Anda di halaman 1dari 124

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327729513

Pemetaan Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare Kabupaten Madiun

Thesis · June 2014


DOI: 10.13140/RG.2.2.24596.55686

CITATIONS READS
0 414

1 author:

Wilda Fathoni
Universitas Gadjah Mada
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

DEVELOPING STUDENT’S SPATIAL INTELLEGENCE WITH LERANING MEDIA ”SPACE DANCING” (SMART PRACTICE DRONE FOR LEARN REMOTE SENSING) IN GEOGRAPHYC
SUBJECT SENIOR HIGH SCOOL View project

Thesis View project

All content following this page was uploaded by Wilda Fathoni on 18 September 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMETAAN KERAWANAN LONGSOR DI KECAMATAN KARE
KABUPATEN MADIUN

SKRIPSI

Oleh :
WILDA AULIA FATHONI
NIM 100721405488

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN GEOGRAFI

2014
PEMETAAN KERAWANAN LONGSOR DI KECAMATAN KARE
KABUPATEN MADIUN

SKRIPSI

Oleh :
WILDA AULIA FATHONI
NIM 100721405488

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN GEOGRAFI

2014
PEMETAAN KERAWANAN LONGSOR DI KECAMATAN KARE
KABUPATEN MADIUN

SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Negeri Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program Sarjana Pendidikan Geografi

Oleh
Wilda Aulia Fathoni
NIM 100721405488

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
2014
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Wilda Aulia Fathoni
NIM : 100721405488
Jurusan/Program Studi : Geografi/Pendidikan Geografi
Fakultas/Program : Ilmu Sosial/S-1

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar
tulisan saya, dan bukan merupakan plagiasi baik sebagian atau seluruhnya.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil
plagiasi, baik sebagian atau seluruhnya, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 24 Juni 2014


Yang membuat pernyataan,

Wilda Aulia Fathoni


ABSTRAK
Fathoni, Wilda Aulia.2014. Pemetaan Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare
Kabupaten Madiun. Skripsi, Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri
Malang. Pembimbing: (1) Drs. Sudarno Herlambang, M.Si. (II) Drs. J.P
Buranda, M.Si

Kata kunci: pemetaan, tingkat kerawanan longsor, faktor dominan longsor

Kecamatan Kare merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Madiun yang


rawan terjadi longsor. Wilayah ini berupa daerah pegunungan yakni berada di
lereng Gunung Wilis. Pada musim penghujan, sebagian besar wilayah ini
terancam tanah longsor karena tingginya curah hujan.Secara geologis, Kecamatan
Kare terletak di daerah Endapan Breksi vulkanik dan Pasir hasil letusan Gunung
Wilis yang terbentuk pada zaman Kuarter Tua. Sebagian besar Endapan Breksi
sudah mengalami pelapukan dan menjadi tanah tebal sedangkan sebagian masih
berupa batuan dasar sehingga membuat lapisan tanah permukaan berupa lempung
kelanauan. Permasalahan lokasi rawan longsor pada Kecamatan Kare hingga saat
ini belum teridentifikasi dan belum terpetakan. Akibatnya belum ada penanganan
yang tepat untuk mengatasi bahaya longsor tanah karena penanganan setiap tipe
longsor berbeda satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tingkat kerawanan longsor


daerah penelitian,serta faktor yang mempengaruhi kerawanan longsor.Metode
penelitian yang digunakan adalah survey. Berdasarkan jenisnya penelitian ini
bersifat deskriptif. Subjek penelitian dispesifikan pada daerah yang berpotensi
rawan longsor di Kecamatan Kare Kabupaten Madiun. Identifikasi daerah rawan
longsor diamati berdasarkan beberapa variabel yaitu kemiringan lereng,
pemusatan mata air, tingkat pelapukan tanah, kerapatan kekar, kedalaman
pelapukan, struktur lapisan batuan, permebilitas tanah, indeks plastisitas, tekstur
tanah, penggalian tebing dan vegetasi penutup.

Hasil penelitian menunjukkan daerah penelitian mempunyai tingkat


kerawanan bahaya longsor terbagi menjadi 3 kriteria yaitu rendah, sedang, dan
tinggi. Hasil pengolahan serta analisis data menunjukkan bahwa pada daerah
penelitian didominasi kriteria tingkat kerawanan bahaya longsor sedang dengan
luas 9.626,07 Ha pada satuan lahan kebun, tegalan, dan sawah. Kerawanan rendah
dengan luas 7.608,00 Ha pada satuan lahan hutan. Serta kerawanan tinggi dengan
luas 736,93 Ha pada satuan lahan pemukiman. Kedalaman pelapukan dan
penggalian tebing merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi
tingkat kerawanan longsor Kecamatan Kare.

i
ABSTRACT

Fathoni, Wilda Aulia.2014. Mapping of Landslide Vulnerability in Kare district


Madiun regency. Thesis, Department of Geography of the University of
Malang FIS. Supervisor: (1) Drs. Sudarno Herlambang, M.Si. (II) Drs. J.P
Buranda, M.Si

Keywords: mapping, vulnerability levels, dominant factors of landslide

Kare is one of area in Madiun that prone of landslides. The area is a lot of
mountain region which is located on the slopes of Mount Wilis. In the rainy
season, most of these areas threatened by landslides due to rainfall. In geological,
district Kare is located in an area of volcanic breccia and Sand Deposition
eruption of Mount Wilis are formed in the days of the Old Quarter. Most of
Deposition Breccia has experienced weathering and become thick ground while
still form the bedrock portion and can make the surface soil layer of silty clay
form. Problems landslide-prone locations in the District Kare have not been
identified and uncharted. As a result there has been no proper treatment to
overcome the danger of landslides due to handling each one with a different type
of landslide another.
This study aims to describe the level of vulnerability to landslides area of
research, as well as factors that influence vulnerability to landslides. The method
used was a survey. Based on this kind of research is descriptive. Research subjects
specifications of potential landslide prone areas in the district Kare Madiun.
Identify areas prone to landslides observed by several variables: slope, centering
springs, soil weathering rate, density stocky, depth of weathering, the rock layer
structure, soil permeability, plasticity index, soil texture, rock excavation and
vegetation cover.

The results show that the vulnerability of the study area has the landslide
danger is divided into three criteria: low, medium, and high. The results of the
processing and analysis of data showed that the study area is dominated landslide
danger level of vulnerability criteria were broadly 9626.07 Ha in land units
plantage, agricultural field, and rice field. Low vulnerability to widespread
7608.00 Ha of forest land units. As well as high vulnerability to widespread
736.93 Ha in residential land units. Depth of weathering and rock excavation is
the most dominant factor in influencing the level of vulnerability to landslides in
district Kare.

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil ‘Alamin, Puji syukur yang sebesar-besarnya

kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi

yang berjudul “Pemetaan Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare Kabupaten

Madiun” dapat terselesaikan. Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari

bantuan dan kerjasama berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankan untuk

mengungkapkan rasa terima kasih kepada:

1. Drs. Sudarno Herlambang, M.Si selaku pembimbing I, yang dengan sabar dan

telaten telah memberikan bimbingan, motivasi, dan saran-saran hingga

terselesaikannya skripsi ini.

2. Drs. J.P Buranda, M.Si selaku pembimbing II, yang dengan penuh ketekunan

dan kesabaran dalam membimbing, memberikan bantuan pemikiran, dan

saran-saran hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Drs. Didik Taryana, M.Si selaku penguji yang telah memberikan saran dan

kritik yang membangun demi lebih baiknya penyelesaian skripsi ini.

4. Dr. Budijanto, M.S selaku Ketua Jurusan Geografi telah memberikan ijin

penelitian dan memberikan pengarahan selama masa kuliah.

5. Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., selaku Dekan FIS Universitas Negeri Malang

yang telah memberikan ijin untuk terlaksananya skripsi ini.

6. Dosen Jurusan Geografi terima kasih atas ilmu yang telah diberikan ketika

berada di bangku kuliah sehingga bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini.

iii
7. Kedua orang tua, Bapak Muhyar H.S dan Ibu Sulis Meiarni, serta semua

keluarga yang selalu memberikan dorongan, semangat dan doa sehingga

penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan lancer.

8. Teman-teman kontrakan Candi, Anugrah jaya,Bandulan dan Teman-teman

Geografi Off A, B, K, L angkatan 2010. Terimakasih sudah memberikan saya

dorongan, semangat, dan motivasi.

9. Teman-teman seperjuangan Adi, Caca, Samsul, Hariri, Devid, Akvian, dan

Ulum yang telah membantu dalam pengambilan data primer dalam penelitian

ini.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah

banyak membantu dalam penulisan laporan ini.

Tidak ada kesempurnaan kecuali milik Sang Pencipta, begitu pula

penulisan laporan ini. Saran dan kritik terbuka demi kemajuan sebuah karya. Oleh

karena itu, diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi

kemajuan skripsi ini ke arah yang lebih baik.

Malang, Juni 2014

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
C. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
D. Definisi Operasional ...................................................................... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Longsor .......................................................................................... 8
B. Parameter Dalam Identifikasi Penyebab Rawan Longsor............... 8
C. Tipe-tipe Longsor .......................................................................... 16
D. Bahaya Bencana Longsor ............................................................. 21
E. Penelitian terdahulu ......................................................................... 23

BAB III METODE PENELITIAN


A. Rancangan Penelitian .................................................................... 26
B. Obyek Penelitian ........................................................................... 28
C. Instrumen Penelitian ...................................................................... 28
D. Sumber Data ................................................................................... 30
E. Langkah Kerja ................................................................................ 31
F. Analisis data ................................................................................. 36

BAB IV KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN


A. Letak, Batas, dan Luas Wilayah .................................................... 41
B. Kondisi Fisik ................................................................................ 44
1. Kondisi Geologi ..................................................................... 44
2. Kondisi Geomorfologi.............................................................. 48
3. Kondisi Iklim ......................................................................... 51
4. Jenis Tanah ............................................................................. 53
5. Penggunaan Lahan ................................................................. 57
6. Hidrologi ............................................................................... 59
C. Kondisi Penduduk ......................................................................... 60

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian ............................................................................... 61
1. Satuan Lahan Daerah Penelitian ................................................. 61
2. Kerawanan Longsor .................................................................... 66
3. Faktor yang mempengaruhi Kerawanan Longsor ...................... 71

vi
B. Pembahasan ..................................................................................... 74
1. Tingkat Kerawanan Longsor ........................................................ 74
2. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan Longsor ........ 82

BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 88
B. Saran ................................................................................................ 89

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 90


LAMPIRAN ....................................................................................................... 93
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 94

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Surat Ijin Penelitian............................................................... ..................... 91

2. Peta Lokasi Penelitian........................ ........................................................ 93

3. Hasil Analisis Tanah....................................... ........................................... 94

4. Data lapangan ............................................................................................. 95

5. Dokumentasi Penelitian ............................................................................ 96

6. Hasil regresi ............................................................................................... 101

x
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu .................................................................................. 24
3.1 Kriteria Penilaian Tingkat Kemiringan Lereng ......................................... 36
3.2 Kriteria Penilaian Pemusatan Mata Air ..................................................... 37
3.3 Kriteria Penilaian Tekstur Tanah ............................................................... 37
3.4 Kriteria Penilaian Tingkat Pelapukan Batuan............................................ 37
3.5 Kriteria Penilaian Kerapatan Kekar ........................................................... 37
3.6 Kriteria Penilaian Kedalaman Pelapukan................................................... 38
3.7 Kriteria Penilaian Indeks Plastisitas .......................................................... 38
3.8 Kriteria Penilaian Struktur Perlapisan Batuan ........................................... 38
3.9 Kriteria Penilaian Permeabilitas .............................................................. 38
3.10 Kriteria Penilaian Penggalian Tebing ........................................................ 39
3.11 Kriteria Penilaian Penutup Lahan .............................................................. 39
3.12 Kriteria Tingkat Kerawanan Longsor ........................................................ 40
4.1 Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Kare tahun 2012 .......................... 41
4.2 Curah Hujan Kecamatan Kare tahun 2003-2012 ...................................... 51
4.3 Klasisfikasi iklim menurut Schmidt Ferguson .......................................... 52
4.4 Jenis Tanah dan Luas Jenis Tanah di Kecamatan Kare tahun 2012 .......... 55
4.5 Penggunaan Lahan di Kecamatan Kare tahun 2012 .................................. 57
4.6 Jenis dan Luas Hidrogeologi Kecamatan Kare tahun 2012 ....................... 59
4.7 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2 ) Menurut Desa/Kelurahan Periode
Tahun 2011-2012 ....................................................................................... 60
5.1 Simbol Penamaan Peta Satuan Lahan tahun 2014..................................... 64
5.2 Karakteristik Satuan Lahan Kecamatan Kare tahun 2014 ......................... 65
5.3 Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare ..................................... 69
5.4 Distribusi Luas Area Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare ................. 71
5.5 Persentase Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan
Longsor Kecamatan Kare Pada Setiap Satuan Lahan ............................... 73

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1 Tipe Longsoran Translasi ......................................................................... 17
2.2 Tipe Longsoran Rotasi............................................................................... 18
2.3 Tipe Longsoran Pergerakan Blok ............................................................. 18
2.4 Tipe Longsoran Runtuhan Batu ................................................................. 19
2.5 Tipe Longsoran Rayapan Tanah ................................................................ 19
2.6 Tipe Longsor Aliran Bahan Rombakan ..................................................... 20
2.7 Tipe Longsor Menurut Vernes................................................................... 21
3.1 Diagram Alir Penelitian ............................................................................. 27
4.1 Peta Administrasi Area Kecamatan Kare ................................................ 43
4.2 Peta Geologi Kecamatan Kare ................................................................. 47
4.3 Peta Geomorfologi Kecamatan Kare ....................................................... 50
4.4 Peta Jenis Tanah Kecamatan Kare ........................................................... 56
4.5 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Kare ................................................ 58
5.1 Peta Satuan Lahan Kecamatan Kare .......................................................... 63
5.2 Peta Agihan Tingkat Kerawanan Longsor Kecamatan Kare ..................... 70
5.3 Tipe longsor jatuhan dan longsoran pada Satuan Lahan Tegalan ............ 79
5.4 Tipe longsoran pada Satuan Lahan pemukiman ....................................... 82

xi
LEMBAR PENELITIAN
Desa : ………………………………………………………….
Kode satuan lahan : ………………………………………………………….
Kecamatan : ……………………………………….............................
Koordinat GPS : X: ………………………Y: ……………………….......

A. Pengukuran
1. Kemiringan lereng
No Segmen Kemiringan Panjang
1
2
3
4

2. Kerapatan kekar
Jarak antar kekar (mm) Kriteria penilaian istilah Nilai harkat
>2000 Sangat jarang 1
600 -<2000 Jarang 2
200 -<600 Sedang 3
<200 Rapat – sangat rapat 4

3. Kedalaman pelapukan
Kriteria Nilai
Kedalaman pelapukan (cm) Istilah
penilaian(cm) harkat
<50 Dangkal 1
50 - <75 Agak dangkal 2
75 -<100 Sedang 3
>100 Dalam – sangat dalam 4

B. Pengamatan
1. Pemusatan mata air
Keterdapatan mata air Nilai harkat
Tidak ada 1
Ada 1 atau 2 mata air 2
Lebih dari 2 mata air 3
Jalur rembesan 4
2. Pelapukan batuan
Kriteria pelapukan Istilah Harkat
Tidak tampak tanda pelapukan batuan sesegar kristal. Tak lapuk (segar) 1
Pelapukan hanya terjadi pada diskontuinitas terbuka yang Lapuk ringan
2
menimbulkan warna.
Kurang dari setengah batuan terdekomposisi dan atau Lapuk sedang
3
terdesintegrasi menjadi tanah, bagian tengah batuan masih segar
Lebih dari setengah material batuan terdekomposisi dan atau Lapuk kuat
terdesintegrasi pada tengah batuan sampai seluruhnya menjadi sampai sangat 4
tanah kuat

3. Perlapisan batuan
Struktur perlapisan batuan Kategori Harkat
Horizontal, tegak, miring medan datar dan berombak (0 – 8%) Baik - sangat baik 1

Horizontal, tegak, miring medan datar dan berombak (0 – 8%) Sedang 2

Miring dengan perlapisan keras lunak pada medan Jelek 3


berombak/bergelombang (8 – 30%)

Miring dengan perlapisan keras lunak pada medan Sangat jelek 4


bergelombang/berbukit

4. Penggalian tebing
Kedalaman tanah dan lokasi penggalian Harkat
Tidak ada penggalian 1
Dangkal dipuncak atau lereng atas, atau sedang dipuncak 2
Dangkal dikaki lereng atau das ar lembah atau dalam dipuncak atau lereng atas 3
Dalam di kaki atau dasar lembah 4

5. Penutup lahan
Penutup Lahan Harkat
Hutan 1
Perkebunan 2
Tegalan atau perumahan 3
Sawah 4

Tanaman penutup lahan : ……………………………………………........................

C. Pengambilan sample tanah untuk uji permebilitas tanah, indeks plastisitas, dan tekstur tanah.
Lampiran
Lampiran 1

Surat Izin Penelitian


Hasil Laboratorium Tanah
Lampiran 4

Foto-foto Penelitian

Gambar 1. Pengukuran Permeabilitas pada Satuan Lahan III V.2 Latosol STH

Gambar 2. Titik longsor pada Satuan Lahan III V.3.2.1 Medit H


Gambar 3. Kondisi Lokasi Pengambilan Sampel Satuan Lahan III V.2 Latosol
TLT

Gambar 4. Pengeboran Tanah Untuk Uji Permeabilitas Tanah


Gambar 5. Pengambilan Sampel Tanah

Gambar 6. Kondisi Lokasi Pengambilan Sampel Satuan Lahan I B.3 Si Alfi


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana alam merupakan salah satu fenomena alam yang dapat terjadi

setiap saat, dimana pun, dan kapan pun sehingga dapat menimbulkan kerugian

material dan imaterial bagi masyarakat. Bencana alam merupakan fenomena yang

sering terjadi di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia terletak di

wilayah yang disebut ring of fire (cincin api). Posisi geologis Indonesia masuk

pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, Pasifik, dan Australia yang

selalu bergerak dan saling menumbuk. Konsekuensi dari tubrukan tersebut adalah

terbentuknya jalur gunung api pada beberapa wilayah Indonesia, membentuk

pegunungan dan perbukitan dengan kemiringan lereng landai hingga terjal.

Dengan kondisi tersebut, Indonesia memiliki potensi bencana tanah longsor yang

dapat menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan.

Bencana alam tanah longsor bersifat lokal tetapi banyak tersebar di

wilayah Indonesia. Jumlah kejadian tanah longsor semakin meningkat terutama di

daerah perbukitan terjal ketika memasuki musim penghujan. Bencana ini dapat

terjadi pada daerah yang mempunyai topografi kasar dengan kemiringan lereng

yang curam. Selain itu, tanah juga berpengaruh terhadap bencana longsor.

Terdapat beberapa sifat tanah yang mempengaruhinya seperti jenis tanah, tekstur

tanah, struktur tanah, daya infiltrasi, dan kandungan bahan organik. Setiap tanah

di daerah tropis mudah longsor karena tingkat pelapukan batuannya yang tinggi

1
2

serta komposisi tanah yang didominasi oleh material lepas dan berlapis.

Pergerakan tanah dan batuan terjadi di atas bidang gelincir tanah yang terbentuk

akibat aktivitas penjenuhan air yang terakumulasi dan bergerak lateral di atas

permukaan perlapisan tanah atau batuan yang sulit tertembus oleh air yang

dinamakan lapisan kedap air (Prijono, 2009).

Dalam jangka waktu yang lama, bencana tanah longsor mengakibatkan

lebih banyak kerugian dibandingkan bencana lain. Menurut Hardiyatmo (2006:1)

kerusakan yang ditimbulkan oleh tanah longsor tidak hanya secara langsung

seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia,

akan tetapi juga secara tidak langsung yang berupa terganggunya kegiatan

pembangunan dan aktivitas ekonomi

Longsoran di Gunung Wilis perlu diteliti secara detail untuk mitigasi

resiko bencana. Gunung Wilis merupakan gunung api yang sedang tidur.

Sekarang ini, batuan di gunung-gunung itu sudah lapuk dan membentuk tanah

tebal lebih dari 20 meter. Berdasarkan hasil pengamatan, Gunung Wilis mulai

longsor sejak tahun 1999 di bagian Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo,

Madiun, dan Nganjuk (PVMBG, 2011).

Tingkat kekritisan lahan dari kategori kritis hingga sangat kritis yang

terjadi di wilayah hutan Gunung Wilis Kecamatan Kare Kabupaten Madiun

tergolong tinggi yaitu sekitar ±7.000 ha dari luas lahan hutan yang dimiliki

sebesar 9.500 ha.Tingginya tingkat kekritisan lahan ini memperbesar potensi

longsor yang dimiliki oleh Gunung Wilis di Kecamatan Kare Kabupaten Madiun.

(Madiun dalam Angka, 2010). Potensi longsor yang dimiliki Lereng Gunung

Wilis Kecamatan Kare didukung pula dengan identifikasi awal dari kejadian
3

longsor yang telah terjadi wilayah tersebut, yaitu longsoran di Lereng Gunung

Wilis ini yang melanda permukiman di Kabupaten Madiun (24/12/2007) telah

menyebabkan dua rumah rusak, di Desa Bodag Kecamatan Kare (Kompas, 2007).

Desa Bodag, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun merupakan salah satu

daerah yang rawan mengalami longsor. Pada April 2007 terjadi longsor di Desa

Bodag sepanjang 350 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter pada daerah

persawahan dan perkebunan yang dekat dengan pemukiman warga. Longsor

terjadi beberapa saat setelah hujan lebat mengguyur Desa Bodag selama lebih dari

5 jam tanpa henti.

Secara geologis, Desa Bodag terletak di daerah Endapan Breksi vulkanik

dan Pasir hasil letusan Gunung Wilis yang terbentuk pada zaman Kuarter Tua

(sekitar 1,5-2,0 juta tahun yang lalu). Sebagian besar Endapan Breksi sudah

mengalami pelapukan dan menjadi tanah tebal sedangkan sebagian masih berupa

batuan dasar sehingga membuat lapisan tanah permukaan berupa lempung

kelanauan. Bencana tanah longsor juga terjadi di Desa Kare, menyebabkan 2,5

hektar sawah hilang, 1 bak penampungan saluran irigasi yang rusak pada

17/12/2013 (BPBD, 2013).

Konversi dari hutan ke lahan pertanian menyebabkan daya dukung tanah

yang ada di kawasan ini menjadi semakin rendah dan mengalami penurunan

drastis terhadap lahan sehingga rawan bahaya longsor. Selain itu, masyarakat

yang tinggal di wilayah Kecamatan Kare, tentunya melakukan banyak aktivitas

penggunaan lahan antara lain perkebunan, perladangan, permukiman, dan lain

sebagainya. Aktivitas manusia tersebut dapat memberikan kelebihan beban akibat


4

pembangunan timbunan dan bangunan atau beban berat yang lain di atas lereng.

Hal tersebut dapat meningkatkan gerakan massa tanah (Hardiyatmo, 2006).

Kecamatan Kare merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Madiun yang

rawan terjadi longsor. Wilayah ini berupa daerah pegunungan yakni berada di

lereng Gunung Wilis. Pada musim penghujan, sebagian besar wilayah ini

terancam tanah longsor karena tingginya curah hujan (Tempo Interaktif, 2010).

Kondisi topografi Kecamatan Kare relatif terjal. Kecamatan ini berada pada lereng

Gunung Wilis merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng yang berelief.

Ketinggian bukit sekitar 400-600 meter dengan kemiringan rata-rata 15-40 % dan

sebagian lagi memiliki kemiringan di atas 40% pada lereng Gunung Wilis.

Kondisi tanah yang berupa lempung kelanauan dan banyaknya kebutuhan air

untuk areal persawahan menyebabkan stabilitas lereng pada daerah ini mudah

terganggu, apalagi jika ditambah dengan adanya tambahan beban air hujan saat

musim penghujan tiba.

Peningkatan bahaya ini akan lebih parah apabila masyarakat sama sekali

tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana tanah longsor

di daerahnya. Bencana longsor menimbulkan kerugian dan penderitaan yang berat

baik korban jiwa maupun material sebagai akibat dari perpaduan bahaya tanah

longsor dan kompleksitas permasalahan lainnya.

Kondisi longsor sangat mengkhawatirkan jika pemerintah daerah tidak

segera mengambil langkah-langkah taktis dan strategis di masa sekarang untuk

mencegah bencana di masa depan. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah daerah

diharapkan melakukan antisipasi untuk memperkecil dampak bencana longsor dan

mengurangi jumlah korban jiwa. Oleh sebab itu, diperlukan upaya-upaya yang
5

komprehensif untuk mengurangi resiko bencana tanah longsor, antara lain dengan

melakukan kegiatan mitigasi. Kegiatan mitigasi dilakukan sebagai upaya

meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor di

Kecamatan Kare.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, penulis

berinisiatif mengadakan penelitian dengan judul Pemetaan Kerawanan Longsor di

Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Penelitian ini mendeskripsikan lokasi-

lokasi yang berpotensi terjadinya tanah longsor. Selanjutnya, hasil yang diperoleh

selama penelitian tersebut akan diolah dalam bentuk peta, yaitu peta tentang

lokasi yang mempunyai potensi rawan bahaya longsor di Kecamatan Kare,

Kabupaten Madiun.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Memetakan tingkat kerawanan bahaya longsor tanah di Kecamatan Kare.

2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan longsor pada

Kecamatan Kare.

C. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan mampu menerapkan ilmu pengetahuan yang

diperoleh peneliti selama kuliah di Jurusan Geografi, khususnya pada materi


6

perkuliahan Geomorfologi, Geologi, Geografi Tanah, Kartografi, Konservasi

Lahan dan Air, Geografi Bencana, dan Sistem Informasi Geografi (SIG).

Penelitian ini juga dapat diaplikasikan pada kegiatan pembelajaran

kontekstual Geografi dalam Kurikulum 2013 jenjang SMA/MA kelas X semester

1 dan 2 pada KD sebagai berikut.

a) 2.3 Mengembangkan perilaku responsif terhadap masalah yang ditimbulkan

oleh dinamika litosfer, atmosfer, dan hidrosfer.

b) 3.4 Menganalisis dinamika litosfer dan pengaruhnya terhadap kehidupan.

c) 4.1 Menyusun karya tulis berdasarkan hasil observasi gejala litosfer,

atmosfer, atau hidrosfer di lingkungan sekitar dengan pendekatan

geografi.

2. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman

terhadap bencana longsor yang sering terjadi di daerah mereka serta sebagai bekal

untuk masyarakat sebagai pembelajaran mitigasi bencana sehingga masyarakat

menjadi tanggap terhadap bencana alam khususnya bencana longsor.

3. Bagi pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan

pertimbangan pemerintah Kabupaten Madiun dalam perencanaan penataan ruang

yang sesuai dengan tingkat kerawanan bencana longsor. Selain itu, hasil penelitian

ini dapat digunakan sebagai bekal bagi instansi terkait untuk mengadakan

penyuluhan atau mitigasi bencana terutama bencana longsor.


7

D. Definisi Operasional

Penggunaan istilah- istilah dalam judul penelitian perlu digunakan definisi

operasional untuk menghindari timbulnya salah pengertian dalam mengemukakan

hasil penelitian. Istilah- istilah yang dimaksud sebagai berikut.

1. Pemetaan (mapping) adalah proses pengukuran, perhitungan dan

penggambaran permukaan bumi sehingga didapatkan hasil berupa softcopy dan

hardcopy.

2. Kerawanan(vulnerability) adalah kondisi yang menimbulkan ancaman bahaya

kepada masyarakat baik fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan.

3. Longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan

rombakan, tanah, atau material lain, yang bergerak ke bawah atau keluar lereng

karena pengaruh gaya gravitasi bumi yang terjadi di daerah terjal dan tidak

stabil.

4. Lereng adalah permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu

terhadap suatu bidang horizontal.

5. Bentuk lahan (landform) merupakan kenampakan permukaan bumi yang

dibentuk oleh proses alam yang mempunyai karakteristik fisik dan visual

dimana bentuk lahan itu terbentuk.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Longsor

Longsor (slides) merupakan gerakan material pembentuk lereng yang

diakibatkan oleh terjadinya penggelinciran lereng oleh gaya gravitasi, di

sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa

menyatu atau terpecah-pecah. Perpindahan material total sebelum longsoran

bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan

pada tebal zona longsornya (Hardiyatmo, 2006). Jenis tanah longsor dibedakan

atas 6 jenis, yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok,

runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran

translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran

yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan

rombakan (Kementrian ESDM, 2008).

B. Parameter Dalam Identifikasi Penyebab Rawan Longsor

Secara umum longsor dapat terjadi karena adanya kejenuhan massa air

dan tekanan dari gaya gravitasi. Kejadian longsor tidak dapat terjadi begitu

saja, namun ada beberapa faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya

bencana tanah longsor. Parameter yang mempengaruhi terjadinya bencana

longsor, antara lain:

8
9

1. Curah Hujan

Ancaman longsor biasanya dimulai pada saat jumlah curah hujan

meningkat, biasanya terjadi pada Bulan November. Musim kemarau yang

panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air pada tanah dalam jumlah

yang sangat besar sehingga mengakibatkan munculnya pori-pori tanah dan

terbentuknya retakan pada permukaan tanah. Ketika hujan, air masuk dan saat

mencapai tingkat kejenuhan tanah atau air terakumulasi di bagian dasar lereng

akan menyebabkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya,

longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh akar tumbuhan.

Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering

terjadi, sehingga kandungan air pada tanah akan menjadi jenuh dengan cepat.

Apabila tidak ada tumbuhan yang dapat mengikat tanah dan menyerap air,

maka longsor akan mudah terjadi karena ketahanan batuan/tanah penyusun

lereng menurun tajam dan menyebabkan lereng menjadi labil di sepanjang

bidang gelincir. (Hardiyatmo, 2006)

Sifat-sifat hujan yang perlu diketahui adalah:

a. Intensitas hujan: menunjukkan banyaknya curah hujan persatuan waktu

yang biasanya dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam.

b. Jumlah hujan: menunjukkan banyaknya air hujan selama terjadi hujan,

selama satu bulan atau satu tahun.

c. Distribusi hujan: persebaran waktu terjadinya hujan.


10

2. Lereng

Kemiringan dan panjang lereng adalah unsur yang paling berpengaruh

terhadap longsor karena unsur tersebut sangat erat kaitannya dengan gaya

gravitasi dan gaya geser sepanjang lereng (Hardiyatmo, 2006). Lereng yang

terjal dapat terbentuk karena aktivitas alam maupun aktivitas manusia.

Aktivitas alam yang membentuk seperti pengikisan air sungai, mata air, air

laut, dan angin, sedangkan aktivitas manusia di antaranya adalah pengolahan

lahan dan penggalian tebing.

Kemiringan lereng semakin terjal maka kecepatan aliran permukaan

meningkat sehingga kekuatan mengangkut material meningkat pula. Selain itu

lereng yang semakin panjang akan menyebabkan volume limpasan air yang

mengalir menjadi semakin besar, apalagi jika lahan tersebut tidak ada vegetasi

yang dapat menyerap air dan mengikat tanah. Dalam kaitannya dengan longsor,

maka keterjalan lereng akan sangat berpengaruh pada suatu kejadian longsor.

Semakin terjal lereng maka akan semakin mudah terjadi longsor.

3. Pemusatan mata air/Rembesan

Kondisi hidrologis yang berpengaruh terhadap gerakan massa batuan

atau tanah adalah keterdapatan mata air/ jalur rembesan. Air dalam penghantar

umumnya bergerak perlahan-lahan menuju ke permukaan air bebas yang

terdekat seperti danau, sungai atau laut, tetapi jika ada satu lapisan kedap air

yang mengalasi sebuah penghantar dan lapisan itu tersingkap di permukaan,

maka air tanah dapat muncul di permukaan pada jalur rembesan atau sebagai

mata air. Pemusatan mata air berpengaruh terhadap kerentanan Semakin


11

banyak mata air atau rembesan, berarti menunjukkan banyaknya retakan atau

rekahan batuan. Perlapisan batuan yang satu dengan yang lain memiliki

perbedaan. Hal ini berpengaruh terhadap rembesan air pada retakan batuan

untuk meloloskan air sampai ke dalam. (Sugiharyanto, dkk, 2009).

4. Tanah

Jenis tanah yang berbeda-beda sangat berpengaruh terhadap potensi

erosi dan longsor. Tanah yang gembur mudah meloloskan air masuk ke dalam

penampang tanah akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah

yang padat (massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Pada Kecamatan Kare,

jenis tanah didominasi oleh tanah latosol yang memiliki solum tanah yang tebal

dengan tekstur liat, strukturnya remah, dan konsistensinya gembur. Ketika

musim hujan, tanah yang memiliki solum tanah tebal akan menyimpan air lebih

banyak sehingga menyebabkan penjenuhan pada tanah, tekanan air untuk

merenggangkan ikatan tanah meningkat dan akhirnya massa tanah terangkut

oleh aliran air dalam lereng.

Sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap longsor

adalah:

a. Tekstur Tanah

Tekstur tanah berperan dalam menentukan tata air dalam tanah, berupa

kecepatan infiltrasi, penetrasi, dan kemampuan pengikatan air oleh tanah, serta

mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air, permeabilitas tanah, dan

berbagai sifat fisik maupun kimia tanah lainnya (Darmawijaya, 1990 dalam

Sugiharyanto, 2009). Pengaruh tekstur tanah terhadap longsor didasarkan pada


12

kandungan fraksi pasir, geluh, dan lempung yang berpengaruh terhadap tingkat

pelapukan batuan. Tanah yang bertekstur pasir akan menyebabkan tidak

stabilnya agregat tanah karena kekuatan agregatnya kurang kuat, sedangkan

tanah yang bertekstur lempung apabila dalam keadaan lembab sulit untuk

kering sehingga dapat menambah volume tanah dan akan menunjang terjadinya

longsor.

b. Permeabilitas Tanah

Permeabilitas tanah adalah sifat yang menyatakan laju pergerakan suatu

zat cair melalui suatu media berpori-pori makro maupun mikro, baik kearah

vertikal maupun horizontal. Pengaruhnya permeabilitas tanah dengan longsor

lahan adalah bahwa tanah yang permeabilitasnya cepat kurang mendukung

terhadap terjadinya longsor lahan daripada tanah yang permeabilitasnya

lambat. Semakin lambat permeabilitas tanah maka air yang tertahan dalam

tanah akan semakin banyak sehingga akan menjadikan tanah menjadi jenuh.

Tanah yang jenuh air berpotensi untuk berkembang apabila hujan semakin

deras dan lama. Penjenuhan ini mengakibatkan butir-butir tanah tertekan

sehingga mengakibatkan massa tanah bergerak.

c. Indeks Plastisitas

Indeks plastisitas menunjukan kadar air pada batas cair dengan batas

plastis atau selisih antara batas cair dan batas plastis. Batas cair adalah batas

cair tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis. Tanah yang batas

cairnya tinggi biasanya kekuatannya lemah. Batas plastis adalah kadar air tanah

pada batas bawah keadaan plastis. Kadar air ini memberi dasar ujian tentang

gaya perekat antara butir-butir tanah di bawah pengaruh air. Bila indeks
13

plastisitas tinggi maka butir tanah banyak mengandung lempung koloidal

karena itu pemuaian dan penyusutannya besar oleh lengas sehingga rentan

terhadap longsor lahan. (Sugiharyanto, dkk, 2009).

5. Batuan

Jenis batuan akan mempengaruhi dalam proses pelapukan. Batuan

endapan gunung api dan sedimen yang berukuran pasir umumnya kurang kuat.

Batuan yang kurang kuat akan mudah mengalami proses pelapukan dan

menjadi tanah, sehingga akan rentan terhadap longsor bila terdapat pada lereng

yang terjal. Secara geologis, Kecamatan Kare masuk dalam Pegunungan Wilis.

Hal ini menyebabkan batuan yang ada di Kecamatan Kare kebanyakan

merupakan hasil dari aliran lahar dan endapan gunung api.

Batuan yang berpengaruh terhadap longsor, diamati dengan cara sebagai

berikut:

a. Perlapisan batuan

Bidang perlapisan batuan menunjukan besar kecilnya kemiringan

perlapisan batuan terhadap bidang datar. Semakin besar kemiringan perlapisan

batuan terhadap kemiringan lereng maka suatu lahan rentan terhadap longsor

lahan. Bidang perlapisan batuan yang miring searah kemiringan lereng

seringkali menjadi bidang lemah tempat meluncurnya tanah ataupun batuan.

Bidang perlapisan tersebut sangat mengurangi gaya penahan gerakan pada

lereng, khususnya mengurangi kuat geser tanah/batuan (kohesi dan sudut

gesekan dalam) Bidang perlapisan yang miring, dengan sudut (dip) searah
14

dengan kemiringan bidang lereng dapat mendorong terjadinya longsor.

(Sugiharyanto, dkk, 2009).

b. Pelapukan Batuan

Jenis batuan akan mempengaruhi dalam proses pelapukan. Batuan

endapan gunung api dan sedimen yang berukuran pasir umumnya kurang kuat.

Batuan yang kurang kuat akan mudah mengalami proses pelapukan dan

menjadi tanah, sehingga akan rentan terhadap longsor bila terdapat pada lereng

yang terjal. (Sugiharyanto,dkk, 2009).

c. Kerapatan kekar

Kehadiran kekar dan hancuran batuan pada lereng atau tebing akan

sangat melemahkan kuat geser (kohesi dan sudut gesek dalam) tanah/batuan

penyusun lereng karena mengakibatkan gaya penahan pada lereng menjadi

sangat lemah. Bidang retakan atau kekar justru sering merupakan bidang

gelincir atau jatuhan pada kejadian gerakan tanah/batuan. Kerapatan kekar juga

menunjukkan mudah tidaknya air dapat meloloskan diri ke dalam tanah atau

batuan. Air yang masuk ke dalam tanah melalui celah retakan batuan apabila

tertahan oleh lapisan batuan yang kedap atau rapat dapat mengakibatkan tanah

menjadi jenuh sehingga gaya kohesi pada tanah berkurang. Semakin rapat jarak

antar kekar semakin rentan terhadap terjadinya longsor lahan. (Sugiharyanto,

dkk, 2009)

d. Kedalaman Pelapukan

Kedalaman pelapukan adalah kedalaman lapisan tak padu. Semakin

dalam lapisan lapukan batuan maka semakin besar daya tampung lapisan ini

terhadap air yang masuk. Semakin banyak air yang melewati atau tersimpan
15

dalam lapisan ini maka semakin besar pula potensi longsornya, apalagi bila

terletak pada daerah yang miring.(Sugiharyanto,dkk, 2009).

6. Kerapatan Vegetasi (Tumbuhan)

Kerapatan vegetasi merupakan penutup lahan dari terpaan dan hambatan

laju limpasan aliran permukaan, serta merupakan penghambat sinar matahari

untuk mencapai permukaan tanah dan membuat pelapukan fisik terhambat.

Pengaruhnya terhadap longsor adalah semakin rapatnya vegetasi maka akan

menghalangi air hujan untuk langsung jatuh ke permukaan dan membuat daya

penghancur tanah berkurang. Selain itu vegetasi akan menghambat aliran

permukaan tanah dan memperbanyak infiltrasi. Dengan adanya vegetasi, maka

akan terbentuk siklus hidrologi yang baik dan akan berpengaruh terhadap

stabilitas tanah.

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang tidak ada

penutup lahannya atau gundul, dimana pengikatan air tanah sangat kurang.

Pola pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti kaidah kelestarian

lingkungan,contohnya seperti gundulnya hutan akibat deforestasi, dan konversi

hutan menjadi lahan pertanian. (Sugiharyanto,dkk, 2009).

7. Longsoran Lama

Secara umum longsor dapat dibagi menjadi dua macam menurut waktu

kejadiannya, longsor yang terjadi untuk pertama kali dan longsor yang terjadi

kembali. Longsor yang jenis kedua merupakan yang sering terjadi. Daerah
16

yang mengalami longsor akan memiliki kecenderungan untuk terjadi longsor

kembali apabila lereng yang pernah longsor belum stabil.(Hardiyatmo, 2006)

8. Aktivitas manusia

Aktivitas manusia yang dapat menyebabkan terjadinya longsor

diantaranya adalah penggalian tebing dan alih fungsi lahan.Penggalian tebing

oleh manusia untuk jalan raya dan pemukiman akan mengakibatkan penguat

lereng menjadi hilang, sehingga akan menyebabkan kekuatan lereng untuk

melawan pergerakan massa tanah terlampaui oleh tegangan gravitasi.

Sedangkan alih fungsi lahan yang tidak tepat misalnya penggundulan hutan

untuk pertanian akan mengurangi vegetasi yang memiliki akar kuat untuk

menahan pergerakan aliran air yang dapat menyebabkan longsor. (Hardiyatmo,

2006)

C. Tipe-tipe Longsor

Menurut PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi)

Kementerian ESDM Republik Indonesia (2006) ada enam tipe longsor, yakni:

longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan

tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling

banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak

memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.

Berikut penjelasan tipe-tipe longsor dan ilustrasinya.


17

1. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada

bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Pada tipe longsor

ini material longsoran tidak banyak berubah. Gerakan material longsor

cenderung mendatar dikarenakan terdapat bidang gelincir yang relatif datar

atau rata. Ilustrasi tipe longsor tersebut dapat diamati seperti pada Gambar 2.1

dibawah ini:

Gambar 2.1 Tipe longsoran Translasi


Sumber : PVMBG, 2006
2. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada

bidang gelincir berbentuk cekung. Tipe longsoran ini hampir mirip dengan tipe

translasional, hanya saja sifat gerakan material longosran cenderung berputar.

Hal ini diakibatkan oleh adanya lapisan tak padu yang berupa cekungan

sehingga mampu menjadi bidang longsoran. Ilustrasi tipe longsor tersebut

dapat diamati seperti pada Gambar 2.2 dibawah ini:

Gambar 2.2 Tipe Longsoran Rotasi


Sumber : PVMBG, 2006
18

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang

gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok

batu. Material pada tipe ini didominasi oleh batuan yang telah mengalami

pelapukan, sehingga batuan tersebut meluncur pada bidang yang telah tersedia

ketika sudah tidak resistan. Ilustrasi tipe longsor tersebut dapat diamati seperti

pada Gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.3 Tipe Longsor Pergerakan Blok


Sumber : PVMBG, 2006

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain

bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng

yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar

yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. Ilustrasi tipe longsor

tersebut dapat diamati seperti pada Gambar 2.4 dibawah ini:

Gambar 2.4 Tipe Longsor Runtuhan Batu


Sumber : PVMBG, 2006
19

5. Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis

tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak

dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa

menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.

Ilustrasi tipe longsor tersebut dapat diamati seperti pada Gambar 2.5 dibawah

ini:

Gambar 2.5 Tipe Longsor Rayapan Tanah


Sumber : PVMBG, 2006

6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong

oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan

tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan

mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai

ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunungapi. Aliran tanah

ini dapat menelan korban cukup banyak. Ilustrasi tipe longsor tersebut dapat

diamati seperti pada Gambar 2.6 dibawah ini:


20

Gambar 2.6 Tipe Longsor Aliran Bahan Rombakan


Sumber : PVMBG, 2006

Vernes (1978) seperti yang dikutip oleh USGS (2004) membagi longsor

menjadi 6 tipe menurut mekanismenya, yakni: jatuhan (fall), robohan (topples),

longsoran (slide), tipe longsoran terputar (rotational slide) dan longsoran

mendatar (translational slide), sebaran mendatar (lateral spread), aliran (flow),

dan gabungannya (complex). Untuk lebih jelasnya tipe longsor menurut Vernes

(1978) akan diilustrasikan pada Gambar 2.7


21

Gambar 2.7 Tipe Longsor menurut Vernes (1978)


Sumber: USGS, 2004

D. Bahaya Bencana Longsor

Menurut Nandi (2007) bahaya yang ditimbulkan akibat terjadinya

longsor berdampak terhadap kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan

terhadap keseimbangan lingkungan.


22

Bencana longsor memiliki dampak yang sangat besar terhadap

kehidupan, khususnya manusia. Bila tanah longsor itu terjadi pada wilayah

yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, maka korban jiwa yang

ditimbulkannya akan sangat besar, terutama bencana tanah longsor yang

terjadi secara tiba-tiba tanpa diawali adanya tanda-tanda akan terjadinya

longsor.

Dampak yang ditimbulkan dengan terjadinya longsor terhadap

kehidupan adalah sebagai berikut :

a. Bencana longsor banyak menelan korban jiwa

b. Terjadinya kerusakan infrastruktur publik seperti jalan, jembatan dan

sebagainya.

c. Kerusakan bangunan-bangunan seperti gedung perkantoran dan

perumahan penduduk serta sarana peribadatan.

d. Menghambat proses aktivitas manusia dan merugikan baik masyarakat

yang terdapat di sekitar bencana maupun pemerintah.

Adapun dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan akibat

terjadinya tanah longsor adalah sebagai berikut:

a. Terjadinya kerusakan lahan.

b. Hilangnya vegetasi penutup lahan.

c. Terganggunya keseimbangan ekosistem.

d. Lahan menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis.

e. Terjadinya longsor dapat menutup lahan yang lain seperti sawah, kebun dan

lahan produktif lainnya.


23

Secara umum longsor adalah proses perpindahan massa/batuan dengan

arah miring dari kedudukan semula akibat adanya gaya gravitasi. Bencana

longsor adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian

harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan

prasarana lainnya yang bisa berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial.

Gejala longsor dapat diidentifikasi berdasarkan parameter penyebab terjadinya

tanah longsor.

E. Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan tema yang sama sebelumnya pernah dilakukan oleh

beberapa mahasiswa Universitas Negeri Malang dalam bentuk skripsi.

Penelitian dengan tema longsor dilakukan oleh Hardiyanto (2012) memberikan

hasil penelitiannya menunjukkan bahwa daerah sepanjang jalur jalan

Ponorogo-Trenggalek didominasi kriteria tingkat kerentanan longsor sedang.

Terdapat 4 tipe longsor, yakni jatuhan, robohan, longsoran, dan rayapan tanah.

Daerah sepanjang jalur jalan sebaiknya ditanami vegetasi yang memiliki akar

yang kuat, selain itu dalam penanganan hendaknya memperhatikan tipe

longsornya, karena setiap tipe memiliki penangan berbeda. Saran yang

diberikan untuk peneliti selanjutnya adalah setelah melakukan

pengharkatan/penskoran pada parameter, hendaknya juga dilakukan

pembobotan pada setiap parameter sehingga diketahui faktor dominan

penyebab longsor.

Lestari (2011) menyatakan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

longsor lahan tipe longsoran dapat berkembang pada seluruh daerah penelitian

dengan tingkat kerentanan tinggi di Kecamatan pagerwojo. Saran yang


24

diberikan peneliti adalah penggunaan lahan di daerah perbukitan dan

pegunungan sebaiknya berupa hutan dan kebun yang mempunyai akar kuat,

serta pemotongan lereng dihindarkan. Saran untuk peneliti selanjutnya,

hendaknya lebih teliti dalam pengambilan data agar tidak terjadi kesalahan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Putra (2009), menyatakan hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa berbagai tipe longsor lahan seperti aliran,

robohan, jatuhan, dan longsoran terdapat di daerah penelitian. Namun tipe

longsoran paling berpotensi di seluruh daerah penelitian. Saran yang diberikan

peneliti adalah penggunaan lahan di daerah perbukitan dan pegunungan

sebaiknya untuk kebun dan hutan. Serta pemotongan lereng di seluruh daerah

penelitian dihindarkan.

Agar dapat memahami perbedaan hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh peneliti sebelumnya, maka data disajikan dalam Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu


Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
Aan Evaluasi Tingkat penelitian  Daerah penelitian didominasi kriteria
Seftian Kerentanan Bahaya survey,dengan sedang pada satuan medan V6.III.Sh,
Hardianto Longsor pada Jalur analisis deskriptif V3.II.P, V3.III.P, V3.III.Kb, A2.II.Ps,
(2012) Jalan Ponorogo- menggunakan A2.II.Pk, A2.II. Ptks. Tinggi pada
Trenggalek pengharkatan satuan medan V3.III.Tl, V3.III.BS ,
V3.III.Ptks, serta rendah pada satuan
medan V6.II.Sh dan V3.II.Tl.
 Peneliti selanjutnya adalah hendaknya
juga dilakukan pembobotan pada setiap
parameter sehingga diketahui faktor
dominan penyebab longsor.
Catur Pemetaan Daerah Penelitian survey  Longsor lahan tipe longsoran dapat
Surya Yuni Rawan Tanah dengan analisis berkembang pada seluruh daerah
Lestari Longsor di deskriptif penelitian dengan tingkat kerawanan
(2011) Kecamatan kuantitatif dan tinggi di Kecamatan Pagerwojo
Pagerwojo pengharkatan  Saran berupa penggunaan lahan
Kabupaten sebaiknya berupa hutan dan kebun, serta
Tulungagung pemotongan lereng dihindarkan.
Daniel Aplikasi SIG (Sistem Deskripsi  Terdapat tipe aliran, robohan, jatuhan,
Arisandy Informasi Geografi) Observasional dan longsoran
Eka Putra untuk Identifikasi dengan analisis  Tipe robohan dan jatuhan terdapat pada
(2009) Daerah Potensi pengharkatan daerah pegunungan dan perbukitan
25

Longsor Lahan di  Saran berupa penggunaan lahan


Kecamatan Dampit sebaiknya berupa hutan dan kebun, serta
Kabupaten Malang pemotongan lereng dihindarkan
Wilda Pemetaan Kerawanan survey dengan  Kerawanan longsor terbagi menjadi tiga
Aulia Longsor di pendekatan kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi
Fathoni Kecamatan Kare deskriptif  Perlu kearifan dari manusia untuk
(2014) Kabupaten Madiun Observasional meminimalkan bahaya tanah longsor
dan pengharkatan karena selain faktor alam, penyebab
terjadinya bahaya tanah longsor juga
dapat dipicu oleh campur tangan
manusia seperti pengundulan hutan, dan
pemanfaatan lahan di lereng-lereng
tanpa memperhatikan kaidah-kaidah
lingkungan.

Pada penelitian ini,terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Perbedaannya yaitu objek penelitian terfokus pada tingkat

kerawanan longsor. Perbedaan paramater terukur penelitian ini dengan

penelitian terdahulu terletak pada kedalaman muka air tanah. Metode

pengharkatan digunakan, namun analisis tingkat kerawanan longsor

menggunakan uji statistik untuk mengetahui faktor dominan yang

mempengaruhi tingkat kerawanan longsor.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan survey dengan pendekatan deskriptif

kuantitatif. Metode survey bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah data dalam

waktu yang bersamaan. Deskripsi observasional yaitu mengadakan penelitian atau

pengamatan gejala dan faktor-faktor untuk memperoleh data sebagai landasan

dalam penyajian sesuai dengan maksud dan tujuan.

Subjek penelitian pada lokasi rawan longsor berada pada wilayah

Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Identifikasi daerah rawan longsor diamati

berdasarkan beberapa parameter yang di antaranya berupa kemiringan lereng,

pemusatan mata air, tingkat pelapukan tanah, kerapatan kekar, kedalaman

pelapukan, struktur lapisan batuan, permebilitas tanah, indeks plastisitas, tekstur

tanah, penggalian tebing, dan vegetasi penutup.

Analisis yang digunakan adalah pengharkatan (scoring). Analisis ini

didasarkan pada pemberian nilai atau skor pada setiap parameter yang

mempengaruhi terjadinya longsor. Selanjutnya, hasil pengharkatan atau scoring

dianalisis dan digunakan sebagai acuan untuk menentukan karakteristik satuan

lahan, tingkat kerawanan longsor dan tipe longsor. Hasil analisis diolah dengan

aplikasi ArcGIS 10.1 kemudian digunakan sebagai acuan dalam pembuatan Peta

Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare. Tahapan penelitian digambarkan

ke dalam diagram sebagai berikut.

26
27

Peta Peta Peta Peta


Jenis Tanah Penggunaan lahan Kemiringan lereng Geologi
Skala 1:90.000 Skala 1:90.000 Skala 1:90.000 Skala 1:90.000

Overlay

Peta Satuan Lahan Kecamatan Kare penentuan titik sampel


Skala 1:75.000

Pengumpulan data

Pengambilan Pengamatan lapangan Pengukuran lapangan

sampel tanah 1. Pemusatan mata air 1. Kemiringan


lereng
2. Pelapukan batuan
2. Kerapatan
Uji Laboratorium 3. Perlapisan batuan Kekar
1. Indeks 4. Penggalian tebing 3. Kedalaman
plastisitas pelapukan
tanah 5. Penutup lahan
2. permeabilitas
3. Tekstur tanah

Pemrosesan, Analisis data dan Pengharkatan

Peta Kerawanan Longsor


Kecamatan Kare
1 :90.000

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian


28

B. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah lahan wilayah Kecamatan Kare, Kabupaten

Madiun yang memiliki potensi rawan bencana longsor. Fokus penelitian wilayah

Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Penentuan titik lokasi penelitian dengan

teknik purposive sampling. Daerah penelitian dari keseluruhan satuan lahan

diseleksi, kemudian dipilih berdasarkan kriteria sampel cakupannya pada peta

satuan lahan rawan bencana longsor Kecamatan Kare. Pembuatan peta satuan

lahan perlu memperhatikan karakteristik keseluruhan lahan yang meliputi jenis

tanah, bentuk lahan, geologi, penggunaan lahan, dan kemiringan lereng.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian terdiri atas alat dan bahan yang digunakan dalam

pengambilan data dalam penelitian sebagai berikut:

1. Alat penelitian

Alat penelitian yang digunakan meliputi:

a. Perangkat lunak ArcGis 10.1 untuk mengolah dan menganalisis peta.

b. Perangkat Global Mapper 10.1 untuk mengolah data ketinggian.

c. Abney level, yalon, dan meteran, untuk mengukur kemiringan lereng dan

panjang lereng

d. Global Position System (GPS) untuk mengetahui posisi atau titik koordinat

tempat daerah penelitian.

e. Palu geologi dan kompas geologi, untuk mengetahui kekerasan batuan dan

bidang perlapisan batuan.


29

f. Ring tanah, bor, dan plastik untuk pengambilan sampel dan pengukuran

permeabilitas tanah.

g. Kamera digital untuk melakukan dokumentasi foto-foto lokasi penelitian

h. Lembar observasi dan alat tulis untuk mencatat data-data yang diperoleh dari

pengukuran lapangan.

2. Bahan Penelitian

a. Peta Rupa Bumi Indonesia Madiun, skala 1:25.000 sumber

BAKOSURTANAL 1992.

b. Peta Administrasi Kecamatan Kare, skala 1:75.000 sumber BAPPEDA

Kabupaten Madiun 2012.

c. Peta Geologi Lembar Madiun 1508-02 skala 1:100.000 sumber Pusat

Penelitian dan Pengembangan Badan Geologi Indonesia tahun 1992.

d. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Kare skala 1:75.000 sumber citra ASTER

GDEM version 2.

e. Peta Jenis Tanah Kecamatan Kare skala 1:75.000 sumber BAPPEDA

Kabupaten Madiun 2012.

f. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Kare skala 1:75.000 sumber BAPPEDA

Kabupaten Madiun 2012.

g. Peta Digital Bentuk Lahan (Geomorfologi) Kecamatan Kare skala 1:75.000

sumber Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

h. Data Curah Hujan BMKG Kabupaten Madiun tahun 2003-2012


30

D. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah tempat dimana data dapat diperoleh.

Jika dilihat dari mana sumber data berasal, maka sumber data dapat dibagi

menjadi sumber data primer dan data sekunder. Masing-masing jenis data yang

digunakan dalam penelitian ini dijelaskan dalam penjabaran sebagai berikut.

1. Data Primer

Data primer yang digunakan meliputi data lapangan dengan cara survei

dan cek lapangan. Data primer penelitian ini diambil dengan pengukuran dan

pengamatan langsung di lapangan. Hal yang diamati dan diukur di lapangan

meliputi kemiringan lereng, pemusatan mata air (rembesan), tingkat pelapukan

batuan, kerapatan kekar, kedalaman pelapukan, struktur perlapisan batuan,

penggalian tebing, dan penutup lahan.

2. Data Sekunder

Data sekunder mengacu pada informasi yang dikumpulkan oleh seorang

dan bukan peneliti yang melakukan studi mutakhir. Data sekunder berupa peta

administrasi, peta kemiringan lereng, peta penggunaan lahan, dan peta jenis tanah

diperoleh dari Bappeda Kabupaten Madiun. Peta Geologi diperoleh dari Badan

Geologi Indonesia. Data curah hujan diperoleh dari BMKG Kabupaten Madiun.

Data Kondisi Geografis tahun 2012 yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten

Madiun. Data Kebencanaan longsor diperoleh dari BPBD Kabupaten Madiun.


31

E. Langkah Kerja

Penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.

1. Perencanaan

a. Tahap Persiapan (pra lapangan) meliputi kegiatan:

1) Studi pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian maupun daerah

penelitian.

2) Melakukan observasi lapangan sebagai penelitian pendahuluan daerah

penelitian.

3) Pembuatan peta satuan lahan dengan aplikasi ArcGIS 10.1 untuk

menentukan lokasi penelitian. Peta ini dibuat dengan proses

overlay/tumpang susun dari peta geologi, peta kemiringan lereng, peta

jenis tanah, peta bentuk lahan, dan peta penggunaan lahan.

4) Menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam penelitian

b. Tahap Pelaksanaan (lapangan) meliputi kegiatan:

1) Pengamatan dan pengukuran pada lapangan.

2) Pengumpulan data sekunder.

3) Pengamatan dan penentuan tipe longsor.

4) Pengambilan sampel tanah.

c. Tahap Penyelesaian (pasca lapangan) meliputi kegiatan:

1) Pemrosesan data dan melakukan pengharkatan dan pembobotan dari data

yang diperoleh di lapangan.

2) Analisis dan pembahasan penelitian


32

2. Pengumpulan Data

Pada pengambilan data, diperlukan teknik yang tepat agar data yang

diperoleh memenuhi kriteria yang diharapkan peneliti. Dalam hal ini, ada empat

teknik penelitian yang digunakan, yaitu observasi, pengukuran lapangan, uji

laboratorium, dan dokumentasi. Untuk lebih memahami keempat teknik tersebut,

dipaparkan sebagai berikut:

a. Observasi

Pengamatan atau observasi merupakan langkah awal yang biasanya

dilakukan dalam pengumpulan data. Teknik observasi ini merupakan cara

pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara

langsung, pada langkah ini peneliti melakukan observasi dan pencatatan pada

daerah peneliti dengan tujuan agar peneliti mendapatkan gambaran yang

menyeluruh mengenai objek penelitian. Pada tahap observasi, hal yang dilakukan

adalah survei pada daerah penelitian serta penentuan titik sampel.

b. Pengukuran lapangan

Pengukuran lapangan dilakukan untuk memperoleh data yang bisa diambil

langsung di lokasi penelitian. Data yang dapat diambil di lokasi penelitian adalah

1) kemiringan lereng, diukur dengan menggunakan abney level.

2) Tingkat pelapukan batuan diukur menggunakan palu geologi.

3) Kerapatan kekar diukur dengan menghitung jarak antara kekar satu dengan

yang lain menggunakan meteran pada batuan yang tersingkap.

4) Kedalaman pelapukan batuan diperoleh dengan mengukur ketebalan tanah

yang tak padu pada daerah penelitian.


33

5) Pemusatan mata air didapatkan dengan mengamati ada tidaknya rembesan

mata air pada lereng daerah penelitian.

6) Struktur perlapisan batuan diukur dengan mengukur arah dip dan strike.

Langkah-langkah dalam mengukur strike dan dip adalah:


 Mencari arah jurus pada bidang (strike)
1. Kenali dulu arah utara pada kompas, agar kita tidak terbalik menentukan
arah.
2. Tempelkan sisi kompas yang bertanda "E" (sisi kompas bagian timur)
pada bidang yang akan kita ukur.
3. Posisikan kompas secara horizontal dengan memanfaatkan gelembung
udara pada bull eyes berada di tengah.
4. Catat derajat yang di bentuk oleh jarum magnet yang mengarah ke utara.
Itulah angka Strike. Buat garis lurus searah strike untuk menentukan dip.
 Mencari kemiringan bidang (dip)
1. Pada garis lurus yang dibentuk strike, tempelkan sisi kompas yang
bertanda "W" (sisi kompas bagian barat) secara tegak lurus.
2. Putar tuas klinometer agar gelembung udara di dalam nya berada di
tengah.
3. Catat angka yang tertera pada jarum klinometer. Itulah angka Dip.

7) Penggalian tebing, dan penutup lahan dapat diperoleh dari pengamatan

lapangan.

c. Uji laboratorium

Uji laboratoriun dilakukan untuk memperoleh data yang tidak bisa

diketahui langsung dari lapangan. Pada proses ini, diperlukan keahlian dan

ketelitian untuk mengolah data. Dalam penelitian ini, uji laboratorium digunakan

untuk mengetahui tekstur tanah, permeabilitas tanah, dan indeks plastisitas.

Metode pipet digunakan untuk menentukan tekstur tanah. Pada metode ini,

sebagian dari larutan diambil dengan pipet (dalam satuan volume tertentu)

kemudian diuapkan sehingga dapat dihitung jumlah partikel yang terkandung

dengan cara menimbangnya. Setelah perbandingan liat, pasir, dan debu diketahui,

kelas tekstur dapat diketahui dengan menggunakan diagram segitiga tekstur.


34

Permeabilitas tanah dapat diukur dengan metode tinggi air konstan

(constan head method). Metode ini tergolong sederhana dan mudah diaplikasikan

serta didasarkan pada hukun Darcy yaitu terdapat aliran secara vertikal pada

permeabilitas tanah yang dipengaruhi oleh ruang pori tanah dan sifat dari cairan

yang mengalir didalamnya. Alat sederhana yang digunakan yaitu 6–12 ring

sampel yang diletakkan dalam sebuah rak dalam satu baris. Air dialirkan satu arah

melalui siphon yang menghubungkan antar ring. Sistem air dibuat satu arah atau

secara berputar. Kemudian air yang mampu melewati masa tanah dari masing-

masing contoh tanah ditampung dalam wadah misalnya gelas ukur.

Cara mengetahui indeks plastisitas tanah dilakukan beberapa kali

pengujian, antara lain batas plastis tanah dan batas cair tanah yang dapat dihitung

dengan menggunakan metode casagrande dan dilanjutkan dengan pengujian batas

Atterberg. Batas Atterberg (Atterberg limit), yaitu pengujian batas cair dan batas

plastis. Penentuan indeks plastisitas tanah dilakukan pada tanah yang lolos ayakan

nomor 40 dengan menggunakan peralatan standar Atterberg Limit (Casagrande

Apparatus). Uji batas-batas Atterberg menghasilkan nilai batas cair dan batas

plastis. Batas cair adalah kadar air pada tanah pada alur selebar 2 mm yang telah

menutup sepanjang 0,5 inci ketika diketuk sebanyak 25 kali dengan kecepatan

ketukan 2 ketukan/detik. Batas plastis adalah kadar air tanah yang mengalami

retakan saat dilinting sampai diameter 1/8 inci. Indeks plastisitas tanah merupakan

selisih antara batas cair tanah dan batas plastis tanah.

d. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan untuk mencari informasi atau data yang

bersumber dari tulisan. Informasi ini diperoleh dari lembaga atau instansi yang
35

bersangkutan dengan penelitian. Pengambilan data dilakukan di beberapa instansi

terkait, yaitu: Kantor Kecamatan Kare, BAPPEDA Kabupaten Madiun, BPBD

Kabupaten Madiun, dan BPS Kabupaten Madiun.

3. Pembuatan Peta

Proses pembuatan peta dilakukan dengan aplikasi ArcGIS 10.1. Tahapan

pertama dalam pembuatan peta yaitu digitasi peta. Namun, tidak semua peta

dibutuhkan digitasi karena sudah didapat dalam bentuk shapefile (shp). Peta yang

memerlukan proses digitasi adalah peta jenis tanah karena masih berupa gambar

atau data raster. Untuk mengubah ke dalam bentuk digital, langkah pertama yang

dilakukan yaitu proses rektifikasi peta dengan menu tool georeferencing yang

bertujuan agar peta mempunyai kooordinat geografi. Setelah proses rektifikasi

selesai, selanjutnya proses digitasi peta serta pengisian data (attribute) peta. Peta

yang sudah berupa shapefile (shp) tidak perlu didigitasi, melainkan tinggal

dipotong menurut kebutuhan daerah yang dikehendaki dengan tool clip pada

Arctoolbox.

Peta kemiringan lereng dari citra ASTER GDEM versi 2 yang diubah

dengan tool slope yang berada di dalam Spatial Analiyst dilanjutkan dengan

proses reclasify agar dapat diatur interval kemiringan lereng. Data yang telah

dibuat tersebut masih berupa data raster, maka perlu diubah ke dalam bentuk

digital (.shp) dengan bantuan tool raster to polygon. Setelah semua kegiatan

tersebut selesai, proses selanjutnya adalah layout peta dan diubah ke dalam format

.JPEG setelah di Export map.


36

Penentuan lokasi penelitian, perlu dibuat peta satuan lahan. Peta satuan

lahan dibuat dengan cara overlay peta geologi, peta kemiringan lereng, peta jenis

tanah, peta bentuk lahan (Geomorfologi), dan peta penggunaan lahan. Proses

overlay peta dilakukan dengan ekstensi intersect. Peta hasil overlay masih terlihat

kasar dengan attribute yang sangat banyak. Maka untuk menyederhanakan hasil

overlay peta perlu dihaluskan dengan ekstensi Dissolve agar peta mudah dibaca.

F. Analisis Data

Subyek dalam penelitian ini adalah wilayah kecamatan Kare dengan

memakai pendekatan satuan lahan. Pendekatan satuan lahan digunakan untuk

memperoleh data secara detail pada daerah penelitian.

Analisis pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

pengharkatan atau pemberian skor pada 11 variabel penelitian yang telah

ditentukan sebelumnya. Pengharkatan terhadap setiap parameter penelitian ini

berpengaruh pada tingkat kerawanan wilayah terhadap longsor. Adapun

penjabaran setiap indikator penelitian sebagai berikut.

a) Kemiringan lereng
Kriteria tingkat kemiringan lereng tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Kriteria Penilaian Tingkat Kemiringan Lereng
Kelas kemiringan Keterangan Harkat
0 – 2% Datar 1
3 – 13% Landai hingga miring 2
14 – 55% Terjal 3
Lebih 56% Sangat terjal 4
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2007
37

b) Pemusatan mata air (rembesan)


Kriteria penilaian pemusatan mata air tercantum dalam tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Kriteria Penilaian Pemusatan Mata Air (Rembesan)
Keterdapatan mata air Harkat
Tidak ada 1
Ada 1 atau 2 mata air 2
Lebih dari 2 mata air 3
Jalur rembesan 4
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2007

c) Tekstur Tanah
Tabel kriteria penilaian tekstur tanah adalah sebagai berikut.
Tabel 3.3 Kriteria Penilaian Tekstur Tanah
Tekstur tanah Harkat
Pasir 1
Pasir berlempung, pasir bergeluh 2
Geluh, geluh berlempung, geluh berpasir, 3
Lempung, lempung bergeluh, lempung berpasir 4
Sumber: Modifikasi Prijono, 2008

d) Tingkat Pelapukan Batuan


Tabel kriteria penilaian tingkat pelapukan adalah sebagai berikut.
Tabel 3.4 Kriteria Penilaian Tingkat Pelapukan Batuan
Kriteria pelapukan Istilah Harkat
Tidak tampak tanda pelapukan batuan sesegar kristal Tak lapuk (Segar) 1

Pelapukan hanya terjadi pada diskontuinitas terbuka yang Lapuk ringan 2


menimbulkan warna

Kurang dari setengah batuan terdekomposisi dan atau Lapuk sedang 3


terdesintegrasi menjadi tanah, bagian tengah batuan masih
segar

Lebih dari setengah material batuan terdekomposisi dan Lapuk kuat sampai 4
atau terdesintegrasi pada tengah batuan sampai seluruhnya sangat kuat
menjadi tanah

Sumber: Modifikasi Prijono, 2008

e) Kerapatan Kekar
Tabel kriteria penilaian kerapatan kekar sebagai berikut.
Tabel 3.5 Kriteria Penilaian Kerapatan Kekar
Jarak antar kekar (mm) Istilah Harkat
>2000 Sangat jarang 1
600 -<2000 Jarang 2
200 -<600 Sedang 3
<200 Rapat – sangat rapat 4
Sumber: Sugiharyanto, dkk. 2007
38

f) Kedalaman Pelapukan
Tabel kriteria penilaian kedalaman pelapukan adalah sebagai berikut.
Tabel 3.6 Kriteria Penilaian Kedalaman Pelapukan
Kedalaman pelapukan (cm) Istilah Harkat
<50 Dangkal 1
50 - <75 Agak dangkal 2
75 -<100 Sedang 3
>100 Dalam – sangat dalam 4
Sumber: Modifikasi van Zuidam dan Zuidam Cancelado, 1979

g) Indeks Plastisitas
Tabel kriteria penilaian indeks plastisitas adalah sebagai berikut.
Tabel 3.7 Kriteria Penilaian Indeks Plastisitas
Kadar air IP (% ) Kriteria Harkat
>11 Sangat rendah – rendah 1
11 -<18 Sedang 2
18 -<30 Tinggi 3
>30 Sangat tinggi 4
Sumber: Modifikasi Sarwono Hardjowigeno, 1987

h) Struktur Perlapisan Batuan


Kriteria penilaian struktur perlapisan batuan dapat dipahami dalam tabel
berikut:
Tabel 3.8 Kriteria Penilaian Struktur Perlapisan Batuan
Struktur perlapisan batuan Kategori Harkat
Horizontal, tegak, miring medan datar dan berombak
Baik-sangat baik 1
(0 – 8%)
Sedang 2
Tidak teratur pada medan curam (20%), miring pada
medan bergelombang (8 – 14%)
Jelek 3
Miring dengan perlapisan keras lunak pada medan
berombak/bergelombang (8 – 30%)

Miring dengan perlapisan keras lunak pada medan


Sangat jelek 4
bergelombang/berbukit
Sumber:Sugiharyanto, dkk. 2007

i) Permeabilitas
Kriteria penilaian permeabilitas tanah dapat dipahami dalam tabel berikut.
Tabel 3.9 Kriteria Penilaian Permeabilitas Tanah
Koefisien Permeabilitas tanah (mm/detik) Kriteria Harkat
>25,4 Tinggi – sangat tinggi 1
25,4 -<6,3 Sedang 2
6,3 -<0,5 Rendah 3
<0,5 Sangat rendah 4
Sumber: Sugiharyanto, dkk. 2007
39

j) Penggalian tebing
Tabel kriteria penilaian penggalian tebing adalah sebagai berikut.
Tabel 3.10 Kriteria Penilaian Penggalian Tebing
Kedalaman tanah dan lokasi penggalian Harkat
Tidak ada penggalian 1
Dangkal dipuncak atau lereng atas, atau sedang dipuncak 2
Dangkal dikaki lereng atau das ar lembah atau dalam dipuncak atau lereng atas 3
Dalam di kaki atau dasar lembah 4
Sumber: Sugiharyanto, dkk. 2007

k) Penutup Lahan (vegetasi)


Kriteria penilaian penutup lahan dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.11 Kriteria Penilaian Penutup Lahan
Penutup Lahan Harkat
Hutan 1
Perkebunan 2
Tegalan atau perumahan 3
Sawah 4
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum, 2007

Analisis yang dilakukan adalah menghitung tingkat kerawanan longsor.

Tingkat kerawanan longsor lahan menggambarkan kecenderungan lereng alami

untuk terjadi longsor. Metode yang digunakan untuk menentukan tingkat

kerawanan longsor tersebut untuk tiap satuan lahan di daerah penelitian adalah

metode kualitatif, yaitu dengan pengharkatan (scoring) karakteristik satuan lahan

yang telah ditentukan.

Hasil dari pengharkatan dan pembobotan terhadap 11 variabel, didapatkan

nilai kerawanan terendah 11 dan tertinggi 44 (berdasarkan 3 tingkat pengaruh

parameter terhadap tingkat kerawanan). Kelas longsor dibagi menjadi tiga kelas

(berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012). Interval kelas

ditentukan dengan menggunakan rumus:

didapatkan,

Nilai i merupakan interval penentuan tingkat kerawanan pada masing

masing harkat dengan kelas sebagai berikut.


40

Tabel 3.12 Kriteria Tingkat Kerawanan Longsor


Kelas Tingkat Kerawanan Longsor Interval
1 Rendah 11 – 22
2 Sedang 23 – 33
3 Tinggi 34 – 44

Setelah dilakukan pengharkatan pada masing- masing satuan lahan,

kemudian dikategorikan tiap satuan lahan pada interval tingkat kerentanan.

Selanjutnya hasilnya diolah menggunakan aplikasi ArcGIS 10.1 untuk membuat

peta tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Kare untuk mengetahui agihan

tingkat kerawanannya pada masing- masing satuan lahan. Pada pembahasan, setiap

tingkat kerawanan dideskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan tipe-tipe

longsor yang sering terjadi pada tiap satuan lahan.

Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan longsor

menggunakan analisis statistika dari nilai pengharkatan untuk menentukan faktor

dominan yang mempengaruhi tingkat kerawanan longsor pada Kecamatan Kare.


BAB IV

KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN

A. Letak, Batas dan Luas Wilayah

Berdasarkan letak astronomisnya Kecamatan Kare Kabupaten Madiun

terletak antara 111˚41’ 24” - 111˚43’12” BT dan 7˚42’80” - 7˚47’60”LS

(BPS Kabupaten Madiun, 2012). Letak administratif merupakan batas suatu

wilayah dengan wilayah lainnya secara administrasi. Batas administratif

Kecamatan Kare sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Mejayan

Sebelah Timur : Kecamatan Gemarang

Sebelah Selatan: Kabupaten Ponorogo

Sebelah Barat : Kecamatan Wungu dan Kecamatan Dagangan

Kare merupakan salah satu kecamatan yang berada pada lereng Gunung

Wilis. Wilayah ini mempunyai topografi yang bervariasi mulai dari dataran

sedang dan dataran tinggi. Luas Kecamatan Kare adalah 19,085 Ha yang terbagi

menjadi 8 desa antara lain Desa Bodag, Kepel, Kare, Bolo, Kuwiran, Randualas,

Cermo, dan Morang. (BPS Kabupaten Madiun, 2012).

Tabel 4.1 Luas Wilayah per Desa di Kecamatan Kare tahun 2012
No Desa Luas (Ha) (% )

1. Bodag 1.113.02 5.83


2. Kepel 2.858.01 14.98
3 Kare 8.927.00 46.77
4 Bolo 847.00 4.44
5 Kuwiran 1.168.97 6.13
6 Randualas 2.027.00 10.62
7 Cermo 1.275.00 6.68
8 Morang 869.00 4.55
Jumlah 19.085.00 100
Sumber: BPS Kabupaten Madiun, 2012

41
42

Berdasarkan data luas wilayah yang telah dijabarkan, dari 8 desa tersebut

dapat diketahui bahwa Desa Kare merupakan desa terluas di Kecamatan Kare

sebesar 46,77% sekaligus merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Kare.

Sedangkan untuk desa yang wilayahnya kecil adalah Desa Bolo sebesar 4.44%.

Untuk lebih jelasnya dapat diamati pada Peta berikut:


43

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kecamatan Kare


44

B. Kondisi Fisik
Kondisi fisik yang dikaji dalam sub-bab ini terdiri dari kondisi geologi,

kondisi geomorfologi, klimatologi, jenis tanah, dan penggunaan lahan. Masing-

masing kondisi fisik akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Kondisi Geologi

Faktor geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah adalah

struktur geologi, sifat batuan, hilangnya perekat tanah karena proses alami

(pelarutan), dan gempa. Struktur geologi yang mempengaruhi terjadinya gerakan

tanah adalah kontak batuan dasar dengan pelapukan batuan, retakan/rekahan,

perlapisan batuan, dan patahan. Zona patahan merupakan zona lemah yang

mengakibatkan kekuatan batuan berkurang sehingga menimbulkan banyak retakan

yang memudahkan air meresap (BNPB, 2014).

Secara Geologi Kecamatan Kare terdiri dari 4 jenis satuan yang

membentuk, yaitu:

a. Morfoset Argokalangan (Qav)

Satuan ini merupakan satuan termuda dari ketiga morfoset di Komplek

Gunungapi Wilis. Batuannya berupa Endapan Tefra dan Lava Andesit

Horenblenda. Tefranya dikuasai oleh Endapan Lahar, disamping lemparan

Piroklastik melalui udara, Batuan Piroklastika terangkut air dan tuf. Endapan

Tefra menempati bagian lereng dan kaki Gunungapi Wilis, khusus laharnya

menguasai bagian bawah lereng dan kaki pegunungan tersebut. Batuan Endapan

Gunungapi mudah mengalami proses pelapukan dan umumnya akan mudah

mengalami longsor apabila terdapat pada lereng yang terjal (Nandi, 2007).

Formasi ini berkembang pada bagian utara Kecamatan Kare tepatnya berada di
45

Desa Kuwiran, Randualas, Cermo, dan Morang. (Badan Geologi Indonesia,

1992).

b. Gunungapi Wilis (Qvw)

Batuan Gunungapi Wilis berumur Plistosen yang terdiri dari perselingan

Breksi gunungapi, Lava, Tuff, Breksi Tuf dan Lahar Andesit yang mempunyai

sifat Basalt di beberapa tempat. Satuan ini hanya terletak di Desa Bodag pada

bagian barat. (Badan Geologi Indonesia, 1992). Batuan penyusun yang merupakan

tuff biasanya menjadi bidang gelincir pada longsor, selain itu Batuan Gunungapi

mudah lapuk dapat menghasilkan kekar atau retakan yang sangat rapat. Kehadiran

kekar dan hancuran batuan pada lereng akan melemahkan gaya penahan lereng

sehingga lereng akan mudah mengalami longsor (Sugiharyanto,dkk, 2009).

c. Mosfoset Sedudo (Qas1)

Satuan ini dikuasai Lava Andesit Horenblenda dengan sisipan Breksi

Gunungapi. Breksi Gunungapi dijumpai berbagai macam kepingan Andesit,

sebagaimana dapat dikenali dari tingkat pelapukan, warna, tekstur, dan susunan

mineralnya. Ukuran kepingan berkisar antara 1 dan 10 cm. Kepingan Andesit ini

dari yang lapuk sampai segar; warnanya kemerahan, kelabu tua; berstekstur dari

halus sampai sedang, berbutir seragam, porfir dengan Horenblenda sebagai

fenokris. Formasi ini terletak memanjang pada bagian tengah dan sebagian besar

bagian selatan Kecamatan Kare tepatnya pada Desa Kuwiran, Randualas, Kepel,

dan Kare. (Badan Geologi Indonesia, 1992). Batuan Gunungapi mudah

mengalami proses pelapukan dan umumnya akan mudah mengalami longsor

apabila terdapat pada lereng yang terjal.


46

d. Morfoset Jeding – Patukbanteng (Qj)

Morfoset ini tersebar di bagian barat Komplek Gunungapi Wilis,

bertesktur lebih kasar daripada morfoset lainnya, kemiringan topografi lebih

landai ke arah barat dan rona batuan pembentuknya kelabu tua. Satuan ini

merupakan bentangalam yang terbentuk oleh hasil kegiatan Erupsi Kepundan

Jeding – Patukbanteng. Litologinya terdiri dari Breksi Gunungapi, Tuf, Lava, dan

Tuf Lapili Batuapung. Morfoset ini mempunyai beberapa Morfonit, yaitu

Morfonit Tanjungsari, Morfonit Ngebel, Morfonit Dangean dan Morfonit Klotok.

Umur nisbi Morfoset Jeding-Patukbanteng diperkirakan Plistosen Awal.

Perkiraan ini didasarkan pada pendapat Bemmelen (1949) dalam Badan Geologi

Indonesia, yang menyatakan bahwa Formasi Pucangan di Lajur Kendeng yang

berumur Plistosen Awal, bahannya berasal dari Gunungapi Wilis tua. Morfoset

Jeding – Patukbanteng tertindih tak selaras oleh Morfoset Argokalangan.

Selanjutnya di kaki timur Komplek Gunungapi Wilis, Morfonit Klotok tampak

tertutup oleh Morfoset Pawonsewu. Morfonit ini diduga sebagai kepundan parasit

pada Kepundan Jeding-PatukBanteng. Sehingga disimpulkan Morfoset Jeding-

PatukBanteng lebih tua daripada Morfoset Pawonsewu dan merupakan Morfoset

tertua. (Badan Geologi Indonesia, 1992)

Morfoset Jeding-PatukBanteng merupakan tuf dan sisa-sisa lava, apabila

mengalami pelapukan batuan ini mudah terbawa oleh aliran air dan menjadi massa

yang bergerak pada longsor, serta batuan yang tidak mengalami pelapukan akan

menjadi bidang gelincir dari longsor. Satuan ini terletak di Desa Bolo, Bodag,

Kepel, dan Kare Kecamatan Kare.


47

Gambar 4.2 Peta Geologi Kecamatan Kare


48

2. Kondisi Geomorfologi

Kondisi geomorfologi adalah kondisi suatu wilayah berdasarkan bentuk –

bentuk permukaan bumi atau topografi yang berupa bentuk lahan (landform) dan

proses yang membentuk bentuk lahan tersebut (Herlambang, 1999). Secara

fisiografi wilayah Madiun sebagian besar termasuk dalam Lajur Solo, yang

ditempati oleh Batuan Gunungapi Kuarter. Sebagian kecil di selatan, termasuk di

dalam Lajur Pegunungan Selatan Jawa Timur, dan bagian utaranya termasuk di

dalam Rangkaian Pegunungan Kendeng (Badan Geologi Indonesia, 1992).

Secara morfologi Kecamatan Kare terdiri dari :

a. Punggung Perbukitan Volkanik Tua (V.3.2.1)

Daerah ini memiliki elevasi antara 510-2000 m serta memiliki kemiringan

41-60%. Daerah ini memiliki sistem litologi berupa Andesit, Basal, Breksi.

Punggung Perbukitan Volkanik Tua (V.3.2.1) berasal dari punggung bukit sangat

curam di atas vulkanik basa. Wilayah ini didominasi pada Desa Kare dan sebagian

Desa Kepel.

b. Volkan Tameng (V.2)

Volkan Tameng merupakan volkan dengan kemiringan lereng landai,

terbentuk karena Erupsi Lava Basaltik pada suhu tinggi. Lereng dekat puncak

sekitar 50 dimana lava paling panas dan paling cair membeku dan berangsur-

angsur lereng meningkat mendekati 120 ke bagian bawah (dasar) dimana lava

lebih dingin cenderung menumpuk. Daerah ini memiliki elevasi antara 510-2000

m serta memiliki kemiringan 37°-54°. Daerah ini memiliki sistem litologi berupa

Basal, Andesit, Breksi dan Tefra berbutir halus. Volkan Tameng (V.2) berasal dari

Daratan berbukit yang sangat tertoreh pada aliran Lava basa/sedang di daerah
49

kering. Wilayah ini meliputi Desa Bodag, Bolo, Kuwiran, Randualas, Morang,

Cermo, Kepel dan Kare.

Topografi Kabupaten Madiun membujur dari utara ke selatan dengan

posisi terendah terdapat di lembah-lembah Bengawan Madiun berdekatan dengan

pusat Kota Madiun dengan ketinggian antara 21-100 mdpl. Kemudian berturut-

turut ke arah selatan yang semakin bertambah tinggi hingga ketinggian hampir

2.000 mdpl. Kecamatan-kecamatan dengan ketinggian antara 1000-2000 mdpl

diantaranya adalah Kecamatan Kare, Gemarang dan Dagangan sedangkan

kecamatan dengan ketinggian >2000 mdpl adalah Kecamatan Kare. Kecamatan

Kare merupakan daerah perbukitan bergelombang rendah di lereng bagian barat

Gunung Wilis dengan kemiringan lereng agak terjal.


50

Gambar 4.3 Peta Geomorfologi Kecamatan Kare


51

3. Kondisi Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian bencana

tanah longsor. Untuk itu perlu diketahui jumlah curah hujan pada suatu daerah

guna membantu menganalisis perkiraan kejadian bencana tersebut.

Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari variabel-

variabel atmosfer yang sama yang disebut unsur-unsur iklim. Unsur-unsur iklim

ini terdiri dari radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, awan, presipitasi,

evaporasi, tekanan udara dan angin. Keadaan iklim ditandai dengan keadaan curah

hujan dan intensitas hujan. Berikut disajikan data curah hujan Kecamatan Kare

tahun 2003 sampai 2012.

Tabel 4.2 Data Curah Hujan Kecamatan Kare Tahun 2003-2012


Bulan 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah Rerata
Januari 280 270 152 570 101 423 473 338 168 309 3084 308,4
Pebruari 349 323 27 647 213 303 328 229 165 382 3066 306,6
Maret 242 229 389 491 231 377 110 264 196 184 2713 271,3
April 129 56 111 448 232 322 105 331 147 117 1998 199,8
Mei 53 56 84 208 173 164 88 187 49 53 1115 111,5
Juni 0 0 0 0 23 6 47 103 18 0 197 19,7
Juli 0 0 1 0 0 0 50 69 0 64 184 18,4
Agustus 0 0 0 0 0 70 0 22 0 0 92 9,2
September 0 0 5 0 0 0 27 49 0 0 81 8,1
Oktober 2 67 54 20 5 31 0 68 38 9 294 29,4
November 230 377 113 101 379 395 114 229 256 106 2300 230
Desember 204 522 632 303 694 274 134 263 362 187 3575 357,5
Jumlah 1489 1900 1668 2788 2051 2365 1476 2152 1399 1411 18699 1869,9
BB 6 5 6 7 7 7 6 8 6 6 64 6,4
BL 0 1 1 0 0 1 1 2 0 1 7 0,7
BK 6 6 5 5 5 4 5 2 6 5 49 4,9
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dan Dinas Perairan Madiun

Berdasarkan Tabel 4.2, rata-rata curah hujan dalam kurun waktu 10 tahun

terakhir di Kecamatan Kare adalah sebesar 1869,9 mm/th. Rata-rata bulan basah

di Kecamatan Kare adalah 6,4; bulan lembab 0,7; dan bulan kering 4,9.
52

Kriteria penentuan bulan basah dan bulan kering Kecamatan Kare berdasarkan

klasifikasi menurut Mohr (Arsyad, 2000).

Bulan Kering : Apabila jumlah curah hujan <60 mm/bulan

Bulan Lembab : Apabila jumlah curah hujan 60 – 100 mm/bulan

Bulan Basah : Apabila jumlah curah hujan >100 mm/bulan

Klasifikasi Iklim menurut Schmidt–Ferguson didasarkan pada perhitungan

jumlah bulan basah dan bulan kering. Schmidt Ferguson mengklasifika n iklim

menjadi 8 tipe, adapun Tabel klasifisikasinya sebagai berikut.

Tabel 4.3 Klasisfikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson


Tipe iklim Karakteristik Nilai Q (% )
A Sangat Basah 0 ≤ Q < 14,3
B Basah 14,3 ≤ Q < 33,3
C Agak Basah 33,3 ≤ Q < 60
D Sedang 60 ≤ Q < 100
E Agak Kering 100 ≤ Q < 167
F Kering 167 ≤ Q < 300
G Sangat Kering 300 ≤ Q < 700
H Luar Biasa Kering 700 ≤ Q
Dalam menentukan jenis iklimnya, Schmidt–Ferguson menggunakan harga

quetiont Q, yakni:

Berdasarkan hasil perhitungan nilai Q dan diagram Schmidt-Ferguson di

atas, maka Kecamatan Kare termasuk ke dalam tipe iklim D atau sedang (beriklim

sedang, vegetasi hutan musim) karena jumlah rata-rata bulan basah lebih banyak

daripada jumlah rata-rata bulan kering.Wilayah ini memiliki kerawanan longsor

sedang sampai tinggi. Hujan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

longsor. Hujan menyebabkan ketahanan batuan/tanah penyusun lereng menurun

tajam dan menyebabkan lereng menjadi labil dan terjadi longsor.


53

4. Jenis Tanah
Pada daerah penelitian terdapat dua macam jenis tanah yaitu Alfisol (sub

ordo Ustropepts, Haplustults, Haplustalfs) dan Inceptisol (sub ordo Ustropepts,

Tropaquepts, Dystropepts, dan Eutropepts). Jenis tanah Alfisol mendominasi di

hampir semua daerah penelitian pada Kecamatan Kare.

Tanah Inceptisol mempunyai lapisan solum tanah yang tebal sampai

sangat tebal, yaitu dari 130 cm sampai 5 meter bahkan lebih, sedangkan batas

antara horizon tidak begitu jelas. Warna dari tanah Inceptisol adalah merah, coklat

sampai kekuning-kuningan. Kandungan bahan organiknya berkisar antara 3-9 %

tapi biasanya sekitar 5% saja. Reaksi tanah berkisar antara, pH 4,5-6,5 yaitu dari

asam sampai agak asam. Tekstur seluruh solum tanah ini umumnya adalah liat,

sedangkan strukturnya remah dengan konsistensi adalah gembur. Mudah sampai

agak sukar merembes air, oleh sebab itu infiltrasi dan perkolasinya dari agak cepat

sampai agak lambat.

Tanah Inceptisol terdapat di daerah abu, tuf, dan vulkan pada ketinggian

10–1000 meter lebih dari permukaan laut dengan bentuk wilayah yang berombak,

bergelombang, berbukit, hingga bergunung (Utomo, 2006). Tanah yang memiliki

solum tanah yang dalam akan berperan dalam mendukung terjadinya longsor

(Worosuprojo,dkk, 1992 dalam Sugiharyanto,dkk, 2009). Hal ini dikarenakan

tanah yang memiliki solum tanah yang dalam akan mampu menerima dan

menyimpan air lebih banyak dari tanah dengan solum tanah dangkal, sehingga

tanah akan menjadi jenuh dan massa tanah akan bertambah, jika terletak pada

lereng yang terjal maka daya ikat tanah akan berkurang dan tanah akan mudah

terangkut oleh aliran air. Penggunaan tanah Inceptisol untuk tanaman keras,
54

rumput dan palawija. Persebaran jenis tanah Inceptisol berada pada Desa Kepel

dan Desa Kare sebesar 4.439,95 Ha dengan persentase 23.26%.

Tanah Alfisol merupakan morfologi yang khas dari Alfosol dicirikan oleh

horizon eluviasi dan iluviasi yang jelas, yang mana horizon permukaan umumnya

berwarna terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis mineral seperti kuarsa

yang dapat mempengaruhi warna tanah Alfisol lebih terang. Pada tanah ini

terdapat penimbunan liat di horizon bawah (argilik) dan mempunyai kejenuhan

basa lebih dari 35% pada kedalaman tanah 180 cm dari permukaan. Tanah ini

mempunyai epipedon okrik dan horizon argilik dengan kejenuhan basa sedang

sampai tinggi. Pada umumnya tanah tidak kering. Tanah yang ekuivalen adalah

tanah half-bog, podsolik merah-kuning, dan planosols.

Tanah Alfisol ini mempunyai solum yang cukup tebal, yaitu antara 90-200

cm. Warna tanah adalah coklat sampai merah. Tekturnya agak bervariasi dari

lempung sampai liat, dengan struktur gumpal sampai gumpal bersudut,

sedangkan konsistensinya adalah gembur sampai teguh.Kandungan bahan organik

umumnya rendah sampai sangat rendah. Pada horizon A atau lapisan tanah atas

mengandung paling tinggi 3 persen. Reaksi tanah yang dicirikan dari nilai pH

sekitar 6,0-7,5 adalah netral. Kadar unsur hara yang terkandung umumnya tinggi,

tetapi banyak tergantung pada bahan induknya. Tanah ini disebut juga tanah kapur

merah atau red lateritic limestone soil, bahan induknya adalah batu kapur, batu

endapan dan tuf vulkan. Daya menahan air adalah sedang, begitu pula

permeabilitasnya sedang. Air pada tanah ini kadang-kadang merupakan faktor

pembatas.
55

Kepekaan terhadap bahaya erosi maupun longsor pada tanah Alfisol ini

adalah sedang sampai besar. Tanah ini mempunyai sifat-sifat fisik yang sedang

sampai baik, sedang sifat-sifat kimianya umumnya baik, sehingga nilai

produktivitasnya adalah sedang sampai tinggi. Penggunaan tanah Alfisol adalah

persawahan (padi), baik yang tadah hujan atau pengairan, perkebunan (buah-

buahan), tegalan dan padang rumput. Persebaran jenis tanah Alfisol berada pada

Desa Bodag, Bolo, Kuwiran, Randualas, Morang, Cermo dan sebagian pada

wilayah Desa Kepel dan Kare. Luas tanah Alfisol sebesar 14.645,05 Ha dengan

persentase 76.74%. (Bappeda Kabupaten Madiun, 2012).

Tabel 4.4 Jenis Tanah dan Luas Jenis Tanah di Kecamatan Kare tahun 2012
No Jenis tanah Luas jenis tanah (Ha) %
1 Alfisol 14.645,05 76,74
2 Inceptisol 4.439,95 23.26
Jumlah 19.085,00 100
Sumber : Bappeda Kabupaten Madiun, 2012
56

Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Kecamatan Kare


57

5. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan atau tutupan lahan merupakan salah satu unsur indikator

yang berpengaruh terhadap kerawanan bahaya tanah longsor di suatu wilayah.

Kecamatan Kare yang luas wilayah sebesar 19.085,00 Ha. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Tabel 4.5 mengenai jenis dan luasan penggunaan lahan di

Kecamatan Kare.

Tabel 4.5 Penggunaan Lahan di Kecamatan Kare tahun 2012


No Penggunaan Lahan Luas (Ha) %
1. Sawah 1.114,00 5.84
2. Tanah ladang/tegalan 4.239,39 22.21
3. Kolam/empang/waduk 2,00 0.01
4. Semak/belukar 361,58 1.89
5. Padang rumput 0,00 0.00
6. Hutan 7.608,00 39.86
7. Perkebunan 4.304,00 22.55
8. Permukiman/gedung 702,94 3.68
9. Industri 0,00 0.00
10. Kawasan militer 0,00 0.00
11 Peternakan 0,00 0.00
12 PLTA 33,99 0.18
13 TPA 0,00 0.00
14 Lain-lain 719,10 3.77
Jumlah 19.085,00 100
Sumber: Bappeda Kabupaten Madiun, 2012

Berdasarkan Tabel 4.5 penggunaan lahannya terdiri dari sawah, tegalan,

waduk, semak/belukar, hutan, perkebunan, PLTA dan lain-lain. Penggunaan lahan

untuk permukiman sebesar 3,68% dari seluruh luas wilayah. Dari luasan total

penggunaan lahan, hutan memiliki luasan paling besar yaitu 7.608,00 km²

(39,86%) dan waduk menempati urutan paling kecil luasannya dengan 2,00

Ha(0,01%).
58

Gambar 4.5 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Kare


59

6. Hidrologi
Pola aliran sungai yang ada di Kabupaten Madiun pada umumnya

memiliki pola radial, dengan sebagian besar sungai musiman yaitu sungai yang

meresapkan air hujan ke dalam tanah, atau disebut juga sungai influent.

Sedangkan sungai pola radial merupakan ciri khas sungai yang mengalir di daerah

gunungapi pada Batuan Alluvial. Hidrogeologi Kecamatan Kare masuk dalam

wilayah zona Madiun. Zona Madiun umumnya ditutupi oleh Endapan Alluvial

yang sebagian besar ditutupi oleh Endapan Alluvium yang terdiri dari bahan

rombakan rempah gunungapi sperti kerikil, tuff, pumice, dan pasir yang berjari

jemari.

Akuifer utama tersusun oleh lapisan pasir dan kerikil yang mempunyai

kelulusan sedang sampai tinggi. Dengan adanya selingan lapisan kedap air yang

terdiri dari lempung, maka air tanah bebas terdapat pada lapisan yang relatif tidak

dalam. Pada Kecamatan Kare memiliki jenis dan luas Hidrogeologi sebagai

berikut.

Tabel 4.6 Jenis dan Luas Hidrogeologi Kecamatan Kare tahun 2012
No Hidrogeologi Luas(Ha)
1 Akuifer produktif tinggi dengan persebaran luas 0,00
2 Akuifer produktif dengan persebaran luas 0,00
3 Akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas 0,00
4 Setempat, akuifer berproduksi sedang 406,95
5 Akuifer produktif tinggi dengan persebaran luas 0,00
6 Akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas 11.169,97
7 Setempat, akuifer produktif 7.440,89
8 Akuifer produktif kecil 0,00
9 Daerah air tanah langka 67,19
Jumlah 19.085,00
Sumber : Bappeda Kabupaten Madiun tahun 2012
60

C. Kondisi Penduduk
Penduduk merupakan obyek sekaligus subyek pembangunan, oleh karena

itu data penduduk yang bersumber dari hasil Sensus Penduduk, Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Registrasi menjadi salah satu data pokok

yang sangat diperlukan. Dalam hal ini proporsi jumlah penduduk harus sesuai

dengan proporsi luas suatu wilayah. Berdasarkan data dari BPS, Kecamatan Kare

mempunyai jumlah penduduk 35.192 jiwa. Dengan luas 190,85 km2 dan

kepadatan penduduk 184 jiwa/km2 maka Kecamatan Kare masih ideal.

Tabel 4.7 Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2 ) Menurut Desa/Kelurahan Periode


Tahun 2011-2012
No Desa Luas Daerah Kepadatan Penduduk
(Km2 ) 2011 2012
1 Bodag 11,13 291 291
2 Kepel 28,58 103 104
3 Kare 89,27 73 73
4 Bolo 8,47 335 338
5 Kuwiran 11,69 146 145
6 Randualas 20,27 333 334
7 Cermo 12,75 439 440
8 Morang 8,69 639 640
Jumlah 190,85 184 184
Sumber : Kantor Kecamatan Kare tahun 2012

Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk

Kecamatan Kare adalah 184 jiwa/km2 , dengan tingkat kepadatan penduduk

tertinggi di Desa Morang sebesar 640 jiwa/km2 , sedangkan tingkat kepadatan

penduduk terendah di Desa Kare sebesar 73 jiwa/km2 . Kaitan kondisi penduduk

dengan longsor yaitu seiring dengan bertambahnya penduduk, maka kegiatan

pembukaan lahan untuk jalan raya, pemancangan tiang listrik dan dan perumahan

semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan kuat geser rata-rata tanah, sehingga

meruntuhkan lereng dan mengurangi kuat geser maksimum tanahnya.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memetakan tingkat kerawanan

longsor pada setiap satuan lahan Kecamatan Kare dan menganalisis faktor

dominan yang mempengaruhi tingkat kerawanan longsor yang terjadi pada

Kecamatan Kare.

Sebelum memulai pengambilan data dilapangan, maka diperlukan

pembuatan sejumlah peta seperti peta administrasi, peta jenis tanah, peta geologi,

peta geomorfologi, peta kemiringan lereng dan peta penggunaan lahan dengan

cara mendigitasi peta dasar yang diperoleh dari instansi terkait. Setelah proses

pembuatan peta selesai maka dilanjutkan dengan proses tumpang susun peta

(overlay) sehingga diperoleh peta satuan lahan. Peta satuan lahan dibutuhkan

untuk penentuan lokasi penelitian. Proses selanjutnya pengolahan data serta

analisis data di lapangan agar dapat diketahui tingkat kerawanan bahaya longsor

tanah pada daerah penelitian. Semua kegiatan diatas dikerjakan dengan bantuan

aplikasi ArcGIS 10.1

1. Satuan Lahan Daerah Penelitian

Satuan lahan merupakan satuan pemetaan suatu wilayah, dimana

didalamnya berisi informasi yang sangat rinci dalam bentuk peta. Satuan lahan

61
62

adalah pengelompokan beberapa parameter pada lahan yang biasanya digunakan

sebagai satuan perencanaan fisik serta penentuan daerah penelitian. Peta satuan

lahan dibuat melalui proses tumpang susun (overlay) peta. Dalam penelitian ini

peta yang digunakan dalam pembuatan peta satuan lahan adalah peta

geomorfologi, peta geologi, peta penggunaan lahan, peta kemiringan lereng, dan

peta jenis tanah.

Karakteristik satuan lahan daerah penelitian dapat diketahui setelah

observasi dan mengambil data dari lapangan. Tujuan pengkajian karakteristik

pada daerah penelitian adalah agar mempermudah dalam menganalis sebaran

tingkat kerawanan bahaya tanah longsor. Untuk mengetahui karakteristik satuan

lahan pada daerah penelitian maka digunakan parameter yang telah ditentukan

sebelumnya. Parameter yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Kemiringan

lereng, 2) Pemusatan mata air/rembesan, 3) Tingkat pelapukan batuan, 4) Struktur

perlapisan batuan, 5) Kedalaman pelapukan, 6)Kerapatan kekar, 7) Pemeabilitas

tanah, 8) Tekstur tanah, 9) Indeks plastisitas, 10) Penggalian tebing, dan 11)

Penutup lahan.

Berdasarkan hasil overlay yang telah dilakukan, pada daerah penelitian

yaitu pada Kecamatan Kare didapatkan 69 satuan unit lahan seperti pada gambar

Peta satuan lahan berisikan berbagai attribute yang berguna sebagai dasar

penamaan dalam peta ini.


63

Gambar 5.1 Peta Satuan Lahan Kecamatan Kare


64

Berikut adalah simbol atau kode penamaan peta satuan lahan Kecamatan

Kare.

Tabel 5.1 Simbol Penamaan Peta Satuan Lahan tahun 2014


Satuan Geomorfol ogi Kelas kemiringan lereng Penggunaan Lahan
V.2 = Volkan perbukitan I= 0-2% (Landai) Pkm = Pemukiman
V.3.2.1 = Punggung Perbukitan II = 3-14% (Miring) Kb = Kebun
Volkanik Tua III = 15-55% (Terjal) H = Hutan
IV = > 56% (Sangat terjal) AT = Air tawar
STH = Sawah tadah
Jenis Tanah hujan
Alfi : Alfisol TLT = Tanah
Incep : Inceptisol ladang/tegal
BLS = Belukar/Semak

Sumber : Analisis Data, 2014

Adapun contoh cara penamaan satuan lahan berdasarkan data diatas adalah

sebagai berikut satuan lahan III.V.3.2.1 Alfi H artinya satuan kelas kemiringan

terjal (III), lahan Punggung Perbukitan Volkanik Tua (V.3.2.1), jenis tanah Alfisol

dan penggunaan lahan Hutan (H).

Sampel satuan lahan yang terseleksi adalah III V.2 Alfi STH, III V.2 Alfi

Kb, III V.2 Alfi Pkm, III V.2 Alfi TLT, dan III V.3.2.1 Alfi H.

Data karakteristik satuan lahan dikumpulkan berdasarkan pengamatan dilapangan

serta uji laboratorium. Data yang telah terkumpul kemudian digunakan sebagai

acuan dalam pemetaan kerawanan tanah longsor. Karakteristik Satuan lahan dapat

dilihat pada Tabel 5.2


65

Tabel 5.2 Karakteristik Satuan Lahan Kecamatan Kare tahun 2014


no/ Tingkat Struktur
Satuan Kerapatan Kedalaman Penggalian Penutup Kemiringan Permeabilitas Indeks Tekstur
titik Rembesan pelapukan perlapisan
Lahan Kekar Pelapukan Tebing Lahan Lereng Tanah Plastisitas Tanah
Batuan batuan
Dangkal dikaki
III V.2 Ada 1
Lapuk lereng/ dasar Liat
1 Alfi atau 2 Sedang Sedang Sawah Terjal Sedang Rendah Tinggi
sedang lembah/ dalam berdebu
STH mata air
dipuncak
Dangkal
III V.2 Tidak ada Lapuk dipuncak/ lereng Terjal Sedang
2 Jarang Sedang Perkebunan Tinggi Tinggi Liat
Alfi Kb mata air ringan atas/
Sedang dipuncak
Dangkal dikaki
III V.2 Rapat – Dalam -
Lebih dari Lapuk lereng/ dasar Tegalan / Sangat Jelek
3 Alfi sangat sangat Rendah Tinggi Liat
2 mata air sedang lembah/ dalam perumahan terjal
Pkm rapat dalam
dipuncak
Dangkal dikaki
III V.2
Ada 1 / 2 Lapuk lereng/dasar Tegalan/ Terjal Jelek Lempung
4 Alfi Sedang Sedang Rendah Tinggi
mata air sedang lembah/ dalam perumahan berliat
TLT
dipuncak
III
Lapuk Agak Tidak ada Lempung
5 V.3.2.1 Tidak ada Jarang Hutan Terjal Jelek Sedang Tinggi
ringan dangkal penggalian berliat
Alfi H
Sumber : analisis data, 2014

Berdasarkan Tabel 5.2 diatas dapat dilihat bahwa karakteristik satuan lahan yang ada di daerah penelitian berbeda satu dengan yang lainnya. Data atau

attribute yang ada dipeta tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan karakteristik satuan lahan dilapangan namun hanya dijadikan nama satuan lahan saj
66

2. Kerawanan Longsor

Karakteristik satuan lahan yang bervariasi akan menghasilkan sebaran

kerawanan tanah longsor yang bervariasi juga. Kerawanan tanah longsor adalah

gambaran mengenai sebaran satuan lahan yang memiliki potensi terjadinya proses

gerakan tanah atau tanah longsor. Longsor terjadi akibat terjadinya

ketidakseimbangan medan atau lereng dalam menahan beban. Longsor merupakan

interaksi dari beberapa paramater yang terkandung dalam karakteristik lahan.

Penentuan tingkat bahaya longsor harus diketahui karakter pada tiap lahan,

parameter yang sesuai dengan daerah penelitian meliputi kemiringan lereng,

keterdapatan mata air/rembesan, penggalian tebing, tekstur tanah, permeabilitas,

plastisitas tanah, struktur perlapisan tanah, tingkat pelapukan tanah, kedalaman

pelapukan batuan, kerapatan kekar dan penggunaan lahan. Data mengenai

parameter tersebut diperoleh melalui pengukuran dan pengamatan langsung di

lapangan maupun hasil analisis laboratorium dari sampel yang diperoleh di

lapangan.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium dari sampel tanah yang telah

diambil pada masing- masing penggunaan lahan, daerah penelitian memiliki 3

kelas tekstur tanah yaitu lempung berliat, liat berdebu dan liat. Ketiga tekstur

tersebut menggambarkan bahwa tanah di wilayah Kecamatan Kare dominan

disusun oleh pori mikro, sehingga memiliki permukaan yang luas dalam

bersentuhan dengan air dan udara, dimana hal ini dapat mengakibatkan besarnya

daya tampung tanah terhadap air. Kandungan tanah yang liatnya besar

menyebabkan tanah tidak memiliki struktur, sehingga daya tarik-menarik antar

partikelnya kuat. Kandungan liat yang besar ini menyebabkan tanah memiliki
67

kelenturan yang tinggi dan akan lembek saat jenuh air serta retak-retak saat

kering. Tingkat permeabilitas tanah dipengaruhi oleh kerapatan pori-pori yang

dimiliki suatu tanah dengan tekstur tanah yang halus yaitu liat berdebu, lempung

berliat hingga liat maka permeabilitas akan lambat. Namun pada daerah penelitian

memiliki tingkat permeabilitas yang cukup cepat hingga lambat, hal ini

disebabkan oleh pengaruh akar tanaman yang ada di lokasi tersebut.

Parameter berperan dalam menentukan tingkat kerawanan longsor dan

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kerawanan longsor di Kecamatan

Kare. Kemiringan lereng merupakan parameter yang paling berperan dalam

terjadinya longsor, dimana semakin curam suatu lereng maka akan semakin besar

kemungkinan bergeraknya massa tanah atau batuan. Struktur pelapisan, tingkat

perlapisan, dan kedalaman pelapukan batuan akan berpengaruh pada stabilitas

lereng dan sudut geser dalam tanah, sehingga semakin buruk kriteria parameter

yang dimiliki maka akan semakin rawan untuk terjadi longsor. Permeabilitas,

tekstur, dan indeks plastisitas tanah merupakan sifat fisik dari tanah yang

berpengaruh pada kestabilan lereng melalui kemampuannya dalam menampung

dan menahan air. Penggalian atau pemotongan lereng dan penggunaan lahan

merupakan parameter pemicu longsor akibat aktivitas manusia, dimana aktivitas

tersebut secara langsung dapat mengubah bentuk lereng. Perubahan bentuk lereng

akan mempengaruhi stabilitas batuan pembentuknya sedangkan penggunaan lahan

berpengaruh pada kondisi fisik tanah akibat akar tanaman itu sendiri.

Tingkat kerawanan menggambarkan kemungkinan terjadinya tanah

longsor sangat berkaitan dengan karakteristik fisik suatu wilayah. Penilaian

tingkat kerawanan longsor ini menggunakan satuan lahan sebagai unit analisisnya.
68

Pada tiap parameter diharkatkan dari yang terendah sampai tertinggi, semakin

tinggi harkatnya maka semakin berpengaruh terhadap terjadinya longsor. Nilai

dari masing- masing parameter yang telah diharkatkan tersebut dijumlahkan untuk

setiap satuan lahan dan dari jumlah total harkat tersebut ditentukan tingkat rawan

bahaya tanah longsornya. Penentuan kelas kerawanan longsornya mengacu pada

klasifikasi kerawanan berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana

dengan interval kelas ditentukan berdasarkan analisis data.

Berdasarkan Tabel 5.6, terdapat tiga kriteria longsor di Kecamatan Kare,

yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kerawanan longsor rendah terdapat pada satuan

lahan V.3.2.1 Alfi H, kerawanan longsor sedang terdapat pada satuan lahan III

V.2 Alfi STH, III V.2 Alfi Kb dan III V.2 Alfi TLT, sedangkan kerawanan

longsor tinggi hanya terdapat pada satuan lahan III V.2 Alfi Pkm. Berdasarkan

hasil klasifikasi tingkat kerawanan longsor tersebut maka dibuatlah peta daerah

rawan longsor.
69

Tabel 5.3 Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare

Struktur
Satuan Pelapukan Kerapatan Kedalaman Penggalian Penutup Kemiringan Indeks Tingkat
No Rembesan Perlapisan Permeabilitas Tekstur
Lahan Batuan Kekar Pelapukan Tebing Lahan Lereng Plastisitas Total kerawanan
Batuan
III V.2
1 Alfi 2 3 2 3 3 4 3 2 3 3 3 31 Sedang
STH
III V.2
2 1 2 3 3 2 2 3 1 3 3
Alfi Kb 2 25 Sedang
III V.2
3 Alfi 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 37 Tinggi
Pkm
III V.2
4 Alfi 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 30 Sedang
TLT
III
5 V.3.2.1 1 2 1 2 1 1 3 1 2 3 3 20 Rendah
Alfi H
70

Gambar 5.2 Peta Agihan Kerawanan Longsor Kecamatan Kare


71

Berdasarkan Gambar 5.2, tingkat kerawanan paling luas terdapat pada

kerawanan rendah dengan luas 11.785,01 Ha kemudian diikuti dengan tingkat

kerawanan tinggi dengan luas 4.171,00 Ha, dan yang terakhir adalah tingkat

kerawanan sedang dengan luas 3.128,99 Ha. Distribusi luas area tiap tingkat

kerawanan dapat dilihat pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Luas Area Kerawanan Longsor di Kecamatan Kare


No. Kategori Luas (Ha) Persentase (% )
1. Rendah 11.785,01 61,75
2. Sedang 3.128,99 16,40
3. Tinggi 4.171,00 21,85
Total 19.085,00 100

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan longsor

Penentuan faktor-faktor yang memiliki kecenderungan untuk

mempengaruhi tingkat kerawanan longsor pada Kecamatan Kare menggunakan

analisis statistika, yakni uji korelasi dan uji regresi. Uji korelasi digunakan untuk

melihat hubungan setiap parameter dengan tingkat kerawanan longsor dan uji

regresi linier untuk melihat faktor yang dominan dalam mempengaruhi tingkat

kerawanan longsor. Hasil uji korelasi dan uji regresi linier sederhana dapat dilihat

pada lampiran 1.

Berdasarkan hasil uji korelasi dan uji regresi linier sederhana

menggunakan SPSS 16.0 menyebutkan bahwa kedalaman pelapukan dan

penggalian tebing merupakan faktor yang paling mempengaruhi dalam tingkat

kerawanan longsor pada Kecamatan Kare. Hal ini dikarenakan korelasi variabel

kedalaman pelapukan lebih besar dari variabel lain dengan nilai 0,924 dan tingkat

signifikansinya 0,012. Penggalian tebing memiliki nilai korelasi 0,918 dengan

tingkat signifikansi 0,014. Faktor yang memiliki pengaruh terkecil adalah

kemiringan lereng dengan nilai -0,015 dengan tingkat signifikansinya 0,490.


72

Berdasarkan uji t untuk menguji signifikansi pengaruh beberapa variabel

bebas terhadap variabel terikat menunjukkan tingkat signifikansi pelapukan batu

sebesar 0,003 yang jauh lebih sedikit dari 0,025 menunjukkan pelapukan batuan

memiliki pengaruh terhadap kerawanan. Tingkat kerapatan kekar tingkat

signifikansinya 0,006 masih lebih sedikit dari pada 0,025 yang berarti bahwa

faktor-faktor tersebut secara signifikansi mempengaruhi tingkat kerawanan pada

Kecamatan Kare.

Faktor lain seperti kemiringan lereng, rembesan, kedalaman pelapukan,

permeabilitas, indeks plastisitas, perlapisan batuan, penggalian tebing, dan

penutup lahan memiliki tingkat signifikansi yang lebih besar dari pada 0,025 yang

berarti bahwa delapan faktor tersebut kurang mempengaruhi secara signifikan

terhadap tingkat kerawanan longsor Kecamatan Kare. Sedangkan untuk variabel

tekstur terhapus dalam perhitungan SPSS 16.0 dikarenakan nilai tekstur untuk

kelima sampel sama.

Sedangkan untuk faktor dominan pada setiap satuan lahan yang

mempengaruhi tingkat kerawanan longsor adalah sebagai berikut.


73

Tabel 5.5 Persentase Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan Longsor Kecamatan Kare Pada Setiap Satuan lahan

Struktur
Pelapukan Kerapatan Kedalaman Penggalian Penutup Kemiringan Indeks
Rembesan Perlapisan Permeabilitas Tekstur
Batuan Kekar Pelapukan Tebing Lahan Lereng Plastisitas
Batuan
Satuan Total
No
Lahan
Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat Harkat

III
V.2 2 3 2 3 3 4 3 2 3 3 3 31
1
Alfi 6.45% 9.68% 6.45% 9.68% 9.68% 12.90% 9.68% 6.45% 9.68% 9.68% 9.68% 100%
STH
III
1 2 3 3 2 2 3 1 3 3
2 V.2 2 25
4.00% 8.00% 12.00% 12.00% 8.00% 8.00% 12.00% 4.00% 12.00% 12.00%
Alfi Kb 8.00% 100%
III
V.2 3 3 4 4 4 3 4 3 3 3 3 37
3
Alfi 8.11% 8.11% 10.81% 10.81% 8.11% 8.11% 10.81% 8.11% 8.11% 8.11% 8.11% 100%
Pkm
III
V.2 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 3 30
4
Alfi 6.67% 10.00% 6.67% 10.00% 10.00% 10.00% 10.00% 6.67% 10.00% 10.00% 10.00% 100%
TLT
III
1 2 1 2 1 1 3 1 2 3 3
5 V.3.2.1 20
5.00% 10.00% 5.00% 5.00% 5.00% 5.00% 15.00% 5.00% 10.00% 15.00% 15.00%
Alfi H 100%
Sumber: Analisis Data, 2014
74

B. Pembahasan

Pada sub bab pembahasan ini akan diuraikan mengenai analisis tingkat

kerawanan longsor dan faktor yang mempengaruhi longsor berdasarkan hasil penelitian

yang telah dipaparkan sebelumnya.

1. Tingkat Kerawanan Longsor

Kerawanan (Vulnerability) adalah suatu keadaan yang dipengaruhi oleh faktor-

faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang menimbulkan ancaman bahaya

bencana terhadap masyarakat. Longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng

berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material lain, yang bergerak ke bawah atau

keluar lereng karena pengaruh gravitasi bumi yang terjadi di daerah terjal dan tidak

stabil. Kerawanan longsor adalah suatu keadaan yang dipengaruhi oleh faktor fisik,

sosial, dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan ancaman bahaya longsor

terhadap masyarakat dalam hal ini adalah Masyarakat Kecamatan Kare.

Kerawanan longsor merupakan kondisi suatu daerah yang memiliki tingkatan

yang berbeda untuk terjadinya tanah longsor sesuai dengan karakteristik lahan yang

dimiliki. Tingkat kerawanan longsor yang terdapat di daerah penelitian terbagi menjadi

tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data pada

setiap karakteristik satuan lahan menunjukkan bahwa kategori tingkat kerawanan

longsor sedang terletak pada satuan lahan III V.2 Alfi STH, III V.2 Alfi Kb, dan III V.2

Alfi TLT dengan luas total 3.128,99 Ha atau 16,40% dari luas daerah penelitian..

Tingkat kerawanan longsor rendah hanya terdapat pada satuan lahan III V.3.2.1 Alfi H

dengan luas 11.785,1 Ha atau 61,75% dari luas daerah penelitian. Kategori tingkat
75

kerawanan longsor tinggi hanya terletak pada satuan lahan III V.2 Alfi Pkm dengan

luas 4.171 Ha atau 21,85% dari total luas daerah penelitian.

a. Tingkat Kerawanan Longsor Rendah

Tingkat kerawanan longsor rendah hanya terdapat pada satuan lahan III V.3.2.1

Alfi H. Suatu bentuk lahan dapat dikategorikan memiliki tingkat kerawanan yang

rendah apabila karakteristik lahan yang dimiliki tidak mendukung untuk terjadinya

tanah longsor, terutama karakteristik lereng. Bencana longsor tidak akan terjadi pada

wilayah yang memiliki kemiringan landai sampai datar. Berdasarkan hasil

pengklasifikasian dapat diketahui bahwa satuan lahan yang mempunyai tingkat

kerawanan tanah longsor rendah, yaitu pada satuan lahan hutan. Hutan memiliki jenis

tanah Alfisol, yang terbentuk dari pelapukan batuan kapur, topografi karst, dan lereng

vulkan.

Keberadaan rembesan pada satuan lahan hutan tidak ditemukan serta kerapatan

kekar juga sangat jarang ditemukan. Lereng hutan masih dalam kondisi stabil. Hal ini

dikarenakan tidak adanya penggalian tebing yang berada dipuncak sehingga tidak ada

masa tanah dan batuan yang ditahan oleh lereng. Kerawanan longsor rendah tidak

berarti daerah ini tidak akan mengalami longsor tanah. Parameter pada tanah membuat

satuan medan ini rawan akan terjadinya bahaya longsor tanah. Hal tersebut dikarenakan

kondisi tanah yang bertekstur lempung berliat, indeks plastisitas tinggi serta memiliki

permeabilitas yang sedang.

Tekstur tanah berperan dalam menentukan tata air dalam tanah,berupa kecepatan

infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah, serta mempengaruhi

kapasitas tanah untuk menahan air, permeabilitas tanah dan berbagai sifat fisik maupun
76

kimia tanah lainnya (Sugiharyanto,dkk, 2009:9). Permeabilitas tanah yang sedang

menunjukkan bahwa satuan hutan ini memiliki kemampuan menyimpan air dalam

jumlah yang banyak dalam tanah. Tingkat pelapukan batuan yang memasuki usia lapuk

ringan membuat daerah ini rawan terjadi longsor.

Tanaman penutup lahan pada hutan meliputi tanaman berkayu seperti pohon

aren, pinus, bambu dan mahoni. Sistem perakaran yang kuat, maka stabilitas struktur

dapat terjaga dan permeabilitas tanah yang baik, sehingga dapat menjaga kestabilan

lereng dan potensi longsor menjadi kecil. Tingkat kerawanan longsor rendah di daerah

ini bukan berarti tidak akan pernah mengalami longsor. Tipe longsor yang mungkin

terjadi pada daerah ini adalah tipe aliran, jatuhan dan rayapan tanah. Persebaran tingkat

kerawanan longsor rendah berada di Desa Kare dan Kepel.

b. Tingkat Kerawanan Longsor Sedang

Kategori tingkat kerawanan longsor sedang terletak pada satuan lahan III V.2

Alfi STH, III V.2 Alfi Kb, dan III V.2 Alfi TLT dengan luas 3.128,99 Ha atau 16,40%

dari luas daerah penelitian. Penggunaan lahan berupa sawah, perkebunan dan tegalan.

Persebaran tingkat kerawanan longsor sedang ini mendominasi pada seluruh Kecamatan

Kare. Kondisi satuan lahan pada tingkat kerawanan longsor sedang memiliki

kemiringan terjal (14 – 55%) dengan struktur perlapisan batuan sedang hingga jelek

yaitu tidak teratur pada medan curam dengan penggunaan lahan berupa sawah,

perkebunan dan tegalan. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya

pendorong ( Nandi, 2007:7).


77

Kondisi lereng yang terjal dimungkinkan dapat terjadi tanah longsor. Fungsi

lereng sebagai bidang penahan menjadi kecil diakibatkan sudut lereng yang terjal

sehingga memungkinkan untuk menjadi bidang luncur tanah. Bentuk satuan lahan V.2

Alfi STH atau sawah, yang paling dominan dalam proses terjadinya longsor adalah

kemiringan lereng yang cukup terjal. Tekstur tanah satuan lahan ini berupa liat berdebu

dan kedalaman pelapukan sedang, struktur perlapisan batuan sedang dengan pelapukan

batuan lapuk ringan. Pada satuan lahan sawah ditemukan 1 sampai 3 mata air,

permeabilitas sedang karena merupakan penggunaan lahan berupa sawah menyebabkan

wilayah ini rawan terjadinya tanah longsor.

Pada bentuk satuan lahan III V.2 Alfi Kb atau perkebunan yang paling

dominan dalam proses terjadi longsor adalah tingkat kemiringan yang miring hingga

terjal, indeks plastisitas tinggi, tekstur tanah berupa liat dengan kedalaman pelapukan

sedang. Kerapatan kekar sedang, tingkat permeabilitasnya sedang dan perlapisan

batuannya sedang. Kerapatan kekar termasuk kedalam kelas sedang serta tidak

ditemukan adanya mata air pada sela rekahan atau kekar. Hal tersebut dapat di

asumsikan salah satu ciri adanya bidang diskontinuitas. Nandi (2007:12) mengatakan

salah satu ciri adaya bidang dikontinuitas adalah terdapatnya bidang kontak antara

batuan yang mampu melewatkan air dan batuan yang tidak mampu melewatkan air.

Bidang–bidang tersebut dapat memicu terjadinya longsor tanah.

Tanaman pada area kebun berupa jati, durian, pisang, coklat, mangga, srikaya

dan rumput gajah. Penggunaan lahan ini menyebabkan wilayah ini lebih stabil terhadap

terjadinya longsor. Tingkat pelapukan batuan pada kelas agak dangkal mampu menjadi
78

penahan atau menjadi salah satu faktor yang menjaga kestabilan lereng, karena tingkat

resistantsi batuan penyusun lereng masih lumayan kuat.

Bentuk satuan lahan III V.2 Alfi TLT atau tegalan tanahnya berstektur

lempung berliat dengan permeabilitas sedang dan indeks plastisitas tinggi. Tekstur tanah

lempung berliat akan bersifat lengket saat basah tetapi bisa berubah retak retak atau

getas apabila kering (Hardiyatmo, 2006). Permeabilitas sedang menyebabkan air yang

masuk akan mudah lolos sehingga tidak menyebabkan kondisi jenuh pada tanah.

Kemiringan lerengnya bergelombang menyebabkan wilayah ini memiliki tingkat

kerawanan sedang walaupun penggunaan lahannya ditanami berupa pisang, ketela

pohon, umbi – umbian, dan semak belukar.

Curah hujan yang tinggi bisa sebagai pemicu terjadinya longsor, karena saat

kondisi tanah basah akibat hujan, maka tanah yang bertekstur lempung liat akan

menjadi licin akibat terjadi gaya gesek yang rendah dengan lapisan batuan yang kompak

di bawahnya membuat tanah ini tidak mempunyai resiko longsor tanah yang tinggi.

Tingkat kerawanan longsor sedang dapat dikurangi dengan membuat plengsengan pada

lereng sebagai penguat agar kestabilan lereng terjaga. Penggalian tebing harap dikurangi

karena mengakibatkan ketidaksinambungan struktur dan akan mengurangi gaya tahan

geser, bahkan mungkin juga bisa menghilangkannya.

Tipe jatuhan dan longsoran berkembang pada satuan lahan Sawah tadah hujan,

perkebunan dan tegalan. Tipe ini berkembang dikarenakan penutup lahan yang berupa

semak dan kebun dimana hal ini berpengaruh terhadap kekuatan lereng sebagai

penahan. Material longsor yang berupa tanah akan mudah jatuh begitu saja karena tidak

ada penahan tanah yang kuat bagi tanah yang menjadi berat akibat hujan.
79

Lokasi yang berpotensi terjadi tipe longsor jatuhan pada daerah penelitian

memiliki kemiringan >45º yang artinya sangat terjal. Pada kondisi lereng yang seperti

ini tidak ditemukan adanya bidang gelincir sehingga material longsor jatuh bebas kearah

jalan yang berada di bawahnya. Jatuhan pada tanah biasanya terjadi bila material mudah

tererosi terletak di atas tanah yang lebih tahan erosi. Persebaran kerawanan longsor

sedang menyebar di Desa Bodag, Bolo dan Kuwiran.

Gambar 5.3 tipe longsor jatuhan dan longsoran pada satuan lahan tegalan

c. Tingkat Kerawanan Longsor Tinggi

Tingkat kerawanan tinggi ini terdapat pada bentuk satuan lahan III V.2 Alfi Pkm

atau pemukiman, luas wilayahnya hanya 4.171.00 Ha atau 21,85% dari luas daerah

penelitian. Tingkat kemiringan lereng terjal (14 - 55%), hal ini disebabkan penggalian

tebing yang berada ditengah bukit yang artinya telah mengganggu kestabilan lereng.

Kemiringan lereng yang terjal dan struktur perlapisan batuan yang jelek, dimana

semakin curam kemiringan lereng maka semakin besar kemungkinan terjadinya tanah

longsor. Kerapatan kekar yang sangat rapat dengan rembesan atau pemusatan mata air

ada 1 atau 2 mata air. Terdapatnya rembesan dan mata air pada lahan ini menandakan

adanya kekar, mata air dapat menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah yang

akhirnya berdampak pada reruntuhan lereng (Hardiyatmo, 2006). Kerapatan kekar pada
80

batuan yang tersingkap di permukaan akan memperlemah kekuatan batuan dasarnya,

karena air akan masuk celah tersebut dan tekanan air menyebabkan batuan penyusun

labil.

Penggunaan lahan yang berupa pemukiman serta tingkat pelapukan batuan yang

lapuk sedang, maka wilayah ini memiliki daya tampung air yang besar serta

mempengaruhi kestabilan lerengnya. Permeabilitas tanah pada kriteria longsor tinggi

menunjuk pada kelas rendah, ini menandakan bahwa daerah tersebut mempunyai daya

infiltrasi yang cukup baik. Tekstur tanah berupa liat serta ditambah indeks plastisitas

yang tinggi membuat tanah berkurang agregatnya. Tanah yang memiliki tekstur liat

memiliki banyak kandungan pori mikro sehingga akan memperlambat distribusi aliran

air ke lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga tanah menjadi mudah mengalami

kejenuhan dimana hal ini menyebabkan mudah terjadinya tanah longsor (Prijono, 2009).

Kedalaman pelapukan pada satuan lahan pemukiman masuk pada kriteria sangat

dalam juga memperkuat bahwa tanah dengan kondisi seperti ini rawan terjadi longsor.

Penggalian tebing merupakan vaiabel yang paling berpengaruh pada kriteria tinggi ini.

Pemotongan lereng untuk jalan,pembangunan pemukiman dan tata guna lahan yang

kurang sesuai, menyebabkan tingginya potensi longsor.

Kejadian longsor sebelumnya juga berpengaruh pada daerah ini, yaitu pada

satuan lahan pemukiman. Satuan lahan pemukiman sering terjadi tanah longsor, namun

saat penelitian berlangsung ditemukan ciri lahan yang akan mengalami longsoran

dimana telah terdapat tanah retak yang membentuk cekungan serta timbunan tanah

akibat guguran pada bagian bawah lereng. Hujan yang turun juga menyebabkan massa

tanah dalam kondisi jenuh air, karena tanah memiliki kedap air maka massa tanah
81

bergerak menuruni lereng. Kerawanan longsor tinggi menyebar di seluruh daerah

penelitian. Sugiharyanto, dkk (2009) menyebutkan daerah yang pernah mengalami

longsor akan berpotensi besar mengalami longsor kembali apabila lereng yang pernah

mengalami longsor belum benar-benar stabil.

Tipe longsoran adalah tipe yang paling banyak dijumpai pada daerah yang telah

mengalami pelapukan lanjut. Tipe longsoran terjadi pada lereng dengan kemiringan

menengah hingga curam yang pada bekas longsor dijumpai adanya bidang gelincir baik

yang berbentuk datar maupun melengkung. Proses kejadiannya umumnya berkaitan

dengan keberadaan musim penghujan yang dapat terjadi pada awal, tengah, maupun

pada akhir musim penghujan.

Tipe longsoran dapat di kurangi dengan penanaman vegetasi berjenis kayu yang

memiliki perakaran yang kuat dan dalam, akar tersebut akan menjadi penguat tanah dan

penahan gerakan tanah. Penguatan lereng dengan membuat plengsengan juga dapat

memperbesar stabilitas lereng karena dapat menahan gerakan massa tanah yang akan

longsor (Hardiyatmo, 2006). Selain itu, perlu dilakukan pelandaian lereng dengan cara

menutup kaki area longsoran sehingga akan mengurangi gaya-gaya yang menyebabkan

longsor. Persebaran tingkat kerawanan tinggi ini tepatnya berada di Desa Randualas,

Morang dan Cermo.


82

Gambar 5.4 Tipe longsoran pada pemukiman

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerawanan Longsor

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji korelasi dan uji regresi linier

berganda menyebutkan faktor penggalian tebing merupakan faktor yang paling

dominan. Hubungan antara faktor penggalian tebing dengan tingkat kerawanan

memiliki nilai yang lebih besar diantara faktor-faktor yang lain dalam uji korelasi. Hal

ini disebabkan, banyaknya alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan, jalan, dan

bangunan rumah makan. Alih fungsi lahan ini menyebabkan banyak lereng yang

terpotong.

Longsor terjadi karena adanya kejenuhan massa air dan tekanan gaya gravitasi

pada massa tanah/batuan. Besar kecilnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa

tanah/batuan ditentukan oleh kemiringan lereng. Menurut Gunadi, dkk (2004) faktor-

faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dibagi menjadi dua yaitu faktor penyebab

dan faktor pemicu. Faktor pemicu sendiri dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor

pemicu statik dan faktor pemicu dinamik.


83

Faktor pemicu dinamik yang mempengaruhi longsor pada Kecamatan Kare

adalah rembesan, penggalian tebing, dan penggunaan lahan. Kejadian longsor selalu

dipicu oleh adanya perubahan gaya/energi akibat perubahan faktor yang bersifat

dinamik (Gunadi,dkk, 2004). Sedangkan faktor pemicu statis yang mempengaruhi

tingkat kerawanan longsor adalah faktor tanah dan batuan. Faktor tanah meliputi indeks

plastisitas, tekstur, dan permeabilitas tanah. Faktor batuan meliputi struktur perlapisan

batuan, kedalaman pelapukan, tingkat pelapukan batuan, dan kerapatan kekar.

Berdasarkan hasil uji korelasi, faktor penggalian tebing memiliki pengaruh yang

paling kuat dalam mempengaruhi tingkat kerawanan longsor pada Kecamatan Kare,

kemudian faktor batuan, rembesan, faktor tanah, dan penutup lahan. Sedangkan untuk

masing- masing satuan lahan faktor-faktor yang dominan adalah sebagai berikut.

a. III V.2 Alfi STH

Satuan lahan III V.2 Alfi STH memiliki tingkat kerawanan yang sedang. Faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan pada satuan lahan ini selain tekstur tanah

adalah kemiringan lerengnya yang terjal. Kemiringan lereng terjal pada satuan lahan ini

berkisar antara 14% –29%. Menurut Sugiharyanto,dkk (2009) kemiringan merupakan

unsur yang paling berpengaruh dalam memicu terjadinya longsor, hal ini dikarenakan

kemiringan erat kaitannya dengan gaya gravitasi yang merupakan faktor penyebab dan

gaya geser pada sepanjang lereng yang ada.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kerawanan longsor pada satuan lahan ini

adalah faktor batuan dan faktor tanah seperti tingkat pelapukan, kedalaman pelapukan,

dan indeks plastisitas tanahnya. Tingkat pelapukan pada satuan lahan ini termasuk
84

dalam kategori lapuk sedang yang berarti kurang dari setengah batuan terdekomposisi

atau terintegrasi dengan tanah, namun bagian tengah batuan masih segar. Kedalaman

pelapukan termasuk dalam kategori sedang yang berkisar pada kedalaman 75–100 cm.

mudah tidaknya batuan terganggu oleh kekuatan dari luar tergantung pada tingkat

pelapukan dan kedalaman pelapukannya, semakin lanjut pelapukan dan dalam

kedalaman pelapukannya maka potensi terjadinya longsor akan semakin besar.

b. III V.2 Alfi Kb

Satuan III V.2 Alfi Kb memiliki tingkat kerawanan sedang yang terletak pada

daerah perkebunan. Kemiringan pada satuan lahan ini berkisar antara 24% –32% yang

termasuk dalam kategori terjal. Lereng merupakan salah satu faktor pengontrol yang

membuat kondisi suatu lereng menjadi rawan dan siap bergerak (Karnawati, 2007).

Selain kemiringan, pada satuan lahan ini faktor batuan dan faktor tanah juga

mempengaruhi dalam menentukan tingkat kerawanan. Faktor batuan yang dimaksud

antara lain struktur perlapisan batuan, tingkat pelapukan, dan kerapatan kekar.

Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi adalah permeabilitas, indeks plastisitas,

dan tekstur tanah.

Struktur perlapisan batuan pada satuan lahan ini termasuk dalam kategori sedang

yang berarti tidak teratur pada medan curam (20%), miring pada medan bergelombang.

Bidang perlapisan yang semakin miring dan searah dengan kemiringan lereng dapat

menjadi bidang gelincir tempat meluncurnya massa tanah/batuan sehingga akan

mengurangi gaya penahan pada batuan (Sugiharyanto, dkk, 2009). Selain itu,

permeabilitas yang termasuk kategori sedang, indeks plastisitas yang tinggi, dan tekstur
85

tanah yang berlempung akan menyebabkan satuan lahan ini berpotensi untuk terjadi

longsor. Namun dengan adanya plengsengan sebagai penahan lereng pada satuan lahan

ini, potensi longsor dapat dikurangi karena kestabilan lereng dapat diperbesar. Tembok

penahan atau plengsengan juga bermanfaat untuk melindungi kaki lereng terhadap

gerusan atau erosi. Oleh karena itu, pada satuan lahan ini memiliki tingkat kerawanan

longsor yang sedang.

c. III V.2 Alfi TLT

Satuan lahan III V.2 Alfi TLT atau pada wilayah tegalan memiliki tingkat

kerawanan yang sedang. Hal ini dikarenakan kemiringan lereng pada satuan lahan ini

termasuk dalam kategori terjal. Rusdianto (2012) menyebutkan bahwa faktor

kemiringan merupakan faktor terpenting dalam kejadian longsor. Kemiringan lereng

pada satuan lahan ini berkisar antara 20% –35% yang termasuk dalam kategori terjal,

sehingga potensi terjadinya longsor akan semakin besar.

Selain faktor lereng, pada satuan lahan ini tingkat kerawanannya dipengaruhi

oleh faktor batuan yang meliputi tingkat pelapukan dan kedalaman pelapukan. Tingkat

pelapukan pada satuan lahan ini termasuk dalam kategori lapuk sedang yang berarti

bahwa kurang dari setengah batuan terdekomposisi sedangkan bagian tengahnya masih

segar. Sugiharyanto,dkk (2009) menyebutkan di dalam tubuh batuan yang mengalami

pelapukan, terjadi perubahan dimana fragmen batuan yang mulanya keras menjadi

fragmen- fragmen yang kecil sehingga gaya tarik menarik antar butir fragmen lapuk

menjadi kecil, hal ini akan mempercepat infiltrasi dan akan mempengaruhi kestabilan

lereng jika terletak pada lereng yang terjal. Penanganan pada tipe runtuhan dan jatuhan
86

adalah dengan metode pembuatan trap/bangku (Benching). Metode ini cocok dilakukan

pada lereng yang terjal, karena dapat mengurangi erosi dan menahan gerakan turun

debris (campuran materi granuler) pada longsoran kecil (Hardiyatmo, 2006). Pada

pembuatan trap, sebaiknya membangun lapisan drainase agar air dapat dialirkan ke luar

area yang berpotensi longsor. Pembuatan trap/bangku (Benching) ini cocok dilakukan

pada satuan lahan tegalan, karena dapat mengurangi erosi dan menahan gerakan turun

debris (campuran materi granuler) pada longsoran kecil (Hardiyatmo, 2006). Pada

pembuatan trap, sebaiknya membangun lapisan drainase agar air dapat dialirkan ke luar

area yang berpotensi longsor.

d. III V.2 Alfi Pkm

Satuan lahan III V.2 Alfi Pkm atau pemukiman memiliki tingkat kerawanan

longsor yng tinggi. Hal yang mempengaruhi tingginya kerawanan longsor pada satuan

lahan ini adalah kemiringan lereng yang sangat terjal berkisar antara 56% – 58%.

Kemiringan yang sangat terjal ini menyebabkan semakin besarnya gaya penggerak

massa tanah/batuan penyusun lereng (Karnawati, 2005). Kemiringan lereng yang

sangat terjal akan memperbesar jumlah aliran permukaan dan kecepatan aliran

meningkat sehingga kemampuan air untuk melongsorkan tanah semakin besar (Arsyad,

1989 dalam Sugiharyanto,dkk, 2009).

Penggalian tebing pada satuan lahan ini juga mempengaruhi terhadap sangat

terjalnya kemiringan lereng. Penggalian tebing untuk jalan raya, pemacangan tiang

listrik dan perumahan menyebabkan gangguan pada stabilitas lerengnya. Hal ini akan

mengakibatkan ketidaksinambungan struktur pada lereng dan akan mengurangi gaya


87

tahan lereng (Hardiyatmo, 2006). Permeabilitas tanah pada kategori sedang,

menandakan infiltrasi yang cukup baik. Indeks plastisitas tinggi, dan tekstur tanah

berupa liat menyebabkan agregat tanah berkurang. Tanah yang memiliki tekstur liat

memperlambat distribusi aliran air ke lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga tanah

mudah mengalami kejenuhan sehingga menyebabkan longsor (Prijono, 2009).

e. III V.3.2.1 Alfi H

Satuan lahan III V.3.2.1 Alfi H atau satuan lahan hutan.Satuan lahan ini

merupakan satu-satunya satuan lahan yang memilki tingkat kerawanan longsor yang

rendah. Faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kerawanan longsor pada satuan

lahan ini antara lain struktur perlapisan batuan dan tekstur tanah. Struktur perlapisan

batuan merupakan besar kecilnya kemiringan perlapisan batuan terhadap bidang datar.

Struktur perlapisan batuan yang jelek akan menjadi bidang lemah tempat meluncurnya

massa tanah/batuan. Bidang tersebut akan mengurangi gaya penahan gerakan pada

lereng (Karnawati, 2005).

Tekstur tanah yang berlempung liat menyebabkan tanah ketika pada waktu

kondisi tanah lembab sulit untuk kering, kondisi ini akan menyebabkan volume tanah

bertambah dan tanah akan menjadi semakin berat sehingga akan mudah terjadi longsor

apabila terletak pada lereng yang terjal.Keberadaan rembesan pada satuan lahan hutan

tidak ditemukan serta kerapatan kekar juga sangat jarang . Lereng pada area hutan

masih dalam kondisi stabil. Hal ini dikarenakan tidak adanya penggalian tebing yang

berada dipuncak sehingga tidak ada masa tanah dan batuan yang ditahan oleh lereng.
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab

sebelumnya dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tingkat kerawanan longsor yang terdapat di daerah penelitian terbagi menjadi

tiga kriteria longsor di Kecamatan Kare, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Kerawanan longsor rendah terdapat pada satuan lahan V.3.2.1 Alfi H,

kerawanan longsor sedang terdapat pada satuan lahan III V.2 Alfi STH, III

V.2 Alfi Kb dan III V.2 Alfi TLT, sedangkan kerawanan longsor tinggi hanya

terdapat pada satuan lahan III V.2 Alfi Pkm.

2. Tingkat kerawanan paling luas terdapat pada kerawanan rendah dengan luas

11.785,01 Ha kemudian diikuti dengan tingkat kerawanan tinggi dengan luas

4.171,00 Ha, dan yang terakhir adalah tingkat kerawanan sedang dengan luas

3.128,99 Ha.

3. Kedalaman pelapukan dan penggalian tebing merupakan faktor yang paling

dominan dalam mempengaruhi tingkat kerawanan longsor Kecamatan Kare.

Penggalian tebing karena alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan,

jalan, pemasangan tiang dan bangunan menyebabkan banyak lereng yang

terpotong dan berkurangnya. Pemotongan lereng menyebabkan mengurangi

stabilitas lereng dan pergerakan massa tanah terlampaui oleh tegangan

gravitasi.

88
89

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan tersebut maka

dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi

pencegahan longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan. Pemerintah segera

melakukan reboisasi dan tidak melakukan pembalakan liar di hutan di

wilayah Kecamatan Kare. Pemerintah perlu menindak tegas perusahaan atau

perseorangan yang melakukan pengalihfungsian lahan yang dapat merusak

stabilitas lereng.

2. Saran untuk peneliti selanjutnya, hendaknya lebih teliti dalam pengambilan

data agar tidak terjadi kesalahan. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dalam

pencarian faktor dominan dengan metode lain yang tepat selain menggunakan

regresi dalam statistika.


DAFTAR PUSTAKA

_____. 2007. Pencegahan Gerakan Tanah Dengan Identifikasi Zona Rentan.


http://www.d- infokom-jatim.go.id/news.php?id=11029

Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor. Institut Pertanian
Bogor Press.

Badan Geologi Indonesia. 1992. Keterangan Peta Geologi Lembar Madiun, Jawa.
Bandung: Badan Geologi Indonesia.

BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman
Umum Pengkajian Risiko Bencana, (Online),
(www.bnpb.go.id/uploads/pubs/30.pdf, diakses 14 Maret 2014).

BNPB, 2012 . Potensi Ancaman Bencana. (Online),


(http://bnpb.go.id/page/read/6, diakses 11 Desember 2013 )

BNPB. 2013. Info Bencana Bulan Maret sampai November 2013, (Online),
(http://bnpb.go.id/uploads/pubs/, diakses 29 Desember 2013)

BNPB. 2014. Data dan Informasi Bencana Indonesia, (Online),


(http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id&contin
ue=y&lang=ID, diakses 04 Mei 2014).

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Pengenalan Gerakan


Tanah, (Online), (http://www.esdm.go.id/publikasi_doc_download/489-
pengenalan-gerakan-tanah.html, diakses 26 Juni 2013)

Effendi, Ahmad Danil. 2008. Identifikasi Kejadian Longsor dan Penentuan


Faktor-Faktor Utama Penyebabnya di Kecamatan Babakan Madang
Kabupaten Bogor. Skripsi S1. Bogor: Manajemen Hutan Fakutas
kehutanan IPB

Gunadi, Sunarto, dkk. 2004. Tingkat Bahaya Longsor di Kecamatan Samigaluh


dan Daerah Sekitarnya Kabupaten Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta.
Makalah disajikan dalam Kongres MKTI V dan Seminar Nasional
Degradasi Hutan dan Lahan, MKTI, Yogyakarta, 10-11 Desember.

Haifani, A. M. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Mendukung


Penerapan Sistem Manajemen Resiko Bencana di Indonesia.
Prosiding. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008.Universitas
Lampung.
http://lemlit.unila.ac.id/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20P
DF/bidang%205/5-19.pdf (diakses 18 Maret 2013)

90
91

Hardianto, Aan Seftian. 2012. Evaluasi Tingkat Kerentanan Bahaya Longsor


pada Jalur Jalan Ponorogo-Trenggalek. Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
Fakultas Ilmu Sosial UM.

Hardiyatmo, Hary Christady. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Herlambang, Sudarno. 2004. Bahan Ajar Geomorfologi Dasar. Malang: Fakultas


Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UM.

Hoorn, JWV. 1962. Determining Hydraulic Conductivity with The Inverse Auger
Hole and Infiltrometer Methods. Wageningen: Agricultural University.

Kompas.com. Asep Candra 2007. Sejumlah Tebing di Lereng Wilis Longsor,


(online), (http: kompas.com/hil, diakses 27 Juli 2013).

Prahasta, Eddy. 2005. Konsep-konsep dasar sistem informasi geografis.


Bandung:Informatika

Priyono, Kuswaji Dwi. 2008. Analisis Morfometri dan Morfostruktur Lereng


Kejadian Longsor di Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjar
Negara.Surakarta. Forum Geografi

Prijono, Sugeng. 2009. Analisis Penyebab Longsoran di Kawasan Perbukitan


Malang Selatan Pagak. Malang: FP UB

Putra, Daniel Eka S. 2009. Aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografi) untuk
Identifikasi Daerah Potensi Longsor Lahan di Kecamatan Dampit
Kabupaten Malang. Skripsi S1. Malang: Fakultas Ilmu Sosial UM.

PVMBG. 2006. Pengenalan Gerakan Tanah, (Online),


(http://www.esdm.go.id/batubara/doc_download/489-pengenalan- gerakan-
tanah.html, diakses 27 September 2013).

Nandi, 2007. Longsor. Bandung: FPIPS UPI.

Sarwono, H. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: PT Malton Putra.

Sugiharyanto, dkk. 2007. Studi Kerentanan Longsor Lahan Di Kecamatan


Samigaluh Dalam Upaya Mitigasi Bencana Alam. Yogyakarta: FISE UNY

Suryantoro, Agus. 2005. Sistem Informasi Geografis. Malang: Fakultas


Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang

Susanti, Etty. 2007. Studi Tingkat Kerentanan Longsor Lahan Di Kecamatan


TegalOmbo Kabupaten Pacitan. Skripsi S1. Malang: Fakultas MIPA UM

Tika, Moh Pabundu. 2005. Metode Penelitian Geografi. Jakarta: Bumi Aksara
92

USGS. 2004. Landslide Types and Processes, (Online),


(http://pubs.usgs.gov/fs/2004/3072/fs-2004-3072.html, diakses 13 Januari
2014).

Utomo, Dwiyono H. 2006. Bahan Ajar Meteorologi Klimatologi. Malang:


Fakultas Ilmu Sosial UM.

Utomo, Dwiyono H. 2010. Bahan Ajar Geografi Tanah. Malang: Fakultas Ilmu
Sosial UM.

Varnes, Crudes. 1978. Classification Slides.(Online)


(http://step.ipgp.fr/images/8/83/02-01_Classification-Slides.pdf, diaskses
tgl 25 maret 2014)
Hasil Uji Korelasi dan Uji Regresi Linier Menggunakan SPSS 16.00
Correlations

kemiringan pelapukan kerapatan kedalaman perlapisan Permeabilitas Plastisitas tekstur penggalian penutup
kerawanan lereng rembesan batuan kekar pelapukan batuan tanah tebing lahan
Pearson kerawanan 1.000 -.015 .886 .886 .720 .924 .119 .660 .355 . .918 .794
Correlation
kemiringan lereng -.015 1.000 .248 .248 -.416 -.240 .730 .201 .647 . .053 -.113

rembesan .886 .248 1.000 1.000 .320 .645 .167 .645 .516 . .919 .881

pelapukan batuan .886 .248 1.000 1.000 .320 .645 .167 .645 .516 . .919 .881

kerapatan kekar .720 -.416 .320 .320 1.000 .930 -.080 .310 .013 . .539 .346

kedalaman
.924 -.240 .645 .645 .930 1.000 .000 .500 .210 . .791 .620
pelapukan

perlapisan batuan .119 .730 .167 .167 -.080 .000 1.000 .645 .109 . -.102 -.320

permeabilitas .660 .201 .645 .645 .310 .500 .645 1.000 -.105 . .395 .310

plastisitas .355 .647 .516 .516 .013 .210 .109 -.105 1.000 . .599 .444

tekstur tanah . . . . . . . . . 1.000 . .

penggalian tebing .918 .053 .919 .919 .539 .791 -.102 .395 .599 . 1.000 .932

penutup lahan .794 -.113 .881 .881 .346 .620 -.320 .310 .444 . .932 1.000

Sig. (1-tailed) kerawanan . .490 .023 .023 .085 .012 .424 .113 .279 .000 .014 .054

kemiringan lereng .490 . .344 .344 .243 .349 .081 .373 .119 .000 .466 .428

rembesan .023 .344 . .000 .300 .120 .394 .120 .187 .000 .014 .024
pelapukan batuan .023 .344 .000 . .300 .120 .394 .120 .187 .000 .014 .024

kerapatan kekar .085 .243 .300 .300 . .011 .449 .306 .492 .000 .174 .284

kedalaman
.012 .349 .120 .120 .011 . .500 .196 .367 .000 .056 .132
pelapukan

perlapisan batuan .424 .081 .394 .394 .449 .500 . .120 .431 .000 .435 .300

permeabilitas .113 .373 .120 .120 .306 .196 .120 . .433 .000 .255 .306

plastisitas .279 .119 .187 .187 .492 .367 .431 .433 . .000 .143 .227

tekstur tanah .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 . .000 .000

penggalian tebing .014 .466 .014 .014 .174 .056 .435 .255 .143 .000 . .011

penutup lahan .054 .428 .024 .024 .284 .132 .300 .306 .227 .000 .011 .

N kerawanan 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

kemiringan lereng 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

rembesan 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

pelapukan batuan 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

kerapatan kekar 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

kedalaman
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
pelapukan

perlapisan batuan 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

permeabilitas 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

plastisitas 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

tekstur tanah 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

penggalian tebing 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

penutup lahan 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Variables Entered/Removedb

Variables Variables
Model Entered Removed Method

1 rembesan,
kemiringan . Enter
a
lereng

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: kerawanan

Model Summary

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate
a
1 .919 .844 .687 2.99533

a. Predictors: (Constant), rembesan, kemiringan lereng

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


a
1 Regression 96.856 2 48.428 5.398 .156

Residual 17.944 2 8.972

Total 114.800 4

a. Predictors: (Constant), rembesan, kemiringan lereng

b. Dependent Variable: kerawanan

Coefficients a

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 22.673 9.635 2.353 .143

kemiringan lereng -.254 .293 -.250 -.866 .478

rembesan 9.271 2.822 .948 3.285 .081

a. Dependent Variable: kerawanan

Regression
Warnings

For models with dependent variable kerawanan, the following variables are constants or have
missing correlations: tekstur tanah. They will be deleted from the analysis.
b
Variables Entered/Removed

Variables
Model Variables Entered Removed Method

1 penutup lahan,
. Enter
penggalian tebing a

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: kerawanan

Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate

1 .934 a .872 .743 2.71360

a. Predictors: (Constant), penutup lahan, penggalian tebing

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 100.073 2 50.036 6.795 .128 a

Residual 14.727 2 7.364

Total 114.800 4

a. Predictors: (Constant), penutup lahan, penggalian tebing

b. Dependent Variable: kerawanan

Coefficients a

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 15.455 3.924 3.939 .059

penggalian tebing 8.091 4.172 1.351 1.939 .192

penutup lahan -2.182 3.273 -.464 -.667 .574

a. Dependent Variable: kerawanan

Regression

b
Variables Entered/Removed

Variables
Model Variables Entered Removed Method

1 plastisitas,
. Enter
permeabilitasa

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: kerawanan


Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate

1 .786 a .618 .236 4.68254

a. Predictors: (Constant), plastisitas, permeabilitas

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 70.948 2 35.474 1.618 .382 a

Residual 43.852 2 21.926

Total 114.800 4

a. Predictors: (Constant), plastisitas, permeabilitas

b. Dependent Variable: kerawanan

Coefficients a

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) -131.678 154.518 -.852 .484

permeabilitas 5.342 3.330 .705 1.605 .250

plastisitas 6.846 7.004 .430 .977 .431

a. Dependent Variable: kerawanan

Regression

Variables Entered/Removedb

Variables
Model Variables Entered Removed Method

1 perlapisan batuan,
kedalaman . Enter
a
pelapukan

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: kerawanan

Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate

1 .932 a .868 .736 2.75379

a. Predictors: (Constant), perlapisan batuan, kedalaman pelapukan


b
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 99.633 2 49.817 6.569 .132 a

Residual 15.167 2 7.583

Total 114.800 4

a. Predictors: (Constant), perlapisan batuan, kedalaman pelapukan

b. Dependent Variable: kerawanan

Coefficients a

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 5.167 8.852 .584 .619

kedalaman
7.000 1.947 .924 3.595 .069
pelapukan

perlapisan
1.167 2.514 .119 .464 .688
batuan

a. Dependent Variable: kerawanan

Regression

b
Variables Entered/Removed

Variables
Model Variables Entered Removed Method

1 kerapatan kekar,
. Enter
pelapukan batuan a

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: kerawanan

Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate

1 .999 a .998 .995 .37796

a. Predictors: (Constant), kerapatan kekar, pelapukan batuan

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 114.514 2 57.257 400.800 .002 a

Residual .286 2 .143

Total 114.800 4
b
ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 114.514 2 57.257 400.800 .002 a

Residual .286 2 .143

Total 114.800 4

a. Predictors: (Constant), kerapatan kekar, pelapukan batuan

b. Dependent Variable: kerawanan

Coefficients a

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 5.143 .920 5.588 .031

pelapukan batuan 7.143 .364 .730 19.612 .003

kerapatan kekar 2.286 .175 .486 13.064 .006

a. Dependent Variable: kerawanan


94

RIWAYAT HIDUP

Wilda Aulia Fathoni dilahirkan di


Madiun, 29 April 1992. Anak kedua dari
tiga bersaudara pasangan Bapak Muhyar
H.S dan Ibu Sulis Meiarni. Pendidikan SD
ditempuh pada tahun 1999-2004 di SD
Negeri Wungu Kabupaten Madiun.
Pendidikan SMP ditempuh pada tahun
2004-2007 di SMP Negeri 4 Kota Madiun.
Pendidikan SMA ditempuh pada tahun
2007-2010 di SMA Negeri 1 Geger
Kabupaten Madiun.

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT ia dapat melanjutkan pendidikannya


pada jenjang S1 Program Pendidikan Geografi, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Malang melalui jalur Seleksi SNMPTN di tahun 2010.
Semasa menjadi mahasiswa, ia turut aktif dalam kegiatan ORMAWA UM yaitu
Pengurus HMJ Geografi Bidang Kesejahteraan tahun 2011.

Motto hidup “Apapun yang kita jalani, ambil pelajaran entah itu suka ataupun
duka, dan selalu bersyukur. Hidup Adalah skenario Tuhan”

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai