Pertanyaan:
Jawabannya:
Ada, banyak anak yang didurhakai orang tuanya, tapi kerap kali yang
ditampilkan umum selalu anak durhaka kepada orang tua. Padahal, orang tua
yang durhaka kepada anak jumlahnya sebanding dengan anak yang durhaka
pada orang tua. Contoh orang tua durhaka kepada anak itu, misalnya suami-
istri bercerai, nah suami yang juga ayah dari anak tidak menafkahi anak. Hal ini
termasuk perbuatan dzalim karena meskipun sudah bercerai, kewajiban
menafkahi anak tidak boleh terputus. Misalnya lagi ibu, durhaka pada anak,
dengan melaknat anak dan memanggilnya dengan panggilan buruk, “kamu
pembohong”, “anak durhaka”, dll.
Ini juga pernah terjadi di zaman Umar bin Khattab. Pada masa itu ada seorang
ayah mengadu kepada Umar bahwa anaknya durhaka. Umar bertanya kepada
sang anak, “Nak, mengapa kamu durhaka kepada orang tuamu?” maka anak
tersebut balik bertanya kepada Umar, “ya Amirul Mukminin apa kewajiban
ayah pada anak?“, Umar menjawab, “memberikan nama yang baik, memberi
nafkah, tidak melaknatnya, mengajarkan kebaikan.” Lalu anak itu berkata,
“saya tidak mendapatkan itu, bahkan saya sering dilaknatnya.”
Anak durhaka, dari kejadian di masa Umar ini bisa jadi karena orang tua duluan
yang menghinakan anaknya.
Judul kajian : Bagaimana Cara Menjadi Manusia Mulia
Manusia itu sebenarnya mulia. Namun, kemuliaan itu bisa jatuh atau malah
hina karena perbuatan kita sendiri. Maksud jatuh dan terhina di sini berarti
manusia bisa membangkitkan kemuliaannya kembali dengan memperbaiki lalu
mempertahankan kemuliaannya. Nah, minggu lalu telah kita bahas bersama
mengenai empat hal yang bisa membuat manusia menjadi mulia, diantaranya:
Muhasabah harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup kita.
Sebagaimana saat sehabis shalat, bacaan pertama adalah istighfar.
Maka hendaknya kita membuka mata, telinga, dan hati untuk mendengar
nasihat.
Al-Quran adalah al-karim, sumber kemuliaan. Maka jika kita ingin mendapat
cipratan kemuliaan, bacalah al-Qur’an. Sebab, kemuliaan akan didapat jika kita
mengakrabi sesuatu yang mulia.
Beramal shalih berarti berbuat baik. Sekecil apapun perbuatan baik yang kita
lakukan, pasti akan Allah balas dengan kebaikan pula di dunia dan akhirat.
Berbuat kebaikan tidak harus mengacu pada kegiatan yang luar biasa. Hal
sederhana seperti membereskan sandal, bersihkan masjid, itupun adalah
kebaikan dan perbuatan mulia akan menjadikan kita mulia. Hal ini sesuai
dengan ayat yang berbunyi,
“(30) dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: ‘Apakah yang telah
diturunkan oleh Rabbmu.’ Mereka menjawab: ‘(Allah telah menurunkan)
kebaikan.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan)
yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah
sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa. (31) (yaitu) surga ‘Adn yang
mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam
surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah
Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa. (32) (yaitu) orang-
orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para Malaikat dengan
mengatakan (kepada mereka): ‘Salaamun alaikum, masuklah kamu ke dalam
surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nahl [16]: 30-
32)
Orang bertaqwa yaitu orang yang selalu berada keadaan baik (terbiasa berbuat
baik), ketika diwafatkan, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya, yakni
surga ‘Adn. Sedangkan ahsan berarti segala perbuatan yang Allah ridhai.
Orang yang baik tidak akan mudah menyalahkan orang lain. Dia akan
introspeksi diri terlebih dahulu dan tahu apa yang harus diperbaiki.
Ketika sudah yakin akan bertemu dengan Allah, kita cenderung menjaga
kemuliaan, amanah, dll., karena tahu segala sesuatu akan
dipertanggungjawabkan. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an yang artinya,