Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam sistem
perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada saat Undang-
Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984, bentuk
usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri. Keadaan ini
sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak negara, di mana bentuk usaha tetap
diperlakukan sebagai subjek pajak luar negeri. Dalam perkembangannya kemudian,
menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 sebagai Undang-Undang Perubahan
dari Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984, bentuk usaha tetap tidak lagi
dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tetapi dikelompokkan
sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan dianggap sebagai subjek pajak luar
negeri. Namun demikian, kewajiban-kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini masih tetap tidak berubah setelah adanya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
sebagai undang-undang perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang Undang nomor 7 tahun 1983 dst Undang
Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) pembebanan biaya
atas perolehan harta berwujud dan tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 tahun harus dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Penyusutan
aktiva tetap dan amortisasi harta tak berwujud tersebut dapat dibebankan sebagai
pengurang penghasilan (biaya fiskal). Pada dasarnya, tujuan penyusutan dan
amortisasi aktiva tetap menurut UU PPh (fiskal) sama dengan menurut akuntansi
/komersial. Tujuan penyusutan dan amortisasi komersial dimaksudkan untuk
mengalokasikan nilai perolehan ke masa manfaat aktiva tetap dan harta tak berwujud
tersebut untuk dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung laba neto.
Metode penyusutan dan amortisasi dalam akuntansi banyak jenisnya. Namun
metode penyusutan dan amortisasi untuk kepentingan penghitungan pajak telah diatur
tersendiri dalam UU PPh dengan tujuan adanya keseragaman.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sajakah objek pajak penghasilan BUT?
2. Bagimanakah penentuan laba bentuk usaha tetap?
3. Bagaimana perlakuan pajak atas penghasilan kena pajak dari suatu BUT yang
ditanamkan kembali di Indonesia?
4. Apa yang dimaksud dengan penyusutan?
5. Bagaimana metode dan tarif penyusutan?
6. Bagaimana contoh dati penyusutan?

1
7. Apa yang dimaksud dengan Amortisasi?
8. Bagaimana metode dan tariff Amortisasi?
9. Bagaimana Amortisasi berdasarkan metode satuan produksi?
10. Apa yang dimaksud dengan Revaluasi (penilaian kembali aktiva tetap)?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN


Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai “PAJAK
PENGHASILAN ” ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan.
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan
pembaca tentang masalah Perpajakan. Selain itu supaya ada kesadaran pada diri kami
dan pembaca untuk tertib membayar pajak. Manfaat penulisan makalah ini adalah
untuk memperluas wawasan kami dan pembaca tentang masalah Perpajakan. Selain
itu supaya ada kesadaran pada diri kami dan pembaca untuk tertib membayar pajak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori
Berikut ini landasan teoritik diselenggarakannya pemungutan pajak.
1. Teori Asuransi
Negara melindungi jiwa, raga, harta dan hak – hak karenanya rakyat harus
membayar pajak yang diibaratkan premi asuransi atas jaminan perlindungan.
2. Teori Kepentingan
Beban pajak berdasarkan pada kepentingan masing – masing inividu warga.Makin
besar kepentingannya, makin besar juga pajak yang harus dibayarkannya.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak harus sama berat bagi semua individu sesuai daya pikulnya.
Pendekatan untuk mengukur daya pikul :
a.Unsur Objektif : Besarnya Penghasilan.
b.Unusur Subjektif : besarnya kebutuhan materil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dalam teori ini dikatakan bahwa sebagai warga negara yang berbakti, maka rakyat
harus sadar bahwa pembayaran pajak adalah kewajiban setiap warga negara.
5. Teori Asas Daya Beli
Menurut teori ini pajak adalah penarikan daya beli masyarakat, maka akibat dari
pemungutan pajak harus merupakan pemeliharaan keejahteraan.

B. Beberapa Pengertian konsep Yang Terkait


1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak
kendaraantor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak
tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai
peraturan perundag-undangan.

3
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bagian kedua: BUT (Bentuk Usaha Tetap)


1. OBJEK PAJAK PENGHASILAN BUT
Yang menjadi objek pajak penghasilan BUT adalah:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasai.
Sebagai contoh, Communitel Ltd. yang bergerak dalam usaha penjulan satelit
komunikasi mempunyai cabang di Jakarta dengan nama Communitel Indonesia.
Apabila Communitel Indonesia memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit
komunikasi, maka atas laba penjualan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan
sebagai pajak atas penghasilan Wajib Pajak BUT.
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan
BUT di Indonesia.
Sebagai contoh, New York Bank mempunyai cabang di Jakarta (New York Bank-
Indonesia).Apabila New York Bank memperoleh penghasilan berupa bunga atas
pinjaman yang diberikan tanpa melalui New York Bank-Indonesia, maka
penghasilan bunga tersebut tetap dianggap sebagai penghasilan BUT (New York
Bank-Indonesia).
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Sebagai contoh, Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT Lezzat untuk
menggunakan merek dagang Foodz Inc. Atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc.
menerima imbalan berupa royalti dari PT Lezzat. Dalam rangka pemasaran produk,
Foodz Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Lezzat melalui Foodz-
Indonesia (BUTnya di Indonesia).Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang
oleh PT Lezzat mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia. Oleh karena
itu, penghasilan Foodz Inc. yang berupa royalti diperlakukan sebagai penghasilan
BUT (Foodz-Indonesia).

2. PENENTUAN LABA BUT


Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT ada beberapa ketentuan yang
harus diperhatikan, yaitu:
a. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan Direktur
Jenderal Pajak.

4
b. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah:
 Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten,atau
hak-hak lainnya
 Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
 Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan
Sebagai konsekuensinya, atas pembayaran seperti tersebut di atas, yang diterima atau
diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Objek Pajak, kecuali bunga
yang berkenaan dengan usaha perbankan.

3. PERLAKUAN PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK DARI SUATU BUT YANG
DITANAMKAN KEMBALI KE INDONESIA
Perlakuan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (bersifat final),
kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. Penanaman kembali
tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;
b. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana
dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
akte pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan;
c. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun
pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut;
dan
d. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi
komersial.
Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada
Dirjen Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan PPh tahun pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

5
Bagian ketiga: Penyusutan, Amortisasi, dan Revaluasi
4. PENYUSUTAN
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 11 secara
umum berisi ketentuan mengenai penyusutan untuk harta berwujud , penyusutan atau
depresiasi merupakan konsep alokasi harga perolehan harga tetap berwujud dan
amortisasi merupakan konsep alokasi harga perolehan harga tetap tidak berwujud dan
harga perolehan harta sumber alam.

5. SAAT DIMULAINYA PENYUSUTAN


Saat penyusutan dapat dimulai pada:
1. Bulan dilakukannya pengeluaran
2. Untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusuyannya dimulai dari bulan
pengerjaan harta tersebut selesai
3. Dengan ijin dari Direktur Jendral Pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta
berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.

6. METODE DAN TARIF PENYUSUTAN


Tabel berikut menggambarkan pengelompokan harta berwujud, metode, serta tarif
penyusutannya:

TARIF DEPRESIASI
KELOMPOK HARTA
MASA MANFAAT SALDO
BERWUJUD GARIS LURUS
MENURUN
I. Bukan Bangunan

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%


II. Bangunan

Permanen 20 Tahun 5% –

Tidak Permanen 10 Tahun 10% –

6
7. CONTOH PENGHITUNGAN PENYUSUTAN
Contoh :
PT Agri Jaya pada bulan Juli 2009 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai
masa manfaat 4 tahun seharga Rp 1.000.000,00. Penghitungan penyusutan atas
harta tersebut adalah sebagai berikut:
Alternatif I : Metode Garis Lurus:
Tahun Harga perolehan % Penyusutan Biaya Penyusutan Nilai Sisa Buku
2009 Rp. 1.000.000,00 25% Rp.125.000,00 Rp. 875.000,00
2010 25% Rp. 250.000,00 Rp. 625.000,00
2011 25% Rp. 250.000,00 Rp. 375.000,00
2012 25% Rp. 250.000,00 Rp. 125.000,00
2013 25% Rp.125.000,00 Rp. 0

Alternatif II Metode Saldo Menurun:


Tahun Harga perolehan % Penyusutan BiayaPenyusutan Nilai Sisa Buku
2009 Rp. 1.000.000,00 50% Rp. 250.000,00 Rp. 750.000,00
2010 50% Rp. 375.000,00 Rp. 375.000,00
2011 50% Rp. 187.500,00 Rp. 187.500,00
2012 50% Rp. 93.750,00 Rp. 93.750,00
2013 Disusutkan 50% Rp. 93.750,00 Rp. 0
sekaligus

Cara perlakuan sisa nilai buku suatu aktiva tetap pada akhir masa manfaat yang
disusutkan dengan metode saldo menurun adalah nilai sisa buku suatu aktiva pada
akhir masa manfaat yang disusutkan dengan metode saldo menurun harus disusutkan
sekaligus.

8. AMORTISASI
Ketentuan mengenai amortisasi harta tak berwujud di atur dalam UU PPh No.
36 Tahun 2008 Pasal 11A Ayat (1) dan (1a) yang menyatakan :
“Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-
bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir
masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.”

7
“Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang
usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

9. METODE DAN TARIF AMORTISASI


Sesuai Pasal 11A ayat (2), untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi ditetapkan sebagai berikut:

Kelompok Harta Tarif Amortisasi berdasarkan metode


Masa Manfaat
Tak Berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

10. CONTOH PERHITUNGAN AMORTISASI


Contoh:
PT Asti Jaya pada tanggal 4 Januari 2009 mengeluarkan uang sebanyak Rp 100.000.000
untuk memperoleh hak lisensi dari Phoenyxcycle Ltd selama 4 tahun untuk
memproduksi Sepeda Phoenix. Penghitungan amortisasi atas hak lisensi tersebut
adalah sebagai berikut:
Alternatif I : Metode Garis Lurus
HARGA % BIAYA NILAI SISA
TAHUN
PEROLEHAN PENYUSUTAN PENYUSUTAN BUKU
2009 Rp100.000.000 25% Rp25.000.000 Rp75.000.000
2010 25% Rp25.000.000 Rp50.000.000
2011 25% Rp25.000.000 Rp25.000.000
2012 25% Rp25.000.000 Rp0
Alternatif II : Metode Saldo Menurun

% BIAYA NILAI SISA


TAHUN HARGA PEROLEHAN
PENYUSUTAN PENYUSUTAN BUKU
2009 Rp100.000.000 50% Rp50.000.000 Rp50.000.000
2010 50% Rp25.000.000 Rp25.000.000
2011 50% Rp12.500.000 Rp12.500.000
diamortisasi
2012 50% Rp12.500.000 Rp0
sekaligus

Sesuai Pasal 11A Ayat (4) yang menyatakan: “Amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih

8
dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi.” Dalam hal ini, metode satuan produksi
dilakukan dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan
gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan
minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.

11. AMORTISASI BERDASARKAN METODE SATUAN PRODUKSI


Amortisasi dengan metode satuan produksi diterapkan pada amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi. Dalam hal
ini, metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tariff
amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara
realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan
taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi dilokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
Contoh:
Pada tahun 2001 PT Dira Oil mengeluarkan uangnya sebesar Rp. 1.000.000.000,00
unutk memperoleh hak penambangan minyak bumi. Kandungan minyak bumi ditaksir
sebesar 5.000.000 barel. Produksi bumi tahun 2002 mencapai 1.500.000 barel.
Besarnya amortisasi untuk tahun 2002 adalah:
Tarif amortisasi = (realisasi penambangan : taksiran kandungan) x 100%
= (1.500.000 : 5.000.000) x 100%
= 30%
Amortisasi 2002 = 30% x Rp 1.000.000.000,00
= Rp. 300.000.000,00
Seandainya jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran yang belum diamortisasi,
maka atas sisa tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.
1. Hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, hak
pengusahaan sumber, dan hasil alam lainnya
Amortisasi dengan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% setahun,
diterapakan pada amortisasi atas:
1. Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi
2. Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan
3. Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan sumber dan hasil alam lainnya,
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun.

9
12. REVALUASI (PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP)
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No.36 Tahun 2008 Tentang Perubahan keempat
atas undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan mengatakan:
“Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali asset
dan factor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya
dengan penhasilan karena perkembangan harta”.
Yang dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap adalah Wajib Pajak Badan
dalan negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), tidak termasuk perusahaan yang
memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang
Dollar, yang telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak
terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali. Aktiva tetap yang dapat
dilakukan penilaian kembali adalah:
1. Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak
guna bangunan
2. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
Perlakuan pajak atas selisih lebih penilaian kembali aktiva
Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku
fiskal semula dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 10%.
Contoh:
Pada akhir tahun 2008, PT Sukses melakukan penilaian kembali aktiva tetapnya.
Nilai buku fiskal aktiva yang dinilai kembali per 31 desember 2009 adalah
100.000.000,00. Nilai wajar aktiva tersebut adalah 150.000.000,00. Besarnya PPh atas
selisih lebih penilaian kembali aktiva adalah sebesar:
Nilai wajar aktiva Rp 150.000.000,00
Nilai buku fiskal aktiva Rp 100.000.000,00 –
Selisih lebih penilaian kembali aktiva Rp 50.000.000,00
PPh = Rp 50.000.000,00 x 10%
=Rp 5.000.000,00 (bersifat final)

Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku


ketentuan sebagai berikut:
1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian
kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.

10
2. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva tetap
perisahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok
aktiva tetap tersebut.
3. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian aktiva tetap
perusahaan.
Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal
tahun pajak yang bersangkutan.
2. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahum
pajak yang bersangkutan.
3. Perhitungan penyusutan dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan
dalam bagian tahun pajak tersebut.
Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa
manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan.

11
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN
Penentuan subjek pajak sangat penting dalam sistem pemungutan PPh karena
subjek pajak adalah pihak yang dituju untuk membayar Pajak Penghasilan. Saat bentuk
usaha tetap menjadi subjek pajak dan pada saat yang bersamaan sekaligus juga
menjadi wajib pajak luar negeri, adalah pada saat orang pribadi atau badan luar negeri
mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan
BUT dipersamakan dengan wajib pajak dalam negeri. Bentuk usaha tetap antara lain
berkewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai sarana
untuk menetapkan besarnya pajak terutang dalam suatu tahun pajak, serta pengenaan
pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak dengan menggunakan tarif umum
seperti yang berlaku untuk wajib pajak dalam negeri pada umumnya.

Secara umum perusahaan dalam menentukan depresiasi biasanya


menggunakan beberapa metode penetapan nilai penyusutan yaitu; Metode Garis
Lurus, Metode jam jasa, Metode Saldo Menurun, Metode Jumlah Angka‐Angka Tahun
dan Metode Nilai Produksi. Tetapi secara umum biasanya perusahaan menggunakan
salah 1 dari banyak metode yang ada, biasanya yang digunakan adalah metode garis
lurus dan metode saldo menurun karena dalam perpajakan, pajak penghasilan pasal
11, metode yang boleh dalam pelaporan pajak adalah metode garis lurus dan saldo
menurun. (untik lebih jelasnya lihat peraturan atau UU pajak penghasilan pasal 11 dan
penggolongan jenis – jenis harta dalam Kep. Men. Keu. No. 138/KMK.03/2002). Dalam
menentukan suatu keputusan untuk menyusutkan aktiva tetapnya tentu didasari
dengan alasan kenapa aktiva tetap disusutkan dan faktor – factor yang mempengaruhi
biaya depresiasi.

SARAN
1. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembuatan tax treaty diharapkan akan
membantu investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia dengan
perlindungan hukum dan pengenaan pajak yang tepat sehingga mampu pula
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
2. Indonesia harus segera melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi dalam bidang
perdagangan terutama dalam bidang perpajakan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara untuk kemandirian bangsa Indonesia serta peningkatan sumber
daya manusia aparat perpajakan Indonesia. Apalagi dengan akan dibukanya Economy
Community ASEAN dalam waktu dekat ini dimana Indonesia belum mempunyai
regulasi untuk mempersiapkan hal ini

12
DAFTAR PUSTAKA
Wirawan B.Ilyas. Pajak Penghasilan, (Jakarta : Lembaga Penerbit UI, 2007);
Siti Resmi. Perpajakan Teori & Kasus. (Yogyakarta : Salemba Empat, 2007);
Gunadi. Pajak Internasional, (Jakarta : Fakultas Ekonomi UI,2007);
Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006).
Zakaria, J. (2005). Perlakuan Perpajakan terhadap Badan Usaha Tetap. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
http://foreverlove-devdevia.blogspot.co.id/2014/01/bentuk-usaha-tetap-makalah-
perpajakan.html
Anonymous. 2012. Penyusutan, Amortisasi, dan Revaluasi. [Online]. Tersedia dalam:
https://catarts.wordpress.com/2012/04/12/penyusutan-amortisasi-dan-revaluasi/. [12
Oktober 2017].
Awaluddin, Ishak. 2017. Perpajakan Pembahasan Sesuai Aturan Pelaksanaan Perpajakan
Terbaru 2017. K-Media: Yogyakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai