Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

Disusun Oleh

FRETY ANGGI S

D0019047

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BHAKTI MANDALA HUSADA

2019-2020
1. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi
ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin,
asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis
dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).
Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan atau
filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialis yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut
ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tetapi
ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan
membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisis dapat dilakukan
pada saar toksin atau zat beracun harus segera dikeluarkan untuk mencegah
kerusakan permanen atau menyebabkan kematian (Mutaqin & Sari, 2011).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2014).

1. Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari hemodilisis adalah untuk memindahkan produk-produk limbah
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialisis. Pada
klien gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis dapat menurunkan risiko
kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi,
tetapi tindakan hemodialisis tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi
ginjal secara permanen. Klien GGK biasanya harus menjalani terapi dialiss
sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4
jam perkali terapi) atau sampai mendapat ginjal baru melalui transplantasi ginjal
(Mutaqin & Sari, 2011).

2. Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan, Indikasi
hemodialisis segera antara lain (Duaurgirdas et al., 2014):
a Kegawatan ginjal
 Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
 Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
 Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
 Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
 Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
 Uremia ( BUN >150 mg/dL)
 Ensefalopati uremikum
 Neuropati/miopati uremikum
 Perikarditis uremikum
 Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L
 Hipertermi
b. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
c. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai
GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu
dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et
al., 2014):
 GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
 Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
 adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
 Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
 Komplikasi metabolik yang refrakter.

3. Prinsip Hemodialisis
Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu:
difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
a. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
b. Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi
yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.
c. Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena
perbedaan hidrostatik didalam darah dan dialisat.
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat
dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser dan rendaman dialisat
memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi
yang dapat terjadi, misalnya: emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau
berlebihan (hipotensi, kram, muntah) perembesan darah, kontaminasi, dan
komplikasi terbentuknya pirau atau fistula (Mutaqin & Sari, 2011)

4. Pedoman Pengkajian Praprosedur Hemodialisis


Untuk memudahkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pasien
dengan hemodialisis yang komprehensif, berikut adalah pedoman dalam
melakukan pengkajian keperawatan praprosedur hemodialisa.
A. Pengkajian Anamnesis
1. Kaji identitas klien
Rasional: memudahkan kelengkapan asuhan
2. Kaji adanya progam dokter tentang pelaksanaan hemodilasis
Rasional: Sebagai peran kolaboratif untuk melaksanakan intervensi
keperawatan yang sesuai dengan progam dokter
3. Kaji kondisi psikologis, mekanisme koping, dan adanya kecemasan
praprosedur
Rasional: mekanisme koping maladktif terutama pada pasein yang pertama
kali divonis untuk cuci darah dapat memepengaruhi pelaksanaan. Peran
perawat sangat penting untuk membantu pasien dalam mencari mekanisme
koping yang positif. Prosedu kecemasan merupakan hal yang paling sering
dialami pasien yang pertama kali dilakukan hemodilalisis. Peran perawat
memberikan dukungan dan penjelasan yang ringkas dan mudah dimengerti
agar bisa menurunkan kecemasan pasien.
4. Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur hemodialisis
Rasional: untuk menentukan tingkat koorperatif dan sebaga materi dasar
untuk memberikan penjelasan prosedur hemodialisis sesuai dengan tingkat
pengetahuannya.
5. Beri penjelasan prosedur pemasangan dan lakukan penandatangan informed
consent
Rasional: hemodialisis dapat menimbulkan komplikasi. Klien perlu diberi
penjelasan dan menyatakan persetujuannya melalui surat pesetujuan tindakan.
6. Kaji adanya riwayat dilakukan hemodialisis sebelumnya.
Rasional: untuk memantau reaksi pasca hemodialisis
7. Kaji pemakaian obat-obatan sebelumnya
Rasional: klien yang meminum obat-obatan (preparat glikosida jantung,
antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan
tanpa menimbulkan akumulasi toksis. Beberapa obat akan dikeluarkan dari
darah pada saat dialisis, oleh karena itu penyesuaian dosis oleh dokter
mungkin diperlukan. Obat-obat yang terikat dengan protein tidak akan
dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung
pada berat dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien menjalani dialisis,
semua jenis obat dan dosisinya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi
antihipertensi yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialisis
meruapakan salah satu contih dimana komunikasi, pendidikan dan evalusasi
dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan
minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi
diminum pada pagi hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek
hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah
rendah yang berbahaya.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Timbang berat badan pasien
Rasional: sebagai pengukuran standar sebelum dilaksanakan hemodialisis.
Berat badan akan menurun pada saat prosedur selesai dilaksanakan.
2. Periksa Tanda-tanda vital
Rasional: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis. Denyut nadi dan tekanan
darah biasanya diatas rentang normal. Kondisi ini harus diukur pada saat
selesai prosedur dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.
3. Kaji adanya akses vakuler
Rasional: Pengkajian akses vaskular diperlukan dalam pengkajian
praprosedur
4. Subklavia dan femoralis
Rasional: akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui katerisasi subklavia untuk pemakaian sementara.
Kateter dwi lumen atau multi lumen dimasukkan ke dalam vena subklavia.
Meskipun metode akses vaskular ini memiliki risiko misalnya dapat
menyebabkan cedera vaskuler seperti hematom, pneumothoraks, infeksi,
trombosis vena subklavia, dan aliran darah yang tidak adekuar. Namun
metode tersebut biasanya dapat digunakan selama beberapa minggu. Kateter
femoralis dapat dimasukan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk
pemakaian segera dan sementara. Kateter tersebut dikeluarkan jika sudah
tidak diperlukan karena kondisi pasein telah membaik, atau terdapat cara
akses lain. Oleh karena mayoritas pasien hemodialisis jangka panjang yang
harus dirawat dirumah sakit merupakan pasien dengan kegagalan akses
sirkulasi yang permanen, maka salah satu prioritas dalam perawatan pasien
hemodilasis adalah perlindungan terhadap akses sirkulasi tersebut.
5. Fistula arteri vena
Rasional: Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan yang
biasanya dilakukan pada lengan bawah dengan cara menghubungkan atau
menyambung pembuluh arteri dengan vena secara dihubungkan antar sisi atau
dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah. Fistula tersebutkan
memerlukan waktu 4 hingga 6 minggu untuk menjadi matang sebelum siap
digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula
pulih dn segmen vena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat
menerima jarum berlumen besar dengan ukuran – 14 sampai – 16. Jarum
ditusukan ke dalam pembuluh darah agar cukup aliran darah yang akan
mengalir melalui dialiser. Segmen arteri fistula digunakan untuk aliran darah
arteri dan segmen vena digunakan untuk memasukan kembali reinfus darah
yang sudah didialisis. Untuk menampung aliran darah ini, segmen arteri vena
fistula tersebut harus lebih besar daripada pembuluh darah normal. Pasien
dianjurkan untuk melakukan latihan guna meningkatkan ukuran pembuluh
darah yaitu dengan meremas remas bola karet untuk melatih fistula yang
dibuar dilengan bawah sehingga pembuluh darah yang sudah lebar dapat
menerima jarum berukuran besar yang digunakand alam proses hemodialisis.
6. Shunt/ Tandur
Rasional: dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum
dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh
arteri atau vena dari sapi, materia; gore tex (heterografi) atau tandur vena
safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh
darah pasien tidak cocok untuk dijadikan fistula. Tandur biasanya dipasang
pada lengan bawah, lengan atas atau paha bagian atas. Pasien dengan sistem
vaskular yang terganggu seperti pasien diabetes, biasanya memerlukan
pemasangan tandur sebelum menjalani hemodialisis. Oleh karena tandur
tersebut merupakan pembuluh darah artifisial, risiko infkesi akan meningkat.
C. Pengkajian Penunjang
1. Kaji pemeriksaan laboratorium
Rasional: pemeriksaan lab menjadi parameter untuk dilakukan hemodialisis,
meliputi Hb, Hematokrit, kadar albumin, BUN, Kreatinin dan elektrolit.
2. Konfirmasi pemeriksaan HbSag dan status HIV
Rasional: Preventif perawat dalam menjaga atau mempertahankan universa;
precaution dan mencegahan menular
3. Kaji adanya peningkatan kadar SGOT/PT
Rasional: Menilai keterlibatan hati dengan melihat peningkatan enzim serum
hati
5. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)
stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang
mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi
pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik. Tekanan
darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan saat
HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
H reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru
meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic
hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010). Komplikasi HD dapat dibedakan
menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2014).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit
kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et
al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi
adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau
HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi
dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis,
emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et
al., 2014).
komplikasi Kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik.
a. Penyakit jantung
b. Malnutrisi
c. Hipertensi / volume excess
d. Anemia
e. Renal osteodystrophy
f. Neurophaty
g. Disfungsi reproduksi
h. Komplikasi pada akses
i. Gangguan perdarahan
j. Infeksi
k. Amiloidosis
l. Acquired cystic kidney disease

6. Diagnosis Keperawatan
a. Kelebihan produk sisa metabolit pada sirkulasi b.d ketidakmampuan
ginjal dalam mengeksresikan keluar tubuh, ketidakmampuan dalam
pembentukan urine
b. Kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penuruan GFR
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektroli b.d ketidakmampuan ginjal
dalam mengatur reabsorsi dan sekresi elektrolit
d. Aktual/ risiko tinggi cedera b.d tindakan invasif hemodialisa, gangguan
faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskular
e. Risiko tinggi infeksi b.d adanya pintu masuk kuman respons sekunder
dari timdakan invasif hemodalisis.
f. Kurangnya pengetahuan tentang prosdur tindakan hemodialisis b.d
tindakan hemodialisis yang pertama kal
g. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d penurunan fungsi tubuh,
tindakan dialisis, koping maladaptif
h. Kecemasan b.d prognosis penyakir dan tindakan hemodialisis yang
pertama kali
DAFTAR PUSTAKA

Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the
Kidney. 9th edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson,
E.C., Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia:2473-505.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2014. Handbook of Dialysis. 4th ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.
Mutaqqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Kusuma, Hardhi & Amin, Huda Nurarif. (2012). Handbook for Health Student.
Yogyakarta: Mediaction Publishing.

Anda mungkin juga menyukai