Anda di halaman 1dari 43

PERDARAHAN PADA KEHAMILAN

1. Abortus
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang
berlangsung sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500
gram. Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai
berat 500 gram atau umur kehamilan kurang dari 22 minggu atau buah
kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan.

A. Etiologi Abortus
Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan
umumnya disebabkan oleh faktor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya
(11 – 12 minggu), abortus yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal
(Sayidun, 2001).
Faktor ovofetal :
Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan
bahwa pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau
terjadi malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar
belakang kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus,
terbukti adanya kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan
adekuat.
Faktor maternal :
Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit
sistemik maternal (systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik maternal
tertentu lainnya. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus
( kelainan uterus kongenital, mioma uteri submukosa, inkompetensia servik).
Terdapat dugaan bahwa masalah psikologis memiliki peranan pula dengan
kejadian abortus meskipun sulit untuk dibuktikan atau dilakukan penilaian
lanjutan.

Penyebab abortus inkompletus bervariasi, Penyebab terbanyak di


antaranya adalah sebagai berikut.

1. Faktor genetik.
Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkompletus
disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus
pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus
karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom.
Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko ibu terkena
aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian
kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun.
Selain itu abortus berulang biasa disebabkan oleh penyatuan dari 2
kromosom yang abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah satu
orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus,
maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.

2. Kelainan kongenital uterus


Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi
obstetrik. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600
perempuan dengan riwayat abortus, dimana ditemukan anomaly uterus pada
27% pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus
adalah septum uterus (40 - 80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis
atau unikornis (10 - 30%). Mioma uteri juga bisa menyebabkan infertilitas
maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya 10 - 30% pada perempuan usia
reproduksi.
Selain itu Sindroma Asherman bias menyebabkan gangguan tempat
implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus
antara 25 – 80%, bergantung pada berat ringannya gangguan.

3. Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga
sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan
kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis.
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap
risiko abortus, diantaraya sebagai berikut.
a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup.
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bias
berlanjut kematian janin.
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah
yang bias mengganggu proses implantasi.

4. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain menunjukkan
bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian
Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat
abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4 – 6 minggu, dan penurunan produksi
prostasiklin saat usia kehamilan 8 – 11 minggu. Hiperhomosisteinemi, bisa
congenital ataupun akuisita juga berhubungan dengan thrombosis dan penyakit
vascular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang.

5. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 – 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui
mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.
Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta
memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi
fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus.

6. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi
yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian
langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan
gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesterone.
Perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama
, risiko abortus meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan
kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2 – 3 kali lipat mengalami
abortus.

B. Mekanisme Abortus
Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau
seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua.
Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada
kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih
terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan
secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam
cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat
proses pengeluaran hasil konsepsi.
Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau
diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan
pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum
uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih
melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan
pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke 14 – 22, Janin biasanya
sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat
kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga
menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam
yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri
lebih menonjol. Dari penjelasan diatas jelas bahwa abortus ditandai dengan
adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo,
2002).

C. Klasifikasi Abortus (Sarwono, 2008)


a. Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan
uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas
digunakan adalah keguguran (Miscarriage). Abortus spontan secara klinis dapat
dibedakan antara abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus,
abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed abortion, abortus
habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.
 Abortus imminens (keguguran mengancam)
Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa
adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus imminens ditentukan karena
pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus membesar sebesar
tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif.
Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid
yang semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan
oleh penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi
ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, cepat
berhenti, dan tidak disertai mules-mules.
 Abortus incipiene (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan
kuat, perdarahan bertambah.
 Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan
vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum
uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.
 Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi
telah di keluarkan dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah
dilahirkan dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit,
ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis
dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat
dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
 Abortus infeksiosa dan Abortus septic
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada
genitalia, sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan
penyebaran kuman atau toksinnya ke dalam peredaran darah atau
peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap
abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih
sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa,
infeksi terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi,
dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum.
Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau
sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok. Diagnosis abortus
infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda
infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau,
uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil,
demam tinggi dan tekanan darah menurun.
 Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati
tertahan di dalam kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau
lebih. Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus
imminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah
pengobatan gejala subjektif kehamilan menghilang, mamae agak
mengendor, kehamilan menghilang, uterus mengecil dan tes kehamilan
negatif. Dengan USG dapat ditentukan segera apakah janin sudah mati dan
besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
 Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut
tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil,
tetapi kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan
frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut
Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi pada seorang
wanita mengalami abortus habitualis adalah 73%.

b. Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah
sebelum janin mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal
dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention (2003). Sekitar 20%
dari para wanita ini berusia 19 tahun atau kurang, dan sebagian besar berumur
kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan belum menikah. Hampir 60% abortus
terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8 minggu, dan 88% sebelum minggu
ke 12 kehamilan. Abortus buatan adalah tindakan abortus yang sengaja
dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28 minggu atau
berat janin 500 gram.
2. Kehamilan Ektopik Teganggu (KET)
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di
luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang
menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama.
Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap
kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan.
Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba
sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-
turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat
juga terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum
peritonealis jarang ditemukan.

Patofisiologi
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi
struktur blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran
glikoprotein yang tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio
dan endosalping. Blastokis harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi
implantasi. Normalnya, proses pengeraman blastokis terjadi di kavum uteri,

biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan fertilisasi. Jika transportasi
ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii. Penyebab
gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba,
seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk
mekanisme transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari
dinding tuba dan melalui kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi
jumlah silia tuba.
Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat
menyebabkan aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada
proses pengeraman dan implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang
berperan menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini
berpengaruh kuat pada tuba fallopii, mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan,
diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan kualitatif dari tuba terhadap
hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga berubah terhadap
kadar hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik pada
struktur tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang
bekerja melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan
reseptor yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia.
Pada telaah terhadap data-data penelitian yang ada, Jansen menyimpulkan
bahwa hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui
perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui
perubahan-perubahan dalam sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan,
dan melalui pengaruh langsung pada myosalping. Peningkatan aktivitas
kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2, dimana P4 diperkirakan
mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena itu, perubahan
siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika saat
terjadi ovulasi dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana
ovum tertahan di ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P 4
menjadi berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum ditingkatkan
melalui mekanisme siliar, dan pergerakan blastokis menuju ke dalam kavum
uteri, dimana implantasi normal yang seharusnya terjadi.
Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan
proses E2-dependent yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan
menggunakan transmisi mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa
siliogenesis mengambil tempat selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur
hanya tampak pada pertengahan siklus. Bersama-sama Desiliasi dan atrofi,
peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20% dari sel-sel mengalami
kehilangan silianya. Selama fase folikuler berikutnya, sel-sel ini
memperlihatkan regenerasi silial. Verhage dkk. menyimpulkan bahwa
siliogenesis adalah satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah.
Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi selama keseluruhan stadium siklus
menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel silia. Selama fase luteal,
meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase penyembuhan (recovery)
memerlukan P4 withdrawal.
Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama
fase luteal. Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan
isthmus dan tergantung pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi.
Perubahan dari lingkungan hormonal yang didominasi E2 ke lingkungan yang
di dominasi P4 secara temporer membawa kepada perubahan-perubahan
ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi denyut silia dalam
hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama terhadap efek
antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi silia.
Tidaklah mengherankan, bahwa perubahan utama dari kadar E2 dan P4
preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum
kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang
tinggi dari kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi
ovarium oleh gonadotropin eksogen dan selama pemberian progesteron dosis
rendah. Progesteron eksogen, yang dihantarkan melalui oral atau melalui alat
kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi resistensi tuba falopii terhadap
implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia akan menghilang dan
myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi tubal anionik,
yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya dengan
kualitas implantation-resisting lainnya., tidak ditemukan dari tuba.
Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh
ovarium masih belum jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan.
Kemungkinan, kadar yang meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau
pengaruh-pengaruhnya pada tuba, karena itu melemahkan transpor ovum.
Laufer dkk., meskipun, telah menyimpulkan konsentrasi lokal yang tinggi dari
P4 merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi
superovulasi. Peneliti ini mempelajari produksi steroid oleh sel-sel korona
kumulus, yang masih melekat pada oosit yang dibuahi selama 2 sampai 3 hari
setelah ovulasi selama perjalanannya di tuba. Para peneliti mengatakan bahwa
peningkatan lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-
kumulus multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi
ektopik melalui pergantian dalam motilitas tuba.
Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang
cukup untuk mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar
produksi P4, dua akibat mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa
kepada menstruasi dan peningkatan kontraksi myosalping, yang dapat
mengeluarkan embrio ke ujung fimbria. Apakah kehamilan ektopik akan tetap
in situ, meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa kepada keadaan
localized myosalpingeal quiescence. Pertumbuhan lebih lanjut dari kehamilan
akan menyebabkan ruptur tuba.

Diagnosis
A. Diagnosis Klinik
Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama
kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis
kehamilan ektopik. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam
komplikasi pada awal kehamilan, seperti ancaman keguguran, dan dapat juga
merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan tetapi terjadi
bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau trauma. Gejala-gejala nyeri
abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif.
Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat
semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12
minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada
kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang
ada. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan
gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita
dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang
berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik. Frekuensi dari kehamilan
ektopik konkomitan dan kehamilan intrauteri dalam satu konsepsi yang
spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Cara yang paling efisien
untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu
kehamilan intrauteri. Cara yang terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan
intrauteri adalah dengan menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan
spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauteri dengan menggunakan modalitas
ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi
kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan
kurang spesifik. Karena perbedaan ini, logikanya untuk mendiagnosis
kehamilan ektopik adalah untuk diagnosis yang terarah dan prosedur
pembedahan pada wanita yang tidak memiliki kehamilan intrauteri yang viabel.

B. Petanda Trofoblastik
Berdasarkan totipotensial alami dari trofoblas, tidaklah mengherankan
bahwa jaringan ini mensekresikan sejumlah subtansi yang bervariasi, termasuk
beberapa protein yang kelihatannya unik bagi kehamilan. Tiga macam protein
telah diteliti secara luas sebagai petanda yang potensial dari kehamilan yang
viabel. Ketiga macam protein ini dapat digunakan dalam mendiagnosis suatu
kehamilan ektopik.

1. Human Chorionik Gonadotropin


Human Chorionik Gonadotropin (hCG) memiliki berat molekul 36.000
sampai 46.000, adalah satu glikoprotein yang secara biologi dan imunologi
mirip dengan luteinizing hormone (LH). Waktu paruh hCG kelihatannya lebih
besar daripada LH (5 - 40 jam dibandingkan 1- 2 jam). Keadaan ini
menggambarkan suatu kenyataan bahwa penting untuk membedakan struktur
molekul yang ada antara kedua substansi ini dengan aksi biologis yang serupa.
Sebagai contoh, Kadar asam sialat dari hCG adalah lebih besar daripada LH.
Lebih jauh, 28- 30 asam amino terminal pada ujung karboksi dari subunit β
glikoprotein mewakili deretan yang unik yang membedakan molekul ini dari
LH. Semua hormon glikoprotein, hCG, LH, FSH, TSH, membagi dengan dekat
subunit α identik, yang secara esensial dapat dipertukarkan. subunit α ini dapat
direkombinasikan dengan setiap empat subunit β yang berbeda untuk
membentuk satu produk yang memiliki ciri aktivitas biologik komponen
subunit β. hCG diproduksi oleh sinsitiotrofoblas selama kehamilan, juga dibuat
oleh jaringan trofoblastik jenis lain, termasuk yang berasal dari chorioadenoma
destruens, choriocarcinoma, dan mola hidatidosa.
Meskipun dobling time kadar plasma hCG telah diasumsikan konstan
dalam awal kehamilan intrauteri normal, jangkauan yang telah dilaporkan
bervariasi antara 1,3 – 3,3 hari. Sebagai contoh, Lenton dkk. Telah
menyimpulkan bahwa dobling time 1,3 hari berhubungan dengan dobling time
yang diketahui dari massa sel trofoblastik.
Penelitian yang dilakukan Pittaway dkk. Mengantarkan isu mengenai
variabilitas. Mereka memperlihatkan bahwa laju eksponensial dari peningkatan
konsentrasi serum hCG adalah tidak konstan selama minggu-minggu pertama
postmenstruasi dari kehamilan normal. Pada kenyataannya, dobling time dari
deteksi awal hCG sampai kira-kira hari ke-35 setelah onset periode menstruasi
terakhir yang diobservasi adalah 1,4 – 1,6 hari.
2. Human placental lactogen (hPL)
Human placental lactogen (hPL) merupakan polopeptid rantai tunggal dari
asam amino 190 dengan dua jembatan disulfid. Protein ini 96% homolog
dengan hormon pertumbuhan. HPL juga dikenal sebagai human chorionic
somatotropin (hCS). Selain bermakna secara struktural homologi , hPL
memiliki aktivitas somatotrofik hormon pertumbuhan kurang dari 3%. Pada
penelitian terhadap binatang, telah ditemukan untuk menampilkan 50% dari
aktivitas laktogenik dari prolaktin (PRL). HPL disintesis oleh lapisan
sinsitiotrofoblas dari plasenta. Tidak hanya dapat dideteksi dalam urin dan
serum pada kehamilan normal atau mola, tetapi juga telah dapat ditemukan
pada urin pasien dengan tumor trofoblastik dan pada laki-laki dengan
choriocarcinoma pada testis.

3. Glikoprotein β1 kehamilan spesifik


Hormon ini memiliki waktu paruh 21 – 60 jam, mewakili protein khusus
lainnya yang disekresikan oleh sinsitiotrofoblas. Protein ini memiliki berat
molekul 90.000 dan memiliki kandungan karbohidrat sebesar 29,3%. Segera
setelah implantasi blastokis, hormon PSBG muncul dalam sirkulasi maternal
dan memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan kadar hCG dan hPL
sepanjang trimester kedua dan ketiga (gbr. 25-2). Selama trimester kedua dan
ketiga pola hPL dan sekresi PSBG berlanjut secara paralel sesuai dengan
pertumbuhan massa trofoblastik.
Secara fungsional PSBG telah dapat diuraikan. Tes inhibisi hemaglutinasi
dan RIA dapat digunakan untuk mengukur protein ini.
Dengan jelas ketiga protein yang digambarkan sebelumnya memenuhi
syarat sebagai petanda trofoblastik dan karena itu dapat digunakan sebagai
tambahan dalam mendiagnosis kehamilan. Pada kenyataannya, pemeriksaan
hCG secara kualitatif dan kuantitatif menjadi dasar pemeriksaan kehamilan
yang diakui saat ini. Penegakan diagnosis kehamilan merupakan hal yang
penting dalam membedakan antara satu kehamilan ektopik dengan penyebab
lain dari nyeri akut abdomen bawah. Penundaan yang didasarkan atas gejala
klinik saja merupakan hal yang umumnya terjadi, dan morbiditas dan
mortalitas berhubungan dengan dengan keterlambatan waktu antara munculnya
gejala dan penegakan diagnosis. Perkembangan sistem RIA yang sensitif dan
cepat secara klinis berguna dalam penatalaksanaan terhadap masalah ancaman
kehidupan yang potensial. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa lebih dari
90% wanita dengan kehamilan ektopik akan menghasilkan hCG dalam darah
mereka ketika diukur dengan RIA β-subunit. Dua kelompok peneliti mengukur
PSBG dengan RIA pada populasi penderita yang sama dan menemukan akurasi
dalam tingkat yang sama.
Braunstein dan Asch membandingkan nilai prediksi serum hCG, PSBG
dan hPL yang diukur dengan menggunakan RIA dalam mendiagnosis suatu
kehamilan ektopik. Para peneliti memperlihatkan bahwa secara kuantitatif
konsentrasi serum β-hCG maternal yang rendah lebih sensitif dalam deteksi
keehamilan ektopik dibandingkan dengan konsentrasi PSBG yang rendah (gbr
25.3). Sebagai tambahan, pengukuran PSBG tidak membuktikan lebih berguna
atau lebih benilai efektif dariapada pemeriksaan β-hCG. Satu penelitian awal
telah memperlihatkan bahwa sensitivitas pada pemeriksaan hPL tidak cukup
untuk mendeteksi jumlah hormon ini dalam serum ibu sebelum periode missed
pertama. Secara ringkas, pengukuran β-hCG serum atau urin dengan RIA
memberikan konfirmasi yang sensitif dan spesifik dalam mengeluarkan suatu
diagnosis kehamilan ektopik.

Penatalaksanaan
A. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik
terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba.
Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan
konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada
kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua
kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau
2. reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin
dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga
belum terjadi ruptur pada tuba.

1. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal
dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena
lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba.
Prosedur ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan
menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen
tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding
antimesenterika hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba yang
meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang
berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati
dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah
yang cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan
pengeluaran produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-
hati dengan menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi
forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma
pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan
melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat
yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa.
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan,
karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan
postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen.
Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan
harus diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa
dan lapisan otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga
diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang yang tertinggal
pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi
peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan.

2. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan
sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan
mengangkat bagian implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan
kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan
merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan dengan
mengunaka loupe magnification atau mikroskop. Penting sekali jangan
sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan
perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini.
Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan
hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum
latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan
mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan
serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan.

3. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba
mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan
harus segera diatasi. Hemoperitoniumj yang luas akan menempatkan
pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius.
Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan , dan tuba yang
meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly
sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan
memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri, hindari
insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan
dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium
pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus
dengan menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit
sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum
latum.

B. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan
ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dari
ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa
penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan
medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang invasif,
menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan
fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu
penyembuhan.
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah
methotrexate (MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang
akan mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara
menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan
menghentikan proliferasi trofoblas.
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi
lokal dengan panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul
tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan
enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang,
nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis,
pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan
menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel,
supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai
pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu
zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim
dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan
sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut.
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis
tungal MTX 50 mg/m2 luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita
diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah.
Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar hCG diperiksa
kembali. Bila kadar hCG
berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4
maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu
sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak
berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau
menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50
mg/m2 kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan
keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal,
dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi
dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya
penyakit ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif
adalah nyeri abdomen, FHB (+).

3. Mola Hidatidosa
Ada beberapa pengertian yang menjelaskan tentang mola hidatidosa.
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana
tidak ditemukan janin hampir seluruh villi korealis mengalami perubahan
hidrofili.

Klasifikasi Mola Hidatidosa


Mola hidatidosa terbagi menjadi dua yaitu :
1. Mola hidatidosa komplek (klasik), jika tidak ditemukan janin. Villi korealis
diubah menjadi masa gelembung-gelembung bening yang besarnya berbeda-beda.
Masa tersebut dapat tumbuh membesar sampai mengisi uterus yang besarnya
sama dengan kehamilan normal lanjut. Struktur histologinya mempunyai sifat :
a. Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villi.
b. Tidak terdapat pembuluh darah di dalam villi yang bengkak.
c. Proliferasi sel epitel trofoblas dengan derajat yang beragam.
d. Tidak terdapat janin dan amnion.

2. Mola Hidatidosa Partialis


Bila perubahan mola hanya lokal dan tidak berlanjut dan terdapat janin
atau setidaknya kantung amnion, keadaan tersebut digolongkan mola
hidatidosa partialis. Terdapat pembengkakan villi yang kemajuannya lambat,
sedangkan villi yang mengandung pembuluh darah yang lain yang berperan
dalam sirkulasi fito placenta, jarang Hiperflasi trofoblas hanya lokal tidak
menyeluruh.

Etiologi
Faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab adalah :

1. Faktor ovum
Spermatozoa memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua
serum memasuki ovum tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau gangguan
dalam pembuahan.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
Dalam masa kehamilan keperluan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin, dengan
keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang
diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan janinnya.
3. Parietas tinggi
Ibu multipara cenderung beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena
trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi secara genetic yang dapat
diidentifikasikan dan penggunaan stimulan drulasi seperti klomifen atau
menotropiris (pergonal).
4. Kekurangan protein
Protein adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian tubuh
sehubungan dengan pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim, dan buah dada
ibu, keperluan akan zat protein pada waktu hamil sangat meningkat apabila
kekurangan protein dalam makanan mengakibatkan bayi akan lahir lebih kecil
dari normal.
5. Infeksi virus
Infeksi mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk
atau adanya mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu akan menimbulkan
penyakit (desease). Hal ini sangat tergantung dari jumlah mikroba (kuman atau
virus) yang masuk virulensinya serta daya tahan tubuh.
Patofisiologi
Menurut Sarwono, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu
karena tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur
patologik yaitu : hasil pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3
– 5 minggu dan karena pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi
penimbunan cairan di dalam jaringan mesenkim villi. Dalam stadium
pertumbuhan mola yang dini terdapat beberapa ciri khas yang membedakan
dengan kehamilan normal, namun pada stadium lanjut trimester pertama dan
selama trimester kedua sering terlihat perubahan sebagai berikut :
1. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari
spoting sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat
sebelum abortus atau yang lebih sering lagi timbul secara intermiten selama
berminggu-minggu atau setiap bulan. Sebagai akibat perdarahan tersebut gejala
anemia ringan sering dijumpai. Anemia defisiensi besi merupakan gejala yang
sering dijumpai.
2. Ukuran uterus
Uterus yang lebih sering tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang
sebenarnya. Mungkin uterus lewat palpasi sulit dikenali dengan tepat pada
wanita multipara, khusus karena konsistensi tumor yang lunak di bawah
abdomen yang kenyal. Ovarium kemungkinan mempunyai konsistensi yang
lebih lunak.
3. Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis, secara khas
tidak akan ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test dengan alat yang
sensitive sekalipun. Kadang-kadang terdapat plasenta yang kembar pada
kehamilan mola hidatidosa komplit. Pada salah satu plasentanya sementara
plasenta yang lainnya dan janinnya sendiri terlihat normal. Demikian pula
sangat jarang ditemukan perubahan mola inkomplit yang luas pada plasenta
dengan disertai dengan janin yang hidup.
4. Embolisasi
Trofoblas dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma villus dapat
keluar dari dalam uterus dan masuk aliran darah vena. Jumlah tersebut dapat
sedemikian banyak sehingga menimbulkan gejala serta tanda emboli pulmoner
akut bahkan kematian. Keadaan fatal ini jarang terjadi. Meskipun jumlah
trofoblas dengan atau tanpa stroma villus yang menimbulkan embolisasi ke
dalam paru-paru terlalu kecil untuk menghasilkan penyumbatan pembuluh
darah pulmoner namun lebih lanjut trofoblas ini dapat menginfasi parenkin
paru. Sehingga terjadi metastase yang terbukti lewat pemeriksaan radiografi.
Lesi tersebut dapat terdiri dari trofoblas saja (corio carsinom metastasik) atau
trofoblas dengan stroma villus (mola hidatidosa metastasik). Perjalanan
selanjutnya lesi tersebut bisa diramalkan dan sebagian terlihat menghilang
spontan yang dapat terjadi segera setelah evakuasi atau bahkan beberapa
minggu atau bulan kemudian. Sementara sebagian lainnya mengalami
proliferasi dan menimbulkan kematian wanita tersebut tidak mendapatkan
pengobatan yang efektif.
5. Ekspulsi Spontan
Kadang-kadang gelembung-gelembung hidatidosa sudah keluar sebelum mola
tersebut keluar spontan atau dikosongkan dari dalam uterus lewat tindakan.
Ekspulsi spontan paling besar kemungkinannya pada kehamilan sekitar 16
minggu. Dan jarang lebih dari 28 minggu.

Komplikasi
Komplikasi dari kehamilan Mola hidatidosa yaitu: PTG (Penyakit Trofoblast
Ganas)

Penatalaksanaan
Berhubungan dengan kemungkinan bahwa mola hidatidosa itu menjadi ganas
maka terapi bagi wanita yang masih mengiginkan anak maka setelah diagnosa
mola dipastikan dilakukan pengeluaran mola dengan kerokan isapan disertai
dengan pemberian infus oksitosin intra vena. Sesudah itu dilakukan kerokan
dengan karet tumpul untuk mengeluarkan sisa konsepsi sebelum mola dikeluarkan
sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen paru-paru untuk menentukan ada
tidaknya metastase di tempat tersebut. Setelah mola dilahirkan dapat ditemukan
bahwa kedua ovarium membesar menjadi kista tuba uteri. Kista ini tumbuh karena
pengaruh hormonal dan mengecil sendiri.
Mola hidatidosa diobati dengan 4 tahap sebagai berikut :

1. Perbaikan umum
Pengeluaran gelembung mola yang disertai perdarahan memerlukan transfusi
sehingga penderita tidak jatuh syok. Disamping itu setiap evakuasi jaringan mola
dapat diikuti perdarahan. Hingga persiapan darah menjadi program vital pada
waktu mengeluarkan mola dengan curettage dipasang infus dan uretoronika dulu
sehingga pengecilan rahim dapat mengurangi perdarahan.

2. Pengeluaran jaringan mola hidatidosa


a. Evakuasi jaringan mola hidatidosa
Dilakukan dengan vakum curetage yaitu alat penghisap listrik yang kuat hingga
dapat menghisap jaringan mola yang cepat. Penggunaan alat listrik mempunyai
keuntungan cepat menghisap dan mengurangi perdarahan. Evakuasi jaringan
mola hidatidosa dilakukan dua kali dengan interval satu minggu.
b. Histerektomi
Dengan pertimbangan umur (diatas 35 tahun) parietas diatas 3 maka penderita
mola hidatidosa dilakukan tindakan radikal histerektomi.
3. Pengobatan profilaksis dengan sitostatika
Mola hidatidosa merupakan penyulut trofoblas yang berkelanjutan menjadi
koriokarsinoma. Untuk menghindari terjadinya degenerasi ganas diberikan
profilaksis dengan sitostatika metotraksan atau aktinomicyn D. Pengobatan
profilaksis sitostatika memerlukan perawatan rumah sakit.
4. Pengawasan lanjut
Pengawasan lanjutan pada wanita dengan mola hidatidosa yang uterusnya
dikosongkan sangat penting karena mungkin timbul tumor ganas. Penentuan
kadar kuantitatif HCG subyektif unit beta dilakukan tiap minggu.

PLASENTA PREVIA
1. Defenisi
Plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim,
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (OUI).
Plasenta yang ada di depan jalan lahir. (prae = di depan, vias = jalan), jadi
yang di maksud adalah plasenta implantasinya tidak normal sehingga menutupi
seluruh atau sebahagian jalan lahir (Ostium Uteri Internium).
2. Epidemiologi
Insiden plasenta previa terjadi 1 dalam 200 kehamilan ibu.
Faktor Predisposisi :
1. Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan
atrofik dan inflamatorotik.
3. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC,
Kuret, dll).
4. Chorion leave persisten.
5. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima
hasil konsepsi.
6. Konsepsi dan nidasi terlambat.
7. Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis.
3. Klasifikasi
Klasifikasi plasenta previa tidak didasarkan pada keadaan anatomik
melainkan fisiologik. Sehingga klasifikasinya akan berubah setiap waktu.
Umpamanya, plasenta previa total pada pembukaan 4 cm mungkin akan
berubah menjadi plasenta previa pada pembukaan 8 cm.
Beberapa klasifikasi plasenta previa:
a. Menurut de Snoo, berdasarkan pembukaan 4 -5 cm
1. Plasenta previa sentralis (totalis), bila pada pembukaan 4-5 cm teraba
plasenta menutupi seluruh ostea.
2. Plasenta previa lateralis; bila mana pembukaan 4-5 cm sebagian
pembukaan ditutupi oleh plasenta, dibagi 2 :
2.1 Plasenta previa lateralis posterior; bila sebagian menutupi ostea bagian
belakang.
2.2 Plasenta previa lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea bagian
depan.
2.3 Plasenta previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir
ostea yang ditutupi plasenta.

b. Menurut penulis buku-buku Amerika Serikat :


1. Plasenta previa totalis ; seluruh ostea ditutupi uri.
2. Plasenta previa partialis ; sebagian ditutupi uri.
3. Plasenta letak rendah, pinggir plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir
pembukaan Pada periksa dalam tak teraba.
c. Menurut Browne:
1. Tingkat I, Lateral plasenta previa :
Pinggir bawah plasenta berinsersi sampai ke segmen bawah rahim, namun
tidak sampai ke pinggir pembukaan.
2. Tingkat II, Marginal plasenta previa:
Plasenta mencapai pinggir pembukaan (Ostea).

1. Gejala klinis
a. Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri
dari biasanya berulang darah biasanya berwarna merah segar.
b. Bagian terdepan janin tinggi (floating). sering dijumpai kelainan letak janin.
c. Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat
dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding)
biasanya lebih banyak.
d. Janin biasanya masih baik.

2. Pemeriksaan in spekulo
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum atau dari kelainan cervix dan vagina. Apabila perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta harus dicurigai.
3. Penentuan letak plasenta tidak langsung
Dapat dilakukan dengan radiografi, radio sotop dan ultrasonografi. Akan tetapi
pada pemerikasaan radiografi clan radiosotop, ibu dan janin dihadapkan pada
bahaya radiasi sehingga cara ini ditinggalkan. Sedangkan USG tidak
menimbulkan bahaya radiasi dan rasa nyeri dan cara ini dianggap sangat tepat
untuk menentukan letak plasenta.

Gambaran USG Plasenta Previa


4. Penentuan letak plasenta secara langsung
Pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan banyak.
Pemeriksaan harus dilakukan di meja operasi. Perabaan forniks. Mulai dari
forniks posterior, apa ada teraba tahanan lunak (bantalan) antara bagian terdepan
janin dan jari kita. Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Jari di masukkan hati-
hati kedalam OUI untuk meraba adanya jaringan plasenta.
4. PENANGANAN
Semua pasien dengan perdarahan per vagina pada kehamilan trimester
ketiga, dirawat di rumah sakit tanpa periksa dalam. Bila pasien dalam keadaan
syok karena pendarahan yang banyak, harus segera diperbaiki keadaan
umumnya dengan pemberian infus atau tranfusi darah.
Selanjutnya penanganan plasenta previa bergantung kepada :
• Keadaan umum pasien, kadar hb.
• Jumlah perdarahan yang terjadi.
• Umur kehamilan/taksiran BB janin.
• Jenis plasenta previa.
• Paritas clan kemajuan persalinan.
Penanganan Ekspektif
Kriteria : - Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.
- Perdarahan sedikit
- Belum ada tanda-tanda persalinan
- Keadaan umum baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih.
Rencana Penanganan :
1. Istirahat baring mutlak.
2. Infus D 5% dan elektrolit
3. Spasmolitik. tokolitik, plasentotrofik, roboransia.
4. Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah.
5. Pemeriksaan USG.
6. Awasi perdarahan terus-menerus, tekanan darah, nadi dan denyut jantung
janin.
7. Apabila ada tanda-tanda plasenta previa tergantung keadaan pasien ditunggu
sampai kehamilan 37 minggu selanjutnya penanganan secara aktif.

Penanganan aktif
Kriteria
• umur kehamilan >/ = 37 minggu, BB janin >/ = 2500 gram.
• Perdarahan banyak 500 cc atau lebih.
• Ada tanda-tanda persalinan.
• Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr%.
Untuk menentukan tindakan selanjutnya SC atau partus pervaginum, dilakukan
pemeriksaan dalam kamar operasi, infusi transfusi darah terpasang.
Indikasi Seksio Sesarea :
1. Plasenta previa totalis.
2. Plasenta previa pada primigravida.
3. Plasenta previa janin letak lintang atau letak sungsang
4. Anak berharga dan fetal distres
5. Plasenta previa lateralis jika :
• Pembukaan masih kecil dan perdarahan banyak.
• Sebagian besar OUI ditutupi plasenta.
• Plasenta terletak di sebelah belakang (posterior).
6. Profause bleeding, perdarahan sangat banyak dan mengalir dengan cepat.
Partus per vaginam.

Dilakukan pada plasenta previa marginalis atau lateralis pada multipara dan
anak sudah meninggal atau prematur.
1. Jika pembukaan serviks sudah agak besar (4-5 cm), ketuban dipecah
(amniotomi) jika hid lemah, diberikan oksitosin drips.
2. Bila perdarahan masih terus berlangsung, dilakukan SC.
3. Tindakan versi Braxton-Hicks dengan pemberat untuk menghentikan
perdarahan (kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin terhadap plasenta)
hanya dilakukan pada keadaan darurat, anak masih kecil atau sudah mati, dan
tidak ada fasilitas untuk melakukan operasi.
KOMPLlKASI
1. Perdarahan dan syok.
2. Infeksi.
3. Laserasi serviks.
4. Plasenta akreta.
5. Prematuritas atau lahir mati.
6. Prolaps tali pusar.
7. Prolaps plasenta.
PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian ibu karana plasenta
rendah sekali atau tak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif
pada tahun 1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun
demikian, hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap
memegang peranan utama.
SOLUTIO PLASENTA

1. Definisi

Solutio plasenta (ari-ari) adalah pemisahan prematur (sebelum waktunya)


plasenta dari perlekatannya yang normal pada dinding rahim sebelum janin
lahir. Merupakan salah satu penyebab perdarahan di triwulan ketiga yang
menyebabkan peningkatan angka kecacatan dan kematian janin.
Di USA, frekuensi kejadian solutio plasenta adalah 1% dengan
angka kematian janin 0,12% dari seluruh kehamilan. Komplikasi janin
dan ibu yang dapat terjadi adalah operasi caesar, perdarahan/koagulopati, dan
kelahiran prematur.
2. Penyebab
Penyebab primernya masih belum diketahui namun kejadiannya
melibatkan berbagai faktor yang berkaitan dengan :
1. Merokok. Meningkatkan 40% risiko solutio plasenta. Semakin banyak merokok
semakin besar risiko solutio plasenta.
2. Penggunaan narkotik. Risiko solutio plasenta berkisar 13-35% dan
berkaitan dengan peningkatan dosis.
3. Trauma. Trauma pada perut adalah faktor risiko mayor untuk solutio plasenta.
Trauma dapat berkaitan dengan kekerasan rumah tangga dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Sabuk pengaman sebaiknya diletakkan di panggul (bawah
perut), bukan di tengah perut.
4. Faktor risiko lain seperti riwayat solutio plasenta sebelumnya, korioamnionitis
(radang pada korion dan cairan ketuban), ketuban pecah dini (≥24jam),
preeklampsia, nutrisi buruk, usia ibu ≥ 35 tahun, sosioekonomi rendah
3.Tanda dan Gejala
Gejala yang dapat terjadi adalah perdarahan dari vagina berwarna merah
terang atau merah gelap, sedikit atau banyak (tergantung dari lokasi
terlepasnya plasenta dan berapa lama waktu yang dibutuhkan darah
untuk keluar), dan hilang timbul sesuai dengan kontraksi rahim (20%
perdarahan tersembunyi di dalam rahim, tidak terjadi perdarahan pervaginam),
kontraksi rahim yang menimbulkan rasa nyeri, shock (penurunan tekanan darah
dan tingkat kesadaran), perut terasa keras, denyut jantung janin tidak terdengar,
dan penurunan gerak janin.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi solutio plasenta dan
membedakannya dengan plasenta previa (plasenta berada pada lokasi yang
tidak seharusnya yaitu di segmen rahim bagian bawah atau dekat dengan jalan
lahir).
5. Terapi
Terapi tokolitik (pengurangan kontraksi dengan obat-obatan) merupakan
terapi konvensional yang hanya dilakukan pada pasien dengan kondisi
hemodinamik stabil, kehamilan usia muda, tidak ada risiko bahaya pada janin,
pada kasus dimana pemisahan plasenta hanya sebagian, dan kondisi janin yang
diuntungkan dengan pematangan paru terlebih dahulu atau penundaan
kelahiran hingga kehamilan 35 minggu. Terapi konvensional ini harus sangat
dipertimbangkan dan dievaluasi secara ketat karena gangguan pada ibu dan
janin dapat terjadi dalam waktu singkat.
Terapi lainnya adalah melahirkan janin dengan syarat mengatasi kondisi
umum dari ibu agar stabil terlebih dahulu. Melahirkan pervaginam merupakan
pilihan apabila janin meninggal di kandungan atau janin stabil dan tergantung
dari kondisi hemodinamik ibu. Operasi caesar terkadang diperlukan untuk
stabilisasi kondisi ibu dan janin. Operasi ini dapat dipersulit dengan
status gangguan koagulasi (pembekuan darah) ibu yang membuat kondisi
perdarahan sulit dihentikan. Apabila perdarahan tidak dapat dikendalikan maka
dapat dilakukan tindakan koreksi koagulopati seperti pengikatan pembuluh
darah rahim, obat-obatan merangsang kontraksi rahim, dan cara
terakhir adalah histerektomi (pengangkatan rahim).
Tidak ada terapi yang dapat menghentikan plasenta dari robek atau
terpisah dari dinding rahim dan tidak ada cara untuk melekatkannya kembali.
6. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan atau
mengurangi faktor risiko seperti merokok dan penggunaan kokain.

HPP (Hemorrhagic Post Partum)

1. Definisi

HPP (Hemorrhagic Post Partum) atau perdarahan pascapersalinan adalah


perdarahan yang massif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan
pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab
kematian ibu selain perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan
postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala III
selesai (setelah plasenta lahir).

Gambar 1. Ilustrasi PPP yang terjadi akibat atonia uteri

Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang
dari 4 cm sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks
sudah membuka lengkap sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian
dilanjutkan dengan kala III persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan
berakhir dengan pengeluaran plasenta. Perdarahan postpartum terjadi setelah kala
III persalinan selesai.
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan
jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan
sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan
tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100
x/menit, kadar Hb < 8 g/dL. Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan
perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita
jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan
tetapi terus menerus dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan
menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam
syok.
PPP bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang harus dicari
kausalnya. Misalnya PPP karena atonia uteri, PPP oleh karena robekan jalan lahir,
PPP oleh karena sisa plasenta, atau oleh karena gangguan pembekuan darah.

Etiologi
Berdasarkan saat terjadinya PPP dapat dibagi menjadi PPP primer, yang
terjadi dalam 24 jam pertama dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai
robekan jalan lahir dan sisa plasenta. Dalam kasus yang jarang bisa karena
inversio uteri. PPP sekunder yang terjadi setelah 24 jam persalinan, biasanya oleh
karena sisa plasenta, infeksi, penyusutan rahim tidak baik. Berdasarkan penyebab
terjadinya PPP, Kausa PPP dibedakan atas:
 Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
o Hipotoni sampai atona uteri (50-60%)
 Akibat anastesi
 Distensi berlebihan (gemelli, anak besar, hidramnion)
 Partus lama, partus kasep
 Partus presipitatus/partus terlalu cepat
 Persalinan karena induksi oksitosin
 Multiparitas
 Korioamnionitis
 Pernah atonia sebelumnya
o Sisa plasenta (23-24%)
 Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
 Plasenta susenturiata
 Plasenta akreta, inkreta, perkreta
 Perdarahan karena robekan (4-5%)
o Episiotomi melebar
o Robekan pada perineum, vagina, dan serviks
o Ruptura uteri
 Gangguan Koagulasi (0,5%-0,8%)
o Trombofilia, sindroma HELLP, preeclampsia, solusio plasenta, kematian
janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban.

Diagnosis Perdarahan Pospartum


No Gejala dan Tanda yang Gejala dan Tanda yang Diagnosis
selalu ada kadang-kadang ada Kemungkinan
1. - Uterus tidak -Syok Atonia Uteri
berkontraksi dan lembek
- Perdarahan setelah anak
(Perdarahan
Pascapersalinan Primer
atau P3)

2. -Perdarahansegera(P3) -Pucat Robekan jalan


-Darah segar yang -Lemah lahir
mengalir segera setelah -Menggigil
bayi lahir (P3)
-Uterus kontraksi baik
-Plasenta lengkap
3. -Plasenta belum lahir -Tali pusat putus akibat Retensio Uteri
setelah 30 menit traksi berlebihan
-Perdarahan segera (P3) -Inversio uteri akibat
-Uterus kontraksi baik tarikan
-Perdarahan lanjutan
4. - Plasenta atau sebagian -Uterus berkontraksi Tertinggalnya
selaput (mengandung tetapi tinggi fundus tidak sebagian plasenta
pembuluh darah) tidak berkurang
lengkap
- Perdarahan segera (P3)
5. -Uterustidakteraba -Syok neurogenik Inversio Uteri
-Lumen vagina terisi -Pucat dan limbung
massa
-Tampak tali pusat (jika
plasenta belum lahir)
-Perdarahan segera (P3)
-Nyeri sedikit atau berat
6. -Sub-involusi uterus -Anemia Perdarahan
-Nyeri tekan perut bawah -Demam terlambat
-Perdarahan lebih dari
24 jam setelah
persalinan. Perdarahan Endometritis atau
sekunder atau P2S. sisa plasenta
-Perdarahan bervariasi (terinfeksi atau
(ringan atau berat, terus tidak)
menerus atau tidak
teratur) dan berbau (jika
disertai infeksi)
7. -Perdarahan segera (P3) -Syok Robekan dinding
(Perdarahan -Nyeri tekan perut uterus (ruptura
intraabdominal dan atau -Denyut nadi ibu uteri)
vaginum) cepat
- Nyeri perut berat

Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah
persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan
tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri
ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari
pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas
sebagian atau lepas keseluruhan.
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian
yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca
persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus
oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan
sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah
partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi
akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi
ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan.
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
 Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri.
 Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi
lahir.
Tindakan yang dilakuka bila pasien syok akibat perdarahan yang banyak
pada umumnya sebagai berikut:
 Sikap Trendlenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
 Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara:
o Masase Fundus Uteri dan merangsang puting susu.
o Pemberian oksitosisn dan turunan ergot melalui suntikan im, iv, atau sc
o memberikan derivat prostaglandin F2 (carboprost tromethamine) yang
kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual-muntah,
febris, dan takikardia.
o Pemberian misoprostol 800-1000 ug per-rektal
o Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal
o Kompresi aorta abdominalis
o Pemasangan tampon kondom, kondom dalam cavum uteri disambung
dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml
yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.
(tindakan memasang tampon kasa utero vaginal tidak dianjurkan dan
hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan).
o Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk tindakan operatif
laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus)
atau melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa:
 Ligasi arteri uterine atau arteri ovarika
 Operasi ransel B Lynch
 Histerektomi supravaginal
 Histerektomi total abdominal
Gambar 2. Skema Penatalaksanaan Atonia Uteri

Robekan Jalan Lahir


Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina. Setelah persalinan harus selalu
dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks
dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber
perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus
(ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir
dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk
dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam
dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti,
perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi. Semua sumber pardarahan yang
terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi
lapis sampai perdarahan berhenti

Gambar 3. Penatalaksanaan HPP akibat robekan jalan lahir

Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah
jam setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan:
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi
bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan
indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
disebabkan :
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3. Plasenta melekat erat menembus sampai miometrium (plasenta inkreta)
4. Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus perimetrium sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). Faktor
predisposisi terjadinya plasenta aktreta adalah plasenta previa, bekas seksio
sesaria, pernahkuret berulang, dan multiparitas.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus
diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual , meskipun kala uri belum
lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih adah perdarahan
dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan
jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim
dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai denga
keperluannya.
Gambar 4. Penatalaksanaan HPP karena Plasenta Akreta

Inversi Uterus
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam
kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan. Inversio uteri
merupakan kegawatan kala III yang dapat menimbulkan perdarahan.
Faktor-faktor yang memungkinkan menjadi penyebab inversio uteri adalah
adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang
menarik fundus ke bawah (misalnya karena plasenta akreta, inkreta dan perkreta,
yang tali pusarnya ditarik keras dari bawah) atau ada tekanan pada fundus uteri
dari atas atau tekanan intra abdomen yang keras dan tiba-tiba.
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang
sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta
keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin
kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada
plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio
uteri dibagi dalam beberapa tingkat:
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang
tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar
vagina. Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan
tetapi, apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul
rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.
Inversio uteri ditandai dengan adanya hal-hal sebagai berikut:
 Syok karena kesakitan
 Perdarahan banyak bergumpal
 Pada vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang
masih melekat.
 Bila baru terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya
cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus
mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Secara garis besar tindakan yang dilakukan sebagai berikut:
 Memanggil bantuan anastesi dan memasang infus untuk cairan/darah pengganti
dan pemberian obat.
 Beberapa senter memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang
terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke
atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk
kedalam uterus pada posisi normalnya. hal itu dapat dilakukansewaktu plasenta
sudah terlepas atau belum.
 Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infus atau im
tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan
operator baru dilepaskan.
 Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.
 Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan manuverdi atas tidak dapat dilakukan, maka dilakukan
laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus
sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

Perdarahan karena Gangguan Pembekuan Darah


Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila
penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah
mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Aka nada tendensi mudah
terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes
atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga
hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan faal hemostatis yang abnormal,
Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia,
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP serta perpanjangan tes protrombin
dan PTT. Predisposisi terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin,
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku
segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon
amino caproic acid).
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan
menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat
menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus
diantisipasi dengan segera melakukan placenta manual , meskipun kala uri belum
lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau
setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak
lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih adah perdarahan
dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan
jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim
dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfusi darah sesuai denga
keperluannya.
PARTUS LAMA

1. Definisi
Partus lama adalah fase laten lebih dari 8 jam. Persalinan telah
berlangsung 12 jam atau lebih, bayi belum lahir. Dilatasi serviks di kanan garis
waspada persalinan aktif. Pada primigravida partus lama terjadi apabila persalinan
berlangsung lebih dari 24 jam, dan lebih dari 18 jam pada multigradiva.

2. Manifestasi Klinik
a. Pada ibu :
1) Gelisah
2) Letih
3) Suhu badan meningkat
4) Berkeringat
5) Nadi cepat
6) Pernafasan cepat
7) Meteorismus
8) Didaerah sering dijumpai bandle ring, oedema vulva, oedema serviks, cairan
ketuban berbau terdapat mekoneum

b. Janin :
1) Djj cepat, hebat, tidak teratur bahkan negative
2) Air ketuban terdapat mekoneum kental kehijau-hijauan, cairan berbau
3) Caput succedenium yang besar
4) Moulage kepala yang hebat
5) Kematian janin dalam kandungan
6) Kematian janin intrapartal
3.Diagnosis Kelainan Partus lama
Tanda dan gejala Klinis Diagnosis
Pembukaan serviks tidak membuka (kurang dari 3 Belum inpartu, fase labor
cm) tidak didapatkan kontraksi uterus
Pembukaan serviks tidak melewati 3 cm sesudah 8 Prolonged laten phase
jam inpartu, pembukaan serviks tidak melewati
garis waspada partograf
Frekuensi dan lamanya kontraksi kurang dari 3 Inersia uteri
kontraksi per 10 menit dan kurang dari 40 detik
Secondary arrest of dilatation atau arrest of Disporporsi sefalopelvik
descent
Secondary arrest of dilatation dan bagian terendah Obstruksi
dengan caput terdapat moulase hebat, edema
serviks, tanda rupture uteri immenens, fetal dan
maternal distress
Kelainan presentasi (selain vertex) Malpresentasi
Pembukaan serviks lengakap, ibu ingin mengedan Kala II lama (prolonged,
mengedan, tetapi tidak ada
kemajuan second stage)

4. Faktor Penyebab
Partus atau persalinan lama disebut juga distosia disebabkan beberapa hal,
yang dapat dibagi dalam 3 golongan berikut:
 Kelainan tenaga/his
 Kelainan Janin
 Kelainan jalan lahir

Kelainan Tenaga/His
Berikut jenis-jenis kelainan his:
 Inersia Uteri: Kelainan dalam hal kontraksi uterus yang lebih singkat dan
jarang daripada biasa (primer/hypotonic uterine contraction dan sekunder).
 His terlampau kuat: hypertonic uterine contraction bukan penyebab
distosia, akan tetapi berbahaya karena menyebabkan robekan jalan lahir
dan pada bayi bisa terjadi perdarahan dalam tengkorak.
 Incoordinate uterine action: Tidak adanya koordinasi antara kontraksi
bagian atas, tengah, dan bawah menyebabkan his tidak efisien dalam
mengadakan pembukaan.

Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida, khususnya


primigravida tua. Pada multipara banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia
uteri. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda ataupun
hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia uteri yang murni.
Dalam menghadapi persalinan lama, tekana darah ibu diukur tiap empat
jam, bahkan perlu lebih sering apabila ada gejala preeclampsia. DJJ dicatat tiap
setengah jam dalam kala I dan lebih sering dalam kala II. Pada ibu jangan
diberikan makanan biasa karena da kemungkinan tindakan pembedahan, sehingga
sebaiknya diberikan infus larutan glukosa 5% dan larutan NaCl isotonis secara iv
berganti-ganti. Untuk mengurangi rasa nyeri diberikan Petidin 50 mg yang dapat
diulang, pada permulaan kala I dapat diberikan 10 mg morfin. Dalam menentukan
sikap lebih lanjut perlu diketahui apakah ketuban sudah pecah atau belum pecah.
Apabila ketuban sudah pecah maka keputusan untuk menyelesaikan persalinan
tidak boleh ditunda terlalu lama berhubung dengan bahaya infeksi.
Pada Inersia uteri, setelah diagnosis ditetapkan, harus diperiksa keadaan
serviks, presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul, dan
keadaan panggul. Apabila ada disproporsi sefalopelvik yang berarti, sebaiknya
diambil keputusan melakukan seksio sesaria. Apabila tidak ada disproporsi atau
disproporsi ringan dapat diambil sikap lain. Keadaan umum penderita semntara
itu diperbaiki dan kandung kencing serta rectum dikosongkan. Apabila kepala atau
bokong janin sudah masuk panggul penderita disuruh berjalan. Pada waktu
pemeriksaan dalam ketuban boleh dipecahkan karena dapat merangsang his
sehingga mempercepat jalannya persalinan. pemberian oksitosin dapat diberikan
dengan memasukkan 5 satuan oksitosin dalam larutan glukosa 5% dan diberikan
secara infus intravena dengan kecepatan 12 tetes permenit dan perlahan dinaikkan
sampai 50 tetes. Apabila 5o tetes tidak memberikan hasil yang diharapkan maka
tidak banyak gunanya pemberian oksitosin dalam dosis yang lebih tinggi lagi.
Infus harus diberhentikan apabila kontraksi uterus berlangsung lebih dari 60 detik
atau DJJ menjadi lebih cepat atau melambat. Oksitosin tidak boleh diberikan pada
panggul sempit dan pada adanya regangan segmen bawah uteri, pada grande
multipara dan kepada penderita yang pernah mengalami seksio sesaria atau
miomektomi pemberian oksitosin dapat memudahkan terjadinya ruptur uteri.

Kelainan Kala I
Fase laten memanjang
Diagnosis fase laten memanjang dibuat secara retrospektif. Bila his
berhenti disebut persalinan palsu atau belum inpartu. Bilamana kontraksi makin
teratur dan pembukaan bertambah sampai 3 cm disebut fase laten. Dan apabila ibu
berada dalam fase laten lebih dari 8 jam dan tak ada kemajuan, lakukan
pemeriksaan dengan jalan melakukan pemeriksaan serviks. :
1) Bila didapat perubahan dalam penipisan dan pembukaan serviks,
lakukan drip oksitosin dengan 5 unit dalam 500 cc dekstrose (atau
NaCl) mulai dengan 8 tetes permenit, setiap 30 menit ditambah 4 tetes
sampai his adekuat (maksimal 40 tetes/menit) atau berikan preprat
prostaglandin, lakukan penilaian ulang setiap 4 jam. Bila ibu tidak
masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian oksitosin, lakukan
secsio sesarea.
2) Bila tidak ada perubahan dalam penapisan dan pembukaan serviks
serta tak didapat tanda gawat janin, kaji ulang diagnosisnya
kemungkinan ibu belum dalam keadaan inpartu.
3) Bila didapatkan tanda adanya amnionitis, berikan induksi dengan
oksitosin 5 unit dan 500 cc dekstrose (atau NaCl) mulai dengan 8 tetes
permenit, setiap 15 menit ditambah 4 tetes sampai adekuat (maksimal
40 tetes/menit) atau berikan preprat prostaglandin, serta obati infeksi
dengan ampisilin 2 gr IV sebagai dosis awal dan 1 gr IV setiap 6 jam
dan gentamicin 2x80 mg.

Fase Aktif Memanjang


Pola Persalinan Nulipara Multipara
Persalinan Lama
(protraction disorders)
Pembukaan < 1,2 cm/jam <1,5 cm/jam
Penurunan < 1,0 cm/jam <2,0 cm/jam
Persalinan macet (arrest
disorders)
Tidak ada Pembukaan >2 jam >2 jam
Tidak ada Penurunan >1 jam >1 jam
Tabel 1 Kriteria diagnostik Kelainan persalinan akibat persalinan lama atau macet

Pada Fase aktif yang memanjang, bila tidak didapatkan tanda adanya CPD
(chepalo Pelvic Disporportion) atau adanya obstruksi maka hal berikut dapat
dilakukan:
1) Berikan berikan penanganan umum yang kemungkinan akan memperbaiki
kontraksi dan mempercepat kemajuan persalinan
2) Bila ketuban intak, pecahkan ketuban. Bila kecepatan pembukaan serviks
pada waktu fase aktif kurang dari 1 cm/jam, lakukan penilaian kontraksi
uterusnya.

Kelainan Kala II
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir
dengan keluarnya janin. Media durasinya adalah 50 menit untuk nullipara dan 20
menit untuk mutipara, tetapi angka ini juga sangat bervariasi.
Upaya mengejan ibu menambah resiko pada bayi karena mengurangi
jumlah oksigen ke plasenta, maka dari itu sebaiknya dianjurkan mengedan secara
spontan, Mengedan dan menahan nafas yang terlalu lama tidak dianjurkan.
Perhatikan DJJ, bradikardi yang lama mungkin terjadi akibat lilitan tali pusat.
Dalam hal ini lakukan ekstraksi vakum / forcep bila syarat memenuhi.
Bila malpresentasi dan tanda obstruksi bisa disingkirkan, berikan oksitosin
drip. Bila pemberian oksitosin drip tidak ada kemajuan dalam 1 jam, lahirkan
dengan bantuan ekstraksi vacuum / forcep, bila persyaratan terpanuhi lahirkan
dengan secsio sesarea.

Kelainan Janin
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain vertex (presentasi
bokong, dahi, wajah, atau letak lintang). Malposisi adalah posisi kepala janin
relatif terhadap pelvis dengan oksiput sebagai titik referansi. Janin yang dalam
keadaan malpresentasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama
atau partus macet.
Bila terjadi malposisi atau malpresentasi pada janin secara umum :
1) Lakukan evaluasi cepat kondisi ibu (TTV)
2) Lakukan evaluasi kondisi janin DJJ, bila air ketuban pecah lihat warna air
ketuban:
a) Bila didapatkan mekoneum awasi yang ketat atau intervensi
b) Tidak ada cairan ketuban pada saat ketuban pecah menandakan adanya
pengurangan jumlah air ketuban yang ada hubungannya dengan gawat janin.
3) Pemberian bantuan secara umum pada ibu inpartu akan memperbaiki kontraksi
atau kemajuan persalinan
4) Lakukan penilaian kemajuan persalinan memakai partograf
5) Bila terjadi partus lama lakukan penatalaksanaan secara spesifik sesuai dengan
keadaan malposisi atau malpresentasi yang didapatkan.

Kelainan Jalan Lahir


Panggul sempit atau disporporsi sefalopelvik terjadi karena bayi terlalu
besar dan pelvis kecil sehingga menyebabkan partus macet. Cara penilaian serviks
yang baik adalah dengan melakukan partus percobaan (trial of labor). Kegunaan
pelvimeter klinis terbatas. Bila diagnosis CPD ditegakkan, lahirkan bayi dengan
SC, bila bayi mati lakukan kraniotomi atau embriotomi (bila tidak mungkin
lakukan SC).

DISTOSIA BAHU
1. Definisi
Tersangkutnya bahu depan janin di atas simfisi dan tidak dapat dilahirkan
setelah kepala janin dilahirkan. Selain itu distosia bahu juga dapat didefinisikan
sebagai ketidakmampuan melahirkan bahu dengan mekanisme atau cara biasa

2. Faktor risiko
a. Maternal
 Kelainan anatomi panggul
 Diabetes gestatisonal
 Kehamilan postmatur
 Riwayat distosia bahu
 Tubuh ibu pendek
b. Fetal
 Dugaan makrosomia
c. Masalah persalinan
 Assisted vaginal delivery (forceps atau vakum)
 Protracted active phase pada kala I persalinan
 Protracted pada kala II persalinan
3. Tanda dan Gejala Distosia Bahu
a. Pada proses persalinan normal, kepala lahir melalui gerakan ekstensi. Pada
distosia bahu, kepala akan tertarik ke dalam dan tidak dapat mengalami
putar paksi luar.
b. Ukuran kepala dan bentuk pipi menunjukkan bahwa bayi gemuk dan besar.
Begitu juga dengan postur tubuh parturien yang obese.
c. Usaha untuk melakukan putar paksi luar, fleksi lateral dan traksi tidak
berhasil melahirkan bahu.
4. Diagnosis
a. Kepala janin dapat dilahirkan tetapi tetap berada dekat vulva (turtle’s sign)
b. Dagu tertarik dan menekan perineum
c. Tarikan pada kepala gagal melahirkan bahu yang terperangkap di belakang
simfisis pubis
5. Komplikasi
1. Komplikasi maternal
 Perdarahan paska persalinan
 Fistula rectovaginal
 Simfisiolisis atau diathesis, dengan atau tanpa transient femoral
neuropathy
 Robekan perineum derajat III atau IV
 Ruptur uteri
2. Komplikasi fetal
 Brachial plexus palsy
 Fraktura klavikula
 Kematian janin
 Hipoksia janin
 Fraktur humerus
6. Penatalaksanaan
Rekomendasi dari American College of Obstetricians and Gynecologist
(2002) untuk tata laksana pasien dengan riwayat distosia bahu dan tingkatan
cedera janin pada kehamilan sebelumnya:
1. Perlu dilakukan evaluasi cermat terhadap perkiraan berat janinm usia
kehamilan, intoleransi glukosa maternal dan tingkatan cedera janini pada
kehamilan sebelumnya
2. Keuntungan dan kerugian untuk dilakukan tindakan SC harus dibahas secara
baik dengan pasien dan keluarganya

Tata laksana:

 Beritahu ibu bahwa terjadi komplikasi yang gawat dan diperlukan kerja
sama agar lebih lanjut
 Geser posisi ibu sehingga bokong berada di pinggir tempat persalinan agar
memudahkan traksi curam kepala anak
 Pakai sarung tangan DTT atau steril
 Lakukan episiotomi
 Lakukan manuver Mc Robert’s
Posisi ibu berbaring pada punggung dan minta ibu menarik lututnya ke
arah dada
 Lakukan fleksi maksimal pada sendi paha dan sendi lutut kedua tungkai
ibu sehingga lutut hampir bersentuhan dengan bahu. Penolong persalinan
menahan kepala anak dan pada saat yang sama asisten penolong memberi
tekanan di atas simfisi
 Tekan kepala bayi secara mantap ke arah anus ibu untuk menggerakkan
bahu anterior di bawah simfisis pubis
 Ibu diminta untuk meneran sekuat tenaga saat penolong persalinan
berusaha melahirkan bahu
 Jangan lakukan dorongan pada fundus karena akan mempengaruhi bahu
lebih jauh dan bisa menyebabkan ruptur uteri
 Bila prosedur tersebut tidak berhasil, maka lahirkan bahu belakang:
 Masukkan telapak tangan kanan ke jalan lahir di antara bahu
posterior dan belakang vagina. Ruangan sakrum cukup luas untuk
manuver ini
 Telusuri bahu sampai mencapai siku. Lakukan gerakan fleksi pada
sendi siku dan lahirkan lengan belakang melalui bagian depan
dada. Dengan lahirnya lengan belakang maka bahu posterior anak
juga lahir
 Bila bahu anterior belum dapat dilahirkan, maka tubuh anak harus
dirotasikan 180 derajat dan tubuh anak dicekap sehingga bahu
anterior yang terjepit di atas simfisis pubis akan terbebas
 Manuver rubin
 Mengguncang bahu anak dari satu sisi ke sisi lain dengan
melakukan tekanan pada abdomen ibu. Bila tidak berhasil, lakukan
langha selanjutnya, yaitu
 Tangan mencari bahu anak yang paling mudah untuk dijangkau dan
kemudian ditekan ke arah dada anak. Tindakan ini untuk
melakukan abduksi kedua bahu anak sehingga diameter bahu
mengecil dan melepaskan bahu anterior dari simfisis pubis
 Tindakan terakhir
 Pematahan klavikula: dilakukan dengan menekan klavikula
anterior ke arah simfisis
 Manuver Zavanelli: mengembalikan kepala ke dalan jalan lahir
dananak dilahirkan secara SC
 Simfisiotomi
DAFTAR PUSTAKA

Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, 2007, Obstetric : Normal and Problem
Pregnancies, 5th Edition, Churcill Livingstone, USA, pp 176-180

Karkata, K.M., 2009. Perdarahan pasca Persalinan dalam Buku Ilmu kebidanan
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta: PT Bina Pustaka

Mose, J.C. dan Alamsyah M. 2009. Persalinan lama dalam Buku Ilmu kebidanan
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta: PT Bina Pustaka
Norwitz, ER , 2004, Obstetric and Gynecology at a Glance, Backweel Science,
USA pp 114-115

Rochman A, 2009, Diagnosis dan Terapi 209 Penyakit, EGC, Jakarta, hal. 78-79.

Saifuddin, A.B.;Adriansz, G.; Wiknjosastro, G.H.; Waspodo, G. 2002. Perdarahan


Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR-POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo

http-//repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26440/4/Chapter%20II.pdf

WHO recommendations for the prevention and treatment of postpartum


haemorrhage 2012.

Anda mungkin juga menyukai