DIVERSITAS
DIVERSITAS
Oleh :
NIM Nama
1204357 MUHARDI
5/17/2013
w w w . m u h a r d i . c o m P a g e | 247
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan dan semua produk dari kelompok orang
tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnnya. Produk itu berasal dari
interaksi antarkelompok orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun. Kelompok
kultural dapat sebesar Amerika Serikat atau sekecil suku Amazon yang terasing Berapapun
besarnya, kultur kelompok itu akan mempengaruhi perilaku anggotanya.
Psikolog Donald Campbell dan rekannya menemukan bahwa orang-orang di semua
kultur cenderung :
1. Percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah sesuatu yang alami dan
benar dan apa yang terjadi di dalam kultur lain adalah tidak benar.
2. Menganggap bahwa kebiasaan cultural mereka adalah valid secara universal
3. Perilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kulturalnya
4. Merasa bangga dengan kelompok kulturalnya
5. Bermusuhan terhadap kelompok cultural lain
Para psikolog dan pendidik mempelajari kultur sering kali tertarik untuk
membandingkan apa yang terjadi dalam satu kultur dengan apa yang terjadi dalam satu
atau beberapa kultur lain. Studi lintas cultural menyediakan perbandingan, informasi tentang
seberapa jauh orang itu sama dan seberapa jauh perilaku tertentu adalah perilaku khusus
dari suatu kultur.
Perbandingn murid Amerika dengan murid Cina, Jepang dan Taiwan telah
mengungkapkan bahwa murid Amerika cenderung mengerjakan tugas mereka secara lebih
independen, sedangkan murid-murid Asia cenderung bekerja dalam kelompok. Perbedaan
dalam kultur ini dideskripsikan dengan dua istilah : individualism dan kolektivisme.
Individualisme adalah seperangkat nilai yang mengutamakan tujuan personal di atas tujuan
kelompok. Nilai-nilai individualis mencakup perasaan senang, keunikan personal, dan
independensi atau kemandiriaan. Kolektivisme adalah seperangkat nilai yang mendukung
kelompok. Tujuan kelompok digunakan untuk menjaga integritas kelompok, interdependensi
anggota kelompok, dan keharmonisan hubungan. Banyak kultur barat seperti AS, Kanada,
Inggris dan Belanda dideskripsikan sebagai individualistis. Banyak kultur timur seperti Cina,
Jepang, India, dan Thailand disebut kolektivistik. Kultur meksiko lebih kuat ciri
kolektivistiknya dibandingkan kultur AS. Namun, kultur AS mengandung banyak subkultur
kolektivistik, seperti Amerika-Cina, Amerika Meksiko.
Kebanyakan negara punya subkultur. Salah satu cara paling lazim utuk
mengkategorikan subkultur adalah memakai status sosioekonomi. Status sosioekonomi
(socioeconomic status – SES) adalah kelompok orang berdasarkan karakteristik ekonomi,
individual dan pekerjaannya. Di AS, sebagian besar perhatian diarahkan pada perbedaan
antara SES bawah dan menengah dan persistensi kemiskinan. Status sosioekonomi
mengandung banyak kesenjangan tertentu. Individu dari status sosioekonomi bawah sering
kali kurang pendidikannya, kurang kuat untuk mempengaruhi insititusi masyarakat (seperti
sekolah) dan hanya punya sedikit sumber daya ekonomi.
C. Etnis
Kata ethnic berasal dari kata Yunani yang berarti "bangsa". Etnisitas (etnicity) adalah
pola umum karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa.
Setiap orang adalah anggota dari satu atau lebih kelompok etnis. Relasi antar- orang yang
berbeda etnis, bukan hanya di Amerika tetapi di seluruh dunia, sering kali dipenuhi dengan
bias dan konflik.
Bagaimana etnis berbeda dari ras? Istilah race (ras), yang kini didiskreditkan sebagai
konsep biologis, adalah klasifikasi orang atau makhluk hidup lainnya berdasarkan
karakteristik psikologis tertentu. Istilah ini tidak pernah memuaskan untuk mendeskripsikan
orang dalam pengertian ilmiah sebab manusia sangat beragam sehingga tidak bisa dikotak-
kotakkan secara ketat dalam kategori rasial. Jadi, ras tak lagi diakui sebagai konsep ilmiah
yang autentik. Kata ras telah dipakai secara longgar untuk segala sesuatu mulai dari adat,
agama, sampai warna kulit. Seorang psikolog sosial, James Jones (1994, 1997) menunjukkan
bahwa pemikiran dari segi ras telah melekat di setiap kultur. Dia mengatakan orang sering
"menstereotipkan" orang lain berdasarkan alasan ras, dan secara keliru mengklasifikasikan
mereka sebagai ras yang kurang atau lebih cerdas, kompeten, bertanggung jawab, atau
kurang bisa diterima secara sosial. Meskipun istilah ras masih dipakai dalam kosakata di
Amerika, kita di sini akan memakai istilah etnis atau etnisitas.
Perubahan dalam lapisan kultur Amerika yang paling mencolok adalah perubahan
keseimbangan etnis di antara warga Amerika (Garcia Coll & Pachter, 2002; Suarez-Orozco,
2002). Pada awal abad ke-21, sepertiga dari anak usia sekolah kini bisa dikatakan masuk
dalam kategori anak "Kulit Berwarna" (terutama anak dari kalangan Afrika-Amerika, Latino,
Asia Amerika, dan Suku Asli Amerika). Sampai 2025 diperkirakan porsi ini akan mencapai
setengah. Perubahan demografis ini tak hanya akan memunculkan keragaman, tetapi juga
menimbulkan kesulitan bagi semua individu dari kelompok etnis untuk menggapai impiannya
(Chun & Akutsu, 2002; Phinney, 2002). Secara historis, orang Kulit Berwarna berada di
urutan terbawah dalam strata sosial dan ekonomi. Mereka kebanyakan adalah orang miskin
dan kurang terdidik (Edelman, 1997).
Poin penting tentang kelompok etnis adalah kelompok ini beragam (Hall & Okazaki 2002;
Pang, 2001; Pang & Cheng, 1998). Ada banyak contohnya : orang Meksiko, Amerika dan
Kuba-Amerika adalah dari Latino, tetapi mereka punya alasan berbeda dalam bermigrasi ke
AS, mereka berasal dari latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda, dan menemui tingkat
kesulitan yang berbeda-beda dalam mencari pekerjaan di AS. Individu yang lahir di Puerto
Rico berbeda dengan orang Latino yang telah berimigrasi ke AS dan orang Latino yang lahir
di AS. Kelompok yang disebut terakhir ini, karenanya, tidak bisa disebut imigran karena
sudah menjadi warga AS. Pemerintah AS baru-baru ini mengakui 511 suku asli Amerika,
masing-masing punya latar belakang dan nilai budaya yang unik dan berbeda. Orang-orang
Asia-Amerika terdiri dari orang Cina, Jepang, Filipina, Korea, dari Asia Tenggara, dan masing-
masing kelompok memiliki bahasa dan budaya yang berbeda. Diversitas orang Asia-Amerika
tercermin dalam pencapaian pendidikan mereka. Beberapa diantaranya mencapai tingkat
pendidikan tinggi, dan ada juga yang hanya mendapatkan sedikit pendidikan (Park, 2002).
Misalnya, 90% dari pria Korea-Amerika lulus dari SMA, namun hanya 71 persen dari pria
Vietnam-Amerika yang lulus SMA.
D. Pengertian Multikulturalisme
E. Pendidikan Multikulturalisme
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika
Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan
tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan
agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta
didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan
multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara
mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
1[1] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 75
2[2] Dody S. Taruna, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Kementrian
Agama RI, 2010, hlm. 65
3[3] Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), Ke-5, hlm. 15-17
Matakuliah : Psikologi Pendidikan dan Pembelajaran|Materi 14 | Oleh : 1204357_Muhardi
w w w . m u h a r d i . c o m P a g e | 250
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas
adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas
bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman
pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan
sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk
mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya
pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis,
suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat
urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi
dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah
negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya
memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan
“pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya
berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya
kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam
kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari
pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi
kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus
streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik.
Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif
terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak
bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas
pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu, cukup
proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam
mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa,
dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan
berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku
bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan
positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan
secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka
bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
Pendidikan multikultural itu memiliki banyak definisi atau pendapat dari berbagai ahli. Menurut
Andersen dan Cusher (1994:320) pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan
mengenai keragaman kebudayaan.4[4] Kemudian James Banks (1993:3) mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.5[5] Artinya pendidikan
hubungan islam tradisional dan islam modernis dengan berbagai organisasinya yang
mengalami pasang surut, hubungan antar umat beragama, khususnya ketika muncul
masalah yang menyangkut penyebaran agama pada saat itu
Penggunaaan perspektif multikulturalisme dalam kajian pendidikan multikulturalisme
di Indonesia perlu memperhatikan konteks keindonesiaan serta karakteristik dari setiap
kasus yang terjadi. Konteks keindonesiaan inilah yang membedakan antara Indonesia
dengan kasus-kasus negara lain, karena akan memberikan nuansa lokalitas Indonesia yang
amat diperukan untuk memahami kasus-kasus tersebut. Pemahaman terhadap kasus per
kasus dengan segala karakteristik yang melingkupinya akan mengantarkan kepada
rekomendasi-rekomendasi yang dapat dirumuskan secara bijak bagi penyelesaian persoalan-
persoalan relasi antar budaya dan antar umat beragama di Indonesia.
Dalam pendidikan multikulturalisme juga menggunakan konsep yang terdapat pada
semboyan negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap
satu jua. Negara Indonesia yang memiliki berbagai suku, ras, agama, bahasa, dan
kebudayaan seharusnya dapat disatukan dengan menerapkan semboyan negara kita, namun
kenyataannya berbeda, masih banyak penduduk Indonesia yang bertikai karena masalah
suku, ras, agama, dan kebudayaan. Jadi, disamping menerapkan semboyan tersebut, upaya
untuk menyelesaikan masalah yang melanda negeri ini adalah dengan menggunakan
konsep-konsep kearifan lokal yang banyak di temuan di berbagai kelompok masyarakat
Indonesia dan rujukan-rujukan teoritis yang di dasarkan pada kasus-kasus lokal Indonesia.
Menurut Tilaar bahwa untuk merekonstruksi konsep pendidikan multikultural, ia
menegaskan tiga lapis diskursus yang berkaitan, yaitu:10[10]
1. Masalah kebudayaan. Dalam hal ini terkait masalah-masalah mengenai identitas budaya
suatu kelompok masyarakat atau suku. Bagaimana hubungan antara kebudayaan dengan
kekuasaan dalam masyarakat sehubung dengan konsep kesetaraan di masyarakat.
Apakah kelompok-kelompok dalam masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang
sama dalam kesempatan mengekspresikan identitasnya di masyarakat.
2. Kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan pola-pola kelakuan yang hidup di dalam suatu
masyarakat.
3. Kegiatan atau kemajuan tertentu ( achievement) dari kelompok-kelompok dalam
masyarakat yang merupakan identitas yang melekat pada kelompok tersebut.
Dalam hal ini Tilaar menegaskan bahwa dalam praksis pendidikan, praktik-praktik
kebudayaan yang dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat itu lebih penting dari pada
sekedar pengembangan wacana mengenai masalah kebudayaan. Praktik-praktik tersebut
kemudian diamati apakah ada prestasi yang menonjol yang dimiliki atau ditunjukkan oleh
suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan
bermasyarakat yang tidak menimbulkan prasangka yang negatif dari kelompok lain atas
prestasi dari kelompok tersebut.
Selain itu, Tilaar juga menguraikan persoalan-persoalan dasar untuk membangun
konsep pendidikan multikultural. Persoalan-persoalan dasar tersebut, antara lain:11[11]
1. Konsep yang jelas mengenai kebudayaan, misalnya tentang kebudayaan nasional.
2. Peranana pendidikan dalam membentuk identitas budaya dan identitas bangsa.
10[10] H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 207
11[11] Ibid., hlm. 207-208
Matakuliah : Psikologi Pendidikan dan Pembelajaran|Materi 14 | Oleh : 1204357_Muhardi
w w w . m u h a r d i . c o m P a g e | 254
Jadi, pada intinya konsep pendidikan multikultural merupakan respon atas ancaman
disintegrasi bangsa dan dominasi sekelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya yang
dipicu oleh keragaman budaya (multikultur).
Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung
menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan agama
berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu
yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena itu,
sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan
integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda
tentang hakikat manusia. Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan
timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi pada
taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga
pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa
paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang
hidupnya melaksanakan pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh
dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus
bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas,
rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita
masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang
menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang
utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir-
akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi,
korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi
pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan
perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah
bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan
lainnya.
2. Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai
gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan
mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-
masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan
pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini,
adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada
pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata.
Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari
ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik
berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan
multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan,
heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
3. Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan
yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan
semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang
sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner,
kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal
linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang,
kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait
dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi,
jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
4. Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis
kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun karakter
siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.
Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan
awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar
tujuan akhirnya tercapai dengan baik.
Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana
pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu
I. Memberdayakan Murid
baik itu murid Kulit Putih dan Kulit Berwarna akan mengembangkan beragam perspektif
dalam kurikulumnya.
Sonia Nieto (1992), seorang keturunan Puerto Rico yang besar di New York City,,
percaya bahwa pendidikannya membuatnya merasa latar belakang kulturalnya kelihatan agar
buruk. Dia memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Kurikulum sekolah harus jelas antirasis dan antidiskriminasi. Murid harus bebas
mendiskusikan isu etnis dan diskriminasi.
2. Pendidikan multikultural harus menjadi bagian dari setiap pendidikan murid. Semua
murid harus menjadi bilingual dan mempelajari perspektif kultural yang berbeda-beda.
Pendidikan multikultural harus direfleksikan dimana saja, termasuk di majalah dinding
sekolah, ruang makan siang, dan pertemuan-pertemuan.
3. Murid harus dilatih untuk lebih sadar budaya (kultur). Ini berarti mengajak murid untuk
lebih terampil dalam menganalisis kultur dan lebih menyadari faktor historis, sosial dan
politik yang membentuk pandangan mereka tentang kultur dan etnis. Harapannya
adalah agar kajian kritis itu akan memotivasi murid untuk mengupayakan keadilan politik
dan ekonomi.
Pengajaran yang relevan secara kultural adalah aspek penting dari pendidikan
multicultural (Gay, 2000; Irvine & Armento, 2001). Pengajaran ini dimaksudkan untuk
menjalin hubungan dengan latar belakang kultural dari pelajar (Pang, 2001). Mari kita ambil
contoh mata pelajaran sejarah dan melihat bagaimana seorang guru membuat mata
pelajaran ini relevan secara kultural.
Gender
Sebuah sajak terkenal abad ke-19 karya J.O. Halliwell bunyinya seperti ini:
Dari apakah anak lelaki diciptakan?
Kodok dan siput dan ekor anjing kecil.
Dari apakah gadis kecil diciptakan?
Gula dan rempah dan semua hal yang manis-manis.
Apa makna tersirat dari sajak itu? Apakah valid? Isu perbedaan gender riil dan perbedaan
gender yang diasumsikan bisa menjadi hal penting untuk pengajaran yang efektif.
Gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Istilah
gender dibedakan dari istilah jenis kelamin ( seks). Seks berhubungan dengan dimensi
biologis dari pria dan wanita. Peran gender (gender role) adalah ekspektasi sosial yang
merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berpikir, merasa, dan berbuat.
Apa perbedaan riil antara anak lelaki dan perempuan? Sebelum kita mencoba
menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas problem stereotip gender.
Stereotip Gender. Stereotip gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan
dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk pria dan wanita. Semua stereotip, entah itu
berhubungan dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari anggota
kategori tersebut. Banyak stereotip bersifat umum sehingga menjadi ambigu. Misalkan
kategori "maskulin" dan "feminin". Perilaku yang berbeda dapat dikaitkan pada masing-
masing kategori seperti berkelahi dan memelihara jenggot untuk "maskulin" dan main
boneka dan mengenakan lipstick untuk “feminin". Akan tetapi, perilaku dalam kategori ini
dapat dimodifikasi oleh perubahan kultural. Dulu otot yang besar dianggap sebagai ciri
maskulin; tetapi pada waktu yang lain tubuh yang kurus dan tinggi dianggap sebagai tubuh
maskulin. Begitu pula pada suatu waktu tertentu di masa lalu, tubuh feminin yang ideal
adalah gemuk dan bulat. Sekarang, tubuh ideal adalah ramping dan atletis. Pada awal abad
ke-20, ketergantungan dianggap sebagai bagian dari aspek feminism sedangkan dewasa ini
penekanannya diarahkan pada sensitivitas perempuan terhadap orang lain dalam suatu
hubungan. Perilaku yang dianggap umum yang merefleksikan suatu kategori juga dapat
berfluktuasi menurut lingkungan sosial-konomi. Misalnya, individu dari kalangan kelas bawah
dianggap bercitra yang kasar.
Memberi cap stereotip sebagai "maskulin" dan "feminin" pada murid dapat
menimbulkan konsekuensi signifikan (Kite, 2001). Mencap lelaki sebagai "feminin" atau
perempuan sebagai "maskulin" dapat menghilangkan status sosial dan penerimaan mereka
dalam kelompok.
Stereotip gender berubah secara developmental. Keyakinan stereotip terhadap
gender mulai mengakar pada masa kanak-kanak awal, bertambah pada masa SD, dan
kemudian menurun pada akhir SD (Bigler, Liben & Yekel, 1992). Pada masa remaja awal,
stereotip gender mungkin naik lagi. Saat tubuh mereka berubah dramatis pada masa puber,
anak lelaki dan perempuan sering bingung dan gelisah atas apa yang terjadi pada diri
mereka. Strategi aman untuk anak lelaki adalah menjadi lelaki sebaik mungkin (yakni,
"maskulin") dan strategi aman untuk gadis adalah menjadi perempuan sebaik mungkin
(yakni "feminin"). Jadi, intensifikasi gender yang diciptakan oleh perubahan pubertas dapat
menimbulkan stereotip yang lebih besar di masa remaja (Galambos, dkk., 1985).
Stereotip sering kali negatif dan dapat diselubungi prasangka dan diskriminasi.
Sexisme (sexism) adalah prasangka dan diskriminasi terhadap individu karena jenis kelamin
seseorang. Seseorang yang mengatakan bahwa wanita tak bisa menjadi insinyur yang
kompeten sama artinya orang itu menyatakan sexisme. Demikian seseorang
mengekspresikan sexisme apabila ia mengatakan bahwa laki-laki tidak akan bisa menjadi
guru taman kanak-kanak yang kompeten. Nanti kita akan mendeskripsikan beberapa strategi
untuk menciptakan kelas yang non-sexist.
Pelajaran yang "tidak biasa" ( exceptional) adalah anak-anak yang memiliki gangguan
atau ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat. Kita akan mendiskusikan
kedua jenis anak luar biasa ini, tetapi di sini kita akan lebih fokus pada jenis anak yang
memiliki kekurangan kemampuan.
Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya
pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan ( method and
approaches) yang beragam. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan
multikultural adalah sebagai berikut:15[15]
1. Metode Kontribusi
Dalam penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan
mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih
buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama. Mengapresiasikan even-even bidang
keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa
melibatkan pembelajar didalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa
ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik
sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi
secara mendalam.
Namun metode ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan
perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah
subjek inti.
2. Metode Pengayaan
Materi pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum
tanpa harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur
dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini,
misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian
mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah
pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain.
Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontributif, yakni materi
yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream.
Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3. Metode Transformatif
Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini
memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik
dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-
kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar
tentang sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk
memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya,
membahas konsep “makanan halal” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi
menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar mengolah
pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4. Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata
dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial.
Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga
melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.
Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan memahami
dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah
sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar
berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan
membantu mereka mendapatkan sense kesadaran dan kemujaraban berpolitik.
N. Kesimpulan
Multikultural adalah suatu hal yang berkaitan dengan berbagai keanekaragaman yang ada di
dalam masyarakat, seperti suku, ras, agama, bahasa, adat, dan kebudayaan. Selan itu,
multikultural juga menyangkut beberapa hal, seperti politik, demokrasi, keadilan,
penegakkan hukum, kesetaraan, kesamaan kesempatan kerja, berusaha, berprestasi, hak
asasi manusia (HAM), hak budaya golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral,
tingkat dan mutu produktifitas, serta berbagai konsep lainnya yang relevan.
Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan
transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan
praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Selain itu dengan pendidkan
multikultural segala bentuk penindasan terhadap kebudayaan lain dapat diminimalisir.
Pendidikan multikultural itu memiliki konsep dasar yaitu semboyan negara kita,
Bhinneka Tunggal Ika dan Trilogi Kerukunan yaitu (1) Kerukunan intern umat beragama. (2)
kerukunan antar umat beragama. (3)Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Dengan adanya konsep dasar tersebut, diharapkan pendidikan multikulturalisme dapat
diterapkan sebaik mungkin.
Selain itu, pendidikan multikultural juga memiliki tujuan. Tujuan tersebut ada dua,
yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awalnya adalah membentuk wacana pendidikan.
Sedangkan tujuan akhirnya adalah membentuk karakter yang demokratis, pluralis, dan
humanis.
Dalam penerapannya, pendidikan multikultural dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Metode tersebut antara lain: metode
kontribusi, metode pengayaan, metode transformatif, metode pembuatan keputusan dan
aksi sosial. Sedangkan pendekatannya, yaitu pendekatan historis, sosiologis, kultural,
psikologis, estetik, berprespektif gender.
Pada pendidikan multikultural juga terdapat kelebihan dan kekurangan dalam
penerapannya. Salah satu kelebihannya, yaitu dengan pendidikan multikultural dapat melatih
kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa
dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik, dapat
mengidentifikasi karakteristik ras atau etnis dari seorang siswa sehingga dapat menentukan
metode pengajaran yang tepat.
Sedangkan kekurangannya adalah pada perbedaan pemaknaan terhadap pendidikan
multikultural, munculnya gejala diskontinuitas, rendahnya komitmen berbagai pihak,
kebijakan-kebijakan yang suka akan keseragaman.
O. DAFTAR PUSTAKA
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Taruna,
Dody S., Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Jakarta:
Kementrian Agama RI, 2010.
Parekh, Bikhu, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik ,
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam
Pusaran Kekuasaan, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
Dewi, Marliana Anisa, Pendidikan Multikultural, http://gears99.blogspot.com/2012/04/
pendidikan-multikultural.html./ [28 April 2012].
Banks, James, Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and
Practice. Review of Research in Education, 1993, [online]. Tersedia:
http://awankboys.blogspot.com/2010/05/pendidikan-multikultural.html [20
Maret 2012].
YEL YEL