Penuntun Farmako D III PDF
Penuntun Farmako D III PDF
TIM PENYUSUN
Pas Foto
3x4
BIODATA MAHASISWA
NAMA :
NIM :
KELOMPOK :
PROGRAM STUDI :
i
STAF LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
Staff Laboratorium :
Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. Yuandani, S.Farm., M.Si., Ph.D., Apt.
Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt. Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.
Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt.
Dr. Poppy Anjelisa Z. Hasibuan, S.Si., M.Si., Apt. Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt.
Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt Emil Salim, S.Farm., M.Sc., Apt.
Asisten Labratorium :
ii
PERATURAN LABORATORIUM
iii
TUJUAN INSTRUKSIONAL
A. Umum
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa D3 Analis Farmasi dan Makanan
semester III akan dapat mengevaluasi aktivitas obat menggunakan berbagai metode
eksperimen farmakologi.
B. Khusus
1. Mahasiswa dapat mengaplikasikan cara penanganan hewan yang baik dan
menggunakan hewan yang sesuai etik.
2. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan rute pemberian obat
3. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan variasi biologi
4. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas analgetik obat
5. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas antipiretik obat
6. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas antiinflamasi obat
7. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktivitas diuretik obat
iv
DAFTAR ISI
v
BAB 1. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN DOSIS
1
menggunakan metode standar. Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disediakan
lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian
terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk
kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri. Berikutnya, hewan coba
harus bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan
pemantauan, serta pengobatan tehadap hewan percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat diobati
dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan
dengan memilih prosedur yang meminimalisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan
menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan.
2
Tabel 1. Cara pemberian obat terhadap hewan dan ukuran jarum suntik
Hewan Jarum Suntik i.v. i.p. s.c. i.m. per oral
Obat dapat diberikan kepada pasien dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa obat
hanya efektif jika diberikan dalam bentuk sediaan tertentu. Obat lain diberikan dalam bentuk dapat
meningkatkan atau menurunkan efeknya atau melokalisir efek obat.
1. Oral. Kebanyakan obat tersedia saat ini dapat diberikan melalui mulut (oral). Obat
dapatdiberikan secara oral dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, larutan, atau suspensi. Obat
yang diberikan melalui rute oral biasanya digunakan untuk mendapatkan efek sistemik. Obat-
obat ini harus melalui saluran pencernaan dan biasanya mengalami first pass metabolism.
2. Parenteral. Istilah parenteral secara harfiah berarti untuk menghindari usus
(saluranpencernaan). Dengan demikian, parenteral adalah obat injeksi yang masuk ke tubuh
secara langsung dan tidak diharuskan untuk diserap di saluran pencernaan sebelum obat
tersebut berefek. Pemberian rute parenteral biasanya memiliki onset of action yang lebih cepat
dibandingkan rute lain dari pemberiannya. Produk parenteral harus steril (bebas dari mikroba
hidup). Rute parenteral memiliki kelemahan: sakit, tidak nyaman, dan obat yang sudah
disuntikkan tidak dapat diambil kembali.
a. Intravena. Penyuntikan obat secara langsung ke dalam vena pasien merupakan
rutepemberian yang paling cepat. Jenis rute pemberian ini merupakan rute parenteral yang
paling cepat memberikan onset of action.
b. Subkutan (Sub-Q/SC). Rute pemberian ini melibatkan suntikanobatdi bawah kulit ke
dalam lapisan lemak, tetapi tidak ke dalam otot. Penyerapanobat
inicepat.Insulinbiasanyadiberikan secara subkutan.
c. Intraperitonial. Walaupun metode ini jarang digunakan secara klinis, cara ini
selaludigunakan untuk memberikan obat pada hewan kecil. Dinding otot di peritoneum
(dibawah abdomen) sangat tipis dan usus banyak memiliki pembuluh darah vaskuler. Ini
berarti suntikan pada bagian tersebut akan menyebabkan sedikit kesakitan, akan tetapi
obat mudah diserap ke dalam sistem peredaran darah. Tambahan lagi obat yang bersifat
iritan dan bervolume besar dapat disuntikkan dibanding dengan cara-cara pemberian
lainnya.
3
IV. METODE SKRINING
Dosis merupakan jumlah tertentu dari obat yang dapat digunakan untuk mencapai efek terapi.
Dosis dibagi 5 jenis yaitu dosis minimum, lazim, maksimum, toksik dan letal. Untuk menyatakan
toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis
yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis
efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu
dosis yang memberikan efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan
dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang
percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam)
sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan dalam grafik yang
menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat). Dalam
studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :
TD50 LD50
ED50 ED50
Indek terapi = atau
LD50 merupakan suatu hasil dari pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD
50 bukanlah merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain,
dan bisa jadi pada laboratorium yang sama akan berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan
(Ganiswara et al, 2007).
Ada berbagai metode perhitungan LD50 yang umum digunakan antara lain metode Miller-
Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter digunakan kertas
grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala logaritmik sebagai absis dan skala
probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas
terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan yang
hidup dan jumlah hewan yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang mati dengan dosis tertentu akan
mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang lebih kecil.
Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian dalam masing-masing
kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama (Soemardji et al, 2009).
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada
seorang pasienpun, oleh karena itu, (Ganiswara et al, 2007). Berikut cara pemberian obat terhadap
hewan percobaan :
Subkutan
Untuk menyuntik tikus secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja. Kemudian
letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit ditengkuknya dengan ibu jari
dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit
dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang
digunakan itu sesuai, maka jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari
telunjuk dan ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah.
Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.
Oral
Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter untuk kelinci).
Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan jarum oral dimasukkan dalam
mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut (palate). jarum ditolak perlahan-lahan ke
4
esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah masuk kedalam mulut (kira-kira dua inci ke bawah)
hewan itu akan menunjukkan keadaan seperti tercekik. Jarum oral dapat disesuaikan besarnya dengan
hewan tertentu.
Intraperitoneal
Untuk menyuntik tikus secara IP, peganglah kulit leher hewan tersebut dengan jari telunjuk
dan ibu jari. Pegangan yang sempurna akan meregangkan kulit diabdomennya. Suntik di bagian
kuadran bawah abdomen dengan satu tusukan dengan cepat dan jangan ragu-ragu. Dorong jarum ke
bagian dimana jarum tidak menembus hati, buah pinggang, spleen atau kandung kemih, selanjutnya
ditekan perlahan-lahan.
Intravena
Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit suntikan
intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena pembuluh darah ekor mencit mudah
diketahui, sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan mudah. Keempat-empat pembuluh
darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta dapat dikembangkan (vasodilatasi) dengan
menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian ekor (misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam
air hangat suhu 45-50oC), dan penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk
mempermudah penyuntikan. Hewan mula-mula dimasukkan dalam prangkap tikus menyerupai tabung
yang kedua ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya berlubang.
Ujung ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri dan suntikan
dilakukan dengan tangan kanan. Adalah lebih baik jika bisa memberikan cahaya pada ekor, hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan pembuluh darah dengan jelas, juga bertujuan untuk
memanaskan ekor tikus. Apabila menyuntik dan terasa tidak ada hambatan, pada tempat penyuntikan
ini menunjukkan jarum telah masuk dengan benar kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan
dengan mudah. Jika jarum tidak masuk dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu akan
memberikan kawasan pucat diujung jarum. Adalah lebih baik menggunakan sebatang jarum yang
halus (Gauge 27,1/2 inci) dan suntikan dimulai pada ujung ekor supaya beberapa percobaan dapat
dilakukan.
V. LUMINAL (FENOBARBITAL)
Farmakologi molekuler reseptor asam gamma amino butirat (GABA) terikat pada saluran
kanal klorida yang merupakan salah satu mesin respons obat dalam tubuh yang paling handal.
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa yang meniru kerja GABA.
Fenobarnital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi.
Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama
barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis,
berbagai tingkat anesthesia, koma sampai dengan kematian. Efek hipnotik fenobarbital dapat dicapai
dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik (Ganiswara et al, 2007).
5
VII. METODE PERCOBAAN
7.1 Alat
Timbangan elektrik, oral sonde mencit, Spuit 1 ml, stopwatch, alat suntik 1 ml, beaker glass 25 ml,
erlenmeyer 10 ml
7.2 Bahan
Akuades, Luminal-Na konsentrasi 0,75%
6
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med
Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.
Heiserman, D.L. (2011) :Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services.
7
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
Keterangan:
1.1. Normal
1.2. Garuk-Garuk (reaktif)
1.3. Gerak lambat
1.4. Tidur
i.p = intra peritone
8
VIII. PEMBAHASAN
9
10
DAFTAR PUSTAKA
Heiserman, D.L. (2011) : Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services.
(________________) (______________________)
11
GRAFIK PERCOBAAN
AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN
DOSIS, RESPON DAN INDEKS TERAPI
12
BAB 2. AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN RUTE
PEMBERIAN OBAT, DAN VARIASI BIOLOGI
13
menggunakan metode standar. Kedua, hewan percobaan bebas dari ketidaknyamanan, disediakan
lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian
terhadap: siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang untuk
kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri. Berikutnya, hewan coba
harus bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan
pemantauan, serta pengobatan tehadap hewan percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat diobati
dengan catatan tidak mengganggu penelitian yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan
dengan memilih prosedur yang meminimalisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan
menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan.
14
Tabel 1. Cara pemberian obat terhadap hewan dan ukuran jarum suntik
Hewan Jarum Suntik i.v. i.p. s.c. i.m. per oral
Obat dapat diberikan kepada pasien dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa obat
hanya efektif jika diberikan dalam bentuk sediaan tertentu. Obat lain diberikan dalam bentuk dapat
meningkatkan atau menurunkan efeknya atau melokalisir efek obat.
3. Oral. Kebanyakan obat tersedia saat ini dapat diberikan melalui mulut (oral). Obat
dapatdiberikan secara oral dalam bentuk tablet, kapsul, bubuk, larutan, atau suspensi. Obat
yang diberikan melalui rute oral biasanya digunakan untuk mendapatkan efek sistemik. Obat-
obat ini harus melalui saluran pencernaan dan biasanya mengalami first pass metabolism.
4. Parenteral. Istilah parenteral secara harfiah berarti untuk menghindari usus
(saluranpencernaan). Dengan demikian, parenteral adalah obat injeksi yang masuk ke tubuh
secara langsung dan tidak diharuskan untuk diserap di saluran pencernaan sebelum obat
tersebut berefek. Pemberian rute parenteral biasanya memiliki onset of action yang lebih cepat
dibandingkan rute lain dari pemberiannya. Produk parenteral harus steril (bebas dari mikroba
hidup). Rute parenteral memiliki kelemahan: sakit, tidak nyaman, dan obat yang sudah
disuntikkan tidak dapat diambil kembali.
a. Intravena. Penyuntikan obat secara langsung ke dalam vena pasien merupakan
rutepemberian yang paling cepat. Jenis rute pemberian ini merupakan rute parenteral yang
paling cepat memberikan onset of action.
b. Subkutan (Sub-Q/SC). Rute pemberian ini melibatkan suntikanobatdi bawah kulit ke
dalam lapisan lemak, tetapi tidak ke dalam otot. Penyerapanobat
inicepat.Insulinbiasanyadiberikan secara subkutan.
c. Intraperitonial. Walaupun metode ini jarang digunakan secara klinis, cara ini
selaludigunakan untuk memberikan obat pada hewan kecil. Dinding otot di peritoneum
(dibawah abdomen) sangat tipis dan usus banyak memiliki pembuluh darah vaskuler. Ini
berarti suntikan pada bagian tersebut akan menyebabkan sedikit kesakitan, akan tetapi
obat mudah diserap ke dalam sistem peredaran darah. Tambahan lagi obat yang bersifat
iritan dan bervolume besar dapat disuntikkan dibanding dengan cara-cara pemberian
lainnya.
15
IV. METODE SKRINING
Dosis merupakan jumlah tertentu dari obat yang dapat digunakan untuk mencapai efek terapi.
Dosis dibagi 5 jenis yaitu dosis minimum, lazim, maksimum, toksik dan letal. Untuk menyatakan
toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis
yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis
efektif (dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median effective dose), yaitu
dosis yang memberikan efek tertentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan. LD50 ditentukan
dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang
percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam)
sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan persentase ini diterakan dalam grafik yang
menyatakan hubungan dosis (pada absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat). Dalam
studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :
TD50 LD50
ED50 ED50
Indek terapi = atau
LD50 merupakan suatu hasil dari pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD
50 bukanlah merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain,
dan bisa jadi pada laboratorium yang sama akan berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan
(Ganiswara et al, 2007).
Ada berbagai metode perhitungan LD50 yang umum digunakan antara lain metode Miller-
Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode Miller-Tainter digunakan kertas
grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang memiliki skala logaritmik sebagai absis dan skala
probit (skala ini tidak linier) sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas
terhadap logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah hewan yang
hidup dan jumlah hewan yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang mati dengan dosis tertentu akan
mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang hidup akan hidup dengan dosis yang lebih kecil.
Metode Kärber prinsipnya menggunakan rataan interval jumlah kematian dalam masing-masing
kelompok hewan dan selisih dosis pada interval yang sama (Soemardji et al, 2009).
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek toksik pada
seorang pasienpun, oleh karena itu, (Ganiswara et al, 2007). Berikut cara pemberian obat terhadap
hewan percobaan :
Subkutan
Untuk menyuntik tikus secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja. Kemudian
letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit ditengkuknya dengan ibu jari
dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit
dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang
digunakan itu sesuai, maka jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari
telunjuk dan ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah.
Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.
Oral
Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter untuk kelinci).
Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan jarum oral dimasukkan dalam
mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut (palate). jarum ditolak perlahan-lahan ke
16
esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah masuk kedalam mulut (kira-kira dua inci ke bawah)
hewan itu akan menunjukkan keadaan seperti tercekik. Jarum oral dapat disesuaikan besarnya dengan
hewan tertentu.
Intraperitoneal
Untuk menyuntik tikus secara IP, peganglah kulit leher hewan tersebut dengan jari telunjuk
dan ibu jari. Pegangan yang sempurna akan meregangkan kulit diabdomennya. Suntik di bagian
kuadran bawah abdomen dengan satu tusukan dengan cepat dan jangan ragu-ragu. Dorong jarum ke
bagian dimana jarum tidak menembus hati, buah pinggang, spleen atau kandung kemih, selanjutnya
ditekan perlahan-lahan.
Intravena
Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit suntikan
intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena pembuluh darah ekor mencit mudah
diketahui, sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan mudah. Keempat-empat pembuluh
darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta dapat dikembangkan (vasodilatasi) dengan
menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian ekor (misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam
air hangat suhu 45-50oC), dan penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk
mempermudah penyuntikan. Hewan mula-mula dimasukkan dalam prangkap tikus menyerupai tabung
yang kedua ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya berlubang.
Ujung ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri dan suntikan
dilakukan dengan tangan kanan. Adalah lebih baik jika bisa memberikan cahaya pada ekor, hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan pembuluh darah dengan jelas, juga bertujuan untuk
memanaskan ekor tikus. Apabila menyuntik dan terasa tidak ada hambatan, pada tempat penyuntikan
ini menunjukkan jarum telah masuk dengan benar kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan
dengan mudah. Jika jarum tidak masuk dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu akan
memberikan kawasan pucat diujung jarum. Adalah lebih baik menggunakan sebatang jarum yang
halus (Gauge 27,1/2 inci) dan suntikan dimulai pada ujung ekor supaya beberapa percobaan dapat
dilakukan.
V. LUMINAL (FENOBARBITAL)
Farmakologi molekuler reseptor asam gamma amino butirat (GABA) terikat pada saluran
kanal klorida yang merupakan salah satu mesin respons obat dalam tubuh yang paling handal.
Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa yang meniru kerja GABA.
Fenobarnital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi.
Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama
barbiturate ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis,
berbagai tingkat anesthesia, koma sampai dengan kematian. Efek hipnotik fenobarbital dapat dicapai
dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik (Ganiswara et al, 2007).
7.2 Bahan
Akuades, Luminal-Na konsentrasi 0,75%
18
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, E. (2013): Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan. J Indon Med
Assoc, Volum: 63, Nomor: 3.
Heiserman, D.L. (2011) :Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services.
19
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
20
Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat
No RESPON
PERLAKUAN
10 20 30 40 50 60 70 80 90
1 Mencit 1
2 Mencit 2
3 Mencit 3
4 Mencit 4
5 Mencit 5
6 Mencit 6
Keterangan :
1.1. Normal
1.2. Garuk-Garuk (reaktif)
1.3. Gerak lambat
1.4. Tidur
i.p = intra peritoneal
21
VIII. PEMBAHASAN
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Heiserman, D.L. (2011) : Factors Which Influence Drug Dosage Effects. USA : SweetHaven
Publishing Services.
( ________________ ) ( ______________________ )
24
GRAFIK PERCOBAAN
AKTIVITAS OBAT BERDASARKAN
RUTE PEMBERIAN OBAT DAN
PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT
25
BAB 3. AKTIVITAS ANALGETIK OBAT/SEDIAAN UJI
II. PENDAHULUAN
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan
(ancaman) kerusakan jaringan. Rasa nyeri pada umumnya merupakan suatu gejala yang berfungsi
sebagai isyarat bahaya adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang
otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimia atau fisika (kalor, listrik) dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan dimana rangsangan tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan
zat-zat kimia (misalnya, bradikinin, prostaglandin, ATP, proton) yang menstimulasi reseptor nyeri.
Analgetik adalah zat-zat yang mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgetik dibagi dalam 2 (dua)
kelompok besar, yaitu analgetik perifer (non narkotik) dan analgetia narkotik. Analgetik perifer (non
narkotik) yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja secara sentral.
Sementara analgetik narkotik khusus digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat, seperti
pada patah tulang (fracture) dan kanker.
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat diatasi dengan beberapa cara, yaitu :
a. Analgetik perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor perifer
26
b. Analgetik lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris
c. Analgetik sentral (narkotik), yang memblokir pusat nyeri saraf di susunan saraf pusat (SSP)
dengan anastesi umum
d. Antidepresif trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf
e. Antiepileptik, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang sinaps pada nyeri
Persepsi sakit adalah suatu keadaan yang sukar untuk diberi defenisi atau diukur. Keadaan
tersebut merupakan fenomena subjektif, dengan demikian tidak dapat diketahui bagaimana gambaran
hewan percobaan yang mengalami rasa nyeri. Sebagian besar teknik melibatkan penggunaan uji
nosiseptif dimana stimulus nyeri, secara mekanis maupun elektris digunakan untuk menghasilkan rasa
sakit.
Metode yang biasa dilakukan ialah metode plat panas Janssen dan Jageneu (1975). Pada
metode ini hewan diletakkan dengan perlahan ke atas plat panas yang bersuhu tetap 55 0 C. Waktu
respon (biasanya 4-10 detik untuk keadaan normal dihitung sebagai jarak waktu mula-mula hewan itu
meletakkan kakinya di atas plat dan waktu dicatat apabila hewan itu mulai menjilati kakinya atau
melompat untuk mengelakkan diri dari panas). Hewan yang tidak menunjukkan respon dalam jangka
waktu 30 detik tidak digunakan dalam percobaan.
Metode lain adalah dengan menggunakan senyawa kimia seperti asam asetat 3%. Asam asetat
ini sebagai stimulus untuk rasa nyeri yang ditimbulkan. Rasa nyeri dari pemberian asam asetat ini
dapat dilihat dari geliat yang ada dari pengamatan terhadap mencit (hewan). Geliat ini dihitung
dimulai jika mencit meregangkan kakinya ke belakang dan menekan perutnya ke bawah. Geliat ini
dihitung 1, dan seterusnya. Sehingga akhir waktu yang ditentukan akan didapat jumlah geliat dari
hewan secara total pada waktu tertentu.
Dalam percobaan, digunakan 3 metode dalam menggambarkan persepsi rasa sakit, yaitu
metode asam asetat sebagai stimulus nyeri perifer, metode plat panas, dan metode panas menggunakan
infra red (IR) sebagai stimulus nyeri sentral.
3.2 Bahan-bahan
a. Mencit 5 ekor
b. Aquadest
c. Asam Asetat 3%
d. Antalgin konsentrasi 2%
e. Morfin SO4 konsentrasi 0,1%
27
IV. PEMBUATAN LARUTAN OBAT
a. Morfin SO4
Konsentrasi 0,1% dengan penimbangan 0,025 g morfin yang dilarutkan dalam 25 ml aquadest.
Cara Pembuatan:
Ditimbang 0,025 g morfin, lalu dilarutkan dengan aquadest dalam labu tentukur 25 ml sampai garis
tanda.
c. Asam asetat 3%
Konsentrasi 3% dengan melarutkan 10 ml asam asetat dalam aquadest 15% dalam labu tentukur 50
ml.
V. PROSEDUR
Metode Asam Asetat
1. Hewan ditimbang dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian:
- Mencit 1: Kontrol aquadest dosis 1% BB (i.p)
- Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)
3. Setelah 30 menit masing-masing mencit disuntikkan asam asetat 3% dengan dosis 1% BB
secara i.p.
4. Diamati dan dihitung jumlah geliat selang 10 menit sampai 90 menit
5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu
6. Dianalisis data secara statistik
28
Metode Plat Panas Infra Red (IR)
1. Hewan ditimbang dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian :
- Mencit 1: Kontrol aquadest dosis 1% BB (oral)
- Mencit 2: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 10 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3: Morfin SO4 [ ] 0,1% dosis 15 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 4: Antalgin [ ] 2% dosis 300 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 5: Antalgin [ ] 2% dosis 400 mg/kg BB (i.p)
3. Hewan diletakkan ke dalam kotak, kemudian arahkan panas IR tepat ke telapak kaki hewan
4. Diamati dan dicatat waktu selang 10 menit sampai 90 menit
5. Dibuat grafik lama respon vs waktu
6. Dianalisis data secara statistik
29
DAFTAR PUSTAKA
VI. Grafik
Grafik Jumlah geliat vs Waktu
Jumlah geliat
Waktu (menit)
30
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
31
No PERLAKUAN PERLAKUAN RESPON (detik)
I II 10 20 30 40 50 60 70 80 90
1 Mencit 1 Diletakkan
Kontrol NaCl didalam kotak,
[0,9%] dosis Kemudian arah
1%/kgBB kan panas IR
2 Mencit 2 tepat ditelapak
(Morfin 15 kaki mencit.
mg/kg BB)
3 Mencit 3
(Antalgin 400
mg/kg BB)
32
VI. PEMBAHASAN
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Medan,________________
NILAI :
Asisten, Praktikan
( ________________ ) ( _____________________)
35
GRAFIK PERCOBAAN
ANALGETIK
36
BAB 4. AKTIVITAS ANTIPIRETIK OBAT/SEDIAAN UJI
II. PENDAHULUAN
Demam atau naiknya suhu tubuh pada umumnya terjadi karena adanya infeksi. Toksin yang
dihasilkan oleh mikroorganisme akan mengganggu sistem pengaturan panas tubuh di hipotalamus.
Selain dapat dipengaruhi oleh toksin dari mikroorganisme, sistem pengaturan panas tubuh dapat pula
dipengaruhi oleh zat-zat lain yang bersifat toksik yang masuk ke dalam tubuh. Pada suhu di atas 37⁰ C
limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif, dan apabila suhu melampaui 40-41⁰ C dapat terjadi situasi
kritis yang bisa menjadi fatal dikarenakan tidak dapat dikendalikan lagi oleh tubuh.
Berdasarkan konsep-konsep di atas maka dikembangkan cara-cara untuk melakukan
percobaan uji efektivitas antipiretik dari suatu obat. Dinitrofenol pada mulanya digunakan sebagai
senyawa pembentuk panas dan obat untuk menurunkan berat badan. Ternyata dinitrofenol diketahui
sangat toksik dan dapat menyebabkan katarak.
Antipiretik adalah senyawa yang dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam, salah
satu contohnya adalah parasetamol. Antipiretik digunakan secara ekstensif dalam mengontrol pyrexia
yang disebabkan oleh beberapa penyakit viral, malaria, malignancy, kerusakan jaringan, inflamasi dan
tingkat penyakit lain. Untuk mengevaluasi antipiretik dalam mengatasi demam makan dilakukan
percobaan hewan dengan menggunakan injeksi jamur Brewer atau lipopolisakarida-lipipolisakarida.
37
e. Vaselin
f. 2,4 Dinitrofenol (DNF)
V. PROSEDUR KERJA
1. Hewan ditimbang dan diberi tanda.
2. Diukur suhu rata – rata 3 ekor tikus dengan termometer m elalui rektal dengan selang waktu 5
menit sebanyak 3 kali, lalu dirata – ratakan.
3. Dihitung dosis 2,4 dinitrofenol 0,5% dosis 5 mg/KgBB, diberikan secara i.m.
4. Diukur kenaikan suhu tubuh tikus dengan selang waktu 5 menit sampai 20 menit.
5. Dihitung dosis dan diberikan:
a. Tikus I : suspensi CMC Na 0,5% secara oral.
b. Tikus II : suspensi parasetamol 10% dosis 400 mg/kgBB secara oral.
c. Tikus III : obat X % dosis 400 mg/KgBB secara oral.
6. Diukur perubahan suhu yang terjadi dengan selang waktu 5 menit sampai 50 menit.
7. Dibuat grafik suhu vs waktu.
38
VI. Grafik
Suhu (⁰C)
Keterangan :
a. Setiap garis dari grafik berbeda warna (untuk setiap hewan)
b. Skala grafik harus disesuaikan
DAFTAR PUSTAKA
………(2006). UGO BASILE BIOLOGICAL RESEARCH APPARATUS. p. 9.
Basto, J.K.(2004). Analgesic and anti-inflammatory activity of a crude root extract
ofPfaffia glomerata (Spreng) Pedersen. Journal of Ethnopharmacology 96 (2005). pp. 87–91.
Burn J.H, Finney D.J, Goodwin L.G. (1950). Chapter XIV: Antipyretics and analgesic, In: Biological
Standarization. Oxford University Press. London. New York. pp. 312-9.
Neal, M.J.(2002). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. hal. 64-
5.
Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha Science International
Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.
Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek
sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-319.
39
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
10
15
Rata-Rata
2. Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
Rata-Rata
3. Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
Rata-Rata
40
B. Suhu Setelah pemberian DNF
Waktu Suhu
No. Keterangan
(menit) (⁰C)
1. Tikus 1 (Kontrol) 5
10
15
20
2. Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
20
3. Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
41
C. Suhu Setelah Pemberian Obat
Waktu Suhu
No. Keterangan
(menit) (⁰C)
10
15
20
25
30
35
40
45
50
20
25
30
35
40
42
45
50
3. Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
43
VI. PEMBAHASAN
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Medan,________________
NILAI :
Asisten Praktikan
(________________) (______________________)
46
GRAFIK PERCOBAAN
ANTIPIRETIK
47
BAB 5. AKTIVITAS ANTIINFLAMASI OBAT/SEDIAAN UJI
II. PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan
oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, dan zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha untuk
menginaktivasi atau merusak mikroorganisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan
mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses peradangan biasanya reda.
Inflamasi dicetus oleh pelepasan mediator kimiawi, (seperti prostaglandin, histamin dan leukotrien)
dan migrasi sel (yang dicetus oleh sitokin pro-inflamasi) (Mycek et al. 1997). Proses inflamasi dikenal
dengan lima tanda utama: panas (color), kemerahan (rubor), sakit (dolor), bengkak (tumor), dan
kehilangan fungsi (loss of function) (Eales 2003).
Berdasarkan lama terjadinya, inflamasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu inflamasi akut
dan inflamasi kronis. Inflamasi akut adalah reaksi pertahanan paling awal dari jaringan tubuh terhadap
agen perusak, dan berkahir setelah beberapa jam atau hari. Penyebab inflamasi akut diantaranya adalah
mikroba, reaksi hipersensitifitas, zat kimia, trauma fisik dan kerusakan jaringan. Sel-sel imun yang
berperan dalam reaksi ini diantaranya adalah neutrofil, eosinofil dan mastosit (Shell 1987). Sedangkan
inflamasi kronis adalah reaksi inflamasi tubuh yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Inflamasi kronis melibatkan banyak jenis sel imunitas, seperti sel fagosit mononuklear serta sel T
limfosit (Stephenson 2004).
Prostgalandin adalah mediator kimia utama yang terlibat dalam proses inflamasi, disamping
mediator kimia lainnya, dan menjadi target kerja obat-obat antiinflamasi. Asam arakidonat adalah
prekursor utama prostaglandin. Asam arakidonat dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja
phospholipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Selanjutnya, dibiosintesis lagi dengan bantuan
siklooksigenase (COX) menjadi eikosanoid. Terdapat dua isomer utama dari COX yang berperan
dalam biosintesis prostaglandin, COX1 dan COX2. COX1 bersifat ada dimana-mana, sedangkan yang
kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsangan inflamasi. Prostaglandin dan metabolitnya yang
dihasilkan secara endogen dalam jaringan bekerja sebagai tanda lokal yang menyesuaikan respons tipe
sel spesifik (Mycek et al. 1997).
48
dalam interval waktu tertentu, dengan menggunakan alat pletismometer. Berkurangnya bengkak pada
telapak kaki hewan uji menandakan adanya aktivitas antiinflamasi.
2. Antiinflamasi steroid
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim phospholipase A2, yang
bertanggung jawab dalam pelepasan asam arakidonat (prekursor prostaglandin) dari membran
sel. Contoh dari golongan obat ini adalah prednison (Mycek et al. 1997).
V. PRINSIP PERCOBAAN
Pembengkakan yang terjadi pada telapak kaki hewan inflamasi akibat penyuntikan penginduksi
inflamasi dapat diturunkan dengan pemberian obat-obat antiinflamasi.
49
6. 30 menit kemudian, volume kaki yang telah disuntik karagenan diukur dan dicatat.
Pengukuran dilakukan selama 3 jam dengan interval 30 menit sekali.
7. Catat hasil pengamatan dalam tabel, lalu untuk setiap tikus, hitung persentase radang dan
persentase inhibisi radang yang terjadi untuk setiap titik waktu (30 menit, 60 menit, 90 menit
dan seterusnya) dengan menggunakan rumus:
50
DAFTAR PUSTAKA
Blank, M.D., Dmitrieva, M., Franzotti, E.M., Antoniolli, A.M., Andrade, M.R. dan Marchioro, M.
2004. Anti-inflammatory and analgesic activity of Peperomia pellucida (L.) HBK
(Piperaceae). Journal of Ethnopharmacology 91 (2004) 215–218.
Chiang, N., Arita, M. dan Serhan, C.H. 2005. Anti-inflammatory circuitry: Lipoxin, aspirin-
triggered lipoxins and their receptor ALX. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential
Fatty Acids 73: 163–177.
Eales, L,J. 2003. Immunology for Life Scientist. Second edition. London: Jhon Wiley & Sons.
Katzung, B. G., 1992, Basic and Clinical Pharmacology, 5th Ed. New York: Prectice
HallInternational inc.
Mycek, J.M., Harvey, R.A., Champe, P.C dan Fisher, B.D. 1997. Lippincott’s Illustrated
Reviews:
Pharmacology. Philadelphia: Lippincotts-Raven Publisher.
Shell, S. 1987. Immunology immunopathology and immunity. Fourth edition. New York: Elsevier
Science Publishing Company.
Stephenson. T.J. 2004. Inflammation. Dlm. Underwood. General and Systemic Pathology. Fourth
edition. Toronto: Elsevier Limited.
51
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
T = 40
No. Keterangan Berat Vo T = 20 menit menit
Vt %R % IR Vt %R % IR
1 Tikus control
2 Tikus obat A
3 Tikus obat B
T = 80
No. Keterangan Berat Vo T = 60 menit menit
Vt %R % IR Vt %R % IR
1 Tikus control
2 Tikus obat A
3 Tikus obat B
T=3
No. Keterangan Berat Vo T =2.5 jam jam
Vt %R % IR Vt %R % IR
1 Tikus kontrol
2 Tikus obat A
3 Tikus obat B
40
52
VII. PEMBAHASAN
53
54
DAFTAR PUSTAKA
Medan,________________
NILAI :
Asisten Praktikan
(________________) (______________________)
55
GRAFIK PERCOBAAN
ANTIINFLAMASI
56
BAB 6. AKTIVITAS DIURETIKA OBAT
2. PENDAHULUAN
Diuretik adalah obat yang bekerja pada ginjal untuk meningkatkan ekskresi air dan elektrolit.
Fungsi diuretik utamanya adalah untuk mengatasi udem, yaitu memobilisasi cairan yang berarti
merubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali
menjadi normal. Disamping untuk menangani udem, diuretik juga efektif pada gangguan lainnya
seperti hipertensi, diabetes insipidus, hiponatremia, nefrolitiasis, hiperkalsemia, dan glaukoma.
Meskipun semua diuretik secara umum meningkatkan elektrolit dan ekskresi air untuk menurukan
volume cairan ekstraselular, namun mekanisme kerjanya berbeda.
3. OBAT DIURETIKA
Merkuri organic : klormerodrin, meralurid, merkaptomerin
Turunan xantin : kofein, teofilin, teobromin
Mekanisme kerja : turunan xantin merupakan diuretika lemah sampai sedang. Senyawa ini
bekerja dengan meninggikan pasokan darah ginjal terutama pada daerah medula ginjal. Pada
saat bersamaan tahanan vasa afferen akan berkurang jauh lebih banyak dari vasa efferen,
sehingga laju filtrasi glomerulus lebih besar. Turunan xantin mungkin merupakan satu-satunya
diuretika yang meninggikan GFR dan kerjanya paling tidak sebagian disebabkan oleh
peningkatan pembentukan urin primer. Pasokan darah yang lebih besar pada medula ginjal
akan menyebabkan diuresis yang lebih banyak. Pada penggunaan yang terus-menerus kerjanya
akan berkurang dan dalam banyak hal kerjanya tidak mencukupi, maka turunan xantin jarang
digunakan lagi sebagai diuretika.
Osmodiuretika: mannitol, sorbitol, gliserin, urea, isosorbid
Mekanisme kerja : senyawa ini inert secara farmakologi, setelah difiltrasi di glomerulus tidak
mengalami reabsorbsi di tubulus. Sesuai dengan tekanan osmotiknya, senyawa ini akan
menahan air di lumen tubulus, sedangkan natrium akan direabsorbsi. Namun natrium yang
direabsorbsi akan menjadi lebih sedikit karena terjadi perbedaan konsentrasi natrium yang
cepat yaitu konsentrasi natrium di lumen lebih kecil dibandingkan di dalam sel, sehingga lebih
banyak natrium yang tertahan. Dengan demikian akan meningkatkan diuresis. Ekskresi
elektrolit hanya ditingkatkan sedikit saja oleh senyawa ini. Tempat kerja utamanya adalah
loop of Henle.
Penghambat enzim karbonik anhidrase : asetazolamid , diklorfenamid, metazolamid
Mekanisme kerja : obat ini terutama bekerja pada tubulus proksimal, tempat kerja
lainnyaadalah pada tubulus pengumpul (collecting duct) dengan cara menghambat enzim
karbonikanhidrase, sehingga memperkecil reabsorbsi tubulus dari ion natrium, karena jumlah
ion H+ yang masuk ke lumen lebih sedikit. Akibatnya adalah terjadi peningkatan ekskresi ion
natrium, kalium dan hidrogen karbonat melalui ginjal dan disertai ekskresi air. Kehilangan
basa akan menyebabkan terjadinya asidosis dalam darah. Dengan ini kerja inhibitor
karboanhidratase akan berkurang dengan cepat.
Diuretika tiazida (Inhibitor Na+dan Cl-Symport)
Turunan dihidrobenzotiazidin : Hidroklorotiazida, triklormetiazida, butizida, politiazida,
bendroflumetiazida
Diuretika Sulfonamida Analogi Tiazida : Mefrusida, klopamida, klortalidon, xipamida
57
Mekanisme kerja : obat ini menghambat symport Na+ - Cl- sehingga menghambat reabsorbsi
natrium dan klorida pada tubulus distal (tempat kerja utama) dan tubulus proksimal (bekerja
lemah pada enzim karbonik anhidrase). Symport ini diatur oleh aldosteron.
Diuretika loop of Henle (Inhibitors Of Na+–K+–2Cl–Symport)
Diuretika loop of Henle Tipe Furosemida : furosemida, bumetanida, piretanida
Kelompok diuretika loop of Henle lainnya : asam etakrinat, etozolin, muzolimin
Mekanisme kerja : semua diuretika loop of Henle bekerja pada cabang menaik yang tebal dari
loop of Henle. Merupakan diuretika yang bekerja kuat (diuretika plafon tinggi).
Obat ini dari tepi lumen (cepat dan bolak-balik) menghambat pembawa Na+/K+/2Cl- dan
dengan cara ini mengahambat absorbsi ion natrium, ion kalium dan ion klorida pada loop of
Henle tebal menaik. Untuk dapat bekerja di daerah lumen, obat ini dari aliran darah harus
masuk ke cairan tubulus. Transpor terjadi melalui sekresi aktif tubulus proksimal. Ini yang
menjelaskan mengapa pada insufisiensi ginjal yang proses sekresinya dipengaruhi, diperlukan
dosis yang lebih tinggi dan saat mulai kerja juga lebih lambat.
Diuretika penahan kalium
Antagonis aldosteron : spironolakton, kanrenon (metabolit aktifnya), kalium kanrenoat,
eplerenon.
Mekanisme kerja : spironolakton (atau kanrenon) memblok secara kompetitif ikatan aldosteron
pada reseptor sitoplasma di tubulus distal akhir dan dalam tubulus penampung. Dengan
demikian aldosteron tidak dapat masuk ke inti sel berikatan dengan reseptornya dan tidak
dapat menghasilkan protein yang berfungsi untuk membuka saluran natrium dalam membran
sel lumen. Akibatnya absorbsi akan berkurang dan pada saat bersamaan ekskresi kalium akan
berkurang.
Turunan Sikloamidin : triamteren, amilorid
Mekanisme kerja : blokade saluran natrium dalam tubulus distal akhir dan dalam
tubuluspenampung. Selain itu diduga bekerja pada saluran kalium (karena sekresi K + ke lumen
berhubungan dengan masuknya Na+) atau pada pembawa untuk pertukaran natrium-proton.
3. PRINSIP PERCOBAAN
4. METODE PERCOBAAN
a. Alat
Kandang metabolisme, spuit dan oral sonde, gelas ukur, vial
b. Bahan
Furosemid, ekstrak, CMC, akuades
c. Hewan Uji
Tikus galur Wistar usia 4 bulan, berat 180-220 gram
d. Prosedur
58
2. Ditimbang dan dibagi menjadi 3 kelompok:
59
DAFTAR PUSTAKA
Brody, T.M. dan Larner, J. 2005. Brody’s Human Pharmacology Molecular to Clinical. Fourth
Edition.Hal : 163.
Katzung, B.G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Hal : 245.
60
DATA LAPORAN PERCOBAAN
Judul Percobaan :
Tanggal Percobaan :
Group :
Responser :
Asisten Pengawas :
Kontrol 1
(CMC)
2
Rata-rata
Uji 1
Rata-rata
4
UJI
61
5
Rata- rata
Pembanding 1
(Furosemid)
Rata- rata
62
VII. PEMBAHASAN
63
64
DAFTAR PUSTAKA
Medan,________________
NILAI :
Asisten, Praktikan
(________________) (______________________)
65
GRAFIK PERCOBAAN
AKTIVITAS DIURETIKA
66
67