April : Pembelian 300 unit @ Rp. 1.000 = Rp. 300.000
21 April : Pembelian 500 unit @ Rp. 1.100 = Rp. 550.000
23 April : Pembelian 100 unit @ Rp. 1.200 = Rp. 120.000
Total 1.100 unit @ Rp. 1.000 = Rp.1.100.000
Persediaan akhir = 400 X Rp. 1.100.000/1.100
= 400 X 1.000
Nilai Persediaan akhir = Rp. 400.000
HPP = Total Pembelian - Persediaan Akhir = Rp. 1.100.000 - Rp. 400.000
= Rp. 700.000
Perpetual Metode rata-rata bergerak
Kartu Persediaan Barang
TGL Pembelian Penjualan Persediaan
April Unit HP/unit Total Unit HP/unit Total Unit HP/unit Total
1 200 900 180.000
10 300 1.000 300.000 500 960 480.000
21 500 1.100 550.000 1000 1.030 1.030.000
22 700 1.030 721.000 300 1.030 309.000
23 100 1.200 120.000 400 1.072,5 429.000
30 400 1.072,5 429.000
Persediaan akhir : 400 unit @Rp 1.072,5 = Rp 429.000
F. METODE PENILAIAN LAINNYA
Penentuan Persediaan Barang Dagangan Dengan Taksiran
Dalam keadaaan tertentu penilaian persediaan dapat dilakukan dengan
menggunakan Metode Penaksiran. Hal ini dapat dilakukan karena adanya faktor-
faktor tertentu sebagai berikut:
 Jumlah fisik prsediaan tidak mungkin ditentukan, karena gudang persediaan
terbakar/musnah karena bencana.
 Penentuan jumlah fisik persediaan yang ada digudang akan memakan waktu
lama/memakan biaya besar.
Metode Penaksiran Persediaan dapat dibagi menjadi 2 macam :
a. Metode laba kotor(gross profit method)
Metode penilaian persediaan ini bersifat estimasi. Biasanya ditetapkan kerana
keterbatasan dokumen yang terkait dengan persediaan, misalnya karena terjadi
bencana kebakaran dan banjir. Penilaian persediaan mendasarkan pada persentase
laba kotor perusahaan tahun berjalan atau rata rata selama beberapa tahun.
Langkah langkah yang dilakukan adalah:
 Mengestimasi nilai penjualan tahun berjalan
 Menghitung nilai harga pokok penjualan berdasarkan pada persentase laba kotor
yang telah diketahui dan
 Menghitung estimasi nilai perusahaan akhir dengan mengurangkan harga pokok
penjualan terhadap penjualan
Contoh :
Diketahui : - Penjualan = Rp. 20.000.000
- Persediaan Awal = Rp. 4.000.000
- Pembelian = Rp. 12.000.000
- Laba Kotor 30% dari Penjualan
Diminta: berapa Nilai Persediaan akhirnya?
Jawab : - Persediaan awal = Rp. 4.000.000
- Pembelian = Rp. 12.000.000
Total Persediaan = Rp. 16.000.000
- Penjualan Bersih = Rp. 20.000.000
- Laba Kotor (20.000.000 x 30% ) = (Rp. 6.000.000)
= (Rp. 14.000.000)
Nilai Persediaan Akhir = Rp. 2.000.000
b. Metode eceran (retail method)
Metode eceran menilai persediaan akhir dengan cara menghitung terlebih
dahulu nilai persediaan akhir berdasarkan eceran. Nilai persediaan akhir dengan
harga pokok akan diketahui dengan cara menghitung rasio antara nilai persediaan
yang tersedia untuk dijual dengan pendekatan harga pokok dibandingkan dengan
pendekatan ritel.
Kemudian rasio yang diperoleh dikalikan dengan persediaan akhir yang dinilai
dengan pendekatan eceran dapat diformulasikan sebagai berikut:

Contoh:
Diketahui : - Persediaan Awal = Rp. 14.000.000
- Harga Eceran = Rp. 21.500.000
- HP. Pembelian = Rp. 61.000.000
- Harga ecerannya = Rp. 78.500.000
- Harga Eceran Penjualan Bersih = Rp. 70.000.000
Diminta: Berapa Taksiran persediaan akhirnya ?
Jawab :
Atas dasar HP Atas Dasar Harga Eceran
Persediaan awal 14.000.000 21.500.000
Pembelian 61.000.000 78.500.000
Total Persediaan 75.000.000 100.000.000
Penjualan Bersih 70.000.000
Persediaan Akhir (berdasarkan harga eceran) 30.000.000
Perbandingan HP terhadap Harga Eceran = (75.000.000 : 100.000.000) x 10 = 75%
Taksiran Persediaan Akhir = 75% x Rp. 30.000.000
= Rp. 22.500.000
G. PENGUKURAN BIAYA PEROLEHAN
Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana
yang lebih rendah, Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian,
biaya konversi, dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam
kondisi dan lokasi saat ini.
a) Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya
(kecuali yang kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas
pajak), biaya pengangkutan, biaya penanganan, dan biaya lainnya yang secara
langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang jadi, bahan, dan jasa.
Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam menentukan
biaya pembelian
b) Biaya Konversi
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait
dengan unit yang diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk
juga alokasi sistematis overhead produksi tetap dan variabel yang timbul dalam
mengonversi bahan menjadi barang jadi. Overhead produksi tetap adalah biaya
produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa memerhatikan volume
produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan bangunan dan
peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi pabrik. Overhead
produksi variabel adalah biaya produksi tidak langsung yang berubah secara
langsung, atau hampir secara langsung, mengikuti perubahan volume produksi,
seperti bahan tidak langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung.
c) Biaya Standard
Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan
perlengkapan, tenaga kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar di-
review secara reguler dan, jika diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi
terakhir
d) Metode eceran
Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai
persediaan dalam jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan memiliki
marjin yang sama saat tidak praktis untuk menggunakan metode penetapan
biaya lainnya
e) Biaya-biaya Lain
Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang
biaya tersebut timbul agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.
Misalnya, dalam keadaan tertentu diperkenankan untuk memasukkan overhead
nonproduksi atau biaya perancangan produk untuk pelanggan tertentu sebagai
biaya persediaan.

H. NILAI REALISASI NETTO


 Konsisten dengan pendapat: aktiva seharusnya tidak dinyatakan melebihi jumlah
yang mungkin dapat direalisasi
 Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi
estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat
penjualan.
 Estimasi nilai realisasi bersih :
 Berdasarkan bukti yang paling andal yang tersedia
 Mempertimbangkan fluktuasi harga atau biaya yang langsung terkait
 Mempertimbangkan tujuan persediaan
 Nilai realisasi bersih :
 Biaya ganti / replacement cost
 Harga jual dikurangi dengan biaya untuk melakukan penjualan

I. PENGAKUAN BEBAN
 Jika persediaan dijual, maka nilai tercatat persediaan tersebut harus diakui sebagai
beban pada periode diakuinya pendapatan.
 Setiap penurunan nilai persediaan di bawah biaya menjadi nilai realisasi neto dan
seluruh kerugian persediaan harus diakui sebagai beban pada periode terjadinya
penurunan atau kerugian tersebut.
 Setiap pemulihan kembali diakui sebagai pengurangan terhadap jumlah beban
persediaan pada periode terjadinya pemulihan tersebut.
Penurunan ke NRV
 Penurunan dapat dilakukan item per item atau group.
 Penurunan yang terjadi langsung dibebankan beban periode berjalan / menambah
beban persedian.
 Pemulihan nilai akan diakui sebagai pengurang jumlah beban persediaan
 Nilai realisasi bersih yang telah ditentukan harus ditinjau kembali pada setiap
periode berikutnya.
Contoh:
PT XYZ yang bergerak di bidang manufaktur memiliki persediaan yang belum
selesai (WIP) senilai $950 (cost) dan $1,000 (Sales), perkiraan biaya menyelesaikan
WIP tersebut adalah sebesar $50 dan estimasi biaya untuk menjual adalah sebesar
$200.
Maka Nilai Realisasi bersih dapat dihitung dengan rumus :
Selling Price – Estimated Cost to Complete – Estimated Cost to Sell
= $1,000 – $50 – $200 = $750
sehingga, dalam laporan keuangannya entitas melaporkan nilai persediaannya
sebesar $750, dan mengakui rugi penurunan nilai persediaan (loss on inventory
writedown) sebesar $200.

ILUSTRASI LOWER OF COST AND NET REALIZABLE VALUE


(LCNRV)
Penerapan Metode LCNRV ini dapat dilakukan atas setiap persediaan secara
individual, ataupun atas kelompok persediaan yang sejenis. Contoh kasusnya
adalah adalah pada perusahaan makanan sebagai berikut:
Detil Persediaan ($)

Food Cost NRV Nilai Inventory

Bayam 80,000 120,000 80,000

Wortel 100,000 110,000 100,000

Kacang Merah 50,000 40,000 40,000

Buncis 90,000 72,000 72,000


Sayur-sayuran
dicampur 95,000 92,000 92,000

TOTAL 415.000 434.000 384,000

Jurnal:
Dr. Loss due to decline of inventory to NRV 31,000
Cr. Allowance to reduce inventory to NRV 31,000
Jika diterapkan secara kelompok hasilnya adalah sebagai berikut:

Food Cost NRV Nilai Inventory

Frozen food

Bayam 80,000 120,000

Wortel 100,000 110,000

Kacang Merah 50,000 40,000

NRV FROZEN
FOOD 230,000 270,000 230,000

Canned Food

Peas 90,000 95,000

Mixed
Vegetables 95,000 92,000

NRV Canned
Food 185,000 187,000 185,000

Total Inventory
Value per group 415,000

Total Inventory
Values per Total 415,000 457,000 415,000

Tidak ada jurnal karna nilai inventory lebih kecil dibanding NRV
J. PENGENDALIAN
Informasi tentang jumlah tercatat yang disajikan dalam berbagai klasifikasi
persediaan dan tingkat perubahannya masing-masing berguna bagi pemakai laporan
keuangan. Klasifikasi persediaan yang biasa digunakan adalah barang dagangan,
perlengkapan produksi, bahan, barang dalam penyelesaian, dan barang jadi.
Persediaan dalam pemberi jasa biasanya disebut pekerjaan dalam penyelesaian
Biaya persediaan yang diakui sebagai beban selama periode, seringkali
disebut sebagai beban pokok penjualan, meliputi biaya-biaya yang sebelumnya
diperhitungkan dalam pengukuran persediaan yang saat ini telah dijual, overhead
produksi yang tidak teralokasi, dan jumlah biaya produksi persediaan yang tidak
normal. Kondisi tertentu dari entitas juga memungkinkan untuk memasukkan biaya
lainnya, seperti biaya distribusi.
Beberapa entitas mengadopsi suatu format laporan laba rugi yang
mengakibatkan jumlah yang diungkapkan adalah selain biaya persediaan yang
diakui sebagai beban selama periode yang bersangkutan. Dalam format ini, entitas
menyajikan analisa beban menggunakan klasifikasi berdasarkan sifat dari beban.
Dalam kasus ini, entitas mengungkapkan biaya yang diakui sebagai beban untuk
bahan baku dan bahan habis pakai, biaya tenaga kerja, dan biaya lainnya bersama-
sama dengan jumlah perubahan neto persediaan pada periode tersebut.

K. PENGUNGKAPAN
Laporan keuangan harus mengungkapkan hal-hal berikut:
1. Kebijakan akuntansi yang diadopsi untuk mengukur persediaan, termasuk formula
pengukuran biaya yang digunakan (masuk pertama, keluar pertama = FIFO,
metode identifikasi khusus atau metode biaya perolehan rata-rata tertimbang);
2. Total jumlah yang dicatat dri persediaan sepanjang dengan klarifikasi yang baik
(misal barang jadi, barang dalam proses, bahan baku, suku cadang dan lain-lain);
3. Jumlah tercatat persediaan yang dibukukan atas dasar nilai wajar dikurang biaya
untuk menjual (misal persediaan broker-pedagang komoditas);
4. Jumlah persediaan yang diakui sebagai beban selama periode (misal harga pokok
penjualan);
5. Jumlah persediaan yang diturunkan jika ada, diakui sebagai beban di dalam
periode;
6. Jumlah pemulihan atas penurunan sebelumnya yang diakui sebagai seuatu
pengurangan di dalam jumlah persediaan yang dibebankan dalam periode tersebut
dimana pemulihan terjadi dan kondisi atau peristiwa yang menyebabkan pemulihan
itu terjadi; dan
7. Jumlah tercatat persediaan yang dijaminkan sebagai jaminan hutang.

Anda mungkin juga menyukai