Anda di halaman 1dari 16

NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA WAJIB PASANGAN REMAJA PUTRI

UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Amadanayutà kanyà yuwatì ca rajaswalà, kàntà payodharànwità pramadà ca hatà


smaraiá. Kalinganya, ikang strì anwam, turung ana rawat-rawat ing madane i ri ya, yeka
kanya ngaranya, kunang ikang strì bahu rajaúwala, yuwati ngaranya, hana pwekang strì
kapêtêk susunya, turung ika sinanggama, yeka kaóþa ngaranya, muwah ikang strì huwus
kasimbat ing hru sang hyang smara, wahu-wahu mari kasatan pangêne ning sañjata, yeka
pramada ngaranika, ling ing úàstra.”

(Úlokàntara, úloka 38)


Terjemahan:

Hakikatnya, seorang gadis remaja yang belum pernah merasakan nafsu cinta dinamakan
kanya. Gadis yang mulai kotor kain dinamakan yuwati. Gadis yang payudaranya mulai
membesar, tetapi belum pernah bersenggama, dinamakan kanta. Gadis yang telah terkena
panah dewa asmara, yang tidak henti-hentinya merindukan tusukan panah asmara,
dinamakan pramada. Demikian menurut kitab sastra ”.

2. Wåddhì dhanawati stri ca wirùpàtyantakartåkà daridrà rùpasampannà tiûraá sewya


wicakûanaiá. Kalinganya ikang wwang marabi, yan inalap huwus matuwa wayahnya, yan
sugih mas, alapěn ika, muwah yan hala rùpanya, atyanta ring prajña, alapěn ika, kuněng
yan amosěl kasihan, piněnuhan dening hayu ning rùpanya, alapěn ika, ika ta katělu, siwiněn
ika de sang wicakûaóa, ling ning aji.

(Úlokàntara, úloka 40)

Terjemahan:

Hakikatnya, orang yang mau kawin, jika seorang wanita sudah dewasa umurnya, jika dia
kaya raya (kaya emas), wanita itu baik untuk dikawini; apabila rupanya buruk tetapi
orangnya sangat pandai, ambillah sebagai istri; adapun jika orangnya sangat miskin, rupanya
sangat cantik layak dipakai istri; sebagai orang bijaksana di antara ketiga wanita itu boleh
dikawini, demikian menurut ajaran agama.

NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA PILIHAN PASANGAN REMAJA PUTRI


UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Yapwan awajña sampe buddhi ning aweh dāna, tan śraddhā kunang, tan abungah mituhu
hana ning karmaphala, kaniûþadāna ngaranika, kaniûþaphala ika jêmah, ling sang paóðita.
(Sàrasamuccaya, úloka 210)

Terjemahan:
Apabila dana punia itu kita berikan dengan penghinaan dan kemarahan, tanpa tulus ikhlas,
serta tidak percaya akan adanya hukum karmaphala, maka pemberian kita itu merupakan
sedekah yang hina, dan amat rendah pulalah pahalanya kelak. Demikian kata orang
bijaksana.

2. Ndātan pramāóa kwehnya, yadyapin sakweha ning dåbya nikang wwang puóyākênya, ndān
yan agêlêh buddhinya, kapàlang-alang tan tulus tyāga, tan paphala ika. Sangkûepanya,
śraddhā ning manah prasiddha kāraóa ning phala.
(Sàrasamuccaya, úloka 205)

Terjemahan:
Biarpun dana punia kita banyak jumlahnya, ataupun semua harta milik kita didanapuniakan,
bilamana dalam memberikannya itu dengan pikiran keruh dan tidak dengan tulus ikhlas,
maka dana punia kita itu tidak berguna. Singkatnya, kesucian pikiran kitalah yang
menyebabkan keberhasilan itu.

3. Kunang lwiring ujarakĕna nihan, satya ta ya makàwak hingsà, haywa makàwak upĕt,
hitāwasāna ta ya, haywa ta pāruûya, haywa kaslĕtan gêlĕng, haywa nṛúangsa, haywa
paiúunya, mangkana lwir ning tan yogya ujarakĕna.
(Sàrasamuccaya, úloka 132)

Terjemahan:

Adapun jenis perkataan yang patut kita ucapkan, adalah ucapan yang mengandung
kebenaran. Janganlah berkata menyakiti hati orang lain! Janganlah suka mengumpat!
Berkatalah yang bermanfaat! Janganlah berkata kasar! Janganlah berkata marah! Jangan
berkata sombong! Janganlah berkata memfitnah! Demikianlah jenis perkataan yang tidak
pantas diucapkan.

4. Nihan lakûaóa ning satya, hana ya tinañanta, tan pawuni màjar ta ya, yathābhūta, torasi
ikang sakawruhnya, prawåttinya ikang mangkana, yatika lakûaóa ning kasatyan.
(Sàrasamuccaya, úloka 133)

Terjemahan

Beginilah prilaku orang yang jujur, jika ada hal yang kau tanyakan kepadanya, tanpa
disembunyikan, ia akan menjawab menurut faktanya, segala hal yang benar-benar
diketahuinya. Orang yang berprilaku demikian itulah disebut melaksanakan kejujuran.

5. Kalinganya, yan purnama tilěm, kàla sang sàdhujana manghanàkěn puóyadàna, tunggal
mulih sapuluh ika de bhatara, kunang yan candragrahana, suryagrahana, kala sang sàdhu
manghanàkěn puóyadana, tunggal mulih sàtus ika de bhatàra, kunang yan kanyagatakala,
sang sàdhu manghanàkěn puóyadàna, tunggal mulih sewu ika de bhatara, kunang yan
sěděng ing yugàntakàla sang sàdhu manghanàkěn puóyadàna ika, tunggal mulih tan
pahingan ika de bhatàra, kengětakna de sang mangusir kapradhànan ika.
(Úlokàntara, úloka 17)

Terjemahan:

Pada hakikatnya: jika pada bulan purnama dan bulan mati (tilem) kita memberikan dana
punia, pemberian yang satu akan dikembalikan sepuluh kali oleh Tuhan. Adapun jika pada
waktu gerhana bulan dan gerhana matahari kita memberikan dana punia, pemberian yang
satu akan dikembalikan seratus kali oleh Tuhan. Adapun jika pada saat pemujaan arwah
leluhur, kita memberikan dana punia, pemberian yang satu akan dibalas seribu kali oleh
Tuhan. Adapun pada waktu masa akhir yuga kita berdana punia, pemberian yang satu akan
dibalas tak terhitung jumlahnya oleh Tuhan, hendaknya selalu diingat oleh kita sebagai
orang yang mencari kesucian.

6. Tĕlu tikang prasiddha dṛbya, mas manik ngaranya, ling sang paṇḍita, pratyekana, si tan
mahyun mamatya-matyani, si tan drohi, si mujarakĕnang satya, nahan ta dṛbya wastu ning
mūlya, ling sang mahàpuruûa.
(Sàrasamuccaya, úloka 151)

Terjemahan:

Ada tiga hal yang pantas kita miliki, ibarat emas permata menurut sang pendeta, yaitu: sifat
kita yang tidak suka membunuh, tidak suka berkhianat, suka mengucapkan kata-kata yang
benar; itulah merupakan harta milik kita yang sungguh-sungguh berharga, menurut orang
bijaksana.

7. Kalingnya ikang strì yan halàmběknya, ring lakinya yogya tinggalakna. Mangkana teka
sang prabhu yan ahala budhi nira, kadi amběk ring raray angwan, tinggalakna ika dening
mantri nira. Mangkana swabhawa ning ratu lawan ikang strì, yan ahala pamaryàdàn ika,
tan rakûaněn, lunghànana rehnya. Hawya tan makalakûaóa ng prayatnàngdehana, ling sang
hyang aji.
(Úlokàntara, úloka 41)
Terjemahan:

Hakikatnya, seorang istri yang tidak berprilaku baik dan tidak setia kepada suami, pantas
ditinggalkan. Demikian pula seorang raja jika berprilaku buruk, bagaikan prilaku anak-anak,
ia akan ditinggal oleh para menterinya. Demikianlah perbuatan seorang raja dan seorang istri
jika prilakunya tidak baik, tinggalkanlah dia. Janganlah dipelihara, jauhilah perbuatannya
itu. Kita tidak boleh lengah mengawasinya! Demikian menurut ajaran suci.

8. Maněmbah ta Sang Hidimbi ri Dewi Kunti. Mojar ta ya ri sira, lingnya: “He mahàdewi,
nghulun ràkûasì makaswabhàwa krùrarùpa. Ndan tininggal ri nghulun ikà krùrakara ning
ràkûasì rùpa, sasolah swabhawangkwa i nguni kabeh. Nyang solah ning manuûa gawayěn
tuladana mangke, wet ning hyun ni nghulun ri ranak mahàdewi.”
(Adiparwa, Bab XV)

Terjemahan:

Menyembahlah Sang Hidimbi kepada Dewi Kunti. Berkatalah dia kepadanya, katanya: “Hai
mahadewi, hamba raksasa perempuan bertabiat dan berwajah menakutkan. Sekarang akan
hamba tinggalkan sifat kejam dan rupa raksasa ini, semua sifat dan perbuatan hamba dahulu.
Sekarang hamba akan menuruti tingkah laku manusia, karena keinginan (cinta) hamba
terhadap putra mahadewi.”

Sumber

1. Adiparwa I, II, oleh Siman Widyatmanta, 1958


2. Sàrasamuccaya, oleh G. Pudja, M.A., S.H., 1984/1985
3. Slokàntara, oleh Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A., 2003
NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA WAJIB PASANGAN REMAJA PUTRA
UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Ikang kàla wětu nikang rare, asþamì úukla sěděng těngah ng we, jyeûþa nakûatra, Indra
dewatà. Abhijit muhūrta, uttama kàla. Hana ta dewatàúabda ring àkàúa, lingnya: Eûa
dharmawidhiá úreûþaá. Yekà wruh ing dharma dlàha”. Mangkana ling àkàúawàkya. Inaran
tang rare sang Yudhiûþhirànak atuha ri sang Pàóðu.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Pada waktu anak itu lahir tepat tengah hari paroh terang ke delapan bulan Jyesta, bintangnya
Indra dewata, Abhijit muhūrta, waktu yang sangat baik. Maka terdengarlah sabda dewa dari
angkasa, ucapnya: Eûa dharmawidhiá úreûþaá. Anak itu kelak mengetahui tentang dharma.
Demikianlah sabda angkasa. Lalu anak itu diberi nama Sang Yudhiûþira, anak tertua Sang
Pàóðu.

2. Muwah ta sang Kuntì kinon angàradhanà bhaþàra Bàyu, narapwan mànaka úakti.
Inàràdhana nira ta sang hyang Prabhañjana. Inanugrahan ta sirànaka, ring Poûya úukla
wětu nira. Hana tàkàúaúabda: “Sarwabalinàm úreûþah. Yeka uttama mahàúakti dlàha”.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Kemudian Dewi Kunti disuruh memuja Dewa Bayu, supaya mempunyai putra yang sakti.
Dipujalah Dewa Bayu. Beliau dianugrahi seorang putra lahir pada bulan Posya. Lalu
terdengar suara dari langit: “Sarwabalinàm çreûþah. Anak ini kelak akan sangat sakti”.

NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA PILIHAN PASANGAN REMAJA PUTRA


UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Nihan ta krama nikang manah, bhrānta lungha swābhawanya, akweh inangĕn-angĕnya,


dadi prārthana, dadi sangúaya, pinakāwaknya, hana pwa wwang ikang wĕnang humrêt
manah, sira tika manggĕh amanggih sukha, mangke ring para loka waneh.
(Sàrasamuccaya, úloka 81)

Terjemahan

Demikianlah hakikat pikiran, jalannya tidak menentu, banyak yang dicita-citakan, terkadang
berkeinginan, terkadang penuh keragu-raguan, demikianlah kenyataannya. Jika kita dapat
mengendalikan pikiran, pasti kita memperoleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia
yang lain.

2. Lawan tattwa nikang manah, nyang mata wuwusĕnta, nang mulat ring sarwawastu, manah
juga sahaya ning mata nikang wulat, kunang yan wyakula manahnya, tan ilu sumahayang
mata, mulata towi irikang wastu, tan katon juga ya denika, apan manah ikang wawarĕngő
ngaranya, hinganyan pradhanang manah kalinganika.
(Sàrasamuccaya, úloka 82)

Terjemahan

Dan lagi hakikat pikiran itu, bahwa mata dikatakan dapat melihat pelbagai benda, pikiran
jugalah yang menyertai mata melihat; adapun kalau pikiran kacau, tidak ikut menyertai mata
(melihat), walaupun melihat benda itu, tidak tampak juga olehnya, sebab pikiran itulah
sebenarnya yang mengetahui, oleh karena itu maka sesungguhnya pikiranlah yang
memegang peranan utama.

3. Hana tang wwang ujar makaphala lara ning para, umakusara siddha ning kārya ning
kunang, ndān mithyā ya, ikang wwang mangkana kramanya, tan atakut ring naraka ika,
takārin pagawayakĕn awaknya kapāpan ngaranika, apan ikang para prasiddha ning mukti
kapapanya, sangkûepa nika, tan ujarakĕnang ujar mangkana.
(Sàrasamuccaya, úloka 131)

Terjemahan

Ada orang berkata mengakibatkan kesedihan orang lain, berjanji menyelesaikan pekerjaan
orang lain, akan tetapi ternyata ia berbohong, orang yang demikian halnya tidak takut akan
kawah neraka, bukankah ia membuat celaka dirinya sendiri namanya, sekalipun orang lain
sebenarnya juga menderita, karena perbuatan ketidakberhasilannya itu, singkatnya,
janganlah mengucapkan perkataan demikian itu.
4. Kunêng paramārthanya nihan, tan ikang ujar adwa tikang mithyā ngaranya, tan ikang si
tuhu satya ngaranya, kunêng prasiddhanya, mon mithyā ikang ujar, tĕhĕr mangde hita juga,
magawe sukhāwasāna ring sarwabhāwa, ya satya ngaranika, mon yathàbūtha towi, yan tan
pangde sukhāwasāna ring sarwabhāwa, mithyā ngaranika.
(Sàrasamuccaya, úloka 134)

Terjemahan

Pada hakikatnya adalah demikian, bukanlah perkataan yang tidak benar itu disebut bohong,
dan bukan pula perkataan yang benar itu disebut jujur, melainkan sesungguhnya, walaupun
perkataan kita itu bohong, tetapi menimbulkan kebaikan, membuat senang semua mahluk,
itulah jujur namanya. Meskipun perkataan kita sesuai dengan apa yang terjadi, namun tidak
dapat menyenangkan semua mahluk, dusta namanya.

5. Kunang ulaha, yan pasahāya kita, sang sādhu juga sahayanta, yan ta gawaya pakadangan,
sang sādhu juga kadanganta, yadyapin patukara tuwi, nguniweh yan samitra lawan sang
sadhu juga, apan pisaningun hanā kayogya ning tan sadhu.
(Sàrasamuccaya, úloka 305)

Terjemahan

Adapun yang harus dilakukan, kalau engkau hendak mencari sahabat, carilah orang yang
berbudi luhur. Jika engkau berdebat, berdebatlah dengan orang yang bijaksana. Apalagi jika
kita bersahabat, hendaklah bersahabat dengan orang yang baik budi, sebab mustahil kita
tidak akan kelimpahan budi luhur itu.

6. Lawan ta waneh tar angĕn-angĕn dosa ning len, pisaningun ujarakĕnang parāpawāda,
guóanya, mwang ulahnya, rahayu juga kengĕt nira, tatan hana gantanira manasara sakeng
úiûþācāra, apagĕh juga sira ri maryādanira, mangkana lakṣaóa sang sādhu, sira
purusottama ngaranira waneh.
(Sàrasamuccaya, úloka 304)

Terjemahan

Lagipula tidak memikir-pikirkan dosa orang lain, dan tidak akan mengeluarkan kata-kata
celaan, hanya kebajikan dan perbuatan baik orang lain dipikirkannya, tidak mungkin orang
bijaksana akan menyimpang dari tatakrama, ia tetap teguh berpegang pada sopan santun;
demikianlah prilaku seorang bijaksana, ia disebut pula sebagai manusia utama.
7. Paramārthanya upaúama ta pwa sang sādhu ngaranira, tumungkul dening kweh ning guóa
nira, mwang wruh nira, kadyangga ning pari, tumungkul dening bwat ning wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul dening tőb ning phalanya.
(Sàrasamuccaya, úloka 307)

Terjemahan

Tujuan terpentingnya, ketenangan sebagai pembawaan orang bijak, menunduk karena


banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi menunduk karena berat buahnya, dan
dahan pohon kayu menunduk, karena lebat buahnya.

8. Kunang ika wwang tapwan hana pwa inalapnya, drêbya ning asing-asing, ya ika wastu ning
tan hana katakutnya, lila sing saparanya, kunang ikang maling ngaranya, sakwanyan sarwa
sangúaya i ri ya, nihan padanya kadi krama ning mṛga mara ring grāma.
(Sàrasamuccaya, úloka 150)

Terjemahan

Adapun orang yang sama sekali tidak pernah mencuri harta milik siapa pun, menyebabkan
tidak ada yang ditakutinya; selalu gembira ke mana pun perginya. Sebaliknya, yang disebut
pencuri, kemana pun ia pergi kecurigaan selalu ada pada dirinya, ibarat binatang buruan
masuk ke perkampungan desa.

Sumber:

Sàrasamuccaya, oleh G. Pudja, M.A., S.H., 1984/1985


NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA WAJIB PASANGAN DEWASA PUTRI
UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. “Anaku sang Úwetaketu! Hawya ta kita krodha ri sang bràhmaóa tamuy, yan
pamarigraheng ibunta, apan tan adharma ng ulah mangkana kramanya”. Mangkana ling
sang bapa. Sumahur sang Úwetaketu: “Bapa! Tan ahyun nghulun ing maryada mangkana,
apan walàtkàra katonanya. Nghulun mangke magawaya ng sěngkěr: Wyuccarantyàá
patim nàryà. Yan hana ta pwa strì majalun hana swàminya.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

“Anakku Sang Swetaketu! Janganlah engkau marah kepada tamu brahmana, yang
mengawini ibumu, karena perbuatanmu itu tidak sesuai dengan dharma. Demikian perkataan
bapaknya. Sang Swetaketu menjawab: “Ayah! Aku tidak menginginkan perbuatan seperti
itu, karena kelihatannya seperti perkosaan. Sekarang aku membuat larangan:
Wyuccarantyàá patim nàryà. Jika ada seorang istri yang masih bersuami, memilih laki-laki
lain, sama dengan perbuatan bhrūóahatyà.

2. Bhrùóahatyà kåtam param. Salwir ing pàpa ning bhrūóahatyà tiněmunya, pada lawan
pàpa ning amàtì rare jěro wêtêng pàtakanya. Mangkana prawåttyanya. Mangkana tekang
jalu-jalu yàwàt yan harěp ing strì patiwrata, mahyuna ring strì brahmacàrì kunang,
mangguhakna bhrūóahatyà, pàpa tiněmunya.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Bhrùóahatyà kåtam param. Akan menemukan penderitaan seperti orang menggugurkan


kandungan, demikian malapetakanya. Demikian akibatnya. Demikian pula seorang laki-laki
menginginkan wanita yang masih setia pada suaminya, menginginkan seorang perempuan
brahmacari akan menemukan malapetaka seperti orang menggugurkan kandungan,
demikian penderitaan yang ditemukannya.

NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA PILIHAN PASANGAN DEWASA PUTRI


UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Swabhāwa nikanang lalĕr maharĕp ing braóa, purih ika darpa ning kanin. Ikāng wayasa
kāka darpa harĕp ing kunapa, midĕr ing ambarànglayang. Ikāng kujana dadya ning kulaha
kahyun ika mulati duhkha ning para. Kûamā muditā kahyun sujana, dharma nira mulata
tuûþa ning para.
(Kitab Nitiúàstra III. 11)
Terjemahan:
Sifat lalat ialah suka sekali akan luka, dan lupa segalanya jika telah mengisap luka. Burung
gagak buas terbang melayang-layang di udara menginginkan bangkai. Orang jahat sangat
senang melihat orang lain sengsara. Memaafkan dan bersimpati merupakan peringai orang
bijak, sikap prilakunya senang melihat orang lain bahagia.

2. Kalinganya, ikang ulā ring huntunya unggwan ing wiûa nika, mangkana ikang durjana
mūrkha, ring cittanya unggwan ing mo wiûanya, kunang ikang wwang tan rowang ing enak,
amatyani pinaka wiûanya, muwah ikang strī, canggih ring lakinya, unggwan ing wiûa nika,
mangkana ling ning aji.
(Úlokàntara, úloka 32)
Terjemahan:
Pada hakikatnya, racun ular itu terletak di giginya. Demikian orang jahat dan loba, racunnya
berada dalam pikiran. Bagi orang yang tidak berteman dengan kebahagiaan, racunnya adalah
membunuh diri. Dan racun wanita adalah berzinah terhadap suaminya. Demikian menurut
ajaran agama.

3. Kunang yan apadharma mwang tan pànak, koněn ya strìnyàmetànaknya, tan ilwa
ikàmangguha ng pàpa, apan dharmàn pànak nika”. Mangkana ling sang Úwetaketu,
magawe yaúa sira. Ya ta tinùt ing ràt kabeh.
(Adiparwa, Bab XIV)

Terjemahan:

Adapun jika seorang istri yang menuruti dharma tidak mempunyai anak, diperkenankan dia
mendapatkan seorang anak, perbuatan itu tidak termasuk mendapatkan kutukan sengsara,
karena mendapatkan anak sesuai dengan dharma. Demikian perkataan Sang Swetaketu
membuat aturan yang diikuti oleh masyarakat semua.

4. Sumahur ta sang Kuntì: “Yan atiúaya kahyunta mangkana, hana tàji ni nghulun paweh
bhagawàn Durwàsà, kàla ni nghulun kanyà, Àdityahådaya ngaran sang hyang aji, wěnang
mangàràdhana dewatà manganugrahana putra. Anujnàtà twayà dewam.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Menjawablah Dewi Kunti: “Jika sungguh-sungguh kehendak paduka seperti itu, aku
mempunyai ilmu, anugrah bhagawan Durwasa, ketika aku masih gadis, Àdityahådaya nama
ilmu itu, yang bisa menghadirkan para dewa, yang dapat menganugrahi seorang putra.

5. Yan hana pakonta ri nghulun, syapa ta kahyuntàràdhana ni nghulun?” Mangkana ling sang
Kuntì. Agirang ta mahàràja Pàóðu. Kinon ta bhaþàra Dharmàràdhana nira, yatanyàn
pànaka dharmeûþa. Inàradhana nira ta sang hyang Dharma, ðatěng manganugrahani putra.
Amětěng ta sang Kuntì.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Jika ada perintah maharaja kepadaku, dewa siapa yang tuanku inginkan, yang aku harus
puja? Demikianlah perkataan Dewi Kunti. Sangat senanglah hati maharaja Paóðu. Dewi
Kunti disuruh memuja Dewa Dharma, supaya mendapatkan seorang anak yang mengetahui
tentang dharma. Dipujalah Sang Hyang Dharma dan beliau datang menganugrahkan seorang
putra. Akhirnya Dewi Kunti hamil.

6. Ikang kàla wětu nikang rare, asþamì úukla sěðěng těngah ng we, jyeûþa nakûatra, Indra
dewatà. Abhijit muhūrta, uttama kàla. Hana ta dewatàúabda ring àkàúa, lingnya: Eûa
dharmawidhiá úreûþaá. Yekà wruh ing dharma dlàha”. Mangkana ling àkàúawàkya. Inaran
tang rare sang Yudhiûþhirànak atuha ri sang Pàóðu.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Pada waktu anak itu lahir tepat tengah hari paroh kedelapan bulan Jyesta, bintangnya Indra
dewata, Abhijit muhūrta, waktu yang sangat baik. Maka terdengarlah sabda dewa dari
angkasa, ucapnya: Eûa dharmawidhiá úreûþaá. Anak itu kelak mengetahui tentang dharma.
Demikianlah sabda angkasa. Lalu anak itu diberi nama Sang Yudhiûþira, anak tertua Sang
Pàóðu.

7. Muwah ta sang Kuntì kinon angàradhanà bhaþàra Bàyu, narapwan mànaka úakti.
Inàràdhana nira ta sang hyang Prabhanjana. Inanugrahan ta sirànaka, ring Poûya úukla
wětu nira. Hana tàkàúaúabda: “Sarwabalinàm úreûþah. Yeka uttama mahàúakti dlàha”.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Kemudian Dewi Kunti disuruh memuja Dewa Bayu, supaya mempunyai putra yang sakti.
Dipujalah Dewa Bayu. Beliau dianugrahi seorang putra lahir pada bulan Posya. Lalu
terdengar suara dari langit: “Sarwabalinàm úreûþah. Anak ini kelak akan sangat sakti”.

8. Mahyun ta sang Pàóðu mànaka muwah, lwira ny anak nira, aprameyabalotsàhaá, mwang
tan hanàmada úakti nira làwan utsàha nira. Mangkanàngěn-angěn ira. Mabrata ta sira
mangàràdhana sang hyang Indra. Těka ta sang hyang Indra manganugrahani putra kahyun
ira. Ya ta pakànak sang Arjuna.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:

Sang Pàóðu ingin mempunyai anak lagi, aprameyabalotsàhaá, supaya tidak ada yang
menyamai kesaktian dan usahanya. Demikianlah yang dipikirkannya. Lalu beliau memuja
Dewa Indra. Dewa Indra pun hadir menganugrahi putra sesuai keinginan beliau. Akhirnya
beliau mempunyai anak yang bernama Arjuna.

Sumber:

Adiparwa, I, II, oleh Siman Widyatmanta, 1958


NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA WAJIB PASANGAN DEWASA PUTRA
UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Mojar ta Bhagawan Wasiûtha: “Tan wěnang kami tumulunge kita, sang Nandinì, apa
matangyan mangkana. Kûatriyànaý balaý tejo. Kaharěp ning kadi siran kûatriya teka
maka pangayàya kawìryanira. Brahmanànàm kûama balam. Kuněng pangayàya ning kadi
kami bràhmaóa kopasaman juga. Ya ta matangyan huměněng kami, hinganya yan ahyun
kita mangke ri sang prabhu, tumùtakěn irikang tatali panarik mahàràja.

(Adiparwa, Bab XVI)

Terjemahan:

Berkatalah Bhagawan Wasistha: “Aku tidak bisa menolongmu, wahai Nandini! Mengapa
demikian? Kûatriyànaý balaý tejo. Kewajiban mereka sebagai ksatriya adalah senantiasa
menegakkan keperwiraan. Brahmanànàm kûama balam. Adapun kewajiban kami sebagai
brahmana hanyalah memegang sifat penyabar. Itulah yang menyebabkan kami berdiam diri,
jika sekarang kamu menginginkan baginda raja, ikutilah tali penarik sang raja.

2. Ai sang Arya Yudhiûþira: Tan yogya dahat ikang dharma inujarakěnta ri nghulun. Ekasya
bhàryà wihitah, apan ikang dharma ngaranya dadi ikang jalu ûasiki akweha strìnya.
Kunang ikang strì ûasiki makweha jalunya, tan yogya ikà, apan prasiddha loka wiruddha.
Mangkana kramanya, haywa ta sang arya gumawayakěnang adharma. “Sajña haji mahàràja
Drupada! Atyanta mewěh Sang Hyang Dharma ngaran ira, tan kawěnang linakûaóan lwir
nira, ndatan hana juga lwira citta sanghulun màtràhyuneng adharma.”

(Adiparwa, Bab XVI)


Terjemahan:

“Hai Sang Yudhistira, sangat tidak patut perbuatan yang Anda sampaikan kepadaku. Yang
namanya dharma, seorang laki-laki boleh beristri banyak. Namun, jika seorang wanita
bersuami banyak, hal itu tidak patut, karena dapat menimbulkan perselisihan di masyarakat.
Demikianlah peraturannya, janganlah Anda melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
dharma”! “Daulat Tuanku Maharaja Drupada, sungguh betapa sulitnya yang disebut Sang
Hyang Dharma itu, kita tidak dapat melaksanakan semua aturannya. Juga kami tidak berniat
sedikit pun untuk berbuat menentang dharma”.

NASKAH PEMBACAAN PALAWAKYA PILIHAN PASANGAN DEWASA PUTRA


UTSAWA DHARMAGITA NASIONAL 2017

1. Kalinganya, lima ikang tan amuhara papa ning leñok, lwirnya, kawruhana, ujar ing siwo
mapacêh-pacêhan, karakûahan ing hurip, karakûahan ing drêwya, karakûahan ing anak
rabi, muwah ri sêðêng ing pasanggaman, wênang leñok ing mangkana.

(Úlokàntara, úloka 69)

Terjemahan:
Ada lima macam kebohongan yang tidak menimbulkan dosa, yaitu, ketahuilah, perkataan
bohong pada saat bersenda gurau, pada saat menyelamatkan jiwa, pada saat menyelamatkan
harta milik, pada saat menyelamatkan anak dan istri, dan juga pada waktu bersenggama atau
bercumbu rayu. Pada saat seperti itu, kita boleh berbohong.

2. Lima wilang ing mrĕseka gawayĕn taman pamuhareka pāpa wangunĕn. Ri sĕðĕng
angutsawāthawa wiwāha kāla, ri karakûa ning wita juga. Athawa muwah karakûani hurip
na narma masiwo-siwo mrěse kita. Lyana saka ring limeka kawaweng kawah kita tĕkap ning
aśwalalita.
(Kitab Nitiúàstra VI.4)

Terjemahan:
Ada lima macam kebohongan jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, yaitu pada waktu
berpesta, atau pada waktu perkawinan, sewaktu melindungi kerahasiaan. Atau pun sewaktu
melindungi jiwa kita, serta pada saat bersenda gurau sambil tertawa-tawa, kita boleh
berbohong. Selain daripada kelima macam ini, jika kita berbohong akan dibawa ke neraka
oleh si kuda gaib.

3. Kunang yogya umarigrahà Sang Dropadì sànak ni nghulun kabeh juga. Apa matangyan
mangkana, sira dewi Kunti màjar de Sang Bhimàrjuna nguni, yan hana ulih nirànasi. Kinon
ira tàngabehana kadi kramanyànasi. Inujaran pwa sira strì ratna ulih anasi, kathamapi
kinon iràngabehana de sanghulun, yan huwus kadalurung úabda nirebungku kumonakěnyan
kabehana, sira tan dadi mithya yadyan guywa-guywana tuwi. Nahan hětu ni nghulun kalima
yogyàmarigraha rànak rahadyan sanghulun.

(Adiparwa, Bab XVI)

Terjemahan:
Adapun kami berlima bersaudara dibenarkan mengawini Sang Dropadi, apa alasannya?
Ibuku Dewi Kunti berkata kepada Sang Bima dan Arjuna dahulu, jika memperoleh hasil
meminta-minta disuruhnya membagi sama-sama seperti biasanya. Lalu ketika kami hendak
menyampaikan bahwa kami memperoleh seorang gadis cantik, juga kami disuruh membagi
sama-sama. Karena perkataan ibu telanjur menyuruh kami membagi sama-sama, dan beliau
tidak boleh berdusta, walaupun bersenda gurau, maka itu kami berlima patut mengawini
putri maharaja.

4. Sěðěng ahayu tuwuh nikang wija, těka tang wàh saha wåûþipata, hudan aděrěs. Alah ta
galěng nikang sawah. Saka ri wědi niràn kahiběkan toya ikang pari, tinambak nira ta ya
tapwan asowe ikang we, alah tekà tambak nika, muwah tinambak nira tan wring deya, i
wěkasan tinambakakěn tàwak nireng we manglěndö tar molah irikang rahina wěngi.

(Adiparwa, Bab III)

Terjemahan:

Sedang bagusnya pertumbuhan padinya, datanglah banjir dan hujan lebat. Jebollah pematang
sawahnya. Karena takut padinya kebanjiran, dibendungnya pematangnya, namun tidak lama
pembendungnya jebol lagi. Kembali dibendungnya karena kehabisan akal, akhirnya
badannyalah dipakai membendung air itu, telentang tidak bergerak siang dan malam.

5. Maněmbah ta Sang Hidimbi ri Dewi Kunti. Mojar ta ya ri sira, lingnya: “He mahàdewi,
nghulun ràkûasì makaswabhàwa krùrarùpa. Ndan tininggal ri nghulun ikà krùrakara ning
ràkûasì rùpa, sasolah swabhawangkwa i nguni kabeh. Nyang solah ning manusa gawayěn
tuladana mangke, wet ning hyun ni nghulun ri ranak mahàdewi.”
(Adiparwa, Bab XV)

Terjemahan:

Menyembahlah Sang Hidimbi kepada Dewi Kunti. Berkatalah dia kepadanya, katanya: “Hai
mahadewi, hamba raksasa perempuan bertabiat dan berwajah menakutkan. Sekarang akan
hamba tinggalkan sifat kejam dan rupa raksasa ini, semua sifat dan perbuatan hamba dahulu.
Sekarang hamba akan menuruti tingkah laku manusia, karena keinginan (cinta) hamba
terhadap putra mahadewi.”

6. “Kaka Bhima! Agěng rakwa kaúaktin ikang ràkûasa Hidimba. Haywa ta kaka pramàda ri
lěkasnya ring palagan! Mangkana yan anghel rahadyan maràryana sakarěng! Nghulun
lawanyàsikěp apěrěp.”
(Adiparwa, Bab XV)
Terjemahan:

Kakakku Sang Bhima! Raksasa Hidimba kesaktiannya sangat hebat. Janganlah kakak
meremehkan kekuatannya dalam peperangan (perkelahian). Apabila kakak kepayahan
berhentilah sebentar. Saya akan melawannya berkelahi saling pukul.

7. Kalinganya, yan ring wěngi sang hyang Candra sira pinaka damar. Yan ring rahina sang
hyang Rawi pinaka damar. Yan ring triloka sang hyang Dharma pinaka damar. Kunang yan
ikang kula, ikang anak suputra pinaka damar, ling ning aji.
(Úlokàntara, úloka 24)
Terjemahan:

Pada hakikatnya, jika malam hari bulan menjadi penerang, jika siang hari matahari menjadi
penerang, jika di dunia yang tiga (tri loka) dharma yang menjadi penerang. Adapun dalam
keluarga, anak suputra (anak baik) yang menjadi penerang. Demikian menurut ajaran suci.

8. Kalinganya, ika sang sàdhujana, yan sira maweh puóya dàna, yadyapi akědika tuwi, paweh
nira irikang dàna, magawe sukha ning manah ikang dinànan, makakàraóa úùddha ning hati
sang maweh dàna, úuddha ngaranya hěning, mamangguh ika phala magöng sang maweh
dàna, mapa ta pada nika, kadyangga ning wiji ning waringin tunggal, mělějik ta ya
wěkasan, iningu pwa yenupadita, ri wěkasan sangúaya magöng, těhěr pinaka panghöban ing
wwang.

(Úlokàntara, úloka 19)

Terjemahan:

Demikianlah, orang bijak jika dia memberikan dana punia, walaupun sedikit pemberiannya,
tetapi membuat senang hati orang yang menerimanya, yang menyebabkan suci pikiran orang
yang memberi dana, suddha (suci) artinya jernih/tenang, akan mendapatkan pahala yang
sangat besar orang yang memberi dana. Apa ibaratnya? Bagaikan sebutir biji buah beringin
yang tumbuh, kemudian dipelihara dengan baik, pada akhirnya tumbuh besar, senantiasa
menjadi tempat berteduh bagi banyak orang.

Sumber:

1. Adiparwa, I, II, oleh Siman Widyatmanta, 1958


2. Slokàntara, oleh Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A., 2003

Anda mungkin juga menyukai