Disusun oleh :
Judul Karya Ilmiah : Pasta Gigi Organik (Banadent) dari Limbah Kulit Pisang
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME karena senantiasa
memberikan rahmat dan kasih-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
penyusunan laporan penelitian yang berjudul “BANADENT – Pasta Gigi Organik
dari Limbah Kulit Pisang” dengan baik.
Penelitian ini disusun oleh Angelica Alfonsus, Chelsey, Nicholas
Valenthinus T., dan Richard F. Penulisan karya tulis ini tidak dapat berjalan
dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
Peneliti menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak.
Tim Peneliti
ii
DAFTAR ISI
iii
3.4 Teknik Analisis Data .............................................................................. 25
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.2 Data Hasil Uji Daya Sebar Pasta Gigi Banadent……………… 38
v
DAFTAR GAMBAR
vi
ABSTRAK
Angelica Alfonsus, Chelsey, Nicholas V. T., Richard Ferdian, 2019
Pasta Gigi Organik (Banadent) dari Limbah Kulit Pisang. Karya Tulis Ilmiah.
Bernadeta Ayu Setyanta.
Kata kunci: kulit pisang (Musa paradisiaca var. Sapientum), pasta gigi, pektin
Saat ini pasta gigi konvensional masih memiliki resiko penggunaan yang tinggi
karena mengandung SLS. Di sisi lain kulit pisang yang nilai ekonomisnya masih
rendah memiliki kandungan zat-zat yang memiliki sifat antibakteri seperti tanin
dan flavonoid sehingga dapat berperan sebagai bahan pembersih. Penelitian ini
bertujuan memformulasikan ekstrak maserasi kulit pisang sebagai substitusi SLS
dan pektin hasil ekstraksi kulit pisang sebagai bahan pengikat pada pasta gigi.
Jenis pisang yang digunakan pada penelitian adalah Musa paradisiaca var.
Sapientum. Formulasi dibuat dalam tiga variasi 1%, 2% dan 3% dengan nama
produk Banadent. Evaluasi yang dilakukan meliputi organoleptis, homogenitas,
pH, daya sebar dan hardness & sharpness. Hasil pengamatan organoleptik
menunjukkan kestabilan, rasa manis, bau segar khas pisang ambon dan mint,
serta homogenitas pasta gigi. Pasta gigi yang dihasilkan memiliki pH antara 7,4-
8,6. Formulasi pasta gigi dengan kombinasi ekstrak kulit pisang dan pektin pisang
masing-masing 2% yang dihasilkan telah memenuhi 4 dari 9 syarat standar SNI
12-524-1995 tentang pasta gigi.
ABSTRACT
Angelica Alfonsus, Chelsey, Nicholas V. T., Richard Ferdian, 2019
Pasta Gigi Organik (Banadent) dari Limbah Kulit Pisang. Karya Tulis Ilmiah.
Bernadeta Ayu Setyanta.
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Senyawa kimia yang ada pada kulit pisang memiliki manfaat yang kurang
lebih sama dengan pasta gigi, namun tanpa dampak merusak dan
karsinogeniknya.
Meski hampir seluruh bagian pisang dapat dimanfaatkan, kebanyakan
masyarakat hanya memanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi sementara
kulitnya terbuang sia-sia. Penggunaan kulit pisang untuk kesehatan gigi pun
baru dilakukan secara tradisional dan dinilai belum efektif. Di Indonesia,
komoditas pisang menduduki tempat pertama di antara jenis buah-buahan
lainnya, dilihat dari segi produksinya. Berdasarkan survei pertanian Biro
Statistik tahun 2008, total produksi pisang di Indonesia tahun 2007 adalah
sebesar 95,35 ribu ton dengan nilai konsumsi sebesar 82,07 ribu
ton/kapita/tahun. Kulit pisang adalah bahan buangan (limbah kulit pisang)
yang cukup banyak jumlahnya yaitu kira-kira sepertiga dari buah pisang yang
belum dikupas. Pemanfaatannya secara nyata belum banyak terlihat, sehingga
nilai ekonomis kulit pisang menjadi sangat rendah (Munadjim, 1983).
Memanfaatkan dan mengaplikasikan khasiat-khasiat yang terkandung pada
kulit menjadi produk pasta gigi merupakan langkah untuk mengatasi dua
permasalahan sekaligus. Hal tersebut dikhususkan dengan mensubstitusikan
SLS pada pasta gigi dengan ekstrak kulit pisang sebagai bahan aktif, juga
menggunakan pektin dari kulit pisang sebagai gelling agent menggantikan
bahan pengikat lainnya. Produk pasta gigi organik dari limbah kulit pisang
mampu menekan resiko buruk dari penggunaan pasta gigi. Hal tersebut
disertai dengan meningkatnya nilai ekonomis kulit pisang, juga meningkatkan
kualitas lingkungan dengan berkurangnya limbah kulit pisang. Melihat
permasalahan dan potensi tersebut, menjadi latar belakang tim peneliti untuk
mengolah pasta gigi organik dari limbah kulit pisang. Penelitian ini juga
ditujukan untuk menguji perbandingan mutu antara pasta gigi organik dari
limbah kulit pisang dengan pasta gigi konvensional sesuai dengan persyaratan
Departemen Kesehatan.
2
1.2 Identifikasi Masalah
1.2.1 Tingginya resiko penggunaan pasta gigi konvensional terhadap
kesehatan gigi
1.2.2 Rendahnya nilai ekonomis kulit pisang di lingkungan masyarakat
3
1.5.3 Mengetahui kelayakan pasta gigi organik dari kulit pisang sesuai
dengan syarat mutu pasta gigi
4
BAB 2
LANDASAN TEORI
5
Pasta gigi yang mengandung fluorida, dapat membuat
seluruh permukaan gigi lebih resisten untuk berlubang dan
fluorida dapat meningkatkan remineralisasi secara dini sehingga
mencegah perusakan gigi yang lebih lanjut. Komposisi tertentu
pada pasta gigi juga dapat membantu membersihkan dan
mengkilatkan gigi dan menyingkirkan noda. Pasta gigi membantu
menyegarkan nafas dan membuat mulut terasa lebih bersih (Oral
Health Care Product, 1994).
2.1.2 Komposisi Pasta Gigi
Suatu pasta gigi umumnya mengandung bahan-bahan penting
berupa bahan abrasif, pembersih dan pengikat. Selain itu juga dapat
ditambah dengan bahan penambah rasa, warna dan berbagai bahan
terapeutik.
Bahan abrasif (20-50%) yang terdapat pada pasta gigi
umumnya berbentuk bubuk pembersih yang dapat memolis dan
menghilangkan noda maupun plak. Bentuk dan jumlah bahan
abrasif pada pasta gigi juga berperan dalam menambah kekentalan
pasta gigi. (Storehagen, 2003). Biasanya bahan abrasif berupa
bahan padat bewarna putih yang berfungsi menghilangkan kotoran
bekas karang-karang yang menempel pada permukaan gigi. Bahan
abrasif sebaiknya dipilih yang mempunyai daya pembersih
maksimal tapi tidak boleh merusak email gigi, tidak toksik dan
tidak campur dengan bahan-bahan penyusun pasta gigi. Contoh
bahan abrasif antara lain Kalsium karbonat, Dikalsium Fosfat,
Trikalsium Fosfat, dan Kalsium sulfat (Balsam dan Sagarin, 1972).
Bahan pengikat atau gelling agent (1-2%) merupakan bahan
pemisah antara fase padat dan fase cair dengan cara bertindak
sebagai protektif dan meningkatkan kekentalan (Balsam dan
Sagarin, 1972). Bahan pengikat digunakan untuk mengontrol
kekentalan pasta gigi dan memberi bentuk krim dengan cara
mencegah terjadinya pemisahan padatan dan cairan suatu pasta
6
gigi. Contohnya antara lain gliserol, sorbitol dan polyethylene
glycol (PEG), serta cellulose gum (Storehagen, 2003).
Humektan atau pelembab (20-35%) adalah bahan yang
mampu menyerap air dari udara, tujuan penggunaannya adalah
untuk menjaga kelembapan pasta gigi (Jackson, 1995). Bahan ini
mencegah pasta menjadi keras apabila terjadi penguapan air
(Balsam dan Sagarin, 1972). Bahan-bahan yang digunakan sebagai
humektan antara lain adalah sorbitol, propilenglikol, dan gliserol
(Cawson dan Spector, 1987).
Untuk fungsi pembersih, pada pasta gigi digunakan surfaktan
atau deterjen (1-3%) yang dapat menurunkan tegangan permukaan
air/larutan. Penggunaan surfaktan pada pasta mempunyai fungsi
sebagai agen pembusa dan membantu pengangkatan plak maupun
sisa makanan pada gigi. Surfaktan dapat berinteraksi dengan
kotoran pada gigi membentuk misel, sehingga proses ini membantu
pencegahan plak pada gigi (Shanebrook, 2004). Surfaktan juga
digunakan untuk mencapai produk akhir yang jernih (Mitsui,
1997). Hampir 99% jenis pasta gigi menggunakan SLS sebagai
salah satu bahan kandungan untuk membentuk busa (Ruslan et al.,
2009). SLS sebagai surfaktan menurunkan tegangan permukaan
larutan sehingga dapat mencampurkan minyak (Reynolds, 1994).
Sebagai deterjen sebaiknya memiliki sifat stabil, dapat bercampur
dengan bahan-bahan penyusun pasta gigi yang lain dan mengenai
rasa juga perlu diperhatikan (Balsam dan Sagarin, 1972).
Bahan lainnya yang tidak kalah penting pada pasta gigi
adalah aquades, air murni yang digunakan sebagai pelarut. Di
samping itu, biasanya pasta gigi mengunakan pemanis buatan
dengan bahan penambah rasa (0-2%) untuk memberikan cita rasa
yang beraneka ragam. Misalnya rasa mint, stroberi, kayu manis
bahkan rasa permen karet untuk pasta gigi anak. Tambahan rasa
7
pada pasta gigi akan membuat menyikat gigi menjadi
menyenangkan (Storehagen, 2003).
Pasta gigi juga umumnya mengandung bahan-bahan
terapeutik (0-2%) seperti fluor, bahan desensitisasi, bahan anti-
tartar, dan bahan antimikroba. Penambahan fluor pada pasta gigi
dapat memperkuat enamel dengan membuatnya resisten terhadap
asam dan menghambat bakteri untuk memproduksi asam. Jenis
fluorida yang terdapat dalam pasta gigi adalah Stannous fluoride,
Sodium fluoride, dan Sodium monofluorofosfat.
2.1.3 Monografi Bahan
2.1.3.1 Kalsium karbonat (CaCO3)
Kalsium karbonat berupa serbuk hablur putih, tidak
berbau dan tidak berasa. Kelarutan yaitu praktis tidak larut
dalam air hangat, sangat sukar larut dan air yang
mengandung karbondioksida (Anonim, 1979). Dalam
formulasi pasta gigi, Kalsium karbonat dipakai sebagai
bahan abrasif. Kalsium karbonat dapat melepaskan sisa
makanan yang menempel pada gigi.
2.1.3.2 Magnesium karbonat (MgCO3)
Magnesium karbonat merupakan serbuk berwarna
putih, tidak berbau, dan memiliki daya serap yang tinggi
serta dapat menyerap bau (Rowe, et.al, 2009). Magnesium
karbonat larut dalam etanol 95%. Bahan ini digunakan
sebagai pengisi pada pasta gigi, juga karena memiliki sifat
menyerap bau.
2.1.3.3 Gliserol
Gliserol pada pasta gigi digunakan sebagai humektan
atau pelembap. Pemerian yaitu cairan seperti sirop, jernih,
tidak berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat,
higroskopik. Kelarutan yaitu dapat bercampur dengan air
dan etanol 95% (Anonim, 1979).
8
2.1.3.4 Sorbitol
Sorbitol berfungsi sebagai pemanis pada pasta gigi.
Pemerian berupa cairan jernih, tidak berwarna, cairan
seperti sirop dapat dicampur dengan air, gliserol (85%) dan
dengan propilenglikol serta dapat larut dalam alkohol
(Anonim, 2011).
2.1.3.5 Aquades
Aquades digunakan untuk melarutkan bahan-bahan
pada pasta gigi. Pemeriannya jernih, tidak berbau, tidak
berwarna, dan tidak memiliki rasa. Aquades memiliki sifat
yang stabil terhadap pH dan stabil di suhu ruangan (20-
25ºC).
2.1.3.6 Natrium benzoat (C6H5COONa)
Natrium benzoat merupakan bahan pengawet yang
umum digunakan. Natrium benzoat berupa padatan putih,
tak berbau, dan larut dalam air (Chipley, 1983). Bahan ini
bekerja dengan baik dalam media asam untuk menghambat
pertumbuhan khamir, kapang, dan bakteri (Pylypiw &
Grether, 2000).
2.1.3.7 Peppermint oil
Peppermint oil digunakan sebagai penyegar pada
pasta gigi. Peppermint memiliki ciri khas yakni sifat mentol
yang pedas atau menyegarkan. Peppermint juga memiliki
sifat antibakteri, antifungi dan antivirus (Raja, 2012).
2.1.4 Syarat Mutu Pasta Gigi
Pasta gigi yang baik harus memenuhi sifat-sifat yaitu bila
digunakan dengan sikat gigi harus dapat membersihkan atau
menghilangkan partikel asing, plak, sisa makanan, dan mempunyai
daya pembersih yang baik, tidak toksik, memberi rasa enak di
mulut serta mudah dihilangkan dari mulut setelah pemakaian,
9
mempunyai konsistensi yang cocok sehingga mudah dikeluarkan
dari wadah (Michael dan Ash, 1977).
Persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh sediaan pasta
gigi adalah harus cukup lunak untuk dikeluarkan dari wadah, dapat
menyebar di atas sikat gigi, tidak boleh kering atau keras, dan tidak
boleh mengadakan interaksi dengan bahan lain (Jellineck, 1970).
Suatu pasta gigi dapat dikatakan layak apabila telah
memenuhi syarat mutu tertentu. Tabel 2.1 berikut menyajikan
syarat mutu pasta gigi.
Tabel 2.1 Syarat Mutu Pasta Gigi (SNI 12-3524-1995)
10
digunakan sebagai deterjen dan bahan pembuat pasta gigi (Love,
etl.al, 1984 dalam Fitriyah, 1997).
SLS merupakan bahan dasar yang terdapat pada
shampoo, hair conditioner, pasta gigi, sabun mandi, adalah jenis
deterjen kuat yang mengakibatkan iritasi mata, kerusakan
permanen pada mata, kulit kering, mengelupasnya kulit pada bibir.
Ketika dikombinasikan dengan bahan lain dapat membentuk
nitrosamine, yang bersifat karsinogenik sehingga logam tertentu
dapat dengan mudah menembus kulit dan mengendap dalam hati,
paru-paru, otak, dan jantung (Anonimous, 1991).
Fluor telah digunakan secara luas untuk mencegah
karies. Penggunaan fluor dapat dilakukan dengan fluoridasi air
minum, pasta gigi dan obat kumur yang mengandung fluor,
pemberian tablet fluor dan topikal varnish. Tujuan penggunaan
fluor dalam bidang kedokteran gigi adalah untuk melindungi gigi
dari karies (Angela, 2005).
Pada konsentrasi yang lebih tinggi (> 1,5 mg/L) fluorida
dapat menyebabkan fluorosis. Fluorida telah ditemukan dapat
dengan mudah berakumulasi dalam jaringan otak. Hal ini dapat
menyebabkan kerusakan pada otak dan sel-sel saraf karena mampu
menginduksi eksitotoksisitas dan stres oksidatif, sehingga
menyebabkan apoptosis sel.
Efek fluor yang berlebihan pada gigi disebut
fluorosis gigi. Fluorosis gigi merujuk kepada perubahan
tampilan enamel gigi yang disebabkan oleh pengambilan fluor
dalam jangka masa panjang ketika gigi sedang berkembang
(Aoba T, Fejerskov O, 2002). Perubahan tampilan enamel gigi
adalah warna gigi menjadi tidak putih, pucat, dan buram. Warna
gigi yang gelap atau hitam ini terlihat pada fluorosis yang
lebih berat dan enamelnya juga menjadi lunak dan rapuh.
11
Tanda pertamanya berupa erupsi gigi dengan enamel yang
berbintik-bintik.
Penggunaan sodium fluoride pada pasta gigi sebanyak 5-
10 gr dapat menyebabkan toksisitas (Heifetz, et.al, 1987).
Penggunaan pasta gigi tak jarang menyebabkan tertelannya pasta
gigi. Menelan fluoride secara terus menerus dapat menyebabkan
dental fluorosis (Heifetz, el.al, 1987).
Efek abrasif pasta gigi merupakan penyebab terbesar
terjadinya keausan gigi. Besarnya kerusakan yang dapat terjadi
pada permukaan enamel terjadi karena menyikat gigi terlalu keras
dengan pasta gigi (Abrahamsen dan Dzakovich).
12
berwarna putih kekuningan dan umumnya buah ini tidak
mengandung biji.
Buah pisang yang telah matang sangat mudah dikenali
melalui perubahan warna kulitnya, oleh karena itu indeks warna
kulit menjadi penting, dan digunakan sebagai penanda tingkat
kematangan buah pisang. Tabel 2.2 berikut menyajikan deskripsi
kematangan buah pisang berdasarkan warna kulitnya.
Tabel 2.2 Kematangan Pisang Berdasarkan Warna Kulit per 100 gr (Zhang et.al, 2005)
13
Kulit pisang sendiri juga memiliki kandungan zat gizi yang
cukup. Tabel 2.3 berikut ini menampilkan komposisi zat gizi yang
terkandung pada buah pisang ambon per 100 gr.
Tabel 2.3 Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang Ambon (Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri, Jatim, Surabaya, 1982)
Vitamin B 0,12 mg
Vitamin C 17,50 mg
14
berperan menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.
Flavonoid dapat memperpendek waktu peradangan (inflamasi)
yang dapat menghambat proses penyembuhan luka (Kompas,
2010). Saponin termasuk golongan senyawa triterpenoid dapat
digunakan sebagai zat antimikroba (Musalam, 2001).
Tabel 2.4 berikut ini menampilkan kandungan antioksidan
dan antinutrien pada kulit pisang per 100g.
Tabel 2.4 Kandungan Antioksidan dan Antinutrien Kulit Pisang
(Nagarajiah dan Prakash, 2011)
2.3 Simplisia
2.3.1 Definisi dan Penggolongan Simplisia
15
Simplisia digunakan sebagai bahan yang akan digunakan
untuk proses ekstraksi kulit pisang dan pektinnya. Simplisia adalah
bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dikatakan lain berupa
bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). Simplisia
dibedakan menjadi tiga yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan
simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tanaman utuh, bagian tanaman dan eksudat tanaman. Eksudat
tanaman merupakan isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau dengan cara
tertentu zat dipisahkan dari tanamannya yang belum berupa zat
kimia murni (Depkes RI, 1979).
2.3.2 Pengelolaan Simplisia
Menurut Depkes RI (1985 dan 2000), proses awal pembuatan
ekstrak adalah tahapan membuatan serbuk simplisia kering. Dari
simplisia dibuat serbuk simplisia dengan perekatan tertentu sampai
derajat kehalusan tertentu.
Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar
dari cemaran industri obat tradisional, dalam mengelola simplisia
sebagai bahan baku umumnya melakukan tahapan sortasi,
pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi, hingga penyimpanan.
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotran
atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan pengotor yang melekat pada bahan
simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih. Bahan simplisia
yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir
hendaknya dilakukan pencucian dalam waktu yang sesingkat
mungkin.
Perajangan dilakukan sebelum proses pengeringan,
pengepakan, dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan
dikeringkan maka semakin cepat menguapan air, sehingga
16
mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu
tipis juga dapat menyebabkan berkurangnya zat berkhasiat yang
mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau, dan rasa
yang diinginkan. Pengeringan ditujukan untuk mendapatkan
simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam
waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan
menghentikan reaksi enzimatik, akan mencegah penurunan mutu
atau perusakan simplisia. Proses pengeringan sudah dapat
menghentikan proses enzimatik dalam sel bila kadar airnya dapat
mencapai kurang dari 10%.
Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan
adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu
pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik pada
pengeringan adalah tidak melebihi 60ºC. Tetapi bahan aktif yang
tidak tahan pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan
pada suhu serendah mungkin yakni 30ºC sampai 45ºC. Pengeringan
dapat dilakukan baik secara alamiah maupun dengan pengeringan
buatan.
Sortasi kering ditujukan untuk memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan
pengotoran-pengotoran lainnya yang masih tertinggal pada
simplisia kering. Penyimpanan simplisia dipengaruhi dengan
faktor-faktor tertentu, yakni cahaya, oksigen atau sirkulasi udara,
reaksi kimia yang terjadi antara kandungan aktif tanaman dengan
wadah, penyerapan air, kemungkinan terjadinya proses dehidrasi,
dan pengotoran atau pencemaran. Wadah yang digunakan sebagai
pembungkus simplisia harus inert, artinya tidak mudah bereaksi
dengan bahan lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan
simplisia dari bahan cemaran kotoran maupun mikroba, penguapan
kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen, dan uap air.
17
2.4 Pektin
2.4.1 Definisi dan Fungsi Pektin
Pektin berasal dari Bahasa Latin ‘pectos’ yang berarti
pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras atau padat
(Herbsetreith dan Fox, 2005). Pektin adalah substansi alami yang
terdapat pada sebagian besar tanaman pangan. Pektin dapat
diperoleh dari buah-buah, biji, dan kulit buah-buahan. Selain
sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan
komponen utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga
berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel
(Hariyati, 2006).
Gambar 2.1 Struktur Dinding Sel Tanaman (IPPA, 2002)
18
pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam pektat,
yang menyebabkan buah menjadi matang (Dwidjoseputro, 1983).
2.4.2 Karakteristik Fisika dan Kimiawi Pektin
Pektin berbentuk serbuk kasar atau halus, berwarna putih
kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago.
Pektin hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk
cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat
asam terhadap lakmus, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut
lain (Farmakope Indonesia, 2004). Pektin kering yang telah
dimurnikan berupa kristal yang berwarna putih dengan kelarutan
yang berbeda-beda sesuai dengan kandungan metoksilnya
(Glicksman, 1969). Pektin yang memiliki kadar metoksil tinggi
dapat larut dalam air dingin, sedangkan pektin dalam kadar
metoksil rendah larut dalam alkali dan asam oksalat. Pektin tidak
dapat larut dalam aseton dan alkohol (Kirk dan Othmer, 1952).
Kelarutan pektin dalam air ditentukan oleh jumlah gugus
metoksil, distribusi, dan bobot molekulnya. Secara umum,
kelarutan akan meningkat dengan menurunnya bobot molekul dan
meningkatnya gugus metil ester. Namun pH, suhu, jenis pektin,
garam dan adanya zat organik seperti gula juga mempengaruhi
kelarutan pektin (Towle dan Christensen, 1973).
Sifat penting pektin adalah kemampuannya membentuk gel.
Pektin metoksil tinggi membentuk gel dengan gula dan asam, yaitu
dengan konsentrasi gula 58-75 dan pH 2.8-3.5. Pembentukan gel
terjadi melalui ikatan hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan
di antara gugus hidroksil. Pektin bermetoksil rendah tidak mampu
membentuk gel dengan asam dan gula, tetapi dapat membentuk gel
dengan adanya ion-ion kalsium (Caplin, 2004).
Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel
dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (K.C Chang dan
A. Miyamoto, 1992). Amilum pada tumbuhan tersusun dari dua
19
macam karbohidrat, amilosa dan amilopektin dalam komposisi
yang berbeda-beda yaitu 10-20% amilosa dan 80-90% amilopektin.
Amilopektin inilah yang menyebabkan sifat lengket pada pektin
(Noviagustin, 2008 dalam Sari, 2008).
2.4.3 Pengelolaan Pektin
Menurut Muhidin (1995) dalam (Nurhikmat, 2003),
pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan
cara ekstraksi. Pektin dapat larut dalam beberapa macam pelarut
seperti air, beberapa senyawa organik, senyawa alkalis dan asam.
Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang
disebabkan oleh proses hidrolisis protopektin. Proses tersebut
menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat (pektin)
dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama
ekstraksi tertentu.
Tuhuloula dkk. (2013) menyatakan bahwa kadar pektin
pisang ambon lebih tinggi daripada pisang kepok. Hal ini
dikarenakan bentuk fisik yang lebih besar sehingga kandungan
karbohidrat kulit pisang ambon lebih banyak, maka semakin
banyak pula protopektin yang terhidrolisis menjadi pektin.
20
sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet (Depkes RI,
1995). Ekstrak kental adalah sediaan yang dapat dilihat dalam
keadaan dingin dan tidak dapat dituang dan memiliki kandungan
airnya berjumlah sampai 30%. Ekstrak kering adalah sediaan yang
memiliki konsistensi kering dan mudah digunakan. Melalui
penguapan cairan pengekstraksi dan pengeringan sisanya akan
terbentuk suatu produk yang sebaiknya memiliki kandungan
lembab tidak lebih dari 5%. Ekstrak encer adalah sediaan yang
memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang (Voigt,
1984).
2.5.2 Metode Ekstraksi Maserasi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari
campurannya dengan menggunakan pelarut (Agoes, 2007). Salah
satu cara ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi. Metode
maserasi berasal dari bahasa latin ‘macerate’ yang artinya
merendam. Maserasi adalah metode ekstraksi yang menggunakan
pelarut yang sesuai dengan beberapa kali pengadukan pada suhu
kamar (Depkes RI, 2000). Pada metode ini, simplisia yang sudah
halus direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunak
susunan selnya sehingga zat-zat tertentu akan larut (Ansel, 1989).
Keuntungan dari metode ini yakni kepraktisannya, pelarut yang
digunakan lebih sedikit, dan tidak memerlukan pemanasan. Namun
kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan relatif lama
(Kristianti, 2008).
Ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan
ekstrak, antara lain jumlah simplisia, derajat kehalusan simplisia
agar proses penarikan dapat maksimal, jenis pelarut yang
digunakan harus aman dan efisien, suhu yang tepat, lama waktu
penyari, serta proses ekstraksi (Agoes, 2007). Semakin besar
perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan
semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigt, 1984) Efektifitas
21
ekstraksi senyawa kimia dari tumbuhan bergantung pada 4 faktor,
yakni bahan tumbuhan yang diperoleh, keaslian tumbuhan yang
digunakan, proses ekstraksi, dan ukuran partikel (Tiwari et.al,
2011).
2.5.3 Metode Ekstraksi Pektin
Umumnya, pelarut yang sering digunakan adalah etanol. Hal
ini dikarenakan polaritasnya yang tinggi dibanding jenis pelarut
organik yang lain. Etanol mempunyai titik didih yang rendah,
cenderung aman, juga tidak beracun dan berbahaya. (Ramadhan
dan Phaza, 2010). Etanol adalah pelarut semi polar dan mampu
menarik sebagian besar kandungan kimia dari simplisia. Etanol
juga dapat menarik senyawa kimia yang lebih banyak daripada
metanol dan air (Azizah dan Salamah, 2013). Diketahui juga bahwa
ekstraksi kulit pisang dengan pelarut etanol 96% positif
mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan kuinon
(Saraswati, 2015).
Ekstraksi pektin merupakan proses pengeluaran pektin dari
sel pada jaringan tanaman. Ekstraksi pektin dengan larutan asam
dilakukan dengan cara memanaskan bahan dalam larutan asam
encer yang berfungsi untuk menghidrolisis protopektin menjadi
pektin. Ekstraksi ini dapat dilakukan dengan asam mineral seperti
asam klorida atau asam sulfat. Sebelum tahap ekstraksi, perlu
dilakukan perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan kotoran,
senyawa gula, dan bahan padat terlarut lainnya. Selain itu proses ini
bertujuan untuk proses inaktivasi enzim pektin esterase yang dapat
menghidrolisis pektin menjadi pekat. Menurut Braverman (1949),
pada tahap ini pencucian dilakukan dengan air dingin dan air dingin
harus selalu diganti. Bila bahan tidak dicuci, senyawa gula yang
tertinggal akan menyebabkan pektin kering yang diperoleh
memiliki sifat higroskopis. Selain itu tahap ini juga dapat
dijalankan dengan pemanasan dan penguapan. Proses ini juga
22
ditujukan untuk menghilangkan pigmen, senyawa gula, dan
kotoran. Makin tinggi suhu ekstraksi, makin singkat waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Namun,
ekstraksi dengan panas yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan pektin sehingga menurunkan kualitasnya (Sudiyono,
2012). Selain itu perlu diperhatikan juga faktor keasaman yang
digunakan. Kisaran pH yang direkomendasikan 1,5-3,0 tetapi pH
kisaran 2,6-2,8 lebih sering dipakai (Kirk dan Othmer, 1958).
Setelah ekstraksi, dilakukan pengendapan yakni proses
pemisahan pektin dari larutan dengan mengendapkan senyawa
pektinnya. Berbagai cara pengendapan antara lain spray drying,
salting out dan dengan penambahan bahan pelarut organik seperti
alkohol dan aseton. Setelah pengendapan, pektin akan dimurnikan
dan dikeringkan agar bebas dari senyawa-senyawa lain. Pencucian
dilakukan dengan etanol, kemudian dihaluskan dan diayak untuk
memperoleh serbuk pektin. Jika pada pektin tidak dilakukan
pengeringan, maka kondisi lembab pada gel pektin akan
dimanfaatkan oleh jamur untuk tumbuh dan berkembang biak,
sehingga merusak pektin.
Bernasconi et.al (1995) menyatakan bahwa metode satu tahap
ekstraksi umumnya tidak mungkin seluruh ekstrak terlarutkan. Hal
ini disebabkan adanya kesetimbangan antara ekstrak yang
terlarutkan dan ekstrak yang masih tertinggal dalam bahan.
Ekstraksi akan lebih menguntungkan jika dilakukan dalam jumlah
tahap banyak dan setiap tahap menggunakan pelarut yang sedikit.
Rendemen pektin optimal diperoleh dengan metode dua kali
ekstraksi. Waktu ekstraksi pun sangat mempengaruhi perolehan
pektin, hasil maksimal diperoleh pada saat ekstraksi dilakukan
selama 2 jam dengan perolehan kadar pektin sebesar 14,89% untuk
ekstraksi pektin dari pisang ambon dengan menggunakan pelarut
HCl.
23
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Bulan
No. Kegiatan
Januari Februari Maret April Mei
1. Observasi X X
2. Pembuatan proposal X X
3. Bimbingan proposal X X X
4. Pelaksanaan penelitian X X
5. Pembuatan laporan X X
6. Pengumpulan laporan X
24
3.3 Variabel
Variabel bebas pada penelitian ini adalah komposisi ekstrak maserasi
kulit pisang dan ekstrak pektin kulit pisang dalam adonan pasta gigi,
sementara variabel terikatnya adalah kemampuan membersihkan serta
kekentalan pasta gigi.
25
menit. Pemberat diangkat dan dilakukan pengukuran terhadap diameter
sampel.
Uji sifat organoleptik dilakukan dengan pengamatan visual terhadap rasa,
warna, dan bentuk pasta dalam rentang waktu per 3 hari.
26
disaring dengan menggunakan kain kasa untuk mengambil filtrat.
Filtrat yang telah diperoleh diuapkan selama ± 5 hari di ruangan
dengan suhu kamar untuk menghilangkan etanol 96% yang
terkandung di dalamnya sehingga diperoleh filtrat kental.
3.6.3 Ekstraksi Pektin
Simplisia ditambah aquades dengan perbandingan 1:10 serta
HCL 1 N. Campuran diaduk rata dan dipanaskan dengan suhu 90ºC
selama 2 jam. Campuran disaring dengan saringan untuk
memperoleh filtrat, kemudian filtrat ditambah etanol 96% dengan
perbandingan 1:1 dan didiamkan selama 24 jam hingga terbentuk
endapan. Setelah 24 jam, endapan diambil setelah sebelumnya
ditambah dengan air hangat. Untuk memastikan HCl pada endapan
sudah cukup aman, etanol 96% tadi diuji dengan indikator
phenolftalein. Endapan yang diperoleh kemudian dipanaskan
hingga kering dengan suhu 100ºC selama 1 jam dengan
menggunakan oven. Proses ini menghasilkan pektin kering dari
kulit pisang.
3.6.4 Pembuatan Pasta Gigi
Mempersiapkan wadah berupa mortir panas. Pektin pisang
sebagai bahan pengikat dimasukkan ke dalam mortir. Komposisi
pektin pisang yang digunakan adalah variasi. Menambahkan
Kalsium karbonat, Magnesium karbonat, serta Natrium benzoat.
Setelah tercampur, ditambah aquades sedikit demi sedikit dan
diaduk perlahan hingga tercampur dengan pektin. Ditambahkan
sorbitol dan ekstrak mint sebagai perasa dan gliserin sebagai
humektan sambil tetap diaduk rata hingga campuran mengental.
Larutan dipastikan sudah benar-benar tercampur homogen sebelum
ditambah dengan bahan aktif berupa ekstrak kulit pisang dengan
kadar yang bervariasi. Larutan yang sudah rata kemudian
dimasukkan ke dalam wadah.
27
Sediaan pasta gigi pertama-tama dibuat dalam skala kecil 50
mL yaitu sebagai sampel untuk diuji kelayakannya. Setelah dinilai
layak, pasta gigi dibuat dalam skala besar 150 mL. Tabel 3.2
berikut menunjukkan formula dari tiga formulasi pasta gigi.
Tabel 3.2 Formulasi pasta gigi dalam gr (pembuatan 50 mL)
28
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
29
Gambar 4.1 Pisang Ambon dengan Gambar 4.2 Kulit Pisang Ambon
Tingkat Kematangan 6 yang Telah Dirajang
30
4.1.2 Pembuatan ekstrak kulit pisang
Sebagian dari simplisia yang telah diperoleh digunakan untuk
membuat ekstrak kulit pisang. Eksrak kulit pisang dibuat dengan
cara maserasi dengan tujuan untuk memperoleh zat-zat tertentu
yang dibutuhkan. Peniliti ingin memperoleh senyawa aktif yang
memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri yakni
tanin, alkaloid dan flavonoid.
Maserasi dimulai dengan menambah etanol 96% pada
simplisia dengan perbandingan 1:10. Campuran diaduk secara
manual selama enam jam pertama dan selanjutnya didiamkan
selama 18 jam. Pendiaman ini dilakukan agar pelarut meresap dan
melunakkan sususan sel simplisia sehingga zat-zat tertentu dapat
terlarutkan.
31
dengan perbandingan 1:10 serta HCl 1 N. Campuran diaduk rata
dan dipanaskan dengan suhu 90ºC selama 2 jam. Pemanasan
ditujukan untuk mengaktifkan pektin pada kulit pisang yang masih
berupa protopektin. Protopektin berbeda dengan pektin, sehingga
jika tidak diaktifkan pun sifatnya tidak seperti pektin yang dapat
membentuk gel.
32
gelap, sedangkan menurut Farmakope Indonesia (2004) pektin
seharusnya berwarna putih kekuningan. Perubahan warna yang
terjadi disebabkan karena pada proses pembuatan simplisia, kulit
pisang terpapar oleh sinar matahari dan tidak direndam terlebih
dahulu menggunakan larutan natrium tiosulfat. Namun mengacu
pada Food Chemical Codex (2006) warna pektin yang kecoklatan
masih sesuai dengan mutu standar.
33
4.1.4 Pencampuran bahan
Pencampuran bahan pasta gigi Banadent dilakukan di wadah
panas agar memudahkan pelarutan bahan-bahan. Pektin pisang
sebagai bahan pengikat dimasukkan ke dalam wadah. Sifat pektin
yang membentuk gel menyebabkan sedikit kesulitan pada tahap
pengadukan karena dapat menggumpal dan tidak tercampur rata.
Oleh karena itu, peneliti mencampurkan dahulu bahan-bahan padat
agar memudahkan tahap selanjutnya. Bahan-bahan tersebut adalah
Kalsium karbonat sebagai bahan abrasif, Magnesium karbonat
sebagai bahan pengisi, dan Natrium benzoat sebagai pengawet.
Campuran menggunakan 12,5 gr Kalsium karbonat dan 12,5 gr
Magnesium karbonat di mana masing-masing komposisinya adalah
25%. Meski digunakan sebagai bahan pengisi dan penyerap bau
mulut, Magnesium karbonat masih dapat berperan sebagai bahan
abrasif. Peneliti tidak ingin menghasilkan sediaan pasta gigi yang
kemampuan abrasifnya berlebihan karena dapat merusak gigi,
sehingga Kalsium karbonat dan Magnesium karbonat ditetapkan
pada kadar itu.
Setelah tercampur rata, ditambahkan aquades sedikit demi
sedikit dan diaduk perlahan hingga tercampur dengan pektin.
Campuran terus diaduk sambil ditambah dengan bahan cair lainnya
seperti sorbitol sebagai perasa dan gliserin sebagai humektan.
Campuran juga ditambah peppermint oil untuk memberikan rasa
mentol pada pasta gigi. Minyak peppermint oil yang digunakan
hanya sedikit, yakni 0,20 mL untuk 50 mL pasta gigi karena
apabila terlalu banyak akan memberikan pedas yang terlalu kuat.
Selain itu jika terlalu banyak juga dapat menyebabkan sediaan
pasta gigi bertambah cair. Pada tahap ini, campuran akan
mengental jika pektin sudah aktif. Pada pencampuran pertama,
peneliti mengalami kegagalan karena pembuatan pektin pertama
mengalami kegagalan. Pencampuran kedua berhasil karena pektin
34
yang dibuat juga sudah berhasil. Pada tahap ini pencampuran akan
menghasilkan sediaan dengan warna putih. Hal ini disebabkan
karena adanya Kalsium karbonat dan Magnesium karbonat.
Campuran dipastikan sudah benar-benar tercampur homogen
sebelum ditambah dengan bahan aktif sebagai surfaktan berupa
ekstrak kulit pisang. Campuran dikatakan sudah homogen apabila
sudah tidak terlihat partikel-partikel kasar atau gumpalan.
Penambahan ekstrak kulit pisang memberikan bau khas pisang
ambon pada pasta gigi Banadent. Warna ekstrak kulit pisang yang
coklat menyebabkan terjadi juga perubahan warna. Campuran yang
sebelumnya berwarna putih menjadi agak pucat. Terakhir,
campuran yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam
wadah untuk selanjutnya dilakukan pengujian.
Pengujian dilakukan dengan sampel pasta gigi skala kecil.
Setelah ditemukan formulasi yang layak, barulah pasta gigi
Banadent dibuat dalam skala besar 150 mL. Pasta gigi harus
disimpan dalam wadah yang tertutup rapat untuk mencegah
masuknya udara yang dapat membentuk gelembung-gelembung
udara pada pasta gigi. Pencegahan gelembung udara juga dapat
dilakukan dengan melakukan pengadukan secara hati-hati dengan
tekanan yang tidak terlalu besar.
Pektin merupakan komponen penting pada pembuatan pasta
gigi Banadent karena menjadi satu-satunya bahan pengikat yang
digunakan, berbeda dengan pasta gigi konvensional yang umumnya
menggunakan dua atau lebih bahan pengikat agar sediaan menjadi
lebih stabil. Ketidakberadaan pektin juga dapat membuat sediaan
pasta gigi tidak homogen. Ketidakhomogenitas yang dimaksud
adalah perbedaan warna serta pemisahan fase cair-padat pada pasta
gigi. Hal ini terlihat dari percobaan pertama peneliti di mana
setelah penyimpanan selama satu hari, ekstrak kulit pisang yang
masih mengandung etanol memisah di bagian atas sehingga pada
35
bagian atas bersifat cair dan berwarna kecoklatan. Partikel-partikel
pektin yang tidak aktif dan masih kasar terapung di bagian atas.
Sementara di bagian bawah, pasta gigi mengental karena
kandungan gliserin dan sorbitolnya. Bobot jenis campuran gliserin,
sorbitol, Kalsium karbonat dan Magnesium karbonat yang lebih
besar dari ekstrak membuat ekstrak berada di permukaan. Saat
diaduk campuran akan kembali tercampur rata, namun akan
mengalami ketidakhomogenitas yang sama seperti sebelumnya saat
didiamkan beberapa saat.
36
Gambar 4.12 Uji abrasif
Hal ini terbukti dari memudarnya pewarna yang ada pada telur setelah
digosok menggunakan sampel pasta gigi Banadent. Gambar 4.12
menunjukkan bagian cangkang telur yang berwarna lebih putih telah digosok
dengan sediaan pasta gigi Banadent. Kemampuan ini dipengaruhi oleh adanya
Kalsium karbonat dan Magnesium karbonat.
37
memengaruhi tingkat keasamannya. Hal ini terbukti dari formulasi F3 yang
mengandung pektin paling banyak (1,5 gr) memiliki pH yang lebih asam.
Ekstrak kulit pisang yang digunakan tidak terlalu mempengaruhi tingkat
keasamaan pasta gigi karena kadarnya yang sedikit dan pH-nya sendiri
hampir netral. Berdasarkan pengujian, pH dari tiap-tiap formulasi cenderung
stabil.
Tabel 4.2 Data Hasil Uji Daya Sebar Pasta Gigi Banadent
Pengukuran daya sebar sampel dapat dilihat di Tabel 4.2. Uji daya
sebar ditujukan untuk mengetahui kemampuan menyebar pasta gigi saat
dioleskan. Kemampuan menyebar adalah karakteristik yang penting dalam
formulasi transfer bahan aktif pada daerah target dalam dosis yang tepat,
kemudahan penggunaan, tekanan yang diperlukan agar dapat keluar dari
kemasan, dan penerimaan oleh konsumen (Garg, A., et.al, 2002). Menurut
hasil uji daya sebar, sampel pasta gigi Banadent yang memenuhi persyaratan
adalah F1 dan F3 yaitu dengan 6,075 dan 5,26. Sementara F2 tidak memenuhi
persyaratan daya sebar disebabkan karena daya sebarnya melebihi
persyaratan, di mana rata-ratanya adalah 7,262. Daya sebar pasta gigi
dipengaruhi oleh adanya pektin dan gliserin. Karena pada percobaan ini
komposisi gliserin dari ketiga formula dibuat sama, maka yang
mempengaruhi daya sebar pada sampel pasta gigi Banadent adalah pektinnya.
F2 memiliki kandungan pektin yang paling sedikit yaitu 0,5 gr sehingga daya
sebarnya terlalu besar karena pektin tidak mampu mengikat kandungan-
kandungan cair pada pasta gigi. F3 adalah formula yang paling kental karena
penggunaan pektinnya 1,5 gr untuk 50 mL pasta gigi, sehingga kadarnya
melebihi anjuran (3%).
38
Pada percobaan, peneliti tidak dapat melakukan pengujian daya lekat
terhadap sampel pasta gigi Banadent karena keterbatasan alat. Meski
demikian, diketahui bahwa daya sebar sediaan akan semakin tinggi jika
sediaan memiliki daya lekat yang semakin rendah, demikian juga sebaliknya
(Laverius, 2011) sehingga daya sebar sediaan berbanding terbalik dengan
profil daya lekat sediaan. Daya lekat menggambarkan konsistensi pasta gigi.
Semakin tinggi nilai daya lekatnya, pasta gigi akan terlihat kokoh namun
sukar terdistribusi ketika sudah dioleskan di atas sikat gigi. Sementara jika
daya lekat terlalu rendah, sediaan pasta gigi akan segera melebur ke bawah
permukaan sikat gigi. Mengacu pada landasan tersebut, maka daya lekat F1
yang paling besar sementara F3 yang paling kecil. Di antara ketiga formulasi,
F1 merupakan formula yang daya sebarnya paling baik karena tidak terlalu
mendekati nilai minimum maupun maksimum.
39
Hasil pengamatan organoleptik dan homogenitas sampel pasta gigi
Banadent dapat dilihat di Tabel 4.3. Hasil pengamatan organoleptik ini
menunjukkan hasil organoleptik yang tidak banyak berbeda antara F1-F3.
Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan tidak adanya perubahan warna,
homogenitas dan kelembutan sediaan pasta gigi. Yang mengalami perubahan
adalah sediaan pasta gigi F2 yakni perubahan konsistensi. Perubahan ini
terjadi setelah pengujian pada pengujian ketiga yakni selang enam hari
setelah pembuatan pasta gigi. Pada mulanya konsistensi F2 memang sudah
cukup cair, lalu semakin cair setelah penyimpanan. Hasil pengamatan juga
menunjukkan homogenitas sampel. Persyaratan homogenitas ini diperlukan
agar bahan aktif dalam pasta terdistribusi merata, juga agar tidak mengiritasi
ketika dioleskan di kulit. Dengan tidak adanya partikel kasar pada sampel
pasta gigi Banadent, sekaligus dapat digunakan untuk uji hardness &
sharpness. Sampel memiliki sifat yang halus dan lembut saat disentuh
sehingga sesuai dengan syarat pasta gigi.
Selain itu dari pengamatan organoleptik diketahui bahwa sampel pasta
gigi Banadent tidak menghasilkan busa karena tidak menggunakan bahan
pembusa SLS, melainkan disubstitusikan dengan bahan aktif ekstrak kulit
pisang. Adanya busa pbukan merupakan syarat yang wajib pada suatu pasta
gigi, namun memang digunakan untuk tujuan kenyamanan penggunaan. Pasta
gigi Banadent merupakan pasta gigi dengan fungsi orisinil pembersih gigi,
sehingga ketidakberadaan busa dapat diabaikan.
Secara keseluruhan, sedian gel pasta gigi F1 dari ketiga formula
merupakan formula yang paling stabil dan sesuai dengan syarat kelayakan
pasta gigi dilihat dari kemampuan abrasif, pH, organoleptis, daya sebar,
hardness & sharpness, homogenitas, serta organoleptik sediaan pasta gigi.
Formula F1 menggunakan pektin dan ekstrak kulit pisang masing-masing
sebanyak 2%. Secara organoleptik F1 memiliki konsistensi yang kental,
namun tidak terlalu kental sehingga mudah dioleskan pada sikat gigi.
Konsistensi yang dimiliki pun stabil, tidak berubah meski sudah disimpan
selama beberapa hari. Pasta gigi Banadent formulasi F1 juga diketahui tidak
40
mengalami perubahan yang signifikan serta tidak mengalami pemisahan
selama penyimpanan sehingga menjadi dinilai sebagai formula yang paling
tepat.
41
penggunaannya masih beresiko seperti SLS. Hal ini menjadi poin plus bagi
pasta gigi Banadent karena mampu membersihkan gigi dari kotoran dan
mencegah terbentuknya plak dengan aman tanpa menggunakan SLS. Selain
itu bahan pengikatnya pun menggunakan pektin dari kulit pisang sehingga
pembuatannya lebih ekonomis tanpa perlu membeli bahan pengikat lainnya.
Untuk menghasilkan satu produk pasta gigi Banadent seukuran 150 mL, biaya
produksi yang dibutuhkan adalah kisaran Rp 20.000 di luar biaya penelitian.
Harga ini dapat ditekan lebih rendah lagi jika dibuat dalam skala besar,
terutama jika dapat memperoleh harga sumber daya dengan harga murah.
Di samping itu pasta gigi Banadent sudah memiliki rasa manis, mentol
dan tidak kesat sehingga nyaman digunakan. Pasta gigi ini juga memiliki bau
khas pisang ambon serta tekstur yang lembut sehingga sudah nyaman
digunakan selayaknya pasta gigi konvensional.
Kekurangan dari pasta gigi Banadent adalah karena fungsinya yang
orisinil sebagai pembersih gigi dan bahan SLS digantikan, pasta gigi ini tidak
memberikan kepuasan pada konsumen berupa pembentukan busa seperti pada
pasta gigi konvensional. Kekurangan lainnya adalah produk Banadent baru
dipastikan lolos 4 dari 9 syarat standar mutu pasta gigi dan belum melewati
seluruh uji kelayakan.Kekurangan-kekurangan dapat diperbaiki dengan
perkembangan penelitian terhadap pasta gigi Banadent terutama dengan
pengadaan alat-alat yang lebih lengkap.
42
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti memperoleh beberapa
kesimpulan. Proses pemanfaatan kulit pisang sebagai pasta gigi organik
berhasil dilakukan dengan menambahkan ekstraksi maserasi kulit pisang
sebagai substitusi SLS dan pektif aktif hasil ekstraksi kulit pisang sebagai
bahan pengikat ke dalam formula pasta gigi yang dibuat. Peneliti juga
memperoleh formulasi yang paling tepat untuk pasta gigi Banadent, yakni
dengan kadar ekstrak kulit pisang dan pektin masing-masing 2%. Secara
kelayakan mutu, pasta gigi Banadent masih memerlukan perkembangan
terhadap kelayakan mutu pasta gigi namun sudah memenuhi 4 dari 9 syarat
yang ada.
5.2 Saran
Peneliti memiliki beberapa saran bagi penelitian selanjutnya, antara lain
dalam melakukan pengadukan hingga komposisi yang digunakan.
Pengadukan harus dilakukan hati-hati dan perlahan agar tidak terjadi
penggumpalan yang menyebabkan sediaan pasta gigi menjadi tidak homogen.
Pembuatan pektin harus diperhatikan sebaik mungkin untuk menghindari
kegagalan. Dapat dilakukan pengujian pektin terlebih dahulu sebelum
dicampurkan apabila tersedia alat-alat yang dibutuhkan. Komposisi dan
kebersihan selama pencampuran bahan harus dilakukan dengan teliti dan
tepat.
43
DAFTAR PUSTAKA
Angela, A. 2005. Pencegahan Primer Pada Anak Yang Berisiko Karies Tinggi.
Maj. Kedokteran Gigi. Dend.J. Vol.38 No.3.
Aoba, T., Fejerskov, O. 2002. Dental Fluorosis: Chemistry and Biology, Crit Rev
Oral Biol Med. Vol. 13:155-171. Dalam: Centers for Disease Control and
Prevention. 2001. Reccomendation for Using Flouride to Prevent and Control
Dental Caries in United States.
Badan Standar Nasional. Standar Nasional (SNI) Pasta Gigi 12-3524-1995. 1995.
Jakarta. Indonesia
viii
Balsam, M.S. 1972. Cosmetic Science and Technology, Edisi Kedua. New York,
John Willy and Son Inc, 179-218.
Bernasconi, G., Gerster, H., Hauser, H., Stauble H., dan Schneifer, E. (1995).
Teknologi Kimia. Bagian 2. Penerjemah: Handojo, L.Prandya, P. Jakarta. Hal
177-185
Braverman 1949. Citrus Product. Interscience Publisher. Inc. New york. Halaman
43
Chipley JR. 1983. Sodium Benzoate and Benzoic Acid in Antimicrobials in Food.
New York: Marcel Dekker.
ix
Food Chemical Codex. 1996. Pektins. http://arjournals.annual
reviews.org/doi/abs/10. 1146/annurev.bi.20.070151.000435
Garg, A., Aggrawal D., Garg, S., Sigla A.K (2002). Spreading of Semisolid
Formulation: An Update. Pharmaceutical Technology. September 2002: 84-102
Hariyati, M.N. 2006. Ekstrasi dan Karakterisasi Pektin dan Limbah Proses
Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Herbstreith, K, dan G. Fox. 2005. Pectin. Herbstreith & Fox Corporete Group
Jackson, E. B. 1995. Sugar Convectionery Manufacture, 2nd Ed. Cambridge :
Cambridge University Press.
Jellineck, S. 1970. Formulation and Function of cosmetics. 16, John wiley and
Sons, Inc., USA. 428-433.
x
Kirk, R.E and Othmer, D.F., 1952, Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed.,
Vol. 1, The Inter Science Encyclopedia, Inc., New York
Nurhikmat, Asep. 2003. Ekstraksi Pektin dari Apel Lokal : Optimalisasi pH dan
Waktu Hidrolisis. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia - LIPI:
Yogyakarta
Pylypiw HM, Grether MT. 2000. Rapid high performance liquid chromatography
method for the analysis of sodium benzoate and potassium sorbate in foods.
Journal of Chromatography A 883: 299-304.
Ramadhan, A.E dan Phaza, H.A. 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu Dan
Jumlah Stage pada Ekstraksi Oleorosin Jahe (Zingiber officinale Rosc)
xi
Roslan, A. N. Bt., Jenny S., dan Anis I. 2009. Penurunan Sensitivitas Rasa Manis
Akibat Pemaikaian Pasta Gigi Yang Mengandung Sodium Lauryl Sulphate 5%.
Jurnal PDGI, Vol 58.
Sari, Endah I.A. 2008. Laporan Penelitian Pengaruh Variasi Substrat dan Lama
Fermentasi terhadap Produksi Alokohol Pisang Klutuk (Musa branchycarpa).
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negri Malang : Malang
Secara Batch. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang
xii
Sudiyono, 2012. Ekstraksi dan Kegunaan Pektin dari Kulit Jeruk. Universitas
Widyagama Malang. Malang
Supriyadi, Ahmad dan Suyanti Satuhu. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan dan
Prospek Pasar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Towle, G.A. dan Christensen, O. (1973). Pectin. Academic Press, New York
Zhang P, Whistler RL, BeMiller JN, Hamake BR. 2005. Banana starch:
Production, physicochemical properties, and digestibility- a review. J Carbohy
Polymers. 59: 443-458
xiii