I. LAPORAN CHAPTER
A. Pengertian Pedagogi Olahraga dan Eksistensinya
Keberadaan Pedagogi olahraga kini sudah cukup diakui dan diterima oleh
komunitas internasional olahraga yang dibuktikan dengan diselenggarakannya
program konferensi internasional oleh Aliance American for Health, Physical
Education, Recreation, and Dance (AAHPERD) dengan fokus kajian utamanya
adalah disiplin ilmu kurikulum dan pembelajaran. Keterkaitan antara
kurikulum dan pembelajaran dalam konteks pedagogi tersebut dapat diilustrasikan
seperti tertera pada gambar berik
Pedagogi olahraga harus dipandang dalam konteks yang luas, meliputi :
gerak (movement), badan (body), permainan (play), penampilan (performance),
kesehatan (health), dan waktu senggang (leisure time) untuk kesejahteraan hidup
manusia Haag (1994:3) dalam Suherman (2009:1), sedangkan menurut
Síedentop (1990) dalam Suherman (2009:3) mengemukakan sebagai berikut:
"sport pedagogy is the international label for the field known in the United States as
teacher education or curriculum and instruction. Sport pedagogy is the study of the
processes of teaching and coaching, of the outcomes of such endeavors, and of the
content of fitness, physical education, and sport programs." "pedagogi olahraga
merupakan label internasional untuk bidang yang dikenal di Amerika Serikat sebagai
pendidikan guru atau kurikulum dan pengajaran pedagogi olahraga adalah studi tentang
proses pengajaran dan pelatihan, dari hasil dari usaha-usaha tersebut, dan isi kebugaran,
pendidikan jasmani, dan program olahraga.
B. Pendidikan Jasmani
"Pendidikan jasmani yang meпuju keselarasan antara tumbuhnya badan dan per-
kembangan jiwa dan merupakan usaha untuk membuat bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang sehat lahir batin, diberikan pada seluruh jenjang pendidikan".
Defınisi yang relatif sama, juga dikemukakan oleh Pangrazi dan Dauer
(1992) sebagai berikut, "Physical education is a part of the general educational
program that contributes, primarily through movement experiences, to the total
growth and development of all children. Physical education is defined as education
of and through movement, and must be conducted in a manner that merits this
meaning". Apabila definisi pendídikan jasmani ini dielaborasi dan dikaitkan
dengan kurikulum pendidikan jasmani yang berlaku di Indonesia dewasa íní
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/ KTSP), penulis mengilustrasikannya seperti
dalam gambar berikut ini.
Gambar 1.2
Ilustrasi Penjabaran Difinisi Penjas Dalam PBM
Defnisi pendidikan jasmani di pandang secara holistik ini mendapat
dukungan dari para ahli pendidikan jasmani lainnya. Misalnya, Siedentop
(1990) mengemukakan, "Modern physical education with its emphasis upon
education through the physical is based upon the biologic unity of mind and body.
This view sees life as a totality". Wall dan Murray (1994) mengemukakan hal
serupa dań objek yang lebih spesifik, "Children are complex beings whose
thoughts, feelings, and actions are constantly in a state of flux. Because of the
dynamic nature of children as they grow and mature, change in one element often
affects the others. Thus, it is a 'whole' child whom we must educate, not merely the
physical or bodily aspect of the child..
F. Keberhasilan Program
Salah satu definisi keberhasilan mengajar yang dapat kita jadikan rujukan
dikemukakan oleh Graham (1992). la mengemukakan bahwa defınisi keberhasilan
mengajar tidak hanya sekedar memelihara siswa aktif berolahraga, senang, dan segar
pada saat dan setelah melakukan pengajaran.
1. Targer pada Siswa
Komponen keberhasilan mengajar yang paling pokok adalah siswa itu sendiri.
Apabila guru berikut program yang diberikannya berhasil, maka hal ini akan
tercermin pada pencapaian target siswa. Apa yang dimaksud target siswa? Istilah mi
dalam kurikulum KTSP setara dengan istilah komptetensi. Dengan demiklan target
siswa sangat beragam yang meliputi a) target lulusan yang sering disebut standar
kompetensi lulusan (SKL) baik per satuan pendidikan maupun per satuan
pelajaran, b) target semesteran dan tahunan yang sering disebut Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD), dan c) target silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Salah satu contoh pernyataan target siswa dan dalam negeri yang berlaku di
Indonesia adalah Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran pendidikan
jasmani sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang
standar kompetensi lulusan yang isinya adalah sebagai berikut.
Tabel 1.2
Faktor-Faktor Keberhasilan Program Pengajaran Penjas di Sekolah
Sehubungan dengan itu, ada baiknya kita menyimak kata-kata orang yang sam
seperti diatas sebagai berikut: “This does not suggest that teaching car or should be
viewed as a mechanistic enterprise. Nor does it suggest that there is no room in
effective teaching for personal style, inventiveness,or intuition. Efftive teachers
artistically orchestrate a set of highly developed skill to meet the specific demands of
a learning setting”, Dalam bahsa indonesia., peryataan itu mungkin dapat diartikan
sebagai brekut,”Hal ini tidak memberi kesan bahwa mengajar dapat atau seharusnya
dipandang sebagai sebuah usaha mekanis. Dalam mengajar yang efektif tidak ada
tempat bagi gaya mengajar yang bersifat individual, temuan sepintas lalu, dan intuisi.
Guru-guru yang efektif secara artistik menyusun sejumlah keteramplilan yang
dikembangkan secara mapan untuk memenuhi kehbutuhan-kebutuhan khusus dari
lingkungan pembelajranya”.
Untuk lebih jelasnya keterkaitan pedagogi olahraga dengan proses belajar
mengajar, dapat dilihat pada gambar 1.4 berikut ini:
Sementara itu Siedentop (1990) memandang beberapa bidang garapan pedagogi
olahraga dań sudut praktis melalui pandangan para pendidik pendidikan jasmani
baik yang terlibat langsung sebagai pengajar pendidikan jasmani di sekolah-sekolah
maupun yang terlibat sebagai pendidik di pergunuan tinggi yang menghasilkan
calon guru yang akan mengajar pendidikan jasmani, sebagai berikut:
Tabel
Bidang Garapan Praktis Pedagogi Olahraga Dalam Konteks Proses Belajar Mengajar
Bidang garapan Pertanyaan yang sering diaju
Perilaku guru -Jenis feedback apa yang diberikan oleh para guru
-Apakah perilaku guru mengajar di SD berbeda dengan
Guru di SMP atau SMU?
-Berapa lama waktu yang dihabiskan guru dalam berbagai
jenis aktivitas mengajar.
-Apa perbedaan perilaku mengajar dan melatih
Perilaku siswa
- metode mengajar apa yang paling efektif?
- Apakah siswa menyenangi danmenghargai
pendidikan j asmani?
- bagaimana siswa menghabiskan waktunya
dalaro pelajaran pendidikan jasmani?
- berapa banyak kesempatan belajar yang
baik diperoleh kelompok siswa pintar dan
kurang?
- bagaimana siswa berperilaku selarna
pelajaran Penjas?
apa perbedaan guru dan pelatih yang efektif dan
tidak efektif?
- metode mengajar apa yang paling efektif?
- bagaimana guru pemula mengatasi masalah
yang muncul
Efektivitas guru
- dalaro mengajar Penjas pada tabun-tahun
pertanra?
- karakteristik apa yang membuat guru dan
pelatih menjadi
- lebih efektif?
- karakteristik apa yang membuat guru dan
pelatih menjadi
- masalah apa yang muncul pada guru yang
selaln mengajar
Masala-masalah
- juga melatíh?
guru
- bagaimana guru mengatasi kelephan mengaj
arnya
- tujuan-tujuan apa yang diharapkan oleh
gurunya terhada anak didiknya?
Kurikulum - bagaimana idealnya kurikulum Pendidikan
Jasmani9
-kenpa orang berpartisípasí dalaro Penjas?
-tujuan apa yang diperoleh guru dan mengajarnya?
-bagaimana sebaiknya fitness diprogramkan?
-basil apa yang diperoleh dan youth-sport programs?
Beberapa Penelítian di Bidang Pedagogi Olabraga
Meskipun Pedagogi Olahraga adalah bidang ilmu yang paling muda usianya
dibanding ilmu-ilmu lain yang berada dalam naungan Sport Science seperti: sport
psychology, sport sociology, kinesiology, motor learning, exercise physiology, dan
sport humanities (Síedentop, 1990), namun perkembangannya sangat pesat sekali.
Penemuan-penemuan yang merupakan basil dan penelitian-penelitian baik
yang bersifat deskriptif, eksperimen, maupun kualitatif telah memberikan
banyak sumbangan terhadap perkembangan disiplin tersebut.
Diantara banyak penelitian yang dilakukan dalam lingkup Pedagogi Olahraga,
beberapa diantaranya sebagai berikut. Anderson dan Baretta (1978) mengungkap
tentang aktivitas guru dan siswa dalam PBM Pendidikan Jasmani di sekolah-
sekolah, "What's going on in the gym". Síedentop, Tousignant, dan Parker (1982)
meneliti tentang Academic Learning Time-Physical Education (ALT-PE).
Zakrajsek, Darst, dan Mancini (1989) mengembangkan instrumen-instromen
observasi untuk keperluan penelitian dalam PBM Pendidikan Jasmani yang sampai
sekarang instrumen tersebut. Janmma, French, dan Horvak (1984); McKenzie dan
Wurzer (1988) meneliti tentang penggunaan teknik-teknik seperti: time out, behavior
games, dan contingency contracting secara teratur terhadap siswanya dalam rangka
mengembangkan manajemen dan disiplin siswa. Luke (1989) meneliti model pengajaran
Penjas yang memfokuskan pada manajemen kelas dan disiplin siswa. Canter (1976),
Sander (1989), dan Hí11(1990), mengembangkan model manajemen kelas dan
pembinaan disiplin assertif dalam PBM Pendidikan Jasmani yang sering disebut
sebagai model "Canters' Assertive Discipline". Penelitian untuk mengembangkan
aspek yang sama seperti di atas juga dilakukan oleh Siedentop (1994) dengan
istilah "sport education" dan Hellison (1995) dengan istilah "teaching
responsibility through physical activity" melalui penerapan konsep "levels of affective
development". Modelmodel pengajaran pendidikan jasmani seperti itu, sekarang
ini banyak digunakan di sekolah-sekolah dalam PBM Penjas di Amerika karena bisa
diterapkan (Graham, 1992.)
II. PEMBAHASAN DAN CROSCEK
Temuan yang diperoleh tersebut adalah, bahwa Kurikulum yang ada serba perilaku
motorik, tidak memasukkan unsur kognitif-reflektif, socio-motor dan afektif dalam ruang
lingkupnya; Terlalu melingkupi, seolah-olah semua materi “memungkinkan” untuk
diimplementasikan di sekolah tanpa memperhatikan kondisi dan kemampuan sekolah;
Berorientasi pada model kurikulum yang menekankan penguasaan teknik dasar dan
keterampilan olahraga. Dari segi pelaksanaan dapat ditemukan beberapa hal sebagai
berikut: Tidak terlihat adanya pengayaan pendekatan, gaya, metode, model serta strategi
pembelajaran; Penjas terperangkap oleh paradigma dan orientasi tunggal “Pembinaan Usia
Dini Pelatihan Olahraga;”Guru Penjas tidak lagi santun, tetapi lebih berwajah keras dan
relatif penuh “hardikan;”Proses belajar tidak lagi bersifat pengasuhan dan tugas ajar tidak
lagi berasas pada praktik pengembangan yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik atau developmentally appropriate practise (DAP) .
Jika kita berkaca pada perspektif sejarah, maka dapat dimaklumi bahwa kualitas
penjas di Indonesia dapat menjelma menjadi bentuknya yang sekarang. Menginterpretasikan
konteks sejarah perkembangan penjas dan olahraga nasional kita, dapat diduga bahwa telah
terjadi perubahan paradigma Penjas di masa lalu, yang terjadi pada tahun 60-an. Kala itu,
para founding fathers bangsa kita mencoba memanfaatkan olahraga sebagai alat strategis
dan sekaligus politis untuk keluar dari rasa rendah diri kolektif sebagai bangsa yang baru
merdeka setelah sekian abad terjajah dan terbodohkan secara sistematis. Keyakinan yang
berkembang adalah bahwa olahraga dapat menjadi bukti bahwa bangsa kita memiliki
potensi dan kemampuan yang sama dengan bangsa lain, yang ditunjukkan melalui bisa
berkiprahnya bangsa Indonesia dalam berbagai event olahraga regional dan internasional.
Dengan paradigma yang salah tersebut, program olahraga dalam pembelajaran pendidikan
jasmani lebih menekankan pada harapan agar program tersebut berakhir pada terpetiknya
manfaat pembibitan usia dini. Alasannya cukup jelas, karena landasan untuk mencetak
olahragawan unggul di kompetisi tingkat internasional merupakan satu-satunya alur pikir
yang sejalan dengan semangat revolusi besar Bung Karno. Pendeknya, penggunaan
olahraga di sekolah bukanlah dipandang sebagai alat pedagogis, melainkan lebih dihargai
sebagai alat sosialisasi olahraga kepada peserta didik.
Sebagai konsekuensinya, ruang lingkup pendidikan jasmani menjadi menyempit;
seolaholah terbatas pada program memperkenalkan anak pada cabang-cabang olahraga
formal, seperti olahraga permainan, senam, atletik, renang, serta beladiri. Akibat
lanjutannya, aktivitas jasmani yang tidak termasuk ke dalam kelompok olahraga (sport)
mulai menghilang, seperti tarian, gerak-gerak dasar fundamental, serta berbagai permainan
sederhana yang sering dikelompokkan sebagai low-organized games.
Dalam lingkup mikro pembelajaran, terjadi juga pergeseran cara dan gaya mengajar
guru, yaitu dari cara dan model pengasuhan serta pengembangan nilai-nilai yang diperlukan
sebagai penanaman rasa cinta gerak dalam ajang sosialisasi, berubah menjadi pola
penggemblengan fisik dan menjadikan anak terampil berolahraga. Umumnya, guru lebih
berkonsentrasi pada pengajaran teknik dasar dari cabang olahraga yang diajarkan
(pendekatan teknis), sambil melupakan pentingnya mengangkat suasana bermain yang bisa
menarik minat mayoritas anak (Light, 2004). Wajar jika guru melupakan anggapan dasar
bahwa penjas adalah untuk semua anak (Dauer and Pangrazy, 12th Ed. 2003), sehingga
tidak benar-benar dilandaskan pada prinsip pemberian tugas yang disesuaikan dengan
kemampuan anak atau DAP.
Hal lain yang juga turut terimbas oleh paradigma tadi adalah menghilangnya
suasana
pedagogis dalam pembelajaran Penjas. Penjas yang seharusnya menjadi wahana yang
strategis untuk mengembangkan self esteem (kepercayaan diri) anak, pada gilirannya justru
berubah menjadi ‘ladang pembantaian’ kepercayaan diri anak. Banyak bukti yang
mendukung alur pemikiran demikian, terutama ketika hakikat tentang bagaimana anak
belajar dalam psikologi belajar modern sudah semakin diyakini kebenarannya. Ketika guru
menggeser pola pembelajaran menjadi pola pelatihan, maka tugas gerak dan ukuran-ukuran
keberhasilannya pun bergeser menjadi keterampilan dengan kriteria yang formal, kaku, dan
tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Dalam kondisi tersebut, guru
hanya menetapkan satu kriteria keberhasilan, yaitu ketika gerakan yang dilakukan anak
sesuai dengan kaidah-kaidah teknik dasar yang sudah dibakukan. Hanya sedikit anak yang
biasanya mampu menguasai keterampilan dengan kriteria tersebut, sehingga anak yang lain
masuk ke dalam kelompok yang gagal. Akibatnya, dalam banyak proses pembelajaran, anak
akan lebih banyak merasakan pengalaman gagal daripada pengalaman berhasil (feeling of
success). Secara tidak disadari, profil guru Penjas pun berubah dari yang semula santun dan
bersifat mengasuh, bergeser menjadi profil keras dan angker serta menyepelekan
kepribadian anak (Mahendra, 2006). Banyak guru yang percaya bahwa pembelajaran
olahraga harus berlangsung dalam suasana keras, bahkan cenderung kasar, karena diyakini
termasuk upaya mendidik karakter yang kuat dan teguh. Celakanya, muncul pula
kecenderungan guru dalam memberi atribut atau julukan yang negatif pada anak dikaitkan
dengan kelemahan anak dalam hal gerak atau dengan kondisi fisik anak itu sendiri. Tidak
jarang, misalnya, guru menyebut anak dengan panggilan yang kurang pantas atau sebutan
lain yang jauh dari ‘membangkitkan’ self esteem.
Berdasarkan berbagai pernasalahan yang telah diuraikan di atas, maka upaya apa
dengan harapan dapat mengakomodir kepentingan peserta didik yang sesuai dengan
kebutuhan pertumbuhan dan perkembangannya, agar tujuan dari proses pembelajaran
pendidikan jasmani dapat memberikan pengalaman gerak yang sesuai (DAP) untuk
peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Berdasarkan study literatur yang
dilakukan oleh penulis adanya kesesuaian terhadap permasalahan dengan yang terjadi
melalui konsep yang akan dibahas berikut.
Keberadaan Pedagogi olahraga kini sudah cukup diakui dan diterima oleh
komunitas internasional olahraga yang dibuktikan dengan diselenggarakannya
program konferensi internasional oleh Aliance American for Health, Physical
Education, Recreation, and Dance (AAHPERD) dengan fokus kajian utamanya
adalah disiplin ilmu kurikulum dan pembelajaran. Keterkaitan antara
kurikulum dan pembelajaran dalam konteks pedagogi tersebut dapat diilustrasikan
seperti tertera pada gambar berikut
Pedagogi olahraga harus dipandang dalam konteks yang luas, meliputi :
gerak (movement), badan (body), permainan (play), penampilan (performance),
kesehatan (health), dan waktu senggang (leisure time) untuk kesejahteraan hidup
manusia Haag (1994:3) dalam Suherman (2009:1), sedangkan menurut
Síedentop (1990) dalam Suherman (2009:3) mengemukakan sebagai berikut:
"sport pedagogy is the international label for the field known in the United States as
teacher education or curriculum and instruction. Sport pedagogy is the study of the
processes of teaching and coaching, of the outcomes of such endeavors, and of the
content of fitness, physical education, and sport programs." "pedagogi olahraga
merupakan label internasional untuk bidang yang dikenal di Amerika Serikat sebagai
pendidikan guru atau kurikulum dan pengajaran pedagogi olahraga adalah studi tentang
proses pengajaran dan pelatihan, dari hasil dari usaha-usaha tersebut, dan isi kebugaran,
pendidikan jasmani, dan program olahraga.
III. KESIMPULAN
Pedagogi olahraga harus dipandang dalam konteks yang luas, meliputi :
gerak (movement), badan (body), permainan (play), penampilan (performance),
kesehatan (health), dan waktu senggang (leisure time) unruk kesejahteraan
manusia.
DAFTAR PUSTAKA