1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Identitas Pasien:
Nama penderita : By. Ny. RR
Usia : hari
Tanggal lahir : 11 April 2019
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Perumnas Unib Kandang Limun Gg. Setia 01 No. 35 Kota
Bengkulu
Tanggal Masuk : 14/04/2019, pukul 15.00 WIB
NomorMR : 796792
Identitas Ayah:
Nama Ayah : Tn. Surya Ningrat
Umur : 34 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Konsultan
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Neonatus BAB berdarah 6 jam setelah lahir, darah segar, anak tampak lesu, perut
tegang dan muntah berwarna hijau.
3
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Neonatus masuk perinatologi RSMY pada tanggal 14 April 2019. P3A0, dengan
keluhan BAB berdarah 6 jam setelah lahir, pasien tampak lesu, perut tegang dan muntah
berwarna hijau. Pasien lahir secara caesar atas indikasi sungsang, setelah lahir bayi langsung
menangis dengan APGAR score 8/9. Usia kehamilan 38 minggu, berat badan lahir 2900
gram, panjang badan 49 cm, dan lingkar kepala 33 cm, lingkar dada 32 cm. Ketuban
berwarna hijau.
Tidak ada
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat Kehamilan:
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di Rumah Sakit setiap 2 bulan.
Diagnosa kehamilan P3A0 hamil aterm (38 minggu). Riwayat ibu pernah caesar saat lahir
anak ke 2. Selama hamil ibu mengalami keluhan demam (+) dan nyeri perut bagian bawah
(+) saat usia kehamilan 8 bulan, DM disangkal, hipertensi disangkal, riwayat minum obat-
obatan disangkal.
Riwayat Persalinan:
Cara persalinan : Caesar a/i sungsang
Penolong persalinan : Dokter Spesialis Kandungan
Tempat kelahiran : RS Raflesia Bengkulu
Tanggal : 11 April 2019
Keadaan neonatus:
- Berat Badan Lahir : 2900 gram
4
- Panjang Badan Lahir : 49 cm
- Lingkar Kepala : 33 cm
- Lingkar Dada : 32 cm
APGAR Score : 8/9
Neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan/ (AGA) simetris
Riwayat Imunisasi:
5
-
Riwayat Nutrisi:
bayi belum mendapatkan asi sejak lahir.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 15 April 2019 jam 16.00 WIB di ruang
perinatologi RSMY.
Keadaan umum: bayi aktif, menangis lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : HR : 130 x/menit, reguler
RR : 52 x/menit
Suhu : 36,8 C
SpO2 : 99 %
Kepala : normosefali, simetris (+), rambut hitam tersebar merata, ubun-ubun menonjol
(-), kaput suksadenum (-), hematoma sefal(-)
Mulut : Sianosis (-), refleks hisap(+), tidak ada bagian yang terbelah, cairan lambung
hijau (+)
Thoraks
Paru : I : gerakan dinding dada simetris statis dinamis, retraksi dinding dada (-)
Pa : sulit dinilai
Pe : sulit dinilai
6
Pe : Batas jantung sulit dinilai
Pe : timpani
Anus : Ada
Refleks : Moro (+), rooting sucking (+), palmar grasp (+) lemah,
plantar grasp (+) lemah
RR : 60 x/menit
Suhu : 36,0C
SpO2 : 97%
7
3. Sistem respiratorius : retraksi dinding dada (-), suara napas vesikular (+) normal
IV.PEMERIKSAANPENUNJANG
NO PEMERIKSAAN HASIL
1 Hemoglobin 15,6 gr/dl
2 Leukosit 7.300 mm3
3 Hematokrit 44 %
4 Trombosit 152.000 sel/ mm3
Kesan:
8
USG Abdomen tanggal 15 April 2019
9
Kesan:
1) Atresia duodenum
DD: Hipertrofi Pylorus Stenosis (HPS)
2) Hiperbilirubinemia
10
VII. TERAPI
Non-medikamentosa:
Puasa
Pasang OGT
Konsul bedah
Blue light therapy
TPN PG1
Medikamentosa:
Vit K 1 x 2 mg
Transamin 3x30 mg
Amphicilin IV 2x150 mg
Gentamycin IV 15 mg/36 jam
VIII. PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahunterakhir.
Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan,
angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomali lain yang dialami khususnya
bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung (complex cardiac anomaly). Faktor
lain yang turut mempengaruhi tingkat mortalitas adalah prematuritas, BBLR dan
keterlambatan diagnosis.
Follow up
11
darah segar, berdarah, muntah BNO 2 posisi
muntah (+) (+) hijau,
hijau HR : 148 x/menit
RR : 49 x/menit
T : 36,0 0C
SpO2 : %
12
Dengan O2 ½ lpm Konsul Bedah
Periksa BT, CT, PT,
APPT
Pasang oksigen ½
lpm
13/04/19 Bayi aktif, Usia: 3 hari Susp Stenosis 02 1⁄2 Lpm
menangis kuat Lama rawat : 3 hari Pylorus Hipertrofi USG Abdomen
, sesak (-), BBL : 2900 gram
Puasa, OGT
kembung (-), BBS: 2900gram
dialirkan
cairan lambung Ku: aktif, menangis
TPN PG1
(+) hijau, BAB kuat, cairan
Vit K 1 x 2 mg
(+) darah lambung berwarna
Transamin 3x30 mg
segar, BAK hijau
Ampisilin iv 2x150
(+), pucat (+) HR : 135 x/menit
mg
RR : 60 x/menit
Gentamisin iv 15mg/
T : 36,60C
36 jam
SpO2 : 98%
Dengan O2 ½ lpm
BT : 3’
CT 2’
PT 10,5
APPT 39,5
INR 0,97
Ekspertise rontgen:
Thoraks: dalam
batas normal
Abdomen: ileus
letak tinggi
DD/ Stenosis
Pylorus Hipertrofi
14/04/19 Bayi aktif, Usia: 4 hari Susp Stenosis 02 1⁄2 Lpm
menangis kuat, Lama rawat : 4 hari Pylorus Hipertrofi Puasa, OGT dialirkan
13
sesak (-), BBL : 2900 gram TPN PG1
kembung (-), BBS: 2500gram Vit K 1 x 2 mg
cairan lambung Ku: aktif, menangis Transamin 3x30 mg
hijau (+), BAB lemah Ampisilin iv 2x150
(+), BAK (+) HR : 122 x/menit mg
RR : 52 x/menit Gentamisin iv 15mg/
0
T : 36,5 C 36 jam
SpO2 : 97%
Dengan O2 ½ lpm
15/04/19 Bayi aktif, Usia: 5 hari Susp Stenosis 02 1⁄2 Lpm
menangis kuat, Lama rawat : 5 hari Pylorus Hipertrofi Puasa , OGT
sesak (-), BBL : 2900 gram dialirkan
kembung (-), BBS: 2500gram
PG2
muntah (-), Ku: lemah, gerak
Vit K 1 x 2 mg
cairan lambung aktif, menangis
Transamin 3x30 mg
hijau (+), BAB kuat.
Ampisilin iv 2x150
(+), BAK (+), HR : 128 x/menit
mg
RR : 48 x/menit
Gentamisin iv 15mg/
T : 36,6 0C
36 jam
SpO2 : 99%
USG abdomen
Dengan O2 ½ lpm
16/04/19 Bayi aktif, Usia: 6 hari Atresia duodenum 02 1⁄2 Lpm
menangis Lama rawat : 6 hari Dd: SPH Puasa, OGT dialirkan
lemah , sesak BBL : 2900 gram Ikterus
PG2
(-), kembung (- BBS: 2500gram neonatorum
Vit K dan transamin
), muntah (-), Ku: lemah, gerak
distop
cairan lambung aktif, menangis
Ampisilin iv 2x150
hijau (+), BAB kuat,
mg
(+), BAK (+), HR : 126 x/menit
Gentamisin iv 15mg/
ikterik (+) RR : 52 x/menit
36 jam
T : 36.7 0C
Cek kadar bilirubin
SpO2 : 98%
Blue light therapy
14
Dengan O2 ½ lpm
USG Abdomen :
Distensi gaster
dengan pylorus
yang intak :
obstruksi pada
distal gaster DD:
atresia duodenum
USG hepar,
kandung empedu,
spleen, pankreas
dan ginjal
kanan/kiri tak
tampak kelainan
17/04/19 Bayi aktif, Usia: 7 hari Atresia duodenum 02 1⁄2 Lpm
menangis kuat Lama rawat : 7 hari Hiperbilirubinemia Puasa , OGT
, sesak (-), BBL : 2900 gram dialirkan
kembung (-), BBS: 2500gram
TPN perinasa
muntah (-) Ku: lemah, gerakan
Ampisilin iv 2x150
BAB (+), BAK aktif, menangis
mg
(+), ikterik(+) kuat
Gentamisin iv 15mg/
HR : 137 x/menit
36 jam
RR : 48 x/menit
Blue light therapy
T : 36.5 0C
SpO2 : 96%
Dengan O2 ½ lpm
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Atresia Duodenum
2.1 Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus)
tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak membentuk saluran terbuka dari lambung
yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke usus.
2.2 Embriologi
Minggu 4 pertumbuhan lapis epitel usus lebih cepat dibandingkan panjang lempeng
usus,sehingga terdapat sumbatan usus. Seiring pertumbuhan usus, mulai pula proses
vakuolisasi sehingga terjadi rekanalisasi usus. Rekanalisasi berakhir minggu 8 ─10.
Penyimpangan rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia,web/ diafgrama mukosa.
Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papilavateri.
Faktor intrinsik terjadinya atresia duodenum disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal
pada fase padat intestinal bagian atas, terdapat oklusi vascular dalam duodenum. Terdapat
hubungan kelainan perkembangan khususnya dengan pancreas dalam bentuk baji yang
interposisi antara bagian proksimal dan distal atresia; pancreas anulare.
17
Gambar 1. Tipe anomali rekanalisasi
duodenum. Dilatasi segmen proksimal
yang normal diperlihatkan pada masing-
masing tipe. A. Diafragma; B. Solid
corddan atresia; C. segmental absence.
2.3 Epidemiologi
Insiden atresia duodenum adalah 1 per 5000 ─ 10.000 kelahiran. Obstruksi duodenum
kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi duodenal kongenital
(atresia duodenal 40 ─ 60%, duodenal web 35 ─ 45%, pankreas anular 10 ─ 30%, stenosis
duodenum 7 ─ 20%). Sekitar setengah dari bayi yang lahir dengan obstruksi duodenal
mempunyai kelainan congenital dari sistem organ lain.
2.4 Etiologi
Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum
diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya ditemukan
keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi neonatal lainnya menunjukkan
18
bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan.
Atresia duodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya.
Tidak ada faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini.
Meskipun hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi
21(sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan
atresia duodenum.
2.5 Klasifikasi
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Tipe I (92%)
Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa tanpa
lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga beberapa
millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimaldan distal. Lambung dan
duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi(Mucosal web Tipe I atresia). Arteri
mesenterika superior intak.
2) Tipe II (1%)
Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrouscord Tipe II
atresia). Arteri Mesenterika intak
3) Tipe III (7%)
Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat(Complete
separation Tipe III atresia).
19
Tipe I
2.6 Patofisiologi
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak
adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalan rekanalisasi pita
padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi).Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa
epitel duodenum berproliferasi dalam usia kehamilan 30─ 60 hari lalu akan terhubung ke
lumen duodenal secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses
apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara
lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular
(jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat
gangguan perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari
pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut,
yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm,dikelilingi sel yang
berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik ini tampaknya
memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan
organogenesis dari duodenum.
2.8 Diagnosis
2.8.1 Manifestasi Klinis
20
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak tinggi. Atresia
duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir.
Seringkali muntahan tampak biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini
terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum
melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih
jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya pada anak
yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi saluran cerna
proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian atas.
Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid, sehingga obstruksi
intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari
dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama
kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, ketidakseimbangan
elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi segera diganti.
Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis
metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi
gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal
khas mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Jaundice
terlihat pada 40% pasien, dan diperkirakan karenapeningkatan resirkulasi enterohepatik dari
bilirubin. Riwayat kehamilan dengan penyulit polihidramnion dan bayi dengan sindroma
Down harus dicurigai menderita atresia duodenal. Polihidramnion terlihat pada 50 % dengan
atresia duodenal.
21
Gambar 3. Foto polos abdomen posisi
AP dan lateral yang memperlihatkan
gambaran“the double-bubble sign”
pada atresia duodenum.
USG Prenatal
Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi duodenum
teridentifikasi sebelum kelahiran. Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-
bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung,
dan gelembung kedua mengacu pada loop duodenal post pilorik dan prestenotik yang
terdilatasi. Diagnosis prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan
mempertimbangkan untuk melahirkan di saranakesehaan yang memiliki fasilitas yang
mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.
22
Gambar 4. Prenatal sonogram pada potongan sagital oblik memberikan gambaran double
bubble sign pada fetus dengan atresia duodenum. In utero, the stomach (S) dan duodenum ( D)
terisi oleh cairan.
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Persiapan Prabedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan
pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan aspirasi. Resusitasi
cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat
perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.
2.8.2 Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus dikoreksi dengan tindakan
pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir. Prosedur operatif standar saat ini berupa
duodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah
dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal
invasive. Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan Anastomosis 12 duodenoyeyunostomi.
Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan ampula vateri dan
saluran Wirsungi.
Prosedur pembedahan dilakukan dengan open duodenostomi dengan melakukan
insisi tranversal pada supra umbilikal abdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan
mulai dari garis tengah sampai kuadran kanan atas. Setelah membuka kavum abdominal,
23
dilakukan inspeksi didalamnya untuk mencari kemungkinan adanya kelainan anomali
lainnya. Untuk mendapatkan gambaran lapang pandang yang baik pada pars superior
duodenum,dengan sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon
asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan.
24
Incisi tranversal pada akhir duodenum proximal
Insisi longitudinal dibuat pada bagian yang lebih kecil duodenum distal
Papila Vattery ditempatkan dengan melihat bile flow
Orientasi penyambungan seperti pada gambar di atas (gambar)
Nellaton cateter yang kecil dimasukkan melalui ujung segmen distal yang dibuat.
20─ 30 ml saline hangat diinjeksikan
Cateter kemudian dilepas
2.9 Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi,terutama bila tidak
terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti
pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks
gastroesofageal.
2.10 Prognosis
25
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahunterakhir.
Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan teknik pembedahan,
angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomali lain yang dialami khususnya
bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung (complex cardiac anomaly). Faktor
lain yang turut mempengaruhi tingkat mortalitas adalah prematuritas, BBLR dan
keterlambatan diagnosis.
Volvulus midgut
Volvulus merupakan kelainan berupa pntiran pada segmen usus terhadap usus itu
sendiri, mengelilingi mesenterium dari usus tersebut dengan mesenterium itu senidiri
sebagai aksis ongitudinal sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna.
26
B. Hiperbilirubinemia
A. Definisi
Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut
adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai “kulit dan selaput lender menjadi kuning.” Pada
neonatus,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin
indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL pada
hari kelima.
Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akibat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi yang
berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin
darah 5-7 mg/dL. Ikterus dibagi menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus non-
fisiologis.
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang, maupun
cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi cukup bulan
dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena
ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh
factor tunggal tapi kombinasi dari berbagai factor yang berhubungan dengan maturitas
fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada
bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan
clearance bilirubin. Umumnya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2
mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat
selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 samapi 2
minggu.
B. Patofisiologi
1. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.
29
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat
dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).
2. Transportasi Bilirubin
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat – obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat – obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
3. Asupan Bilirubin
4. Konjugasi Bilirubin
5. Eksresi Bilirubin
31
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya
steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup
bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin
yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar
per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih
pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak
lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
32
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
C. Etiologi
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering
disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi
suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus
hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit),
sel darah merah abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun),
pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan
peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh
peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia,
anemia persuisiosa, porviria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar
bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern
Ikterus.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya
beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin
oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan
beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya
menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan
beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan
33
dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan
defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat
konjugasi bilirubin.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi
pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus
Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase.
Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar
minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati
maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini
dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan
fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang
larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin
terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen
kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe
alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam
empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan
34
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau
tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan
bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis
dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra
hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan
niokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
Ikterus fisiologis : terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-
8 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan
nilainya 10-12 mg/dL, bahkan sampai 15 mg/dL.
Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr.
Ikterus patologis : terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum
> 5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >
17mg/dL. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.
Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari
pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian menghilang pada hari ke
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
35
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan
bilirubin tidak langsung yang berlebihan.
F. Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
Letargi
Kejang
36
Tidak mau menghisap
Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang disertai
ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.
G. Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa
faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun
11. Polisitemia
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
37
terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang mengalami
ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan
menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum
bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar
38
bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang
mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab
ikterus antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
H. Penatalaksanaan
39
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
1. Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
2. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi –
bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang
dibandingkan bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai
40
melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari
penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.6
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa
fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan
foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh
bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk
molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan
berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan.
Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa
diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan
pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah
bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam
mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui
proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini
mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan melalui
empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus
kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur
pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai
dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).
41
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan
suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut
frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum
dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing
masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar
hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan
tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin
tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar,
yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.
Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30
μW/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan
lebih besar pula efikasinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
42
Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh.
Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada
bayi.
Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan
menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan
terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi
berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus
diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
Tabel 2.1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan.
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi tukar
terapi sinar tukar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 µmol/L) ( >250 µmol/L) (>340 µmol/L) (425 µmol/L)
Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu )
43
>2000 g 10-12 18 10 17
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut
yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan
memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.
Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :
1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi
Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972)
melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa.
Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan
dengan sebaiknya.
2. Frekuensi defekasi yang meningkat
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena
meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976) mengemukakan
bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim
lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan
kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat
dipertentangkan.
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka, badan
dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa
bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk,
1976). Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil
terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
4. Gangguan retina
44
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966).
Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata
pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey
(1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh
kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya
pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang
diperlukan.
6. Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan
suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian
lampu yang dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Tranfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan
berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
45
antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki anemia.
Indikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar
pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum
dalam tabel 2.
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
46
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk
secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas,
sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan sebuah kasus yaitu neonatus cukup bulan (39 minggu), berat badan
lahir 2900 gram, panjang badan 49 cm, dan lingkar kepala 33 cm, lingkar dada 32 cm.
Ketuban berwarna hijau. BAB berdarah 6 jam setelah lahir, pasien tampak lesu, perut tegang
47
dan muntah berwarna hijau. Lahir Caesar atas indikasi sungsang, setelah lahir bayi langsung
menangis dengan APGAR score 8/9. Riwayat kehamilan, ibu memiliki riwayat caesar
sebelumnya. Selama hamil ibu mengalami keluhan nyeri perut bawah (+) dan demam (+)
pada usia kehamilan 8 bulan. DM disangkal, hipertensi disangkal, riwayat minum obat-
obatan disangkal. Dengan usia kehamilan 39 minggu dan berat badan lahir 2900 gram, dari
grafik fenton, pasien ini termasuk kategori Neonatus cukup bulan Sesuai Masa Kehamilan.
Berat badan bayi lahir 2900 gram.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bayi datang dengan keluhan BAB berdarah 6 jam
setelah lahir, pasien tampak lesu, perut tegang dan muntah berwarna hijau. Berdasarkan
anamnesis dimana pasien mutah berwarna hijau beberapa jam setelah lahir, pemeriksaan
fisik perut tegang dengan muntah berwarna hijau dan pemeriksaan penunjang berupa rontgen
BNO 2 posisi dan USG abdomen, pasien pada kasus ini didiagnosis atresia duodenum dengan
diagnosis banding hipertrofi pilorus stenosis. Pasien pada kasus ini dipasang OGT untuk
mengalirkan cairan lambung, kemudian diberikan TPN (total parenteral nutrition) melalui
pemasangan PICC (Peripherally Inserted Central Catheter) untuk mencegah balance negatif
energi dan nitrogen serta mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan fungsi
metabolik. Pasien diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, pasien
juga menggunakan PICC yang salah satu komplikasinya adalah infeksi. Terapi yang
diberikan pada pasien di kasus ini merupakan pilihan yang tepat.
BAB bercampur darah segar atau hematoscezia pada kasus ini kemungkinan karena
perdarahan pada saluran cerna yang masih belum diketahui penyebabnya. Namun terapi yang
diberikan untuk menghentikan perdarahannya adalah vit K dan transamin merupakan pilihan
yang tepat. Vitamin K merupakan vitamin larut lemak yang berperan penting dalam proses
pembekuan darah, sedangkan transamin adalah obat anti-fibrinolitik yang berfungsi
mempertahankan pembekuan darah sehingga dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan.
Pada kasus ini bayi juga mengalami hiperbilirubinemia pada hari ke 6 yang
dikonfirmasi melalui hasil pemeriksaan fisik yaitu bayi tampak kuning dan pemeriksaan
laboratorium yaitu terjadi peningkatan bilirubin indirek dan bilirubin total. Pasien pada kasus
ini mengalami hiperbilirubiemia karena peningkatan sirkulasi enterohepatik. Bluelight terapi
merupakan pilihan utama dalam tatalaksana hiperbilirubinemia.
48
DAFTAR PUSTAKA
49
Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2014. EGC:
Jakarta
Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi Neonatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.
Laura K, Vecchia D, Grosfeld JL, West KW et al. Intestinal Atresia andStenosis: A 25─ Year
Experience With 277 Cases.Arch Surg J, 1998;133:490─ 497
Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
Jakarta, 1991.
Mirza B, Ijaz L, Saleem M and Sheikh A. Multiple associated anomalies in asingle patient of
duodenal atresia: a case report. Cases Journal2008, 1:215
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 19, Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 2011
Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
50
Prambudi, R. 2013. Penyakit pada Neonatus. Dalam; Neonatologi Praktis. Anugrah Utama
Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 57-62.
Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169
Sweed Y. Duodenal obstruction. In Puri P (ed): Newborn Surgery, 2nd ed,London, Arnold,
2003, p 423.
51