Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
A. Konsep Benchmarking
1) Konsep Benchmarking dalam Mutu Pendidikan
Mutu juga dapat dimaknai sebagai sejumlah akibat dari keunggulan
proses, produk atau layanan dalam mencapai kinerja, atau dapat pula
dikatakan dengan persepsi pelanggan terhadap kinerja.[4] Dalam bidang
pendidikan, banyak faktor yang menentukan mutu pendidikan. Salah
satunya faktor input dan proses. Faktor input diantaranya adalah siswa,
kurikulum, bahan ajar, metode/strategi pembelajaran, sarana pembelajaran
di sekolah, dukungan administrasi dan prasarana sekolah. Sedangkan
faktor proses diantaranya adalah penciptaan suasana yang kondusif,
koordinasi proses pembelajaran, dan juga interaksi antar unsur-unsur di
sekolah, baik guru dengan guru, siswa dengan siswa, maupun guru dan
staf administrasi sekolah, dalam konteks akademis maupun non-akademis,
kurikuler maupun non-kurikuler.
Konteks mutu dapat pula dilihat dari prestasi yang dicapai sekolah
pada tiap kurun waktu tertentu. Prestasi ini dapat dilihat dari student
achievement atau prestasi di bidang lain. Seperti olahraga, kesenian, dan
keterampilan. Selain itu, indikator lain yang dapat digunakan sebagai
ukuran mutu sekolah adalah kedisiplinan, tanggungjawab, saling
menghormati, dan kenyamanan sekolah. Prestasi akademik umumnya
dijadikan salah satu indikator mutu sekolah yang paling dominan.
Bridge, Judd, dan Mocck menyatakan bahwa hasil pendidikan
merupakan fungsi produksi dari sistem pendidikan. Mutu sekolah
merupakan fungsi dari dari proses pembelajaran yang efektif,
kepemimpinan, peran serta guru, peran serta siswa, manajemen,
organisasi, lingkungan fisik dan sumberdaya, kepuasan pelanggan sekolah,
dukungan input dan fasilitas, dan budaya sekolah. Optimalisasi dari
masing-masing komponen ini menentukan mutu sekolah sebagai satuan
penyelenggara pendidikan.[6]
Peningkatan kualitas PBM dapat dilakukan melalui peningkatan
kualifikasi guru, pengadaan buku ajar, reorientasi kurikulum dan
peningkatan sarana serta prasarana pendukung. Namun demikian,
keberhasilan dari berbagai upaya peningkatan mutu tersebut belum
maksimal, karena berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan
adanya peningkatan yang berarti. Upaya peningkatan mutu pendidikan
tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan manajemen mutu
pendidikan. Dalam manajemen mutu, semua fungsi manajemen yang
dijalankan oleh para manajer pendidikan di sekolah (kepala sekolah)
diarahkan untuk dapat memberikan kepuasan kepada para pelanggannya
(Customer), terutama kepada pelanggan eksternal, seperti: siswa, orangtua
atau masyarakat pemakai lulusan.
Penjaminan mutu (Quality Assurance) adalah upaya pengelolaan
mutu yang dilakukan oleh pihak internal sekolah, dalam rangka untuk
memberikan jaminan bahwa semua aspek yang terkait dengan layanan
pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga atau satuan pendidikan
tertentu dapat mencapai suatu standar mutu tertentu. Definisi lain,
menyatakan bahwa penjaminan mutu (Quality Assurance) adalah proses
penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan
berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang
berkepentingan memperoleh kepuasan.[7] Sedangkan pelaksanaan
penjaminan mutu sekolah terutama harus dilakukan oleh pihak internal
sekolah yang bersangkutan sebagai bagian dari proses manajemen mutu.
Perbaikan mutu pendidikan diantaranya juga dapat dilakukan dengan
menerapkan benchmarking dengan menggunakan suatu kriteria.
Secara umum benchmarking digunakan untuk mengatur dan
meningkatkan kualitas pendidikan dan standar akademik. Goetsch dan
Davis mendefinisikan benchmarking sebagai proses pembanding dan
pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang
terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar institusi.
2) Pengertian Benchmarking
Istilah Benchmarking pertama kali muncul dalam dunia bisnis dan
hanya dikenal di dunia bisnis. Namun, saat ini benchmarking telah
diadopsi oleh berbagai lembaga pendidikan di luar negeri, sebagai upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Definisi benchmarking baik di
bidang bisnis maupun pendidikan pada hakikatnya adalah sama. Strategi
benchmarking ini pada mulanya digunakan dalam bidang bisnis untuk
mengukur kinerja suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang lebih
maju. Definisi benchmarking dalam bidang bisnis adalah sebagaimana
yang dikemukakan oleh Watson, yang menyatakan bahwa benchmarking
merupakan kegiatan pencarian secara berkesinambungan dan penerapan
secara nyata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja
kompetitif unggul. Sementara itu, definisi benchmarking dalam dunia
pendidikan adalah sebagai berikut:
Benchmarking is a way to go backstage and watch
anothercompany’s performance from the wings, where all the stage tricks
and hurried realignments are visible.(Omachone, 2005)
Definisi kedua, menyatakan bahwa “Benchmarking is a systematic
and continuous measurement process; aprocess of continuously measuring
and comparing an organization’s business processes against business
process leaders anywhere in the world to gain information which will help
the organization take action toimprove it performance”. (Jens, 2007)
Benchmarking adalah suatu kegiatan untuk menetapkan standard
dan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking
dapat diaplikasikan untuk individu, kelompok, organisasi ataupun
lembaga. Ada sebagian orang menjelaskan benchmarking sebagai uji
standar mutu. Maksudnya adalah menguji atau membandingkan standar
mutu yang telah ditetapkan terhadap standar mutu pihak lain, sehingga
juga muncul istilah rujuk mutu.
Berdasar berbagai definisi diatas jika dicermati memiliki banyak
persamaan yaitu benchmarking merupakan salah satu cara untuk
menemukan kunci atau rahasia sukses dan kemudian mengadaptasi dan
memperbaikinya agar dapat diterapkan pada institusi yang melaksanakan
benchmarking tersebut. Benchmarking merupakan proses belajar yang
berlangsung secara sistematis, terus menerus, dan terbuka. Berbeda dengan
penjiplakan (copywriting) yang dilakukan secara diam-diam, kegiatan
benchmarking merupakan tindakan legal dan tidak melanggar hukum.
Dalam dunia bisnis modern meniru dianggap sah asal tidak dilakukan
secara langsung dan mentah-mentah. Benchmarking memang dapat
diartikan sebagai meniru dari paling hebat untuk membuatnya sebagai
referens (Yami, 2002). Kegiatan ini dilandasi oleh kerjasama antar dua
buah institusi untuk saling menukar informasi dan pengalaman yang sama-
sama dibutuhkan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa benchmarking dalam Pendidikan adalah suatu aktivitas dimana
suatu Lembaga Pendidikan mengadakan evaluasi diri secara kontinu,
dengan membandingkan dirinya dengan institusi lain yang terbaik,
sehingga lembaga tersebut dapat mengidentifikasi, mengadopsi dan
mengaplikasikan praktik-praktik yang lebih baik secara signifikan. Dengan
kata lain, praktik-praktik yang telah dilakukan oleh lembaga terbaik
tersebut digunakan sebagai patokan (benchmark atau patok duga) atau
standar kinerja normatif oleh lembaga pendidikan yang ingin
memperbaikinya.

3) Tujuan dan Azas Benchmarking


Tujuan utama benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau
rahasia sukses dari sebuah institusi pendidikan yang terbaik dikelasnya,
dan kemudian mengadaptasi serta memperbaikinya untuk diterapkan pada
institusi yang melaksanakan benchmarking tersebut, diberbagai bidang.
Benchmarking tidak sekedar mengumpulkan data, melainkan yang lebih
penting adalah apa rahasia dibalik pencapaian kinerja yang terlihat dalam
data yang diperoleh. Benchmarking membutukan kesiapan Fisik dan
Mental.
Secara Fisik karena dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia dan
teknologi yang matang untuk melakukan benchmarking secara akurat.
Sedangkan secara Mental adalah bahwa pihak manajemen pendidikan
harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing, ternyata
mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi (Rahman, 2013).
Beberapa azas dari benchmarking, yaitu; pertama, benchmarking
merupakan kiat untuk mengetahui tentang bagimana dan mengapa suatu
institusi pendidikan dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik
dibandingkan dengan yang lainnya. Kedua, fokus dari kegiatan
benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari institusi lainnya. Ketiga,
praktik banchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu dengan
praktik manajemen lainnya, misalnya TQM, corporate reengineering,
analisis pesaing, dll. Terakhir, kegiatan benchmarking perlu keterlibatan
dari semua pihak yang berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa
yang akan di-benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri,
pemilihan mitra yang cocok, dan kemampuan untuk melaksanakan apa
yang ditemukan dalam praktiknya. (Suryana, 2005)

4) Jenis-jenis Benchmarking
Dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan, suatu
institusi perlu menetapkan standar baru yang lebih tinggi. Untuk itu, perlu
dilakukan benchmarking sebagai inspirasi atau cita-cita. Ada dua jenis
benchmarking, yaitu benchmarking internal dan benchmarking eksternal.
Benchmarking Internal upaya pembandingan standar antar
jurusan/fakultas/unit institusi. Internal benchmarking bisa dilakukan antar
program studi dalam satu sekolah tinggi atau anatar unit
kerja/jurusan/prodi dalam satu sekolah tinggi itu sendiri.
Benchmarking eksternal adalah upaya pembandingan standar
internal institusi terhadap standar eksternal institusi lain. External
benchmarking bisa dilakukan terhadap lembaga atau perguruan tinggi lain,
baik yang menyangkut satu program studi tertentu ataupun unit
kerja/jurusan tertentu, baik dalam maupun luar negeri. Dalam
pelaksanaannya/prakteknya, menurut Hiam dan Schewe dalam (Rahman,
2013) dikenal empat jenis dasar dari benhmarking:
a) benchmarking internal yaitu pendekatan dilakukan dengan
membandingkan operasi suatu bagian dengan bagian internal lainnya
dalam suatu organisasi, misal dibandingkan kinerja tiap devisi di satu
institusi pendidikan, dilakukan antara departemen/divisi dalam satu
institusi atau antar institusi dalam satu group institusi.
b) benchmarking kompetitif yaitu pendekatan dilakukan dengan
mengadakan perbandingan dengan berbagai pesaing, misalnya
membandingkan output lulusan kepada lulusan yang dihasilkan
pesaing dalam bidang yang sama.
c) Benchmarking Fungsional Pendekatan dengan diadakan perbandingan
fungsi atau proses dari institusi lain dari berbagai institusi yang ada,
atau dengan kata lain dilakukan perbandingan dengan institusi yang
lebih luas.
d) Benchmarking generik yaitu perbandingan pada proses fundamental
yang cenderung sama di setiap institusi. Misalnya memberi pelayanan
pelanggan, dan pengembangan strategi, maka dapat diadakan patok
duga meskipun institusi itu berada di bidang yang berbeda.

5) Manfaat Benchmarking
Secara umum manfaat yang diperoleh dari benchmarking dapat
dikelompokkan menjadi:[21]
a) Perubahan Budaya (Cultural Change)
Perubahan budaya (Cultural Change) yaitu benchmarking
memungkinkan lembaga pendidikan untuk menetapkan kinerja baru
yang lebih realisitis, selain itu benchmarking juga berperan
meyakinkan setiap pelanggan akan kredibilitas target. Misal,
mempertegas visi misi lembaga pendidikan tersebut.
b) Perbaikan Kinerja (Performance Improvement)
Perbaikan kinerja (Performance Improvement) yaitu, benchmarking
membantu lembaga pendidikan untuk mengetahui adanya
kesenjangan tertentu dalam kinerja untuk memilih proses yang akan
diperbaiki.
c) Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia (Human
Resources)
Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (Human Resources)
yaitu, benchmarking memberikan dasar pelatihan, berbagai pihak
menyadari adanya kesenjangan antara apa yang mereka kerjakan
dengan apa yang dikerjakan orang lain di institusi lain. Keterlibatan
semua pihak dalam memecahkan permasalahan sehingga SDM
mengalami peningkatan kemampuan dan keterampilan. Apalagi
sinergi antara kegiatan organisasi ditingkatkan melalui kerjasama
lintas fungsional.

B. Proses dan langkah-langkah Bencnhmarking Pendidikan Islam


Pelaksanaan Benchmarking merupakan proses membandingkan
sekolah yang paling terbaik di kelasnya. Sehingga akan diperoleh informasi
dan data mengenai aktifitas lembaga hingga kelebihan dan kekurangan dari
setiap sekolah yang dibandingkan, dengan demikian akan diperoleh gambaran
strategi yang akan diterapkan dalam usaha yang kita laksanakan.
Membandingkan bukan berarti menjiplak atau mencuri tanpa rasa
malu, hanya karena saat sekolah mendapatkan bantuan ide-ide untuk
mempercepat peningkatan kinerja dari pemerintah. Implementasi strategic
benchmarking adalah bukan langkah adopsi melainkan murni sebagai
langkah adaptasi, sehingga dapat membantu mempercepat proses Reformasi
peningkatan kerja. Proses benchmarking dijelaskan sebagai berikut:
AKSI RENCANA

PERIKSA LAKUKAN

Gambar 2.1 Proses Benchmarking


Proses benchmarking meliputi langkah-langkah sebagai berikut;
1) Langkah pertama, Plan yakni merencanakan studi benchmarking.
Pada langkah ini yang dilakukan adalah menyeleksi dan menentukan
proses yang harus dipelajari, mengidentifikasi tolok ukur kinerja
proses itu, evaluasi perusahaan/organisasi sendiri, dan menentukan
perusahaan/organisasi tujuan atau yang akan dibandingkan. Bila
dikaitkan dalam konteks pendidikan, pada langkah pertama ini suatu
lembaga pendidikan yang akan melakukan benchmarking harus
memahami seluk beluk lembaganya sendiri serta mampu
mengidentifikasi apa saja yang akan dibandingkan. Selanjutnya,
menentukan lembaga mana yang akan dijadikan sasaran studi
benchmarking.
2) Langkah kedua, Do yakni melakukan riset primer dan sekunder. Pada
langkah ini diadakan penyelidikan penyingkapan rahasia atas proses
tertentu di dalam suatu perusahaan yang menjadi sasaran. Langkah
kedua ini dapat dilakukan melalui diskusi, menyusun kuesioner
tertulis atau observasi secara langsung.
3) Langkah ketiga, Check yakni menganalisis data yang terkumpul untuk
menyusun temuan studi dan rekomendasi. Analisis ini meliputi dua
aspek: penentuan besarnya perbedaan kesenjangan kinerja antar
perusahaan yang melakukan benchmarking melalui bentuk tabel
(matriks) dan mengidentifikasi faktor-faktor penentu yang menunjang
peningkatan kinerja di perusahaan terkemuka yang menjadi sasaran
benchmarking tersebut.
4) Langkah terakhir, Action meliputi adaptasi, pengembangan, dan
implementasi faktor penentu proses benchmarking yang cocok.
Langkah terakhir ini ditujukan untuk mengubah atau memperbaiki
suatu perusahaan/organisasi agar kinerjanya dapat meningkat.
Menurut Jerome S. Arcaro cara menggunakan benchmarking di
lembaga pendidikan islam adalah sebagai berikut:18
1) Langkah pertama: Mengidentifikasi proses yang akan diperbaiki.
2) Langkah kedua: Mengidentifikasi kelompok-kelompok atau
organisasi-rganisasi yang menunjukkan kinerja prosesnya sangat baik.
3) Langkah ketiga: Mengukur untuk menentukan di mana kinerja proses
dalam organisasi yang terbaik dan apa taraf kinerjanya. Ini menjadi
standar benchmarking yang harus dipenuhi dan dilewati.
4) Langkah keempat: Mengkaji metode kelompok lain untuk mengetahui
mengapa kinerja mereka begitu baik.
5) Langkah terakhir: Menerapkan metode tersebut, dengan penyesuaian
proses kerja di lembaganya sendiri.

1) Strategi Benchmarking untuk meningkatkan kinerja dalam


Pendidikan Islam
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, teknik yang pada
umumnya dipakai adalah benchmarking. Benchmarking adalah upaya
menjembatani di mana posisi sekarang dan tujuan yang akan dicapai.
Sama seperti dalam dunia industry benchmarking juga digunakan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan.
Dengan melakukan perbandingan antara suatu lembaga dengan
lembaga lain, lembaga dapat mempelajari pengalaman terbaik dalam
meraih kesuksesan suatu organisasi. Lembaga pendidikan perlu
mengembangkan perangkat untuk mengkaji baik kesuksesan dan
kegagalan organisasi maupun best practice organisasi lain untuk
membantu organisasi menghadapi kompetisi dan menunjukkan kinerja
yang lebih baik menghasilkan nilai tambah secara ekonomi. Benchmarking
antar lembaga sering kali dengan mengunjungi perguruan tinggi lain untuk
mengetahui kinerja perguruan tinggi. Studi banding dalam pendidikan
dipandang sebagai upaya penting untuk membandingkan apa yang
dilakukan suatu perguruan tinggi dan belajar dari pengalaman menarik
sebuah perguruan tinggi. Studi banding internasional dalam pendidikan
dapat dilakukan antar Negara, hal ini dilakukan jika menghendaki lembaga
pendidikan berkelas dunia.26
Perguruan tinggi sebenarnya telah lama memiliki tradisi knowledge
sharing (berbagi pengetahuan) yang direalisasikan melalui pertemuan-
pertemuan ilmiah, seminar, publikasi, mailing-list dan kegiatan bersama
lainnya. Benchmarking sebenarnya bukanlah barang baru, karena
kenyataannya selama ini sudah dijalankan, mungkin istilahnya saja yang
baru muncul belakangan ini.27
Namun perlu dipahami bahwa tidak semua hasil benchmarking
cocok untuk diterapkan di lembaga yang melaksanakan studi benchmark,
artinya perlu diadaptasi dan dikembangkan/disempurnakan kembali.
Benhmarking bukanlah meng-copy atau menjiplak. Ini adalah proses
mempelajari, mengamati orang lain atau organisasi lain dan mengadaptasi
praktikpraktik baik mereka untuk dapat diterapkan dalam organisasi
sendiri.28
Disampaikan oleh Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan
bahwa benchmarking dapat dirumuskan sebagai aktivitas imitation with
modification, dimana di dalam istilah modification sudah terkandung
makna improvement.29
Pertama-tama benchmarking harus melibatkan penelitian dan
pemahaman tentang prosedur kerja internal sendiri dan kemudian mencari
praktik terbaik pada organisasi atau lembaga lain, kemudian mencocokkan
dengan dengan yang telah didefinisikan dan akhirnya mengadaptasi
praktik-praktik itu dalam organisasinya sendiri untuk meningkatkan
kinerjanya. Pada dasarnya benchmarking adalah suatu cara belajar dari
orang lain secara sistematis dan mengubah apa yang kita kerjakan.30
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perlu adanya
renofasi (perbaikan), modifikasi, dan improvisasi dalam implementasi atas
hasil studi benchmarking dengan pertimbangan–pertimbangan tertentu,
sehingga tidak serta merta hasil tersebut diadopsi secara menyeluruh.

C. Hambatan-hambatan kesuksesan Benchmarking Pendidikan Islam


Beberapa hambatan-hambatan yang sering terjadi terhadap kesuksesan
penerapanbenchmarking, antara lain:
a. fokus internal yaitu organisasi terlalu berfokus internal (kepada diri
sendiri) dan mengabaikan kenyatan bahwa proses yang terbaik dalam
kelasnya dapat menghasilkan efisiensi yang jauh lebih tinggi, maka visi
organisasi menjadi sempit.
b. tujuan benchmarking terlalu luas yaitu benchmarking membutuhkan
tujuan yang lebih spesifik dan berorientasi pada bagaimana (proses),
bukan pada apa (hasil).
c. penjadwalan yang tidak realistis. Benchmarking membutuhkan
kesabaran, karena merupakan proses keterlibatan yang membutuhkan
waktu. Sedangkan penjadwalan yang terlampau lama juga tidak baik,
karena mungkin ada yang salah dalam pelaksanaannnya.
d. Komposisi tim yang kurang tepat. Perlu pelibatan terhadap orang-orang
yang berhubungan dan menjalankan proses organisasi sehari-hari dalam
pelaksanaan benchmarking.
e. Bersedia menerima “ok-in-class (yang terbaik dalam kelasnya)”.
Seringkali organisasi memilih mitra yang bukan terbaik dalam kelasnya.
Hal ini dikarenakan (yang terbaik di kelasnya tidak berminat untuk
berpartisipasi, riset mengidentifikasi mitra yang keliru, dan perusahaan
benchmarking malas berusaha dan hanya memilih mitra yang lokasinya
dekat).
f. Penekanan yang tidak tepat. Tim terlalu memaksakan aspek
pengumpulan dan jumlah data. Padahal aspek yang paling penting adalah
proses itu sendiri.
g. Kekurangpekaan terhadap mitra. Mitra benchmarking memberikan akses
untuk mengamati prosesnya dan juga menyediakan waktu dan personil
kuncinya untuk membantu proses benchmarking kepada organisasi
sehingga mereka harus dihormati dan dihargai. Kedelapan, dukungan
manajemen puncak yang terbatas. Dukungan total dari manajemen
puncak dibutuhkan untuk memulai benchmarking, membantu tahap
persiapan dan menjamin tercapainya manfaat yang dijanjikan.

Anda mungkin juga menyukai