Anda di halaman 1dari 5

KOLONISASI BANGSA ASING DI RIAU DAN JEJAK/ARTEFAK

Sejarah panjang perkembangan dan pencapaian kebudayaan Melayu


tersebut berhubungan pula dengan letak Riau sebagai frontier area di lingkungan
dinamika perdagangan dunia Selat Melaka. Di samping itu, alamnya juga sangat
kaya dengan komoditas ekonomis, sehingga selama berabad-abad menjadi
kawasan tujuan pendatang. Interaksi dengan pendatang juga berpengaruh terhadap
perkembangan peradaban dan kebudayaan di rantau ini, di samping Islam.
Interaksi dengan dunia luar dan pendatang ini, dalam konteks praksis sosial dan
budaya materi misalnya, telah membiasakan orang Melayu dengan berbagai
teknologi perairan dan pertanian. Sedangkan dalam konteks karya budaya, telah
menghasilkan perubahan-perubahan penting dalam tradisi kesenian (seperti
tercermin secara historis dalam perkembangan teater populer Bangsawan,
penggunaan percetakan untuk penyebaran hikayat, dan syair-syair, dan lain-lain
hingga ke genre sastra modern seperti puisi, cerita pendek, dan novel.

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka,


dengan rangkuman wilayah yang sama dengan kekuasaan Hindia Belanda. Dalam
kerangka kenegaraan, dinamika kebudayaan diberi ruang yang luas dalam
konstitusi, sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai
buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat mengembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa itu sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa memajukan kebudayaan
bangsa bertujuan untuk menciptakan suatu kebudayaan yang berfungsi sebagai:
a) sarana aktualisasi masyarakat Indonesia yang majemuk sebagai satu bangsa
yang besar;
b) kerangka acuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan pergaulan antar
sesama warga negara;
c) pedoman dalam mengembangkan kreativitas ke arah pengembangan
kebudayaan dinamis demi kejayaan bangsa.
Kembali ke puncak
Namun demikian, pada tahun 2001, pemerintah dan masyarakat Provinsi
Riau mengambil keputusan politik tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Riau
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 36 Tahun 2001, yang di dalamnya
termaktub Visi Riau 2020. Visi tersebut berbunyi: “Terwujudnya Riau sebagai
pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di lingkungan masyarakat yang
agamis sejahtera lahir batin di Asia Tenggara pada tahun 2020”. Berdasarkan
kalimat Visi Riau 2020, subyek utama yang ingin dicapai dari setiap aktivitas
pembangunan di Riau adalah Riau sebagai pusat perekonomian dan pusat
kebudayaan Melayu dengan bentangan ruang (locus) Asia Tenggara.
Posisi Riau di masa depan tersebut meniscayakan Riau pada tahun 2020
dalam bidang seni budaya menjadi pusat pemeliharaan, aktivitas, dan kreativitas,
serta even-even pembentangan dan diseminasi (penyebaran) produk-produk seni
budaya Melayu dengan rentang kawasan nusantara (Asia Tenggara). Riau sebagai
pusat aktivitas seni budaya Melayu’ adalah bahwa Riau merupakan tempat
pemeliharaan berkesinambungan, sekaligus aktivitas produksi seni budaya
Melayu, baik seni budaya Melayu warisan/tradisional (meliputi artefak atau
benda-benda budaya, seni bahasa/sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan
(termasuk upacara-upacara adat, pengobatan, dan keagamaan), maupun seni
budaya modern. Meningkatkan kreativitas seni budaya Melayu, yaitu
meningkatkan kuantitas dan kualitas seniman serta produksi dan ketersebaran
produksi seni kreatif yang berbasis kebudayaan Melayu di Riau. Riau sebagai
pusat dokumentasi, riset, dan pengembangan seni budaya Melayu ialah bahwa
Riau memiliki pangkalan data seni budaya Melayu nusantara, dengan
dokumentasi yang lengkap, dan menjadi pusat aktivitas penelitian dan
pengembangan seni berbasis kebudayaan Melayu. Membangun jaringan informasi
seni budaya Melayu, yaitu bahwa Riau tercantum sebagai tempat utama jaringan
informasi seni budaya Melayu di Asia Tenggara khususnya, di dunia pada
umumnya.
Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu,
kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang
bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku
pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu.
Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau.
Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau
yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian
sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah
antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum
Seminar Nasional Kebudayaa Melayu itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak
terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah
seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal
secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek
sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak
merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan
kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini.
Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-
mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di
Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat
Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas
dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah
Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan
tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum
akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah
karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan
itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam
buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber
lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu
datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau
1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah
kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya.
Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni”
(C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu,
bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau,
yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau”
(Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya
karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak
dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam
pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu
“Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis,
disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli
yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja
Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu
setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi
berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan
berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari
Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga
terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan
mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan
Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu
masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah
kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang
sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain,
seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH,
Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap
sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu

Anda mungkin juga menyukai