Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak
terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah
seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal
secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek
sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak
merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan
kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini.
Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-
mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di
Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat
Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas
dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah
Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan
tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum
akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah
karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan
itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam
buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber
lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu
datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau
1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah
kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya.
Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni”
(C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.
Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu,
bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau,
yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau”
(Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya
karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak
dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam
pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu
“Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.
Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis,
disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli
yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja
Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu
setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi
berat sebelah.
Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan
berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari
Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga
terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan
mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan
Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”
Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu
masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah
kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang
sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain,
seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH,
Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap
sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu